Bagian ini menarik dari segi historis, karena merupakan satu-satunya narasi dalam Alkitab yang menceritakan peristiwa di antara masa Yesus bayi dan Yesus dewasa. Kita perlu tahu, penulis-penulis Injil itu sebenarnya punya lebih banyak materi daripada yang mereka tuliskan, sehingga materi-materi yang dimasukkan dalam Injil merupakan sesuatu yang mereka pilih, ada tujuannya, ada makna yang lebih dari sekedar pernah terjadi.
Apa tujuan dari bagian pasal ini? Jawabannya: melalui bagian ini Lukas mau memberitahukan kepada kita bahwa Tuhan Yesus itu membingungkan. Ayat kuncinya di ayat 50: Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Ini sangat kontras dengan bagian-bagian yang lain. Di bagian lain waktu Tuhan Yesus mengatakan suatu hal yang membingungkan orang, setelah itu ada bagian penjelasannya; misalnya murid-murid-Nya kemudian bertanya arti perumpamaan yang dikatakan-Nya, lalu Dia menjelaskan. Tapi di bagian ini sama sekali tidak ada; ini satu bagian yang seperti sengaja menghadirkan kepada kita gambaran Tuhan Yesus yang memang membingungkan, dan juga bahwa itu satu hal yang normal.
Dari ayat 46-50 Lukas menghadirkan 2 kategori orang yang terbingung-bingung akan Tuhan Yesus. Kategori yang pertama (ayat 46-47) adalah orang yang tidak mengenal Tuhan Yesus, bukan orang yang percaya kepada-Nya, yaitu para ahli Taurat dsb. yang mungkin baru kenal/tahu Dia saat itu. Mereka tercengang karena Tuhan Yesus, anak usia 12 tahun, bisa berdiskusi dengan para scholar Yahudi yang paling tinggi –peristiwa ini terjadi di Yerusalem, di Bait Allah, yang adalah pusatnya para Ph.D. Yahudi (Saudara bisa bayangkan kalau anak Saudara nyasar ke Westminster Seminary dan bisa berdiskusi dengan profesor-profesor di sana). Lukas juga mencatat bahwa Tuhan Yesus bukan saja mencengangkan orang karena Dia bisa menjawab, tapi Dia juga bertanya (biasanya yang membuat kita merasa ‘wow’ atas anak-anak kita bukan waktu mereka bisa menjawab, tapi lebih lagi waktu mereka bertanya pertanyaan yang tidak kita sangka-sangka).
Kategori kedua, orang-orang yang dibingungkan oleh Tuhan Yesus yaitu justru mereka yang mengenal Dia, mengetahui Dia, melahirkan Dia, bahkan yang mengasihi Dia. Dari pertanyaan Maria dan Yusuf, kita tahu bahwa isu pertanyaan mereka bukan soal Tuhan Yesus hilang, itu bukan yang utama. Kita bisa membayangkan satu adegan film tentang orang tua yang anaknya hilang, waktu kemudian anaknya itu ditemukan, mereka akan sama-sama berlari, berpelukan, sambil menangis lega; tidak masalah tadi hilang, yang penting sekarang sudah ketemu, kemudian si anak kembali kepada orangtuanya. Tapi di bagian ini waktu sudah ketemu, malah tidak mau balik. Isunya bukan Dia hilang, tapi bahwa Dia tidak merasa terhilang, tidak merasa perlu mencari orangtua-Nya, santai-santai saja 3 hari diskusi dengan profesor-profesor teologi. Dan ini bukan seorang anak umur 4-5 tahun, ini bukan semacam innocent mistake. Tuhan Yesus sangat sadar orangtua-Nya sudah pergi, ini satu hal yang sangat disengaja, dan ini membingungkan sekali orangtua-Nya.
Di akhir tahun begini, mungkin kita tidak terlalu ingin mendengar kotbah yang seperti ini karena akhir tahun biasanya kita ingin sesuatu yang bernuansa ‘feel good’ –waktunya untuk kita duduk, libur, tidak perlu kerja, dsb. Tapi justru ini satu bagian yang sangat tepat untuk kita di akhir tahun dan awal tahun, karena yang Lukas mau beritahukan kepada kita adalah bahwa Tuhan Yesus itu seorang figur yang sangat membingungkan, bukan hanya bagi mereka yang tidak percaya kepada Dia, tapi terutama kepada mereka yang percaya, beriman, dan mengasihi Dia. Kalau Saudara mengerti dan menerima ini sebagai hal yang normal, itu akan sangat berdampak pada cara Saudara melihat tahun yang telah lewat, dan cara Saudara mempunyai pengharapan akan tahun yang baru. Karena kalau Saudara mengamini yang Lukas katakan bahwa Tuhan Yesus itu –bagi orang-orang yang mengasihi Dia pun—membingungkan, maka Saudara akan menyadari bahwa adalah normal ketika dalam hidup kita Dia melakukan hal-hal yang aneh menurut kita dan berlawanan dengan akal sehat kita, hal-hal yang penjelasannya sangat membingungkan atau sulit diterima atah bahkan tidak dijelaskan sama sekali. Inilah yang akan coba kita lihat.
Kita perlu meneliti konteks dari bagian ini berhubung dikatakan bahwa mereka pergi ke Bait Allah ketika Tuhan Yesus umur 12 tahun. Ada satu tradisi dalam kultur Yahudi, yaitu ‘Bar Mitzvah’ (=anak Taurat/ son of the commandment). Ini adalah satu ritual, dalam bahasa Inggris disebut ‘rite of passage’ atau ‘coming of age ritual’, yaitu semacam ritual pendewasaan yang dilakukan ketika seorang anak laki-laki dianggap telah beralih dari anak-anak menjadi laki-laki dewasa. Itu diresmikan ketika dia berumur 13 tahun. Setelah itu dia mempunyai tanggung jawab seperti seorang Yahudi pada umumnya, dan konon dalam Bar Mitzvah ini orangtuanya akan berdoa “Puji Tuhan, sekarang saya tidak harus lagi bertanggung-jawb atas dosa anak saya ini”. Hal ini agak jarang dalam budaya kita, oleh sebab itu saya ingin menggali lebih lanjut.
Untuk mengerti artinya ritual Bar Mitzvah pada diri Yesus, di sini kita perlu mendiskusikan lebih dulu arti ritual seperti ini bagi kita. Ritual seperti ini sebenarnya luas tersebar di semua budaya di seluruh dunia, dan punya tempat yang sangat penting dalam mendidik seorang anak –khususnya anak laki-laki. Vern Poythress, seorang profesor Westminster, dalam artikel di website-nya membahas hal ini. Dia mengatakan, bahwa ritual coming of age ini sangat luas tersebar; bentuknya berupa semacam tantangan/ ujian yang kalau anak ini berhasil melewatinya, dia dianggap sebagai seorang dewasa. Dalam beberapa kultur misalnya harus membunuh seekor buaya, atau banteng; atau kalau di Nias berupa ritual ‘lompat batu’. Contoh lainnya harus berpetualang sendirian keluar dari rumahnya selama beberapa bulan dan survive, dsb. Pertanyaannya, dalam masyarakat urban kita yang modern pada hari ini, yang ritual semacam ini sudah terhilang, kapankah seorang anak laki-laki dianggap dewasa? Setelah lulus SMA? Setelah mendapatkan SIM? Setelah mendapat gaji pertama? Atau setelah kuliah? Setelah punya pacar? Atau ketika dia menikah? Ketika dia punya rumah? Ada banyak macam pendapat, dan tidak ada konsensus mengenai poin transisinya.
Ketika tidak ada rite of passage ini, ada satu hal yang hilang dalam masyarakat kita (tentu tidak berarti semua ritual semacam ini bermanfaat). Kalau kita perhatikan masyarakat kita, khususnya anak laki-laki, ada kecenderungan merasa insecure. Mereka tidak tahu kapan sudah bisa menganggap dirinya orang dewasa atau masih harus dianggap bocah karena tidak ada poin transisi yang jelas ini. Akhirnya, dalam kultur urban modern, seorang anak laki-laki sadar tidak sadar mencari berbagai cara untuk membuktikan kedewasaannya, misalnya dengan bergabung geng tertentu, belajar merokok, mabuk-mabukan, pornografi, merundung wanita, dsb. Vern Poythress mengatakan inilah sebabnya orang Kristen perlu mengembalikan tradisi ini, tapi di dalam terang Alkitab.
Apa yang menandakan kedewasaan di dalam Alkitab? Tentu bukan membunuh buaya atau lompat batu, tapi sesuatu yang bersifat spiritual, mengenal Allah seperti tradisi Bar Mitzvah dengan belajar Taurat –Firman Tuhan– sehingga ada semacam standar yang dituntut untuk menjadi seorang Yahudi dewasa. Maka Poythress mengadakan semacam Bar Mitzvah bagi kedua anak laki-lakinya, tapi diubah jadi Bar Jeshua, jadi bukan lagi “anak Taurat” tapi “anak Yesus”. Poythress bersama dengan istrinya membuat programnya, yaitu mengenal Alkitab, mengenal Allah, dsb., kemudian kedua anak laki-lakinya itu dites oleh profesor-profesor Westminster, dosen-dosen Teologi, dsb. (bagian detailnya ini tentu kita tidak bisa sepenuhnya mengikuti). Waktu dites, anak-anak itu tentu saja ngeri luar biasa berhadapan dengan profesor-profesor Westminster, dan mungkin juga merasa malas, atau bertanya-tanya ‘mengapa musti melakukan semua ini’. Tetapi poinnya adalah bahwa setelah hal ini terjadi, message yang ingin mereka sampaikan kepada anak-anak itu jadi mengena sekali, karena anak-anak itu jadi sadar akan satu hal: bahwa kedewasaan bukanlah sesuatu yang mudah, kedewasaan rohani yang total bukanlah sesuatu yang datang begitu saja seperti kedewasaan fisik, tapi sesuatu yang musti kita kerjakan, kita perjuangkan, yang menuntut keringat dan kerja keras. Problem anak-anak modern hari ini adalah mereka mungkin mengira kedewasaan rohani akan datang dengan sendirinya seperti kedewasaan fisik, karena tidak pernah ada ritual ini. Anak-anak Poythress, setelah melakukan ritual ini, diberi kebebasan lebih dalam kehidupannya, misalnya boleh mengatur jam tidur dan bangun mereka sendiri, menentukan kapan mengerjakan PR, dan juga diikut-sertakan dalam pembicaraan keluarga ketika papa mamanya mau memutuskan sesuatu yang akan mempengaruhi seluruh keluarga. Jadi di sini adanya satu perbedaan yang terkomunikasikan dengan jelas bahwa mereka sekarang sudah dewasa.
Pendeta Ivan pernah berkotbah, jika sebelumnya seorang papa memperlakukan anaknya yang masih kecil dengan “Papa bicara, kamu dengar”, maka ketika anaknya itu sudah dianggap dewasa, si papa akan berkata “Papa bicara, sekarang apa pendapatmu?”. Ada perbedaan. Cara-cara semacam ritual ini sangat efektif untuk membuat seorang anak menyadari kedewasaannya. Lalu apakah mengerikan memberi kebebasan semacam ini kepada anak umur 12-13 tahun? Poythress mengatakan bahwa tentu saja ada kengerian semacam itu, tapi masih lebih baik kita memberikan kebebasan seperti itu ketika mereka masih usia 12-13 tahun, masih tinggal di rumah, waktu ada kebingungan masih bisa datang kepada kita dan bertanya. Jika tidak di usia ini, maka kita memberi kebebasan ketika mereka sudah berusia 17-18 tahun, sudah tinggal di kota lain, dan mereka tidak tanya-tanya kepada kita lagi. Yang penting di sini bukan soal detailnya, poinnya adalah bahwa kita sudah kehilangan ritual-ritual ini yang sebenarnya sangat penting, cara sangat efektif untuk mengkomunikasikan kepada seorang anak arti kedewasaan. Ini yang perlu kita pikirkan, dan sangat baik didiskusikan dalam KTB bagi para pemuda yang baru pacaran atau para pasangan muda yang anaknya masih bayi (artikel dapat dicari di internet: “How I Help My Boys to Become Christian Men” by Vern S. Poythress, Ph.D., Th.D.).
Kembali ke dalam kisah Tuhan Yesus tadi. Tuhan Yesus dikatakan berumur 12 tahun, dan Bar Mitzvah biasanya dilakukan umur 13 tahun. Dalam literatur-literatur rabbinical dikatakan bahwa orangtua sebaiknya mengajak anaknya yang akan Bar Mitzvah, ke Yerusalem satu tahun sebelumnya, yaitu ke Bait Allah. Jadi ini satu momen yang paling klimaks sebelum Tuhan Yesus diresmikan sebagai Bar Mitzvah. Dan ini penting, karena masa menjelang Bar Mitzvah ini adalah masa-masa relasi yang paling intens antara seorang anak laki-laki dengan ayahnya dalam kultur Yahudi, karena di masa ini ayahnya berkewajiban mengajarkan tentang bagaimana mencari nafkah, meneruskan usahanya –dalam hal ini Yusuf mengajarkan kepada Yesus mengenai pekerjaan tukang kayu— dan juga mengajarkan bagaimana hidup yaitu tentang Yudaisme. Perjalanan ke Yerusalem di masa Paskah inilah klimaks dari semua pengajaran tersebut. Di sini ayahnya akan memperlihatkan kota Yerusalem, menceritakan sejarah Yerusalem; juga membawa Dia ke Bait Allah dan menceritakan mengapa perlu Bait Allah, apa pengertiannya, mengapa dibuat seperti itu. Lalu waktu makan domba Paskah, ayahnya akan memberitahu tentang domba Paskah, mengapa perlu domba Paskah, dsb. Itulah tradisi yang orang Yahudi sudah langsung mengerti waktu mereka membaca tentang Tuhan Yesus datang ke Yerusalem ketika umur 12 tahun. Pengertian ini seringkali tidak ada pada kita karena kita tidak peka konteks historisnya.
Setelah perayaan tersebut, ketika mereka berjalan pulang, Tuhan Yesus tinggal di Yerusalem tanpa diketahui orangtua-Nya. Kita mungkin berpikir aneh sekali bisa terjadi begitu. Tapi di zaman itu bukanlah sesuatu yang aneh, karena perjalanan lintas kota pastinya memakai satu caravan yang besar, dalam suatu kaum keluarga yang besar dengan kenalan-kenalan mereka. Oleh sebab itu di hari pertama ketika Maria dan Yusuf sadar anaknya hilang, mereka mencari lebih dulu di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Sangat lumrah juga di zaman komunitarian seperti itu, tanggung jawab mendidik seorang anak bukan hanya pada orangtuanya tapi pada semua orang dewasa kaum keluarga tersebut, sehingga sangat wajar juga kalau anak tersebut mungkin sedang berjalan bersama keluarga yang lain. Dalam suatu kafilah orang Yahudi, wanita dan anak-anak berjalan di depan, para pria dan anak-anak laki-laki yang lebih besar mengikuti di belakang. Jadi ada kemungkinan Yusuf mengira Yesus bersama Maria, Maria mengira Yesus bersama Yusuf. Intinya bukan sesuatu yang aneh kehilangan anak dalam keadaan seperti ini. Lalu mengapa sampai 3 hari baru sadar? Kemungkinan besar yang dimaksud adalah 3 hari setelah mereka berangkat dari Yerusalem. Anggaplah hari pertama pergi dari Yerusalem, lalu sadar anaknya hilang, cari-cari tidak ketemu; hari kedua kembali ke Yerusalem; hari ketiga mencari Dia di Yerusalem dan ketemu.
Kembali ke kisahnya, poin yang paling klimaks adalah ketika mereka menemukan Dia. Perhatikan di sini, apa yang Maria katakan dan bagaimana Lukas merajutnya. Di ayat 48 Maria mengatakan: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian kepada kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.“ Lukas bukan menuliskan ‘aku dan papa-Mu’ tapi ‘papa-Mu dan aku’; mengapa ‘bapa-Mu’ ditaruh di depan? Di sini ada kaitan dengan temanya. Konteksnya adalah Bar Mitzvah dan perjalanan ke Yerusalem anak umur 12 tahun, jadi di sini seakan Maria mengatakan ‘ini adalah tahunmu dengan papamu, tahun inilah tahun kamu mulai mengikuti model papamu, mulai mempelajari bagaimana kamu bekerja dan meneruskan usaha papamu, mulai mengerti yang papamu mengerti mengenai Bait Allah, Yerusalem, domba Paskah, mengenai kehidupan dan agama Yahudi; ini adalah saat kamu harusnya memberi penghormatan kepada papamu dengan cara menjadi seperti dia, mengikut modelnya, mengikut dia dalam segala hal’. Pada dasarnya Maria sedang menegur Tuhan Yesus, ‘mengapa kamu pada tahun ini malah membuat malu papamu’. Sekarang Saudara dapat mengerti kedalaman jawaban Tuhan Yesus: “Mama sekarang Aku justru sedang menghormati Bapa-Ku. Bukankah Aku harus mengikut model Bapa-Ku? Bukankah Aku harus mengerjakan yang Ia kerjakan? Bukankah aku harus me-model-kan diri-Ku kepada diri-Nya? Bukankah Aku harus tinggal di rumah Bapa-Ku?”
Tapi yang menarik ada di bagian setelahnya; di ayat 50 dikatakan bahwa orangtua Yesus masih tetap tidak mengerti. Mengapa bisa kita yang di zaman ini malah lebih mengerti, mereka yang di zaman itu malah tidak mengerti? Karena Yesus memang membingungkan, Yesus memang mendobrak sejarah. Kita tidak merasa kalimat Tuhan Yesus aneh karena kita hidup di dunia yang sudah sangat dipengaruhi Kekristenan. Hari ini sangatlah biasa konsep manusia sebagai anak dari Allah, dan Allah digambarkan sebagai seorang bapa. Kalau hari ini Saudara bertemu dengan orang yang mengatakan ‘Allahku itu seperti bapaku’, Saudara tidak langsung berasumsi dia orang Kristen karena konsep seperti itu menyebar luas. Tapi pada waktu itu, Yusuf dan Maria tidak mengerti sama sekali koneksi ini karena Perjanjian Lama sangat jarang Allah Alkitab disebut sebagai seorang bapa. Dalam 39 kitab Perjanjian Lama, hanya pernah 14x (berarti dalam 2 kitab tidak tentu 1x Allah disebut sebagai Bapa). Bandingkan dengan Perjanjian Baru, dalam 4 Injil saja Tuhan Yesus menyebut Allah sebagai Bapa-Nya paling sedikit 60x. Ini satu pergeseran teologi yang cukup drastis. Dan bagian-bagian dalam Perjanjian Lama yang Allah disebut sebagai Bapa, tidak pernah dalam pengertian bapa pribadi, selalu dalam konteks yang agak impersonal, Bapa dari Israel atau sumber dari bangsa Israel yaitu Allah. Tidak pernah seorang pun dalam Perjanjian Lama memanggil “Allah Bapaku”, itu sebabnya Yusuf dan Maria tidak mengerti sama sekali. Yang Yesus katakan ini adalah satu klaim relasi manusia dengan Allah, yang sebelumnya tidak pernah diklaim seorang pun, suatu konsep yang tidak pernah eksis. Yesus seakan-akan sedang menulis satu teologi yang baru; dan secara kronologis ini adalah kalimat langsung pertama yang dicatat keluar dari mulut Tuhan Yesus, yaitu kalimat yang mengatakan ‘Saya punya hubungan yang sangat unik dengan Allah’.
Satu hal yang sangat penting, Yesus bukan cuma menyatakan diri-Nya Anak Allah, tapi Dia menyatakannya dengan cara yang begitu yakin, begitu ngotot. Dia memakai kata ‘harus’: “Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” Ke-harus-an ini bukan cuma menandai kalimat-Nya yang pertama, tapi merupakan satu tema yang berjalan terus sepanjang Dia hidup. Misalnya dalam kalimat ketika Dia menubuatkan kematian-Nya, dikatakan: “Anak Manusia harus menderita dan mati”. Waktu Dia telah bangkit dan berjalan ke Emaus bersama 2 murid yang tidak menyadari itu adalah Dia dan mereka terus meratapi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, Tuhan Yesus mengatakan ‘kamu ini bagaimana sih, bukankah Mesias harus menderita semua itu, memang jalan keselamatan harus seperti ini; ini seharusnya seperti ini’.
Inilah sebabnya kita seringkali tidak senang dengan Tuhan Yesus, tidak tahan dengan diri-Nya, Dia begitu membingungkan bagi kita, yaitu karena Dia menolak untuk masuk ke dalam “laci-laci” kita. Kita seringkali tidak senang dengan tokoh utama, protagonis, yang terlalu yakin seperti ini. Dalam film-film biasanya tokoh utama bersikap yakin cuma di setengah bagian awal filmnya, lalu waktu di tengah-tengah terjadi keraguan. Misalnya film Lord of The Rings; Aragorn tahu Gondor butuh raja, dan dirinya adalah satu-satunya orang yang bisa menjadi raja. Tapi dalam dua seri yang pertama Aragorn bergumul habis-habisan, dia tidak yakin dirinya pantas jadi raja, bahkan juga tidak yakin dirinya ingin jadi raja; ada pergumulan identitas diri. Dan kita senang dengan film seperti ini, kita ingin hero yang seperti ini –jangan terlalu yakin-yakin banget– seperti juga dalam film Superman yang terakhir, “Man of Steel”, setengah film yang di depan adalah tentang Clark Kent yang bergumul antara ingin jadi superman atau jadi manusia biasa. Kita senang dengan cerita yang seperti ini karena kelihatan lebih otentik, lebih sesuai dengan pergumulan manusia. Tapi Saudara tidak mendapatkan hal itu sama sekali dalam diri Tuhan Yesus; dari awal, umur 12 tahun, Dia sudah yakin sekali akan misi-Nya –“ini harus…”. Saudara bisa tahu film-film yang meng-humanisasi-kan Tuhan Yesus berlebihan, yaitu kalau di film tersebut “Tuhan Yesus”-nya bergumul dengan identitas diri –Saya ini bener Anak Allah ‘gak ya—dan itu tidak ada di dalam Alkitab.
Dari awal, Tuhan Yesus punya satu keyakinan yang di garis batas “sombong”. Itulah sebabnya dunia tidak senang, mereka merasa Orang seperti ini membingungkan. Kita mungkin juga tidak senang, kita tidak bisa menaruh Dia ke dalam laci kita, Orang (Tuhan) seperti ini tidak bisa dikontrol! Dunia misalnya mengatakan “O, Dia itu sekedar guru moral seperti agama-agama yang lain”, tapi Saudara tidak bisa mengatakan seperti itu. Dari kalimat pertama Dia sudah mengatakan ‘Aku Anak Alah, Aku statusnya berbeda’. Dengan kata lain –seorang teolog pernah mengatakan– “Orang dunia cuma punya dua pilihan: antara mengangkat Dia sebagai Tuhan atau menjatuhkan Dia sebagai pembohong, tapi yang pasti, kamu tidak bisa menyejajarkan Dia dengan semua guru moral dan pendiri agama yang lain. Kamu taruh Dia di atas –di luar laci-lacimu– atau kamu taruh Dia di bawah lacimu, itu saja pilihannya, tapi tidak mungkin kamu bisa taruh Dia di dalam lacimu yang kecil-kecil itu. Tidak bisa. Ada satu keunikan pada Dia yang tidak dimiliki orang lain”. Pendobrakan ini bukan cuma terjadi atas mereka yang tidak percaya kepadanya, melainkan juga kepada kita yang dekat dengan Dia, yang beriman kepada-Nya, yang mengasihi Dia, karena bukankah Yusuf dan Maria pasti mengasihi Anak-Nya?! Dan Lukas memberitahukan, ini adalah satu hal yang normal.
Jikalau Saudara dan saya sungguh murid-murd Tuhan Yesus, jikalau Dia sungguh adalah Rajamu, maka seperti Maria, Saudara akan senantiasa dibingungkan oleh Tuhan Yesus. Saudara akan senantiasa didobrak dari pemikiran seharusnya Tuhan itu seperti ini dong, seharusnya orang Kristen itu begitu dong, seharusnya Gereja seperti itu dong, seharusnya dunia seperti ini dong. Dan bukan cuma Maria, murid-murid juga bingung, bahkan marah, ketika Tuhan Yesus mengatakan “Anak Manusia harus dan akan mati”. Mereka mengatakan, “Tuhan, jangan ngomong seperti itu!” Juga seperti murid-murid yang berjalan ke Emaus mengatakan “mengapa semua hal ini terjadi, mengapa semua yang kami harapkan akhirnya mati begitu tragis, mengapa semua kehancuran ini melanda kami”, dan tiba-tiba datang Seorang Asing yang tidak dikenal, memarahi mereka dan mengatakan “SEHARUSNYA memang begitu”; itulah Tuhan Yesus yang asli. Pertanyaannya, selama ini kita mengikuti Tuhan Yesus yang seperti apa, Tuhan Yesus yang seperti ini atau tidak? Saudara menyadari hal ini atau tidak? Saudara menerima ini sebagai hal yang normal atau tidak?
Ada satu contoh yang sangat baik dari kehidupan Elisabeth Elliot. Dia seorang misionaris Kristen, dan menulis satu novel fiksi berjudul “No Graven Image”. Novel ini menceritakan tentang seorang misionaris yang pergi untuk menterjemahkan Alkitab kepada satu suku terpencil. Ini sangat sulit karena dia harus menemukan orang setempat yang mengerti dialek lokal bahasa suku itu, dan mengerti bahasa Inggris. Setelah beberapa tahun mencari, akhirnya ketemu orang seperti ini, dan orang ini mau menerima Tuhan. Dia juga mau bekerja sama menjalankan proyek penterjemahan ini. Misionaris ini sangat bahagia; mereka menterjemahkan Alkitab sedikit demi sedikit. Tapi suatu hari, orang ini sakit dan akhirnya meninggal, bukan karena penyakitnya tapi karena ia ternyata punya reaksi buruk terhadap suntikan yang diberikan oleh wanita misionaris tadi. Pada saat-saat terakhir ketika orang ini kejang-kejang kesakitan, istrinya menarik-narik tangan misionaris ini, “Tolong! Tolong! Mengapa dia seperti ini?” Si misionaris tidak bisa melakukan apa-apa, orang itu meninggal, dan proyek penterjemahan Alkitabnya bubar karena tidak ada orang lain yang bisa melakukannya, dan dirinya diusir dari suku tersebut. Novelnya berakhir sampai di situ. Banyak orang kemudian menulis surat kepada Elisabeth Elliot, mengatakan bahwa kisah seperti itu tidak mungkin terjadi, itu cerita bohong sama sekali. Bahkan Harold Ockenga, seorang pendiri dua seminari teologi, yaitu Fuller Theological Seminary dan juga yang menyatukan Gordon Theological Seminary dan Conwell Theological Seminary menjadi Gordon-Conwell Theological Seminary (2 seminari teologi yang sagat terkenal di Amerika), secara pribadi mengatakan kepada Elisabeth Elliot: “Saya menarik buku itu dari daftar buku yang harus dibaca anak-anak seminari. Tidak bisa seperti itu; kalau kamu sungguh-sungguh mengasihi Tuhan Yesus, kalau kamu mendedikasikan dirimu kepada-Nya, Dia tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi kepadamu”. Tapi yang Elisabeth Elliot tulis dalam novelnya adalah pengalamannya sendiri. Dan bukan cuma itu, suaminya –Jim Elliot—bersama 4 misionaris pergi ke sebuah suku terpencil untuk mengabarkan Injil. Di malam sebelumnya mereka menyanyi “Tuhan, Engkau perisai pelindung kami”, tapi di hari pertama mereka masuk daerah itu, mereka semua ditombak mati, meninggalkan anak-anak dan istri mereka.
Ketika kita menghadapi hal-hal seperti itu dalam hidup kita, apa yang akan kita katakan? Apa yang Elisabeth Elliot katakan? Awalnya, dia mengatakan kalimat yang sangat gampang muncul dari mulut kita, yaitu “mengapa, Tuhan?” Itu juga kalimat yang muncul dari mulut Maria, “Mengapa, Yesus? Kami ini mengasihi-Mu, kami ini cemas mencari-Mu ke mana-mana, koq bisa Kamu tega melakukan ini kepada kami?” Kami ini mengasihi-Mu, kami ini orang yang dekat dengan-Mu, mengapa Engkau melakukan hal seperti ini? Bukankah saya adalah anak-Mu? Bukankah saya adalah murid-Mu? Bukankah saya rutin ke gereja? Bukankah Engkau adalah Rajaku? Bukankah Engkau adalah Allahku? Mengapa Engkau membiarkan hal seperti ini terjadi dalam hidup saya??
Elisabeth Elliot merenungkan dan menyadari, di balik kalimat-kalimat seperti itu sebenarnya adalah kalimat yang sama dengan yang dikatakan orang-orang kepada Yesus di atas kayu salib, “jika Engkau adalah Anak Allah, maka lakukanlah ini, lakukanlah itu. Engkau Anak Allah ‘kan? Anak Allah dalam gambaran kami berarti Engkau melakukan ini, jadi lakukanlah! kalau tidak, Kamu bukan Anak Allah”. Kalimat-kalimat itu kalimat yang menghujat Tuhan. Dan itu bukan mulai dari orang-orang di bawah salib Tuhan Yesus, tapi itu di padang gurun setelah Tuhan Yesus dibaptis dan dilarikan oleh Roh untuk menerima serangan dari setan. Itu adalah kalimat setan; “Jikalau Engkau Anak Allah, ubahlah batu menjadi roti; jikalau Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari atas sana”. Elisabet Elliot mengatakan: “Jika Dia memang sungguh adalah Anak Allah, itu berarti saya tidak punya hak apa-apa untuk menuntut Dia, untuk Dia masuk ke dalam laci saya”. Selanjutnya: “Jikalau Dia adalah sungguh-sungguh Anak Allah, maka it doesn't make sense for everything that He does, do make sense to me” (kalau Dia sungguh Anak Allah, berarti adalah sesuatu yang tidak masuk akal, kalau segala sesuatu yang Dia lakukan masuk akal bagiku).
Saudara, kalau kita sungguh-sungguh bertemu dengan Yesus yang sejati, maka Dia akan membuat engkau bingung; dan itu bukan karena engkau orang yang tidak percaya yang tidak beriman kepada Dia. Meskipun engkau beriman kepada Dia, mengasihi Dia, mengikuti Dia, engkau tetap akan dibuat bingung. Dan kalau Saudara sekarang merasa hidupmu dengan Allah itu ‘feel good’, tidak ada aneh-anehnya, tidak ada bingung-bingungnya, saya sungguh berharap itu tidak bertahan lama. Saya berharap ada momen-momen dalam kehidupan kita, yang kita mulai bertanya seperti Maria ‘koq bisa Tuhan… ?”, lalu menemukan Tuhan memang tidak menjelaskan, hanya satu yang Tuhan katakan: “Memang harus seperti demikian”. Sadarkah bahwa ini panggilan kita? Sadarkah bahwa ini realita hidup orang Kristen?
Terakhir, jadi ngapain kita ikut Allah yang seperti ini? Atau yang lebih halus, bagaimana mungkin kita bisa kuat mengikuti Allah yang seperti ini? Apa yang Alkitab tawarkan sehingga kita bisa mengikuti Allah yang seperti ini? Jawabannya ada di bagian terakhir. Ayat 51 mengatakan: Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Terjemahan lain memakai kata “was submissive, was obedient”; Ia pulang bersama-sama mereka dan Ia menaati mereka.
Di bagian sebelumnya, baru saja Ia mengatakan bahwa Ia tidak perlu menaati mereka; kalimat “tidak tahukah kamu bahwa aku harus berada di rumah Bapa-Ku”, bentuknya merupakan sebuah teguran, bukan cuma statement. Tuhan Yesus bukan cuma sedang mendobrak teologi yang lama, tapi juga mendobrak relasi manusia yang paling dasar yaitu hubungan antara seorang anak dengan orangtua. Tuhan Yesus sedang mengklaim bahwa diri-Nya tidak boleh diikat dalam laci-laci manusia; Dia punya relasi yang unik dengan Allah Bapa, itu sebabnya relasi ini merelativisasi semua relasi yang lain. Dia bukan untuk dinilai oleh siapapun, melainkan Dialah yang akan menilai semua orang, Dia yang harus menjadi standar, termasuk bagi orangtua-Nya. Tapi kelanjutannya, malah dikatakan Dia pulang dengan mereka dan menaati mereka. Aneh. Kalau di film biasanya si anak mengatakan “Papa, aku punya kehidupan sendiri, Papa tidak boleh ikut campur terus-menerus, aku seorang yang independen”, lalu kalau di film Barat papanya menyadari dan merelakan, sedangkan di film Timur papanya akan pukul dan tarik dia kembali pulang. Tapi Alkitab semuanya melampaui batasan kultur. Tuhan Yesus mengatakan “Saya tidak perlu menaati kamu karena Saya punya Bapa di surga yang harus Saya taati; Saya tidak perlu menaati kamu karena Saya lebih tua dari kamu”, tapi setelah itu Dia pulang bersama mereka dan Dia menaati mereka; bukan karena Dia harus tapi karena Dia mau, rela.
Perjalanan ke Yerusalem adalah masa-masa Tuhan Yesus intens dengan ayahnya; lalu bagaimana jika –ini spekulasi—perjalanan itu bukan hanya intens dengan ayah-Nya tapi juga intens dengan Bapa-Nya? Bagaimana jika waktu ayah-Nya menceritakan tentang Yerusalem, Bapa-Nya mengatakan ‘Engkau akan kembali ke sini lagi, dan akan mejalaninya dengan memikul salib’; waktu ayah-Nya mengajak ke Bait Allah dan menceritakan tentang Bait Allah, lalu Bapa-Nya mengatakan ‘Engkau akan menggantikan Bait Allah, Engkau sendiri yang akan menjadi Bait Allah sehingga menceritakan yang ini tidak ada artinya’; lalu waktu ayah-Nya tentang domba Paskah, Bapa-Nya mengatakan ‘Engkaulah Domba Paskah itu, dan Engkau akan disembelih untuk dosa seluruh dunia’? Apa reaksi Tuhan Yesus setelah semua kejadian ini? Dia pulang ke Nazaret dan Dia menaati orangtua-Nya. Mengapa bisa seperti itu? Memang Dia adalah figur yang membingungkan, Dia tidak bisa ditaruh di laci manapun, tapi Dia juga berkomitmen total terhadap orang-orang yang dikasihi-Nya. Mirip seperti ketika Dia dibaptis oleh Yohanes; Yohanes mengatakan ‘Gua baptis Elu?? Elu yang harusnya baptis gua’, tapi Tuhan Yesus mengatakan, “Biarlah hal ini terjadi karena kita sepatutnya menggenapkan seluruh kehendak Allah”.
Yang Tuhan Yesus mau katakan: ‘Aku memang datang untuk ini, misi-Ku bukan cuma untuk mati suatu hari nanti, tapi untuk menghidupi hidup yang harusnya kalian hidupi, hidup dalam ketaatan yang sempurna di dalam segala sesuatu. Memang seharusnya seperti ini’. Dia melakukan bukan karena Dia perlu dan harus, tapi karena Dia rela. Mengapa kita menaati Dia? Karena kita harus. Karena tidak masuk akal kalau segala sesuatu yang Dia kehendaki dari kita itu masuk akal, maka ada momen-momen ‘saya harus menaati Dia meskipun saya tidak mengerti; saya harus bertahan dalam situasi ini meskipun saya tidak mengerti’. Kita memang harus, tapi Dia tidak harus. Dia melakukannya karena Dia berkomitmen bagi kita. Bukan cuma berkomitmen untuk menaati orangtua-Nya di dunia tapi Dia berkomitmen memberikan nyawa-Nya bagi Saudara dan saya; inilah yang menjadikan Saudara dan saya bisa punya kekuatan untuk menaati Dia.
Ini tidak berarti Saudara dan saya jadi orang-orang yang pasif. Yang Alkitab beritahukan di sini adalah: kita bukan aktif, bukan pasif, melainkan reaktif; kita meresponi Tuhan. Ada bagian yang kita lakukan, tapi itu selalu in response to God yang berkehendak terlebih dahulu. Maria bingung, tapi Maria menyimpan semua itu di dalam hatinya. Terjemahan bahasa Indonesia kurang bagus, ‘Maria menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya’, seakan-akan orang yang mendendam. Kata aslinya adalah deutereo (to treasure), yaitu menyimpan untuk direnungkan; dan bukan menyimpan perkara melainkan menyimpan perkataan (kata yang dipakai adalah rhema, perkataan Tuhan Yesus). Maria menyimpan firman Tuhan di dalam hatinya. Inilah respon seorang Kristen, orang yang mengerti Alkitab.
Ketika kita menghadapai satu situasi Tuhan memberitahukan kepada kita satu hal yang aneh, bagaimana respon kita? Kadang-kadang dengan aktif, ‘O, ini berarti saya kurang memberikan persembahan, kurang ke gereja, kurang menginjili’. Ini tidak benar. Tapi juga bukan dengan pasif ‘ya sudah, Tuhan beri apa, saya terima semua’. Saudara seharusnya reaktif, bereaksi dengan kembali kepada Alkitab, merenungkan (memeram) firman Tuhan seperti Maria. Itu kuncinya. Saudara berespon dengan yang Tuhan berikan atau tidak. Saudara menolak lalu mengatakan “ya, sudahlah”, atau Saudara berespon “apa yang Tuhan mau kerjakan di sini, apa yang saya bisa lihat dari Alkitab tentang bagian ini?”
Dalam kisah Tuhan Yesus meredakan badai, kalimat tegurannya dicatat berbeda. Dalam Lukas , yang dicatat bukan “mengapa imanmu kecil banget?” atau “mengapa tidak punya iman?”, melainkan “di mana imanmu?” David Martyn Llyod Jones mengatakan, ini berarti Tuhan Yesus sedang mengatakan: ‘kamu itu bukan tidak punya iman, cuma kamu tidak memakainya; itu sebabnya engkau gagal menghadapi badai-badai dalam hidupmu’ (sama seperti kalau Saudara bilang “di mana otakmu”, tentu artinya punya otak tapi tidak dipakai). Tuhan Yesus sedang mengatakan ‘kamu punya hal itu, untuk kamu dapat meresponi kebingungan-kebingungan dalam hidupmu; waktu kena badai, reaksimu tidak kembali ke Alkitab tapi engkau langsung mengatakan “Tuhan!! Engkau tidak peduli kalau kami binasa’. Jadi bagaimana? Tuhan Yesus mengatakan seperti ini: ‘Kamu berkata begitu kepada-Ku karena asumsimu “kalau Tuhan mengasihi aku, mengapa memberi yang jelek; kalau Tuhan mengasihi aku, maka aku tidak akan bingung terhadap Tuhan”. Sekarang Saya mengasihimu, dan Saya tetap memberi kepadamu badai; maka berarti asumsimu itu salah; jangan berdasarkan asumsimu, kembali ke Firman Tuhan, lihat apa yang terjadi dalam Firman Tuhan’. Waktu Saudara kembali ke Firman Tuhan, Saudara akan menyadari satu hal: bahwa Tuhan Yesus telah masuk ke satu badai, yang lebih besar dari badai-badai yang kita hadapi –badai murka Allah, badai maut—dan Dia tidak kabur, Dia bertahan bagi kita. Kalau Dia tidak meninggalkan saya dalam badai yang ultimat ini, mengapa saya berpikir Dia meninggalkan saya dalam badai yang kecil ini? Itulah kekuatan yang Alkitab bawa. Pertanyaannya, Saudara memeram Firman Tuhan dalam hati Saudara atau tidak.
Di penghujung tahun setelah Saudara melihat 2017 yang lewat, jangan mengatakan “Tuhan, mengapa Engkau memberikan kepadaku begitu banyak hal yang aneh-aneh”. Dan ketika Saudara berdoa bagi tahun yang akan datang, 2018, juga jangan berdoa seperti itu, jangan berdoa: “Tuhan, saya harap segala sesuatu di tahun 2018 berjalan sesuai kehendak saya, kalau bisa jangan ada hal-hal yang tidak dikehendaki, dsb.”, karena asumsi seperti itu salah. Ingatlah Firman Tuhan, berdoalah: “Tuhan, Engkau telah lebih dahulu mencempungkan diri-Mu ke dalam badai yang jauh lebih besar, jauh lebih mengerikan, maka kalau aku mengalami badai-badai dalam 2017 yang lewat, ingatkan aku bahwa Engkau tidak meninggalkanku dalam badai-badai yang kecil itu. Dan untuk 2018, jikalau ada radikalisasi yang lebih parah, kami harus dianiaya, jikalau kami harus mengalami kerugian ekonomi, men-jomblo lagi, istri atau suami menyeleweng, jikalau …, jikalau …, maka ingatkan kami bahwa Engkau tidak akan meninggalkan kami, orang-orang yang Engkau sudah bertahan bagi kami di badai yang jauh lebih besar”. Itulah doa orang Kristen; bukan doa aktif, bukan doa pasif, tapi doa yang responsif. Tuhan Yesus adalah figur yang membingungkan, terlebih lagi kepada mereka yang mengasihi Dia, tapi Dia adalah Allah yang sungguh berkomitmen total kepada engkau dan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading
