Kita melihat di zaman kita ini, keturunan tidak terlalu penting –setidaknya tidak sepenting zaman dulu. Saudara mungkin tidak ingat beberapa keturunan di atas Saudara; saya cuma ingat 2 generasi di atas saya, yaitu sampai ke nenek saya, lalu setelah itu siapa nama papa nenek saya, di mana lahirnya, saya tidak tahu. Begitulah, kita tidak terlalu peduli dengan urusan keturunan, karena keturunan tidak terlalu berdampak dalam hidup kita hari ini; entah saya dari marga Khek atau Hokkien, itu tidak terlalu masalah bagi saya. Tetapi akan sangat berbeda kalau Saudara tinggal di Timur Dekat Kuno pada zaman Abraham, karena keturunan sangat menentukan mati hidupnya kita, atau setidaknya menentukan bagian besar hidup kita. Dan itu sebabnya silsilah penting; Saudara dilahirkan dari suku apa, itu sangat penting. Kalau Saudara ingin jadi imam, tapi lahir dari suku Gad atau Zebulon, bukan suku Lewi, maka kuburkan mimpi itu, karena hanya orang suku Lewi yang bisa jadi imam, seperti halnya hanya suku Yehuda yang bisa jadi raja. Bukan hanya suku, urutan dalam keturunan juga penting. Anak sulung punya berkat sulung, double portion –itu sebabnya di pasal berikutnya tentang Esau dan Yakub, diceritakan Yakub menipu Esau untuk mendapatkan hak kesulungan –sedangkan bagi kita, sepertinya tidak terlalu penting untuk jadi anak sulung atau anak kedua, ketiga, dst.
Nilai hidup kita sekarang juga berbeda dari orang zaman dulu. Sekarang kita menilai orang, tinggi rendahnya dalam masyarakat, dari strata ekonominya –Saudara naik mobil apa, tinggalnya di daerah mana—sedangkan di zaman dulu, strata sosial masayarakat ditentukan dari berapa banyak anak yang Saudara punya. Kalau Saudara punya banyak keturunan, strata Saudara dalam masyarakat dianggap tinggi; sedangkan wanita yang mandul dianggap rendah –sampai-sampai Rahel berteriak minta mati kalau tidak punya anak. Jadi, tanda diberkati Tuhan adalah mempunyai banyak keturunan –berbeda dengan kita sekarang, yang kalau banyak keturunan dianggap beban berat, bukan tanda berkat. Itu sebabnya dalam bagian ini, kisah Abraham waktu Abraham mati ini ditutup dengan cerita tentang dia punya banyak keturunan. Dia punya banyak keturunan dari Ketura, banyak keturunan dari Ismael, menandakan bahwa Abraham orang yang diberkati Tuhan luar biasa.
Abraham punya banyak keturunan, menurut pengertian Timur Dekat Kuno merupakan tanda dia seorang yang diberkati Tuhan. Itu secara permukaan; tetapi di sini kita mau membahas bahwa keturunan punya 2 arti yang sangat penting. Pertama, keturunan memberikan identitas (sense of identity); identitas kita sangat ditentukan oleh keturunan. Yang kedua, keturunan memberikan tanggung jawab (purpose); tanggung jawab kita ditentukan oleh ‘kita dari keturunan mana’.
Keturunan punya kepentingan yang sangat besar kalau orangtua Saudara mewarisi sesuatu yang besar dan penting; kalau orangtua Saudara adalah pendiri dinasti politik, seperti Kennedy atau Soekarno, maka lahir dari dinasti politik ini berarti punya identitas –dan juga privilege—yang luar biasa besar. Atau kalau Saudara keturunan dari suatu dinasti business empire, misalnya Walmart, berarti identitas Saudara adalah penerus/ahli waris dari Walmart. Apalagi kalau yang diwariskan bukan cuma jabatan politik atau suatu bisnis tetapi kerajaan, dan kerajaan tersebut menantikan ahli waris takhtanya dari keturunan darah. Misalnya, kalau Saudara baca cerita Samkok, Liu Bei di situ sebenarnya miskin, tetapi dia bisa jadi jendral yang besar karena dia punya darah keturunan raja dinasti Han, sehingga meski miskin, dia bisa mendapat dukungan orang banyak. Jadi, punya darah keturunan ‘siapa’ itu penting sekali kalau bicara tentang takhta, tentang kepentingan yang besar, tentang warisan yang besar, tetapi masalahnya kita ‘kan tidak bisa pilih, Saudara tidak bisa memilih jadi keturunan Kennedy, Saudara tidak bisa memilih jadi orang Indonesia atau orang Korea.
Keturunan sangat penting karena keturunan menentukan identitas kita, tapi juga menentukan tanggung jawab (purpose) hidup kita. Misalnya, ada satu periode dalam Kerajaan Inggris ketika Raja Henry VIII tidak bisa punya keturunan dari istrinya, seorang putera yang akan meneruskan takhtanya, sehingga dia mau menikah lagi, tetapi tidak mendapat persetujuan dari Paus di Roma. Akhirnya, Henry VIII adalah memisahkan diri dari Roma Katolik dan mendirikan Gereja Anglikan. Ini semua berawal dari keinginan Henry VIII untuk memiliki keturunan seorang anak laki-laki, karena anak inilah yang nantinya akan meneruskan takhta. Jadi, si bayi ini sejak lahir purpose hidupnya sudah ditetapkan, dia tidak bisa bilang “saya suka menggambar, saya mau jadi seniman saja” atau “saya hobi musik, saya mau jadi pemain musik saja”; bayi ini sejak lahir sudah ditentukan arah hidupnya yaitu jadi penerus takhta Kerajaan Inggris, tidak punya pilihan lain.
Keturunan mempunyai purpose, dan Tuhan akan merestorasi dunia ini melalui ‘keturunan’; ketika janji Injil pertama kali diberikan, yang dikatakan adalah “keturunan wanita ini akan meremukkan kepala ular”. Adam dan Hawa berdosa, merusak rencana besar Tuhan, dan Tuhan berkata “Aku akan restorasi semua kegagalan yang kamu sebabkan ini, dengan keturunan wanita yang akan membalik segala kekacauan ini”. Dia seorang anak Adam. Tetapi bukan cuma anak Adam, kita melihat dalam progres sejarahnya anak Adam, anak Abraham, anak Daud; ketiga titel inilah yang nantinya akan mendefinisi juruselamat dunia. Maka tidak heran ketika Juruselamat itu muncul, dalam Injil Matius, Matius memulainya dengan silsilah: “Inilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham”. Lukas juga memulai Injil dengan silsilah, bahkan dia menariknya lebih panjang lagi; anak Daud, lalu anak Abraham, lalu anak Adam, dan paling ujungnya anak Allah.
Jadi, keturunan dari siapa, itu akan menentukan arah dan garis hidupmu, tanggung jawab dan panggilan hidupmu. Saudara lahir di Indonesia; apa ya, kira-kira panggilan hidup Saudara, kenapa ya, Saudara dilahirkan tahun 19-an dan di Indonesia? What’s the purpose? Kalau misalkan Saudara lahir di Somalia, cerita hidup Saudara akan jauh berbeda, mungkin purpose hidup Saudara sekedar surviving saja. Kita melihat, bukan hanya keturunan menentukan identitas dan menentukan purpose/tenggung jawab hidup kita, tapi identitas ini juga akan menentukan purpose hidup kita, sehingga kalau kita salah menangkap identitas, maka kita akan salah memakai hidup kita.
Mengenai identitas, kita sulit melihat signifikansi dari “anak Abraham” ini, karena ceritanya sudah jauh sekali dari hidup kita, tetapi ketika istilah ini pertama muncul, sebenarnya siapa sih Abraham? Dan Alkitab bukan hanya mencatat bahwa Dia “Allah Abraham” tapi selalu disandingkan dengan 3 nama –nama Abraham dan keturunannya– yaitu “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub”. Istilah ini pertama kali muncul di Kejadian 50, di penghujung hidup Yusuf; dan 3 nama ini sangat penting, menjadi motif besar dalam seluruh Alkitab, yaitu tentang sebutan “Allah Abraham”, “keturunan Abraham”. Dalam kitab Keluaran, pertama muncul ketika Musa dipanggil Tuhan dan Musa menjawab, “Ya, Tuhan, siapakah Engkau?”, lalu Allah berkata, “Aku adalah Aku; Aku sekarang mengutus engkau kembali kepada bangsa Israel untuk membebaskan mereka.” Lalu kata Musa, “Tapi Tuhan, kalau mereka tanya siapa nama-Mu, yang mengutus aku?” Maka jawab Tuhan, “Ini kaukatakan kepada orang Israel; ‘TUHAN (YHWH), Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu.’ Itulah nama-Ku selama-lamanya, dan itulah sebutan-Ku turun-temurun”.
Bagi kita, hal ini mungkin tidak terlalu berarti apa-apa, tapi kalau Saudara pikir lebih detail, betapa ini luar biasa; Allah alam semesta, sekarang mau dikenal nama-Nya dengan sebutan ‘Allah Abraham, Ishak, dan Yakub’! Dalam kehidupan modern sekarang ini biasanya yang kecil, dompleng nama kepada yang besar. Misalnya saya foto bersama Presiden Jokowi, biasanya saya akan cetak perbesar lalu pasang di ruang tamu, sehingga waktu Saudara datang ke rumah saya, Saudara lihat wuihhh… hebat banget! Tapi coba Saudara pikir, misalnya Saudara datang ke istana lalu mendapati Presiden Jokowi memasang foto dia bersama saya, Saudara tentu terkejut! Saudara tidak expect melihat foto itu, yang Saudara expect kalau datang ke Istana Negara, adalah melihat foto Pak Jokowi berjabat tangan dengan Presiden Putin atau Donald Trump misalnya, bukan dengan orang-orang yang namanya tidak jelas siapa. Inilah yang selalu kita lakukan; kita mendompleng nama orang besar. Sama juga, misalnya ada jemaat ditanya orang, “Kamu gerejanya di mana?” lalu dia jawab, “Saya gerejanya Stephen Tong!” Atau ketika seseorang mengatakan, “saya ini saudaranya milyuner A”, “saya ini saudaranya Zuckerberg”, langsung pandangan kita terhadap dia agak beda; sedangkan Donald Trump atau Zuckerberg tidak akan bilang-bilang “saya ini sepupunya si itu lho”.
Kita yang kecil mendompleng kepada yang besar, sedangkan yang besar tidak mau dihubungkan dengan yang kecil-kecil. Tetapi ketika Allah alam semesta mau dikenal nama-Nya, yang mustinya dengan “Akulah Allah petir!” atau “Akulah penguasa laut, tujuh lautan dan tujuh samudra!” atau “Akulah penguasa Jupiter!”, ternyata tidak; ketika Dia memperkenalkan diri-Nya, Dia mengatakan, “Saya Allah Abraham, Ishak, dan Yakub”. Betapa luar biasa. Ini seharusnya memberikan identitas yang besar sekali bagi bangsa Israel yang waktu itu cuma budak. Mereka cuma orang-orang budak! Misalnya Saudara bayangkan Musa datang menyapa orang Israel, “Kalian sedang apa?” Dijawab, “Sedang pasang batu”. Lalu ditanya “Papa kamu?”, dijawab, “Tukang batu”. Ditanya lagi, “Kakek kamu?”, dijawab, “Tukang batu”. Kemudian ditanya lagi, “Nanti anakmu jadi apa?”, dijawab, “Tukang batu”. Jadi, apa identitasmu? Tukang batu di Mesir. Itu saja identitasnya. Selama 400 tahun, mereka hanya tahu dirinya tukang batu di Mesir, tapi Musa berkata, “Engkau adalah bangsa Israel; dan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub sekarang memanggil kamu untuk keluar, dan engkau bukan lagi milik Firaun tapi akan menjadi milik kepunyaan TUHAN, Allah yang disembah nenek moyangmu.” Ini mustinya jadi satu kehormatan besar. Allah-allah Mesir hebat-hebat, tetapi Tuhan Allah alam semesta ini menunjukkan kuasa-Nya lebih besar lagi –dengan 10 tulah, semua dewa-dewa Mesir dilibas habis– dan sekarang Saudara jadi milik kepunyaan-Nya, Allah Yahweh yang luar biasa hebat, yang membuat orang Kanaan sampai terkencing-kencing mendengar kehebatan nama-Nya.
Ternyata, nama yang begitu besar ini identik dengan nama Tuhan. Bukan hanya itu, nama Tuhan ini identik dengan janji Tuhan. Suatu hari, bangsa Israel mbalelo, tidak taat kepada Tuhan, mereka menyembah dewa-dewa Mesir, hati mereka terpikat lagi kepada dewa-dewa Mesir, mereka bingung dengan Allah yang tidak kelihatan dan ingin allah yang kelihatan perkasa seperti lembu dan mulia seperti emas berkilauan. Sedangkan Allah yang tidak kelihatan, yang diwakilkan oleh Musa yang sudah tua itu?? Di masa-masa seperti itu, ketika mereka lupa panggilan mereka, lupa identitas mereka, lalu mereka menyembah lembu emas dan Tuhan marah, Musa harus bersyafaat, membujuk Tuhan. Bagaimana caranya? Apakah dengan bilang ‘sudahlah, mereka memang goblok-goblok, ‘gak ngerti, tukang batu, IQ-nya rendah’? Tidak. Musa membujuk Allah dengan mengatakan, “Oh, TUHAN, ingatlah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub; ingatlah janji-Mu kepada mereka. Engkau sudah bersumpah demi diri-Mu sendiri dan berfirman kepada mereka: ‘Aku akan membuat keturunanmu sebanyak bintang di langit, dan seluruh negeri yang Kujanjikan ini akan Kuberikan kepada keturunanmu’ “. Dan itulah yang Tuhan lakukan. Tuhan ingat akan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub sepanjang generasi. Ketika mereka masuk Kanaan dan mulai melupakan Tuhan lagi, Tuhan hukum dan Tuhan ingatkan lagi, “kamu bangsa kepunyaan TUHAN”. Waktu lupa lagi, dibuang sampai ke Babilonia lalu dikembalikan lagi, Tuhan tetap sayang. Tuhan sampai-sampai berkata, “Oh, Israel, Aku terus-menerus ingin mengambil engkau; kalau seorang ibu bisa lupa bayinya, masakan Aku melupakan engkau? Aku tidak akan melupakan engkau, Israel”. Artinya, ‘identitasmu itu firmed, Tuhan tidak akan buang kamu, kamu milik-Ku; kamu dihukum tapi tidak akan dibuang’. Inilah identitas yang luar biasa besar, identitas yang sangat dikaitkan dengan nama Tuhan, janji Tuhan.
Mengapa penting sekali identitas ‘Abraham, Ishak, dan Yakub’ ini? Karena Tuhan memberikan purpose yang tidak kalah penting, purpose yang bukan hanya seperti soal keturunan Kerajaan Inggris. Keturunan Abraham jauh lebih penting daripada keturunan raja Inggris manapun, keturunan Abraham lebih penting daripada business empire manapun, karena keturunan Abraham mempunyai tujuan yang amat sangat penting, yaitu merestorasi seluruh dunia.
Kalau Saudara baca kitab Kejadian, ada 50 pasal, dibagi menjadi 2 bagian besar. Pasal 1-11 menceritakan tentang sejarah dunia; Tuhan menciptakan dunia, lalu dunia jatuh, dunia disapu bersih oleh air bah, dunia mencoba bersatu mencapai Tuhan dengan Menara Babel, tapi kemudian Tuhan memilih Abraham. Berikutnya pasal 12-50 adalah tentang satu keluarga, yaitu Abraham, Ishak, Yakub, dan Yusuf. Bagian ini berbicara jauh lebih panjang dibandingkan penciptaan alam semesta dan kisah seluruh dunia. Dengan demikian kita melihat Tuhan bilang ‘Menara Babel? kamu mencoba mencari Tuhan dengan caramu sendiri? Tidak, bukan dengan itu. Aku akan mulai dengan inisiatif-Ku’. Bagaimana inisiatif-Nya? ‘Aku akan panggil seorang manusia dan keluarganya; Aku akan mulai dari nol dengan Abraham dan keturunannya’. Lalu Tuhan bilang kepada Abraham: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. … dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”. Coba Saudara tanya, siapa di antara kita di sini, satu orang yang bisa menjadi berkat bagi seluruh bangsa, bagi semua orang di dunia? Saya percaya, kalau Bill Gates menjual semua hartanya pun lalu dibagikan, waktu sampai ke semua orang di dunia, akhirnya kita paling cuma dapat recehan. Tetapi dikatakan kepada Abraham: “memberkati seluruh dunia”! Itu sebabnya Abraham penting sekali, karena keturunan dari Abraham ini yang akan menjadi pengharapan bagi seluruh dunia.
Ini seperti misalnya vaksin pandemi yang melanda dunia kita sekarang hanya ada di dalam darah satu orang ini; jadi, kalau darah satu orang ini bisa menyembuhkan semua orang, maka Saudara akan rawat dia baik-baik, karena seluruh tumpuan harapan restorasi dunia ada pada keturunan ini. Di sini Saudara bisa mulai mengerti waktu membaca Alkitab, mengapa ketika Abraham datang ke Mesir lalu Sara diambil, Tuhan pun turun tangan menyelamatkan Sara. Demikian juga waktu Abraham pergi kepada Abimelekh lalu Sara diambil Abimelekh, Tuhan juga turun tangan. Alasannya, karena “proyek keturunan Abraham” ini tidak boleh gagal. Dan waktu Abraham berkilah, “Ah, tidak mungkinlah, Tuhan, istriku Sara itu sudah berumur 90 tahun, tidak bisa melahirkan anak lagi, kiranya Ismael diperkenan di hadapan-Mu”, Tuhan berkata, “Tidak, melainkan lewat keturunan Sara. Dia akan melahirkan anak dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya.” Jadi bukan anak-anak Abraham yang lain, bukan Ismael melainkan Ishak, karena identitas tersebut akan dibangun di atas Ishak.
Lalu pertanyaannya, mengapa Kejadian 25 yang kita baca tadi tidak berakhir di ayat 11, “Setelah Abraham mati, Allah memberkati Ishak, anaknya itu; dan Ishak diam dekat sumur Lahai-Roi”, lalu selesai? Di Kejadian 25 ini, siklusnya Abraham sebelum masuk ke siklusnya Ishak dilanjutkan dengan “keturunan Ismael”, mengapa? Mengapa konklusi hidup Abraham ending-nya adalah keturunan Ismael? Mengapa bukan keturunan Ishak, anak perjanjian itu? Kita bisa mengatakan seperti ini: Ishak mewakili identitas, anak perjanjian; seluruh janji Tuhan akan digenapi di dalam Ishak, namun panggilan Tuhan kepada Abraham tidak berhenti pada Abraham menjadi orang yang spesial lalu Abraham-Ishak-Yakub menjadi bangsa yang spesial saja, tetapi spesial untuk menjadi berkat bagi seluruh bangsa. Jadi, kalau Ishak mewakili identitas, Ismael mewakili purpose, karena inilah ending point-nya Israel jadi bangsa pilihan, yaitu untuk menjadi berkat bagi seluruh bangsa. Ini sekali lagi menegaskan purpose-nya Tuhan, bahwa Ishak dipilih/dipanggil untuk jadi bangsa pilihan, tapi pilihan untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain –yang di sini diwakilkan oleh Ismael. Jadi ketika cerita kematian Abraham ditutup dengan silsilah Ismael, seakan-akan Allah mau bilang bahwa Allah memberkati Ishak tapi juga memberkati Ismael, karena tujuan Ishak –dan semuanya itu— ada, adalah restorasi seluruh dunia, restorasi agar bangsa-bangsa lain boleh mengenal Tuhan.
Identitas menentukan purpose; kalau kita salah mengerti identitas, maka kita juga akan salah mengejar purpose kita. Keturunan Abraham yang begitu mulia, mempunyai tujuan yang begitu besar yaitu restorasi seluruh dunia. Tetapi nantinya, ketika bangsa Yahudi di zaman Tuhan Yesus menurunkan identitas tersebut, dan identitas tersebut melekat pada diri mereka, mereka lupa mengapa mereka menjadi bangsa yang spesial. Mereka hanya tahu bahwa diri mereka spesial karena Tuhan selalu bela mereka, mereka jadi keturunan Abraham secara etnis, secara politis. Tapi mereka lupa bahwa mereka jadi keturunan Abraham adalah untuk menjadi berkat bagi bangsa lain. Akhirnya, mereka hanya ingat superioritas dirinya, melihat bangsa-bangsa lain sebagai orang kafir, bahkan anjing! Dan mereka juga melihat orang-orang Yahudi lainnya yang tidak sesuai takaran ritual, tradisi, kesucian hidup, seperti para pemungut cukai, wanita pelacur, sebagai orang-orang rendahan. Apalagi orang Samaria yang blasteran, bagi mereka itu adalah orang-orang yang ‘gak level, sepatutnya masuk neraka! Jadi, kita melihat bahwa mereka ini tahu identitasnya –bangsa yang spesial—tapi salah meresepsinya. Mereka tidak merasa seperti ini: ‘saya anak Abraham karena saya punya nama Tuhan, janji Tuhan’; yang mereka ingat adalah ‘saya keturunan Abraham, karena saya keturunan suku ini dan itu’.
Saya rasa kita semua tidak kebal dari hal seperti ini. Saya coba tarik ke aplikasi modern kita. Mereka melihat bangsa lain itu anjing, lebih rendah, dsb.; sekarang ini di Amerika sedang heboh “black lives matter”, rasisme besar antara kulit putih dan kulit hitam. Mungkin kita menganggap di sini tidak ada masalah seperti itu, tetapi selama ratusan tahun kita juga dicekoki rasisme ala Indonesia, kolonialisme yang sudah sejak dulu. Di masyarakat kita seakan ada 3 tingkatan; yang paling atas orang Eropa atau yang kita sebut “bule”, yang kedua Chinese, ketiga pribumi. Ini secara tidak langsung mendarah daging di dalam diri, baik kita dari Jawa, Sunda, Chinese, ataupun punya darah bule, meski kita bilang kita menganggap semua sama. Saya pernah melihat di koran, berita tentang bule mengemis; mengapa sampai masuk koran? Karena bagi kita –di Indonesia—yang namanya bule tidak sepantasnya jadi pengemis, bule sepantasnya jadi artis atau bos besar atau lainnya. Contoh lain, Saudara terganggu tidak kalau pembantu rumah tangga saya orang Belanda atau Cekoslowakia? Mungkin Saudara bilang, “Gila, keren banget! Pembantu Pak Heru bule, lho!!” Inilah, kita secara tidak langsung, sadar tidak sadar, dalam diri kita terbentuk ini juga; dan bukan karena kita Kristen maka kita pasti kebal dari hal itu. Ada satu pasangan yang sama-sama Kristen tapi beda ras, yang wanita Chinese, dan prianya Ambon. Mereka ingin menikah tapi orangtuanya keberatan. Orangtua ini telpon saya, minta supaya saya nasehati anaknya supaya hubungan mereka jangan dilanjutkan. Waktu saya tanya, apakah karena orangnya kasar? Tidak. Teologinya sesat? Tidak, bahkan sama-sama Reformed dan pelayanan. Apakah tidak hormat sama orangtua? Tidak juga. Akhirnya si ibu bilang alasannya karena keluarga besar Chinese susah menerima. Tapi apa alasannya? Setelah putar-putar dan putar-putar, intinya: walaupun dia Kristen, walaupun dia Reformed, mereka tidak bisa terima, karena ada identitas yang lebih mendasar daripada iman Kristennya, yaitu ke-Chinese-annya yang tidak boleh ditawar-tawar; sedangkan kalau soal iman, Kristen, Reformed, itu masih boleh ditawar. Jadi ada identitas yang lebih mendasar daripada iman; apa-apaan ini? Bagi orangtua ini, etnisitas menempati posisi yang lebih tinggi dalam hidupnya; dia lebih mencari hormat yang dari keluarga besarnya dibandingkan hormat dari Tuhan. Jadi bukan hanya orang Amerika yang mengalami rasisme, kita juga. Saya mengatakan ini karena saya punya pengalaman dalam relasi Chinese-non Chinese, tapi saya percaya di ras-ras yang lain juga punya prasangka-prasangka semacam ini juga.
Orang-orang Yahudi melihat dirinya bangsa yang paling tinggi, bangsa pilihan Allah, sementara yang lain itu bangsa-bangsa yang masuk neraka. Kalau begitu, apa tujuannya jadi bangsa yang spesial? Bagi mereka: ‘kami harus berkuasa, kami –bukan menjadi berkat bagi banyak bangsa—akan menaklukkan bangsa-bangsa yang lain seperti di dalam kejayaan kerajaan Salomo.’ Jadi, ketika seseorang salah intepretasi identitasnya, tujuan hidup juga akan bergeser. Karena itu, tidak bisa tidak ketika Yesus, Juruselamat itu, datang, Dia harus datang dalam identitas pewaris yang asli, yaitu ‘Saya Anak Abraham, Anak Daud, yang akan merestorasi apa yang Israel gagal lakukan’. Pemimpin-pemimpin agama, orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat pandai memainkan politik identitas, membuat kebanggaan atas identitas tapi tidak menjalankan fungsinya. Identitasnya dibangun setinggi mungkin tapi tidak ada fungsi baiknya. Misalnya identitas “saya Reformed”, tapi bagaimana Saudara menunjukkan itu?
Itu sebabnya ketika Tuhan Yesus datang, Dia menjungkirbalikkan semua itu, ‘Saya akan bongkar politik identitasmu’. Bahkan sebelum Tuhan Yesus datang, pembuka jalan-Nya pun membongkar identitas tersebut. Ketika Yohanes Pembaptis mengabarkan “bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat”, orang-orang Farisi dan Saduki datang; dan kepada mereka Yohanes Pembaptis juga mengatakan “kamu harus bertobat!” Dia melanjutkan, “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” (Mat. 3:9). Artinya, jangan pikir kalau kamu anak Abraham maka kamu bebas, tidak usah bertobat. Di sini Yohanes Pembaptis mau mengatakan bahwa ini adalah petunjuk (hint) awal bahwa keturunan Abraham tidak didefinisi dari keturunan secara etnis doang, tapi ditandai dengan orang-orang yang menghasilkan buah sesuai pertobatan; kalau menghasilkan buah dengan pertobatan, itulah baru yang disebut ‘anak Abraham’. Sama juga dengan kita, kita tidak bisa bilang bahwa diri kita orang Kristen hanya dengan sekedar pakai kalung salib, sekedar sudah dibaptis, sekedar beribadah di gereja ini atau itu. Jadi yang pertama, membongkar identitas politik ‘anak Abraham’ dengan bertobat.
Yang kedua, Tuhan Yesus suatu kali tonjok lebih keras lagi. Ketika itu ada seorang perwira datang dan berkata, “Tuhan, saya punya hamba yang sudah hampir mati. Bisakah Engkau datang menyembuhkan?” Tuhan Yesus bilang, “Oke, mari kita datang.” Tapi perwira itu berkata, “jangan, Tuhan, saya tidak layak menerima Engkau. Kamu katakan sepatah kata saja maka hambaku itu akan sembuh, sama seperti saya katakan sepatah kata pada prajurit-prajurit dan dia langsung jalan.” Perwira ini seakan-akan berkata ‘Kamu punya otoritas akan penyakit dan kematian, Kamu bilang saja maka penyakit akan pergi, sama seprti bawahan saya, saya suruh pergi’. Setelah mendengar perkataan perwira itu, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku belum pernah ketemu iman sebesar ini di kalangan Israel”, yaitu yang mengerti otoritas Tuhan. Sedangkan para pemimpin agama, kalau bertemu Yesus, mereka tanya “siapa memberi Engkau otoritas untuk mengajar?” –selalu mempertanyakan otoritas Tuhan; bukan karena tidak tahu, tapi karena mereka menolak otoritas Tuhan. Dan Tuhan Yesus mengatakan, “I tell you, suatu saat orang-orang dari utara selatan, barat timur, akan berkumpul, duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak, Yakub –demikian perwira ini, yang kamu pikir anjing Romawi tidak ada harganya, suatu saat akan makan bersama Abraham, Ishak, Yakub. Sedangkan kamu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, dan di sanalah terdapat ratapan dan kertak gigi”. Jadi di sini Yohanes mengatakan “kamu perlu bertobat kalau kamu anak Abraham”, tapi Tuhan Yesus lebih lagi, mengatakan “kamu mungkin bukan anak Abraham”, karena anak Abraham adalah mereka ini, yang mengerti otoritas Tuhan Yesus. Kita mungkin juga suatu saat terbingung-bingung seperti orang-orang Israel itu, ketika di Kerajaan Surga kita melihat orang-orang yang kita pikir ‘gak mungkinlah dia bertobat, dia ajaran sesat, dsb. Di sisi lain, kita mungkin terbingung-bingung, ‘bapak penatua yang 10 itu koq cuma 9, satunya lagi ke mana, ya’, dsb.
Di saat lain, ketika Tuhan Yesus berdebat besar dengan pemimpin-pemimpin agama (Yoh. 8:39, 44), mereka mengatakan “bapa kami Abraham!” Lalu Tuhan Yesus bilang, “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku … Saya kasih tahu, Iblislah yang menjadi bapamu”. Yang pertama tadi: ‘kamu anak Abraham, kamu perlu bertobat’. Yang kedua: ‘kamu mungkin bukan anak Abraham’. Dan yang ketiga, yang paling besar: ‘kamu bukan anak Abraham, kamu anak Iblis, karena kelakuanmu bukan mencerminkan yang dilakukan Abraham, kelakuanmu mencerminkan yang dilakukan Iblis, yaitu ingin membunuh Aku’. Dan respon orang-orang Yahudi saat itu, mengambil batu untuk melempari Dia. Saya rasa, ada banyak orang Krsiten yang akan sangat tersinggung kalau suatu saat dibilang ‘kamu bukan orang Kristen, kelakuanmu kayak orang kafir, orang agama lainpun lebih baik daripada kamu. Jangan banyak bicara tentang identitasmu, bahwa kamu itu pelayanan, tahu teologi ini dan itu, tapi waktu ditanya kepada pembantu-pembantu atau pegawai-pegawaimu, yang kamu lakukan tidak manusiawi, menahan gaji mereka, tidak adil; bagaimana kamu bisa berkata dirimu anak Abraham tapi kelakuanmu sama sekali tidak mencerminkan anak Abraham?’ Kira-kira itulah perkataan yang membuat orang Yahudi begitu marah dan ingin melempari Tuhan Yesus.
“Kamu bilang kamu anak Abraham? Kamu itu anak setan”. Selesai sampai di sini? Tidak. Masih ada satu lagi yang final, ketika nantinya Tuhan Yesus harus masuk ke Yerusalem, lalu naik ke kayu salib. Hal apa yang membuat Dia mutlak harus naik ke kayu salib? Ketika masuk Yerusalem, Dia datang ke jantung liturginya orang Yahudi, bait Allah. Apa yang Dia lakukan di sana? Dia membalik-balikkan meja! Mengapa? Karena ini mengingatkan purpose-nya bait Allah, yaitu untuk semua bangsa datang beribadah kepada Allah Yahweh. Waktu Tuhan Yesus membalik-balikkan meja, itu bukan karena masalah ekonomi seperti soal rate tukar uang yang 20x lebih mahal dsb. Seperti Saudara tahu, di situ ada Ruang Mahakudus yang paling kecil, lalu berikutnya yang lebih besar adalah Ruang Kudus, lalu yang disebut Bait Allah, dan yang lebih besar lagi yaitu pelataran bait Allah yang dalam bahasa Inggris disebut court of the gentiles. Pelataran ini mengelilingi bait Allah, tempat untuk orang-orang non-Yahudi (gentiles) yang mau beribadah kepada TUHAN; dan pelataran ini oleh pemimpin-pemimpin agama dijadikan tempat berdagang, seakan-akan ‘kami tidak mau gentiles datang beribadah kepada TUHAN, yang kami mau orang-orang yang berjualan dan memberikan profit bagi kami’. Itulah yang bikin Tuhan Yesus begitu marah, “kamu ini anak Abraham, dan bait Allah ini harusnya membuat orang beribadah kepada TUHAN, tapi kamu usir mereka!” –panggilanmu adalah untuk menjadi berkat, tapi yang kamu lakukan justru mengusir mereka semua sehingga tidak beribadah kepada TUHAN, dan kamu masih mau bilang kalian ini anak Abraham?? Di sini kita bisa melihat kemarahan Tuhan Yesus; mereka ini memiliki identitas, mengaku anak Abraham, tapi tidak menjalankan.
Kalau kita tarik ke dalam konteks kita sekarang, kita orang Kristen, apa yang kita lakukan? apa yang kita jalani? Kita mengatakan “mari percaya kepada Tuhan Yesus”, setelah itu, “saya percaya kepada Tuhan Yesus supaya masuk surga” –bolak-balik kepada diri, supaya mendapat kenikmatan, mendapat privilege. Bukan demikian, Saudara. Yang berulang-ulang Tuhan Yesus katakan dalam konteks ‘anak Abraham’ adalah bahwa anak Abraham itu punya identitas umat Allah, yang memiliki nama Allah dan janji Allah, tapi bukan hanya spesial untuk dirinya sendiri saja, melainkan punya tanggung jawab yang begitu besar untuk merestorasi seluruh dunia. Jadi, mengapa Saudara Kristen? Apa yang menjadi identitas kita?
Waktu Tuhan Yesus memanggil orang-orang untuk mengikut Dia, satu hal yang Dia katakan adalah “sangkal diri dan ikutlah Aku”. Sangkal diri bukan berarti kita ganti nama; waktu Tuhan Yesus memanggil kita untuk sangkal diri, itu berarti jangan sampai ada identitas dirimu yang lain, yang lebih besar daripada sebagai pengikut Yesus itu. Apakah itu? Suku, ras, hobi, bisnis, finance, dan lain-lain. Coba kita pikir, apa identitas kita yang paling mendalam? Apa yang membuat kita sampai bisa mengatakan ‘saya rela melepas itu semua demi ikut Kristus’? Atau, adakah satu hal/identitas yang sangat mendalam yang kita tidak mau lepas? Saya setiap malam biasanya waktu anak-anak tidur, setelah sepanjang siang mereka buat kekacauan, saya datangi satu per satu, saya doakan dan saya cium mereka. Lalu suatu malam ketika melakukan itu, tiba-tiba ada suara dalam hati yang mengatakan, “Tuhan, jangan ambil anak-anak saya, ya; kalau Tuhan sampai ambil, our relationship is over”. Saya langsung kaget, saya sudah memberhalakan anak-anak sampai terbersit kalimat itu. Kita tahu ada satu lagu yang diciptakan seorang yang kehilangan anak-anaknya, tapi setelah kejadian tadi, saya merasa sulit menyanyikan lagu itu. Apa benar kalau Tuhan ambil anak-anak saya sekaligus, misalnya dalam kecelakaan, saya masih bisa benar-benar menyembah Tuhan?? Atau saya akan berkata kepada Tuhan, “It’s over, God … it’s over!”
Hal apa yang Saudara katakan dalam hati Saudara, yang kalau Tuhan ambil hal tersebut, berarti ‘it’s over God, no more; I’m not coming back to the Church, saya tidak akan kembali ke Gereja!’ ? Atau bukan Allah mengambil, tapi ‘kalau Allah ‘gak kasih ini, sudah, saya tidak akan capek-capek lagi beribadah, berdoa; saya sudah tunggu berpuluh-puluh tahun berdoa, Tuhan tetap ‘gak kasih, it’s over God!’ Kalau seperti itu, berarti kita bukan anak-anak Abraham, karena Abraham melakukannya, dia melepaskan negaranya, dia melepaskan keluarganya, dia melepaskan comfort-nya, dari Ur Kasdim, untuk datang menjadi pengikut Allah Yahweh. Dan dia disuruh tunggu 25 tahun untuk mendapat Ishak. Setelah dapat, disuruh mempersembahkan. Tuhan tidak mau Abraham membangun indentitasnya di atas Ishak; dan Abraham taat. Inilah identitas sebagai anak Abraham. Lalu ketika dia mempersembahkan Ishak, Tuhan bilang, “No; cukup, Abraham”. Tetapi Allah ini, yang mau mengikat kovenannya dengan Abraham, yang mau diri-Nya dikenal sebagai Allah Abraham-Ishak-Yakub, Dia berkata kepada kita di Yoh. 3:16 : “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tetapi hidup kekal itu bukan hanya untuk kita, melainkan untuk terus kita bagikan kepada yang lain dengan menyangkal diri. Untuk apa? Untuk merestorasi dunia.
Viktor Frankl, seseorang yang selamat dari kamar gasnya Hitler di Auschwitz, menulis buku berjudul “Man’s Search for Meaning”. Ada satu kutipan yang menarik di situ, dia bilang: ‘orang yang tidak punya sense of meaning, yang tidak tahu hidupnya untuk apa, dia tidak punya kekuatan untuk menjalani hidup; tetapi orang yang tahu hidupnya untuk apa, maka kesulitan apapun dia akan bertahan untuk terus mencapai arti/meaning itu’. Meaning yang dimaksud bukan soal profesi atau semacamnya, karena mereka itu sedang dibawa ke gamar gas dan besok selamat atau tidak selamat itu tidak ada hubungan dengan mau jadi profesi apa; yang dia katakan di sini adalah stop asking the meaning of life, yang harus kamu lakukan adalah menjawab kepada hidup yang terus datang itu, bagaimana engkau berespons terhadap hidup itu, apakah engkau menjawabnya dengan jawaban yang tepat, sikap yang tepat, atau kamu tidak berkata kepada hidup itu. Ketika itu banyak sekali orang yang kehilangan pengharapan; tadinya berharap Natal dibebaskan dan bisa pulang kembali tapi ternyata tidak, masih tetap di kamp Hitler, dan akhirnya mereka lupa arti hidupnya. Viktor sendiri, sebagai psikolog punya pengharapan menolong sebanyak mungkin orang di kamp konsentrasi itu; dan dia mendapatkan arti hidupnya dengan menolong orang lain itu.
Sama juga dengan kita di sini, kita tidak bisa menjawab identitas Kristen kita dengan ‘saya Kristen karena saya di gereja ini atau itu’; di sini Tuhan Yesus bilang “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku” (Yoh. 8: 39-40). Jadi, identitas kita sangat didefinisikan dengan apa yang kita lakukan, apa yang jadi respon kita di dalam ketaatan mengikut Yesus, dan yang mungkin sangat sederhana. Tuhan mungkin tidak menyuruh kamu bikin vaksin yang bisa membuat seluruh dunia sembuh, tetapi mungkin ada orang-orang yang Tuhan percayakan kepadamu. Mertua, orangtua, anak, pegawai-pegawai, yang Tuhan titipkan –yang bahkan seorang Donald Trump pun tidak punya kuasa untuk jadi berkat bagi mereka—untuk Saudara menjadi berkat bagi mereka. Saya rasa, inilah yang bisa kita gumulkan; apa panggilan saya untuk jadi berkat bagi seluruh bangsa, restorasi bagi seluruh dunia, di dalam konteks saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading