Yohanes 13 ini bicara tentang pelayanan sebagaimana sudah kita bahas dalam bagian yang pertama, dan sekarang masuk ke bagian kedua, yaitu pasal 13: 12-20. Waktu kita merenungkan bagian ini, Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya, satu hal yang seringkali ditanyakan adalah: perlukah kita melakukan ritual seperti ini? Ada Gereja yang melakukan ritual pembasuhan kaki seperti ini, ada Gereja yang tidak terlalu melakukannya, ada juga Gereja yang tidak melakukan tapi dalam retreat mereka melakukan, sementara kita baik dalam retreat maupun juga dalam ibadah tidak melakukannya. Ini selalu menjadi pertanyaan-pertanyaan. Tapi kalau kita merenungkan bagian Firman Tuhan ini, kita bisa mendapati bahwa yang dilakukan Yesus dengan membasuh kaki murid-murid-Nya ini merupakan satu tindakan simbolis, ini bukan sakramen, ini tidak menunjuk kepada ritual baptisan. Ini satu tindakan simbolis yang menuju pada tindakan pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, yang digambarkan begitu jelas di depan mata sehingga orang bisa melihatnya. Kita tidak menghakimi orang-orang yang melakukan praktek ini, dan tidak perlu sinis juga; kalau ada Gereja yang melakukannya, itu keputusan mereka. Dalam hal ini, bagi kita yang lebih penting adalah menghayati artinya.
Ayat 12, Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Ini menunjukkan setting-nya adalah makan bersama; Yesus kembali ke tempat-Nya yaitu kembali ke meja yang di situ ada makanan. Dalam Injil Sinoptik, tidak ada satu pun yang mengaitkan cerita Yesus makan bersama dengan murid-murid-Nya ini dan pembasuhan kaki. Bagian ini cuma ada dalam Injil Yohanes, menggabungkan cerita pengkhianatan Yudas, perjamuan makan bersama, dan pembasuhan kaki, maka bagian ini termasuk profil teologi Yohanes yang sangat penting. Dikatakan bahwa Yesus kembali ke tempat-Nya, maksudnya kembali ke meja makan, dan Dia makan bersama dengan murid-murid-Nya; ini bicara tentang table fellowship, koinonia, persekutuan meja –yang di dalamnya termasuk juga Yudas.
Di dalam bagian ini Yesus mengantisipasi dengan realistis, waktu Dia menanyakan, “"Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?” bahwa seringkali yang diperbuat Tuhan dalam hidup kita, kita tidak langsung mengerti. Inilah bagian dari pemuridan yang realistis, bukan pemuridan yang idealistis. Kita yang mengajar/menjadi guru, musti siap bahwa apa yang kita lakukan belum bisa dimengerti. Seorang pengajar yang tidak bisa bersabar, maunya setiap kali yang dia katakan selalu dimengerti, dia belum bisa menjadi pengajar. Ini bagian yang kita harus terus belajar. Sebagai pengajar, sebagai guru, sebagai orang yang memuridkan, kita menanti orang yang kita muridkan itu untuk jadi mengerti; sedangkan dari sisi orang yang belajar, kita musti punya kerendahan hati bahwa kita belum mengerti. Saya percaya, salah satu halangan dalam pemuridan adalah guru/pengajar yang tidak sabar, yang idealistis; halangan berikutnya adalah murid yang tidak rendah hati, yang sok tahu. Menjadi kesulitan dalam pemuridan ketika kita tidak mau lagi belajar, kita merasa sudah cukup, kita merasa sudah waktunya untuk mengajar orang lain.
Istilah “pemuridan” mengasumsikan ada guru dan ada murid; dalam bagian ini yang disebut “Guru” yaitu Tuhan Yesus, sedangkan kita semua adalah murid, orang yang masih belum selesai belajar. Saya mengutip kalimat Spurgeon: “Kalau Tuhan masih memberikan umur kepada saya 25 tahun lagi, saya akan pakai 20 tahun untuk belajar, dan 5 tahun untuk melayani” (yang pasti kalimat itu bukan dikatakan waktu dia baru 1 tahun melayani melainkan sudah cukup lama melayani, dan umurnya sudah cukup lanjut). Jadi menurut kalkulasinya Spurgeon 4:1; Spurgeon belajar 4 tahun dan habis dalam 1 tahun. Tetapi kita ini para penganut idealisme, maunya belajar 1 kalimat lalu bisa mengajar 4 kalimat, sekolah 1 tahun berharap bisa mengajar 14 tahun, bahkan lebih panjang lagi. Hal ini bukan cuma benar dalam hal sekolah teologi, tapi juga benar untuk bidang apapun, kalau Saudara berhenti belajar, Saudara mandek. Dalam Kekristenan, kita tidak bisa berhenti bertumbuh. Orang berhenti bertumbuh karena dia berhenti jadi murid.
Mengulang kotbah Minggu lalu, Petrus itu banyak sekali bicara, dia ngomong dan ngomong banyak sekali. Dia berkata "Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?" (ayat 6), lalu setelah dijawab Yesus, dia bilang lagi, "Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya" (ayat 8); lalu Yesus jawab lagi, dan dia bilang, "Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!" (ayat 9), kemudian Yesus jawab lagi dan jawab lagi. Perkataan-perkataan Petrus ini sebetulnya ada atau tidak ada, juga tidak terlalu mengajarkan apa-apa kepada kita. Kalaupun toh mengajarkan, itu mengajarkan satu hal, yaitu jangan bicara terlalu banyak. Petrus bicara dan bicara terus, tapi tidak ada artinya, cuma kalimat-kalimat meaningless, yang intinya cuma satu: dia tidak mengerti. Kita ini seringkali banyak bicara dan banyak bicara, tapi intinya cuma satu: tidak mengerti. Itu saja. Dan Yesus sabar. Dalam hal ini semua pengajar musti belajar dari Yesus Kristus. Yesus tahu mereka memang tidak mengerti, maka Dia mengatakan kalimat ini: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”
Lalu Dia melanjutkan (ayat 13): “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” Yesus memosisikan diri sebagai Guru, sebagai Tuhan.
Kalau Yesus menempatkan diri-Nya sebagai Guru, berarti Saudara dan saya adalah murid. Ini pemahaman yang sederhana. Kita bukan di posisi ‘guru’. Dalam Surat Yakobus dikatakan, “Jangan banyak di antara kamu yang mau menjadi guru”, ini memang satu panggilan yang menakutkan. Gereja tidak bisa tidak ada fungsi/jabatan ‘pengajar’, harus ada orang-orang yang mengajar, yang memuridkan. Tapi jangan lupa, termasuk juga orang-orang yang memuridkan itu, mereka harus selalu dimuridkan oleh Tuhan; kalau dia berhenti dimuridkan oleh Tuhan, ya, sudah, berarti dia berhenti. Dan dia berhenti memuridkan orang lain juga.
Memuridkan itu sepanjang hidup. Kita tidak percaya ada saatnya kita dimuridkan –misalnya 50 tahun pertama—kemudian sisanya kita tidak perlu dimuridkan lagi. Itu bukan gambaran Kristen. Kita tidak terlalu sependapat dengan peribahasa “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, yang dipahami dalam pengertian dualistis, misalnya sampai umur sekian kerja keras dulu, lalu berikutnya baru menikmati hidup. Itu tidak ada; yang ada adalah Saudara bekerja-istirahat, bekerja-istirahat, bekerja-istirahat, dan seterusnya. Tidak ada sekarang bekerja terus-menerus, lalu berikutnya istirahat terus-menerus; itu bukan yang ada dalam iman Kristen. Itu sebabnya orang yang menghidupi dualisme kayak begini, kehidupannya pasti kacau. Termasuk juga kutipan dari Spurgeon tadi, Saudara tidak boleh mengertinya dalam pengertian 20 tahun tidak melayani sama sekali, cuma belajar saja, nanti 5 tahun terakhir betul-betul melayani dan tidak belajar lagi. Pasti bukan itu yang dimaksud Spurgeon, tapi ini bicara kalkulasi, apa yang kita pelajari dan apa yang kita bisa sampaikan.
Kembali ke bagian ini, kalau bukan dalam pengertian dualisme –bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, atau menjadi murid dulu baru sekian puluh tahun terakhir jadi guru dan tidak usah dimuridkan lagi—kalau hal seperti itu tidak sesuai Alkitab, lalu bagaimana? Di sini mungkin kalimatnya Luther lebih cocok: “simul justus et peccator” –kita ini adalah orang benar, sekaligus masih orang berdosa. Kita ini boleh mengajar dan dipanggil untuk mengajar, kita musti memuridkan; tapi pada saat yang sama, kita juga adalah murid. Murid yang masih dimuridkan oleh Tuhan, murid yang juga perlu memuridkan orang lain lagi.
Murid itu banyak mendengar. Pendeta Stephen Tong seringkali mengingatkan, waktu Saudara datang ke gereja, Saudara bukan datang untuk menolong, untuk jadi penasehat ajaib, untuk jadi konsultan, untuk menjadi orang yang berkontribusi dalam pengertian negatif, tetapi Saudara datang untuk belajar dan untuk melayani. Itulah yang ditangkap dari esensi dalam Yohanes 13, Saudara datang untuk belajar, dan kemudian Saudara melayani. Terlalu banyak orang yang mau jadi guru, akhirnya tidak belajar, tidak mau dikoreksi oleh Tuhan, jadi seperti orang yang mati-matian perlu mimbar. Sebetulnya, tanggung jawab orang yang berdiri di mimbar ini yang paling bahaya, karena Saudara di situ diam dan saya di sini bicara terus. Makin bicara, sebetulnya makin bahaya. Orang yang makin banyak bicara tapi tidak mendengarkan –tidak mampu untuk mendengarkan– kehidupannya bahaya.
Murid berarti kita terus-menerus mau dikoreksi, kita belum selesai belajar, kita akan terus dengan sikap rendah hati belajar dari Tuhan dan juga dari sesama. Sedikit mengantispasi ayat 14, kita tidak bisa menghayati Kekristenan hanya secara vertikal melainkan juga secara horisontal. Kalau kita menyebut Yesus adalah Guru dan kita ini murid, maka kita juga meletakkan diri sebagai murid di hadapan orang lain; bagian terakhir ini yang susah. Termasuk juga waktu kita menyebut “Tuhan”.
Bagian ini penjelasannya sedikit kompleks, karena pengilahian dalam terjemahan bahasa Indonesia ini, tidak selalu berakibat baik. Kita bukan mau menurunkan keilahian Yesus, tetapi semua terjemahan bahasa Indonesia di bagian ini pakai kata “Tuhan” yang maksudnya meng-ilahi-kan “tuan”, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sebetulnya memakai kata “lord”, artinya “tuan” (dan bukan “LORD” yang dipakai dalam Perjanjian Lama, yang menunjuk kepada Yahweh/ Adonai, maksudnya Tuhan, Ilahi). Saya percaya, kadang-kadang pengilahian seperti itu menolong, kadang-kadang cocok dan poinnya memang menunjuk kepada keilahian Yesus, tapi kadang-kadang justru malah mempersempit. Dalam bagian ini, mungkin kalau kita pakai istilah “tuan”, satu istilah yang lebih luas, akan bisa mempunyai makna yang lebih luas juga. Maksudnya begini, istilah ‘guru’ tidak harus ilahi, dan kalau kita menyebut “guru” berarti diri kita murid; demikian juga kalau kita menyebut “tuan” berarti diri kita hamba. Dan pertama-tama “tuan” itu adalah Tuhan Yesus, lalu kita ini hamba, tetapi dalam cerita ini ayat 14 Yesus bilang “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuan –atau Tuhan– dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu” –ada istilah saling. Ini berarti musti saling merendahkan diri, saling menjadi murid, saling memperhambakan diri, dan bukan hanya kepada Tuhan tapi juga kepada sesama.
Kita memosisikan diri sebagai murid dan Gurunya adalah Tuhan Yesus, sebagai hamba dan Tuannya adalah Tuhan Yesus; tapi juga di antara sesama, kita saling menjadi murid, saling belajar, dan saling memperhambakan diri. Bukan hanya kepada Tuhan Yesus tapi juga kepada manusia. Kalimat yang terakhir ini yang sulit dihayati. Seorang rekan hamba Tuhan bilang, anak muda zaman sekarang pakai istilah-istilah seperti “kita ini hamba Tuhan, kita ini lebih baik mendengarkan Tuhan, dan bukan taat kepada manusia”, maksudnya supaya tidak usah tunduk kepada siapa pun, maksudnya: lu jangan atur kehidupan saya karena saya ini hambanya Tuhan –jiwa bossy lalu pakai ayat-ayat Alkitab. Yang Tuan satu-satunya itu Tuhan, jadi saya tidak mau ada tuan lain, Dia satu-satunya Tuhan dan Tuan; Dia satu-satunya Guru, jadi kamu semua ‘gak usah ngajarin saya, yang boleh ngajar cuma Tuhan Yesus –bukankah ini kesombongan??
Yesus mengatakan “Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu”, maka kalau kita betul mengakui Yesus adalah Guru dan Tuhan, berarti kita menjadi murid, berarti kita adalah hamba. Tapi kemudian ada kalimat lanjutannya: “kamupun wajib saling membasuh kakimu”, berarti kita wajib saling memperhambakan diri satu dengan yang lain. Kita semua saling memperhambakan diri satu dengan yang lain, bukan cuma berhenti pada melayani Tuhan dan menjadi hamba Tuhan tapi tidak pernah bisa menjadi hambanya manusia. Penghayatan Kekristenan yang cuma vertikal saja dan tidak ada horisontalnya, bukan Kekristenan yang asli. Orang yang bilang “saya mau melayani Tuhan, saya hanya mau mendengarkan Tuhan”, itu sebetulnya orang congkak, orang yang tidak ada kerendahan hati, tidak ada jiwa seorang murid. Tidak usah menipu dengan bilang “tapi saya masih mau dimuridkan oleh Tuhan”, itu omong kosong. Orang yang tidak bisa dimuridkan oleh sesamanya, dia tidak bisa dimuridkan oleh Tuhan. Orang yang tidak mau melayani sesamanya yang kelihatan, dia tidak mungkin bisa melayani Tuhan yang tidak kelihatan. Yohanes mengatakan ini lebih harfiah lagi, orang yang tidak bisa mengasihi manusia yang kelihatan, dia tidak mungkin bisa mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan, itu bohong sebetulnya.
Kekristenan tidak bisa dipisahkan antara yang horisontal dan vertikal. Coba lihat salib ini. Salib tidak bisa cuma yang vertikal, cuma antara saya dan Tuhan. Saya adalah hamba Tuhan, saya muridnya Tuhan, tapi saya tidak pernah bisa dikasih tahu orang lain, saya tidak pernah bisa terima masukan orang lain, saya tidak pernah bisa dikoreksi, dsb.; apakah itu Kekristenan? Kalau seperti itu, kekristenan Saudara simbolnya bukan salib tapi tombak, yang cuma vertikal itu bukan salib, dan Saudara tidak percaya salib. Saya bukan sedang bermain ikonografi atau pelajaran simbolisme dsb., ini ilustrasi; dan kalau kita tidak mau pakai ilustrasi salib pun, prinsip ini betul-betul ada di dalam Alkitab.
Yesus bilang, “jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu” –“Saya yang adalah Tuhan, tapi Saya memperhambakan diri Saya”. Abraham mengikatkan kain kepada Hagar, maksudnya ‘Hagar, kamu budak, ya, jangan lupa’; dan di sini Yesus mengikatkan kain pada pinggang-Nya sendiri, Yesus membuat diri-Nya sendiri menjadi budak, Dia memperhambakan diri-Nya, di hadapan Bapa, tapi juga di hadapan murid-murid-Nya. “Jikalau Aku adalah Tuhan dan Gurumu, melakukan yang demikian, membasuh kakimu, menjadikan diri-Ku hamba, merendahkan diri seperti ini melayani kamu, maka kamu juga wajib saling memperhambakan diri.”
Di dalam Kekristenan kita membicarakan ordo, kita juga membicarakan kesetaraan (equality). Dua-duanya betul. Ada ordo, tapi bukan hirarki. Misalnya suami dengan istri: suami yang memimpin istri, suami mengasihi istri, istri menghormati suami, istri tunduk kepada suami –ini bicara ordo. Tapi dalam Surat Efesus, bahkan sebelum ayat itu diajarkan oleh Paulus, ada kalimat “submit one to another”, “tundukkanlah dirimu satu dengan yang lain”. Ini berarti termasuk suami-istri; suami musti submit kepada istrinya, istri musti submit kepada suaminya, menurut ayat itu. Tapi orang tidak suka membahas ayat itu, orang langsung bahas ordo, seakan ayat tadi tidak ada, padahal Paulus bilang bahwa kita musti submit satu dengan yang lain. Orangtua juga musti belajar submit kepada anak-anaknya –susah memahami ini, apalagi kultur Timur– tapi Alkitab mengatakan “tundukkanlah dirimu satu dengan yang lain”. Ini tidak membicarakan ordo, ini bicara equality (saya tidak mau pakai istilah ‘egalitarian’, istilah ini kurang bagus konotasinya).Kita ini sama-sama murid, sama-sama hamba, saling membasuh kaki, saling memperhambakan diri. Ini tidak bicara hirarki, tidak bicara ordo, tapi bicara ‘saling’, sebagaimana dalam Efesus ada kalimat “saling merendahkan diri” (submit one to another).
Inilah argumentasi yang dipakai Tuhan Yesus, bahwa Kekristenan adalah: pertama, komunitas koinonia yang terjadi karena pelayanan yang dikerjakan Kristus kepada kita; berikutnya, persekutuan itu adalah koinonia di mana kita melakukan juga apa yang Yesus lakukan kepada kita. Yang Yesus lakukan kepada kita adalah inisiasinya, tapi tidak berhenti di situ; kita yang adalah tubuh Kristus, kita musti melakukan itu juga seperti Kristus, satu dengan yang lain. Dan di sini kita bicara tentang teladan (imitatio).
Istilah ‘teladan’ dalam tradisi teologi kita tidak terlalu ditekankan; teologi kita lebih menekankan anugerah, ketidakberdayaan manusia, total depravity, dsb. Itu semua betul, ajaran Alkitab. Tapi waktu kita bicara tentang teologi ‘teladan’, Saudara mungkin langsung “Tunggu dulu, ini kayaknya Armenianisme? Atau liberal Kristen? Moralisme belaka tanpa Kristus? Atau Pelagius/Pelagian?”
Pelagianisme, mengajarkan bahwa manusia menjadi berdosa karena dia meniru (by way of imitation); dalam ilmu Psikologi ada pendapat bahwa orang menjadi rusak karena lingkungan, bukan dari dalam hatinya. Ini penolakan terhadap original sin. Kalau kita percaya orang jadi jahat hanya karena lingkungan, berarti kita mirip Pelagius. Bagi Pelagius, alasannya orang menjadi berdosa adalah karena dia melihat lingkungannya, orangtuanya, dsb., semuanya berdosa, akhirnya dia tiru-tiru berdosa. Jadi di sini berdosa bukan karena original sin, bukan karena Adam sudah jatuh ke dalam dosa dan bersama dengan dia seluruh umat manusia ada natur keberdosaan, melainkan karena meniru. Lalu bagaimana implikasinya? Tentu saja soteriologi-nya (doktrin keselamatannya) akan sesuai dengan itu, secara koheren, mengatakan bahwa manusia diselamatkan karena meniru, karena dia meneladani Kristus.
Dalam hal ini, Peter Abelard berdebat dengan Bernard de Clairvaux yang Augustinian; Peter Abelard menekankan peneladanan, sementara Bernard de Clairvaux tidak bisa terima kalimat ini karena peneladanan berbau Pelagian. Lalu kita, yang dalam tradisi Agustinian, Reformed, Calvinis, reformatoris, biasanya sulit bicara tentang teladan; setiap bicara “teladan”, langsung dicurigai sebagai bentuk-bentuk moralisme, dicurigai sebagai liberalisme, dicurigai seperti tidak ada hubungannya dengan Kristus, dicurigai sebagai spiritualitas ‘ayo, kamu bisa, coba lebih keras dan lebih keras lagi, pada akhirnya kamu akan mirip Kristus’. Tapi kalau kita baca dalam Alkitab, ada istilah ‘teladan’ –sesederhana itu. Lalu bagaimana menempatkan ‘teladan’ di dalam teologi sistematik kita, atau lebih tepatnya, bagaimana mengoreksi teologi sistematik kita supaya ada teladan di dalamnya? Yang pasti, kita bukan diselamatkan karena kita meneladani Kristus –ini jelas. Kita bukan diselamatkan by way of imitation, dengan cara kita mencoba menjadi seperti Kristus, makin menyerupai dan makin menyerupai, sampai pada akhirnya layak diselamatkan. Kita diselamatkan bukan karena kita menyerupai Kristus di dalam pengertian itu, karena siapalah yang bisa menyerupai Kristus berhubung natur kita yang berdosa?? Kecuali seseorang dilahirkan kembali, seperti kata Yohanes, dia tidak akan bisa melihat Kerajaan Allah. Kelahiran kembali itu mutlak. Tapi orang yang dilahirkan kembali, kita diundang untuk meneladani Kristus (imitation of Christ).
Buku dari Thomas à Kempis, “Imitatio Christi”, seperti “The Pilgrim’s Progress”-nya Bunyan, buku ini pernah menjadi buku kedua paling banyak dibaca setelah Alkitab, buku yang luar biasa penting. Judulnya “Imitatio Christi”, peneladanan Kristus. Buku ini, kalau dari perspektif Injili seperti dikritik tidak bicara tentang kelahiran baru, tidak bicara manusia itu berdosa dan tidak bisa meneladani Kristus kecuali dia mengaku dosanya barulah dia dibenarkan oleh Kristus lalu barulah dia bisa meneladani Kristus, dsb. Memang dalam konteks Medieval hal itu tidak sejelas kita sekarang. Kita bisa punya pemahaman seperti ini, bersyukur pada Tuhan karena ada orang-orang seperti Martin Luther, Yohanes Calvin, Zwingli, dsb., yang menolong kita; tetapi poin saya adalah: kita tidak bisa meniadakan pembicaraan tentang peneladanan Kristus. Gereja yang bertumbuh adalah Gereja yang makin lama makin menyerupai Kristus. Kalau ini tidak terjadi, berarti tidak ada pertumbuhan.
Kehidupan Saudara dan saya tidak bertumbuh kalau kita tidak semakin menyerupai Kristus. Dan menyerupai Kristus itu by way of imitation. Tetapi by way of imitation ini tidak seharusnya mengganggu kita, karena kita adalah orang-orang yang dilahirkan kembali; kita bukan dilahirkan kembali by way of imitation. Istilah ‘imitasi’ sepertinya kurang bagus kalau dipakai dalam bahasa Indonesia –apalagi misalnya ‘jam imitasi’– tapi ‘imitasi’ dalam bahasa Latin pengertiannya bukan palsu, melainkan peneladanan, tentang bagaimana hidup menjadi seperti Kristus. Setelah kita dimerdekakan, Saudara dan saya diundang untuk hidup meneladani Kristus, menjadi hamba. Memperhambakan diri bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama.
Banyak orang tidak bisa melayani dengan baik di dalam gereja karena mereka bossy, datang bukan sebagai murid tapi sebagai penasehat, datang mau ngajarin bukan mau menjadi murid, datang mau mengatur bukan mau diatur. Kemudian orang bertanya-tanya mengapa tidak bisa melayani, sepertinya Gereja terlalu eksklusif, koq orang-orang seperti itu tidak bisa melayani? Itu tidak bisa melayani karena tidak cocok dengan prinsip Firman Tuhan. Saudara jangan paksa Firman Tuhan harus cocok dengan prinsip kehidupan Saudara. Kita yang musti cocok kepada Firman Tuhan, bukan Firman Tuhan yang musti cocok dengan kehidupan kita. Jadi, kalau kita mau melayani Tuhan, kita mengikut prinsip Firman Tuhan, atau kita tidak bisa melayani Tuhan. Dan, sedikit mengantisipasi ayat 18-19, memang tidak semuanya bisa melayani Tuhan; kalimat dalam ayat ini begitu menakutkan.
Kalau Saudara melihat gambaran dalam bagian ini, mengaku Yesus sebagai Guru dan sebagai Tuhan, tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana kita menjadi murid dan menjadi hamba. Kalau ada teologi yang mencoba memisahkan bagian ini, itu teologi yang menyesatkan. Mengaku Yesus sebagai Guru dan Tuhan, tapi sendirinya tidak mau dimuridkan dan tidak pernah mau jadi hamba, opsi seperti ini tidak ada. Kalau kita menyebut Yesus sebagai Guru dan sebagai Tuhan, berarti kita murid, artinya kita belajar terus, dikoreksi terus; dan kita adalah hamba, artinya kita melayani. Kita saling melayani, bukan hanya melayani Tuhan; dengan jalan itu, kita meneladani Kristus.
Ayat 16, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya”. Maksudnya, kalau Yesus sendiri Guru dan Tuhan, Tuan di atas segala tuan, tapi Dia memperhambakan diri-Nya, lalu Saudara dan saya ini siapa sih, koq tidak mau jadi hamba?? Kita ini siapa? Kita lebih tinggi daripada Tuhan? Kita tidak mau jadi hamba, kita mau jadi tuan, itu berarti kita mau lebih tinggi daripada Tuhan, Tuan di atas segala tuan. Tuhan yang asli itu memperhambakan diri-Nya. Sedangkan Yesus saja merendahkan diri-Nya, lalu kita tidak mau merendahkan diri? Bahkan Yesus bukan cuma jadi hamba, Dia juga jadi murid; Alkitab mengatakan “Dia belajar taat”, artinya menjadi murid. Dia ini Tuhan, dan Dia di dalam perspektif kemanusiaa-Nya belajar untuk taat. Waktu Yesus datang dalam Bar mitzvah, sebagaimana tercatat dalam Injill Lukas, Dia bisa berargumentasi dengan ahli-ahli Taurat karena Dia belajar, bukan karena Dia mengakses keilahian-Nya lalu langsung terbuka semua. Dalam konteks Lukas jelas sekali yang ditunjuk adalah natur kemanusiaan-Nya. Bar mitzvah menyatakan bahwa Yesus orang Israel sejati dan Dia bisa bersoal jawab; dalam hal ini Saudara jangan lempar lagi, “Ya, Dia Tuhan, makanya Dia mahatahu”, karena di situ tidak bicara kemahatahuan tapi bicara tentang kemanusiaan Kristus.
Yesus mengatakan, “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.” Tuhan kita memperhambakan diri-Nya, merendahkan diri-Nya, maka tentu saja tepat sekali kalau Saudara dan saya merendahkan diri. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan itu. Kalau Saudara dan saya tidak merendahkan diri, apa alasannya? Kita lebih tinggi daripada Tuhan Yesus, lebih mulia daripada Tuhan Yesus?? Itu tidak masuk akal; kecuali orang itu seperti yang ditulis di ayat 18,19, 20. Itu orang yang tidak bisa menempatkan dirinya, tidak tahu posisinya, tidak kenal identitasnya, tidak melihat dirinya siapa sebetulnya di hadapan Tuhan. Orang-orang yang gagal –seperti Yudas. Lalu bagaimana? Kalau kita tidak lebih tinggi daripada Tuan kita, berarti kita musti merendahkan diri, saling membasuh kaki satu dengan yang lain, menjadikan diri hamba bagi yang lain, seperti Kristus.
Kalau kita mengatakan kita tidak lebih tinggi daripada Dia, kita sebetulnya tidak punya pilihan; tetapi ketika kita mengatakan bahwa kita tidak punya pilihan, ayat 17 Yesus berkata, “Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Pelayanan adalah kebahagiaan.
Kekristenan membawa kita untuk berbahagia. Jangan dibalik jadi ‘ikut dunia bahagia, ikut Kristen susah payah, menderita, tersiksa, bebannya berat’. Itu tidak ada dukungan Alkitabnya. Itu pemalsuan dari setan yang membuat orang tidak tertarik pada Kekristenan, akhirnya lebih tertarik kepada dunia. Yang lebih tepat adalah: dunia memberikan kepada kita kuk yang tidak enak, tidak gampang, dan bebannya berat. Yesus yang asli memberikan kuk yang enak, gampang –dalam bahasa Inggris pakai istilah ‘easy’ –dan bebannya ringan. Mengikut Yesus itu bebannya ringan; kalau berjalan dalam jalannya sendiri, dalam kepintaran dan kehebatan sendiri, itu bebannya berat. Jangan dibalik, seolah-olah dunia menjanjikan kebahagiaan dan kesenangan, lalu jadi Kristen itu muram dan pikul salib. Memang betul pikul salib, tapi itu beban yang ringan dan kuk yang enak, menurut Alkitab. Namun kita menjadikannya gambaran yang horor, yang men-discourage sehingga tidak mau mengikut Kristus. Siapa yang ciptakan discouragement seperti itu kalau bukan setan? Ini pemalsuan gambaran Injil. Injil yang jernih dan terang dipalsukan, seakan-akan ‘lu judeg kalau ikut Injil itu, gelap, tidak enak sekali; tapi kalau dunia ini terang’. Yesus mengajarkan “Akulah terang dunia”, di dalam dunia orang berjalan dalam kegelapan. Yesus ini terang yang asli, tapi dunia membalikkan, ‘ikut Yesus banyak persoalannya, bikin sakit kepala, tapi ikut dunia itu senang sekali’; ini injil palsu.
Kalau Saudara dan saya merasa hidup ini bebannya berat, itu berarti kita sedang tidak mengikut Kristus, karena katanya Kristus, yang mengikut Kristus bebannya ringan –sesederhana itu. Tapi orang tidak setuju, orang bilang “tapi…”, “nanti dulu …”, “sebentar …”, dsb. Itulah orang-orang yang tidak percaya sebetulnya. Yesus bilang “beban-Ku ringan”, artinya ringan, jangan diganti lagi. Kalau Saudara tidak setuju dengan kalimat itu, berarti Saudara membuat Yesus jadi pendusta. Tapi kita tahu Yesus bukan pendusta, yang pendusta adalah Iblis. Jadi, kalau kita tidak mengalami ini, berarti kita tidak percaya, kita tidak sedang mengikut Kristus. Meski kita, teologi Reformed, menolak teologi prosperity, health and whealth gospel, dsb., karena itu bukan ajaran Alkitab, tapi Saudara juga jangan menciptakan injil yang lain yang juga bukan ajaran Alkitab, seperti injil beban berat, injil kuk yang tidak enak. Itu bukan Injil yang di dalam Alkitab. Injil yang dalam Alkitab mengatakan: “Jikalau kamu tahu semua ini –yaitu tindakan saling membasuh kaki, memperhambakan diri satu dengan yang lain, melayani — maka berbahagialah kamu”. Saudara yang bisa melayani orang lain, menurut Yesus Saudara berbahagia. Saudara yang tidak mau melayani orang lain –apapun alasannya—Saudara hidupnya sayang sekali karena kurang berbahagia.
Orang yang tidak melayani orang lain, hidupnya sibuk terus dengan urusan sendiri, tidak pernah ada habisnya. Terlalu sensitif dengan urusan sendiri, dengan urusan keluarga, dsb., putar terus di situ seperti benang kusut yang tidak bisa diurai; mengapa? Karena dia tidak melayani. Energinya terkuras habis untuk memikirkan kesulitan hidupnya sendiri, tidak ada yang merelativisasi hal itu. Akhirnya bagaimana? Ya, begitu terus, semakin kita mengejar diri sendiri, semakin tidak selesai-selesai urusannya, sibuk dan tidak ada kekuatan lagi untuk melayani, lalu makin tenggelam dan tenggelam, dan makin tidak bisa ditolong. Tetapi anugerah Tuhan mengundang Saudara dan saya untuk masuk ke dalam kehidupan yang berbahagia, bukan yang kusut kayak begini, yaitu waktu kita saling melayani, saling memperhambakan diri. Kekristenan mengundang kita untuk masuk ke dalam kebahagiaan, bukan kepedihan demi kepedihan.
Namun, kita juga musti mengatakan bahwa realitanya –seperti yang juga diajarkan Alkitab—tidak semuanya. Tidak semuanya berbagian. Ada yang dipilih, ada yang tidak dipilih. Ada yang percaya, ada yang terus mengeraskan hatinya. Ada yang memang tidak mau dimuridkan. Ada yang tidak bisa dikoreksi. Ada yang bebal! Itu sebabnya ada catatan seperti ini. Ini bagian dari theological realism, sehingga kita tidak bisa tidak mengkhotbahkan hal ini. Kalau kita tidak mengkhotbahkan bagian ini dan cuma berhenti pada ayat 17, kita bersalah kepada Tuhan, karena bagian ini dicatat dalam Alkitab: “Bukan tentang kamu semua Aku berkata. Aku tahu, siapa yang telah Kupilih. Tetapi haruslah genap nas ini: Orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku” (ayat 18).
Apa maksudnya ‘orang yang makan roti-Ku’? Ini berarti orang yang ada persekutuan meja bersama dengan Yesus. Ini bukan orang-orang yang membenci Yesus, yang memang dasarnya adalah musuh-musuh Yesus, misalnya ahli-ahli Taurat atau orang Romawi atau Herodes, dsb. Ini adalah orang yang pernah ada persekutuan meja dengan Yesus, tapi orang ini mengangkat tumitnya terhadap Yesus.
Makan bersama di dalam kepercayaan Yahudi bukan sekedar duduk semeja, tapi menyatakan satu hubungan yang intim. Jadi waktu ayat ini mengatakan “Orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku”, yang mau dikatakan Yohanes adalah betapa dalamnya pengkhianatan itu. Kalau Saudara difitnah oleh orang yang memang tidak kenal dengan Saudara, atau memang dari dulu tidak senang pada Saudara, memang sakit juga, tapi tentu tidak sesakit difitnah orang yang Saudara biasa makan bersama dengan dia, yang sudah diterima seperti keluarga. Itulah yang dialami oleh Kristus. Orang itu bukan orang lain, orang itu adalah murid-Nya, orang yang dengannya Yesus semeja, bersekutu.
Tetapi kemudian perhatikan ayat 19, ini ayat yang luar biasa indah; dikatakan: “Aku mengatakannya kepadamu sekarang juga sebelum hal itu terjadi, supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya, bahwa Akulah Dia.” Pengkhianatan itu seharusnya membawa iman kita lebih dalam lagi kepada Yesus Kristus. Di bagian ini dalam terjemahan bahasa Indonesia ‘Yudas’ tidak ada sama sekali; yang ada adalah ‘hal itu’. Waktu Saudara mengalami pengkhianatan, don’t get too personal, maksudnya jangan terlalu ambil hati, jangan terlalu dimasukkan hati. Dihkhianati itu menyakitkan. Waktu kita dikhianati, biasanya kita langsung ‘personal’ dengan orang yang mengkhianati kita; tapi Saudara perhatikan, Yesus bilang supaya waktu hal itu terjadi, kamu percaya bahwa ‘Akulah Dia’.
Pengkhianatan itu seharusnya memperdalam relasi kita dengan Kristus, lalu orang yang mengkhianati seperti jadi impersonal; Yesus bilang “hal itu”, Yesus tidak bicara the person of Judas. Tapi ada orang yang suka terlalu ‘personal’ dengan orang yang menyakiti dirinya, akhirnya visinya bergeser, bukan lagi visi ‘Yesus Kristus’ tapi bergeser jadi visi ‘Yudas’. Waktu visinya bergeser kepada Yudas, di situlah mulai kehancuran, kepahitan, dendam, sakit hati, trauma, grudges, dsb., yang makin naik dan makin naik. Dan semakin kita memelihara itu, semakin kita menghancurkan diri sendiri.
Yesus di sini tidak mengatakan misalnya: “Aku mengatakan kepadamu sekarang juga sebelum Yudas mengkhianati Aku, supaya jika Yudas mulai mengkhianati Aku, kamu harus hati-hati dengan orang itu; orang itu memang dasar tidak bisa dipercaya, jadi kamu musti hati-hati sejak dari Gereja mula-mula, Yudas itu kalau perlu disingkirkan saja”. Tapi yang kita baca, Yesus tidak ngomongin Yudas. Yesus bilang, “kalau hal itu terjadi, kamu percaya bahwa Akulah Dia”. Fokusnya Kristus. Pengkhianatan –dan semuanya itu—membawa kita kepada Kristus, bukan membawa kita kepada orang yang melukai dan mengkhianati kita. Ini juga termasuk jalan kebahagiaan seperti di ayat 17, “Jikalau kamu tahu semua ini maka berbahagialah kamu”. Tetapi kalau kita tidak mau tahu, kita terus memelihara sakit hati, keterlukaan, dsb., ya, sudahlah, memang kita di situ terus.
Ada orang yang tidak pernah bisa keluar dari persoalan hidupnya, terus-menerus kecewa dan kecewa, terus memelihara kekecewaannya terhadap orang lain, dan makin lama makin dikasih makan kekecewaannya itu, akhirnya dia tidak bisa bertumbuh. Dia berhenti bertumbuh; bahkan saya kuatir dia mundur ke belakang, karena untuk tetap jalan di tempat itu susah sekali. Coba Saudara jalan ke atas di eskalator yang turun, Saudara melawan eskalator untuk mempertahankan posisi yang sama, itu susah sekali. Mungkin 5 menit bisa, tapi lama-lama kita terbawa turun, tidak ada kekuatan mempertahankan diri di posisi yang sama. Kalau kita terus-menerus memelihara perasaan sakit hati dsb., kita jadi tidak bertumbuh, karena pandangan kita bukan Kristus melainkan sesuatu yang lain, mungkin semacam ‘Yudas’ yang di dalam pikiran kita. Itu sebabnya don’t get personal; kalaupun Saudara mau ‘personal’, ‘personal’-lah dengan Yesus. Saudara harus semakin percaya kepada Dia, mengakui Dia.
Bukan cuma pengkhianatan, lebih lagi waktu kita bicara soal penerimaan; ayat 20 dikatakan: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku." Perhatikan di sini ada 4: ada orang yang menerima, ada orang yang diutus oleh Kristus –yaitu murid-murid Kristus, ada Kristus Sang Anak yang diutus oleh Bapa, ada Bapa. Bapa mengutus Anak, Anak mengutus murid-murid-Nya, murid-murid-Nya kemudian beritanya diterima.
Tadi kita mengatakan bahwa pengkhianatan seharusnya memperdalam kepercayaan kita kepada Kristus, bukan memperdalam ingatan kita pada orang yang mengkhianati dan melukai. Demikian juga, terlebih lagi penerimaan. Penerimaan, seharusnya membawa kita untuk mengembalikan semua penerimaan itu kepada Kristus. Kita ini tidak boleh ge-er. Kalau kita tidak bisa mengembalikan penerimaan kepada Kristus, maka kita biasanya juga tidak bisa menerima kritik, karena waktu menerima kritik, kita get too personal. Dengan istilah yang sama, orang bisa juga get too personal waktu dia menerima pujian, waktu dia menerima penerimaan; penerimaan itu membuat dia merasa diterima secara too personal. Saya bukan bilang sebagai lawan katanya ‘personal’ kita harus ‘impersonal’, tetap ‘personal’ juga, tapi ‘personal’-nya dengan mengembalikan kepada Kristus. Mengapa? Karena Kristus sendiri mengatakan bahwa penerimaan yang Dia terima, Dia juga kembalikan kepada Bapa-Nya; “Barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku." Yesus tidak menerima penerimaan tersebut bagi diri-Nya sendiri tapi mengembalikannya kepada Bapa. Ini doksologi. Doksologi bukan cuma sesuatu yang Saudara ucapkan di akhir ibadah, tapi seumur kehidupan Saudara dan saya. Bukan hanya kemuliaan, tapi juga penerimaan; bahwa waktu Saudara diterima, waktu kehidupan Saudara menjadi berkat dan orang merasa diberkati lalu Saudara diterima/dipuji, Saudara musti mengembalikan penerimaan itu kepada Kristus.
Kalau kita tidak mengembalikan penerimaan itu kepada Kristus, maka biasanya waktu kita tidak diterima, kita tidak mau lagi melayani. Waktu Saudara melayani dan diterima, lalu Saudara menikmati penerimaan itu too personal sebagai penerimaan terhadap diri Saudara sendiri, maka waktu tidak terlalu ada penerimaan, Saudara akan berhenti pelayanan. Pertanyaannya: Itukah pelayanan? Itukah sikap hati seorang hamba? Bukan. Hamba bukan mengejar penerimaan; yang namanya budak tidak mengharap pujuan. Itu sebabnya di dalam Injil Lukas, waktu hamba mengerjakan semuanya dengan baik, kalau dia betul-betul tahu dirinya budak, dia tidak akan berharap tuannya berterima kasih. Kalau Saudara melayani lalu tidak ada yang bilang “terima kasih”, tidak ada yang menghargai, itu biasa saja, tidak ada sesuatu yang menyakitkan, karena memang hamba. Hamba memang tempatnya di situ, tuannya tidak akan berterima kasih kepada dia. Penghayatan seperti ini harap jangan disalah mengerti seakan-akan tuannya ini kejam. Bukan itu. Yesus bilang “Barangsiapa melayani Aku, dia dihormati Bapa”; dihormati ini lebih limpah daripada sekedar apresiasi. Tapi sikap yang tidak mengharapkan terima kasih, sikap untuk dilupakan, baik diterima ataupun tidak diterima diserahkan kepada Tuhan, itulah sikap hati seorang hamba.
Kita rindu ada kualtias hamba yang seperti ini, bukan cuma terlibat dalam pelayanan tapi sikap hati seorang hamba seperti Kristus. Kristus dikhianati, Dia tidak mundur; Dia tahu itu akan terjadi, dan itu tidak memberhentikan pelayanannya. Tapi waktu Kristus mengalami penerimaan, Dia juga mengembalikannya kepada Bapa. Saudara dan saya bersalah kepada Tuhan kalau dalam pelayanan kita, kita mengejar penerimaan atas diri kita sendiri. Gereja ini berdosa di hadapan Tuhan kalau kita mengharapkan penerimaan terhadap Gereja ini. Dalam pelayanan, kita bukan mengejar penerimaan, baik secara individu maupun komunal, tetapi yang kita kejar adalah bagaimana orang bisa menerima Kristus. Yohanes Pembaptis adalah orang yang seperti ini. Waktu murid-muridnya satu per satu datang kepada Kristus, dia tidak ada secuil pun rasa tidak aman, karena pekerjaannya memang membawa orang kepada Kristus, bukan membawa orang kepada dirinya sendiri.
Saudara dan saya dipanggil, bukan untuk mengejar orang supaya menerima kita –itu pelayanan yang cacat yang bisa dipersalahkan Tuhan– tapi membawa orang untuk melihat kemuliaan Kristus. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading