Hari ini kita mulai bagian yang kedua dari Injil Yohanes, yaitu dari pasal 13. Bagian ini merupakan Johannine special material, diberi judul “Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya”. Ini adalah permulaan pelayanan Yesus kepada murid-murid-Nya, setelah pasal 1-12 yang merupakan pelayanan publik kepada banyak orang. Di sini kita bisa bertanya, gerakan ini karena apa? Apakah karena pelayanan publik gagal, lalu Yesus kecewa, dan kemudian mulai masuk ke pelayanan yang hanya kepada beberapa orang saja? Mungkin dengan berharap siapa tahu lebih fruitful, lebih ada hasil? Tapi ternyata di sini kita membaca ada cerita tentang Yudas Iskariot juga, yang sudah disebut di pasal 13 ini. Jadi, kalau bukan itu alasannya, apa sebetulnya yang jadi pertimbangan yang bisa kita pelajari dari struktur ini, yaitu pasal 1-12 public ministry lalu pasal 13 masuk ke private ministry kepada murid-murid Yesus? Apa kira-kira yang menjadi rasional Yesus, yang beralih dari pelayanan publik ke pelayanan kepada murid-murid-Nya? Apakah Yesus sedang mencari penerimaan? Maksudnya, karena Dia ditolak, tidak dipercaya, lalu Dia mencari sebagian orang yang Dia pikir akan lebih bisa menerima pengajaran-Nya? Mungkin Dia terlalu kecewa karena tidak ada buah sampai akhir pelayanan-Nya padahal sudah 12 pasal mencatat bagian itu?
Kita percaya, itu pasti bukan alasan Yesus Kristus, karena Yesus datang ke dalam dunia bukan mencari penerimaan di dalam pelayanan-Nya. Dia sudah beres dengan urusan itu, Dia bukan mencari penerimaan dalam pelayanan-Nya, bahkan kita boleh mengatakan pelayanan-Nya tidak digerakkan oleh hasil. Pelayanan kita tidak boleh di-driven oleh buah-buah menurut pandangan kita sendiri, karena itu bukan pelayanan seperti yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Pelayanan kita dipanggil oleh Tuhan supaya kita menjadi setia. Pelayanan kita bukan supaya kita mengejar hal-hal yang menurut kita lebih menjanjikan hasilnya; kalau kita berpikir seperti itu, pasal 1-12 jadi cuma cerita omong kosong yang tidak ada hasilnya karena banyak yang menolak, tidak percaya, bahkan yang percaya pun masih tanggung-tanggung karena takut kepada orang Farisi dan pemimpin-pemimpin. Kalau kita mau melihat keberhasilan pelayanan hanya dari banyaknya orang yang percaya, maka Yesus bisa dianggap gagal dalam hal ini. Bukan berarti kalau pelayanan kita tidak ada buah sama sekali artinya kita otomatis jadi mirip Yesus –mungkin persoalannya ada pada Saudara dan saya, kita harus selalu introspeksi– tapi yang dimaksud adalah bahwa Yesus dalam pelayanan-Nya, Dia setia mengerjakan yang Bapa hendak kerjakan melalui Dia. Seperti juga Yesaya setia menyampaikan Firman Tuhan yang ditaruh di dalam hatinya meskipun sudah dikatakan orang tidak akan bertobat, tidak akan disembuhkan oleh Allah, karena hati mereka sudah degil dan mata mereka sudah buta. Kesetiaan memberitakan Firman Tuhan yang diterima dari Bapa, itulah esensi pelayanan kita.
Kita percaya, Yesus bukan bergerak dari pelayanan publik ke pelayanan yang lebih kecil kepada murid-murid-Nya, karena pelayanan yang besar itu tidak berhasil lalu coba yang kecil; atau juga karena Dia terlalu kecewa lalu Dia mulai mencoba kepada orang-orang yang Dia pilih sendiri. Bukan itu. Melainkan bahwa dalam kehidupan ini kita perlu kedua aspek tersebut; yaitu pelayanan publik (pelayanan kepada banyak orang), dan juga pelayanan pemuridan.
Di Singapura ada satu Gereja yang sangat diberkati Tuhan, mereka mulai dari belasan orang dan dalam beberapa tahun sudah menjadi 1000 orang, bahkan mungkin lebih; dan itu cuma di salah satu cabang, sementara di tempat lain masih ada lagi. Ini Gereja yang terus berkembang. Salah satu kuncinya adalah discipleship (pemuridan). Itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru, tapi mungkin kita kurang invest dalam bagian ini; pemuridan adalah hal yang musti dikerjakan semua Gereja yang sehat. Saya berharap kelompok kecil bisa terus berkembang, karena kotbah seperti ini memang betul kotbah, tapi bukan pemuridan. Pemuridan tidak bisa 1 dengan 300, 1 dengan 400, apalagi 1 dengan 7000 orang –itu bukan pemuridan. Pemuridan artinya dengan beberapa orang saja. Saudara –dan juga saya—boleh tanya dalam kehidupan kita sendiri, ada berapa orang sudah kita muridkan, atau Saudara sedang dimuridkan oleh siapa; atau kita cuma ya, begini sajalah, Facebook friends-nya sampai 4800, di masyarakat ada ribuan orang yang kenal, tetangga ada 700, dsb., tetapi tidak ada satu pun yang betul-betul kita punya relasi intens dengan mereka –tidak ada pemuridan. Yesus bukan kurang laku secara publik, melainkan Dia ada pelayanan intens, pemuridan –pemuridan dengan beberapa orang.
Dari mana kita tahu pelayanan Yesus bukan result oriented, bahwa Dia bukan beralih dari pelayanan publik ke pemuridan sebagai bentuk pelarian dari kesulitan penolakan? Yaitu karena di bagian ini kita baca, sejak awal pasal 13 sudah ada penyebutan tentang Yudas Iskariot, anak Simon, yang akan mengkhianati Yesus. Seandainya Yesus kecewa dengan pelayanan publik karena Dia tidak dipercaya, lalu Dia mencoba cari penghiburan dengan pelayanan pemuridan yang kecil-kecilan, maka Yesus jadi konyol sekali karena di sini Dia ketemu lagi hal itu, yaitu Yudas. Jadi, pasti bukan itu –bukan pelarian– tetapi bahwa dalam kehidupan Saudara dan saya, kita perlu pelayanan publik, kita juga perlu pelayanan pemuridan –baik kita sendiri yang dimuridkan maupun kita yang memuridkan. Yesus memuridkan murid-murid-Nya.
Di gereja yang saya sebut tadi, hamba Tuhannya juga memuridkan kelompok kecil, termasuk juga memuridkan 1 orang demi 1 orang. Misalnya dari 6 orang, dia pilih 4 orang yang bisa diproyeksikan jadi pemimpin untuk meneruskan pekerjaan Tuhan, 1 orang yang jemaat awam biasa, dan 1 orang lagi yang bermasalah, yang memang susah dimuridkan, yang terus berada dalam problem-problem dan dirinya sendiri seperti tidak bisa keluar dari sana. Pelayanan seperti itu adalah pelayanan yang bisa menguji ketekunan kita. Memang waktu bicara tentang pemuridan, ada kesulitannya sendiri. Kalau dalam film silat, seorang guru dipilih oleh muridnya, bukan guru yang memilih murid. Saudara juga tentu pilih orang yang Saudara mau dengar, artinya Saudara pilih guru –dalam hal ini film silat ada benarnya. Yang seperti ini, bukan di zaman sekarang saja, tapi sejak zaman dulu pun begitu.
Pemuridan adalah satu hal yang ada tantangannya, bukan “saya mau mengajar, ayo, siapa yang mau belajar sama saya?” Dan, mungkin yang paling tidak bisa diajar adalah hamba Tuhan; tapi dalam hal ini, waktu saya cerita tentang gereja di Singapura tadi, ada satu pendeta senior yang gerejanya juga diberkati Tuhan, dan dia ini dengan rendah hati mau belajar dari gereja tersebut. Salah satu kekurangan dalam konteks pemuridan kehidupan orang Kristen adalah kerendahan hati. Orang mulai dengan kerendahan hati, lalu lambat laun dia mulai merasa tidak perlu belajar lagi, merasa sudah tahu, merasa bisa kritis, dsb., akhirnya dalam keadaan kurang kerendahan hati seperti itu, dia sulit sekali menjalankan pemuridan.
Kalau kita membaca bagian ini, Yesus sendiri juga mengalami kesulitan sebelum Saudara dan saya mengalaminya dalam konteks pemuridan. Apa yang bisa kita pelajari dari pemuridan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus? Di ayat 1, 2, 3, Saudara mendapati bagian ini sangat kental dengan elemen-elemen paling penting dalam Johannine theology, yang seakan-akan di-intisari-kan di sini, yaitu Yesus tahu saat-Nya sudah tiba. Kairos-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa; dan juga kairos untuk memuridkan murid-murid-Nya. Ini bukan berarti Dia baru mulai memuridkan di sini; dalam pelayanan publik-Nya Dia berkotbah pastinya juga termasuk untuk murid-murid-Nya, tetapi mulai pasal 13 ini pemuridan dalam pengertian pengajaran yang sangat intens kepada murid-murid-Nya.
Dalam ayat 1, kita membaca bahwa Dia melakukannya di dalam kasih kepada murid-murid-Nya, Dia mengasihi murid-murid-Nya sampai pada kesudahannya. Mengapa pemuridan banyak yang gagal? Karena tidak digerakkan oleh cinta kasih –baik dalam pengertian individu (pribadi), maupun juga dalam pengertian komunal (Gereja). Pemuridan bukanlah berusaha untuk mengesankan orang bahwa ‘saya ini teknik kungfu-nya lebih tinggi, karena itu kamu musti berguru pada saya’ –itu cara dunia. Pemuridan bukanlah meyakinkan orang lain ‘kamu lebih baik belajar sama saya karena saya lebih berpengetahuan luas; kamu lebih baik belajar sama gereja ini karena gereja ini lebih knowledgeable daripada gereja lain’ –itu bukan pemuridan yang ada di Alkitab. Pemuridan di Alkitab adalah pemuridan yang dikerjakan di dalam cinta kasih. Kalau bagian ini tidak ada, maka tidak ada pemuridan sebetulnya. Yesus memuridkan, dan Dia mengasihi mereka. Kalau bagian ini tidak ada, maka yang ada cuma transfer pengetahuan, cuma mengesankan orang dengan pengetahuan yang mungkin lebih dalam, lebih kaya, lebih limpah, tapi tidak digerakkan oleh cinta.
Ini bukan cuma bicara soal pemuridan, semua pelayanan sebenarnya gagal kalau tidak digerakkan oleh cinta kasih. Ada pelayanan yang digerakkan oleh rasa takut (driven by fear),yang digerakkan oleh tekanan (driven by pressure), dan macam-macam lainnya. Tetapi yang dikehendaki oleh Tuhan adalah pelayanan –pemuridan—yang driven by love. Waktu dalam pelayanan, kita tidak semakin mengasihi –mengasihi Tuhan dan mengasihi jiwa orang-orang yang kita layani—berarti kita tidak bertumbuh dalam pelayanan. Pelayanan Saudara dan saya boleh saja makin lama makin sibuk, makin banyak, seolah-olah kita makin kepake, dsb., tapi sebenarnya kita tetap tidak bertumbuh kalau kita tidak digerakkan oleh cinta kasih.
Mengutip perkataan Henry Drummond waktu dia membahas 1 Kor. 13, judul bukunya “The Greatest Thing in the World” (maksudnya cinta kasih), dia bilang “ujian terakhir dari agama, bukanlah ke-religius-an; ujian terakhir dari agama adalah cinta kasih”. Final test-nya adalah love, entah kita semakin mencintai atau kita tidak semakin mencintai. Kalau Saudara punya agama yang tidak menggerakkan untuk semakin mencintai, itu agama yang keliru. Termasuk mungkin agama Kristen, termasuk mungkin denominasi di dalam agama Kristen, kalau tidak membuat kita semakin mencintai, itu pasti agama yang keliru, karena tidak ada pertumbuhan kalau tidak disertai pertumbuhan dalam cinta kasih.
Saudara lihat di bagian ini, poin yang sederhana sekali, yaitu pemuridan Yesus adalah karena Dia mengasihi murid-murid-Nya; Dia mengasihi murid-murid-Nya, maka Dia memuridkan mereka. Dia bukan memuridkan mereka karena sudah terlalu kecewa dengan pelayanan publik, tidak ada yang menerima Dia, dsb., melainkan karena Dia mengasihi mereka; dan Dia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya. Ini pembukaan pasal 13, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Yesus tahu bahwa saat-Nya sudah tiba, Dia akan segera mati, kehidupan-Nya dikorbankan; dan itu dibuka dengan “Yesus mengasihi murid-Murid-Nya”. Kita harus membaca tindakan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus, berdasarkan perspektif ini, yaitu perspektif kasih.
Kadang-kadang dalam gereja-gereja ada ritual “pembasuhan kaki”, tindakan yang seperti mengikuti Yohanes pasal 13. Tapi kalau kita baca pasal 13, di sini esensinya bicara tentang kasih. Kasih itu mengorbankan diri, kasih itu menempatkan diri sebagai hamba. Ritual ini mungkin sudah tidak terlalu populer, karena pada zaman kita memang tidak ada acara cuci kaki, dsb., sedangkan pada zaman itu orang dari perjalanan jauh kakinya sudah kotor sekali, lalu waktu masuk, biasanya ada budak yang mencucikan kaki. Kita tidak hidup dalam budaya mereka, kita hidup dalam budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam hal ini mungkin kita bukan mengimitasi cara mereka, melainkan kita belajar esensi sebetulnya di dalam pembasuhan kaki ini apa; dan kalau kita baca dari ayat pertama, dikatakan: Yesus mengasihi murid-murid-Nya. Pemuridan ini dimulai dengan Yesus memperhambakan diri-Nya sendiri, Yesus menjadikan diri-Nya budak.
Di ayat 4 dikatakan ‘Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya’. Dalam literatur Yahudi, misalnya Midrash, dikatakan waktu Abraham membiarkan Hagar pergi, dia mengambil kain dan mengikatkannya pada pinggang Hagar, maksudnya menyatakan “kamu itu budak”; Hagar disuruh pergi, memang dia statusnya budak. Sekarang Yesus mengambil sehelai kain lenan, lalu mengikatkan pada pinggang-Nya sendiri; tidak ada orang lain yang mengikatkan itu pada pinggangnya Yesus. Dalam Perjanjian Lama Hagar diusir, disuruh pergi, dan Abraham mengikatkan kain itu pada pinggangnya Hagar, menyatakan posisinya memang budak. Posisi itu yang diambil oleh Kristus waktu Dia mengikatkan sehelai kain lenan di pinggang-Nya, yaitu posisi yang diusir, dibuang keluar. Saudara dan saya tidak bisa melayani Tuhan dengan baik kalau kita tidak memosisikan diri kita sebagai hamba. Banyak orang gagal melayani karena dia bukan mau jadi hamba, dia mau jadi bos, dia mau berkuasa. Dia tidak memosisikan dirinya sebagai hamba, sehingga tidak bisa melayani dengan baik. Seperti ada kerinduan mau melayani, tapi tidak bisa dipakai Tuhan; mengapa? Ya, karena dia tidak punya hati seorang hamba.
Yesus menempatkan diri-Nya seperti dalam posisi Hagar yang diusir; ayat 4-5, Dia mengambil kain lenan dan mengikatkan pada pinggang-Nya, Dia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Kalau kita membaca dari adat-istiadat orang Yahudi, budak-budak Yahudi tidak wajib melakukan ini; dalam Imamat 25: 23-29 dikatakan “kalau ada orang Yahudi yang begitu miskin sampai dia menjual dirinya kepadamu, kamu tidak boleh membuat mereka jadi budak”. Ada tafsiran dalam literatur yang mengatakan, berdasarkan Imamat 25: 23-29, orang Yahudi pun tidak wajib melakukan pembasuhan seperti itu, karena mereka orang Yahudi. Yang seharusnya melakukan adalah budak-budak non Yahudi dari bangsa kafir, yang perempuan dan anak-anak; laki-laki dewasa tidak melakukan itu. Inilah posisi yang diambil oleh Kristus. Posisi yang orang Yahudi pun tidak mau mengambilnya, karena mereka ada dignitas.
Waktu kita bicara dignitas, seringkali yang kita maksud sebetulnya pride, kecongkakan. Akhirnya, dalam keadaan kehidupan kita yang kurang kerendahan hati, kita tidak bisa melayani Tuhan dengan sebaik mungkin, karena terlalu banyak pride dalam kehidupan kita, karena kita menjaga dignitas-dignitas itu. Kalimat-kalimat seperti misalnya ‘kita tidak boleh diatur-atur’, ‘kita ini bukan pegawainya siapa-siapa’, dsb., sebetulnya itu kalimat-kalimat omong kosong, sebetulnya kita tidak punya hati seorang hamba. Kita ini gampang sekali pakai kalimat-kalimat yang membenarkan diri sendiri, tapi waktu melihat kehidupan kita dalam terang Firman Tuhan, sebetulnya kita ini kurang mempunyai hati seorang hamba. Itu sebabnya kita tidak bisa melayani dengan baik.
Yesus memulai pemuridan dengan tindakan menghambakan diri-Nya sendiri. Dia tidak bisa mengajar mereka untuk menjadi hamba, sebelum mereka sendiri dilayani oleh Yesus yang memosisikan diri-Nya sebagai hamba. Dalam hal ini, apa itu pemuridan? Yaitu bahwa orang-orang yang kita layani itu adalah tuan-tuan kita; dan kita yang melayani adalah hamba-hamba. Pemuridan dimulai dengan tindakan menghambakan diri, lalu menjadikan orang-orang yang dilayani sebagai tuan. Kalau pertumbuhan terjadi dalam kehidupan kita, itu akan menggerakkan banyak orang untuk menjadi hamba-hamba yang melayani tuan-tuan –melayani manusia-manusia yang lain itu– seperti Yesus melayani murid-murid-Nya. Inilah artinya pemuridan. Tetapi pemuridan dalam pengertian dunia, berbeda; pemuridan menurut dunia adalah ‘saya lebih superior, karena itu saya berhak dan qualified untuk jadi gurumu; kamu kurang qualified, kurang ilmu ini dan itu, tidak bisa ini dan itu, maka belajarlah daripadaku yang punya skill lebih tinggi daripada kamu’ –skill tersebut bisa berarti pengetahuan teologi, atau apapun lainnya. Dalam hal ini kita bisa menghayatinya baik sebagai individu, maupun juga secara komunal (Gereja). Gereja, kalau mengikuti Kristus, dia menghambakan dirinya. Kita bukan datang dengan panggilan ‘mau mengajar orang-orang yang kurang superior, yang pengetahuan teologinya pas-pasan sehingga musti belajar dari gereja kita’, dsb. Kalau seperti itu, berarti kita tidak mengerti pemuridan yang dikerjakan Yesus.
Yesus mengerjakan pemuridan dan pengajaran itu dengan menempatkan diri-Nya sebagai hamba, dengan membasuh kaki murid-murid-Nya. Satu posisi atau satu penempatan yang sebetulnya tidak layak, jangankan untuk Yesus yang adalah Tuhan, tapi bahkan tidak layak untuk laki-laki Yahudi; posisi itu harusnya untuk budak-budak kafir. Bahkan orang kafir pun tidak semuanya harus mengerjakan ini, cuma budak kafir, yang perempuan, yang anak-anak. Tapi inilah posisi yang diambil Tuhan kita waktu Dia melayani kita.
Satu kalimat yang bagus dari tafsiran dalam WBC waktu bicara tentang divine self-consciousness Yesus, yang mengutip dari Strachan: “John makes use of this massing of theological propositions in order to bring out the great truth that this divine self- consciousness of Jesus, confronted by the final assault of the devil directed through his instrument Judas, maifested itself not in a sovereign display of omnipotence, but in an amazing act of self-humiliation, described in vv 4-5” (‘Yesus punya kesadaran bahwa Dia punya sifat Ilahi, bahwa Dia adalah Tuhan, dan itu bukan dimanifestasikan di dalam satu demonstrasi yang berdaulat tentang kemahakuasaan Ilahi, tetapi justru didemonstrasikan melalui tindakan merendahkan diri’ –terjemahan yang paling penting saja). Kalau kita belajar dalam Teologi Sistematika, atribut-atribut Allah dibahas dengan istilah ‘omni’ atau ‘maha’ (mahakuasa, mahahadir, mahatahu, dsb.), dan kita semua tidak seperti Tuhan; ada perbedaan kualitatif. Jarang sekali teologi sistematika membahas perendahan –padahal kerendahan hati adalah atribut Ilahi—yang dibahas adalah bahwa Allah itu omnipotence. Orang kemudian memahaminya secara salah; karena Allah omnipotence, dan kita dicipta menurut gambar dan rupa Allah, maka kita berjuang untuk jadi omnipotence juga seperti Allah, akhirnya jadi bukan seperti Tuhan tapi seperti setan karena setan ingin terus-menerus lebih tinggi.
Ada seorang teolog Lutheran, Flacius Illyricus –yang ekstrim dan kita tidak bisa menerima teologinya– mengajar bahwa manusia waktu diciptakan adalah image of God, setelah jatuh dalam dosa, dia jadi image of satan. Bagi orang Reformed, manusia setelah jatuh ke dalam dosa, dia tetap image of God, meskipun image-nya rusak dan musti direstorasi di dalam Kristus. Tidak ada teolog Reformed yang mengatakan bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, dia jadi image of satan –kalimat itu terlalu ekstrim. Tetapi kalau kita melihat kehidupan manusia berdosa, bukankah kita musti mengakui banyak orang yang sepertinya lebih mirip setan daripada mirip Tuhan –meskipun kita tidak pakai istilah image of satan—yaitu kehidupan yang maunya terus-menerus naik dan naik, mirip seperti setan. Allah itu mahatinggi, dan karena Dia maha tinggi maka Dia condescending. Yang condescending adalah yang dari atas; yang naik adalah yang dari bawah. Kalau kehidupan kita inginnya terus-menerus naik dan naik, kita sepertinya tidak mencerminkan Tuhan; kita bilang diri kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah tapi tidak ada image of God di dalamnya. Image of God adalah tindakan condescending, tindakan turun, inkarnasi, seperti Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Inilah maksudnya kutipan tadi, bahwa Yesus, yang punya kesadaran Ilahi, Dia bukan memanifestasikan itu dengan demonstrasi omnipotence atau kemahakuasaan atau theology of glory seperti dikatakan Martin Luther, melainkan dimanifestasikan melalui tindakan perendahan. Inilah dignitas yang sesungguhnya. Gereja, Saudara dan saya, kita dipanggil untuk mengikuti gerakan ini, gerakan condescending.
Selanjutnya kita membaca di bagian ini, bahwa ketika pekerjaan Tuhan hadir, selalu ada perlawanan dari Iblis –dalam cerita ini melalui Yudas Iskariot. Luther pernah mengajarkan, kalau kehidupan kita banyak mengalami perlawanan dari Iblis, kita boleh terhibur karena itu berarti kita sudah on the right track. Justru kalau kehidupan kita terlalu nyaman, lancar, seperti penuh damai tapi damai yang palsu, seperti tidak ada pencobaan sama sekali, seperti tidak ada perlawanan, maka di situ Saudara musti hati-hati, Saudara sedang berada di pihak mana sebetulnya, mengapa setan seperti tidak tertarik menyerang. Setan itu tidak tertarik menyerang karena apa? Ya, karena tidak ada pekerjaan Tuhan di sana, apalagi yang mau diserang?? Karena sudah ditelan oleh kegelapan, apanya yang mau diserang?? Sudah di tangan kegelapan, tidak perlu diserang lagi. Tetapi waktu Saudara dan saya mencoba untuk hidup kudus, terlibat dalam pelerjaan Tuhan, maka di situ peperangan rohani mulai terjadi. Hal itu terjadi dalam kehidupan Yesus, dan juga akan terjadi dalam kehidupan Saudara dan saya, waktu kita melibatkan diri dalam pekerjaan Tuhan. Di sisi lain, ini bukan untuk menakut-nakuti atau discouraging kita, justru sebaliknya untuk meng-encourage kita. Di dalam pemuridan yang dilakukan Yesus pun, ada orang seperti Yudas Iskariot.
Kita percaya, dalam cerita ini boleh diasumsikan bahwa Yesus membasuh semua kaki murid-murid –termasuk Yudas– tetapi juga bahwa ini bukan sesuatu yang otomatis; bukan karena Yesus sudah mencuci kaki mereka maka otomatis bersih semua. Ini mau kita kaitkan dengan ajaran sakramentalisme, seperti misalnya waktu Saudara mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Memang dalam pengajaran Reformed, kita bukan cuma makan roti dan minum anggur dalam pengertian jasmani saja, tetapi kita makan tubuh dan minum darah Kristus dalam pengertian rohani. Namun, kita berbagian dalam tubuh dan darah Kristus itu bukanlah tanpa iman; hal tersebut bukan sesuatu yang terjadi secara otomatis dan mekanis, tidak peduli Saudara percaya atau tidak percaya pokoknya tubuh dan darah Kristus akan mengalir dalam kehidupan kita. Tidak seperti itu.
Gereja Barat/ Gereja Latin (Reformed, Lutheran, Anglikan, Roma Katolik) menekankan bahwa yang ikut Perjamuan kudus adalah mereka yang sudah di-sidi atau konfirmasi. Sementara di Gereja Timur, sejak kecil, bahkan bayi pun –yang belum bisa beriman– boleh ikut Perjamuan Kudus. Kita tidak sepakat dengan gambaran ini, karena bagi Gereja Barat waktu seseorang berbagian dalam Perjamuan Kudus –khususnya dalam Reformed, Zwingli yang memperjuangkan—ini bukan sakramentalisme, yang seperti ada kuasa gaib masuk tidak peduli bagaimanapun keadaan kita. Waktu kita berbagian dalam Perjamuan Kudus, meski betul kita makan tubuh dan minum darah Tuhan, kita menghampiri meja Perjamuan Kudus itu bukan tanpa iman, bukan tanpa iman pribadi. Dalam hal ini ada perdebatan. Gereja yang percaya pandangan transubstansiasi mengajarkan roti dan anggur betul-betul berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, sehingga tubuh dan darah Kristus itu bisa masuk ke dalam diri orang yang tidak percaya; sedangkan dalam teologi Reformed, kita mengatakan bahwa orang yang tidak percaya, dia tidak akan menerima khasiat dari Perjamuan Kudus tersebut.
Sama seperti kalau kita kembali ke cerita perikop ini, Yesus juga membasuh kaki Yudas –nampaknya demikian—itu tidak kemudian otomatis secara mekanis Yudas langsung jadi bersih. Alasannya karena pelayanan yang dikerjakan Yesus ini, tidak bisa dipisahkan dengan respons seseorang terhadap Firman yang dikatakan oleh Yesus. Saudara berbagian dalam Perjamuan Kudus, itu satu hal; tapi kalau kita tidak berespons dengan benar terhadap Firman yang diberitakan, ya, Perjamuan Kudus itu tidak menolong Saudara. Ini sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, Firman dan sakramen. Dalam pemahaman teologi Reformed, sakramen itu sendiri juga Firman, Firman yang kelihatan. Tetapi kalau dalam kehidupan ini kita tidak mengindahkan Firman yang diberitakan, kita tidak percaya, kita melewatinya begitu saja, maka jadi seperti kehidupan Yudas Iskariot, yang dibasuh kakinya sekalipun –bahkan yang membasuh adalah Yesus—tetap tidak akan berdampak apa-apa.
Lalu bagaimana dengan Petrus? Di ayat 6, Petrus bilang, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?" Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Petrus, mungkin Petrus cukup kaget karena orang Yahudi tidak membasuh kaki seperti itu, sehingga hal itu mengherankan dia. Petrus ini banyak bicara, dan banyak salah juga; Petrus ngomong dan ngomong terus, tapi sebetulnya dia tidak mengerti apa-apa. Yesus bilang kalimat ini: "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak". Kalau kita memuridkan orang lain, kita musti belajar sabar, karena pemuridan adalah pengharapan eskatologis, bukan hasil langsung. Ini berarti bukan cuma sabar, tapi juga menanti dengan aktif dan berharap orang ini akan diubahkan oleh Tuhan.
Seringkali dalam pengajaran atau pemuridan yang kita kerjakan, kita begitu gampang kehilangan kesabaran. Dengan anak sendiri, kita berharap kalau dikasih tahu satu dua kali, mereka langsung mengerti, seakan-akan kita waktu dikasih tahu Tuhan satu dua kali pun langsung mengerti seumur hidup. Apa betul Saudara dikasih tahu sekali langsung seumur hidup berubah? Kayaknya tidak. Kayaknya Tuhan terus mengulang dan mengulang, kasih tahu lagi dan lagi, dan persoalan kita masih yang itu lagi dan lagi. Tetapi kita terhadap orang yang kita didik atau muridkan, kita tidak sabar. Apa hak kita untuk tidak sabar, karena Tuhan sendiri sabar pada kita, Tuhan kasih tahu dengan mengulang-ulang. Waktu kita mengajar anak atau orang yang lebih muda dan mereka tidak langsung mengerti, bukankah Yesus sendiri sudah bilang “engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak”.
Yesus tidak berhenti melakukan karena orang tidak mengerti; Yesus tetap melakukan itu. Yesus tahu, waktu Dia melakukan itu, “engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak”. Pelayanan ada dimensi eskatologis, tidak mungkin tidak ada dimensi ini. Kalau pelayanan Saudara dimensinya cuma presentis, di sini dan sekarang, tidak ada dimensi eskatologis, maka kita akan gampang sekali kecewa. Kita selalu mengharapkan buah/hasil yang sesegera mungkin, lalu kita kait-kaitkan itu dengan konfirmasi dari Tuhan, padahal sebetulnya kitalah yang tidak memiliki cukup ketekunan. Tapi kita bilangnya “ini tidak ada hasil, tidak ada penyertaan Tuhan, Tuhan tidak mau saya di sini”, akhirnya tanpa sadar pelayanan kita cenderung jadi oportunistik. Tetapi kalau kita dilatih oleh Tuhan, kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Yesus, "apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak".
Yesus sabar, Yesus melakukan ini. Dia tahu Petrus tidak mengerti, dan sudah tidak mengerti malah banyak bicara juga. Petrus terus-menerus ngomong; dan Yesus tunggu. Dia sabar. Dia jawab satu per satu. Saudara baca di sini, banyak ketidakmengertian yang dilontarkan Petrus, tapi Yesus dengan sabar menjawab satu per satu kalimat-kalimat yang menyatakan ketidakmengertian Petrus itu. Pemuridan yang realistis itu berhadapan dengan orang-orang yang tidak mengerti.
Ada satu poin yang menghibur di sini (saya lupa, ini saya dengar dari siapa), waktu Yesus memanggil orang, Dia memanggilnya dalam keadaan orang itu pada saat itu sebagaimana adanya, lalu Dia bentuk. Sedangkan kita di dunia, waktu kita mencari orang, kita cari yang potensial, kita cari yang berbakat, kita invest pada orang yang kita tahu nantinya dia bakal begini begitu sehingga ada return-nya –bukan cuma berupa uang tapi mungkin juga hal rohani. Kalau Yesus berpikir kayak begini, maka tidak akan ada Yudas. Yesus tidak mungkin tidak tahu Yudas akan begini begitu, karena Dia Tuhan. Yesus tidak tertipu dengan keadaan Yudas, tapi mengapa bisa ada Yudas? Itu menyatakan bahwa Yesus tidak berpikir oportunis seperti itu dalam pelayanan. Tapi kita seringkali tidak sadar, bahwa cara pikir company masuk ke dalam Gereja, cara melayani di gereja pun mirip seperti cara orang investasi di dalam dunia, kita cuma melayani orang-orang yang bisa ada return-nya. Return-nya ini tidak harus selalu berupa uang tapi mungkin juga dalam pengertian rohani, misalnya berharap orang yag dilayani itu satu saat jadi hamba Tuhan. Tapi intinya, kita tidak rela kalau menabur tidak ada hasil. Kalau Saudara disuruh memilih waktu pimpin kelompok kecil, misalnya kelompok yang orang-orangnya nanti jadi seperti Billy Graham, Charles Spurgeon, dsb., atau kelompok yang orang-orangnya putar-putar dalam masalah yang sama terus, Saudara pilih yang mana? ‘Ya, sudah pasti pilih yang pertama, ngapain gua sia-siain waktu dengan orang-orang yang kayak begitu’ –itu cara pikir apa??
Coba Saudara perhatikan pemuridan yang dikerjakan oleh Yesus. Petrus sebenarnya juga tidak menjanjikan; dia gagal, dan gagalnya bolak-balik. Sebetulnya yang mengkhianati Yesus bukan cuma Yudas, Petrus juga. Tapi Petrus kemudian direstorasi. Lalu setelah direstorasi, bagaimana? Jatuh lagi. Kita tahu ini dari suratnya Paulus; Petrus jatuh di dalam persoalan yang sama lagi, yaitu ketakutan. Waktu dia menyangkal Yesus, itu karena dia ketakutan –ketakutan kepada manusia. Lalu waktu Paulus menegur, itu karena Petrus makan bersama-sama dengan orang-orang tidak bersunat tapi begitu ada orang-orang bersunat datang, dia pura-pura tidak pernah makan bersama mereka. Paulus menegur kemunafikannya Petrus –ini persoalan ketakutan kepada manusia. Petrus balik lagi ke persoalan itu lagi. Jadi, ya, memang Petrus masih bergumul dalam hal ini –itu setelah direstorasi oleh Yesus. Demikian juga kehidupan Saudara dan saya, kita seringkali jatuh di dalam hal ini. Tapi kita bersyukur, Tuhan terus-menerus memuridkan kita dengan sabar. Dan ayat 7 ini satu ayat yang indah, "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak", bahwa ini pengharapan eskatologis, ini di dalam proses, ini di dalam progres pembentukan yang terjadi dalam kehidupan Petrus, Tuhan kita tetap memuridkan dia.
Selanjutnya, kalimat yang dilontarkan Petrus: "Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!" (ayat 9). Tetapi Yesus menjawab: "Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya”, lalu pembicaraan ini diarahkan kepada realita bahwa di situ, “kamu sudah bersih, hanya tidak semua" (ayat 10). Mulanya pembicaraan seputar tubuh, ada kaki, tangan, kepala, dsb., tapi kemudian diarahkan kepada pembicaraan "tidak semua kamu bersih", bahwa di situ ada seorang yang namanya Yudas, dan bahwa Yudas ini akan menyerahkan Dia. Di dalam Gereja, ada orang-orang yang betul-betul mencari Tuhan, ada orang-orang yang mau dengar Firman Tuhan, ada orang-orang yang percaya, dan ada orang-orang yang cuma datang begitu saja. Kalau kita melihat di dalam Firman Tuhan, di dalam orang-orang yang dipakai Tuhan, kita tidak bisa mendirikan Gereja yang isinya cuma orang-orang yang lahir baru, cuma orang-orang yang percaya. Itu kelihatannya ideal, tapi sepertinya bukan kehendak Tuhan.
Waktu di Jerman, saya pergi ke sebuah Gereja pietis yang dilayani seorang hamba Tuhan. Gereja pietis sangat ketat dalam hal lahir baru. Kemudian dalam satu seminar, saya –mengikuti pandangan Agustinus yang bicara tentang gandum dan lalang– menanyakan kepada pendeta ini, bagaimana dengan Alkitab yang bilang ada gandum dan ada lalang. Pendeta itu lalu menjelaskan, “Iya, tapi coba perhatikan lagi; itu tidak bicara tentang Gereja, itu bicara tetang dunia.” Maksudnya, kalau di dunia ada gandum dan lalang, tapi kalau di Gereja harus gandum tok, tidak boleh ada lalang. Tapi saya pikir ini tidak sesuai dengan gambaran Alkitab secara keseluruhan, karena Gereja pun ada di dalam dunia. Dunia ada gandum dan lalang, itu betul; lalu Gereja adanya di mana? Apa di Planet Mars?? Gereja ada di dunia, jadi Gereja isinya campuran juga –corpus permixtum, kata Agustinus.
Dalam sejarah Gereja memang ada aliran-aliran tertentu yang coba membersihkan lalang dari Gereja, tapi itu tidak cocok dengan gambaran Teologi Historika yang kita warisi dari Bapa-bapa Gereja, dan juga dari reformator seperti Calvin. Waktu di Jenewa, Calvin menyatakan bahwa dia percaya di dalam Gereja ada orang pilihan dan orang bukan pilihan, dan bahwa dia tidak berusaha menyelidiki siapa yang pilihan dan siapa yang bukan pilihan –bukan itu poinnya –dan di situ dia merenungkan tentang doktrin predestinasi, dsb. Lalu kalau Saudara melihat inner circle-nya Yesus, kedua belas murid itu, yang semacam Gereja juga, di situ ada Yudas, dan di situ dikatakan "Tidak semua kamu bersih."
Tapi bagaimana kita menanggapi ayat seperti ini? Apakah untuk menakut-nekuti, “jangan-jangan saya Yudas, saya Yudas, saya Yudas …”? Sekali lagi saya mengingatkan Saudara, dalam Matthäus-Passion dari Johann Sebastian Bach, ada satu refleksi waktu cerita tentang Yudas; di situ jemaat menempatkan dirinya di dalam posisi Yudas itu supaya masih ada kesempatan untuk bertobat. Kita bisa menempatkan diri kita di mana saja; waktu membaca Firman Tuhan, tidak harus kita selalu menempatkan diri di posisi Yesus misalnya, atau di posisinya Petrus yang diberkati. Waktu membaca Firman Tuhan, kita bisa menempatkan diri kita di posisi Yudas juga. Mengapa kita berani menempatkan diri dalam posisi Yudas itu? Karena kalau kita percaya bahwa kita mendapatkan belas kasihan dan anugerah Tuhan, maka kita menempatkan diri di posisi mana pun, itu adalah undangan pertobatan maksudnya. Waktu kita merefleksikan diri kita ini seperti yudas-yudas, itu berarti Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk bertobat, untuk percaya, untuk kembali kepada Tuhan Yesus.
Kita merayakan Perjamuan Kudus, yang juga merupakan undangan dari Tuhan Yesus, supaya kita boleh berbagian di dalam kehidupan-Nya. Seperti dalam cerita ini, supaya kita boleh berbagian di dalam ayat 8, "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku." Kita diundang untuk berbagian di dalam kehidupan Tuhan. Waktu kita Perjamuan Kudus, kita betul-betul makan tubuh Kristus, itu berarti kita dipersatukan Tubuh-Nya yang satu itu; kita minum darah Kristus, itu berarti kehidupan Kristus betul-betul masuk ke dalam kehidupan kita.
Kiranya Tuhan menguatkan kita. Kiranya Tuhan menguduskan dan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading