Ada satu koneksi yang sangat erat antara kehidupan Kristus dengan kehidupan Daud, terlebih lagi di dalam peristiwa Natal. Misalnya dalam Mat 1:1 dikatakan “inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham”; di bagian lain malaikat mengatakan “telah lahir bagimu Juruselamat di kota Daud”. Jadi premis kita untuk membicarakan Daud dalam masa Natal adalah karena Alkitab sangat dekat dengan pemikiran bahwa jika Saudara tidak mengerti Daud, Saudara tidak mengerti Kristus juga, dan tentu saja juga tidak mengerti Natal.
Latar belakang kisah yang kita baca dari bagian Alkitab ini adalah Israel mulai mengalami keamanan, Daud mulai sukses secara militer, kestabilan politik serta ekonomi mulai terjadi. Raja Daud sendiri tinggal di rumah dari kayu aras (cider) –yang termasuk high quality timber, bukan cuma indah dan mahal tapi juga harum– sedangkan tabernakel Allah hanya berupa kemah. Pada waktu itu tidak sembarangan orang mengubah kemah, maka kemungkinan bahan-bahan kemah ini sudah berusia seratusan tahun, berjamur di sini sana, bahkan mungkin juga bau. Oleh sebab itu Daud merasa tidak tepat kalau dia tinggal di rumah yang begitu wangi, sementara Tuhan tinggal di rumah yang bau; dan dia mengatakannya kepada Natan. Natan berespon: “Baik, lakukanlah segala sesuatu yang dikandung hatimu, Tuhan menyertai engkau”. Tapi, malam itu juga firman Tuhan datang kepada nabi Natan yang isinya menolak ide Daud. Mengapa? Di bagian ini kita bisa melihat paling tidak ada 2 alasan.
Yang pertama: prinsip inkarnasional (ayat 6-7). Di ayat tersebut pada dasarnya Allah mengatakan ‘selama Aku memimpin Israel, apa pernah Aku minta siapa pun mendirikan rumah untuk Aku? tidak pernah’. Dan alasannya secara implisit yaitu ‘karena Aku adalah Allah yang berinkarnasi, Allah yang sungguh-sungguh tinggal bersama dengan umat-Nya. Kalau umat-Ku sedang mengembara, Aku pun mengembara; yang umat-Ku alami, Aku alami. Dan kalau umat-Ku belum kokoh, maka Aku juga tidak akan meminta itu’. Kita mungkin bertanya, bukankah saat itu Israel mulai aman? Memang betul, tapi belum aman dan sungguh-sungguh kokoh karena di pasal-pasal sebelumnya masih banyak musuh. Di sini Allah mengatakan bahwa Dia menolak hidup bagaikan Raja ketika umat-Nya masih hidup bagaikan pengungsi. Allah mau hidup bersama umat-Nya; kalau umat-Nya miskin, Dia juga miskin; kalau umat-Nya menderita, Dia juga menderita. Intinya, yang umat-Nya alami, Allah mengatakan “Aku juga akan mengalami”. Betapa luar biasa Allah yang seperti ini.
Yang kedua: prinsip anugerah (ayat 8). Prinsip anugerah ini tidaklah semanis yang Saudara pikir. Kalimat di ayat 8 ini sebenarnya sangat menusuk: “Beginilah firman TUHAN semesta alam: Akulah yang mengambil engkau dari padang, ketika menggiring kambing domba, untuk menjadi raja atas umat-Ku Israel.” Terjemahan bahasa Indonesia di sini kurang tajam; kata yang dipakai sebenarnya adalah achar, yang artinya ‘mengikuti domba’. Allah bukan memberi titel “gembala” kepada Daud tapi mengatakan: ‘kamu tadinya dipimpin oleh domba, domba pergi ke mana, dan kamu mengikutinya; lalu kalau sekarang ini kamu memimpin manusia, itu karena Aku’. Dan di situ Tuhan berkali-kali mengatakan ‘Aku yang begini, … Aku yang begitu, … ‘. Pada dasarnya Allah sedang menusuk hati Daud dengan mengatakan ‘kamu tidak pernah akan bisa melakukan sesuatu bagi-Ku’; yang selama ini kamu bisa lakukan, itu karena engkau melakukannya melalui Aku, hanya karena anugerah-Ku, engkau bisa punya kuasa, bisa sukses; jadi, kamu tidak akan mendirikan rumah bagi-Ku’. Lalu di ayat 11 Tuhan membalas ide Daud tadi dengan mengatakan: “Aku yang akan mendirikan bagimu rumah” (di sini terjemahan bahasa Indonesia dikatakan ‘Aku yang akan memberikan kepadamu keturunan’, tapi bahasa aslinya di ayat 8 dan 11 sama-sama memakai kata ‘bayith’: “Engkau, Daud, tidak akan mendirikan bagi-Ku bayith, tapi Aku yang akan memberikan bagimu bayith”; ini seperti kata ‘rumah’ dalam bahasa Indonesia yang bisa berarti bangunan rumah, tapi ada juga kata ‘rumah tangga’ artinya sesuatu yang ada di dalam rumah tersebut, yaitu keluarga). Di sini Saudara lihat kontrasnya: kamu tidak akan mendirikan bagi-Ku rumah, Aku yang akan mendirikan rumah bagimu.
Prinsip anugerah ini sangat penting, dan akan lebih mengejutkan lagi kalau kita menyadari konteks sejarahnya. Dalam zaman itu, dari catatan-catatan sejarah kita tahu bahwa sangatlah biasa kalau seorang raja mulai sukses secara militer maupun ekonomi, mereka harus segera mendirikan kuil/ bait bagi salah satu atau banyak dewanya. Dicatat dalam sejarah, ketika Thutmose III –seorang Firaun Mesir– mendirikan kuil bagi dewa Mesir Amun-Ra, datang beberapa imam Amun-Ra yang mengatakan kepadanya: “Karena engkau telah mendirikan tempat tinggal bagi Amun-Ra, dan kemegahan kuil yang kau bangun ini melampaui semua firaun sebelumnya, maka Amun-Ra mengatakan akan mengokohkan kerajaanmu sampai selama-lamanya”. Mirip seperti yang baru kita baca di bagian Alkitab ini tapi ada beda yang sangat mendasar, yaitu raja-raja mendirikan rumah bagi dewa-dewa, lalu dewa-dewa memberikan kuasa bagi raja-raja. Jadi yang dicatat dalam Alkitab bagian ini sebetulnya bukan sesuatu yang positif dalam kehidupan Daud, tapi justru negatif, yaitu Daud hampir saja jatuh ke dalam pola yang sama dengan raja-raja itu.
Dalam cerita tentang Saul, dosa Saul terutama bukanlah soal dia mengambil jarahan, tapi Saul mulai menjadi seperti raja-raja bangsa-bangsa lain. Dan inilah juga yang terjadi dalam hidup Daud; Daud mulai beroperasi seperti raja-raja lain. Dia pikir, sebagaimana raja-raja lain, dia juga punya kewajiban mendirikan suatu kuil bagi dewanya sehingga dewanya akan mengokohkan dia. Eugene Peterson memberikan tafsiran di bagian ini: Daud hampir saja –di balik kedok keagamaan– terjatuh ke dalam dosa pride. Terusung oleh kemenangannya atas bangsa-bangsa lain, terusung oleh kesuksesan militernya, terusung oleh keberhasilannya menyatukan bangsa Israel, Daud mulai sedikit mabuk akan kesuksesan dan mengira dirinya bisa melakukan sesuatu bagi Tuhan. Untungnya –sebagaimana kita lihat di bagian ini, dan oleh karena anugerah– Tuhan datang menegurnya. Tuhan mengatakan: “Aku tidak seperti dewa-dewa lain. Agama lain mengatakan ‘dirikanlah kuil bagi Allah maka Allah akan memberkatimu’, tapi Aku adalah Allah anugerah, Aku sangat berbeda”. Bagaimana bedanya? Saudara bisa melihat bedanya pada bagian selanjutnya di ayat 11-16, Allah justru memberikan sebuah counter promise, suatu janji yang membalas janji Daud yang dicoret-Nya itu, yaitu “bukan kamu yang mendirikan rumah bagi-Ku, Aku yang akan mendirikan rumah bagimu”.
Pada dasarnya yang Tuhan katakan adalah: ‘Aku berjanji untuk menjadikan keturunanmu sebuah dinasti kerajaan –the House of David– yang tidak berkesudahan, dan Aku akan memberikan diri-Ku kepada keturunan ini di dalam anugerah; Aku akan memberikan diri-Ku tanpa syarat, sehingga baik kematian, waktu, ataupun dosa, tidak ada yang akan mematahkan komitmen-Ku terhadap keturunanmu’. Janji ini melampaui kematian, karena di ayat 12-13 Allah mengatakan: ‘meskipun kamu mati, Aku tidak akan berpaling dari keturunan-keturunanmu’. Lalu ayat 14-15 menunjukkan bahkan janji ini melampui dosa, pada dasarnya Allah mengatakan: ‘nanti beberapa keturunanmu akan berdosa, dan Aku akan menghukum mereka’. Kita tahu dalam garis keturunan Yehuda, tidak semua raja-rajanya beres, bahkan anak Daud pun, Salomo, banyak penyelewengan; tapi Allah mengatakan: ‘tidak seperti Saul, ketika Saul berdosa Aku buang, tapi keturunan yang ini meskipun mereka berdosa, Aku akan menghukum mereka namun tidak akan meninggalkan mereka seperti Aku meninggalkan Saul; dosa tidak akan mematahkan komitmen-Ku’. Dan di ayat 16 –ayat kuncinya– janji ini bahkan melampaui waktu, dikatakan: ‘kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya; tidak akan dipatahkan oleh waktu sekalipun’. Apakah ini hiperbola retorika seperti biasanya perkataan kepada raja-raja, “Long live the King! May the King life forever!” ? Tidak. Di sini pembicaraannya bukan dari budak kepada rajanya untuk mengambil hati, melainkan Allah yang bicara kepada manusia. Dan kita tahu ini bukan retorika belaka karena salah satu keturunan Daud bukan hanya akan menjadi seorang raja, tapi sungguh menjadi Raja atas segala raja, dan kerajaan-Nya kekal.
Lalu apa tujuan kita membicarakan ini dalam masa Natal? Saya ingin menggaungkan kembali yang sudah Pendeta Billy kotbahkan pada perayaan Natal Minggu lalu, yaitu kalau Saudara melihat Daud yang di-referensi-kan dalam cerita Natal dan dalam kehidupan Yesus, itu berarti sangat penting untuk tidak menceraikan berita Natal dari jabatan Kristus sebagai Raja. Narasi Natal berkali-kali menghubungkan antara Kristus dengan Daud, tujuannya untuk memberitakan bahwa Kristus adalah seorang Raja. Ini yang penting. Berita Natal bukanlah cuma berita bahwa ada seorang Juruselamat yang telah lahir, dan kamu yang berdosa dihapuskan dosanya secara pribadi, dst., tapi bahwa ada seorang Raja datang, yang akan menguasai seluruh bumi. Ini hal penting yang seringkali kita tidak sadari, atau mungkin juga kita pikir kita sudah sadar. Yang diperlukan dunia ini bukan cuma keselamatan pribadi di dalam hati; untuk bisa dipulihkan, dunia membutuhkan seorang raja yang baru, sebuah manajemen yang baru. Dan ini yang seringkali tidak ada dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen.
Kita coba kembalikan ke cerita dasar Alkitab. Kita, orang Kristen, tahu bahwa pada awalnya Allah menciptakan dunia dengan tujuan menjadikan dunia sebagai suatu tempat yang sungguh amat baik, sebuah paradise. Tapi manusia kemudian jatuh dalam dosa, oleh karena itu dunia ini rusak, hancur, dan sekarang penuh dengan perang penyakit, kematian, bencana, rasisme,konflik, korupsi, dst. Pertanyaannya: apa solusinya? Kita seringkali berpikir solusinya adalah kita perlu seorang Juruselamat, yang akan membersihkan hati kita, membuang dosa-dosa kita, membersihkan rohani kita, dan suatu saat melepaskan kita dari dunia yang kotor ini, membawa kita pulang ke surga. Saudara harus tahu, berita Natal bukan terutama mengenai hal itu! Berita Natal adalah berita yang menghadirkan Kristus bukan cuma sebagai Juruselamat pribadi Saudara secara rohani, tapi sebagai Raja yang memerintah di atas bumi. Ini dua hal yang sangat berbeda.
Solusi yang Alkitab tawarkan selalu solusi dalam aspek rajani ini. Dalam Mazmur 96 –ayat-ayat yang sangat terkenal, yang mengantisipasi pemulihan bumi– dikatakan: “Biarlah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya, biarlah beria-ria padang dan segala yang di atasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai …” Mengapa mereka melakukan ini semua? Dikatakan: “sebab Allah datang, dan Dia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi bumi”, bukan dikatakan ‘Dia datang untuk menyelamatkan bumi’. Dan persis di ayat sebelumnya dikatakan: "TUHAN itu Raja! … Ia akan mengadili bangsa-bangsa dalam kebenaran." Jadi di sini keselamatan/ pemulihan yang kita alami, datang bukan cuma karena adanya pembaharuan internal rohani di dalam hati; Alkitab seringkali memberitakan bahwa pembaharuan/ keselamatan itu karena Allah datang untuk memulihkan sesuatu yang di luar, memulihkan bumi ini. Itu sebabnya ada penghakiman, ada kebenaran, dan itulah yang membuat pohon-pohon bersorak-sorai. Solusi yang Alkitab tawarkan tidak pernah hanya pembaruan internal rohani yang pribadi. Ketika Raja itu datang, pohon-pohon bersorak sorai. Pohon yang kita lihat hari ini hanyalah bayang-bayang dari pohon-pohon yang akan datang, dan pohon-pohon itu bisa memenuhi potensinya sehingga bersorak-sorai ketika Raja itu datang dengan manajemen-Nya yang baru. Jika pohon-pohon akan seperti itu, Saudara bisa bayangkan apa yang terjadi dengan diri Saudara dan saya, karena sama seperti pohon-pohon, kita hari ini hanyalah bayang-bayang dari yang akan datang ketika Sang Raja itu kembali menghakimi bumi, berkuasa atas bumi ini. Inilah maksudnya ketika Daud diberitakan bahwa keturunannya akan jadi Raja yang kekal. Ini bukan semata-mata pemulihan rohani kita, tapi justru terutama adalah pemulihan seluruh bumi.
Supaya Saudara bisa mengerti kontras antara ‘hanya melihat Allah sebagai Juruselamat’ dengan ‘melihat Allah sebagai raja’, kita coba memakai contoh berikut ini. Misalnya, hari ini di Indonesia ada banyak kerusakan, banyak kebocoran, kebodohan, penipuan; lalu apa yang biasanya diteriakkan sebagai solusi bagi negara seperti ini? Seringkali yang diteriakkan oleh dunia untuk solusinya justru lebih biblikal daripada kita, karena mereka berteriak “kami minta pemimpin yang baru, kami minta ‘raja’ yang baru”; kalau semua kerusakan mau dibereskan maka solusinya adalah adanya seorang pemimpin yang baru, sebuah manajemen yang baru. Itu yang menjadi pengharapan mereka. Dan seringkali kita, orang Kristen, mengatakan: “Bukan itu solusinya, solusinya tidak bisa cuma itu, karena ini dunia, sehingga kalaupun ada pemimpin yang beres, tidak tentu negaranya bisa jadi bagus. Jadi solusinya bukan cuma orang-orang di atas yang bisa memimpin, tapi juga perlu orang-orang yang di bawah yang bisa dipimpin. Itu sebabnya kita perlu pembaharuan yang internal, yang rohani, yang bersifat individual”. Itu bedanya, antara keselamatan yang datang lewat mode atas dengan yang mode bawah ini. Itu gambarannya dalam soal negara.
Waktu di dalam perspektif orang Kristen, kita melihat kerusakan, penipuan, penyelewengan, jangan-jangan kita selama ini meneriakkan satu solusi yang kurang biblikal, yang orang dunia bahkan lebih biblikal daripada kita. Kita meneriakkan solusinya ada di pembaharuan internal rohani setiap dari kita ini; kalau kita diperbaharui secara rohani, kalau Tuhan Yesus kita terima jadi Juruselamat pribadi kita, maka segalanya akan jadi baik. Itu solusinya menurut kita. Saudara lihat, orang-orang dunia meminta pemimpin yang baru, dan inilah yang seringkali justru merupakan satu aspek dalam Alkitab yang kita tidak ngeh. Mengapa bisa terbalik seperti ini, justru jawaban yang lebih biblikal adalah jawaban yang orang dunia katakan? Mungkin itu sebabnya orang-orang di dunia mengerti apa sebenarnya pengharapan yang tepat. Mereka bisa merasakan itu di dalam hati mereka, bahwa keadaan baru akan beres, segala sesuatu baru akan murni, jikalau ada seorang hakim yang baru, jikalau ada seorang “raja” yang baru yang datang dan memerintah. Sebaliknya orang Kristen malah tidak peka akan hal ini, tidak ada pengharapan ke arah ini.Saya tidak mengatakan bahwa pembaharuan yang individual itu salah –Alkitab pun banyak sekali mengatakan hal ini– tapi seringkali kita melupakan aspek yang satunya tadi, kita melupakan bahwa Kristus bukan cuma hadir sebagai Juruselamat pribadiku, tapi Dia hadir sebagai Raja yang memulihkan bumi ini.
Alasannya berkali-kali Kristus dikatakan sebagai Anak Daud, alasannya ada benang merah yang senantiasa menghubungkan tema-tema Perjanjian Lama dengan Kristus di Perjanjian Baru, yaitu untuk menyatakan Kristus inilah Rajanya, bukan cuma Juruselamatnya. Tadi kita melihat bahwa janji Tuhan kepada Daud melampaui kematian, melampaui dosa, melampaui waktu; semua ini digenapi di dalam diri Kristus. Dia mengalahkan maut, karena Dia bangkit dari kematian. Dia mengalahkan dosa, karena Dia mati di kayu salib dan membayar hutang dosa manusia. Dia mengalahkan waktu, karena Dia bukan cuma Anak Daud tapi adalah Anak Allah, dan oleh sebab itu kerajaan-Nya sungguh kerajaan yang kekal. Lebih dari itu, Kristus juga menggenapi prinsip inkarnasional yang tadi kita bahas, yaitu Allah yang mengatakan ‘Aku mau tinggal sebagaimana umat-Ku tinggal; mereka tinggal di kemah, Aku juga tinggal di kemah’. Memang benar itu cuma simbol; tapi sebagaimana semua simbol, itu menunjuk kepada sesuatu yang bukan simbol itu sendiri, yaitu Kristus, karena ratusan tahu setelah Allah mengatakan kepada Daud, Allah sungguh menjelma menjadi manusia, yang miskin, menderita, mati, mengembara, yang sungguh-sungguh tidak punya rumah, Dia mengatakan “serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tapi Anak manusia tidak ada tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Kristus menggenapi prinsip inkarnasional ini. Tapi, mengapa ada penggenapan seperti ini? Mengapa ada benang merah seperti ini, yang begitu jelas antara Perjanjian Lama kepada diri Kristus di Perjanjian Baru? Semua ini tujuan utamanya adalah untuk menyatakan bahwa Dia adalah seorang yang jabatannya Raja, dan bukan sekedar Juruselamat pribadimu di dalam hatimu.
Mungkin kita mengerti hal ini secara Alkitabiah, selama ini pun kita mengakui Dia sebagai Raja, kita juga menyanyi “Rajakanlah Yesus”, kita bukan mengatakan ‘saya cuma mau Tuhan sebagai Juruselamat, saya tidak mau Tuhan sebagai Raja’, tapi apa konkritnya? Bedanya apa? Kita bisa melihat kalau kita tidak mengakui Dia sebagai Raja, dan mungkin hanya mengakui Dia sebagai Juruselamat, yaitu dari hidup kita. Tentang Dia sebagai Juruselamat pribadi atau tidak, itu masalah internal, rohani; di sini Saudara tidak bisa mengatakan yang mana orang yang sungguh-sungguh menerima Dia sebagai Juruselamat pribadi dan mana yang tidak. Tidak ada orang yang bau neraka atau bau surga, kita tidak bisa tahu itu, hanya Tuhan yang tahu karena itu masalah rohani yang internal. Tapi berbicara mengenai Allah sebagai Raja, kita bisa mengatakan yang mana orang yang menerima Dia sebagai Raja mereka, yaitu lewat melihat hidupnya. Maka kalau semua hamba Tuhan di mimbar ini berkali-kali mengatakan bahwa kita hanya peka akan ‘Tuhan sebagai Juruselamat’ dan tidak peka akan ‘Tuhan sebagai Raja’, itu berarti dalam hidup kita ada hal-hal yang tidak mengindikasikan kita adalah pengikut-pengkut-Nya. Hal yang internal memang Saudara tidak bisa lihat, tidak bisa nilai; tapi hal-hal yang bersifat ke-raja-an Saudara bisa lihat dari cara hidup kita. Bagaimana kita tahu siapa yang menjadi penguasa di rumah, yaitu dengan melihat hidupnya, melihat rumahnya, misalnya apakah TV di rumah ditaruh di tempat yang pinggiran atau setiap kamar ada TV, dsb. Dari hidupnya, Saudara bisa melihat siapa raja atas hidup orang itu. Itu sesuatu yang gampang sekali dilihat, bukan hal internal tapi sangat eksternal, bisa dilihat dari luar. Jika begitu, mari kita lihat hidup kita dan kita bisa mengerti sebabnya selama ini hidup kita tidak mencerminkan hidup yang mengerti Allah sebagai Raja, yang jangan-jangan cuma mengerti Allah sebagai Juruselamat.
Kalau kita melihat Tuhan sebagai Raja, ada dua hal: pertama, pengharapan masa depan kita ada dalam dunia materi ini. Kalau Kristus hanya seorang Juruselamat, maka Kekristenan hanya urusan individual saja, dan itu berarti pengharapan masa depan kita adalah jiwa-jiwa individu ini dibebaskan dari dosa. Oleh sebab itu, dalam skema ini terlihat bahwa dunia materi tidak terlalu ada hubungannya dengan kerohanian kita; kalaupun ada, letaknya di pinggiran sekali, bukan di setiap kamar.
Richard Pratt tajam sekali membongkar hal ini; dia mengatakan seperti ini: “Coba tanyakan kepada orang-orang non Kristen, ‘apa pengharapan dalam hidupmu, apa yang engkau inginkan dalam hidup ini’. Mereka mungkin akan mejawab seperti ini: ‘yang penting saya tidak berkekurangan, anak-anak saya sekolah baik-baik, kalau bisa saya punya pasangan, kalau bisa pasangan saya jangan menyeleweng, kalau bisa saya hidup berbangsa dan bernegara yang aman damai sejahtera sentosa, dan suatu hari kalau saya harus meninggal –karena bagaimanapun semua orang harus meninggal– saya minta meninggal yang enak, tidak sakit’.” Selanjutnya Richard Pratt mengatakan untuk coba bertanya kepada orang-orang Kristen, dan melihat apakah jawabannya berbeda atau tidak. Bagaimana kalau Saudara bertanya kepada dirimu? Seberapa berbedanya jawabanmu dibandingkan jawaban orang-orang non Kristen? Mungkin ada bedanya, tapi beda yang sedikit sekali. Beda yang pertama, mungkin Saudara mengawali setiap kalimat dengan kata ‘Tuhan’ –‘saya harap Tuhan memberikan hidup yang tidak berkekurangan, Tuhan menolong supaya anak-anak saya dapat sekolah yang baik, saya harap Tuhan menolong supaya saya jangan terus jomblo, saya harap Tuhan menolong supaya pasangan saya jangan menyeleweng, saya harap Tuhan menjaga supaya waktu saya akhirnya harus meninggal, saya meninggal dalam kedamaian tanpa rasa sakit’– dan kemudian beda yang terakhir yaitu: ‘setelah saya mati, saya masuk surga’. Itu saja. Memang kita mengatakan “Tuhan itu Raja saya”, tapi kehidupan kita di mana-mana hanya memikirkan mengenai Juruselamat pribadi, keprihatinan pribadi, masalah kedamaian pribadi, dst., dan dunia materi tidak ada tempatnya atau hanya sangat pinggiran. Kita memang tidak mengatakan “O, kita orang Kristen, jadi lebih baik dunia ini cepat hancur saja lebih baik”, tapi mungkin kita juga tidak terlalu mementingkan seni yang tinggi, kita tidak mencari musik yang berkualitas tinggi, kita tidak merasa itu semua penting, bagi kita ‘yang penting saya dan hati saya di hadapan Tuhan’.
Saudara, jikalau Kristus adalah Raja dan bukan cuma Juruselamat, jikalau objektif Kekristenan bukan cuma kita dari bumi naik ke surga melainkan sungguh-sungguh surga turun ke bumi, jikalau objektif dari Kekeristenan adalah Kristus yang datang sebagai Raja menghakimi bumi dan memulihkan bumi sehingga pohon-pohon bisa bersorak-sorai, maka keselamatan Kekristenan itu tidak pernah hanya mengenai keselamatan pribadiku atau keselamatan pribadimu. Keselamatan Kekristenan harus Saudara mengerti dalam urusan komunal, bahkan dalam level kosmik. Dunia materi ini memang benar sesuatu yang rusak, tapi akan dan sedang diperbaharui. Dan itu berarti Saudara akan mempunyai satu penekanan pengharapan yang sangat besar terhadap dunia materi ini. Waktu Saudara hidup sebagai orang Kristen, Saudara bukan hanya akan menginjili, tapi Saudara akan memikirkan bagaimana mendirikan rumah-rumah, bagaimana memperbaiki hidup orang miskin, bagaimana menjadi dokter yang baik untuk membetulkan tubuh yang rusak, dst. Contoh konyol: bagaimana menjadi pilot yang Kristen? Bukan dengan doa di awal sebelum terbang dan doa di akhir setelah mendarat, bukan cuma itu meski itu penting. Saya pernah mendengar satu kalimat mengatakan: “Menjadi pilot Kristen adalah berarti kamu berhasil menerbangkan pesawatnya tanpa kecelakaan dan kamu berhasil mendaratkan pesawatnya sehingga pesawat itu bisa dipakai lagi.” Seringkali kita tidak sadar akan dimensi yang ini. Kalau kita adalah orang yang sungguh melihat Allah kita sebagai raja yang menurunkan kuasa-Nya ke atas bumi ini, itu berarti kita akan benar-benar menggumulkan untuk masuk dunia politik yang kotor itu, karena Dia juga turun ke dunia yang kotor.
Apa sebenarnya yang raja-raja lakukan? Apa yang kita harapkan dari seorang raja ketika dia naik takhta? Ketika Saudara mengharapkan tokoh politikmu naik “takhta”, naik ke posisi yang berkuasa, apa yang jadi keinginan dan pengharapanmu? Coba Saudara pikirkan, dan lihat betapa berbedanya antara kita melihat tokoh- tokoh politik dunia dengan kita melihat Allah. Kalau kita melihat pahlawan politik kita naik ke tempat yang kita ingin mereka berkuasa di situ, apakah kita akan mengatakan “Oh, sekarang saya senang karena yang penting dia naik takhta dan hati saya begitu damai, saya mendapatkan ketenangan rohani”, apakah itu yang terutama? Tentu tidak. Kita akan mengatakan “saya ingin tokoh politik ini naik, berkuasa, bukan untuk memperbaharui jiwa saya –memang saya akan senang dan ada perasaan damai– tapi saya ingin dia naik karena dengan demikian dia akan memperbaharui jiwa sebuah bangsa”. Itu yang jadi pengharapan kita atas tokoh politik dalam dunia. Demikian juga harusnya dengan Kekristenan. Hari ini kalau Saudara melihat berita korupsi di koran, Saudara mengatakan “ah, itu biasa”; tapi kalau Saudara dicuekin di gereja, Saudara marah. Mungkin yang kebalikannya lebih benar s; kalau Saudara disapa di gereja, itu biasa karena ini dunia bukan surga, dan kita sedang berusaha mengembalikan dunia ini ke takhta Allah. Sebaliknya, kalau ada orang yang korupsi merugikan orang banyak, memiskinkan orang banyak demi memperkaya diri, harusnya kita murka dan memikirkan bagaimana sebagai orang Kristen saya bisa masuk ke dalam kenegaraan supaya hal ini tidak terjadi berulang. Tetapi reaksi kita hari ini begitu berbeda.
Yang kedua, kalau Allah bagimu bukan cuma Juruselamat, Saudara bukan saja punya pengharapan yang besar bagi dunia materi ini, tapi Saudara akan bertindak. Mengapa? Karena waktu Saudara melihat Kristus sebagai Raja, itu berarti Saudara harus melayani Dia. Ada banyak hal yang kita dapatkan dari seorang raja, tapi satu hal yang pasti tentang raja di mana pun, yang baik maupun yang jahat, mempunyai seorang raja maka pastinya Saudara akan mengalami ketidak-nyamanan. Kalau Saudara mempunyai seorang raja, maka raja itu pasti akan mengganggu hidupmu, mengganggu agendamu. Mempunyai seorang raja berarti ada hal-hal yang Saudara ingin lakukan, dan Saudara tidak bisa lakukan. Mempunyai seorang raja berarti ada hal-hal yang Saudara tidak mau lakukan, dan dia akan menyuruhmu melakukan dan engkau harus taat. Itu artinya mempunyai seorang raja. Kalau seseorang adalah raja, berarti kita melakukan yang dia minta, tanpa syarat, tanpa tanya-tanya; jika tidak, itu bukan ketaatan. Mempunyai seorang bos saja sudah menyebalkan, apalagi punya raja. Tapi hal ini seringkali bukanlah sesuatu yang kita anggap ‘biasa’ di dalam Gereja, kita tidak mau seperti itu, kita mengatakan “saya kecewa dengan Kekristenan, saya kecewa dengan Gereja”, mengapa? Unjungnya adalah karena kita tidak punya ketaatan.
Ketika kita mengatakan kecewa dengan Gereja, dengan Tuhan, dengan hamba Tuhan, atau siapa pun juga di gereja, biasanya karena ada hal-hal lain –yang sebenarnya boleh tidak ada– yang tidak saya dapatkan dalam Kekristenan, yaitu yang tadi kita sebutkan: hidup tidak berkekurangan, anak-anak punya sekolah yang baik, tidak jomblo terus-menerus, pasangan tidak menyeleweng, dan kalau mati itu matinya dalam tidur. Waktu tidak mendapatkan hal-hal itu, kita mulai mengomel. Atau hal yang lain, misalnya pendeta harusnya tidak kritik-kritik saya dari mimbar, kalau saya melayani harusnya diterima dengan sangat baik, kalau saya ada kesalahan dikasih tahu dengan sangat lembut dan penuh kasih; lalu waktu tidak mendapatkan itu, kita marah, kecewa. Jika demikian, siapa yang engkau sembah? Melayani seorang raja pasti akan membuat Saudara tidak bisa melakukan hal-hal yang Saudara mau, dan akan membuat Saudara melakukan hal-hal yang Saudara tidak mau; apa anehnya dalam hal ini. Kita merasa ini aneh karena kita mau Dia hanya sebatas sebagai Juruselamat –saya mau Engkau berkarya bagiku, Tuhan; saya tidak mau berkarya bagi-Mu, itu ‘kan bukan message Alkitab, itu ‘kan bukan message Natal! Di baliknya, Saudara sedang mengatakan “aku mau melayani-Mu Tuhan, kalau … “.Jika Saudara tidak membuang kata ‘kalau’ ini, berarti Saudara tidak sungguh-sungguh taat kepada Dia sebagai raja, masih ada takhta dalam hidupmu yang kau pegang. Tidak ada orang yang bisa melayani dua majikan, entah Dia yang berada di atas takhta, atau engkau sendiri. Skenario yang lebih realistis bahkan adalah: kalau bukan Dia yang berada di atas takhta hidupmu, kamu juga pasti tidak di situ, yang ada adalah sesuatu yang lain, karena tidak seorang manusia pun yang mengontrol hidupnya sendiri –yang kita sembah, itulah yang mengontrol hidup kita.
Kalau Dia adalah Raja dalam hidup kita, maka kita akan menghidupi hidup kita ini sebagaimana Dia menghidupi hidup-Nya. Bukankah Sang Raja menjadi miskin supaya orang lain diperkaya, lalu apakah kita hidup seperti itu? Ataukah hidup kita hari ini tujuannya hanya memperkaya diri, meski itu mempermiskin orang lain? Ini bukan cuma dalam hal finansial. Misalnya, kalau Saudara berada dalam suatu organisasi, ketika kita mendapatkan tekanan dari atas dan kita tidak sanggup menerima tekanan itu, apa yang kita lakukan? Apakah kita menyalurkan tekanan ini ke bawahan, lalu orang itu salurkan lagi ke bawahannya, dst. yang semakin powerless dan powerless, atau kita berani mengatakan “ini berhenti sampai di saya”? Kalau Saudara meneruskan hal seperti itu, Saudara akan merasa aman tapi orang lain jadi tidak aman. Ini bukan aturan Raja kita. Dan engkau tidak mungkin bisa menginjili orang lain kalau kehidupan seperti Raja ini tidak ada dalam hidupmu.
Ada orang cerita bahwa dia melakukan kesalahan di kantor, lalu seniornya mengambil tanggung jawab sepenuhnya, mengatakan “ini salah saya, bukan salah dia; dia yang melakukan kesalahan, tapi ini tanggung jawab saya sebagai seniornya”. Ini aneh. Dalam dunia kita, biasanya bawahan yang punya jasa, lalu seniornya langsung mengatakan “ini jasa saya karena dia itu tim saya” dan menaruh namanya paling atas. Tapi senior yang diceritakan tadi bukan take credit untuk dirinya, dia justru take credit dalam hal kesalahan yang dibuat oleh bawahannya. Lalu orang yang cerita ini bingung, mengapa bisa seperti itu. Akhirnya seniornya tadi mengatakan: “Karena saya orang Kristen, dan Allah saya mempermiskin diri-Nya demi memperkaya orang lain, yaitu saya. Maka saya belajar untuk mengerjakan hal-hal seperti ini dalam hidup saya. “ Tidak perlu panjang lebar bicara teknik penginjilan, kehidupan seperti inilah baru bisa membawa orang masuk ke dalam Juruselamat yang itu, yaitu karena Saudara hidup menyembah Raja yang itu. Inilah panggilan hidup kita. Ada beda yang sangat besar antara Saudara melihat Kristus hanya sebagai Juruselamat belaka, dengan Saudara melihat Kristus sebagai Raja. Tentu saja Juruselamat itu sangat penting, tentu saja pembaharuan individu sangat penting, tapi tidak berhenti di situ.
Contoh terakhir, waktu saya bicara dalam seminar musik. Saya menjelaskan ada musik yang bagus, ada musik yang jelek; ada musik yang memuliakan Tuhan, ada musik yang mempermalukan nama Tuhan. Saya menjelaskan panjang lebar sampai mereka betul-betul mengiyakan hal ini. Kemudian seperti biasa ada sesi tanya jawab. Dan di situ saya sedih sekali karena pertanyaan yang itu-itu lagi berulang-ulang keluar. Pertanyaannya kira-kira begini: “Saya mengerti sekarang, ada musik yang jelek, ada musik yang bagus. Tapi, kalau kita mendengarkan musik-musik yang jelek itu, yang terbatas itu, Tuhan masih bisa berkarya ‘kan?? Kita masih bisa disertai Tuhan, dong, lewat musik-musik seperti itu?? Begitu ‘kan??” Apa jawaban yang Alkitabiah di sini? Jawabannya adalah: Ya, benar. Tuhan kita itu Tuhan yang perkasa, Tuhan yang mahakuasa, Tuhan yang bukan tergantung oleh situasi kita. Dia bukan Tuhan yang menunggu kita punya musik yang beres semua, segala situasi kondisi sudah oke, baru Dia masuk. Itu bukan Tuhan kita. Tuhan kita itu Tuhan yang mampu bekerja lewat segala keterbatasan, bahkan bekerja lewat dosa. Coba Saudara lihat kisah Yusuf, kisah Ayub, kisah Yudas, bukankah begitu cerita Alkitab? Jadi, kamu mendengarkan musik-musik yang jelek, yang terbatas, dan Tuhan tetap bisa bekerja lewat itu, tetap bisa Tuhan menyertaimu. Tapi itu bukan pertanyaan orang Kristen! Itu bukan pertanyaan orang Kristen yang mengerti Allah mereka sebagai Raja. Kalau engkau mengerti Alahmu hanya sebagai Juruselamat, pertanyaan itu tepat, karena yang penting ‘kan Dia menyelamatkan saya. Tapi kalau Dia adalah seorang Raja –saya mem-parafrasa kalimat Pendeta Billy– pertanyaannya tidak pernah ‘apakah Tuhan menyertai saya atau tidak’ lewat musik-musik seperti itu, tapi apakah dengan mendengarkan musik-musik seperti ini, saya menyertai Tuhan? Dengan berbisinis seperti ini, apakah saya menyertai Tuhan? apakah saya mengikut Dia? apakah saya menjalankan yang Dia telah jalankan terlebih dulu bagiku, atau tidak? Itulah pertanyaannya. Berapa kali dalam hidup kita, kita bertanya seperti ini? Ataukah berkali-kali pertanyaan kita lagi-lagi seperti tadi: Tuhan, ini salah ‘gak? itu salah ‘gak? Tuhan menyertai saya ‘gak dalam hal ini? Atau kita mulai berjanji mengatakan “Sebenarnya hal-hal seperti ini tidak salah, tapi kalau saya melakukan ini, saya tidak menyertai Engkau, saya tidak mengikuti Engkau”.
Dia adalah Allah yang sudah terlebih dahulu menyertaimu. Dia menyertaimu, bukan supaya kita sekarang tidak perlu menyertai-Nya. Dia menyertaimu terlebih dahulu, bukan supaya kita tidak perlu mengikuti-Nya. Dia menderita terlebih dahulu, bukan supaya kita tidak perlu menderita. Dia terlebih dahulu melakukan semua ini buat kita, supaya ketika kita melihat Dia, kita beroleh kekuatan untuk menjadi mirip seperti Dia, untuk bisa menyertai Dia, untuk bisa makin hari makin diperbaharui menjadi semakin mirip seperti Kristus. Allah mengatakan bahwa Dia adalah Allah yang bersama-sama dengan umat-Nya; umat-Nya mengembara, Allah mengembara; yang umat-Nya alami, Dia alami. Sekarang pertanyaannya: apakah engkau sungguh-sungguh tinggal bersama dengan Dia? Apakah ketika Dia mengembara, engkau mengembara? Apakah hal yang membuat-Nya menangis, juga membuatmu menangis? Apakah hal-hal yang menyedihkan hati-Nya, juga menyedih-kan hatimu? Apakah hal-hal yang menyukakan hati-Nya, juga menyukakan hatimu? Apakah Ia Juruselamatmu saja, atau Dia juga adalah Rajamu?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading