Ini adalah perikop terakhir dari catatan pelayanan publik Yesus. Dari perikop sebelumnya, kita tahu bahwa pelayanan Yesus ini berakhir dengan ketidakpercayaan, penolakan. Di dalam gambaran seperti ini, bagaimana Yesus mengadapi hal tersebut, menangani ketidakpercayaan itu? Dia sendiri adalah Hakim, dan Dia berhak untuk menghakimi. Dia sendiri berhak menjatuhkan kutukan kepada orang-orang yang tidak percaya, yang mengeraskan hati dan degil hatinya itu. Dalam kehidupan manusia, balas dendam itu biasa –main power, menyalahgunakan kuasa, termasuk yang tidak punya power-pun berusaha tampil powerful. Tetapi ketika kita belajar dalam kehidupan Yesus Kristus, kita mendapati sesuatu yang berbeda. Tuhan yang kita kenal itu harusnya Tuhan yang mengubah kehidupan kita, dari orang-orang yang terlalu gampang menghakimi menjadi orang-orang yang penuh dengan cinta kasih –namun bukan berarti tidak ada penghakiman setelah itu, seperti yang kita baca hari ini.
Perikop ini merupakan bagian terakhir dari pelayanan publik Yesus Kristus, dan juga catatan terakhir, setelah ayat 37-43 yang diberi judul “Ketidakpercayaan Orang-orang Yahudi” atau “Mengapa Orang Yahudi Tidak Dapat Percaya”. Kita sudah membahas perikop tersebut, tentang apakah ini artinya irresistible reprobation (maksudnya bukan cuma irresistible grace tapi juga irresistible reprobation); dan kita tidak bisa mengatakan seperti itu. Ada bahaya kalau kita menghayatinya seperti itu, dengan menjadikan kedaulatan Allah dalam pemahaman yang simetris antara keselamatan dan penolakan, antara election dan reprobation. Setahu saya, tidak ada teolog Reformed yang mengajarkan seperti itu, tapi ada sebagian orang Reformed yang menghayatinya seolah simetris, seakan-akan melampaui teolog-teolog Reformed pada zaman dulu, dan akhirnya menjadikan satu gambaran Reformed yang dingin, yang bukan lagi berpusat kepada Injil. Celakanya, mereka menggantinya dengan doktrin yang juga ajaran Alkitab, tapi yang dipikirkan dengan cara mereka sendiri bukan lagi dengan fokus Injil, yaitu dengan yang disebut dalam istilah “kedaulatan Allah”. Kedaulatan Allah ini doktrin ajaran Alkitab, bukan doktrin yang salah; tetapi kedaulatan Allah yang dimengertinya tanpa fokus Injil, bukanlah kedaulatan Allah yang diajarkan dalam tradisi Teologi Reformed –termasuk juga di bagian ini. Saya pikir, ayat-ayat di bagian ini cukup jelas memperlihatkan bagaimana Yesus sendiri menangani ketidakpercayaan, menangani penolakan, dan seharusnya kita bisa belajar daripada-Nya.
Ayat 44, "Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku”. Ayat ini mirip dengan yang juga ditulis di injil yang lain, bahwa ini bukan tentang Yesus sendiri melainkan tentang Bapa. Memang percayanya kepada Yesus Kristus, Anak Allah, tetapi Yesus mengatakan “ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku”, yaitu kepada Bapa. Percaya kepada Yesus bukanlah penerimaan untuk Yesus sendiri, itu penerimaan akan Bapa yang mengutus Dia.
Waktu Yohanes memakai istilah ‘pengutusan’, itu maksudnya dalam pengertian yang agak inklusif, bahasa kenabian, dalam arti bahwa yang diutus adalah nabi, nabi adalah manusia, dan Yesus disebut “Yang Diutus”. Namun, waktu kita melihat Yesus datangnya dari surga sedangkan nabi-nabi dari dunia, kita jadi cenderung melihat diskontinuitasnya, perbedaan kualitatifnya, dsb., padahal kemiripannya banyak sekali. Dan kemiripan ini juga adalah kekuatan bagi kita. Mengapa? Karena kalau kita menghayati ini di dalam perspektif kemanusiaan Kristus, maka cerita Yesus, yang adalah Nabi yang sejati, jadi cerita yang bisa dihidupi oleh Saudara dan saya. Karena Yesus itu Manusia, dan kita juga manusia, maka yang terjadi pada Pribadi Yesus menurut natur kemanusiaan-Nya, juga boleh terjadi di dalam kehidupan Saudara dan saya. Apa maksudnya? Yaitu bahwa waktu seseorang percaya kepada pemberitaan kita, itu urusannya bukan dengan ‘saya’ tapi dengan Allah. Jadi jangan ge-er dalam pelayanan. Orang yang ge-er dalam pelayanannya, dia tidak bisa melayani Tuhan dengan baik. Kalau ditolak, dia yang tersinggung, dia yang sakit hati, merasa dirinya yang ditolak, padahal Alkitab bilang “bukan menolak kamu, mereka menolak Tuhan”. Lalu waktu diterima, dipercaya, dia merasa orang senang kepada dia, percaya kepada dia, ge-er, jadi urusannya bukan dengan Kristus, bukan dengan Bapa, tapi dengan dirinya sendiri.
Yesus sendiri adalah Tuhan, Dia Allah yang sejati; tapi di dalam ordo Tritunggal, Dia mengatakan: "Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku”. Di situ bahkan ada kalimat negasi, ‘ia bukan percaya kepada-Ku’, seakan Dia meng-exclude diri-Nya sendiri. Tentu saja kita tahu, maksud-Nya adalah ‘bukan percaya kepada Yesus saja’, bukan dalam pengertian ‘percayanya hanya kepada Allah dan bukan kepada Yesus’. Yesus menunjuk kepada Bapa; waktu Yesus dipercaya, waktu orang beriman kepada Yesus Kristus, Dia tidak mengambil kemuliaan itu bagi diri-Nya sendiri, Dia memberi kemuliaan itu kepada Bapa. Cerita hidup yang seperti ini bisa dihidupi Saudara dan saya. Salah satu halangan dalam pelayanan kita, adalah ketika kita terlalu banyak dikuasai oleh diri sendiri, waktu ego terlalu besar, akhirnya Tuhan tidak bisa bekerja karena terlalu banyak campuran yang tidak murni dalam kehidupan kita.
Kalau kita belajar pada Yesus, Dia mengatakan, "Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku”. Ini Trinitarian; dalam hal ini Roh Kudus seperti tidak kelihatan, seperti tidak bekerja, tetapi Roh Kudus-lah yang memampukan orang untuk bisa percaya kepada Yesus Kristus. Sama seperti Kristus menunjuk kepada Bapa, demikian juga Roh Kudus menujuk kepada Kristus. Kita tahu Roh Kudus sedang bekerja di dalam Gereja bukan karena disebut-sebut terus setiap 3 kalimat; kita tahu Roh Kudus sedang bekerja, yaitu waktu Kristus diberitakan, karena Roh Kudus menujuk kepada Kristus. Tetapi pandangan seperti ini tidak populer. Pandangan seperti ini cenderung distempel “cuma gitu tok”. Orang maunya yang aneh-aneh, yang spektakuler, yang jatuh-jatuh, yang dramatis gambarannya. Sedangkan kalau dikatakan ‘Roh Kudus membawa orang kepada Kristus’, itu seperti tidak menarik gambarannya, padahal itulah yang dinyatakan dalam Alkitab. Dan Kristus sendiri juga membawa kepada Bapa, “ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku”.
Ayat 45, “dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.” Istilah ‘melihat’ di dalam Yohanes artinya ‘percaya’ –seeing is believing. Melihat dengan mata rohani, bukan cuma melihat dalam pengertian secara jasmani saja; spiritual seeing with spiritual eyes. Mereka yang melihat Kristus, mereka sebetulnya melihat Bapa, karena Kristus adalah perfect image, perfect representation of the Father.
Barangsiapa melihat Yesus, dia melihat Bapa yang telah mengutus Yesus; inilah Tritunggal, karena bukan berdiri sebagai pribadi sendiri. Gambaran allah yang sendiri, yang satu pribadi, yang menunjuk kepada dirinya sendiri yang self-referential, itu bukan gambaran Allah Tritunggal. Doktrin seperti ini perlu terus-menerus ditekankan; pertama, karena ini ajaran Alkitab, dan kedua, karena ini sangat ada kaitannya dengan kehidupan pelayanan Saudara dan saya. Bisakah kita ini bilang “barangsiapa melihat aku, dia melihat Kristus”? Itu harusnya menjadi gol kita, bahwa ‘barangsiapa melihat aku, dia melihat Kristus; Kristus yang hidup di dalam aku’. Bicara kalimat seperti ini, kita tidak berani, karena kita belum sempurna; tapi Paulus bahkan bicara bukan tentang dirinya, dia bicara tentang jemaat yang dilayaninya: “kamu itu surat-surat Kristus”, Paulus bukan bilang “aku ini surat Kristus”. Paulus tentunya lebih dewasa rohaninya daripada jemaat yang dia layani, namun kepada mereka yang dilayaninya itu Paulus bilang “kamu itu surat-surat Kristus” –sebagaimana juga dirinya sendiri. Maksudnya, surat itu setelah dibaca, orang bisa melihat Kristus. Saudara dan saya, menurut Firman Tuhan, diharapkan jadi surat-surat Kristus, sehingga waktu orang melihat kita, mereka melihat Kristus. Inilah panggilan yang sangat mulia dalam kehidupan manusia, seperti Yesus mengatakan “barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku”.
Yesus diutus oleh Bapa. Roh Kudus diutus oleh Bapa dan Anak. Saudara dan saya diutus oleh Allah Tritunggal –Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kita ini orang-orang utusan. Lalu apa yang diharapkan oleh Tuhan atas kita, bukan hanya yang diharapkan oleh orang lain? Yaitu supaya kita bisa menjadi representasi dari Tritunggal. Ketika dalam kehidupan komunitas kita, orang bisa melihat Allah Tritunggal sedang hadir, itu panggilan yang mulia.
Ayat 46, “Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan.” Ayat ini seperti ringkasan dari ayat-ayat yang sudah pernah kita bahas. Ini bagian yang terakhir. Yesus tidak berhenti memanggil orang untuk datang kepada-Nya. Yesus tidak discourage dalam bagian ini. Yesus bukan seperti penuh dengan sakit hati karena Dia ditolak, karena Dia tidak dipercaya, lalu seperti versi Yohanes yang mau menurunkan api dari langit dsb. Bukan itu Yesus yang kita baca di sini. Dalam keadaan yang sudah ditolak, dan hal itu sudah dinubuatkan pasti terjadi, bahkan sudah terjadi, apa yang dilakukan Yesus di sini? Dia tetap memberitakan Injil. Kalau Saudara tidak mengerti poi ini, pembicaraan tentang kedaulatan Allah bisa jadi luar biasa ngawur.
Ada orang yang terus-menerus bicara kedaulatan Allah, dan hatinya makin lama makin dingin, tidak ada belas kasihan, tidak ada compassion. Itu kedaulatan Allah yang mana yang dia pelajari?? Makin tidak cocok dengan Alkitab dan tidak cocok dengan tradisi Reformed. Itu karena mereka tidak belajar dari Alkitab, dan juga sebetulnya tidak belajar dari tulisan-tulisan orang-orang yang sudah mendahului, pokoknya satu doktrin itu di-zoom dan ditaruh paling atas. Kita sudah mengutip Gerhard Von Rad waktu bicara tentang reprobasi, dia mengatakan, jangan lupa setiap kali bicara tentang ‘hardening motif’ (motif pengerasan), konteksnya adalah sejarah keselamatan –bukan pengerasan demi pengerasan itu sendiri. Tuhan tidak berbahagia atas kematian orang fasik. Tuhan tidak tertawa-tawa, Tuhan tidak senang dengan kematian orang fasik. Termasuk juga bahwa Dia berdaulat, bukan berarti Dia senang ketika orang fasik itu mati. Jadi bagaimana? Waktu kita bicara ‘election/reprobation’, ‘kedaulatan Allah’, jangan lupa bicara tentang providensia, jangan lupa bicara tentang sejarah keselamatan, jangan lupa bicara tentang Injil. Perikop sebelumnya bicara tentang election/reprobation, dan itu disambung dengan berita keselamatan dalam perikop ini.
Perikop ini dalam Alkitab bahasa Indonesia judulnya “Firman Yesus yang menghakimi”, memang betul dan sudah dicatat juga di sini bahwa firman itu akan menghakimi; sementara dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris (ESV), judulnya “Jesus came to save the world”. Dua-duanya betul; ada ayat yang mengatakan kalimat seperti itu, hanya berbeda penekanan. Di sinilah, kalau tidak hati-hati, Saudara lebih tertarik yang mana? Waktu Saudara penginjilan, memberitakan Firman, lalu ditolak, tidak dipercaya, meski sudah menjelaskan bagaimana pun tetap tidak dipercaya, Saudara lalu bagaimana? Seperti Yohaneskah, yang mengatakan di akhir zaman kamu akan dihajar seperti bbq, kamu ditelan serigala, kamu sepertinya memang serigala, dsb.? Atau mengatakan, nanti Firman yang menghakimi –perkataan yang keluar dari mulut Yesus juga? Atau Saudara berfokus kepada INJIL.
Di bagian ini bukan pertama kalinya Yesus mengatakan Dia datang sebagai terang; itu sudah beberapa kali. Termasuk juga waktu Dia melakukan mujizat memelekkan mata orang buta, itu mendemonstrasikan bahwa Dia datang sebagai terang, sebagaimana dikatakan di sini: “Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan”. Di ayat sebelumnya, Dia bilang tentang ‘melihat’ –“barangsiapa melihat Aku”—dan melihat perlu terang; orang yang di dalam kegelapan, dia tidak bisa melihat. Mereka tidak bisa melihat kemuliaan Allah, tidak bisa melihat kebesaran Allah, tidak bisa melihat kesucian/kekudusan Allah, mereka tidak bisa melihat belas kasih anugerah Allah. Mereka di dalam kegelapan. Apa yang dilihat di dalam kegelapan? Ya, terserah mereka, mau lihat apa.
Kalau Saudara dalam kegelapan, Saudara lihat apa? Tidak ada yang bisa dilihat, kosong. Orang yang di dalam kegelapan, dia pikir sendiri kira-kira apa, lalu nabrak-nabrak karena dia pikir tidak ada kursi padahal ada kursi –semua bacanya salah. Kegelapan rohani itu sangat menakutkan. Orang dalam kegelapan rohani, semua bacanya salah. Teguran yang mengajak untuk bertobat, dibacanya sebagai kalimat kebencian –bacanya salah. Tidak ada spiritual discernment. Orang yang seharusnya dihormati, malah dibenci; orang yang hina, malah dihormati –semuanya salah, tidak keruan bacanya. Mengapa? Karena berada di dalam kegelapan. Tidak bisa menilai. Tidak ada penilaian rohani. Tidak ada pembacaan yang betul.
Yesus datang sebagai terang. Saudara jangan anggap terang seperti siksaan. Terang memang siksaan kalau Saudara suka tidur panjang. Kalau Saudara di Surabaya, di situ matahari terbitnya cepat sekali, orang masih mau tidur tapi matahari sudah keluar duluan, lebih cepat daripada di Jakarta; dan itu mengganggu rasanya, silau. Apalagi kalau tidur lupa tutup gorden, pagi-pagi tidak usah pasang alarm pun sudah bangun, bukan karena ayam berkokok tapi karena sinar matahari. Orang tidak senang dengan terang waktu dia hidupnya mau tidur terus, tidak mau bangun; berbeda dengan orang yang mau hidup, mau bekerja, yang excited untuk melakukan sesuatu. Yesus pernah mengatakan “bekerjalah selama hari masih siang, akan tiba malam dan kamu tidak bisa bekerja”. Tapi memang ada orang yang tidak suka bekerja; bagi dia memang lebih cocok malam, lebih cocok tinggal di dalam kegelapan. Orang yang tidak suka terlibat dalam pelayanan apapun, dia lebih cocok dalam kegelapan, tidak cocok dengan terang. Orang yang lebih suka malas-malasan, hidup untuk dirinya sendiri, baginya memang terang sangat mengganggu, dia lebih cocok berada dalam kegelapan saja. Tetapi, mereka yang suka bekerja, mereka yang suka melayani Tuhan, mereka yang mengasihi Tuhan dan mau mengekspresikan cinta kasih itu kepada Tuhan, mereka mencintai terang. Dan Yesus datang ke dalam dunia sebagai terang, sehingga manusia boleh dikeluarkan dari kegelapan; pembacaan yang salah tentang dunia ini, tentang realita, tentang diri, tentang orang lain, tentang Gereja, tentang Tuhan, semuanya bisa dikoreksi, dan selain itu dia boleh bekerja.
Dalam pembinaan (di Sultra), Vikaris Heru share tentang diaken-diaken dalam Kisah Para Rasul. Diaken-diaken ini sebelum menjabat, mereka sudah terkenal baik –punya reputasi baik– dan mereka orang-orang yang melayani, lalu diberikan jabatan. Mereka bukan diberikan jabatan lalu kita harapkan dia melayani, ternyata tidak melayani; sebaliknya mereka adalah orang-orang yang melayani tanpa jabatan, lalu waktu jabatan diberikan, mereka memang orang yang sudah melayani. Diaken-diaken adalah orang-orang yang meskipun belum ada job desc, dia sudah memikirkan ‘saya musti kerja ini, kerja itu’, dsb.; dia ada rasa memiliki. Orang yang mentalitas pegawai, dia selalu menunggu job desc, menunggu disuruh kerja apa. Dia tidak ada visi memikirkan bagaimana sesuatu bisa lebih baik, dia tinggal disuruh saja. Kalau disuruh, dia kerjakan; kalau tidak disuruh, tidak kerja, karena memang tidak ada yang menyuruh, dan juga tidak ada hati. Kalau disuruh pun, jangan-jangan juga tidak dia kerjakan, dia pilih-pilih, saya mau kerja yang ini, saya tidak mau kerja yang itu. Kontradiksi. Satu sisi, mentalitas pegawai; sisi lain, bossy. Sedangkan orang yang punya jiwa kepemilikan, dia tidak menunggu job desc. Kembali ke pembahasan kita, inti yang saya mau katakan adalah bahwa di dalam kehidupan orang yang di dalam terang, bukan di dalam kegelapan, dia jadi tahu apa yang seharusnya dia kerjakan tanpa harus selalu dicekoki atau disuapi. Dia bisa memikirkan apa yang terbaik bagi Kerajaan Allah, lalu dirinya bisa berperan di mana, menjadi apa; baik disuruh ataupun tidak disuruh, dia sudah kerja.
Ayat 47, “Dan jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menjadi hakimnya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya”. Ayat 48, “Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.” Di sini kita melihat Alkitab terjemahan bahasa Inggris (ESV) sepertinya lebih menekankan ayat 47, sedangkan terjemahan bahasa Indonesia lebih menekankan ayat 48. Memang betul dua-duanya ayat yang ada dalam bagian Firman Tuhan ini. Waktu dikatakan ‘Yesus datang untuk menyelamatkan’, bukan berarti tidak ada penghakiman, bukan berarti universalisme, bukan berarti semua orang akan diselamatkan karena toh Yesus datang untuk menyelamatkan, bukan menghakimi sebagaimana kata-Nya. Di sini jangan lupa, bahwa dikatakan di ayat 48, tetap ada penghakiman; yang menghakimi bukan Yesus, tapi Firman yang sudah didengar.
Dalam hal ini, Matthew Henry memberikan satu kalimat yang bagus. Dia mengatakan, “Christ needs not appear against them as their accuser, they are miserable if he do not appear for them as their advocate”; Kristus tidak perlu tampil sebagai pendakwa waktu kita terbukti adalah orang berdosa yang bersalah; Dia cukup hanya dengan tidak tampil sebagai pembelamu saja, kita klenger (terjemahan di-parafrasa-kan). Dia tidak perlu secara aktif mendakwa kita, Dia cukup hanya dengan tidak hadir sebagai pembela, maka tidak ada yang membela kita, kita pasti akan didapati bersalah, dan kita tidak bisa melarikan diri, tidak ada yang bisa melepaskan kita dari penghakiman tersebut, yaitu Firman yang pernah diucapkan. Firman yang pernah kita dengar, itu akan menjadi hakim pada akhir zaman. Tetapi, kalau Saudara melihat ayat 47, Yesus tidak menjadi hakim, Yesus datang bukan untuk menghakimi dunia –ayat ini sudah ada di Yohanes pasal 3– melainkan untuk menyelamatkan. Inilah Injil. Kalau Saudara bicara soal election-reprobation, bicara kedaulatan Allah, jangan lupa ayat 47 ini, Yesus datang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan.
Tadi dalam introduksi saya mengatakan, kita manusia berdosa ini gampang sekali menghakimi. Apalagi kalau orang tersebut adalah orang yang melukai kita, kita lebih judgemental lagi. Lalu kita mulai buka mazmur-mazmur balas dendam (Imprecatory Psalms) –“kiranya Tuhan tidak melepaskan dia dari dunia orang mati”, “kiranya dia tidak turun dengan selamat …”, dan ayat-ayat semacam itu. Ayat-ayat seperti itu bukannya tidak boleh; kalau Saudara sudah terlalu panas dan mau meledak, ya, sudahlah, nyanyikanlah mazmur-mazmur itu supaya adem sedikit daripada Saudara bawa-bawa pisau datang ke rumahnya. Kalau sudah tidak bisa ditahan, ya, luapkanlah kepada Tuhan. Ada tempatnya lamentasi, bahkan ada juga mazmur-mazmur yang seperti melampiaskan kekesalan, kemarahan, termasuk dendam, namun dilemparnya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Tetapi, kalau kita membaca bagian ini, ada bagian yang indah, bahwa Saudara dan saya dipanggil untuk seperti Kristus waktu kita mengalami penolakan, tidak dipercaya, dsb., yaitu konsistensi mengasihi, konsistensi Injil, datang bukan untuk menghakimi melainkan menyelamatkan.
Yesus tidak gampang terprovokasi seperti Yohanes yang mendapat penolakan lalu langsung minta api turun dari surga menghanguskan mereka semua seperti di zaman Elia. Yesus bukan seperti itu, Yesus panjang sekali kesabaran-Nya, long suffering, makrothumia. Dia menanti sampai pada akhir zaman; dan yang menghakimi adalah Firman, bukan Yesus yang menghakimi. Saudara dan saya dipanggil untuk masuk ke kehidupan yang seperti ini, sehingga kita ada kekuatan yang cukup, dan tidak didistraksi oleh orang-orang yang mengganggu pelayanan kita dengan menolak, tidak percaya, memfitnah, mengkritik, dst. –maksudnya secara tidak benar; kalau memang benar, kita harus terima—supaya kita bisa bebas mengasihi dan mencintai Tuhan. Penghakiman diserahkan di dalam tangan Tuhan, bukan kita main hakim sendiri. Kadang-kadang manusia bicara keadilan yang maksudnya keadilan untuk ‘saya’. Kalau orang lain yang dilukai, kita tidak tertarik bicara keadilan. Kalau orang lain yang difitnah, kita tidak gubris urusan keadilan, seperti tidak penting urusan keadilan. Tapi begitu ‘saya’ yang difitnah, langsung bilang keadilan itu penting. Yang kayak gini, keadilan apa?? Itu keadilan ala saya, keadilan menurut saya, keadilan karena saya terlibat, karena saya yang dizolimi, dsb. Apa tidak malu yang seperti itu bicara keadilan? Itu bicara tentang diri sendiri, bukan bicara tentang keadilan. Yesus bicara keadilan, Dia menerima ketidakadilan di atas kayu salib. Itulah keadilan versi Yesus. Dia diperlakukan tidak adil di atas kayu salib supaya Dia bisa mendemonstrasikan cinta kasih kepada orang-orang tebusan. Itulah keadilan Allah. Itu sebabnya justice/righteousness tidak pernah bisa dipisahkan dari belas kasihan (mercy).
Ayat 48, “Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.” Orang yang menolak Yesus, orang itu akan celaka sendiri, orang itu merugikan dirinya sendiri, kita tidak perlu balas dendam. Barangsiapa mencintai kegelapan, dia sedang menghancurkan dirinya sendiri. Kalau kita memberitakan Firman Tuhan, tapi Firman Tuhan itu terus-menerus ditolak, orang mengeraskan hati tidak bisa menerima, maka kerugian ada pada orang yang menolak tersebut, bukan pada Saudara dan saya yang sedang ditolak. Dan Firman itu akan menjadi hakimnya; tapi perhatikan, Yesus menunda sampai pada akhir zaman. Maksudnya apa? Ini bukan cuma bicara kesabaran-Nya saja, tapi kesabaran yang juga berarti penantian untuk orang itu bertobat.
Dalam kehidupan kita, seringkali kita jengkel karena orang yang berbuat jahat, karena orang fasik tidak segera mendapat hukuman, bolak-balik dia diluputkan dari penghakiman. Kita seperti terganggu sekali akan hal ini. Kita sulit memahami kesabarannya Tuhan, karena kita ini sangat tidak sabar. Kita mau keadilan segera dijatuhkan. Kita tidak ada kesabaran ilahi seperti kesabaran yang ada pada Yesus. Tetapi sesungguhnya kesabaran yang ada pada Tuhan –yang tunda sampai akhir zaman—artinya Tuhan masih memberikan dia kesempatan untuk bertobat. Ini Injil. Injil lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Tapi kita gampang sekali maunya menutup dengan kedaulatan Allah. Jangan-jangan Saudara suka sekali membicarakan kedaulatan Allah itu, cuma untuk mendukung ketidaksabaran Saudara; Saudara orang yang gampang meledak, tidak sabar, tidak ada belas kasihan, makanya suka sekali berlindung di bawah “kedaulatan Allah”. Itu namanya pemerkosaan doktrin.
Kalau kita kembali kepada Alkitab, maka Saudara melihat Injil, dan Injil, dan Injil, dan Injil, dan Injil. Dalam perikop sebelumnya, dikatakan di ayat 40 “Ia membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata dan menanggap dengan hati, allu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka”; ini kalimat yang sudah berat sekali, tapi mengapa Yohanes masih mencatat kalimat ini? Karena ini peringatan lagi, supaya kamu jangan seperti ini, silakan bertobat. Ini bukan final judgement. Ini kalimat yang luar biasa keras, seperti sudah memisahkan yang elect dan yang reprobate, tapi ini undangan yang masih diberikan sekali lagi dan sekali lagi, datanglah kepada Tuhan, kamu jangan seperti itu. Jangan kamu sampai akhirnya Tuhan tidak mau menyembuhkan kamu lagi, itu sebabnya ada kalimat seperti ini. Kalau teguran masih diberikan, kalau kita masih mendengar kalimat-kalimat keras, itu berarti masih ada kesempatan bertobat. Kesempatan bertobat yang sudah tidak ada lagi, itu adalah silence. Kalau Tuhan sudah diam, berarti sudah selesai. Tapi kalau Tuhan masih memberikan kalimat yang keras, itu undangan pertobatan. Saudara jangan terima kalimat itu dengan sakit hati, tersinggung, lalu akhirnya makin keras lagi –ini berarti Saudara menanggapi secara keliru. Waktu sekarang kita masuk ke perikop yang terakhir, perikop ini ditutup dengan apa? Dengan undangan Injil sekali lagi!
Inilah Yesus yang kita percaya, Dia mengundang orang untuk percaya kepada Dia, tidak habis-habisnya. Tetapi Saudara dan saya, yang tidak ada makrothumia, yang gampang meledak, kita gampang sekali menutup dengan God’s decree, kita gampang sekali menutup dengan kedaulatan Allah. Sedangkan kalau kita melihat kehidupan Yesus Kristus, Dia mengundang lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, terus-menerus mengundang sampai di pasal 12 terakhir.
Ayat 49, “Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan”. Yesus bukan berkata-kata dari diri-Nya sendiri. Dia menyampaikan apa yang berasal dari Bapa. Dia menerima dari yang mengutus diri-Nya, yaitu Bapa. Dia diperintahkan oleh Bapa untuk mengatakan apa yang harus disampaikan; dan Yesus tahu, perintah-Nya adalah hidup yang kekal.
Ayat 50, “Dan Aku tahu, bahwa perintah-Nya itu adalah hidup yang kekal. Jadi apa yang Aku katakan, Aku menyampaikannya sebagaimana yang difirmankan oleh Bapa kepada-Ku” . Ada kaitan antara perintah Allah dan hidup yang kekal. Di tengah-tengah dunia yang tidak bisa diatur, yang sangat paranoid dengan perintah, orang maunya kerja semau sendiri, bossy. Orang benci perintah. Orang tidak mau ada perintah di atasnya. Tapi ayat ini dengan menarik mengaitkan antara perintah dengan hidup yang kekal.
Waktu orang hidup dengan ada perintah, dianggapnya itu seperti anak-anak, sedangkan ‘saya sudah dewasa, saya bisa kerja sendiri, terserah saya, saya tidak usah diperintah-perintah lagi’. Tetapi ayat ini bicara kaitan antara perintah dengan hidup yang kekal. Ini seperti tidak kompatibel sama sekali; mengapa? Karena dunia kita dunia yang lawless, dunia yang tidak mau ada hukum. Dunia yang mau menjadikan ‘saya’ hukum bagi diri saya sendiri, terserah saya mau ngapain karena ‘saya’ adalah hukum untuk diri saya, bahkan kalau bisa ‘saya’ adalah hukum untuk orang lain juga –lebih parah lagi. Tetapi dalam kehidupan orang percaya, semakin kita bertumbuh, maka bukan saja kita copot paranoia diri kita terhadap perintah-perintah, malah dengan sukarela dan sukacita kita menjalankan perintah Tuhan.
Di dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan bahwa kita, sesama orang percaya, musti belajar saling tunduk satu sama lain. “Tundukkan dirimu satu dengan yang lain”, bukan cuma tunduk kepada Allah, Bapa. Seorang rekan hamba Tuhan curhat, dia bilang, “Anak muda zaman sekarang yang bekerja di ladang Tuhan, suka pakai kalimat ‘lebih baik kita taat kepada Tuhan daripada taat kepada manusia’ “. Itu kalimat Alkitab, tapi maksudnya ‘lu jangan atur saya, lebih baik saya taat kepada Tuhan daripada taat kepada kamu’. Kalau Saudara kerja cara begini di perusahaan pun, bubar hidupmu, tidak ada orang yang mau mempekerjakanmu. Di perusahaan paling sekuler pun, itu tidak bisa jalan, tapi ada orang yang pelayanan di gereja mau seperti ini. Dia tidak bisa diatur sama sekali. Saya bukan bicara soal hamba Tuhan, ini kita semua, termasuk hamba Tuhan, termasuk pendeta, termasuk saya.
Kalau kita melihat bagian Alkitab ini, ada keindahan, mengaitkan kehidupan –bahkan kehidupan kekal– dengan perintah; dan nanti di bagian lain ada kaitan antara perintah dan cinta; “Barangsiapa mengasihi Aku, dia menuruti perintah-perintah-Ku”. Ini hal lain lagi yang tidak kompatibel, perintah koq cinta, cinta koq perintah, di dalam cinta harusnya tidak ada perintah, di dalam perintah tidak ada cinta –itu maunya dunia kita. Paranoia yang diberikan oleh dunia kita seperti itu; setiap kali ada perintah, langsung pikir ‘gua mau di-bully’. Tetapi Yesus mengatakan “Barangsiapa mengasihi Aku, dia manaati perintah-perintah-Ku”. Justru perintah, hidup kekal, kasih/cinta, inilah yang disebut Yesus dalam Matius 11 “kuk yang enak, beban yang ringan”, perintah tidak lagi menjadi sesuatu yang berat. Kalau perintah dari Tuhan menjadi sesuatu yang berat, jangan-jangan kita masih di dalam kegelapan. Orang yang berada di dalam terang, dia dengan sukacita, dengan sukarela, mengerjakan perintah Tuhan. Dia willingly submit, bukan cuma submit kepada Tuhan, tapi juga submit to one another. Saya submit kepada Saudara, Saudara juga submit kepada yang lain, itulah keindahan Kekristenan. Bukan saling menjadi bossy –itu bukan Kekristenan, itu lawan dari Kekristenan; sebaliknya, bagaimana kita saling melayani, saling tunduk, saling memikul beban satu sama lain, itulah Kekristenan, seperti Yesus Kristus yang kehidupan-Nya adalah kehidupan seperti itu. Perintah-Nya adalah hidup yang kekal.
Kiranya Tuhan memberikan kepada kita hidup yang seperti ini, hidup yang taat perintah Tuhan, hidup yang bersukacita menjalankan perintah-Nya dengan sukarela dari dalam hati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading