Kita melihat dalam akhir riwayat Yakub –bahkan akhir riwayat cerita seluruh alam semesta dalam KItab Kejadian– suatu kejutan, karena di awalnya kita tidak melihat Yehuda sebagai “anak” Yakub. Kebiasaan kita, sering kita menyebutkan “ini anak saya” (padahal anaknya ada 3) atau juga “siapa dulu bapaknya” yaitu pada anak yang paling dibanggakan. Siapa anaknya Yakub? Secara tradisi tentu saja Ruben. Yakub sendiri mengakui bahwa Ruben adalah yang terutama dalam keluhuran dan kesanggupan, dalam karakter yang kuat, ketrampilan yang hebat, kekuatan, dan juga tentu saja Ruben yang paling pertama lahir. Jadi secara tradisi orang akan berpikir bahwa sudah pasti Ruben yang mewarisi segala titipan Tuhan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Tapi seperti kita tahu dalam garis cerita keturunan Abraham, biasanya yang sulung bukan yang mewarisi.
Anak sulung Abraham, yang pertama lahir sebagai buah kegagahannya, adalah Ismail; tapi yang mewarisi janji Tuhan kepada Abraham adalah Ishak. Ishak punya anak kembar, Esau dan Yakub, tapi yang mewarisi bukanlah Esau melainkan Yakub. Selanjutnya dalam keturunan Yakub juga sama, bukan Ruben. Lalu kalau bukan Ruben, siapa? Ya, sudah pasti Yusuf, karena di mata Yakub, yang namanya “anak” bukanlah anaknya Lea, apalagi anaknya Bilha dan Zilpa yang adalah gundik-gundik. Yang namanya “anak” bagi Yakub hanya anaknya Rahel –Yusuf dan Benyamin– karena sejak awal cinta Yakub tidak pernah berpaling dari Rahel. Itu sangat menyakitkan hati 10 anak yang lain, menjadi titik perkara mereka ingin membunuh Yusuf, adiknya, dan akhirnya menjual dia ke Mesir. Adanya persoalan dalam keluarga Yakub adalah karena Yakub pilih kasih. Yakub begitu mengasihi Rahel, sedang Lea sama sekali dianggap tidak ada. Demikian juga di hati Yakub hanya ada anak-anak Rahel, sisanya dianggap tidak ada padahal mereka lahir lebih dulu, mungkin juga punya ketrampilan lebih baik, lebih bisa mengelola usaha, khususnya karena waktu itu Yusuf masih muda sekali sedangkan Ruben kelihatannya sudah mulai pegang usaha bapaknya.
Tetapi ternyata di bagian akhir ketika Yakub memberkati Yusuf, dia tidak memberkati Yusuf sebagai pemimpin dari semua saudara. Dia memberkatinya sebagai orang yang akan dipenuhi berkat, yang hidupnya begitu limpah, tetapi dia tidak mengatakan “engkau akan menjadi pemimpin saudaramu”. Yakub tidak mengatakan “kepadamu anak-anak ayahmu akan sujud bertelut menyembah” menggemakan mimpi Yusuf beberapa puluh tahun sebelumnya. Yakub mengatakan hal itu justru mengenai Yehuda, bukan Ruben, bukan Yusuf. Bahkan mengenai Yehuda, di saat yang sangat penting ini, Yakub mengatakan, “Hai anakku, engkau akan naik ke suatu tempat yang tinggi”. Sejak kapan Yakub menyebut Yehuda “anakku”? Bukankah dia dulu mengatakan, “Anakku Yusuf sudah mati diterkam binatang buas, sisa satu, Benyamin, dan kamu mau bawa? Kalau dia tidak kembali lagi, aku yang ubanan ini bisa turun ke dunia orang mati”. Bukankah anak Yakub 12 orang laki-laki, mati 1 koq sisa 1? Karena di benak Yakub, anaknya cuma Yusuf dan Benyamin; Yusuf mati tinggal sisa Benyamin, yang lainnya tidak dihitung sebagai anak. Yehuda secara genetik anak Yakub, tapi dia bukan “anak Yakub” di hati Yakub. Sejak kapan Yakub menyebut Yehuda “anakku”?
Dalam hidup kita, diakui atau tidak, kita sering ingin memiliki seseorang yang menjadi figur “ayah” –alpha male, dominant male– dalam kumpulan kita, yang dari mulutnya kita ingin dengar perkataan “anakku ini”, entah itu dari bos anda, gembala sidang anda, dosen anda, atau yang lain. Anak-anak seringkali bersaing-saingan mendapat berkat dari “ayah”. Dan dalam cerita ini, Yakub mengatakan “hai anakku, anak-anak dari ayahmu akan sujud kepadamu” ternyata kepada Yehuda. Apa yang terjadi? Bukankah si ayah hatinya condong kepada Yusuf dengan memberikan jubah mahaindah itu kepada dia? Dan bukankan puluhan tahun sebelumnya Yusuf yang diberi mimpi yang mengindikasikan dirinya jadi pemimpin? Pasal 37:7 Yusuf menceritakan mimpinya itu dengan bangga kepada saudara-saudaranya, “Tampak kita sedang di ladang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku dan tegak berdiri; kemudian datanglah berkas-berkas kamu sekalian mengelilingi dan sujud menyembah kepada berkasku itu." Kali kedua lebih keterlaluan lagi, dia menceritakan, "Aku bermimpi pula: Tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku" (Kej 37:9), sampai ayahnya, Yakub, mengatakan, “Mimpi apa mimpimu itu? Masakan aku dan ibumu serta saudara-saudaramu sujud menyembah kepadamu sampai ke tanah?" Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya, tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya (ayat 10-11) sampai di kemudian hari hal itu terjadi secara hurufiah ketika mereka mengemis makanan ke Mesir, memohon belas kasihan Penguasa Mesir yang ternyata adalah Yusuf. Memang hari itu tergenapi, saudara-saudara Yusuf sujud sampai ke tanah menyembah Yusuf. Tapi ternyata itu bukan akhir ceritanya. Tadi kita lihat, bukan Ruben –yang barangkali alpha male dalam kelompok 10 saudara itu– dan juga bukan Yusuf, yang tangan ayahnya sungguh ada di atasnya; siapa yang sangka bahwa yang kemudian sungguh-sungguh sang pemimpin adalah Yehuda?
Sedikit renungan mengenai “menjadi besar dan penting” di sini. Kita melihat bahwa mereka bertengkar dengan berbagai cara memperebutkan berkat dari ayah, atau sekedar pengaruh dari rakyat. Mereka mau jadi populer sehingga punya bargaining position di hadapan ayah –alpha male dominant yang sedang declined– untuk mendapatkan berkat itu sehingga diharapkan rakyat respek kepadanya. Dua strategi ini yang terjadi dalam dinamika keluarga Yakub, yang juga mengingatkan kita pada perebutan kuasa di antara murid-murid Yesus. Ketika Yesus sudah hampir disalib, mereka memperebutkan posisi “duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus” dengan berbagai cara. Paulus berkata “akar kejahatan adalah cinta uang”, dan kita melihat bahwa orang tidak cinta uang karena uang itu sendiri tapi dia cinta uang karena cinta kekuasaan. Orang cinta uang karena dia cinta materi yang bisa dibeli dengan uang, karena cinta kehormatan, karena cinta kasih sayang yang bisa didapatkan lewat uang. Poinnya, perkataan Paulus tadi bisa dikatakan juga “akar segala kejahatan adalah cinta kepada dunia ini”, cinta kepada yang dunia ini tawarkan, cinta kepada kerinduan menjadi tuhan, cinta kepada keinginan jadi otonom; dan khususnya “ingin jadi besar”.
Mengapa murid-murid Yesus ingin jadi orang kedua setelah Yesus? Mengapa anak-anak Yakub ingin jadi penerus takhta dalam keluarga? Mengapa mereka ingin jadi “anak ayah”? Mengapa tidak mau menjadi nomor 2, apalagi nomor 12? Ada apa di balik perebutan kekuasaan, perebutan gengsi, simpati, pengakuan? Apa yang menarik dari “menjadi nomor satu”? Perjuangan kita ini untuk apa sebetulnya, karena toh sebentar kita akan mati meninggalkan semua itu? Kalau kita adalah orang kebanyakan –dan kebanyakan dari kita adalah orang kebanyakan– kita lebih sering mengalami kalah daripada menang, hanya sedikit yang jarang kalah, tapi mengapa “menang” itu sebegitu menarik? Stanley Hauerwas, suatu ketika fotonya dipasang di Majalah Times dan diberi judul “The Greatest American Theologian”, lalu dia berkomentar, “Memangnya dua konsep itu –Kristen dan greatest– bisa digabungkan?” Memangnya being a Christian itu consist of menjadi paling besar? Atau jangan-jangan “ingin menjadi baik” yang tepat; sedangkan dorongan atau inklinasi ke bawah “ingin menjadi paling besar” –yang secara inner logic tidak mungkin setiap orang jadi the greatest– itu adalah sesuatu yang harus kita taruh dalam tanda tanya, “apakah itu pergumulan dan perjuangan kita (Kristen)”?
Kembali kepada Yehuda, kita akan melihat apa yang terjadi pada Yehuda, sehingga ia dari yang tadinya “tidak masuk hitungan” dalam cerita keluarga Abraham, Ishak, Yakub, menjadi diperhitungkan sebagai “yang meneruskan”? Saya mengusulkan untuk kita melihat pada potret “Yehuda sebelum”, “Yehuda sesudah”, dan “yang terjadi di tengah-tengahnya”.
“Yehuda sebelum” bisa kita lihat dalam pasal 37: 21-27. Di ayat 21 ketika 10 saudara ini ingin membunuh Yusuf, Ruben mencegah. Ia ingin melepaskan Yusuf dari tangan mereka karena nampaknya ia yang paling besar sehingga ayah akan minta pertanggung jawaban kepadanya. Ruben tidak ingin berada dalam masalah, ia ingin melepaskan Yusuf untuk menyelamatkan mukanya sendiri. Tapi dia tidak berhasil, dan itu mungkin alasannya sehingga dia pergi. Situasi komprominya, mereka akhirnya melemparkan Yusuf ke sumur tapi mereka belum sepakat akan melakukan apa terhadap dia, apakah mungkin ditimpuki batu dari atas, atau dibiarkan mati kelaparan dalam sumur, atau bagaimana. Yang pasti Ruben tidak setuju Yusuf dibunuh tapi tidak berhasil membujuk mereka. Lalu ayat 26, Yehuda mengambil alih pimpinan, kata Yehuda kepada saudara-saudaranya itu: "Apakah untungnya kalau kita membunuh adik kita itu dan menyembunyikan darahnya? Marilah kita jual dia kepada orang Ismael ini, tetapi janganlah kita apa-apakan dia, karena ia saudara kita, darah daging kita." Dan saudara-saudaranya mendengarkan perkataannya itu.
Saudara-saudaranya tidak mendengarkan perkataan Ruben, mereka mendengarkan Yehuda. Ini titik awal Yehuda memimpin saudara-saudaranya menggantikan Ruben. Dan dalam hal ini dia memimpin untuk meneruskan niat jahat mereka tanpa resiko yang terlalu besar; tanpa harus menanggung akibatnya, yaitu mungkin saja ayah mereka ingin membunuh mereka kalau tahu mereka membunuh Yusuf. Di satu sisi Yehuda menyebabkan Yusuf tidak mati. Tapi di sisi lain, Yehuda melakukannya sebagai sesuatu yang mirip dengan membunuh Yusuf, yaitu menyingkirkan dia. Pokoknya tujuan tercapai, Yusuf tidak ada lagi tapi kamu tidak perlu menumpahkan darahnya –mungkin ada “religious issue” di sini, mereka merasa bersalah– dan yang pasti kita dapat bonusnya: dapat uang hasil menjual Yusuf.
Selanjutnya, kita melihat potret Yehuda sesudahnya. Yehuda yang baru, bisa kita jumpai potretnya dalam pasal 43:1-13. Konteksnya begini, kelaparan parah sekali sehingga mereka pergi ke Mesir untuk mendapat bahan makanan. Kelaparan terus berlanjut. Mereka melihat satu-satunya jalan adalah kembali ke Mesir minta dari Penguasa Mesir itu makanan. Tapi deadlock-nya: Penguasa Mesir itu memberi satu syarat “bawa adikmu; tidak bawa adikmu, tidak dapat gandum”. Lalu mereka berjanji “kami akan bawa adik kami”, maka tidak ada cara selain membawa Benyamin. Di sini deadlock-nya; Yakub takut kehilangan Benyamin. Alasannya jelas, dia tidak bisa punya anak dari Rahel lagi –Rahel sudah mati– dan dari 2 anaknya, yang satu sudah mati, cuma sisa satu. Namun hebat sekali kelaparan di negeri itu, kalau tahan-tahan Benyamin terus maka semua mati, Benyamin juga mati. Dan Yakub kelihatannya berpegang pada posisi absurd ini “biarin semua mati”.
Kita seringkali begitu berpegang pada sesuatu yang kita sangat tidak ingin kehilangan, sehingga bahkan kita lebih rela kalau kehilangan semuanya. Persis seperti Gollum. Ia tahu kalau dia nyemplung ke kawah gunung berapi itu, ia akan mati bersama dengan cincinnya tapi dia tetap pegang erat cincin itu, ‘gak pa-pa gua mati bersama cincin ini. Dia lebih rela kehilangan semuanya daripada berpisah dari cincin itu, “my precious” itu. Kita seringkali begitu. Kita tidak rela “melepaskan” demi kehidupan. Itulah posisi Israel.
Kemudian pasal 42 bagian akhir, Ruben berusaha membujuk. Bujukannya maut banget, katanya, “Papa, kamu resikokan satu anak –Benyamin– oke, saya taruh 2 anak saya; kalau saya tidak bawa balik Benyamin, bunuh anak saya yang dua ini”. Cara Ruben sangat duniawi, tapi sangat heroik juga, satu banding dua, tidak mungkin gagal. Tapi Yakub tidak mau. Mungkin kalau dikasih tawaran anak-anak yang jauh lebih banyak, misalkan sampai 20 pun, juga tidak mau karena baginya hanya ada 1 anak, Benyamin. Itu tidak bisa ditukar dengan 20 anak sekalipun, tidak juga dengan pembunuhan 20 anak untuk balas dendam. Maka, berapa pun Ruben berkorban, Yakub tidak bergeser hatinya.
Lagi-lagi Yehuda mengambil alih, pasal 43:3 dia mengatakan: "Orang itu telah memperingatkan kami dengan sungguh-sungguh: Kamu tidak boleh melihat mukaku, jika adikmu itu tidak ada bersama-sama dengan kamu.” Jadi ini mutlak tidak bisa ditawar; Benyamin harus pergi, kalau tidak mereka tidak bisa pergi ke sana. Selanjutnya, bagaimana Yehuda membujuk Israel? Ayat 8-9 dia mengatakan, "Biarkanlah anak itu pergi bersama-sama dengan aku; maka kami akan bersiap dan pergi, supaya kita tetap hidup dan jangan mati, baik kami maupun engkau dan anak-anak kami. Akulah yang menanggung dia; engkau boleh menuntut dia dari padaku; jika aku tidak membawa dia kepadamu dan menempatkan dia di depanmu, maka akulah yang berdosa terhadap engkau untuk selama-lamanya.” Cara Yehuda membujuk tidak sama dengan Ruben. Ruben membujuk dengan “kematian”, matiin anak gua, dua kali lipat, kalau Benyamin sampai hilang; mata ganti mata, gigi ganti gigi, bahkan satu mata ganti dua mata. Tapi Yehuda berbeda 180º. Yehuda mengingatkan Israel akan “kehidupan”, dan narator di sini langsung mengubah sebutan “Yakub” menjadi “Israel”, mengingatkan pergulatan di sungai Yabok itu, pergulatan Yakub dengan kehidupan, apakah dia bersedia melepaskan demi kehidupan.
Yehuda mengatakan kepada Israel “biarkan anak itu pergi supaya kita hidup, engkau hidup, kami hidup, dan generasi setelah ini hidup, generasi anak-anak kita hidup”. Mengapa penting generasi yang akan datang hidup? Karena hidup kita bukan untuk kita, hidup kita untuk bumi, hidup kita untuk masa depan ciptaan. Karena riwayat Yakub bukan riwayat Yakub semata, titik, tapi riwayat Yakub adalah riwayat Abraham-Ishak-dan Yakub. Dan riwayat Abraham-Ishak-dan Yakub bukan riwayat Abraham-Ishak-dan Yakub, titik, tetapi adalah riwayat seluruh ciptaan. Riwayat seluruh ciptaan ini akan berakhir tragis atau happy ending? Riwayat seluruh ciptaan ini akan berakhir dengan kecil tidak disayang, remaja galau, dewasa orang medioker yang malu bertemu teman-teman reuni karena mereka sudah jadi penasehat presiden, cukong, sedangkan gua cuma supir, dst., lalu mati, dan kita harus puas dengan itu? Absurd, tidak ada makna, dan berakhir dengan pendek? Toledot alam semesta versi Kitab Kejadian mengatakan “Tidak. Kehidupan itu berharga. Demi kehidupan, ayah, lepaskanlah Benyamin. “
Dan kita melihat bahwa hal itu betul-betul esensial, karena Yusuf –yang menyamar itu– tidak akan kirim helikopter tapi dia hanya menunggu. Menunggu keluarganya berubah. Menunggu indikasi Tuhan bekerja di tengah keluarganya dan mengubah mereka dari dalam. Yusuf tidak bisa membuat program “mengubah hati ayah”, “mengubah hati Ruben”, “mengubah hati Yehuda”, dst. dia hanya menunggu. Dan mungkin juga melakukan suatu hal yang seringkali kita anggap percuma, yaitu berdoa. Dan kita lihat doanya dijawab oleh Tuhan, karena terjadi yang satu ini pada Yehuda, orang yang tidak disangka-sangka, yaitu: Yehuda diubahkan oleh Tuhan lewat suatu peristiwa yang memalukan, yang tidak seorang pun ingin itu diketahui anak cucunya, suatu cerita yang ingin dikubur rapat-rapat. Cerita bagaimana Yehuda berubah kita baca dalam pasal 38, yang menurut beberapa penafsir liberal adalah satu “selipan” atau “iklan”. Tapi pasal 38 ini menjelaskan bagaimana Yehuda berubah, sesuatu yang terjadi di tengah-tengah antara “sebelum” dan “sesudah”.
Pasal 37 ayat terakhir adalah adegan Yusuf yang dijual ke Mesir di rumah Potifar yang “to be continued”, selanjutnya pasal 38 cerita Yehuda dan Tamar, lalu pasal 39 kembali cerita Yusuf di Mesir. Di tengah-tengah ini terjadi suatu peristiwa. Yehuda kawin dengan perempuan Kanaan, yang melahirkan 3 anak. Anak pertama kawin dengan perempuan Kanaan juga, Tamar, lalu mati. Er mati karena ia jahat di mata Tuhan. Lalu Onan jadi punya kewajiban membangkitkan keturunan bagi kakaknya, meneruskan kehidupan. Onan tidak mau, dia melakukan coitus interruptus, memutuskan kehidupan. Dia jahat di mata Tuhan, dan mati. Sisa 1, Syela yang masih kecil. Kata Yehuda “jangan dikasih dulu kepada Tamar, belum cukup umur”. Tapi Yehuda tidak bilang bahwa dia takut Syela nanti mati di tangan Tamar, karena ekstrapolasi data-nya nampaknya begitu, anak yang kesatu mati, yang kedua mati, nanti yang ketiga pasti mati juga. Dia tidak mau Syela mati. Dia tidak mau melepaskan Syela. Dia menahan yang dia sayangi, “my precious Syela” demi posesif-nya dia menghalangi kehidupan. Jadi ini rupanya cerita dalam hidup Yehuda, dan juga cerita dalam hidup Yakub. Yehuda bisa membujuk Yakub untuk melepaskan Benyamin demi kehidupan, karena dia pernah melepaskan Syela demi kehidupan. Siapa yang mengajar dia? Yaitu perempuan pelacur yang patut dibakar itu, orang Kanaan itu, Tamar.
Ceritanya begini. Ketika Yehuda tidak memberikan Syela kepada Tamar, Tamar tinggal di rumah ayahnya dan terus memantau Syela yang semakin besar. Ketika tidak ada harapan Syela diberikan kepadanya, Tamar membuat siasat. Ketika itu istri Yehuda meninggal, dan setelah habis masa berkabung Yehuda pergi likuidasi investasi yaitu menggunting bulu domba-dombanya. Setelah mendapat uang, dia mencari pelacur –pelacur bakti– tapi orang-orang di daerah situ tahu tidak ada pelacur bakti, yang ada adalah pelacur biasa. Perempuan yang disangka Yehuda pelacur biasa, ternyata Tamar, menantunya sendiri. Singkat cerita, Tamar langsung hamil. Mengetahui menantunya hamil, Yehuda marah lalu overacting mengatakan “hukumannya dibakar”, padahal dalam hukum Musa untuk perzinahan hukumannya dilempari batu, lebih rendah sedikit daripada dibakar. Yehuda begitu self righteous. Tapi kemudian perempuan itu mengeluarkan kartu as-nya yaitu 3 benda milik pribadi Yehuda –kalung, jubah, dan tongkat– yang diberikan sebagai jaminan bahwa Yehuda akan bayar seekor anak kambing kepadanya. Maka ketika dibawa keluar, Tamar menyuruh orang memperlihatkan 3 benda itu kepada Yehuda. Kata-kata yang dipakai narator di sini “ini lihat, periksalah sendiri”, bergema mengingatkan Yehuda pada sesuatu yang dia sendiri pernah menyuruh orang katakan kepada Yakub, ayahnya, “ini lihat, punya siapa”. Itu bukan tongkat, jubah, dan cincin meterai, melainkan jubah maha indah Yusuf yang sudah dicelup dalam darah domba. Saya kira di sini Yehuda ingat betul dia pernah tipu papanya, dan sekarang dia disiasati oleh Tamar. Rabbi Hoshayah dalam B'reshith Rabba, midrash yang kasih commentary pada Kitab Kejadian, mengatakan, “Dengan kambing kau menipu ayahmu, Yahuda, tapi dengan kambing juga kau disiasati oleh Tamar”.
Kesimpulannya, Yehuda berubah karena kemurahan Tuhan memakai hal-hal yang sangat memalukan, yang tidak bisa membanggakan –menurut dia– hal-hal yang membuat dia kalah, dikibulin oleh orang yang tidak diperhitungkan, yaitu Tamar. Yehuda diubah. Diubah ke mana? Ia diubah ke “memeluk erat-erat kehidupan” ketimbang apapun yang menggantikan “kehidupan” itu. Apapun yang menggantikan kehidupan sebetulnya menuntun kepada kematian. Yehuda berani melepaskan itu. Ketika dia melepaskan itu –dalam hal ini dia lepaskan Syela agar meneruskan keturunan yaitu Peres dan Zerah– kemudian lahir Daud, dan selanjutnya lahir Tuhan kita, Yesus Kristus.
Cerita kelahiran Peres, jika dibandingkan dengan kelahiran Esau dan Yakub, dia adalah orang yang berhasil melakukan hal yang Yakub gagal lakukan terhadap Esau. Esau dan Yakub rebutan lahir duluan, dan yang akhirnya lahir duluan tetap Esau. Tapi Yakub tetap ngotot mau lahir duluan, buktinya dia memegang tumit Esau –sehingga disebut “heel grabber”– seolah mau tarik Esau balik ke dalam kandungan namun gagal. Bagaimana dengan Peres dan Zerah? Zerah lahir duluan, dia keluarkan tangannya lalu bidan mengikat dengan merah-merah itu –mengingatkan kita pada Esau– tapi Peres menerobos keluar dan akhirnya dia keluar duluan. Bidan mengatakan, “betapa kuat engkau menerobos,” maka namanya “Peres”, si penerobos.
Peres mewakili yang Yakub tidak berhasil lakukan terhadap Esau. Dan dia dilahirkan oleh siapa? Siapa “anakku” itu? Itu adalah Yehuda. Dan caranya hal itu terjadi sangat memalukan, tidak membanggakan sama sekali. Itu bukan karena hebatnya Yehuda, bukan karena hebatnya Israel juga. Itu adalah karena kehendak Tuhan, kemurahan Tuhan. Kemurahan Tuhan yang mengubah tragedi menjadi sesuatu komedi, ending yang bagus, dengan memakai dosa, dan kebodohan, dan pride, dan segala macam. Kemurahan Tuhan yang kemudian mendorong Yehuda dan Yakub melakukan sebagaimana Abraham berhasil lakukan dan berkenan di mata Tuhan, yaitu melepaskan Ishak; maka demikian Yehuda dan Yakub bisa melepaskan Syela dan Benyamin. Dan itu Tuhan pakai dalam sejarah keselamatan.
Kita lihat beratus-ratus tahun kemudian dalam suara dari orang yang membuat silsilah –Matius– dikatakan “anak dari Yakub adalah Yehuda dan saudara-saudaranya”. Bukan Ruben dan saudara-saudaranya, bukan Yusuf dan saudara-saudaranya, bukan Benyamin, bukan Efraim dan Manasye keluarga keturunan Yusuf, tetapi Yehuda dan saudara-saudaranya. Dalam sejarah keselamatan, Tuhan Yesus lahir sebagai anak dari Yehuda, Yehuda yang kawin dengan perempuan Kanaan, Yehuda yang hidupnya begitu jauh dari Tuhan. Tetapi Yehuda yang diubahkan oleh Tuhan.
Tuhan itu memakai orang-orang yang hatinya hancur. Tuhan itu memakai orang-orang yang bertobat. Tapi orang-orang yang bertobat itu tidak bisa membanggakan pertobatannya juga, karena pertobatannya pun seringkali terjadi di luar kehendaknya. Itu adalah karya Tuhan yang bermurah hati atas kita orang-orang yang bodoh, orang-orang yang sombong, orang-orang yang berdosa ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading