Dalam kotbah sebelumnya kita sudah bicara mengenai subteks dalam sebuah kebaktian, yaitu bukan cuma untuk “jaga pintu”, atau untuk menyatakan diri kita, atau bahkan untuk mengetahui kebenaran, melainkan untuk beribadah, menyembah, melihat Pribadi Allah. Tapi pertanyaan yang lebih mendasar adalah: Apa itu ibadah atau penyembahan (worship)? Lalu mengapa kita harus menyembah, apa alasan di baliknya? Dua pertanyaan ini yang akan kita bahas.
Apa itu ibadah? Bagian Firman Tuhan yang kita baca hari ini, khususnya ayat 20-24 ada 9x kata “penyembahan”. Itu terjemahan yang tepat karena dalam bahasa aslinya (Yunani) adalah proskuneo, yang artinya bukan beribadah melainkan menyembah. Ada beda antara “penyembahan” dan “ibadah” yang seringkali kita anggap kira-kira sama. Dalam kamus bahasa Inggris, proskuneo diartikan sebagai “to recognize something or someone of superior value” (mengenali, mengakui, melihat, ngeh, harga/ nilai daripada sesuatu atau seseorang), maka tepat sekali diterjemahkan menjadi “worship” karena akar kata “worship” dari bahasa Inggris yang tua adalah “worth-ship”. Worth dalam arti nilai/ harga, ada sifat yang berharga yang kepadanya kita worship. Ini sangat berbeda dari kata “ibadah”, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi kata “ibadah” adalah “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”, sedangkan proskuneo bukan merujuk pada tindakan saja tapi sesuatu yang lebih utuh. Proskuneo mengandung arti bukan sekedar soal sikap tangan kita, melainkan sikap hati kita khususnya di hadapan hal atau barang atau orang tersebut.
Kita bisa pakai analogi untuk mengerti hal ini. Misalkan Saudara punya sebuah perhiasan tua, peninggalan nenek, kelihatan cukup bagus dan Saudara sesekali memakainya. Setelah pakai, Saudara masukkan begitu saja perhiasan tersebut ke laci. Tapi satu hari seorang teman yang ahli perhiasan melihatnya dan terkejut, dia menceritakan bahwa perhiasan tersebut sebenarnya karya seorang ahli dari abad 16 yang sangat langka, harganya bisa sampai 20-30 milyar. Mendengar itu, pastinya sikap Saudara terhadap perhiasan tadi berubah. Yang pertama, Saudara mulai melihatnya dengan mata yang lain, mulai mengagumi, melihat keindahan barang tersebut yang tadinya terlewat begitu saja. Pikiran Saudara mulai dipenuhi dengan barang itu. Yang kedua, Saudara mulai menyadari dampaknya dalam hidup karena memiliki barang tersebut.; ada hal-hal yang selama ini tidak bisa Saudara lakukan tapi sekarang Saudara bisa lakukan, atau hal-hal yang selama ini Saudara bisa lakukan tapi sekarang Saudara jadi berpikir ‘harusnya tidak boleh begitu, ya’. Yang ketiga, tindakan Saudara terhadap barang itu mulai berubah (ini aspek ibadahnya). Saudara sekarang mulai memperlakukannya secara berbeda; tidak lagi meletakkan di laci begitu saja tapi khusus mengeluarkan uang untuk beli lemari besi dan menyimpan perhiasan itu dengan hati-hati di dalamnya. Atau juga, karena teman Saudara tadi menunjukkan ada sedikit cacat pada perhiasan itu tapi kalau diperbaiki maka harganya bisa naik hampir 2x lipat, Saudara rela membayar 50 juta untuk hal itu.
Jadi di sini sikap Saudara berubah, inilah worship /penyembahan. Ini berbeda dari sekedar ibadah. Dan dalam hal ini yang dilakukan sang teman pada dasarnya adalah yang dilakukan para liturgis dalam kebaktian , yaitu memimpin Saudara masuk ke dalam penyembahan. Dengan cara apa? Yaitu dengan menunjukkan satu nilai keindahan yang selama ini Saudara tidak sadar sehingga Saudara tidak hidup dengan tepat (proper). Sikap Saudara selama ini terhadap “barang” itu tidak tepat sehingga tidak ada dampaknya juga dalam hidup Saudara. Begitu Saudara sadar berharganya hal tersebut, Saudara dipenuhi kekaguman, Saudara mulai berubah sikap, berubah gaya hidup; Saudara mulai berinvestasi dalam hal-hal yang tadinya dianggap terlalu mahal, meluangkan diri, uang, keringat bagi barang tersebut. Inilah penyembahan. Inilah artinya mengenali harga/ nilai dari sesuatu. Jika pengertian worship seperti demikian, maka bukankah ini sesuatu yang senantiasa terjadi dalam hidup kita?
Satu contoh lain, Saudara sedang mengantri, antriannya begitu lama dan Saudara tidak suka. Mengapa? Karena Saudara merasa dirugikan, waktu yang dipakai terbuang percuma, dan sangat membosankan. Tiba-tiba Saudara baru sadar bahwa orang di depan Saudara ternyata Pak Ahok (gubernur DKI), yang sedang antri juga. Wow! Lalu Pak Ahok itu menoleh ke belakang, melihat dan menyapa Saudara, dan singkat cerita Saudara terlibat percakapan dengan beliau, dan Saudara jadi lupa bahwa sedang mengantri. Saudara bahkan lupa waktu. Tadi 5 menit terasa sangat lama dan membosankan tapi sekarang sudah ngobrol setengah jam tidak terasa, bahkan Saudara seperti tidak rela waktu antrian tersebut akan segera berakhir. Dapatkah Saudara lihat efeknya? Penyembahan, dalam arti yang sangat umum yaitu mengenali harga, itu bukan cuma membuat dampak yang besar dalam hidup kita tapi juga me-relativisasi sistem nilai kita. Yang tadinya kita anggap berharga, bisa jadi tidak berharga; yang tadinya kita anggap murahan, bisa jadi berharga sekarang. Inilah worship. Waktu bisa jadi relatif dalam worship. Uang juga bisa jadi relatif dalam worship.
Kalau kita melihat pengertian “worship” ini, yang sangat berbeda dengan “ibadah”, kita baru sadar bahwa ternyata kita sering sekali melakukan penyembahan, itu bukan sesuatu yang asing bagi kita, malahan itu sesuatu hal yang mendarah-daging dalam kehidupan kita. Dan pada saat yang sama, kita baru sadar juga bahwa penyembahan kita hampir selalu objeknya tidak pernah Allah. Dari mana kita bisa sadar akan hal ini? Dari melihat bedanya worshiping hal-hal itu dengan worshiping Allah. Kalau Saudara worshiping berlianmu, atau apapun yang lain yang berharga, Saudara akan menambah investasimu; tapi kalau Saudara worshiping Tuhan, Saudara bukan sekedar menambah investasi tapi memberikan segala sesuatu masuk ke dalam investasi, Saudara investasi all-in. Kalau Saudara worshiping Allah, bukan sekedar uangmu atau waktumu yang di-relativisasi, tapi bahkan hidupmu dan nyawamu juga ter-relativisasi. Kalau sebuah berlian atau seorang Ahok bisa begitu berharga sehingga bisa mengubah hidup Saudara, merombak sistem nilai Saudara, maka betapa besarnya perubahan yang harusnya diakibatkan jika kita sungguh-sungguh menyembah Allah.
Alkitab memberikan beberapa contoh, kita akan melihat gambaran-gambaran itu dan mungkin dari situ Saudara baru sadar mengapa bisa terjadi perubahan sedemikian, dan juga baru sadar bahwa selama ini kita salah sama sekali dalam melihatnya. Dalam Yesaya 6, Yesaya masuk ke Bait Allah dan hari itu dia melihat Allah yang digambarkan dalam takhta-Nya yang tinggi menjulang, ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci. Yesaya tentu sudah tahu Allah itu agung, tapi itu untuk pertama kalinya Yesaya sadar, mengenali, akan keagungan Tuhan yang sesungguhnya. Dia melihat secara langsung dan itu serta merta berdampak dalam hidupnya, dia jatuh rebah. Tapi bukan cuma jatuh rebah, apa yang terjadi kemudian dalam hidupnya? Singkat cerita, Allah mengatakan bahwa Dia perlu mengutus seseorang kepada bangsa yang tidak akan mendengar ini, lalu Yesaya langsung mengatakan, “Ini aku, utus aku.” Kita selalu berpikir, apa yang menyebabkan Yesaya bisa begitu sedangkan saya tidak, lalu kita mencari jawabannya pada diri Yesaya, bedanya Yesaya dan saya, apa yang Yesaya punyai yang tidak ada pada saya sehingga dia bisa melakukan seperti itu. Setelah itu kita mengatakan, “Jadilah seperti Yesaya, inilah teladan orang Kristen yang meresponi Tuhan”, dsb. Itu salah, Saudara. Poin dari cerita itu bukanlah mengenai Yesaya tapi mengenai “siapa” yang Yesaya lihat. Ketika dia melihat Allah, dia menyembah, dalam arti dia sadar betapa berharganya Allah. Itulah yang membuat dia me-relativisasi nyawanya sendiri. Itu yang membuat dia me-relativisasi karirnya. Yang jadi masalah bukan “apa yang ada pada diri Yesaya” melainkan “siapa yang Yesaya lihat”. Di sini kita mungkin baru sadar, selama ini “worship” kita mengerti dalam pengertian “ibadah” sehingga yang penting itu saya; itu adalah mengenai saya, apa yang saya lakukan.
Gambaran lain yang diberikan Alkitab yaitu seorang tokoh yang sangat terkenal, Stefanus. Orang menyeret dia ke Mahkaman Agama, lalu setelah mendengar kotbahnya, mereka menyambutnya dengan kertakan gigi, berteriak-teriak sambil menutup telinga, dan serentak menyerbu dan menyeret dia ke luar kota, melemparinya dengan batu. Di tengah-tengah semuanya itu, Stefanus berdoa dengan nafas terakhirnya, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka. “ Apa respon kita waktu melihat hal ini? Kita mengatakan, “Gila ya, hebat ya, Stefanus”, apa yang ada pada dia yang tidak ada pada saya, mengapa dia bisa seperti itu dan saya tidak, dari mana dia mendapat kuasa untuk mengampuni begitu rupa sedangkan saya disakiti sedikit saja dendam berbulan-bulan. Respon kita adalah betapa luar biasa Stefanus-nya. Saudara salah lihat, jangan cari pada Stefanus-nya karena di bagian sebelumnya dikatakan bahwa Stefanus menengadah lalu berkata, “Aku melihat langit terbuka dan aku melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Allah Bapa. “Inilah kuncinya; bukan soal Stefanus-nya tapi soal siapa yang dia lihat, siapa yang dia sembah.
Dalam kedua kasus ini pada dasarnya Yesaya maupun Stefanus itu sedang mengatakan: “Ya, Tuhan, saya sekarang benar-benar melihat Engkau, dan saya melihat betapa berharganya Engkau, oleh karena itu implikasinya jelas dalam hidup saya, yaitu bahwa Engkau hanya patut menerima segalanya dari hidupku, tidak kurang dari itu. Jadi saya tidak perlu kesuksesan di mata orang dunia sekarang karena saya sudah punya Engkau. Semua aset saya akan saya cairkan dan akan saya tuang kepada-Mu karena saya tahu seberapa berharganya Engkau sehingga aset itu jadi relatif, tidak ada harganya buat saya dibandingkan Engkau”.
Kita tahu, harga itu relatif. Kita sudah terbiasa memakai uang sehingga kita pikir harga itu mutlak –100 ribu itu 100 ribu– tapi tidak begitu; 100 ribu tidak tentu 100 ribu, tergantung ke mana arah panahnya. Kalau Saudara ditawari teman sebuah permen karet, harganya 100 ribu, respon kita adalah: “Lu gila ya, kalau gua beli ke toko kelontong di depan bisa dapat berapa ratus permen karet, yang bener aja!” Kemudian teman yang lain menawarkan BMW, harganya 100 ribu. Saudara bisa jadi curiga juga, tapi mungkin yang akan Saudara lakukan adalah: “Gitu ya, ya udah, ini uangnya 100 ribu. “ Kemungkinan untuk bisa mendapatkan BMW seharga 100 ribu –meski bisa jadi ditipu– itu sudah worth lebih banyak daripada uang itu; harga itu relatif, tergantung ditukarnya dengan apa.
Jadi, mengapa kita tidak melihat Allah sedemikian berharganya bagi kita? Salah satu penjelasannya adalah karena kita orang-orang yang kekanak-kanakan, kita tidak dewasa secara kerohanian. Kakak perempuan saya waktu kecil punya boneka anjing laut yang dia luar biasa sayangi. Satu hari boneka tersebut hilang, dan tidak pasti juga hilangnya di mana karena dia selalu bawa-bawa ke mana-mana. Kehilangan itu membuat dia bisa berkabung sampai berbulan-bulan karena dia memang masih kecil. Anak kecil itu tidak mengerti harga. Kalau Saudara tawarkan kepada dia, “Boneka anjing laut itu kamu kasih saya, nanti saya akan kasih kamu rumah di Bukit Gading Villa”, dia tidak akan mau karena bagi dia rumah di Bukit Gading Villa itu abstrak, yang riil adalah perasaan nyaman yang didapatkannya ketika tidur dengan boneka itu. Kita selama ini tidak seperti Yesaya, atau Stefanus, karena mungkin yang kita pegang erat-erat hari ini adalah boneka-boneka anjing laut kita, kita tidak tahu harga, kita anak-anak kecil di hadapan Tuhan, kita orang yang kekanak-kanakan.
ArchbishopThomas Cranmer, adalah seorang tokoh Reformasi di Inggris yang agak kurang dibicarakan. Cranmer pernah ditangkap Ratu sampai kemudian dia menulis recantation (surat penarikan kembali) yang mengakui kembali Paus sebagai wali Kristus, mengakui kembali bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja Katholik Roma, dsb. Tapi pada akhirnya Cranmer berbalik arah lagi, kembali mendukung Reformasi sehingga ia akan dibakar sebagai bidat. Sebelum diikat di tiang untuk dibakar, Cranmer membakar sendiri tangan kanannya di perapian itu, dia mengatakan, “my unworthy hand” karena inilah tangan yang telah menanda-tangani surat recantation tadi; lalu dia diikat pada tiang dan dibakar. Kalimat terakhirnya sebelum meninggal adalah kalimat yang dikatakan Stefanus, “Aku melihat langit terbuka dan Yesus duduk di sebelah kanan Allah Bapa. ”
Apakah Saudara mulai melihat apa yang membuat orang-orang ini bisa melakukan seperti itu? Apa beda yang sesungguhnya antara Saudara dengan dia? Bedanya ternyata bukan terletak pada diri Saudara dan dirinya; bukan “inilah raksasa-raksasa iman sepanjang sejarah, dan yah, memang zaman sudah berubah, hari ini kita tidak bisa seperti itu karena orang sudah terlalu rusak, dsb., diri kita dan diri mereka beda”, sama sekali bukan di situ bedanya. Bukan masalah orangnya tapi masalah apa dan siapa yang disembah orang tersebut; siapa yang dia lihat, siapa yang dia kenali sebagai berharga paling tinggi. Inilah poin yang pertama dari worship, yaitu mengenali value/ harga/ nilai daripada Tuhan.
Poin yang kedua, mengapa kita beribadah? Jawabannya bisa kita dapatkan di ayat 23 “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” Terjemahan bahasa Indonesia di sini agak misleading. Kata “menghendaki” di situ terlalu lunak, karena kata aslinya “zeteo” itu bukan cuma berarti menghendaki tapi mencari dalam arti menuntut . Di bagian kitab yang lain, Mat 26:16 ketika dikatakan bahwa Yudas mencari waktu yang tepat untuk menyerahkan Yesus, di situ memakai kata zeteo. Kata yang sama juga dipakai dalam Markus 14:55, dikatakan bahwa para ahli Taurat yang menyidang Tuhan Yesus, mencari (zeteo) kesaksian untuk menjatuhkan Tuhan Yesus. Itu bukan cuma mencari, tapi menuntut harus ada.
Mungkin Saudara ada perasaan tidak nyaman melihat Allah menuntut orang-orang menyembah Dia, karena menurut pengalaman hidup, orang-orang yang menempati kategori teratas sebagai “menyebalkan” salah satu karakteristiknya adalah selalu menuntut pujian dari orang lain. Kita orang Reformed pasti mengatakan, “Ya, Allah sudah pasti patut disembah”, tapi mengapa harus dikatakan Dia itu menuntut orang menyembah Dia? Orang Timur suka mengatakan: maksudnya sih baik, tapi caranya kurang pas. Apa benar caranya kurang pas? Tentu saja tidak. Di sisi lain, ada satu tipe orang lagi yang juga betul-betul menyebalkan tapi fenomenanya berbeda 180º, yaitu orang yang tidak bisa memuji; tidak bisa menemukan apapun yang bisa membuat mereka memuji, hanya bisa melihat kejelekan, semua rusak di mata mereka, selalu sinis. Kalau kita mengagumi matahari yang indah, dia katakan “itu cuma bola gas yang berpijar, apa sih bagusnya?” Itulah dua tipe orang yang menyebalkan, di satu sisi yang selalu menuntut pujian, di sisi lain yang tidak bisa memuji apapun.
Sekarang coba Saudara pikirkan, orang seperti apa yang Saudara merasa ingin di dekatnya? Tentu sebaliknya, yaitu orang-orang yang senantiasa memuji (worship) –bukan dalam arti suka menjilat atau menganggap semua positif– mereka tahu dunia penuh keterbatasan, tapi mereka bisa melihat keindahan di tengah barang-barang yang orang lain anggap sampah, dan mereka bisa menunjukkannya. Sebagian besar kita senang menonton film documentary, misal BBC Documentary “Planet Earth II” yang baru keluar. Mengapa? Karena film-film seperti itu memperlihatkan keindahan-keindahan yang selama ini Saudara tidak sadari. Salah satu teknik yang paling gampang dengan slow motion. Semua orang pernah lihat kucing melompat, tapi waktu kejadian itu diperlihatkan secara slow motion, Saudara bisa melihat gerakan ototnya, transfer energinya, teknik lompatnya, tangannya yang menggapai binatang yang mau diterkamnya, dsb., dan itu membuat Saudara kagum, “Gua sudah tahu kucing sejak kecil, tapi ini membuat gua ‘ngeh dengan keindahan yang selama ini gua ‘gak lihat”. Suatu hari Pendeta Ivan makan bubur bersama seorang diaken. Semua orang pernah makan bubur, tapi diaken ini menunjukkan “cara makan bubur yang benar”, taruh daun bawang seledri dan bawang goreng dulu di mangkuk baru tuangkan buburnya, maka panas bubur itu membuat wanginya keluar, berbeda dengan kalau tuang bubur dulu baru ditaburkan yang lain-lain tadi. Memang kemudian Pendeta Ivan katakan dia tidak terlau bisa membedakan juga, tapi makan bubur dengan diceritain seperti itu saja sudah membuat lebih nikmat. Ada kenikmatan yang lain ketika kita bersama dengan orang yang senantiasa memuji.
Intinya kita harus sadar satu hal, orang yang tidak sanggup untuk memuji, tidak sanggup untuk worship, tidak sanggup untuk mengenali value/ harga/ nilai dari barang-barang, adalah orang yang kurang manusiawi. Adalah sesuatu yang sangat manusiawi untuk hidup menyembah. Dan, kalau ini benar untuk hal-hal dalam kehidupan sehari-hari –yang ecek-ecek itu– maka seperti apa harusnya kalau kita sungguh-sungguh memuji dan menyembah Allah, menyadari keagungan-Nya? Jikalau bagi Saudara, Allah adalah yang paling indah, paling besar, paling berharga, maka ketika Saudara melihat Dia, apa yang terjadi yang membedakan penyembahan Saudara kepada Dia dengan penyembahan Saudara kepada hal-hal yang lain? Kalau Saudara menyembah Dia, yang paling indah itu, Saudara akan justru mampu untuk memuji dan menghargai semua hal yang lain, karena saudara akan senantiasa melihat tangan Tuhan di dalam segala ciptaan-Nya.
Kembali kepada orang-orang besar dalam sejarah Gereja, kita seringkali pikir mereka itu ada aura khusus, suci banget, dan kita seperti tidak ingin dekat-dekat. Tapi menariknya, dalam kesaksian orang-orang yang hidup bersama mereka, yang mengenal mereka secara pribadi, Saudara akan melihat bahwa justru inilah orang-orang yang sangat membuat kita ingin sekali menjadi teman. Orang-orang yang menyembah Allah, yang menjadikan Allah sebagai objek yang baginya paling berharga, justru bisa menghargai semua ciptaan yang lain. Bandingkan dengan kita. Kita yang menyembah allah yang ecek-ecek, yang bukan Allah, maka apa yang terjadi? Hal-hal yang ecek-ecek ini tentu tidak semuanya rata, misalnya menyembah keluarga sepertinya lebih baik daripada menyembah harta atau karir. Tapi coba perhatikan, ketika Saudara menyembah keluarga, bagaimana hal itu berdampak pada hidup Saudara? Apakah Saudara terbebas dari rasa takut, cemas, dan semua prasangka? Yang terjadi justru kita makin takut dan makin cemas. Semakin kita mencintai keluarga kita, harta kita, karir kita, semakin kita dipenuhi rasa takut dan cemas, dan semakin kita tidak bisa menghargai hal-hal yang lain. Itu bedanya penyembahan barang-barang ini dengan penyembahan Allah.
Maka, Saudara mulai mengerti alasan di balik Allah yang menuntut orang-orang untuk menyembah-Nya. Perhatikan, berapa kali Allah menuntut ibadah kita? Yang Dia tuntut adalah penyembahan, bukan ibadah. Allah kita seringkali malah mengatakan, “Aku benci dengan ibadahmu”. Di Perjanjian Lama Tuhan mengatakan, “Aku tidak mau puasamu, Aku tidak mau korbanmu. Yang Aku mau adalah memperjuangkan hak orang-orang miskin dan para janda”. ‘Gak nyambung. Beribadah salah lalu soal memperhatikan orang miskin dan para janda, di mana hubungannya? Yaitu kalau Saudara sungguh menyembah Allah dan bukan sekedar beribadah kepada Dia, maka Saudara bisa melihat keindahan dalam hal-hal yang dunia anggap sampah, salah satunya orang-orang miskin tadi. Itulah tandanya Saudara sungguh melihat keindahan Allah, yaitu ketika Saudara melihat keindahan di segala ciptaan yang lain. Yang dimaksud bukan bahwa kita buta terhadap efek dosa, tapi bahwa kita akan punya pengertian / penglihatan yang lain terhadap hal-hal ini. Oleh karena itulah Allah menuntut kita worship, bukan karena Dia perlu tapi karena kita yang perlu. Untuk menyembah adalah untuk kita bertumbuh dewasa dan bukan lagi anak umur lima yang memegang erat boneka anjing laut kita. Untuk menyembah adalah untuk menjadi orang yang manusiawi.
Kita semua harus ada hal ini. Kita bukan orang yang tidak bisa menyembah, kita sangat sering sekali menyembah, tapi masalahnya, hampir selalu yang kita sembah itu bukan Dia. Dan itulah salah satu penyebab segala kejelekan yang terjadi dalam hidup kita. Itulah sebabnya Saudara tidak berani menghadapi tekanan masyarakat. Itulah sebabnya Saudara senantiasa cemas. Kalau Saudara menyembah Dia, Saudara melihat betapa berharganya pemeliharaan yang Dia lakukan atas Saudara, bahwa pemeliharaan itu sesuatu yang riil sekali bagi Saudara, maka ancaman apa yang bisa lebih riil lagi? Mengapa kita cemas, takut? Karena kita tidak menyembah Dia; dan itulah sebabnya Allah menuntut untuk orang-orang menyembah Dia.
Terakhir, bagaimana caranya untuk bisa menyembah Dia? Ini pertanyaan perempuan Samaria tadi, ayat 15: “Oke Tuhan, jadi kami harus menyembah; tapi begini, kami menyembah di gunung ini, Engkau katakan menyembah di Yerusalem, bagaimana caranya menyembah?” Jawaban Tuhan Yesus (ayat 21-23): "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” Dari bagian ini biasanya kita menyimpulkan, bahwa Tuhan Yesus mengatakan menyembah itu bukan di sini atau di sana, bukan di Yerusalem ataupun Samaria, tapi menyembahnya itu dalam roh dan kebenaran; itu solusinya. Tapi tidak begitu, Saudara, karena perkataan yang diulang 2x bukan soal ‘roh dan kebenaran’, melainkan bahwa ‘saatnya akan tiba’. Kata ‘saatnya’ (hora / hour / jam) dalam literatur Johannine punya arti yang sangat spesifik. Misalnya: dalam Yoh 2:4 cerita perkawinan di Kana, Yesus mengatakan kepada ibu-Nya, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Dan lebih jelas lagi dalam Yoh 13:1 dikatakan: Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Kata ‘saatnya’ (jam itu) menunjuk kepada sesuatu yang sangat spesifik yaitu jam kematian Kristus. Masalah menyembah dalam roh dan kebenaran tentu saja satu hal yang penting, tapi ada satu detail yang selama ini kita seringkali tidak melihatnya, yaitu yang Tuhan Yesus sedang katakan adalah: “Kamu mau tahu caranya beribadah? Aku beri tahu ya, kamu akan beribadah bukan melalui gunung ini, dan kamu juga tidak akan beribadah melalui Yerusalem, tapi kamu akan beribadah melalui Aku. Melalui karya-Ku itu. “ Dan inilah yang terjadi pada perempuan Samaria itu.
Di bagian awal diceritakan bahwa perempuan ini menimba air jam 12 siang (jamnya dicatat sangat detail), itu berarti wanita ini dikucilkan dari masyarakat. Dan Yesus bukan saja seperti tidak peduli strata sosial dalam arti Dia orang Yahudi dan perempuan ini Samaria, Dia laki-laki bicara dengan wanita, tapi Yesus tahu bahwa perempuan ini orang yang terkucil dari masyarakat, karena wanita-wanita biasa menimba air di pagi hari ketika hari masih sejuk atau sore waktu hari juga sudah dingin, tidak ada yang menimba air jam 12 siang waktu matahari sedang terik-teriknya. Dan itulah tujuan perempuan ini, yaitu supaya dia tidak bertemu orang lain. Yesus tahu hal ini. Lalu perempuan ini agak terkejut, berpikir, ‘Mengapa bisa ini seorang Yahudi, laki-laki, dan juga rabi, mau bicara pada saya orang yang terkucil? Dan Dia bahkan menawarkan saya air hidup! O, memang Dia pasti bisa menebak bahwa saya orang yang terkucil dari masyarakat, tapi Dia tidak tahu ‘kan alasannya, Dia tidak tahu ‘kan bahwa aku punya 5 suami dan yang ada padaku hari ini bukan suamiku. Kalau Dia tahu detailnya, sudah pasti Dia ‘gak bakal tawarin air hidup itu’. Maka perempuan itu mengatakan, “Oke, tolong berikan aku air hidup itu”. Lalu kata Yesus, “Panggil suamimu”. O o, gawat, “Saya tidak punya suami”. Kata Yesus lagi, “Benar katamu itu, karena suamimu ada 5 dan yang ada padamu hari ini bukan suamimu”.
Coba Saudara bandingkan antara awal dan akhir dari kisah ini. Apa yang terjadi? Yaitu suatu perubahan/ perombakan/ transformasi yang begitu luar biasa. Si wanita ini datang jam 12 karena tidak mau bertemu orang lain, aib-nya begitu menyakitkan, pengakuan orang lain di masyarakat tentang dirinya sebisa mungkin dia hindari, itu membuat sakit hati. Tapi di akhir cerita dikatakan bahwa dia berlari meninggalkan tempayannya pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat”. Dia tidak mengatakan “lihat, ada orang yang mengatakan kebenaran”, tapi yang dia katakan “lihat, ada orang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat”. Dan dia mengatakannya di tengah-tengah seluruh kota. Dia ini perempuan yang terkucil dari masyarakat, lalu bicara tentang Mesias, bukankah sangat memalukan kalau nantinya orang mengatakan, “Hei, lu siapa? Lu hidup saja ‘gak bener kayak begitu, jangan ngomong-ngomonglah” ? Tapi dia tidak peduli, bagi dia hal itu di-relativisasi, hal itu jadi cuma harga yang kecil yang dia harus bayar, dan dia rela, bahkan dia ‘meninggalkan tempayannya’. Orang mengatakan bahwa tempayan adalah harta penyambung hidup, tempat air yang waktu itu sangat penting, tapi perempuan ini tidak peduli dan dia meninggalkannya, bagi dia itu sekarang relatif. Mengapa bisa terjadi transformasi seperti ini? Karena dia melihat Allah, melihat Pribadi Kristus. Dan, apa yang dia lihat? Yang dia lihat adalah: bahwa Allah mengenal dia sedalam-dalamnya, dan tetap tidak membuang dia, malah mengasihi dia setinggi-tingginya.
Ada satu film, “Passengers”, tokoh utamanya cuma 2 orang, Chris Pratt dan Jennifer Lawrence. Mereka adalah penumpang dalam sebuah pesawat ruang angkasa yang traveling ke planet lain yang saking jaraknya, lama perjalanan memakan waktu 130 tahun. Karena itu mereka di-hibernasi-kan dalam kapsul-kapsul supaya tetap hidup selama waktu itu. Tapi baru 30 tahun, pesawat mengalami sedikit kerusakan sehingga kapsul Chris Pratt terbuka dan dia terbangun. Dia mendapati dirinya sendirian, perjalanan masih 100 tahun lagi dan dia bakal mati; akhirnya dia putuskan untuk menikmati saja hidup di kapal yang begitu besar lengkap dengan permainan dan segala macam, dunia jadi milik sendiri, dan lumayan juga masih ada satu makhluk yang bisa diajak ngomong, yaitu robot di restoran. Tapi itu semua tidak cukup, dia begitu kesepian dan frustrasi. Dia melihat kapsul yang lain, Jennifer Lawrence, dan dia jatuh cinta. Dia bingung. Di satu sisi ingin membangunkan wanita ini tapi itu artinya menghukumnya untuk mati di kapal bersama dia, itu pembunuhan; tapi di sisi lain kalau tidak membangunkan , artinya dia bakal mati sendirian. Dia hanya bisa curhat pada si robot. Pada akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan Jennifer, dengan cara sedemikian rupa supaya tidak ketahuan bahwa dia yang melakukannya. Singkat cerita mereka akhirnya pacaran dan Chris Pratt akan melamar, di restoran yang ada robot tadi. Selama ini dia sudah berpesan kepada si robot untuk jangan buka rahasia bahwa dirinya yang membangunkan Jennifer. Waktu mau melamar, dia datang berdua dengan pacarnya masuk restoran, lalu secara tidak sadar mengatakan pada si robot, “Antara gua dan dia sudah tidak ada rahasia”. Lalu kata si robot, “O, gitu ya… Lu tahu ‘gak bahwa dia yang bangunin lu”. Yang terjadi berikutnya bisa ditebak, Jennifer ngamuk luar biasa, “Kamu orang paling egois, kamu mengorbankan aku demi dirimu, kamu membuang nyawaku demi dirimu! Ini pembunuhan! Ini tidak benar! Tidak bisa seperti ini!” Tapi pada akhir film relasi mereka kembali pulih. Mengapa bisa? Karena di akhirnya, Chris Pratt mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Jennifer. Itu yang memulihkan kembali relasi mereka, yaitu ketika Chris membayar dosa pembunuhan itu dengan nyawanya sendiri. Setimpal.
Sekarang seandainya film ini kita ganti sedikit, Jennifer sejak awal sudah tahu Chris yang membangunkan dia lalu dia mengatakan, “O, ‘gak apa-apa, aku mengampunimu, aku tetap mencintaimu”, kira-kira apakah ada yang mau nonton film tersebut? Tidak masuk akal. Kita tahu di dunia ini kita harus pilih salah satu: Saudara dikenali atau Saudara dicintai. Kalau Saudara sesungguh-sungguhnya dikenali sampai sedalam-dalamnya, Saudara percaya bahwa Saudara tidak akan dicintai karena tahu diri kita hancur. Sebaliknya kalau mau dicintai, maka janganlah buka diri sepenuh-penuhnya. Itulah sebabnya orang pakai make-up. Itulah sebabnya waktu dijemput pacar, kita beres-beres rumah dulu. Inilah cawat yang kita semat untuk menyembunyikan ketelanjangan kita. Ketika perempuan Samaria ini bertemu dengan Tuhan Yesus, dia sungguh menyembah, karena dia melihat satu hal yang harusnya tidak mungkin. Tuhan Yesus tahu semuanya, Tuhan Yesus tahu sedalam-dalamnya dirinya, dan Tuhan Yesus tetap mencintai setinggi-tingginya. Perempuan ini baru mengerti sampai di sini, dan hidupnya berubah. Dia belum tahu apa arti ‘saatnya’ itu. Dia belum tahu bahwa Yesus akan mati baginya. Dia belum tahu semua itu, dan dia hidup berubah. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Kembali kepada film tadi, seandainya ending-nya diubah, relasi mereka pulih bukan karena Chris Pratt mati membayar dosanya sendiri tapi karena Jennifer Lawrence yang mati membayar dosanya Chris Pratt. Apakah ada yang mau menonton film seperti ini? Tidak masuk akal; kaum feminis akan bangkit dan mengatakan “ini film kurang ajar, si cowoq yang brengsek, si ceweq yang bayar, mana bisa?? ini penindasan wanita!” Saudara-saudara, memang tidak mungkin kalau manusia yang melakukan. Itu memang benar. Tidak ada manusia yang melakukan, dan tidak ada juga yang mau nonton. Itulah sebabnya Allah menjadi manusia. Allah kita bukan cuma mengenal sedalam-dalamnya, Allah kita bukan cuma mencintai kita setinggi-tingginya, Allah kita membuktikan cinta-Nya dengan Dia mati menggantikan dosa kita. Itulah Allahmu. Sembahlah Dia. Jangan cuma datang ke sini untuk beribadah, datanglah untuk menyembah Dia. Lihatlah keindahan-Nya. Pujilah Dia, agungkan nama-Nya. Karena itulah yang membuat Saudara sungguh menjadi manusia seutuhnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading