Bagian ini adalah pidato yang merupakan pledoi (pembelaan diri) Stefanus. Pledoi adalah satu bentuk tulisan yang sudah beribu-ribu tahun usianya, yang konteksnya selalu suatu persidangan. Dalam persidangan ada pembacaan tuntutan/tuduhan. Jaksa atau hasatanas dalam bahasa Ibrani (si penuduh, si penyangkal, orang yang contrarian) membacakan tuduhannya, lalu ada terdakwa yang didakwa, ada pembela/penasehat hukum dari si terdakwa, dan ada hakim yang menengahi. Hakim merupakan CEO dari persidangan, dia mengelola ketertiban jalannya informasi dan persidangan mengenai siapa yang boleh bicara, kapan bicara, apa isi bicaranya. Jaksa adalah yang menuntut. Terdakwa yang mendengar tuntutan, pada akhirnya akan diberi kesempatan memberi presentasi bagaimana hal tersebut dalam versi dia. Penasehat Hukum adalah yang memberi nasehat ‘jangan ngomong begini, sebaiknya begitu, dst.’ ; juga berbicara kepada Hakim untuk kepentingan si terdakwa. Namun dalam persidangan agama yang dihadapi Stefanus, sepertinya Penasehat Hukum-nya tidak ada, sepertinya tidak ada yang membela dia, jadi dia membela dirinya sendiri (hal seperti ini dalam persidangan modern pun saya kira masih ada). Jadi, setelah semua tuduhannya, si terdakwa, yaitu Stefanus, diberi kesempatan bicara.
Stefanus kemudian berbicara; dan bicaranya begitu panjang lebar, ada 52 ayat, berlipat kali lebih panjang daripada pidatonya Paulus (ketika itu Paulus berpidato menjawab orang-orang di Atena mengenai kenapa dia mengatakan hal-hal tersebut, sehingga bikin kontroversi); pidato Paulus itu 10 ayat saja (Kis. 17:22-31), sedangkan pledoi Stefanus 5 kali lebih panjang. Pledoi Stefanus ini sangat substansial, meliputi suatu big chunk dalam tulisan Lukas, maka ini sesuatu yang penting banget sewaktu Lukas menghadirkan Kisah Para Rasul.
F.F. Bruce melihat ada dua tema besar dalam pembelaan diri Stefanus. Yang pertama, Stefanus memakai strategi memberi jarak antara umat Tuhan dan Tuhan. Umat Tuhan tidak sama dengan Tuhan. Umat Tuhan dalam hal ini adalah orang Israel; dan orang Israel tidak selamanya akan dibela oleh Tuhan. Umat Tuhan tidak selamanya setia. Jadi, ketika umat Tuhan tidak setia, Tuhan akan membangkitkan seseorang; dan seseorang yang diutus Tuhan untuk menegur umat Tuhan itu tidak selalu diterima oleh umat Tuhan. Jadi dalam strategi pertama ini, Stefanus ingin memberi pembedaan, memberi jarak, antara umat Tuhan dan Tuhan, umat Tuhan dan yang diutus oleh Tuhan. Yang kedua, Stefanus mengangkat tema ketidakpermanenan dari Tabut Perjanjian Tuhan, ketidakpermanenan dari kemahnya Abraham, ketidakpermanenan melawan kepermanenan (permanensi) atau keajegan/ kemantapan/kemapanan. Jadi ini dua hal: kemapanan dari kehadiran Allah di tengah umat-Nya melawan ketidakmantapan/kegoyahan/ transisi/suatu keadaan sementara dari umat Allah dan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Demikian dua tema dari F.F. Bruce; yang pertama adalah Tuhan dan yang ditunjuk-Nya lawan umat Tuhan, yang kedua adalah ketidakmapanan lawan kemapanan. Kita sekarang akan melihat satu per satu.
Stefanus membuka dengan tiga cerita mengenai tiga tokoh patriakh Israel (bapak-bapak Israel). Tokoh pertama: Abraham; mengenai bagaimana Abraham sehubungan dengan umat Tuhan lawan Tuhan, keajegan/kemapanan lawan ketidakmapanan. Yang kedua: Yusuf; mengenai bagaimana Yusuf sehubungan dengan umat Tuhan lawan Tuhan, keajegan/kemapanan lawan ketidakmapanan. Yang ketiga: Musa; mengenai bagaimana Musa sehubungan dengan umat Tuhan dan Tuhan, keajegan lawan ketidakajegan.
Yang pertama, Abraham. Dikatakan di sini, Abraham dipanggil dan mengikuti Allah Yang Mahamulia. Istilah Allah Yang Mahamulia ini, mau mengatakan mengenai Allah yang liar, seperti dalam pengertian yang diutarakan C.S. Lewis. Ini liar bukan dalam pengertian rendah, tidak beradab, melainkan dalam pengertian tidak bisa dikendalikan. Dikatakan di sini, Allah menampakkan diri kepada Abraham (nantinya akan diulangi lagi, Allah menampakkan diri kepada Musa, Allah menampakkan/menyatakan diri kepada umat Israel di Mesir). Allah menyatakan diri, maksudnya apa? Maksudnya: Dia itu tidak bisa kamu undang dengan jampi-jampi atau mantra-mantra sehingga Dia kemudian menifes di hadapan kamu. Tidak bisa seperti itu. Tidak sama seperti Baal, Dagon, Refan, ilah-ilah orang Babel, Mesir, Kanaan, Filistin, dsb. Mereka ini suka melakukan conjuring gods; tuhan mereka itu bisa di-conjured. Kalau Saudara pernah nonton film The Conjuring, itu mengenai orang yang suka mainan semacam boneka yang disuruh nulis-nulis lalu setannya datang tidak diundang dan pergi tidak diantar (jelangkung). Tuhan kita bukan jelangkung yang bisa di-conjured. Tuhan kita tidak bisa, tidak mau, tidak sudi di-conjured. Tuhan yang tidak di-conjured oleh Abraham itu, mendadak menampakkan diri. Abraham tidak bikin janji dengan Tuhan, menelpon Tuhan, lalu Tuhan bilang, “Oke, tiga hari lagi, pukul 9 pagi, kamu datang ke tempat ini dan Saya akan muncul”. Tidak begitu. Demikian juga sehubungan dengan Musa, Yusuf, dan orang-orang lain yang merupakan orangnya Tuhan.
Selanjutnya, Abraham dipanggil Tuhan ketika dia masih di Mesopotamia, di mana dia tinggal di rumah. Jadi sekarang motif yang kedua masuk, bahwa Abraham sudah punya rumah, sudah ada kemapanan, keajegan, kestabilan di Mesopotamia, lalu dia dipanggil keluar, ke Haran. Dia dipanggil keluar, ke negeri yang bukan miliknya. Dia dipanggil keluar, ke tempat di mana dia tidak punya tanah; bahkan ketika Sara mati, dia mesti beli kuburan. Dia menjadi orang asing. Abraham tadinya penduduk/citizen/native, lalu sekarang jadi sojourner, bukan permanent resident, boro-boro native atau citizen. Bisa dibilang jadi turislah, jadi orang-orang yang hanya sementara tinggal. Dia tinggal di kemah. Ini motif yang kedua.
Abraham ini pada mulanya orang yang tidak punya tanah, orang asing, imigran, yang juga tidak berniat tinggal di sebuah tempat secara permanen –walaupun Allah berjanji memberikan kepadanya tanah itu menjadi miliknya, tapi pada waktu itu tidak. Itulah yang diangkat oleh Stefanus, “Ingatlah bapak moyangmu, patriakh kamu, Abraham, dia tidak punya tempat yang tetap.” Kenapa Stefanus mengangkat hal ini? Tentu ada hubungan dengan tuduhan yang mereka kenakan pada Stefanus bahwa Stefanus menghujat dua hal; hal yang pertama yaitu Bait Suci, hal yang kedua yaitu hukum Musa dan adat-istiadat bangsa mereka. Bait Suci bicara tentang kepermanenan, keajegan, kemapanan; bahwa Tuhan sudah dimapankan, dibikinkan tempat tinggal permanen, yaitu Yerusalem. Jadi kalau lu cari Tuhan, lu ke Yerusalem, pasti bertemu Tuhan; seakan-akan ada mantra tertentunya, yang kalau sudah dibaca mantranya, sudah dilakukan ritusnya, sudah tepat ex opere operato, maka pasti Tuhan akan hadir, pasti mau tidak mau, tidak mungkin tidak, Tuhan akan memberkati.
Kita mungkin sering mendengar istilah ini: tidak mungkin tidak, Tuhan akan memberkati, jika kita melakukan so and so. Tetapi, ex opere operato itu dalam Reformasi dilawan oleh Calvin; walaupun dalam disputasi antara Agustinus terhadap orang-orang Donatistentu ada benarnya juga, dalam arti bukan orang yang menjalankan ritus atau sakramennya yang membuat sakramen tersebut jadi bermanfaat (beneficial), melainkan mengenai bagaimana melakukannya (operasionalnya) itulah yang menentukan. Tentu ini benar, jika dibandingkan dengan takhyul sebelumnya, bahwa kalau orang yang melayankan sakramennya itu sakti, orangnya dekat dengan Tuhan, maka baru afdol atau lebih afdol. Jadi dalam hal ini Gereja ambil posisi ex opere operato. Namun ex opere operato ini di kemudian hari merosot jadi sesuatu yang takhyul lagi, bahwa seolah-olah kita bisa bikin suatu situasi/keadaan dengan mantra-mantra kita, dengan ritus-ritus kita, dengan ketaatan kita, sedemikian sehingga Tuhan mau tidak mau akan memberkati, akan hadir, dst. Tapi tidak demikian; Tuhan itu liar, Dia ada dalam diri-Nya sendiri, Dia Raja, Dia berdaulat, kalau Dia hadir maka Dia hadir, Dia tidak hadir maka Dia tidak hadir. Kita tidak bisa mengikat Tuhan dengan rantai leher dan membikinkan kandang buat Tuhan, supaya sewaktu-waktu kita butuh Tuhan, kita bisa conjured Tuhan up.
Kembali ke Stefanus; dia mengatakan Tuhan menampakkan diri kepada Abram, Dia tidak memberikan tanah kepada Abram, kemudian Dia memberikan janji. Janji-Nya adalah: bahwa keturunan Abraham akan jadi pendatang di negeri itu –bukan jadi permanent resident, apalagi citizen, melainkan jadi pendatang di negeri asing. Mereka akan diperbudak dan dianiaya empat ratus tahun lamanya; namun bangsa yang memperbudak mereka itu akan dihukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dari situ supaya bisa beribadah kepada Tuhan; lalu Allah memberinya perjanjian sunat.
Sunat, bagi orang Ibrani pada masa Stefanus penting banget; mereka sudah ratusan tahun eyel-eyelan urusan sunat. Dalam periode Helenistik, mereka menghadapi orang-orang yang fanatik nasionalisme, seperti misalnya Antiokhus Epifanes, yang menekankan sekali program helenisasi atau yunanisasi. Mereka ini ingin agar orang Ibrani tidak fanatik agama; agama itu beda-beda soalnya, jadi sudahlah, kita menekankan kebersamaan kita saja, yaitu kemajuan peradaban Yunani. Jadi, orang-orang seperti Antiokhus Epifanes sangat menekankan yunani-isme, Yunani sentris, helenisme, helenisasi dari semua lapisan masyarakat, termasuk bangsa Yahudi, sehingga ketika orang Yahudi menekankan sunat, Antiokhus Epifanes tidak memperbolehkan, dan akan dihukum mati barangsiapa yang menyunatkan anaknya. Selain itu, Antiokhus Epifanes bilang tidak boleh fanatik dalam arti altar yang biasa dipakai untuk mempersembahkan kurban kepada Yahweh, harus boleh juga dipakai untuk mempersembahkan kurban kepada Zeus; mereka lalu mempersembahkan babi –yang najis bagi orang Israel– kepada Zeus –yang seperti setan-setanlah bagi orang Israel. Jadi orang-orang Yunani ini memaksakan open mindedness, helenisasi, modernisme, yang selain mengenai kurban juga mengenai sunat. Sunat adalah penting banget bagi orang Ibrani sebagai penanda identitas. Urusannya bukan soal kulit yang sedikit itu atau kesehatan; urusannya adalah: kami ditekan untuk meninggalkan iman kami oleh orang-orang modern itu, Antiokhus Epifanes penguasa negara, tapi kami tidak menyerah. Pahlawan-pahlawan mereka, seperti Matatias dan anak-anaknya (dinasti Makabe), dengan gagah berani melawan pemerintahan yang zolim, yang mewakili kekuatan helenisasi, lalu Tuhan memberikan kemenangan. Mereka juga punya martir-martir yang mempertahankan identitas Yahudi, salah satunya soal sunat. Dan, dikatakan di sini, Tuhan memberikan kepada Abraham perjanjian sunat.
Abraham punya anak, Ishak, dan menyunatkannya pada hari kedelapan. Ishak punya anak, Yakub; dan dari Yakub berasal dua belas bapak leluhur mereka. Namun kemudian dikatakan: “Karena iri hati, bapak-bapak leluhur kita menjual Yusuf” –masuk lagi tema ini. Mereka itu mengidentifikasi diri sebagai keturunannya Abraham, keturunannya Yakub, keturunannya dua belas suku Israel (sebenarnya pada zaman Stefanus sudah tidak 12 suku lagi, karena yang 10 suku sudah diserakkan ke bangsa Asyria, tidak jelas ada di mana; dan sebelum itu mereka –orang-orang Samaria– juga sudah mendirikan tempat ibadah di Gunung Gerizim, mengikuti Yerobeam), bapak-bapak leluhur mereka itu berasal dari Yakub, demikian dikatakan. Tetapi, mereka itu bukan orang-orang baik, mereka menjual Yusuf ke tanah Mesir. Jadi, menjadi Israel keturunan 12 bapak-bapak leluhur, itu tidak tentu berarti mereka baik, karena bapak-bapak leluhurmu itu juga tidak baik koq, bapak-bapak leluhurmu itu menjual adiknya sendiri, Yusuf, padahal Yusuf orang benar. Jadi, kalau kamu mengidentifikasikan dirimu “kami ini Israel, kami ini umat Tuhan”, siapa bilang?? Tidak tentu! Bapak moyangmu sendiri tidak begitu; bapak moyangmu sendiri melawan Allah, koq–itulah poinnya.
Kemudian apa yang terjadi? Yusuf dibuang ke Mesir, tapi ternyata di Mesir Yusuf disertai Tuhan. Artinya apa? Artinya: Tuhan tidak terikat oleh afiliasi tribal/suku/bangsa. Jadi bukan karena kamu Israel maka kamu diberkati Tuhan, melainkan kamu diberkati Tuhan maka kamu menjadi Israel –kira-kira begitu. Kamu tinggal di tanah suci, bukan berarti tanah itu dihadiri Tuhan karena tanahnya suci, melainkan karena Tuhan hadir maka tanahnya jadi suci –kira-kira begitu. Jadi, bapak-bapak leluhur menjual Yusuf ke Mesir, namun apakah berarti Yusuf terbuang ke Mesir? Tidak, malah Mesir diberkati karena Yusuf.
Firaun mengangkat Yusuf menjadi kuasa atas tanah Mesir dan atas seluruh istananya. Lalu ketika datang bahaya kelaparan di Mesir, bahkan tanah Kanaan juga ada kelaparan, ada penderitaan yang besar, itu membuat nenek moyang mereka pergi ke Mesir untuk membeli makanan. Dalam dua kunjungan itu, awalnya mereka tidak mengenali Yusuf, namun pada akhirnya mereka mengenali Yusuf, mereka rekonsiliaasi, dan mereka mati di sana, yaitu bukan di rumah melainkan di tanah asing, di tempat di mana mereka bukan tuan rumah melainkan tamu –tamu yang tidak diperlakukan terlalu baik pada akhirnya, karena setelah dua belas bersaudara itu mati, bangkitlah Firaun yang tidak mengenal Yusuf. Mereka dianiaya, anak-anak mereka dibunuh; sementara Yakub, Yusuf, dan dua belas Israel sendiri meninggal di perantauan, mayat mereka dikubur di kuburan yang dibeli Abraham dari orang asing. Perhatikan di sini motifnya kuadrat-kuadrat asing, mulai dari tinggalnya diperlakukan sebagai orang asing, matinya pun mayatnya tidak diterima, hanya diterima di kuburan yang dibeli oleh Abraham di tanah asing.
Cerita selanjutnya: Musa lahir. Ini masuk ke dalam bagian yang terakhir, bagian ketiga dari pledoi Stefanus. Bagian yang pertama yaitu mengenai Abraham: Abraham tidak punya tanah, sampai mati pun tidak punya tanah; Abraham dijumpai Tuhan di tanah asing. Bagian kedua mengenai Yusuf: Yusuf dimusuhi oleh saudara-saudaranya, terusir ke tanah asing, tetapi di situ pun ada Tuhan. Sampai mati pun mereka semua tetap di tanah asing, namun Tuhan tetap beserta mereka. Bagian ketiga bicara mengenai Musa: Musa lahir di tanah asing, Musa besar di tanah asing, tapi Musa tetap menyadari bahwa dia bukan orang asli Mesir. Walaupun Tuhan sudah menyertai Musa sedemikian sehingga dia diterima di Istana Mesir, dibesarkan dan dilindungi oleh Putri Mesir, namun Musa menyadari bahwa dirinya bukan orang Mesir, bahwa saudara-saudaranya adalah orang Israel. Musa lalu menghampiri mereka, Musa berusaha menasehati mereka, Musa membela mereka yang dianiaya, tapi mereka menolak Musa. Jadi, kembali kita melihat pola ini: umat Israel tidak tentu memihak Tuhan; orang yang dibangkitkan Tuhan memang berasal dari keturunan Israel, namun tidak tentu orang Israel menerima dia.
Musa ditolak oleh orang-orang ini; mereka mengatakan kepadanya: “Apakah engkau akan membunuh aku seperti engkau membunuh orang itu kemarin? Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami?” Musa digugat oleh orang Israel sendiri. Dan, kita memang melihat dalam Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, bahwa Musa berkali-kali berhadapan dengan orang Israel bukan sebagai ‘orang kita/orang sendiri’, yang dijunjung dan dituruti, sebaliknya Musa dilawan oleh orang Israel.Jadi dalam hal ini Stefanus mengatakan sesuatu yang tradisionil, namun karena dia mengatakannya dalam persidangan, dan tuduhan terhadap dirinya adalah menghina Bait Suci –menghina kepernanenan/kemapanan simbol kesuksesan kehadiran Tuhan di tengah mereka–dan menghina hukum Musa/firman Tuhan –menghina praksis hidup/gaya hidup ke-Israel-an– maka pembelaan diri Stefanus di sini jelas: “Lho, nenek moyangmu juga dulu melawan Musa, dan mengatakan ‘siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami?’ Jadi yang dimutlakkan di sini adalah ke-kami-an mereka, ‘kami ini umat Tuhan, kami orang Israel, kami yang sudah terbiasa hidup seperti ini, lalu kamu siapa??’
Namun kita tahu Tuhan tentu ada di pihak Yusuf, di pihak Musa. Satu orang Yusuf dilawan oleh saudara-saudara yang sepuluh orang –artinya lebih banyak– tapi yang benar adalah Yusuf. Satu orang Musa dilawan oleh seluruh orang Israel, dan yang benar adalah Musa. Jadi, tidak tentu satu orang tersebut karena dia cuma satu, maka berarti dia salah. Ketika Stefanus mengatakan itu dalam persidangan, dan seluruh sidang itu menuduh Stefanus, “Kami ini mewakili Israel, mewakili perjanjian turun-temurun dengan Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, sedangkan kamu siapa, kamu satu orang saja”, Stefanus di sini mau mengatakan sesuatu yang mirip dengan yang dikatakan Luther waktu Pangeran Charles V dari Holy Roman Empire menuduh Luther dengan mengatakan ‘bagaimana bisa 1500 tahun sejarah Gereja salah, dan satu biarawan ini yang entah dari mana, benar??’ lalu Luther bilang: “Hati nuraniku tertawan oleh Kitab Suci, aku tidak bisa mundur satu langkah pun meyakinkan hati nuraniku dari Kitab Suci”. Stefanus kurang lebih seperti itu, dia sendirian menghadapi seluruh struktur dari ke-Israel-an, agama Musa itu, namun tidak tentu yang mayoritas yang benar.
Stefanus melanjutkan pledoinya; dia mengatakan, “Setelah empat puluh tahun, tampaklah kepada Musa di tanah asing (di Midian) … “. Jadi Musa ini lahir di tanah asing, di Mesir, lalu sekarang terusir ke Midian, artinya dobel minoritas, pertama-tama minoritas di Mesir karena dia orang Israel, lalu dia minoritas juga di antara orang-orang minoritas tersebut karena dia ditolak oleh Israel –yang ditolak Mesir– dan dia terbuang ke Midian. Namun, di Midian pun ada Tuhan. Di Midian pun Tuhan tidak meninggalkan Musa. Di Midian pun Tuhan memberikan kepadanya dua orang anak laki-laki; dan menampakkan diri. Jadi Tuhan menampakkan diri kepada Abraham, Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf, Tuhan menampakkan diri kepada Musa. Walaupun Tuhan tidak bisa di-conjured up, tapi Tuhan menampakkan diri.
Ketika Tuhan menampakkan diri di padang belantara (in the middle of nowhere) dalam nyala api yang keluar dari semak duri, Musa menjadi takjub. Lalu dia mendengar Tuhan berkata: “Aku adalah Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub”. Musa gemetar dan tidak berani melihat Tuhan. Tuhan berkata kepada Musa: “Tanggalkan kasutmu dari kakimu sebab tempat engkau berdiri adalah tanah yang kudus.” Musa berdiri di mana? Di Yerusalem? Tidak. Di Mesir? Tidak. Musa berdiri di padang belantara (in the middle of nowhere), tempat setan-setan –kira-kira begitu karena Yesus bertemu setan di padang belantara– tempat yang liar, tempat yang alter chaos. Ini tempat yang kalau orang zaman Columbus dulu bikin peta, di situ ada Belanda, Perancis, Jerman, Skandinavia, Laut Atlantik, lalu tiba-tiba ada uncharted teritory yang tidak diketahui, dan biasanya di peta tersebut mereka tulis “Di sini ada naga”, itulah tempat alter chaos. Bagi orang Ibrani yang jarang berlayar, mereka tidak terpikir begitu, mereka terpikirnya: kalau kita keluar dari kota, maka masuk ke perkampungan, keluar dari perkampungan maka masuk ke hutan-hutan, keluar dari hutan maka itu adalah padang belantara, uncharted teritory —dan di situ ada chaos, naga. Tetapi, di situ ternyata bukan ada naga, di situ ada Tuhan; dan di situ ada tanah yang kudus. Tanah yang kudus ternyata bukan terikat di Yerusalem; tanah yang kudus adalah tempat di mana ada Tuhan.
Tuhan dikatakan memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Nya di Mesir, Dia turun untuk melepaskan mereka. Lewat siapa? Lewat Musa –padahal Musa ditolak oleh mereka. Jadi, “deliverer yang ditolak” itulah motifnya; dan sekarang, coba tebak siapa deliverer berikutnya setelah Musa yang ditolak? Inilah deliverer yang dirujuk oleh Musa, karena Musa yang ditolak ini, setelah mengadakan berbagai macam mukjizat di tanah Mesir, di Laut Merah, di padang gurun selama 40 tahun, mengatakan: “Seorang nabi seperti aku ini akan dibangkitkan Allah bagimu, dari antara saudara-saudaramu”; siapa nabi itu? Nabi itu, bagi orang Israel adalah Yesus Orang Nazaret, Yesus anak Yusuf, Yesus Sang Mesias itu. Dan, Yesus itulah yang ditolak oleh Sanhedrin, oleh orang-orang yang sedang duduk di sana menuduh Stefanus sudah menghujat Bait Suci dan cara-cara hidup nenek moyang mereka, alias agama mereka. Merekalah yang menolak Allahnya Israel. Merekalah, yang dengan segala keajegan/kemapanan mereka, menolak Allah yang tidak dapat diikat oleh lokasi maupun oleh ritus itu, Allah yang di mana Dia ada, di situ tanah menjadi suci. Dan, Allah ini mereka tolak, karena mereka hidup seturut nenek moyang mereka.
Nenek moyang mereka tidak mau taat pada penglihatan itu, nenek moyang mereka ingin kembali ke Mesir. Mesir itu tempat di mana Musa lahir sebagai orang asing, tempat di mana Abraham berlindung dalam kelaparan, tempat di mana Yusuf disertai Tuhan, namun itu tempat yang hostile terhadap umat Tuhan –dan ke situlah mereka ingin kembali. Itu sebabnya Allah berpaling dari mereka dan menyerahkan mereka untuk beribadah kepada para berhala –yang di bagian ini disebutkan kepada Molokh dan Refan. Bagaimana mereka menyembah berhala? Tentu kita tahu, orang Israel pada periode Stefanus sudah cukup lama meninggalkan berhala. Jadi kalau dikatakan mereka menyembah Molokh, menyembah Refan, para Sanhedrin akan bilang, “Lu itu mimpi ya, salah periode waktu; zaman itu sudah lama berlalu. Sejak kita dibuang ke Babel, ‘gak ada kita menyembah-nyembah Molokh, Refan, dsb.” Bahkan barangkali penyembahan kepada Molokh pun sudah lama declined pada zaman Stefanus, karena bangsa-bangsa itu sekarang sudah di bawah kendali Romawi, jadi kalau pun mau, ya, menyembah Yupiter misalnya, menyembah dewa-dewa Romawi. Namun poin dari Stefanus adalah: nenek moyangmu itu diserahkan Tuhan kepada keinginan hatinya yang sebetulnya terikat kepada berhala, bukan kepada Tuhan; jadi kalau kamu identify dirimu pada nenek moyangmu, dan bilang ‘kami Israel sejati’, ketahuilah bahwa nenek moyangmu yang kamu puja-puja itu, diserahkan Tuhan kepada penyembahan berhala, karena itulah mereka dibuang ke Babel –dan kamu masih sama seperti mereka.
Kemah Kesaksian ada pada nenek moyang mereka di padang gurun, kemah itu yang diterima nenek moyang mereka dengan pimpinan Yosua, dibawa sampai ke tanah perjanjian, sampai kepada zaman Daud. Kemudian mereka mencoba up grade hal itu karena mereka menganggap kurang layak; mereka mau up grade dengan cara mendirikan tempat tinggal yang lebih permanen. Di sini masuk lagi motif yang tadi, yaitu permanency, keajegan, kemapanan. Mereka mau bikin tempat menyembah Tuhan yang lebih ajeg, lebih mapan, lebih permanen, lebih pasti. Jadi ini adalah kultus kepastian, cult of certainty, idolatery of certainty. Kepastian itu, sering kali orang mencari dan mengidentifikasikannya dengan iman yang sejati, bahwa iman yang sejati itu pasti, tidak mungkin tidak, memberi kepada kita pegangan yang tidak berubah. Namun permanency bisa menjelma jadi penyembahan berhala. Tentu permanency tidak selalu jadi penyembahan berhala, tapi permanency bisa menjelma menjadi penyembahan berhala. Saya kira, ketika Salomo mendedikasikan Bait Suci kepada Tuhan, Tuhan menerima itu –Alkitab juga bilang Tuhan menerima itu– tetapi Salomo ‘kan juga mengatakan bahwa bumi itu ciptaan Tuhan, tumpuan kaki Tuhan, Tuhan yang bikin, dan Tuhan tidak perlu segala lembu sapi kambing domba, and yet Salomo mempersembahkan itu semua dengan berlebih-lebihan. Salomo sendiri mengakui bahwa itu semua suatu hal yang Tuhan tidak perlu, dan tentu saja Bait Suci itu tidak bisa menampung Tuhan, tidak bisa conjured up Tuhan, tidak bisa ngandangin Tuhan, Tuhan kagak muat di Bait Suci. Jadi Salomo menerima hal itu, namun tentu tidak menafikan/menghilangkan potensi bahwa permanency dan keajegan bisa kita sembah-sembah, bisa membuat kita masuk ke dalam penyembahan berhala.
Orang Israel masih bisa meneruskan hal itu, meneruskan penyembahan berhalanya, meneruskan agama mereka sampai pada zaman Herodes, sampai pada zaman Yesus, bahkan sampai setelah mereka membunuh Yesus —dan Tuhan tidak memberi mereka azab, setidaknya tidak secara langsung. Coba bayangkan, berani-beraninya mereka membunuh Putra Tunggal Tuhan, ’kan bisa diazab Tuhan, dihabisi oleh Tuhan lho, seperti misalnya yang kita tonton dalam video-video, ada komedian yang bercanda soal Tuhan lalu tiba-tiba dia terpeleset jatuh. Kita berharap Tuhan kayak begitu, waktu mereka membunuh Anak Tuhan, langsung mereka kena azab, dan mereka jadi arang. Menurut kita harusnya begitu, tapi ternyata tidak. Mereka menang. Hari-hari berjalan biasa. Setelah Yesus disalibkan dan dikuburkan, yang menangis adalah murid-murid-Nya, sementara Kayafas, Hanas, ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, dan mereka yang berteriak-teriak ‘salibkan Dia’ apakah lalu malamnya tidur dan tidak bangun lagi? Tidak. Normal saja. Biasa saja. Business as usual, musuh sudah mati, kita teruskan hidup, sekarang sudah aman –begitu saja. Artinya apa? Artinya: bahwa mereka bisa saja menyembah berhala, mengandalkan keajegan/kemapanan mereka, mengandalkan identitas mereka sebagai umat Tuhan dengan melawan kebenaran, dengan melawan yang diutus oleh Tuhan –entah itu Yusuf yang dilawan oleh 10 saudaranya, entah itu Musa yang dilawan bangsa Israel pada zaman Musa, atau entah itu Yesus dalam kasus orang Israel di zaman Yesus– dan itu tidak segera menghasilkan mereka dihukum, dimusnahkan, dihentikan oleh Tuhan, tapi bisa juga mereka diserahkan oleh Tuhan untuk ‘suka-suka lu aja’. Dan, itulah yang terjadi, menurut Stefanus, bahwa kamu sekarang bisa menyidang saya yang mempersaksikan datangnya Kerajaan Allah dalam Yesus –yang hal ini tidak ada salahnya sama sekali tapi malah kamulah yang sebetulnya menyembah berhala, menganiaya utusan Tuhan– bahwa kamu bisa duduk di sana dan sepertinya berada dalam kekuasaan, itu tidak menandai bahwa Tuhan beserta kamu, tidak menandai bahwa saya keliru dan kamu benar.
Terakhir, Stefanus mengatakan: “Hai orang-orang yang keras kepala dan keras hati dan tuli … “; ‘tuIi’ ini mengantisipasi perilaku mereka nantinya yang sambil melempari Stefanus dengan batu, mereka menutup telinganya, mereka berteriak-teriak untuk menutupi suara Stefanus yang menurut mereka telah menghujat Tuhan. Mereka menulikan telinga mereka, mereka mengeraskan hati mereka. Stefanus mengatakan, mereka menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyang mereka. Dan, Stefanus menyamakan Yesus –demikian juga menyamakan dirinya sendiri nantinya– dengan nabi-nabi yang dianiaya oleh nenek moyang bangsa Israel dan oleh Sanhedrin yang berada di hadapannya. Stefanus mengatakan: “Orang Benar itu (Yesus) sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh. Kamu telah menerima hukum Taurat yang disampaikan oleh malaikat-malaikat (ini suatu ekspresi yang paling tinggi/penghormatan kepada Taurat), tetapi kamu tidak menurutinya.”
Ini semua, apa hubungannya dengan kita? Kita hari ini mau merayakan Perjamuan Suci; Perjamuan Suci itu sendiri bayang-bayangnya dalam masa Perjanjian Lama adalah Perjamuan Paskah orang Israel, dan dalam hal ini menarik bahwa Yesus mati dan bangkit pada Minggu Paskah, karena kalau kita bilang Yesus datang menebus dosa, seharusnya ‘kan Dia mati dan bangkit pada Hari Raya Penebusan (Atonement/Yom Kippur). Ini artinya apa? Artinya adalah: kedatangan Yesus, kematian Yesus, kebangkitan Yesus, naiknya Yesus ke surga, dan juga kedatangan Yesus kembali, itu bukan sekadar menandai dosa-dosa kita diampuni saja –tentu itu termasuk– melainkan secara lebih total menandai seluruh jagat raya ini dikembalikan keindahannya, bobotnya, maknanya, oleh Tuhan ke dalam kemuliaan yang seharusnya. Segala sesuatu ini mau direstorasi oleh Tuhan; sejauh kutukan dapat ditemukan, di situ kasih karunia dalam Yesus yang dengan kuat merestorasi dan mentrasformasi segala sesuatu, juga dapat ditemukan. Anugerah Tuhan itu dapat ditemukan sejauh kutukan dapat ditemukan.
Dalam bagian yang kita baca hari ini, orang-orang Israel menganggap anugerah Tuhan itu terikat di tanah perjanjian mereka, di antara kalangan mereka; kalau pun itu kalangan lain, harus sama lebih dulu dengan kalangan mereka, harus di brain wash dulu, dibikin sama dengan Israel. Namun Tuhan mengatakan: TIDAK. Orang tidak harus disunat secara fisik, tidak harus bicara bahasa Ibrani, tidak harus menjadi Yahudi, untuk menjadi umat Tuhan, karena bukankah justru Tuhan memanggil Abraham untuk itu, yaitu agar melalui keturunannya segala bangsa dan segenap lidah bisa menyembah Tuhan, bisa kembali kepada Tuhan, bisa mendapat berkat dalam arti kembali kepada hidup yang benar, relasi yang benar, menjadi milik Tuhan lagi. Dan, ini sesuatu yang tidak require mereka untuk jadi Israel. Di sini kita lalu bilang, “Lah, ini relevansinya apa buat saya?? Saya bahasa Ibrani saja tidak bisa; atau kalaupun pernah belajar, dapatnya juga C. Jadi apalah urusannya sama saya??” Jawabannya: ada, karena kita bisa jadi tidak belajar dari orang-orang Israel di masa lampau. Para penulis Perjanjanjian Baru mengatakan “belajarlah dari orang-orang Israel di masa lampau”, ini bukan belajar dalam arti positif saja, karena kebanyakan belajar bukan dalam arti positif melainkan belajar dalam arti negatif. Belajar bahwa mereka dulu itu salah, belajar dari kegagalan mereka, “mereka mati bergelimpangan di padang gurun” demikian kata penulis Perjanjanjian Baru; dan kita harus belajar dari itu, dari umat Tuhan yang menutut keajegan, yang meninggi-ninggikan identitas mereka seolah-olah seluruh dunia harus jadi Israel karena inilah cara keselamatan.
Kita bisa juga tidak belajar, lalu berlagak kayak mereka. Dengan cara apa? Kita mendirikan sesuatu yang seolah-olah Tuhan hadir di sini, inilah caranya, lalu kita require seluruh kalangan dan seluruh komunitas harus sama dengan kita. Nyanyi lagu yang sama, ritusnya sama, suaranya sama, bacaannya sama, kebiasaannya sama, jijiknya juga sama, senangnya sama, pahlawannya sama, bajingannya sama –mereka harus jadi kita. Kita, dalam hal ini maksudnya apa? Kita, disini bisa jadi ‘orang-orang GRII’, atau setidaknya ‘orang-orang Reformed’, atau yang lain-lain. Kita require untuk mereka itu sama dengan kita, baru Tuhan bisa hadir, baru mereka menerima berkat keselamatan. Itulah artinya kita bisa jadi tidak belajar dari kesalahan orang Yahudi, bangsa Israel, karena being Israel tidaklah sama dengan being people of God.
Being Israel, being disunat secara fisik, being membaca Taurat sampai ngelotok, tidak otomatis itu berarti menyenangkan hati Tuhan. Paulus mengatakan dia itu keturunan Benyamin asli, dia kalau mau membanggakan diri bisa juga, “Tapi itu semua sampah”, demikian kata Paulus, soalnya itu semua sudah menemukan kegenapannya di dalam Yesus, jadi kamu tidak harus menjadi itu semua. Itu semua bagus juga sih, Paulus tidak mengecil-ngecilkan itu semua seakan-akan kalau sekarang jadi orang Yahudi, minderlah. Tidak usah begitu juga, hanya saja kalau kamu fanatik ‘orang harus jadi Yahudi’, atau fanatik ‘orang harus jadi seperti kita, persis sama’, kamu salah, karena kamu tidak belajar dari kesalahan orang Yahudi. Namun ini bukan lalu berarti kita salah; kalau kita jadi orang Reformed dan menikmati dan berbangga, ya silakan. Membaca Berkhof, merasa senang, ya tidak apa-apa. Tapi mengatakan kepada orang lain, “Kamu itu ‘gak baca Berkhof, ha.. ha.. ha.. goblok, dasar otak udang, Berkhof saja ‘gak suka”, tentu jangan. Tidak apa-apa tidak semua orang suka baca Berkhof, masih banyak theolog yang lain. Kira-kira begitu. Anyway, tidak harus samalah seperti kita. Kita harus belajar dari kesalahan orang Israel, bahwa being …. (apapun kelompoknya), memang bisa menandai Tuhan beserta kita, tapi Tuhan ‘kan tidak hanya beserta kelompok kita; bahkan seringkali motifnya adalah melalui kelompok kita Tuhan memberkati segala bangsa.
Jangan seperti tokoh imajinatif Yunus itu, dia benci banget kalau sampai orang-orang yang membenci umat-Nya itu tidak mati saja malah sekarang jadi sesama umat yang berkenan di hadapan Tuhan; Yunus lalu bilang, “Lebih baik gua mati saja kalau kayak gitu”. Janganlah kita seperti itu. Jadi, kalau ke-reformed-an kita tidak unik lagi, ya, tidak apa-apa. Kalau kita bukan nomor satu lagi, bukan jagoan lagi, ya tidak apa-apa, mungkin artinya purpose kita sudah tergenapi, bagus ‘kan. Seperti seorang guru, awalnya dia mengajar, dia paling pintar di kelas karena yang lain masih belajar sedangkan dia sudah belajar sepuluh tahun; lalu di akhir kelas, muridnya ada yang lebih pintar dari dia, bahkan yang dia bisa, sekarang sudah jadi biasa karena semua orang sudah bisa. Lalu harusnya guru ini senang atau tidak karena semua murid sekarang sudah bisa? Ya harusnya senang, girang, loncat-loncat, ‘kan. Tapi bisa juga tidak begitu kalau kamu meletakkan dirimu pada keunikanmu, bahwa ‘ini cuma gue yang bisa, lu semua ‘gak bisa’. Yang seperti itu, kontra produktif. Orang-orang Israel pada masa Stefanus, juga masa Harun, dst., seringkali begitu, identitas kolektif mereka mutlakkan, mereka lupa bahwa justru melalui identitas kolektif itulah Tuhan mau memberkati bangsa-bangsa yang lain. Jadi, kalau mereka tidak lagi menjadi unik, tidak lagi menjadi the best, itu fine, asalkan seluruh dunia jadi better.
Contoh: kita tahu rekor dunia ini meningkat terus; zaman dulu orang lari 100 meter dalam 12 detik sudah hebat banget, lalu sekarang di atas 10 detik sudah biasa banget, banyak orang bisa, yang di bawah 10 detik baru hebat. Demikian juga lari marathon; dulu kalau kamu bisa selesaikan dalam sekian jam, itu luar biasa, juara dunia, tapi sekarang kalau kamu cuma bisa sama seperti rekor dunia 100 tahun yang lalu, itu sih 100.000 orang yang juga bisa, sedangkan dulu cuma satu. Lalu apakah kita bilang, “Sayang ya, sekarang saya tidak luar biasa lagi” ? Ya, jangan; memuji Tuhanlah. Begitu ‘kan. Kalau kita melihat pengenalan akan Tuhan, cara hidup mengikut Yesus, yang dulunya kelompok kita luar biasa banget karena cuma kita yang kayak begitu, tapi sekarang sudah jadi biasa, ya, tidak apa-apa. Memuji Tuhanlah, karena Tuhan sudah memakai kamu menjadi berkat bagi segala bangsa. Kita tidak mendirikan harga diri kita atas pengakuan, atas keunikan, atas keunggulan terhadap orang lain, melainkan hanya di atas satu alas yang kuat dan baka, kemurahan Tuhan atas kita, orang-orang berdosa. Itu saja. Siapakah Anda, siapakah saya? Kita ini hanya orang-orang berdosa yang dipungut oleh Tuhan, puing-puing, reruntuhan, debu dan abu, yang dirakit oleh tuhan, dipanggil kepada destinasi yang lebih tinggi, kepada cahaya, kepada kemuliaan, yaitu hidup bersama Tuhan, berpertisipasi dalam kehidupan Tuhan. Itulah harusnya jadi cita-cita kita, agar segala makhluk, segenap kehidupan, juga mengalaminya –berpartisipasi dalam kehidupan Tuhan. Karena untuk itulah Yesus datang, Dia lahir, Dia menghidupi hidup-Nya yang sederhana –bukan menghidupi the top 1%, bukan menghidupi hidup yang excellent luar biasa, VVIP– hidup orang biasa yang normal saja. Hidupnya Yesus, matinya Yesus, bangkitnya Yesus, naiknya Yesus, serta kembalinya Yesus, itulah yang kita rayakan; dan lewat itu semua yang biasa-biasa saja, Tuhan hadir di sini, di tanah asing ini, ditengah kita sebagai sojourner yang dipanggil dari berbagai bangsa ini. Kita ini tidak ada yang tuan rumah, tidak ada yang penduduk asli –bukan dalam arti kesukuan melainkan dalam arti tuan rumah di bumi– kita semua tamu, pendatang, orang asing, tapi disertai Tuhan, karena Tuhan menjumpai dia yang ingin dijumpainya. Tuhan memanggil kita di dalam Yesus untuk menghadirkan kehadiran pemerintahan-Nya, kehadiran shaloom-Nya, kehadiran pengharapan-Nya.
Hari ini kita merayakan Perjamuan Suci. Kita diundang Tuhan lewat penanda fisik ini, untuk melihat, merasakan, mengalami realitasnya, karena ada kehadiran Yesus, kehadiran Kerajaan Allah yang nyata dalam rambu-rambu/simbol-simbol ini. Dalam hal ini kita menghargai Zwingli dalam upayanya menendang keluar takhyul, dan kita mengenang Yesus dalam merayakan Perjamuan Suci; kita menghargai juga upaya dari orang-orang Anglikan dan Katholik dalam menegaskan bahwa substansinya memang ada di situ, dalam arti yang kita makan dan kita minum memang mengenyangkan hati/jiwa kita –meski tentu kita menolak hal-hal yang salah. Bahkan juga ditekankan oleh Calvin bahwa ada realitas dari kehadiran Tuhan di sini. Kiranya kita merayakan ini dengan kesadaran bahwa sebagai umat Tuhan, keunggulan kita bukan bahwa kita unik, kita beda, kita lebih, melainkan karena Tuhan mengasihi kita; dan Tuhan menyatakan kasih-Nya, kehadiran-Nya, tanda bahwa kita milik-Nya, lewat panca indra kita –yang kita lihat, dengar, raba– yang kita rayakan, Perjamuan Suci ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading