Ini adalah bagian yang melanjutkan pembahasan kita bulan lalu. Bulan lalu saya sudah berkisah bagaimana Petrus dan Yohanes menyembuhkan seorang yang lumpuh sejak lahir; dan sekarang kita tahu, sudah 40 tahun rupanya orang tersebut duduk di situ sebagai orang yang lumpuh.
Orang yang disembuhkan itu mengikuti Petrus dan Yohanes sampai ke dalam Bait Suci. Ketika mereka berada di Serambi Salomo, Petrus dan Yohanes didesak untuk membicarakan apa yang terjadi oleh orang banyak; dan sama seperti di Hari Pentakosta, Petrus dan Yohanes lalu menjelaskan bahwa hal-hal yang terjadi di hadapan mereka itu, terjadi karena Yesus, terjadi karena Kerajaan Allah sudah datang, sedang datang di dalam Yesus. Di tengah-tengah pembicaraan itu, datanglah sepasukan orang, yaitu pengawal Bait Allah, imam-imam, dan orang-orang Saduki (orang Saduki tidak percaya kebangkitan); dan ketiga jenis orang ini menghentikan kuliah tersebut. Dari indikasi waktunya, hari sudah menjelang sore, mungkin sebagian orang juga sudah pulang; dan kuliah tersebut dihentikan oleh sekelompok orang ini.
Orang-orang ini sangat marah karena Petrus dan Yohanes mengajar orang banyak, memberitakan bahwa di dalam Yesus ada kebangkitan orang mati. Di sini coba kita berhenti sebentar, kenapa ya, mengajar bahwa ada kebangkitan orang mati dalam Yesus, itu bikin marah? Apakah orang Yahudi tidak percaya akan kebangkitan dari orang mati? Jawabannya: tidak; orang Yahudi percaya akan adanya kebangkitan dari antara orang mati,mereka mengharapkan itu –kecuali satu sekte yaitu sekte Saduki. Memang sekte Saduki banyak memerintah di Bait Suci. Orang-orang Saduki adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Orang-orang Saduki dapat dikatakan adalah orang-orang Yahudi yang mengalami helenisasi. (Kita tahu, orang-orang Yahudi dibuang ke negara-negara yang bukan Isarel, yaitu ke Asyria, ke Babilonia; Babilonia lalu ditaklukkan oleh Media, ditaklukkan lagi oleh Persia, ditaklukkan lagi oleh Aleksander, mengalami helenisasi, kemudian pemerintahan Aleksander digantikan lagi oleh kekuatan baru yang muncul yaitu Romawi. Kemudian pada satu titik, sebagian orang-orang Yahudi sudah give up akan doktrin mengenai kebangkitan. Walaupun orang-orang ini tidak banyak, tapi mereka termasuk orang-orang yang progresif dan punya kuasa politik cukup besar, mereka orang-orang elit, disebut sebagai kaum Saduki; dan di antara mereka ada yang memegang jabatan penting di Bait Suci.). Orang-orang Saduki itu sangat marah, pertama-tama karena bagi mereka tidak ada kebangkitan. Tapi saya kira, itu bukan penyebab mereka sangat marah, karena orang-orang Farisi ‘kan mengajar mengenai adanya kebangkitan, kebanyakan orang Yahudi ‘kan percaya adanya kebangkitan, dan orang Saduki tidak marah-marah kepada semua orang-orang tersebut apalagi menggunakan kuasa politik untuk menghentikan kuliah mereka –yang seperti itu, tidak biasa kita dengar. Memang sekte Saduki ini bersaing dengan orang-orang Farisi, memperebutkan kesukaan dari orang Yahudi dan rakyat banyak, tetapi tidak dicatat oleh Lukas bahwa orang Saduki sampai menangkap orang Farisi yang tengah mengajar. Jadi, apa sih yang menyebabkan mereka menghentikan pengajaran Petrus dan Yohanes, dan apa yang membuat mereka begitu marah? Jawabannya: sebagian karena mereka –khususnya orang-orang Saduki– punya pengajaran yang berseberangan dengan kebangkitan orang mati; tapi saya kira ada alasan yang lebih spesifik, yaitu karena Petrus dan Yohanes mengajarkan kebangkitan orang mati di dalam Yesus.
Coba kita pikir, bagi orang-orang Yahudi, Yesus itu siapa? Kenapa jadi problem kalau mengajarkan kebangkitan orang mati di dalam Yesus? Jawabannya karena bagi mereka Yesus adalah Mesias palsu. Bagi mereka, Yesus adalah Mesias palsu karena Yesus menghendaki Bait Suci dihancurkan, Yesus berbuat sesuatu yang mengimplikasikan otoritas Bait Suci tidak sah. Contohnya, Dia mengobrak-abrik Bait Suci, setidaknya pelataran gentiles diobrak-abrik oleh Yesus (ketika Yesus membersihkan Bait Suci). Yang kedua, Yesus mengampuni dosa, padahal Dia bukan imam, Dia tidak ada kuasa dari Bait Suci orang Yahudi. Yesus tidak pegang surat apa-apa dari tua-tua Yahudi –seperti Saulus dari Tarsus– tapi Dia koq berani-beraninya mendeklarasikkan “dosamu sudah diampuni”, itu ‘kan pekerjaan imam. Imam, waktu orang berdosa atau tidak tahir, lalu mentahirkan diri atau mempersembahkan kurban penebus dosa, dialah yang akan mendeklarasikan kepada umat “dosamu sudah diampuni” –biasanya pada Hari Raya Penebusan (tentu bukan diampuni oleh imam melainkan oleh Tuhan, karena Tuhan melihat kurban yang diberikan kepada Tuhan). Tetapi Yesus ini siapa, Dia bukan imam yang ditahbiskan oleh Bait Suci, koq Dia berani-beraninya mengatakan “dosamu sudah diampuni” kepada beberapa orang yang Dia sembuhkan?? Ini berarti Dia mendirikan otoritas tandingan terhadap Bait Suci.
Lalu Petrus dan Yohanes mengatakan bahwa sudah terjadi kebangkitan dari antara orang mati di dalam Yesus; ini adalah suatu kode dalam theologinya orang-orang Yahudi, mengenai kapan terjadinya kebangkitan orang mati. Jadi ini bukan cuma urusan ‘ada orang mati bangkit’, karena yang seperti itu sudah pernah terjadi sebelum Yesus, tidak unik pada Yesus. Contohnya Elisa, yang sudah mati, sudah jadi tengkorak, lalu tulangnya menyentuh orang yang baru dikuburkan, dan orang itu bangkit; Elia, pernah membangkitkan anak seorang janda, yang sudah mati. Jadi, membangkitkan orang mati tidak khas Yesus. Kebangkitan seperti itu sudah pernah terjadi jauh hari sebelum Yesus. Tetapi, istilah kebangkitan dari antara orang mati, itu mengacu bukan sekadar pada kebangkitan sporadis seperti demikian, apalagi kebangkitan sporadis seperti itu tidak menandai apa-apa mengenai zaman. Kebangkitan anak janda di Sarfat, itu cuma jadi kebahagiaan mamanya, karena anaknya mati lalu sekarang hidup, itu saja, karena nanti juga akan mati lagi. Kebangkitan Lazarus juga sama; Lazarus bangkit, jadi sukacita bagi Marta dan Maria, jadi keheranan bagi banyak orang, tapi ya sudah, itu saja, nantinya juga mati lagi. Sedangkan kebangkitan Yesus, ini kebangkitan yang bukan sekadar resuscitation (resuscitation itu seperti ketika orang mati lalu tidak mati lagi, jantungnya berdenyut lagi, yang kadang-kadang dokter bisa lakukan), melainkan resurrection. Resurrection adalah bangkit dalam rupa yang baru, dan itu menandai zaman baru; ini sesuatu yang menurut Petrus dan Yohanes sudah sedang terjadi di dalam Yesus. Inilah yang membuat mereka marah. Jadi bukan karena orang Yahudi tidak percaya akan adanya kebangkitan. Mereka percaya Elisa tulangnya membangkitkan orang mati, Elia membangkitkan anak janda di Sarfat, mereka juga melihat Lazarus dibangkitkan –yang mereka tidak suka namun mereka tidak menyangkali Lazarus memang bangkit– dan seterusnya. Mereka bukan menentang bahwa orang mati bisa bangkit. Yang mereka tentang adalah: orang mati, sudah bangkit dalam arti resurrection; yang mereka tentang adalah: Kerajaan Allah sudah datang, apalagi Kerajaan Allah sudah datang dalam Yesus.
Kenapa mereka sangat menentang? Karena Yesus menentang mereka! Mereka tidak keberatan ada orang buta bisa melek. Mereka tidak keberatan orang lumpuh bisa jalan. Mereka tidak keberatan Yesus membangkitkan orang mati –pada dirinya sendiri. Mereka tidak keberatan Yesus mengajar “saling mengasihilah kamu, yang mencuri jangan mencuri lagi, kalau pekerjaanmu tentara jangan memeras orang ya”; mereka tidak keberatan akan itu semua, malah itu justru membantu pekerjaan mereka. Yesus mengajar soal Taurat, arti dari kitab suci, itu juga mereka tidak keberatan, itu justru membantu pekerjaan mereka. Yang mereka keberatan, karena Yesus menentang mereka, sehingga kalau Yesus benar, artinya mereka salah; bukan saja mereka salah, tapi mereka berada di bawah penghakiman Tuhan. Itu masalah besar! Maka langkah selanjutnya cuma satu: bertobat. Wah, ini masalah besar; kenapa? Karena bertobat bukan sekadar saya tadinya punya moral tidak sempurna, saya berubah sedikit-sedikit supaya sempurna; bukan demikian.
Bertobat adalah metanoia, dalam arti beralih haluan hidup secara total, artinya beralih dari satu jalan ke jalan lain. Jadi yang dulu mereka anggap sebagai melayani Tuhan, sekarang di bawah terang kebangkitan Yesus, mereka harusnya melihat bahwa itu bukanlah melayani Tuhan, itu melayani diri sendiri, melayani dinasti mereka sendiri. Hal ini cukup jelas, karena Hanas membawa-bawa dalam persidangan itu Kayafas, yang bikin kita bertanya-tanya, koq Imam Besar bisa ada dua?? Kalau Saudara mau tahu, Hanas dan Kayafas adalah seorang anak menantu dan bapak mertuanya, Imam Besar dan Imam Besar Emeritus. Dikatakan juga yang menyidang di situ Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar –dinasti Imam Besar. Itulah cara memerintah Bait Suci Yerusalem yang kedua, ada dinasti kekuasaan di Bait Suci. Dan, apakah benar yang mereka perjuangkan adalah berdirinya Kerajaan Allah? Sepertinya tidak. Yang mereka perjuangkan adalah berdirinya kerajaan dinasti Hasmonean atau kerajaan dinasti Hanas dan Kayafas. Itu saja. Itu hal yang sama yang diperjuangkan Herodes, itu hal yang sama yang diperjuangkan –dari sisi yang lain– Kerajaan Romawi, itu yang diperjuangkan bangsa-bangsa, sementara umat Tuhan harusnya tidak memperjuangkan itu.
Jadi, kalau Yesus benar, Kerajaan Allah sudah datang, maka Bait Suci Yerusalem harus bertobat. Itu sebabnya Yesus bilang, “Runtuhkanlah Bait Suci ini, Aku akan membangunnya lagi dalam tiga hari” –dan inilah tuduhan yang mereka pakai untuk menyalibkan Yesus. Yesus itu dosanya apa sih sampai harus disalibkan? Jawabnya: dosa-Nya adalah menantang otoritas Bait Suci.Yesus bukan dosanya pernah nyolong, pernah bunuh orang, pernah merampok; dosa-Nya satu: melawan penguasa Bait Suci. Padahal penguasa Bait Suci mengatakan mereka adalah wakil Tuhan, mewakili kepentingan dan otoritas Tuhan, kalau Bait Suci runtuh, artinya Tuhan kalah, Tuhan meninggalkan Israel; dan itu artinya jauhlah dari Kerajaan Tuhan datang. Bait Suci runtuh, artinya Kerajaan Tuhan pergi. Tapi Yesus bilang, Bait Suci runtuh adalah awal dari datangnya Kerajaan Allah. Lho? Allah rupanya bertentangan dengan kerajaannya Hanas dan Kayafas. Itulah yang bikin mereka marah, yang bikin Petrus dan Yohanes disidang.
Apa jawab Petrus dan Yohanes atas pertanyaan mereka? Pertanyaan mereka adalah: “Dengan kuasa mana, dalam nama siapa, kamu melakukan hal itu?” Kita tahu, ini pertanyaan yang pernah ditanya kepada Yesus. Mereka tidak tanya langsung tapi mereka bergosip mengenai Yesus, ‘dengan kuasa dari mana Dia melakukan hal-hal itu??’ Mereka menuduh Yesus melakukan pengusiran setan, penyembuhan orang sakit, membangkitkan orang mati, dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa Iblis. Dan tentu Saudara tahu, konteks dari perkataan Yesus “dosa terhadap Anak Manusia akan diampuni, tapi dosa terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni”, lalu artinya dosa menghujat Roh Kudus ada dalam ayat tersebut juga, yaitu: Yesus melakukan semua itu dalam kuasa Beelzebul; Yesus melakukannya dengan kuasa Allah, dengan kuasa Roh Kudus, tapi mereka katakan dengan kuasa Beelzebul. Jadi, ketika imam-imam kepala menyidang Petrus dan Yohanes, mereka bertanya hal yang sama: kuasa dari mana, atas nama siapa kamu bikin ini semua.
Petrus kemudian menjawab dengan konsisten. Tapi sebelum menjawab, dia betulkan dulu bingkai dari pertanyaannya, yaitu Petrus mengingatkan kepada para petinggi Bait Suci ini: “Hai pemimpin-pemimpin umat, hai tua-tua …”. Ini bukan sindiran, mereka memang pemimpin-pemimpin umat dan tua-tua, tapi kita tahu, pemimpin-pemimpin umat dan tua-tua di dalam tradisi nabi-nabi sering kali menerima penghakiman dari Tuhan. Petrus mengatakan: “Hai pemimpin-pemimpin umat, hai tua-tua, coba lihat, kamu itu kenapa menghadapkan kami kepadamu, kami ini bikin apa sih?” dan lanjutnya, “Kami ini berbuat baik kepada orang sakit.” Berbuat baik kepada orang sakit adalah suatu kewajiban di dalam Taurat untuk setiap umat Tuhan lakukan, jangankan kepada orang, kepada keledai pun harus dilakukan. Kalau ada keledai tetanggamu terperosok ke dalam sumur di hari Sabat –hari Sabat harusnya kamu tidak bekerja, harusnya beribadah– kamu tidak boleh tunda-tunda dan beralasan hari Sabat, kamu harus menolongnya segera, demikian kata Tuhan dalam Taurat. Jadi, di sini Petrus mengatakan, “Kami ini melakukan yang dituntut Taurat, perbuatan baik kepada orang sakit. Tapi sekarang kami disidang, harus menerangkan dengan kuasa mana orang ini disembuhkan. Sekarang dengar, ketahuilah oleh kamu, ketahuilah oleh seluruh umat Israel, dalam nama Yesus Kristus, Orang Nazaret yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah –oleh karena Yesus ini–orang ini sembuh; kami menyembuhkan orang ini dalam Nama Yesus.”
Bagi kita orang Kristen, kayaknya itu sesuatu yang normal saja, tentu saja dalam nama Yesus bukan dalam nama Bambang Wijatmoko atau siapalah, pasti dalam nama Yesus. Tapi mereka ini bukan orang Kristen, mereka orang-orang Yahudi, lagipula agama Kristen belum sepopuler itu pada waktu tersebut. Dengan demikian, waktu dikatakan “dalam nama Yesus”, itu artinya ‘oleh otoritas Yesus, yang adalah Mesias’, yang jelas-jelas jabatan tersebut tidak disetujui oleh para pemimpin Bait Suci karena bagi mereka Yesus itu bukan Mesias, Yesus itu kamu anggap Mesias tapi bukan Mesiaslah, Dia itu Mesias palsu. Namun Petrus mengatakan, “Dalam nama Yesus yang adalah Mesias (Yesus Kristus), Orang Nazaret itu (supaya tidak salah, karena nama Yesus ada banyak; dan kita ingat yang akhirnya mereka tuntut untuk dilepaskan sebagai ganti Yesus di hari Paskah, namanya Yesus juga, Yesus Barabas), yang telah kamu salibkan (jadi di sini Petrus frontal mengatakan kamu menyalibkan Yesus padahal Dia itu Mesias), dalam nama itu saya menyembuhkan orang ini.” Dengan begitu, Petrus menempelkan realitas empiris, “Orang ini sembuh, dan orang ini berdiri di sebelah saya sebagai saksi. Tanya dia, dia sudah umur 40, sudah lama legal age, dan tanya dia disembuhkan dalam nama siapa, benar sembuh atau tidak, benar atau tidak dia 40 tahun lumpuh.” Jawabannya: iya. Dan itulah yang menyebabkan orang banyak memuliakan Allah. Orang banyak yang memuliakan Allah ini, membuat para penguasa Bait Suci takut. Mereka panik, mereka gemetar. Lalu apa yang diperbuat orang panik, orang yang takut? Yaitu menakut-nakuti, demikian yang kita lihat di sini.
Setelah Petrus mengatakan “tidak ada keselamatan dalam siapa pun juga selain dalam Dia (Yesus), sebab di bawah kolong langit tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”, sidang itu berespons. Apa responsnya? Yang pertama, mereka heran akan keberanian Petrus dan Yohanes, apalagi setelah tahu keduanya orang tidak terpelajar. Orang tidak terpelajar ini dalam bahasa Yunaninya yaitu idiotes —mereka itu idiot. Istilah idiot kalau zaman kita mengacu pada level IQ, tapi dalam konsep orang Yunani, idiotes maksudnya orang tidak sekolah, atau dalam konteks orang Yahudi orang yang tidak bisa membaca Taurat, tidak mengerti bahasa Ibrani, tidak punya pendidikan. Jadi mereka heran, koq bisa Petrus dan Yohanes itu punya sikap begitu tegas, begitu berani, padahal mereka bukan theolog –kira-kira begitu.
Mereka mengenali keduanya sebagai pengikut Yesus, namun karena mereka melihat orang yang disembuhkan berdiri di sebelah Petrus, mereka tidak dapat membantah. Mereka lalu menyuruh orang-orang itu meninggalkan ruangan. Mereka pakai privilege sebagai penguasa wilayah itu, jadi mereka bisa usir orang, bisa undang orang, bisa menyidang orang, bisa mengatur agar mereka di posisi kuat sementara orang yang mereka interogasi dalam posisi yang pasti kalah, dan mereka pun berunding. Dalam perundingan itu terlihat bahwa mereka memang panik, takut. Mereka mengakui kekalahan dan kehabisan akalnya mereka, maka mereka mengatakan, “Tindakan apa harus kita ambil terhadap orang-orang ini, setelah telah nyata kepada semua penduduk Yerusalem, bahwa mereka telah mengadakan suatu mukjizat yang mencolok –yang sangat terang, yang seperti hitam di atas putih– dan kita tidak dapat menyangkalnya. Tapi kita tidak ingin hal itu tersebar luas, jadi apa yang harus kita lakukan?” Mereka pun memakai jurus yang membosankan itu: “Kita ancam saja supaya mereka jangan bicara lagi dengan siappun dalam nama itu”, maka keduanya disuruh masuk lagi, dan diperintahkan supaya jangan bicara dan mengajar lagi dalam nama Yesus.
Lalu Petrus dan Yohanes menjawab mereka begini: “Silakan putuskan sendiri mana yang benar di hadapan Allah … “. Istilah ‘benar di hadapan Allah’ ini mengacu pada nilai yang paling dijunjung tinggi oleh orang Yahudi. Bagi orang Yahudi yang paling penting bukanlah sukses, makmur, jaya, lestari, sehat, berbahagia, melainkan benar di hadapan Allah, being a righteous human being; kamu menjadi manusia yang righteous (punya dikaiosune) atau tidak, itu yang paling penting. Kalau kamu punya righteousness before God, hidupmu sukses. Walaupun kamu mungkin seperti Yeremia, dimasukkan ke dalam sumur yang kering, dituduh makar, dimasukkan penjara, dsb., tapi Yeremia itu orang yang sukses –sukses jadi manusia. Walaupun kamu seperti Paulus, kamu seperti Yesus, kamu sukses jadi manusia –bagi orang Yahudi– karena kamu orang yang righteous. Dan Petrus memakai hal ini karena dia tahu bagi para imam, dan bahkan bagi orang-orang Saduki, nilai ini sangat penting, yaitu being righteous before God. Petrus lalu mengembalikan kepada mereka, “Timbang sendiri, yang mana yang bikin kamu berada dalam posisi yang paling righteous di hadapan Tuhan. Pilihan pertama, kami taat kepada kamu; atau pilihan kedua, kami taat kepada Allah. Yang righteous yang mana?”
Petrus berkata lebih lanjut, “Tidak mungkin bagi kami untuk tidak mengatakan apa yang sudah kami lihat dan dengar.” Istilah ‘sudah kami lihat, sudah kami dengar’, nantinya muncul lagi dalam Surat 1 Yohanes pasal 1 ayat 1, “Apa yang kami lihat, apa yang kami dengar, apa yang kami raba; kami lihat dengan mata, kami dengar dengan kuping, kami raba dengan tangan kami, itulah yang kami sampaikan kepadamu”; yaitu apa? Peristiwa Yesus; Yesus yang lahir, Yesus yang mengajar dan berkarya bahwa Kerajaan Allah sudah datang, Yesus yang dimatikan dan dibangkitkan, Yesus yang naik ke surga. Demikian, “Itulah yang kami lihat, itu yang kami dengar, itu yang kami saksikan. Kami tidak mungkin tidak bicara mengenai hal itu.” Lalu apa jurus dari penguasa? Jurusnya membosankan, itu lagi, itu lagi, yaitu lebih keras mengancam rasul-rasul itu.Tapi itu macan kertas saja, ancaman kosong, gertak sambal, dan akhirnya mereka melepaskan keduanya.
Mereka akhirnya dilepaskan, soalnya sidang itu tidak menemukan jalan untuk menghukum mereka. Jadi, Hanas, Kayafas, Yohanes, Aleksander, dan seluruh dinasti itu putar otak mereka –yang bukan bodoh– untuk menemukan tuduhan apa yang bisa dikenakan kepada kedua orang ini, namun tidak ada, mau mengarang-ngarang pun terlalu mustahil. Mereka itu menyembuhkan orang sakit, hanya saja bedanya dalam nama Yesus; tetapi Yesus memang bisa saja Dia itu Mesias. Memang Dia menuduh kita sudah korup, tapi bisa jadi Dia benar, lho. Kita sudah bunuh Dia, dan menurut orang-orang ini Dia sudah dibangkitkan Allah; kita juga tidak bisa buktikan Dia tidak dibangkitkan Allah. Bagaimana cara mebuktikannya?? Kuburan-Nya kosong; kita bisa bilang mayat-Nya dicuri, tapi ‘kan bisa juga Orangnya bangkit. Jadi kita tidak bisa membuktikan Yesus tidak bangkit. Bagaimana jika Dia benar?? Yang pasti, orang lumpuh ini memang 40 tahun sakit, dan memang sekarang sembuh, dan memang kita melihat Petrus mengatakan “dalam nama Yesus” sebelum orang itu sembuh. Jadi sudah jelas bahwa dalam nama itu orang ini disembuhkan; dan orangnya bisa bersaksi. Jadi bagaimana kita bisa menghukum mereka gara-gara itu?? Tidak bisa. Nanti orang banyak akan ngoceh, dan lebih lanjut wibawa kita merosot kalau kita menghukum mereka tanpa alasan yang valid. Repot ini. Akhirnya mereka mengancam saja untuk terakhir kalinya, lalu Petrus dan Yohanes dilepaskan, karena orang banyak itu memuliakan Allah. Mereka tidak ada jalan, mereka melepaskan.
Ini semua berbicara sesuatu mengenai hidup manusia, mengenai ketakutan, menakut-nakuti, ancaman, dan kebenaran. Bicara apa? Ada banyak, tapi saya kira setidaknya ini: orang yang menggunakan ancaman, sering kali adalah orang yang dikendalikan oleh ketakutan. Orang yang menakutkan bagi kamu, sering kali adalah orang yang sendirinya takut. Hal yang kedua, orang yang sering menakut-nakuti, lebih lagi sering kali adalah orang yang lebih lagi dicengkeram oleh ketakutan.
Coba kita bayangkan. Kalau kamu adalah orang yang tidak takut, maka apapun yang kamu lakukan, ada atau tidak kemungkinan dikendalikan oleh takut? Orang yang tidak takut, bisa takut atau tidak? Bisa. Seperti saya bisa pilek, tapi bisa tidak pilek. Bisa takut dan takut adalah dua hal yang berbeda. Manusia pasti bisa takut. Yesus bisa takut, Yesus pernah takut. Ketika Yesus di Getsemani, Dia berdoa, Dia sangat sedih hatinya; dan dikatakan Dia sangat takut. Takut adalah manusiawi, bagian dari keterciptaan kita. Ada atau tidak sesuatu yang tidak bisa takut? Ada. Piano tidak bisa takut, mikrofon tidak bisa takut, karena memang tidak ada otaknya. Komputer juga tidak bisa takut. Ada atau tidak manusia yang tidak bisa takut? Ada, yaitu manusia yang otaknya ada gangguan, mungkin pernah terbentur atau pernah jatuh sehingga ada cacat mental sedikit, dan dia betul-betul tidak ada rasa takut. Biasanya cepat mati orang yang seperti ini. Tidak bisa takut, itu tidak bagus, itu menandai defisiensi, bukan super normal.
Namun, dicengkeram ketakutan adalah hal yang lain; dicengkeram ketakutan berarti apapun yang kamu lakukan adalah karena takut. Ini buruk. Lho koq, buruk, Pak? Takut miskin, jadinya kerja rajin, banyak menabung, tidak boros. Takut sakit, jadinya zaman Covid rajin pakai masker, cuci tangan. Bagus ‘kan, Pak. Saya tidak bilang bahwa tidak bisa takut itu tidak ada bagusnya sama sekali; tapi saya bilang, kalau hidupmu dikendalikan oleh takut, itu tidak bagus. Apa bedanya? Bedanya di sini: kalau hidup dikendalikan takut, maka apapun yang kamu lakukan, motifnya adalah takut. Itu jadi problem. Kenapa jadi problem? Karena kalau kamu melakukan apapun motifnya “takut”, berarti modus hidupmu, jenis hidupmu, model hidupmu adalah ini: survival, asal ‘gak mati saja itu bagus. Hidup itu ‘kan bagus, mati ‘kan tidak bagus, Tuhan ‘kan tidak menghendaki kita mati, apalagi matinya kecepetan, mati konyol, mau menunjukkan keberanian di depan pacar lalu menyalip truk dan mati terlindas. Tuhan tidak menghendaki seperti itu, gagah-gagahan lalu mati muda, konyol banget. Tapi coba kita pikir, apakah Tuhan hanya menghendaki kita hidup supaya ‘gak mati? Pokoknya mempertahankan hidup, pokoknya tidak mati, itu saja?? Tentu tidak. Itu namanya survival mode (pokoknya tidak mati), tapi tidak pernah dipikirkan/dilakukan kalau sudah hidup lalu ngapain, apa yang bikin hidup berharga. Pokoknya tidak mati, pokoknya tidak kalah, pokoknya tidak malu, pokoknya tidak terancam kebebasannya, pokoknya tidak tidak enak –dan apapun lainnya– itu belum mengatakan “jadi hidup ini harus diisi dengan …”. Sudah sehat, sudah panjang umur, sudah tidak masuk penjara, sudah tidak mati, sudah tidak mengalami hal-hal tidak enak, itu semua bagus, bukan jelek; tapi terus apa?
Kalau hidup dikendalikan ketakutan, “terus apa”-nya tidak sempat dipikir karena yang men-drive hidupnya hanya survival, ketakutan –itu saja. Binatang seperti itu. Dan, memang partly kita ini separuh binatang, karena binatang makan dan kamu makan, binatang kawin dan kamu kawin juga, binatang tidur dan kamu juga tidur ‘kan. Piano ini yang bukan binatang, tidak makan, tidak kawin, tidak tidur, tidak mati –dan tidak hidup juga. Manusia, karena dia makhluk hidup, apalagi dia makhluk hidup yang bergerak, punya anima, punya jiwa, memang ada bagian biotic-nya, ada bagian physical-nya partly animal, tapi ‘kan tidak cuma itu. Kalau kita dikendalikan ketakutan, akhirnya jadi seperti itu. Dan, ketakutannya manusia tentu lebih canggih daripada binatang, ketakutannya manusia termasuk takut dihina, takut dianggap sepele, takut tidak dipandang, takut tidak berdampak, takut dianggap gagal. Takutnya banyak. Kalau kita dikendalikan oleh takut-takut itu, hidup kita akhirnya ya, sekadar membuktikan diri, sekadar dikendalikan oleh teror yang sebetulnya mungkin tidak terlalu penting.
Tuhan kita yang menakutkan itu tidak menghendaki kita takut. Sekarang saya masuk ke perbedaan antara menakutkan dan menakut-nakuti, karena Tuhan itu memang menakutkan tapi tidak pernah menakut-nakuti. Walaupun Dia menghendaki kita takut akan Dia, tapi Dia tidak pernah mengusahakan supaya diri-Nya terlihat lebih menakutkan dari yang sebenarnya supaya kita lebih takut daripada yang sekarang kita takut; yang ada adalah: Tuhan itu, ketika melihat manusia takut melihat diri-Nya, Dia mengusahakan supaya manusia berkurang takutnya.
Kitatidak takut, itu bisa dua kemungkinan; yang pertama karena bodoh, dan yang kedua karena percaya. Kita tidak takut karena bodoh, misalnya seperti ini: ada hal yang sangat menakutkan, namanya H2SO4 pekat, kalau dituang ke besi maka besinya akan meleleh, kalau tangan kamu cemplung ke situ sangat mengerikan; tapi kalau orang tidak mengerti seberapa powerful-nya H2SO4 pekat itu, bisa jadi dia main-main dengan itu –karena bodoh. Anak TK, masih kecil, dibawa ke Lab Kimia lalu main-main dengan apa yang ada di sana, bisa atau tidak dia bertindak bodoh? Bisa. Dia ada ketakutan atau tidak dengan sesuatu yang menakutkan di sana? Tidak. Kita menamainya kebodohan. Kebodohan bikin orang tidak takut. Inilah yang penulis Amsal coba cegah. Penulis Amsal bilang, “Takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat”, karena Tuhan adalah the most terrifying “thing” in the whole reality; kalau kepada Tuhan saja kamu tidak takut, kamu itu gobloknya minta ampun –kira-kira begitu, karena Tuhan jauh lebih mengerikan daripada asam sulfat.
Hal kedua, tidak takut juga bisa disebabkan karena percaya. Salah satu orang yang paling powerful pada masanya, tentu saja adalah raja-raja dan kaisar-kaisar. Katakanlah misalnya Genghis Khan; konon wilayah daratan yang pernah ditaklukkan Genghis Khan lebih besar daripada wilayah yang pernah ditaklukkan seorang raja tunggal manapun dalam sejarah. Genghis Khan menakutkan atau tidak? Menakutkan. Apalagi dia memang benar-benar brutal dalam penaklukannya. Sekarang saya tanya, anak kesayangan Genghis Khan kira-kira takut kepada Genghis Khan atau tidak? Saya bisa bayangkan, kalau ada orang yang tidak takut pada Genghis Khan, dia adalah orang yang dikasihi oleh Genghis Khan, mengenal dan percaya pada Genghis Khan –maka dia tidak takut. Jadi, tidak takut bisa dua macam, pertama karena bodoh, dia tidak tahu apa yang diahadapi; dan kedua karena kasih, kasih melenyapkan ketakutan.
Namun ada jenis yang ketiga, yaitu menakut-nakuti. Menakut-nakuti ini biasanya muncul karena kebutuhan akan ditakuti, padahal dia tidak menakutkan –makanya dia butuh menakut-nakuti. Pimpinan Bait Suci sebetulnya tidak perlu ditakuti; kenapa? Mereka itu macan kertas. Kekuasaanya boleh dibilang hampa. Mereka punya pasukan pengawal, tapi tidak banyak, buktinya mereka tunduk menjilat pada Romawi. Mereka boleh dibilang takluk pada Romawi. Jadi mereka tidak menakutkan-menakutkan banget sebetulnya; Romawi lebih menakutkan, karena mereka punya senjata, dsb. Tetapi, para pimpinan Bait Suci penuh dengan ketakutan, itu sebabnya mereka menakut-nakuti. Sekarang saya tanya: kalau dibandingkan, yang mana yang paling sering menakut-nakuti dunia ini dengan perang nuklir: Amerika Serikat, atau Uni Sovyet, atau Korea Utara? Jawabannya: Korea Utara yang paling sering menakut-nakuti, “Gua bom ya, Gua hancurkan, perang nuklir … perang nuklir..!” Punya nuklir pun tidak tentu, mungkin tidak punya, tapi sering banget unjuk kekuatan, menakut-nakuti, padahal paling lemah. Sementara yang tidak pernah ngomong demikian adalah Amerika, dan bom nuklirnya paling banyak. Rusia tidak sebanyak itu (dulu Uni Sovyet lebih banyak daripada Amerika, sekarang sudah berkurang karena ada perjanjian dsb.) tapi mereka sering mengancam juga. Orang mengancam, itu pertanda takut, pertanda merasa insecure, pertanda dia sendiri pengecut dan lemah –makanya dia pakai senjata teror.
Saya kadang-kadang nonton video mengenai dunia anjing. Ada satu adegan seekor anjing dibawa oleh tuannya, untuk menaklukkan anjing lain, lalu satu ketika dipertemukan dengan anjing yang gede banget, yang kalau berdiri bisa dua meter lebih. Anjing ini kecil, hanya saja galak dan asertif, ada pengalaman berkelahi, dsb., sehingga bisa assert domination terhadap anjing lain; tapi kalau bertemu dengan anjing yang gede tadi, namanya Thor, ya, tidak ada apa-apanyalah anjing kecil ini, kalau digigit bisa terbelah dualah. Lalu saya perhatikan, anjing kecil ini menggonggong-gonggong, mencoba memastikan hirarki dominasinya, bahwa gua bos-nya; anjing yang gede itu menggonggong juga. Di akhir sesi, dikatakan oleh sang ahli anjing, bahwa anjing yang gede itu walaupun gonggongannya mengerikan, gede banget, tapi itu gonggongan mengajak main, sedangkan anjing yang satunya mau mengatakan, “Gua bosnya, lu musti takut sama gua, lho.” Dan, anjing yang kecil ini pernah juga dipertemukan dengan anjing lain yang lebih kecil lagi, dan juga lebih agresif, lebih galak.
Coba kita pikir, tidak tentu yang menakut-nakuti, yang agresif, yang menakutkan, itu memang punya kekuatan; jadi kita perlu berpegang pada sesuatu. Apakah sesuatu itu? Kalau kita percaya seperti orang ateis percaya bahwa Tuhan tidak ada, ya, kita perlu percaya pada kekuatan kita sendiri. Tapi kita ini berkumpul di gereja sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, dan percaya Tuhan yang membangkitkan Yesus; dan Tuhan yang membangkitkan Yesus, saya kira kalau kita bandingkan dengan hirarki dominasi tiga anjing tadi, adalah Tuhan yang tidak perlulah galak-galak mendirikan kuasa-Nya. Jadi, Tuhan itu, lewat perjumpaan Petrus dan Yohanes di sini, ingin mengungkapkan kepada kita suatu adegan di mana penguasa Bait Suci menggonggong-gonggong dengan penuh agresifitas, padahal hampa, tidak punya kuasa apa-apa. Hari-hari mereka sudah terhitung, sudah sebentar lagi habis; sementara hari-hari dari Kerajaan Tuhan –Petrus dan Yohanes–baru mulai. Catatan Lukas ini kejadiannya kira-kira tahun 30, dan kita tahu Bait Suci tidak bertahan lama. Tahun 70 setelah Masehi –40 tahun setelah peristiwa-peristiwa ini– mereka habis, rata dengan tanah, digiling halus-halus oleh mesin perang Romawi. Hari-hari mereka sudah terhitung. Itu sebabnya mereka galak, itu sebabnya mereka menggonggong keras. Jadi, jangan takut pada orang-orang yang menakut-nakuti; dan kedua –ini penting–jangan menakut-nakuti. Kalau kita suka menggunakan ketakutan sebagai senjata, hendaklah kita tahu bahwa itu mungkin disebabkan karena kita tidak punya senjata yang lain, dan kita menganggap bahwa menjadi orang yang tidak menakutkan adalah lebih menakutkan. Dan ketahuilah, ada alternatifnya, ada kabar baiknya: kamu tidak perlu untuk ruled by fear, tidak perlu mengekspresikan keadaan dirimu yang dikendalikan oleh ketakutan sehingga kamu mengendalikan dengan ketakutan, karena ketakutan itu sendiri sudah dipatahkan oleh Tuhan. Yang paling menakutkan dalam hidup manusia, salah satunya adalah kematian; dan sengat maut sudah dicabut oleh Tuhan. Kematian sudah dimatikan oleh kematian Yesus, maka kabar baik bagi mereka yang dikuasai ketakutan adalah: ada kebangkitan dari antara orang mati di dalam Yesus.
Ketakutan itu mematikan –bukan hanya merokok yang mematikan– karena kamu akan terkunci dalam survival mode lalu kamu meluaskan kematian ini dengan cara menakut-nakuti orang lain –karena orang yang takut akan menakut-nakuti orang lain. Takut di sini bukan hanya takut akan kematian fisik, tapi juga takut akan kematian sosial, takut diturunkan derajatnya, kehilangan pamor/popularitas, dianggap sepele, dst.; dan itu sesuatu yang kamu tidak perlu takut, karena Yesus sudah bangkit, karena kasih melenyapkan ketakutan, karena kamu adalah orang-orang yang percaya bahwa di dalam Yesus kita dikasihi. Jadi, kita tidak perlu takut. Saya kira itulah yang kita bisa lihat dalam adegan ini, orang-orang yang menakut-nakuti dan ingin menegakkan kekuasaan lewat ketakutan, hanya bisa mengancam dan lebih keras mengancam, pada akhirnya melepaskan, pada akhirnya mungkin menghajar tubuh bahkan membunuh tubuh, tapi tidak pernah itu merupakan final, karena mereka tidak berkuasa atas jiwa mereka. Pada akhirnya yang menang adalah kasih, dan bukan ketakutan.
Terakhir, saya kutip satu cerita tentang orang-orang Quaker, salah satunya adalah mereka sangat menentang praktik perbudakan di Amerika. Praktik perbudakan merupakan bagian dari ekonomi Amerika. Pada saat perang sipil di Amerika (negara-negara kon-federasi di Selatan melawan negara-negara yang mengikuti kepemimpinan federasi di Utara), uang beredar kira-kira 500 juta dolar, uang dalam bentuk tanah sekitar 1,5 milyar dolar. Dan tahukah Saudara, berapa kira-kira nilai ekonomi perbudakan? Kalau semua budak price tag-nya dikumpulkan, ditotal semuanya, maka nilainya 4 milyar dolar! Lebih besar daripada semua uang dan semua tanah. Jadi abolition ini urusannya duit, urusan ekonomi. Ekonomi Selatan bisa kolaps –dan memang kolaps– kalau mereka bertobat, yaitu memperlakukan manusia sebagai manusia. Itu harga yang mereka harus bayar; dan mereka tidak mau bayar –dan mereka orang Kristen. Salah satu yang kemudian sering sekali memperjuangkan ini di Perlemen adalah orang-orang Quaker. Satu ketika, dalam sebuah perkara, George Fox yang mendirikan Quaker, bersaksi di persidangan, dan dia mengatakan kalimat ini: “Pak Hakim, tahu tidak, saya ini gemetar berdiri di hadapan Tuhan.” Lalu Hakim bilang kepada dia, “Tuan Fox, ketahuilah bahwa kami yang gemetar berdiri di hadapan Anda, soalnya anda-anda ini adalah orang yang jujur, anda-anda ini adalah orang yang mengikuti kebenaran; dan itu menakutkan.” Orang-orang Quaker sering kali dikatakan punya slogan “Speak the truth to Power” (mengatakan yang benar kepada penguasa), karena kebenaran itu membebaskan, kebenaran itu dari Tuhan. Dan mereka melakukan apa yang benar, di tengah lingkungan dan zaman yang sama sekali seperti impossible memperjuangkan itu, banyak orang mengatakan, “Nantilah, Yesus datang lagi baru tidak ada perbudakan.” Sekarang sudah sekian ratus tahun berlalu –tidak begitu lama sebetulnya, tidak sampai 400 tahun berlalu– lalu coba kamu pikir sebagai orang modern, kalau kamu di rumah punya budak, apakah itu oke sebagai orang Kristen? Sudah pasti tidak oke ‘kan; tapi buat sebagian besar orang pada zaman itu, ya pasti oke. Jadi bayangkan, bertobat itu mungkin lho. Bertobat itu mungkin, jika kita tidak takut, jika kita percaya Tuhan sudah bangkit dan Kerajaan-Nya sudah datang.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading