LAI memberikan judul perikop ini, “Daun menjadi pelayan Saul”. Ini judul yang cukup, tapi kita tahu itu bukan poin utamanya; yang terjadi dalam ceritanya, bukan saja Daud menjadi pelayan Saul, tapi bahwa di dalam rencana Allah inilah Daud dilibatkan dalam dunia kerajaan. Dalam perikop sebelumnya kita melihat Daud dipilih Allah, diurapi Allah untuk menjadi raja atas Israel; dan cerita yang kita baca hari ini memperlihatkan bagaimana orang yang sudah diurapi dan dipilih ini dilibatkan masuk ke dalam dunia kerajaan Israel. Dari hal ini saja, kita sudah bisa melakukan perenungan.
Di ayat 13, kita tahu Samuel memilih Daud di dalam pimpinan Allah, dan Daud diurapi, Daud benar-benar sudah dikonfirmasi sebagai raja Israel; bahkan sebelumnya telah diceritakan bahwa Saul orang yang menolak Allah, mengeraskan hati, dan dia sudah jelas-jelas ditolak Allah. Dengan kata lain, sebetulnya pada saat ini Daud sudah cukup siap menjadi raja orang Israel, karena Saul sudah ditolak dan Daud sudah dipilih; tetapi apakah Daud saat ini langsung menjadi raja Israel? Sama sekali tidak. Harus tunggu sampai Kitab 2 Samuel pasal 5, baru akhirnya de facto Daud menjadi raja. Sebetulnya di momen ini Tuhan bisa saja menyatakan di depan orang Israel, “Ini nabi-Ku, ini Daud yang Kuurapi, dia sudah dipilih dan Saul sudah ditolak, maka kamu harus taati Daud sebagai raja”, tapi itu bukan yang Tuhan lakukan. Tuhan justru memimpin Daud melewati proses yang panjang, yang bahkan menyakitkan dan menyedihkan. Sejak dia diurapi sampai dia menjadi raja, Daud harus lari, harus berpisah dengan orang yang sangat mengasihi dia dan sangat dia kasihi yaitu Yonatan, dia harus lari dan tinggal di gua, dia harus berpura-pura jadi orang gila, dia harus menyaksikan bagaimana tindakannya menyebabkan orang-orang di sekitarnya mendapat kecelakaan ketika gara-gara Daud kabur ke Nob akhirnya imam-imam di kota Nob dibunuh dan hanya sisa satu. Seluruh proses ini adalah yang kita sebut sebagai pimpinan Tuhan.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, ketika kita berdoa dan kita minta pimpinan Tuhan, “Tuhan pimpinlah hidupku, Tuhan pimpinlah saya”, saya harap inilah yang kita asumsikan, yang kita maknakan. Kalau di dalam Gereja Kharismatik biasanya berdoa, “Tuhan urapilah”, sementara dalam Gereja Reformed agak jarang kita minta diurapi. Pengurapan itu maknanya apa? Yaitu instan, lancar. Sedangkan kita di Gereja Reformed, kita pakai istilah “pimpinan”, kedengaran lebih rohani. Namun kalau kita minta pimpinan Tuhan tapi kita maunya lancar, instan, itu sebetulnya cuma main kata-kata saja, sedangkan makna di belakangnya persis sama, tidak ada bedanya. Alkitab memberikan kita gambaran, seperti inilah pimpinan Tuhan; Daud sudah diurapi, sudah dikonfirmasi akan menjadi raja, dan Daud dipimpin melewati seluruh proses tersebut.
Kita masuk ke ceritanya. Di ayat 14 Alkitab mencatat bahwa Roh Tuhan telah menyingkir dari Saul; ayat 13 (perikop sebelumnya) dikatakan Roh Tuhan menguasai Daud. Ini disengaja oleh penulis Alkitab, untuk kita langsung mengontraskan antara Daud dan Saul. Dalam hal turunnya Roh Kudus atas dua pribadi ini, ketika kita perbandingkan memang ada perbedaannya. Coba kita perhatikan di ayat 13 ketika Roh Allah turun dalam pribadi Daud, yang dikatakan adalah: ‘Sejak hari itu dan seterusnya, Roh Tuhan menguasai Daud’. Roh Tuhan juga turun atas Saul, tapi Alkitab tidak mencatat bahwa Roh Tuhan turun di hari tersebut dan seterusnya, sementara hal ini dicatat dalam pribadi Daud. Artinya, turunnya Roh Kudus di dalam dua pribadi ini berbeda. Di dalam Daud, turunnya Roh Kudus adalah seterusnya, sifatnya permanen; sedangkan di dalam pribadi Saul sifatnya lebih sementara, dan ini didukung dengan fakta bahwa Roh Tuhan sudah menyingkir dari dia. Apa yang saya mau tekankan dari bagian ini? Kita harus melihat bahwa pengalaman turunnya Roh Kudus atau menifestasi Roh Kudus, itu tidak serta-merta menunjukkan permanent indwelling; ketika kita mengalami manifestasi Roh Kudus, tidak tentu berarti Roh Kudus seterusnya dan selama-lamanya berada di dalam kita.
Ketika orang datang kepada kita, mengatakan, “Wah, saya mengalami Roh Kudus, saya mengalami karunia, ada pengalaman manifestasi Roh Kudus”, apa respons kita? Respons kita tidak perlu seperti ini: “Ah, tidaklah, itu bukan Roh Kudus! Roh Kudus bukan kayak begitu, itu roh jahat, saya tengking ya. Kamu bukan mengalami Roh Kudus, mungkin kamu halusinasi!” Bukan itu respons kita. Kita tidak perlu mendiskreditkan karakter orang, bilang mereka halusinasi, sinting, tidak waras, bodoh, dsb.; tidak perlu itu. Respons kita cukup begini, “Oke, kamu mengalami Roh Kudus, good.” Sekarang kita kembali kepada Alkitab, Alkitab menyatakan kepada kita suatu gambaran bahwa orang yang mengalami manifestasi Roh Kudus, tidak tentu itu berarti sungguh-sungguh diperkenan oleh Allah. Saul juga mengalami manifestasi Roh Kudus, bukan roh palsu, benar-benar Roh Allah turun atas dia. Demikian juga Simson, ada Roh Kudus yang menguasai dia, namun tidak pernah orang Kristen mengatakan bahwa Simson mencari istri non-Israel adalah hal yang diperkenan Allah, kita tahu Simson jelas-jelas melanggar –meski demikian, Alkitab mencatat ada manifestasi Roh Kudus yang sementara itu. Jadi kita tidak bisa mengatakan, kalau kita mengalami pengalaman-pengalaman Roh Kudus, itu mutlak menunjukkan Tuhan berkenan kepada kita. Ini juga bisa kita aplikasikan di dalam Gereja kita sendiri yang memegang tradisi Injili. Di dalam prinsip yang sama, ketika kita melakukan pelayanan, khususnya pelayanan gerejawi/rohani, dan pelayanan tersebut mendatangkan keberhasilan/kesuksesan, kita tidak bisa memutlakkan “karena yang saya lakukan itu hasilnya baik, berbuah, berarti menunjukkan mutlak bahwa saya diperkenan oleh Allah, bahwa apa yang saya lakukan itu semua diterima oleh Dia”. Itu tidak tentu. Alkitab memberikan kita gambaran sebagaimana kita lihat tadi, Saul juga menerima Roh Kudus tapi dia begitu mengeraskan hati, menolak Tuhan, diberi kesempatan bertobat pun tidak mau, namun dia ada manifestasi Roh Kudus; apa yang dia tidak ada? Yang Saul tidak ada adalah: manisfestasi Roh Kudus yang seterusnya.
Dari perspektif Perjanjian Baru, kita tahu the permanent indwelling of the Holy Spirit, ketika kita bisa menerima Roh Kudus untuk seterusnya, itu ada kaitan dengan keselamatan. Setelah kita percaya dan menerima Tuhan Yesus, Roh Kudus diberikan kepada kita dan tinggal di hati kita untuk selama-lamanya. Inilah yang perlu kita cari, yang perlu kita pegang, bukan fenomena-fenomena, bukan titik-titik kejadian-kejadian manifestasi Roh Kudus melainkan the permanent indwelling, Roh Kudus yang tinggal di dalam hati kita. Apa gunanya kita mengalami pengalaman manifesatsi yang sementara, tapi tidak ada Roh Kudus yang selama-lamanya tinggal di dalam diri kita? Roh Tuhan menyingkir dari Saul, namun bagi Daud Roh Tuhan menguasai dia untuk seterusnya.
Ayat 14b-15, kita melihat Alkitab mengatakan ‘Saul tersiksa oleh roh yang menyusahkan dari Tuhan’, ‘roh yang menyusahkan dari Allah, membuat engkau tersiksa’. Di bagian ini banyak orang Kristen agak bingung untuk mengertinya, khususnya kalau kita membaca Alkirtab versi TB1. Dalam TB1, kata-katanya bukan ‘roh yang menyiksa’ melainkan ‘roh jahat’, sehinggga banyak orang bingung, bagaimana bisa roh jahat dari Allah yang mahakudus, tidak mungkin Allah dan yang jahat kongkalikong, tidak mungkin ada hal yang jahat yang keluar dari Allah karena segala sesuatu yang keluar dari Allah adalah kasih dan benar dan baik, bagaimana menjelaskannya?? Itu juga salah satu alasan LAI mengubah penerjemahan ini. Khususnya dalam pandangan TB1, ketika ditulis ‘roh jahat yang dari Allah’, sering kali kita akan menjelaskannya dari kedaulatan Allah, bahwa semua yang baik maupun yang jahat, datang dari izin Allah, tidak ada satu pun yang datang di luar kontrol tangan Allah; dan kita akan mengutip dari Alkitab misalnya perkataan Ayub yang terkenal, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tapi tidak mau menerima yang buruk?” (di sini istilah Ibraninya ra’ah, artinya yang jahat). Kita menjelaskannya melalui kedaulatan Allah, bahwa semuanya berada di bawah dan di dalam kedaulatan Allah. Tetapi penjelasan seperti ini membingungkan, karena bisa membuat kita jadi paranoid; ketika kita sengsara dan mengalami kesulitan, bagaimana kita tahu ini gara-gara kebenaran atau gara-gara dosa kita, ini karena Tuhan mau mendisiplin kita atau menghancurkan kita?? Kita jadi bingung. Dalam hal ini LAI terjemahan TB2 mengubah kata-katanya jadi ‘roh yang menyusahkan’. Ini bukan semata-mata untuk menghindari problem tadi, melainkan karena dalam kata Ibraninya, ra’ah memang bisa diterjemahkan sebagai evil, wicked, distraction, menghancurkan, menyusahkan. Jadi ada dasarnya ketika TB2 memakai kata ‘menyusahkan’ dan bukan ‘jahat’. Penjelasannya agak rumit tapi saya coba sederhanakan sbb.: di dalam Alkitab, kata ruah (roh) ditulis sebagai noun diikuti kata kerja ada 128 kali, sedangkan kata ruah sebagai noun diikuti dengan kata sifat hanya ada 20 kali; menyusahkan adalah kata kerja, sedangkan jahat adalah kata sifat, jadi memang lebih ada kemungkinan dalam hal ini adalah roh yang menyusahkan, bukan roh jahat. Tapi bukan itu yang saya mau garisbawahi; yang saya mau kita lihat, bahwa roh yang menyusahkan ini, roh yang jahat ini, adalah dari Tuhan. Apa artinya? Bahwa roh ini diberikan/diutus Tuhan supaya rencana dan kehendak Allah bisa digenapkan. Dan, inilah yang sungguh-sungguh terjadi dalam ceritanya, ketika roh ini mengganggu Saul, akibatnya atau konsekuensinya adalah Daud dibawa masuk ke dalam dunia kerajaan. Jadi ini bagian dari rencana Allah.
Allah mengutus roh yang menyusahkan untuk mengganggu Saul, bukan karena Allah hatinya sempit, “O, Saya sudah memberkati kamu, Saya sudah memilih kamu, Saya sudah mengangkat kamu, Saya sudah berbelaskasihan, tapi kamu terus mengeraskan hati. Sekarang saya hancurkan kamu, Saya kirim roh yang jahat untuk menghancurkan kamu.” Bukan seperti itu. Allah tidak balas dendam kayak begitu. Ketika Allah mengirim roh yang menyusahkan ini kepada Saul, itu supaya kehendak Dia, rencana Dia, bisa digenapkan; supaya Daud yang sudah diurapi, bisa masuk/dilibatkan ke dalam dunia kerajaan Israel. Kita sangat bisa mengaplikasikan ini dalam kehidupan kita; ketika kita mengalami kesengsaraan/kesulitan di luar ekspektasi kita, kita tidak perlu berpikir bahwa Tuhan membenci kita, kita juga tidak perlu berpikir ini adalah disiplin Tuhan. Sering kali ini jawaban yang kita terima dalam gereja, waktu kita tanya, “Pak Pendeta, kenapa saya mengalami ini, kenapa saya sengsara, apakah saya berdosa?” maka jawabannya, “Tidak, ini adalah disiplin Tuhan bagi kamu, pengudusan bagi kamu.” Tetapi itu tidak tentu; ketika kita kembali ke Alkitab, roh yang menyusahkan ini dikirim kepada Saul dari Tuhan, untuk menggenapkan rencana Tuhan.
Dalam hal ini kita mungkin lalu mengatakan, “Tapi Saul ‘kan memang jahat, jadi kalau Tuhan mengirimkan roh yang jahat supaya menghancurkan dia, itu bisa diterima juga, masuk akal juga”. Tapi jangan lupa, dalam Perjanjian Baru, Kristus juga dihancurkan. Kenapa Kristus diremukkan? Kenapa Kristus harus sengsara? Apakah gara-gara Dia berdosa? Dia tidak berdosa. Apakah ketika Dia diremukkan, itu gara-gara Tuhan mendisiplin Dia? Yesus tidak perlu didisiplin, Yesus itu sempurna. Kesengsaraan yang Dia terima, pasti bukan untuk mendisiplin Dia. Tapi kenapa Yesus harus sengsara? Sederhana saja, karena kehendak Allah, rencana Allah, itu harus digenapkan di dalam Dia. Kalau kita mengenal Kristus, kalau kita di dalam Kristus, seharusnya kita bisa mengatakan, “Tuhan, kalau perlu sampai saya dihancurkan supaya kehendak-Mu digenapkan, lakukan.” Inilah doa Yesus; dan bukankah kita bilang kita mau serupa dengan Yesus. Inilah doa Yesus di Taman Getsemani, “Tuhan, kalau bisa cawan ini disingkirkan, tapi bukan kehendak-Ku yang terjadi melainkan kehendak-Mu”. “Kalau sampai saya harus dihancurkan/diremukkan supaya kehendak rencana-Mu yang kekal itu digenapkan, let Your will be done”, bisakah kita berdoa demikian? Sering kali doa kita arahnya sedikit berbeda. Kita mau Tuhan dipermuliakan, kita berdoa: “Tuhan, pakailah saya, supaya saya menjadi saluran berkat-Mu, supaya saya diperluaskan apapun yang saya miliki, supaya saya dipertumbuhkan, supaya nama-Mu dipermuliakan” –dan itu sudah pasti oke. Kita berdoa, “Tuhan bangkitkanlah gereja ini, luaskanlah gereja ini, tambahkanlah gereja ini, supaya nama-Mu dipermuliakan”, itu juga pasti oke, tapi sisi yang lain juga satu hal yang kita harus berani doakan: “Tuhan, kalau supaya nama-Mu dipermuliakan, memerlukan gereja ini dihancurkan/diremukkan, so be it; kalau supaya nama-Mu diterima lebih banyak orang, lebih banyak lagi orang yang diberkati, tapi itu membutuhkan saya dihancurkan, so be it.” Dalam bentuk apapun, kita mau Tuhan dipermuliakan; bukan hanya dalam pertumbuhan tapi juga kalau dengan kita dihancurkan maka rencana Allah bisa digenapkan, karena inilah juga yang dilakukan oleh Yesus, “Tuhan, kalau supaya rencana-Mu bisa digenapkan berarti Saya harus dibuang, let Your will be done.”
Ayat 15-16, ketika hamba-hamba Saul melihat Saul sengsara, mereka memberikan ide, “Tuan, suruhlah kami mencari seorang yang pandai bermain kecapi, dan apabila roh yang menyusahkan dari Allah itu menghinggapi kamu, ia harus memainkan kecapi sehingga engkau merasa tenang.” Bagian ini kedengarannya seperti takhayul, orang digganggu roh jahat, lalu ada yang main kecapi, dan tiba-tiba dia langsung sembuh, seakan-akan tidak masuk akal. Ini memang kepercayaan orang dalam dunia kuno, khususnya Timur Dekat Kuno, bahwa musik bisa mengusir roh jahat, jadi usulan ini fair-fair saja karena memang demikianlah budaya pada saat itu, namun yang paling mengherankan, Saul lalu sembuh; setiap kali Daud main kecapi, Alkitab menyatakan bahwa Saul jadi lebih tenang. Ini juga bukan pertama kalinya kitab 1 Samuel menulis tentang kuasa musik; dalam 1 Samuel 10 Tuhan bilang kepada Saul, “Nanti akan ada sekelompok nabi yang bernubuat dan mereka akan memainkan musik, dan pada saat itu Roh dari Allah akan menguasai kamu”. Jadi, ada semacam gambaran bahwa musik sungguh-sungguh berkuasa. Bagaimana menjelaskan hal ini? Kita bisa kembali kepada tafsiran para reformator; dalam hal ini saya mengutip Pendeta Billy. Ada 3 reformator (Luther, Calvin, dan Zwingli) menafsir bagian ini, dan ketiganya sepakat bahwa di sini Daud bukan hanya main kecapi tapi juga bernyanyi, bermazmur; jadi bukan murni intrumen melainkan instrumen dan kata-kata firman. Ini semua disepakati ketiga theolog tersebut, tapi dalam penafsirannya ada sedikit perbedaan. Bagi Luther, yang menyembuhkan Saul adalah firman, tapi firman yang diiringi oleh musik, tidak tanpa musik, meski pada akhirnya firman yang menyembuhkan dia. (Luther sangat mementingkan musik; bagi dia, di luar firman, musik menempati posisi kedua). Bagi Calvin, pada akhirnya tetap firman yang menyembuhkan, tetapi ini kebetulan saja (coincidence) rohnya pergi dan Saul sembuh, jadi jangan coba-coba kalau orang kerasukan lalu kamu main musik dan berharap rohnya bisa keluar. Bagi Zwingli, ini hanya suatu terapi (music therapy), karena faktanya setelah musiknya berhenti, Saul terganggu lagi. Bagi saya, ketiga tafsiran ini bisa kita terima, tapi setidaknya dari tafsiran Luther dan Zwingli, kita melihat mereka sungguh-sungguh mengakui kuasa musik, bahwa musik berkuasa; dan inilah yang harusnya bisa kita lihat juga.
Musik itu powerful. Musik bukan hanya mempengaruhi jiwa kita, mental kita, rohani kita, musik juga bisa mempengaruhi dan mengubah secara fisiologis. Bapak/Ibu mungkin pernah mengunjungi YouTube mendengarkan Healing Music 120 Hz, 99 Hz, semacam itu. Saya kadang-kadang sakit kepala luar biasa (splitting headache) dan makan obat juga tidak sembuh, akhirnya saya coba mendengarkan musik semacam itu. Musik semacam itu nadanya seperti monoton dari awal sampai akhir, selama 3 jam, namun believe it or not setelah saya dengar 30 menit, sakit kepala saya hilang; dan itu bukan kebetulan, tapi setiap kali saya sakit kepala, saya mendengarkan musik itu dan hilang sakitnya (sampai-sampai saya sudah save videonya off line di HP saya). Ini musik terapi, dan memang berkuasa. Musiknya mirip Gregorian chant (mungkin itu sebabnya orang-orang di biara penuh dengan damai, tidak pernah sakit kepala), musiknya healing, dan music is powerful. Kalau kita makan daging Kobe yang masuk mulut langsung lumer kayak mentega, ternyata sapinya tidak cukup cuma dipijit tapi juga harus dengar Mozart. Yang saya mau tekankan di sini, musik itu powerful; dan ini juga gambaran yang diberikan Alkitab, bahwa musik sungguh-sungguh mempengaruhi kita. Implikasinya apa? Kalau memang musik adalah hal yang powerful, kita harus berhati-hati dengan musik yang kita konsumsi, karena kita percaya itu bisa mengubah kita. Kita harus hati-hati dengan musik yang kita konsumsi di luar Gereja, apalagi di dalam Gereja, karena kita melihat ini ada dukungan Alkitabnya, ini bukan cuma invensi psikis manusia dengan teori-teori musiknya. Musik sungguh-sungguh bisa mengubah kita, inilah yang dipersaksikan oleh Alkitab.
Ayat 18-23, salah satu hamba Saul datang kepadanya, dan merekomendasikan Daud kepada Saul. Inilah caranya Daud kemudian untuk pertama kalinya dilibatkan dalam pekerjaan kerajaan Israel. Perhatikan ayat 18, cara hamba ini mendeskripsikan Daud: “Aku telah melihat salah seorang anak Isai, orang Betlehem, yang pandai main kecapi. Ia seorang yang gagah perkasa, seorang prajurit, santun bicara, bagus perawakannya. Tuhan menyertai dia.” Dari perspektif textual criticism, kalau kita meneliti teksnya, kita akan sadar bahwa deskripsi terhadap Daud ini semua adalah atribut seorang raja, yaitu disertai oleh Tuhan, gagah perkasa, seorang prajurit, bisa perang, bagus perawakannya –ganteng dalam arti capable, bisa kerja tuntas. Raja-raja disebut ‘bagus perawakannya’; bukan cuma Daud, Saul pun disebut ‘bagus perawakannya’, demikian juga Absalom. Ini adalah atribut-atribut seorang raja yang dengan sangat gampang langsung bisa dilihat oleh hamba yang nobody itu, bahwa Daud memiliki kualitas seorang raja; tetapi bagi hamba ini, Daud hanya cukup menjadi seorang pemusik. Ketika kualitas Daud begitu jelas untuk jadi seorang pemimpin/raja, Isai, ayahnya, hanya menganggap Daud cocok untuk menjaga kambing domba saja. Ada beberapa hal yang kita bisa renungkan di bagian ini. Pertama-tama, kita sebagai manusia sering kali hanya melihat apa yang kita mau lihat, kita hanya mendengar apa yang kita mau dengar. Karena apa? Karena kita ada biasnya. Inilah persis yang terjadi pada Kristus. Kristus melakukan mukjizat, Kristus mengabarkan firman dengan kuasa; dan hal ini dikutip orang-orang yang kenal Dia, orang-orang sekampung Dia, “Bukankah Dia melakukan mukjizat, bukankah Dia berkuasa, … “, yang kalau kamu bisa lihat itu, maka simpel saja, berarti Dia Mesias, tetapi mereka bilang, “Tidak, He is nobody, Dia seorang tetangga saja.” Kenapa? Karena ada bias. Dalam hal ini kita semua harus rendah hati, karena inilah juga yang sering kali kita lakukan, kita hanya mau memilih apa yang kita suka.
Mungkin Bapak/Ibu pernah lihat dalam sosmed ada semacam video, dan videonya mengeluarkan suara yang kacau, “zzzzrrrrttt”, kayak suara statik. Di video itu ada kata-katanya, “bumble bee” dan “apple juice”. “Bumble bee” dan “apple juice” kalau diucapkan, suaranya berbeda, tapi tergantung apa yang kita baca dalam hati kita, maka demikianlah suara yang kita dengar. Kalau kita baca dalam hati kita “bumble bee”, maka kedengaran suaranya “bumble bee, bumble bee, bumble bee”; kalau kita baca dalam hati kita “apple juice”, maka yang muncul dalam telinga kita “apple juice, apple juice, apple juice”. Kenapa demikian? Karena perspektif kita ada biasnya, humans see what they wanna see, hear what they wanna hear. Kita ini memilih sering kali dengan dibutakan oleh bias kita. Itulah juga yang sering kali terjadi dalam Gereja dan dalam kehidupan kita, entah bias positif atau negatif. Kalau kita bias positif terhadap seseorang, sorry saja, kentutnya juga serasa parfum, apapun yang dia lakukan jadi harum walaupun faktanya sebaliknya, tapi kita tidak peduli, faktanya kita pelintirkan sehingga semuanya harum. Sedangkan kalau kita bias negatif terhadap seseorang, biarpun dia sudah sesetia mungkin menjalankan firman Allah seperti Yesus, taat kepada Allah, melakukan pekerjaan Allah, kita menganggap itu semua sampah. Dalam hal ini, kita semua sangat lemah. Inilah yang dilakukan oleh Isai, inilah yang dilakukan oleh hamba tak bernama di bagian ini, bahwa Daud jelas memiliki atribut seorang raja, tetapi mereka bilang, “kamu main musik saja, itu bagian kamu; kamu jaga kambing saja, itu bagian kamu.”
Hal yang kedua, perhatikan bagaimana dalam cerita ini, orang yang dipilih, yang diurapi, justru melayani orang yang menolak Allah. Ini ironis. Dalam cerita ini, siapa yang dipilih dan siapa yang ditolak, siapa yang diperkenan dan siapa yang tidak lagi dipakai, itu jelas; Daud yang dipilih, Daud yang diurapi, Daud yang seharusnya menjadi raja, tapi sekarang Daud yang harus melayani Saul, yang membenci Allah, yang menolak Allah. Harusnya Saul yang melayani Daud, karena Saul sudah dibuang, Roh Allah sudah menyingkir darinya dan Saul tidak ada hak apapun untuk dilayani oleh orang yang diurapi Allah, tapi yang terjadi sebaliknya, upside down, ironis. Namun inilah cerita Alkitab. Ketika kita memikirkan seluruh sejarah keselamatan, pekerjaan Allah, kita akan melihat pekerjaan Allah dipenuhi dengan ironi seperti ini, everything is upside down.
Sangat ironis, Pencipta dunia harus menjadi manusia, dan menjadi yang paling miskin, paling rendah. Sangat ironis, guru mengambil status budak, mencuci kaki murid. Itu ironis, doesn’t make sense, upside down! Sangat ironis, Dia yang tidak berdosa harus dijadikan dosa, menanggung dosa yang lain. Itu ironis, not supposed to be like that! Sangat ironis, Pribadi yang paling dikasihi Allah, justru yang paling sengsara; He, whom God loves most, suffers most, Dia ini yang paling diperkenan Allah, paling dikasihi Allah, dan paling mengasihi Allah, justru Dia yang paling sengsara. Sangat ironis, setelah Yesus mati dan bangkit, menjadi Raja, Dia tetap masih harus panjang sabar terhadap dunia ini, Dia harus tetap melayani dunia ini, what kind of thing is this?? Kalau Dia sudah naik menjadi Raja, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, harusnya seluruh dunia berlutut menyembah Dia, tapi koq, sekarang Dia menjadi Raja yang melayani kita?? Raja yang panjang sabar kepada kita, yang harus sabar terhadap orang-orang yang mengeraskan hati dan menghujat Dia; ini Raja apa?? Ironis. Sangat ironis, di dalam pekerjaan Allah, kitalah yang seharusnya melayani Allah, namun kita tahu bahwa di belakang segala sesuatu justru Allah yang melayani kita. Keselamatan, pekerjaan Allah, itu benar-benar upside down, benar-benar sangat ironis. Dan di dalam Kristus, inilah panggilan kita, inilah yang harus kita hidupi. Kalau kamu mau jadi yang pertama, jadilah yang terakhir. Kalau kamu mau jadi yang paling besar, jadilah budak bagi semua orang. Kalau kamu mau hidup, mati. Semuanya upside down. Tapi inilah jalan Kristus, inilah yang kita terima di dalam Kristus.
Terakhir, kita melihat walaupun Daud memiliki kualitas, memiliki atribut-atribut yang cukup untuk menjadi raja, tapi bukan kualitas itu yang mempertahankan dia sebagai raja. Coba perhatikan sejak awal, sebelum Daud melakukan apapun, Roh Tuhan turun atas dia untuk seterusnya. Sebelum dia melakukan apapun, sudah ada kesetiaan Tuhan di dalam diri dia. Ini menjelaskan kepada kita kenapa Saul ditolak dan Daud tidak, yaitu karena Roh Kudus dari awal sudah ada di dalam dia, dan sampai seterusnya; hanya karena kasih dan kesetiaan Tuhan saja, Daud tetap bisa menjadi raja. Kalau kita pikir-pikir, antara Daud dan Saul tidak ada yang lebih baik, Daud memperkosa Batsyeba dan membunuh suaminya. Lalu kenapa Saul ditolak, Daud tidak ditolak? Semata-mata gratia, sola gratia, hanya gara-gara kasih kesetiaan Allah. Itu bukan gara-gara dia hebat dan ada kualitas “saya bisa memimpin, saya bisa perang, saya bisa me-manage, dunia ini perlu saya, Tuhan juga perlu saya, maka saya tetap terus-menerus menjadi raja karena tidak ada penggantinya”. O, tidak, sorry saja, it’s only by grace. Dan, inilah yang harus kita akui, tidak peduli seberapa besar dan hebatnya kita, kita ini tidak sempurna, kita ini ada cacatnya, kita ini ada kekurangannya, kita ini ada dosanya. Kalau kita masih bisa dipakai oleh Tuhan, melayani Tuhan, yang menopang bukanlah kualitas kita, atribut kita; yang semata-mata menopang kita untuk bisa terus dipakai Tuhan, adalah kasih karunia Allah dalam Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading