Hari ini adalah Hari Minggu Trinitatis (Trinity Sunday), Minggu pertama setelah Pentakosta. Ada tradisi yang merenungkan Roma 11, khususnya ayat 36, yang dikaitkan dengan Trinity Sunday. Perspektif ini menarik, karena di bagian ini memang muncul 3 kali, yaitu dalam perkataan “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia”. Di sini kita tidak mau terlalu kaku menafsirkan ini Pribadi Pertama, lalu Pribadi Kedua, dan kemudian Pribadi Ketiga –meski bisa juga dilihat seperti itu– tapi dalam pengertian sama seperti waktu kita mengatakan tentang penciptaan, bahwa penciptaan di-ascribed kepada Bapa namun Anak dan Roh Kudus juga bersama dengan Bapa mencipta; jadi maksudnya bukan dalam pengertian kapling-kapling melainkan dalam pengertian kesatuannya (unitas).
Kita sudah sering sekali mengatakan, waktu mempelajari doktrin, kita tidak tertarik belajar doktrin hanya di dalam presisi formulasi. Presisi formulasi itu satu hal, Kekristenan bukanlah agama “sybolet”, bukan agama ‘what is the password? and the password is una essentia tres personae, lalu “OK, Saudara boleh masuk, password-nya cocok”’. Kita tidak tertarik mempelajari Tritunggal dalam pengertian seperti itu, karena perjumpaan dengan Tritunggal sifatnya transformatif dan reflektif. Perjumpaan dengan Tritunggal membawa kita untuk diubahkan; tidak ada orang yang berjumpa dengan Tritunggal dan tidak diubahkan. Mereka yang merasa mengerti dan mengenal Tritunggal tapi kehidupannya tidak berubah, mereka sebetulnya tidak mengenal Tritunggal. Perjumpaan dengan Allah yang sejati, tidak mungkin tidak mengubahkan. Memang perubahannya tidak selalu harus positif –ini aspek yang kita juga boleh bicarakan– perjumpaan dengan Allah akan membawa kepada salah satu dari dua ini: memberkati, atau mendatangkan kutuk –yaitu bagi mereka yang mengeraskan hati, yang tidak peduli. Jadi, tidak ada perjumpaan dengan Allah yang tidak berakibat apa-apa.
Formula Trinitarian sebagaimana tadi kita dengar dalam Votum, yaitu dari 2 Korintus 13:13, setting in book atau konteksnya adalah Benediction (doa berkat). Waktu orang berjumpa dengan Tritunggal, sikap hatinya harusnya terbuka untuk berkat Tuhan, karena Allah Tritunggal adalah Tritunggal yang memberkati; kalau tidak mendapatkan berkat, berarti dia mendapatkan kutukan. Sekali lagi, di sini tidak ada kategori ‘doesn’t matter’; perjumpaan dengan Tritunggal yang tidak ada efeknya, itu tidak ada. Seperti juga dalam Perjamuan Kudus, Paulus mengatakan supaya setiap orang menguji dirinya supaya waktu dia berbagian di dalam Tubuh dan Darah Kristus, dia sungguh-sungguh diberkati, karena jika tidak, Perjamuan Kudus menjadi kutukan baginya, yaitu bagi orang yang tidak mengakui Tubuh Tuhan, yang mempermainkan Perjamuan Kudus, yang menyangkali manfaatnya, yang menolak Kristus. Bagi orang yang menolak narasinya, Perjamuan Kudus bukan menjadi berkat, tapi menjadi kutukan.
Jangankan perjumpaan dengan Allah, di Perjanjian Lama kita membaca cerita Abraham waktu dia dipanggil (Kejadian 12), di situ dikatakan kepada Abraham “kamu akan menjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi”. Lalu apa yang terjadi kalau gagal menjadi berkat? Dikatakan ‘yang memberkati kamu, akan diberkati, yang mengutuki kamu, akan dikutuk’; jadi pilihannya dua: memberkati atau mengutuki. Betapa menakutkan kehadiran Abraham. Orang Kristen, kalau kehadirannya tidak memberkati maka dia unleash kutukan, karena kita membangun cerita kita di dalam panggilan Israel, dan panggilan Israel adalah panggilan Abraham. Dan, betul saja kita membaca di kitab Kejadian itu, tidak lama setelah Tuhan memanggil Abraham dan dia diberi kesempatan untuk memberkati bangsa lain, yaitu Mesir, lalu karena ketidakberimanannya, karena ketakutannya, karena keegoisannya, dia melepaskan kutukan di sana. Abraham bukan mendatangkan berkat bagi Firaun beserta seisi rumahnya dan negerinya, tapi mendatangkan tulah di sana, gara-gara dia takut mengakui Sarai sebagai istrinya. Dia menjadi egois, dia berpikir tentang dirinya sendiri, dia terlalu kuatir akan kehidupannya sendiri, akhirnya gagal menjadi berkat. Gagal menjadi berkat, lalu apa? Gagal menjadi berkat, itu bukan berarti ‘ya sudah, orang lain tidak diberkati jadinya, sayang sekali’ –bukan demikian– gagal menjadi berkat berarti unleash tulah di sana. Ini tentang Abraham, dan Abraham bukan Allah; perjumpaan dengan Abraham saja seperti ini, apalagi perjumpaan dengan Allah! Apakah mungkin perjumpaan dengan Allah tidak memberikan efek apa-apa?? Jelas itu tidak masuk akal dan tidak mungkin. Orang yang mengabaikan Allah, lalu dalam kehidupannya sekadar ‘ya sudah, paling dia tidak menerima berkat Tuhan’, itu tidak mungkin. Tidak simpel seperti itu. Paulus mengatakan di dalam salah satu suratnya, “terkutuklah mereka yang tidak mengasihi Kristus” –betapa serius kalimat itu. Artinya, mereka yang tidak mengasihi Kristus, bukan ‘ya sudah, sayang sekali’, bukan sekadar sayang sekali karena Kristus jadi berkurang satu orang yang mengasihi Dia, bukan itu, melainkan terkutuk orang yang seperti itu, yang tidak mengasihi Kristus.
Perjumpaan dengan Allah Tritunggal, yang tidak mengubahkan, yang tidak memberikan efek, itu tidak mungkin. Tidak ada konsep seperti itu di dalam Alkitab. Perjumpaan dengan Allah Tritunggal, kalau tidak memberkati —seperti di dalam 2 Korintus 13:13— maka akan mendatangkan kutukan. Karena Allah adalah Allah yang kudus, Allah yang suci, Allah yang mulia, maka perjumpaan dengan Dia selalu membawa akibat. Hopefully, dengan takut dan gentar, waktu kita berurusan dengan Allah Tritunggal, yang kita terima adalah berkat, dan bukan kutukan; waktu kita Perjamuan Kudus, yang kita terima adalah berkat, dan bukan kutukan; waktu kita berurusan dengan Yesus Kristus, yang kita terima adalah berkat, dan bukan kutukan.
Sementara di dalam 2 Korintus 13 formula Trinitas adalah dalam konteks benediction, di dalam surat Roma pasal 11 konteksnya doksologi. Kalau di dalam Liturgi, benediction dan doksologi dekat sekali; ada doksologi, ada benediction. Jadi 2 Korintus 13 membicarakan perjumpaan dengan Tritunggal di dalam sikap orang yang membuka dirinya untuk diberkati oleh Tuhan; sedangkan dalam surat Roma kita membaca bahwa orang yang berurusan dengan Tritunggal, yang bersaksi akan Tritunggal, dia memberi segala kemuliaan kepada-Nya, masuk ke dalam gerakan Trinitatis (Trinitarian movement).Apa artinya? Segala sesuatu dari Dia, lalu oleh dia (melalui Dia), dan kembali kepada Dia —ini namanya gerakan trinitatis —maka bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.
Sebelum membicarakan ayat 36 ini, kita mau mengaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya. Seperti Saudara ketahui, Roma pasal 11 ini intinya Paulus mempersaksikan bagaimana Allah bergerak; bangsa Israel –bangsa pilihan-Nya– menolak, tidak menghidupi narasi Kerajaan Allah, sehingga Kerajaan itu akhirnya diserahkan kepada bangsa-bangsa lain (gentiles), dan justru dari ketidaktaatan bangsa pilihan tersebut, bangsa-bangsa lain beroleh kasih karunia, Injil tersebar luas. Ini suatu pola yang Paulus katakan ‘terlalu dalam hikmat seperti ini’. Kita ini lebih gampang menerima pekerjaan Tuhan melalui hal-hal yang positif, melalui orang-orang yang taat, yang berdoa, yang menjalankan firman Tuhan, yang saling mengasihi, semuanya jujur, semuanya rendah hati, semuanya gandum dan tidak ada lalang. Tapi coba Saudara baca lagi di Alkitab, Yesus Kristus itu disalibkan, dan di dalam cerita tersebut ada Yudas, ada imam-imam kepala, ada orang-orang yang sangat penuh kebencian. Itu semua ada di dalam cerita rencana keselamatan Allah. Bahkan di antara murid-murid pun ada yang menyangkal –dan ini termasuk di dalam cerita penderitaan Kristus. Kita pikir, koq yang seperti itu dipakai juga?? Kenapa tidak pakai orang-orang yang taat saja seperti Nikodemus, murid-murid?? Kenapa ya, ada hal-hal kayak begini?? Kenapa sih tentang pekerjaan Tuhan ini tidak bikin ceritanya bersih, steril, murni?? Omong-omong, apa artinya murni; murni menurut versi siapa?
Paulus sendiri bukan gampang-gampang saja menerima hikmat Allah ini, dia sadar dirinya sangat terbatas. Setelah dia menuliskan 11 pasal risalah teologis yang lumayan kompleks dan dalam dan rumit, dia mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Paulus mengatakan kalimat ini bukan secara blank, dia bukan orang yang secara teologis tidak tahu apa-apa lalu bilang ‘alangkah dalamnyakekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah’ –bukan demikian. Kita tahu dia orang yang sangat terdidik, dia memiliki pemikiran teologis yang sangat dalam dan limpah, bahkan hal ini juga dikonfirmasi oleh Petrus dengan menggatakan ‘di dalam pemikirannya (Paulus) ada pemikiran-pemikiran yang tidak mudah untuk dipahami’. Jadi, teologinya Paulus itu profound, tapi kemudian dia mengatakan kalimat tadi, ‘alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah’ –dan ini berkaitan dengan pengenalan akan Tritunggal. Barangsiapa mengatakan dirinya mengenal Allah Tritunggal, berarti dia menyadari keterbatasan pengetahuannya, keterbatasan hikmatnya. Atau secara sederhana, orang yang sok tahu itu kayaknya dia tidak mengenal Tritunggal, karena ‘sok tahu’ dengan ‘pengenalan akan Tritunggal’ sama sekali tidak kompatibel.
Paulus mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Di sini termasuk penerimaan akan kedaulatan Allah yang menghadirkan peristiwa-peristiwa negatif di dalam kehidupan Saudara dan saya, di dalam kehidupan berjemaat, di dalam kehidupan Gereja; segala kekacau-balauan ini ternyata Tuhan pakai juga. Orang seperti Yudas, ternyata dipakai juga, hanya saja –meminjam bahasa Pdt. Stephen Tong– dia ini hamba Tuhan yang negatif. Pekerjaan Tuhan tidak pernah gagal, Dia akan jalan terus, karena gerakan Trinitatis ini –dari Dia, oleh Dia, kepada Dia– tidak ada yang akan bisa menghalanginya, apapun itu. Kekacauan seperti apapun, Tuhan akan bergerak terus, jalan terus, dan Dia pasti berhasil. Kebahagiaan Saudara dan saya adalah ketika kita berbagian di dalam gerakan ini, gerakan dari Dia –artinya kita mengakui –dan oleh Dia –bahwa yang menggerakkan pun adalah Dia sendiri– dan kembali kepada Dia. Kalau Saudara dan saya berbagian di dalam gerakan ini, kita berbahagia; tapi sekali lagi, pertama-tama apakah kita menyadari ketidakbijaksanaan kita, keterbatasan pengetahuan kita? Atau kita justru merasa jadi orang yang mengerti, orang yang merasa sanggup menasehati??
Saudara mungkin berkata, “Saya tidak pernah lho berusaha menasehati Tuhan”; lagipula gereja kita ini memang bukan gereja yang seperti mengatur-atur Tuhan, kita memang bukan diajarkan seperti itu. Tapi begini, penghayatan kita akan Allah, tentang bagaimana kita memosisikan diri di hadapan Allah, itu juga terefleksi dalam bagaimana kita memosisikan diri di hadapan sesama. Waktu Saudara berurusan dengan sesama, Saudara posisinya apa, penasehat atau yang dinasehati? Ada orang yang suka menasehati, tapi tidak bisa mendengar/menerima nasehat; orang ini apakah di hadapan Allah rendah hati? Mungkin dia dihadapan Allah Tritunggal mengatakan, “O, Tuhan, saya ini kurang hikmat, saya memang sangat terbatas pengetahuannya, saya tidak mau menjadi penasehat-Mu”, tapi kemudian ketika berbalik kepada sesamanya, dia terus saja menasehati; bukankah ‘gak nyambung?? Jadi dalam hal ini kita jangan hanya melihat hubungan vertikal lalu merasa ‘saya tidak pernah koq, berusaha jadi penasehatnya Tuhan’, tapi di dalam kehidupan kita sendiri, kita tidak pernah bisa menerima nasehat, kita keras kepala, kita merasa benar sendiri, kita sulit menerima kritik, kita terus saja membenarkan diri. Kalau demikian, mana Allah Tritunggalnya?? Di mana kita bicara tentang Allah Tritunggal dalam hal ini??
Jika kita mengenal Allah Tritunggal, maka kita harusnya seperti Paulus yang menyadari dirinya tidak mampu untuk menyelami dan menyelidiki jalan-jalan Tuhan, dia tahu pikirannya sangat terbatas, dia tidak sok tahu, dia tidak berusaha menjadi penasehat Tuhan. Pemosisian diri ini penting sekali, di dalam kaitan pengenalan akan Allah Tritunggal. Tidak ada orang yang bisa mendikte Tuhan, itu sudah pasti, tapi juga tidak ada orang yang bisa mengoreksi Tuhan, ‘Tuhan, bisa ‘gak sih tolong dibersihkan ya, peristiwa-peristiwa seperti itu kayaknya mengganggu, ‘gak perlu ada; Tuhan, bisa ‘gak bikin Gereja gandum saja, ‘gak usah ada lalang; boleh ‘gak kalau di dalam Gereja ‘gak usah ada kemunafikan sama sekali’. Dalam hal ini, yakinkah bahwa kita tidak pernah jadi penasehat Tuhan?? Dari mana kita tahu bahwa kita tidak berusaha menasehati Tuhan? Jawabannya, apakah kita bisa menerima pekerjaan Tuhan yang tidak terselidiki dan tidak terselami itu.
Tentu saja kalimat tadi artinya bukan ‘saya mengerti kedaulatan Tuhan, pekerjaan Tuhan jalan terus; kalau begitu saya rusak saja, saya banting-banting, saya celakakan tidak apa, karena toh semuanya dalam kedaulatan Tuhan’ –kalau seperti itu, celakalah mereka yang menjadi seperti Yudas. Bukan ke sana penghayatannya. Waktu bicara tentang kedaulatan Tuhan, tentang hikmat Allah yang tidak terselami dan tidak terselidiki, itu sebetulnya menghibur kita, bahwa meskipun ada kekacauan, Tuhan bisa menjadikannya sedemikian rupa untuk menyukseskan rencana-Nya, dengan demikian Saudara dan saya tidak usah panik atau kuatir. Kita tenang di dalam hadirat Tuhan karena segala sesuatu adalah dari Dia. Saudara, ‘segala sesuatu’ adalah segala sesuatu, tidak usah dikorting. Di dalam kitab Ayub, ada beda antara Ayub dan istrinya; Ayub menerima segala sesuatu adalah dari tangan Tuhan, termasuk yang buruk pun di dalam kedaulatan Tuhan, artinya dari Tuhan, sedangkan istrinya punya konsep bahwa yang baik adalah dari Tuhan, tapi yang buruk bukan dari Tuhan. Betapa berbeda iman Ayub dan iman istrinya. Istrinya cuma mau menggambarkan Tuhan sebagai yang memberikan hal-hal baik, sedangkan kalau ada lalang, itu bukan dari Tuhan tapi dari setan; kalau ada sakit penyakit, itu bukan di dalam kedaulatan Tuhan tapi setan yang memberikan; kalau ada kekacauan, hal-hal buruk terjadi, itu bukan dari Tuhan tapi dari setan. Mulai kapan Tuhan itu bertakhta di surga bersama dengan setan?? Di mana dalam Alkitab ada cerita seperti itu?? Kenapa kita sulit menerima bahwa yang buruk pun dari tangan Tuhan? Justru di situlah ujian dari ‘kedaulatan Tuhan’. Kalau Saudara sedang lancar, sedang dalam keadaan yang nyaman, sedang berhasil, dsb., mungkin lebih gampang mengakui kedaulatan Tuhan dan mengatakan ‘segala sesuatu dari Dia’. Tapi waktu mengalami seperti Ayub, dan tetap mengatakan kalimat doksologis ‘segala sesuatu adalah dari Dia’, itu sulit. Sekali lagi, iman kepada Tritunggal itu hidup atau tidak hidup dalam kehidupan Saudara? Apa artinya mengatakan ‘segala sesuatu adalah dari Dia’?
Ada seorang bapa Gereja, kalau tidak salah Yohanes Krisostomus, mengatakan bahkan di dalam Tritunggal sendiri pun, kalimat tadi bisa dikatakan ‘segala sesuatu adalah dari Dia’ (maksudnya Pribadi Pertama), bahwa Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga juga dari Pribadi Pertama. Ini tentu bukan seperti yang diajarkan Arius bahwa ada suatu waktu ketika belum ada Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga –bukan itu artinya; sejak kekal ketiga Pribadi ada bersama-sama. Namun waktu dikatakan bahwa Allah Anak diperanakkan dari Bapa, Bapa memperanakkan Anak, berarti Anak pun juga adalah dari Bapa, Roh Kudus keluar dari Bapa (atau kalau dalam formulasi Barat/Latin, Roh Kudus dari Bapa dan Anak). Segala sesuatu adalah dari Bapa, bahkan Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga pun dari Bapa, apalagi semua ciptaan. Sedangkan Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga saja dari Bapa, apalagi semua yang diciptakan, sudah pasti dari Bapa. Dalam konsep ini, Belgic Confession, di antara reformed confessions yang lain, waktu membicarakan tentang Bapa (The Father), menekankan bahwa The Father is the source of all things (Bapa adalah sumber dari semuanya).
Tadi kita mengatakan, Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga pun dari Bapa, apalagi seluruh ciptaan, apalagi Saudara dan saya, bahkan bukan hanya hal-hal yang baik tapi juga hal-hal yang buruk kita musti belajar menerimanya bahwa itu pun dari tangan Bapa (kitab Ayub); kalau Saudara bisa berpikir seperti ini, Saudara memang mengenal Tritunggal, dan Saudara harus terus bertumbuh. Orang yang tidak bertumbuh, dia tidak bisa melihat hal ini, dia seperti istrinya Ayub yang menganggap hanya hal-hal baik saja yang dari Bapa, sedangkan yang tidak baik sebetulnya bukan dari Bapa, mungkin dari setan atau dari orang lain, dari orang jahat, dan bukan dari Bapa. Akhirnya dia tidak merefleksikan pengalamannya itu di hadapan Allah. Dia jadi jengkel sama orang lain, ‘yang ini dari orang jahat, yang itu dari setan, yang ini dari si orang fasik itu, dsb.’, tapi tidak ada deal with The Father. Di sini saya boleh mengatakan, orang yang konsepnya seperti ini, dia orang yang manja (spoiled) secara spiritual. Kenapa demikian? Karena dia berpikir, Tuhan cuma boleh mendatangkan yang baik saja menurut versinya dia. Istilah ‘segala sesuatu’ bagi dia adalah ‘hanya yang baik menurut saya’, yang betul-betul dari Bapa; ‘kalau saya sehat, saya mengakui itu betul dari Tuhan; kalau saya kaya-berhasil-sukses, kalau saya dipuji dan dimengerti, itu dari Tuhan.’ Tapi, begitu disalah mengerti, ‘ah, itu kayaknya dari setan, deh’ –Bapa mendadak jadi hilang dalam hal ini, ‘segala sesuatu’-nya jadi berubah. Ini persis seperti istrinya Ayub, yang mengatakan “kutukilah Allah, dan matilah”, karena sudah tidak tahan dan tidak bisa men-sinkron-kan antara kedaulatan Allah dengan penderitaan. Penderitaan, entah bagaimana lebih gampang untuk dikatakan berasal dari ‘bukan Allah’, misalnya dari setan, akhirnya dia berpikir Allah seperti itu adalah Allah yang hanya bisa –dan boleh– memberikan yang baik saja, tidak ada boleh ada hukuman, tidak boleh ada didikan, tidak boleh ada pembentukan,dsb. Apa tidak spoiled, spiritualitas yang seperti ini?
Orang yang terhadap orangtuanya dia berpikir bahwa dirinya cuma boleh dibela-belai saja, tidak boleh dipukul sama sekali, tidak boleh dimarahi, orangtuanya tidak boleh menghardik dia, cuma boleh mengatakan kalimat yang lembut, apa tidak spoiled anak seperti ini?? Dan alangkah bahayanya kalau yang seperti ini diterapkan dalam hubungan kita dengan Allah, bahwa Allah juga harus seperti itu, maksudnya supaya memenuhi jiwa saya yang suka dimanja. Allah tidak bisa dinasehati seperti itu. Saudara bukan penasehatnya Allah. Saudara jangan menasehati Allah ‘jadilah seperti itu, berikanlah hanya yang baik saja kepada saya; dan kalau ada yang buruk terjadi dalam kehidupan saya, saya akan mengatakan itu bukan dari Engkau’. Sekarang Saudara lihat, kita bilang bahwa kita tidak pernah menasehati Allah; apa betul demikian?? Menasehati Allah dalam pengertian ‘duduk di sini, saya mau menasehati Kamu’, tentu saja kayaknya tidak pernah, itu keterlaluan congkaknya, tapi waktu kita sulit menerima hidup, itu somehow seperti menasehati Allah. Kayaknya rencana-Nya ada yang keliru, deh; kenapa Tuhan memberikan kepada saya kesulitan ini dan itu, dsb. Kenapa musti ada lalang dalam Gereja, kenapa musti ada Yudas, kenapa musti ada Petrus yang menyangkal, kenapa murid-murid meninggalkan Yesus yang disalib, kenapa, kenapa, kenapa, … ? Kenapa tidak semuanya setia di sana, ‘kan gambarannya jadi lebih rapi, lebih enak dilihatnya, lebih pleasant. Tapi Allah bukan pleasantness; adalah berhala kalau kita mau memaksakan gambaran pleasantness pada Allah, itu bukan Allah yang asli yang ada di Alkitab; dan kita tidak bisa menasehati Dia.
Ayat 35, “Siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?” Ini sederhana; siapa bisa memberikan sesuatu kepada Allah lalu Allah jadi berutang dan harus membalas/menggantikannya, karena kita yang berinisiatif memberikan kepada Allah? Saudara, kalau pun ada yang bisa kita berikan kepada Allah, itu semua sudah kita terima sebelumnya dari Allah, maka selanjutnya dikatakan “sebab segala sesuatu adalah dari Dia”. Inilah namanya pengenalan akan Tritunggal.
Dalam pengenalan akan Tritunggal, Saudara tahu bahwa waktu Saudara bisa memberi, itu pun karena Saudara terlebih dahulu menerima dari Tuhan —karena memang segala sesuatu dari Tuhan. Tapi dalam kehidupan kita, berapa banyak Saudara dan saya menghayati seperti ini? Waktu kita memberi sesuatu, waktu kita melayani, waktu kita menolong orang lain, kita merasa seperti ada jasa, lalu kita jadi tersinggung kalau orang tidak ingat kebaikan kita. Yang seperti itu, apa Saudara pikir adalah pengenalan akan Tritunggal?? Apa Saudara pikir itu adalah pengenalan akan Allah yang ‘segala sesuatu adalah dari Dia’?? Bukankah tidak kompatibel jadinya.
Kita betul-betul tidak tertarik dengan pemahaman doktrin yang tidak ada penghayatannya; itu bukan Kekristenan, itu Kekristenan palsu. Itu fake Christianity! Yang cuma belajar doktrin lalu mengawang-awang di atas, sedangkan apa penghayatannya, apa internalisasinya, semuanya tidak ada dan totally different, itu schizophrenic! Katanya mengaku mengenal Tritunggal tapi dalam kehidupan tidak ada jejak-jejaknya sama sekali. Gampang tersinggung. Merasa berhak; persis seperti dikatakan ayat 35, merasa harus digantikan, ‘saya sudah berbuat ini, saya sudah berjasa ini, lalu apa balasannya, saya digantikan apa?’ Saudara yakin ini pengenalan akan Tritunggal?? Kalau Saudara tidak mendapatkan apa-apa, it’s just correct, karena Saudara dan saya ini orang berdosa. Spurgeon (kalau tidak salah), pernah mengatakan, kalau kamu difitnah orang, jangan marah, karena kita tahu jauh di lubuk hati kita bahwa kita ini lebih jelek daripada yang diomongin orang lain. Tapi Saudara dan saya tidak berpikir seperti ini ‘kan?? ‘Tidak bisa begini, saya tidak seperti itu! ini harus dibereskan. Saya tidak sejelek yang orang pikir!’ –benarkah Saudara yakin demikian?? Berapa banyak kelemahan yang ada pada Saudara dan saya yang orang lain tidak pernah tahu, itulah yang dimaksud Spurgeon. Waktu orang lain memfitnah kita, kalau mau jujur, kita jauh lebih buruk daripada yang bisa dibicarakan orang lain; dan yang tahu cuma kita sendiri, dan tentu saja Allah. Tapi kita bisa tidak tahu kalau kita tidak mau tahu, kita bisa tidak mengenal diri kalau kita tidak mau mengenal diri. Kita tidak bisa mengenal diri kalau selalu berpikir kita berhak –berhak untuk hal-hal yang sepertinya Tuhan wajib membalaskannya kepada kita– karena kita sudah melayani, karena kita sudah mencintai Dia, karena kita sudah perpuluhan, karena kita sudah mendukung pekerjaan Tuhan, dsb. Tetapi Alkitab mengatakan, “siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Tuhan harus membalasnya — sehingga Tuhan harus menggantikannya?”
Kita teringat di dalam Lukas, ada hamba yang setelah melayani tuannya, dia mengatakan, “Kami ini memang adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami cuma melakukan apa yang sepatutnya kami lakukan” –itulah pengenalan akan Tritunggal. Itulah yang kompatibel. Sebaliknya, yang setelah melayani lalu merasa harus mendapatkan sesuatu, harus ada keuntungannya, harus ada yang digantikan dari jerih lelahnya, itu orang yang kalkulatif, hubungannya dengan Tuhan transaksional. Ini bukan hubungan yang kovenantal tapi transaksional, persis seperti orang-orang yang kerja di kebun anggur yang masuk di awal, Tuhan diajak hitung-hitungan. Akhirnya, ‘ya sudah, kerja berjerih lelah, panas matahari terik menyengat, dan kamu kayaknya tersiksa, tapi kita sudah janjian satu dinar, itulah upahmu’ –transaksional. Berbeda dengan pekerja yang masuk terakhir; mereka ini sebetulnya tidak pantas menerima, tuannya tidak perlu mereka, untuk apa musti ada tambahan pekerja lagi karena tinggal satu jam, tanggung banget; tapi karena kasih karunia mereka diberi kesempatan untuk melayani, dan akhirnya diberikan pemberian yang tidak setimpal dengan apa yang mereka deliver –kalau boleh pakai istilah ini– dapat satu dinar juga. Itu namanya kasih karunia. Kehidupan kita ini, dikendalikan oleh spirit kasih karunia, atau spirit yang lain? Spirit yang lain, salah satunya adalah ayat 35 ini, memberikan kepada Tuhan, seolah-olah itu bukan sesuatu yang telah diterimanya dari Tuhan.
Ayub tidak mengerti Tritunggal seperti Saudara dan saya, kita ini jauh lebih diberkati daripada Ayub dalam arti Ayub belum mendapatkan wahyu sekomplit Saudara dan saya. Meski demikian, dia bisa mengerti gerakan Trinitatis ini meskipun samar-samar; dia pernah mengatakan, “Allah yang memberi, Dia yang mengambil”, dan setelah itu disusul dengan –dekat sekali dengan Roma 11:36 yang kita baca– “Terpujilah nama Tuhan”, doksologi. Allah yang memberi, Allah yang mengambil, terpujilah nama Tuhan; segala sesuatu adalah dari Dia, dan kembali kepada dia, termasuk kalau Tuhan mengambilnya kembali, karena memang miliknya Dia. Tapi bukankah dalam kehidupan Saudara dan saya, kita ini bisa obsesif dan posesif? Kita merasa Tuhan sudah memberikan sesuatu ini, lalu ini jadi seperti miliknya kita, kita jadi pegang erat-erat, kita tidak bisa share lagi. Tentu saja ada sense of belonging, tapi sense of belonging yang ngawur karena kita merasa itu memang dari kita sendiri, padahal pengertian Tritunggal mengatakan ‘segala sesuatu adalah dari Dia’. Sederhana saja kalimat ini, ‘segala sesuatu adalah dari Dia’ –akuilah bahwa itu dari Dia; dan karena itu adalah dari Dia, maka juga boleh –dan seharusnya– kembali kepada Dia. Ayub mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan –bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya”. Ayub ini belum terlalu mengerti Tritunggal, tapi sudah bisa mengerti gerakan Trinitatis seperti ini. Kalau kita yang mendapatkan progressive revelation lebih lengkap tapi tidak mengerti bagian ini, kita mau mencengkeram berkat Tuhan, dsb., kita seperti orang yang tidak mengerti Tritunggal.
Sekali lagi, Tuhan tidak berutang kepada kita. Kalau kita memberikan kepada Tuhan seolah-olah itu betul-betul berasal dari kita yang kita persembahkan kepada Tuhan, dan setelah itu Tuhan musti menggantikannya, itu bukan agama Kristen. Itu agama yang dari bawah, yang membuat Tuhan selalu berutang kepada kita, yang tergantung pada inisiatifnya kita, yang kita memberi lebih dahulu baru kemudian Tuhan membalasnya –selalu polanya seperti itu. Tapi tidaklah demikian; Paulus mengatakan, “segala sesuatu adalah dari Dia”.
Selanjutnya dikatakan di sini “oleh Dia”. Kalau yang pertama tadi, ‘dari Dia’, bicara tentang sumbernya (source), yang kedua ini bicara tentang sarana (means) –meminjam istilah dari salah satu commentary. Mungkin di sini Saudara terganggu, ‘jadi Pribadi kedua cuma sekadar means??’ Saya pernah diskusi cukup panjang tentang Yohanes 1 karena terjemahan di dalam bahasa Indonesia berbeda dengan terjemahan bahasa Inggris, misalnya dalam ESV, yaitu Yohanes 1:3, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” –yang kita tahu ini bicara tentang Logos. Dikatakan di sini ‘segala sesuatu dijadikan oleh Dia’, tapi di dalam ESV kalimatnya bukan pakai ‘oleh Dia’ (by Him), melainkan ‘melalui Dia’ (through Him). Memang tidak salah mengatakan Logos adalah Pencipta bersama dengan Bapa, tapi di dalam teologi tidak pernah ada istilah ‘creators’ (plural), yang ada adalah ‘creator’ (singular); dan creator adalah Allah Bapa. Kita mengaku dalam Pengakuan Iman Rasuli, “aku percaya kepada Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi”. Siapa pencipta langit dan bumi? Bapa Yang Mahakuasa. Lalu Bapa waktu mencipta, Dia mencipta melalui Logos, through the Logos. Bapa tidak pernah mencipta tanpa Firman, Bapa menciptakan melalui Firman (through Him). Dalam perdebatan tersebut, yang termasuk membicarakan Pengakuan Iman Nicea, memeriksa kembali bahasa aslinya yaitu Latin dan Yunani, juga mencek kasusnya pakai apa, dst., singkat cerita Yohanes 1 ini LAI memilih terjemahan pakai istilah ‘oleh’ namun sebenarnya yang lebih tepat adalah ‘melalui’ (through); dan ini bukan berarti merendahkan Allah Anak tapi bicara tentang ordo. Yang mencipta adalah Allah Bapa; Bapa mencipta melalui Sang Firman, Bapa mencipta bersama dengan Firman. Tentu tidak salah mengatakan bahwa baik Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah Pencipta; tapi waktu kita berbicara ascribed to The Father, adalah Bapa Yang Mahakuasa Pencipta langit dan bumi. Pribadi Pertama mencipta; dan waktu Dia mencipta, bukan tanpa Anak dan Roh Kudus.
Kembali ke konsep dalam Roma 11 tadi, inilah maksudnya segala sesuatu adalah dari Allah, dan yang menggerakkan pun adalah Allah. Yang membuat gerakan ini terjadi, kekuatannya, dinamitnya adalah ‘solus Kristus’, bukan ‘Kristus plus’. Selalu ada pencobaan untuk kita berusaha menggerakkan kehidupan kita sendiri, menggerakkan Gereja. Saudara, kita ini Reformed, kita percaya solus Kristus, dan kita paling jijik dengan konsep ‘Kristus plus’, bukan? Lalu apa penghayatannya di dalam kehidupan Saudara, siapa yang menggerakkan, solus Kristus atau Kristus plus? Atau lebih parah lagi, bukan Kristus plus tapi ‘saya’ –Kristus-nya tidak ada lagi. Waktu Saudara bekerja, siapa yang menggerakkan, solus Kristus atau Kristus plus? Gereja, siapa yang menggerakkan? Gerakan ini oleh siapa? Solus Kritus atau Kristus plus? Yang mana? Kalau tidak ada penghayatan seperti ini, pengertian kita ngambang sekali, nun jauh di sana, highly transcendental, tidak jelas sama sekali dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada kaitannya, totally schizophrenic Christianity. Koq bisa ya, menghidupi schizophrenic Christianity seperti ini?? Kehidupan Saudara dan saya ini, siapa sebetulnya yang menggerakkan? By whose power? En Christo (di dalam Kristus) atau di luar Kristus sebetulnya?Saudara jangan cuma bilang ‘ya, pasti di dalam Kristus, ‘kan keselamatan di dalam Kristus, ‘kan saya masuk surga nanti’ –cetek sekali konsep Injil kayak begitu. Bilang ‘di dalam Kristus’ tapi dalam urusan sehari-hari kayaknya ‘Kristus plus’; bukan ‘oleh Dia’ saja, tapi oleh Dia dan juga oleh saya, oleh istri, oleh anak, oleh orangtua, oleh mertua, dan lain-lain banyak sekali, jadi oleh siapa sebenarnya??
Ayat tadi bicara sederhana saja, ‘segala sesuatu oleh Dia’ (dikatakan ‘sebab segala sesuatu adalah dari Dia’, dan Saudara boleh sambung ‘sebab segala sesuatu oleh Dia’). Yang menggerakkan adalah Kristus, Allah sendiri, bukan Saudara dan saya –kecuali kita mengkhianati ‘solus Kristus’. Kecuali kita ganti, kita rasa ‘solus Kristus’ kayaknya salah, kayaknya harusnya Kristus dan saya, kayaknya Kristus dan paus, kayaknya Kristus dan pendeta, atau Kristus dan pendeta dan penatua, atau Kristus dan orang kaya, atau Kristus dan entah siapa. Yang mana sebetulnya? Apa sebetulnya artinya solus Kristus ini dalam kehidupan bermasyarakat, dalam kehidupan bekerja? Betulkah ini sesuatu yang kita hidupi secara nyata? Kalau ya, maka berbahagialah, artinya kita memang mengenal Tritunggal.
Yang ketiga, ‘kembali kepada Allah’. Ini pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Roh Kudus; Roh Kudus mengembalikan kepada yang permulaan, as it is in the beginning. Segala sesuatu dari Dia, dan akan kembali kepada Dia, kembali lagi kepada Allah. Kalau ‘segala sesuatu dari Dia’ adalah bicara tentang sumber (source), ‘oleh Dia’ bicara tentang the means yang oleh-Nya atau melalui-Nya gerakan tersebut terjadi, lalu gerakan ‘kembali kepada Dia’ ini menuju kepada telos (tujuan, purpose, goal) yang satu itu, yaitu Allah sendiri.
Kehidupan ini ada tujuannya; bukan just the beginning-nya yang benar, dalam arti cuma mengakui memang segala sesuatu dari Dia lalu setelah itu kita berjalan sesukanya arahnya mau ke mana ‘tapi saya mengakui lho, sola gratia’. Yang seperti itu, bukan pengenalan Tritunggal; gerakannya tidak menutup. Cuma mengakuisegala sesuatu dari Dia,lalu setelah itu terserah mengalir ke mana dan juga terserah siapa yang menggerakkan, itu seperti cuma Bapa, tidak ada Kristus, dan tidak ada Roh Kudusnya. Itu cuma ada Pribadi Pertama tapi Pribadi Kedua dan Pribadi Ketiga tidak ada, itu non-Trinitarian, cuma mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Dia.
Omong-omong, menurut commentary, kalimat tadi ternyata tidak orisinal-orisinal banget. Di dalam Stoikisme ada perkataan yang mirip seperti ini, misalnya dari Seneca, Philo. Jadi, kalau hanya mengatakan ‘segala sesuatu –berkat– berasal dari Allah’, saya percaya ini tidak distinctive Kristen. Saudara lihat kepercayaan lain, apa benar tidak bisa mengakui bahwa kebaikan dunia ini berasal dari Allah? Kayaknya bisa juga. Yang seperti ini tidak distinctive Kristen; tetapi, Trinitarian adalah distinctive Kristen. Itu sebabnya kalau iman kita mengakui segala sesuatu dari Dia tapi kita menggerakkan sendiri, atau ikut-ikutan menggerakkan yang katanya bersama dengan Kristus tapi sebetulnya semacam “membantu”, atau pinjam istilahnya Pendeta Stephen Tong, ‘try to help; contribute’, dsb., itu bukan solus Kristus jadinya. Itu non-Trinitarian, sebetulnya.
Ujian terakhirnya, ini kembali kepada Dia atau kembali kepada siapa? Siapa yang dimuliakan? Saya paling kuatir kalau yang dimuliakan bukan Allah, kalau yang dimuliakan adalah Gereja misalnya. Bukan berarti Gereja tidak dimuliakan, tentu saja secara eskatologis Gereja memang dimuliakan; tapi kalau dimuliakan dalam pengertian menggantikan dan menutupi Allah Tritunggal, ini celaka! Betul-betul celaka. Kita tidak bisa bersaing dalam hal ini –dan tidak boleh bersaing– dengan kemuliaan Allah. Kalau kemuliaan Allah digantikan dengan kemuliaan organisasi, atau kemuliaan apapun yang bukan Allah, artinya kita sebetulnya sedang melakukan penyembahan berhala. Ini gerakan liar namanya. Semua gerakan yang bukan gerakan Trinitatis, itu gerakan liar. Gerakan yang sejati adalah berbagian dalam gerakan Trinitatis ini: mengakui segala sesuatu dari Dia, yang menggerakkan adalah Allah sendiri (Kristus), dan Roh Kudus yang akan mengembalikan seluruh kemuliaan hanya bagi Allah. Itulah gerakan yang benar, dan itulah gerakan Trinitatis.
Hari ini adalah Minggu Trinitas; kita bukan hanya mau merenungkan rumusan-rumusan, formula-fromula, lalu setelah itu mengoreksi, ‘tiga Pribadi ya, jangan sampai keliru, bukan dua, bukan empat; dan ketiganya itu benar-benar berbeda, tidak saling confused, dst.’ –saya percaya itu semua penting– tapi lalu apa? Lalu kaitannya dengan kehidupan Saudara dan saya apa? Janganlah Kekristenan hanya jadi versi intelektual saja, versi rumusan-rumusan saja, versi “sybolet”/kata sandi/password yang benar saja, tapi kemudian kehidupan kita apa?? Ditransformasi di dalam pengertian yang seperti apa? Betulkah segala sesuatu kita akui berasal dari Tuhan? Lalu waktu Tuhan mengambilnya, bisa tidak kita mengatakan seperti Ayub, “bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya, terpujilah nama Tuhan”? Kalau segala sesuatu adalah dari Tuhan, dan Tuhan mengembalikannya kepada Tuhan, bukankah ini just correct? Ini ‘kan dari Dia, ini ‘kan milik Dia, lalu kembali lagi kepada Dia, jadi betul dong. Kalau Saudara pernah berbagian di dalamnya, di dalam putaran ini, itulah namanya kehidupan Kristen.
Kehidupan Kristen adalah Saudara boleh berbagian di dalam putaran Trinitatis ini. Kalau Saudara masuk di dalamnya, berpartisipasi dalam gerakan ini, Saudara berbahagia; sedangkan yang di luar gerakan putaran ini, itulah yang terkutuk, yang tidak ada persekutuan dengan Allah Tritunggal, yang tidak mengenal Allah Tritunggal. Tapi dunia kita terbalik semuanya. Dunia kita ini anti Kristus, anti Trinitas. Dunia kita, narasinya ‘segala sesuatu dari saya’, yang membangun saya lho, ini jasanya saya, saya yang pertama, sebelum saya tidak ada yang seperti ini, bukan dari Allah tapi dari SAYA. Atau mungkin yang lebih rendah hati sedikit, bukan dari saya tapi dari orang itu, jasanya dia; sama saja, kalimat itu anti Trinitas, ‘segala sesuatu bukan dari Allah tapi dari manusia’. Setelah itu, siapa yang menggerakkan? Ya sayalah! Saya dong, kita yang menggerakkan bersama-sama. Kekuatan siapa? Kekuatannya kita! Jadi siapa yang hebat? Kita! jangan lupa ya, kehebatan kita. Dan terakhir, kembali kepada siapa? Kembali kepada kita lagi. Bukan kembali kepada Allah dan kemuliaan-Nya; tidak kembali ke sana. Itu sebabnya yang dikejar manusia adalah reputasi diri sendiri, keharuman nama sendiri. Saudara yakin, ini yang namanya pengenalan Tritunggal?? Kalau kita sudah sangat tertarik dengan reputasi kita sendiri, dengan keharuman nama sendiri, Saudara yakin itu kompatibel dengan Tritunggal??
Lihatlah kehidupan Kristus. Apa yang ada di dalam kehidupan-Nya? Bukan mempermuliakan diri-Nya sendiri, Dia mempermuliakan Bapa. Dia mengalami penghinaan yang sedemikian rupa, tapi Dia terus fokus dalam mempermuliakan Bapa. Lihatlah Roh Kudus. Roh Kudus juga bukan mempermuliakan diri-Nya sendiri, Roh Kudus mempermuliakan Kristus yang mempermuliakan Bapa. Bapa juga mempermuliakan Sang Anak. Itulah Tritunggal.
Segala sesuatu adalah dari Dia, yang ada pada Saudara bukanlah hasil kerja keras Saudara, berhentilah menghidupi narasi konyol itu. Segala sesuatu adalah oleh Dia, dan itu bukan cuma yang positif, tapi juga yang negatif; pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan itu juga di-ordain dari Tuhan, dan Tuhan yang menggerakkan –bukan Saudara dan saya. Dan, segala sesuatu ini pada akhirnya juga akan kembali kepada Dia lagi; fokusnya, tujuannya, goal-nya adalah kembali kepada Tuhan. Berbahagia, kalau Saudara boleh berpartisipasi dalam gerakan Trinitatis ini, gerakan ‘dari Dia – oleh Dia – kembali kepada Dia’.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading