Membaca Mazmur 38 ini, kita merasakan gambaran yang sangat dramatis atau ekstrim, bahkan kita bisa mendapat kesan ini doa seorang yang mengasihani diri (self-pity). Namun keindahan-nya, kita membaca bahwa dalam situasi apapun, pemazmur merelasikan dirinya dengan Tuhan.
Di dalam tradisi Gereja, Mazmur 38 ini termasuk salah satu mazmur yang disebut “mazmur pengakuan dosa” (penitential psalms). Yang menarik, teologi dalam mazmur ini mencoba mengaitkan penderitaan yang dialami, termasuk sakit penyakit, dengan dosa pemazmur. Memang kita tidak bisa menjadikan hal ini satu prinsip yang kaku, memutlakkan bahwa setiap penderitaan pasti karena dosa, namun di dalam Alkitab ada tempat untuk merelasikannya, bahwa bisa saja sakit penyakit tersebut berkaitan dengan dosa kita. Itu sebabnya, tidak salah kalau setiap kali menderita atau sakit, kita melakukan introspeksi apakah kita sudah bersalah kepada Tuhan. Saudara bahkan membaca dalam mazmur ini, dalam penderitaan atau sakit penyakit yang dialami, pemazmur mengertinya sebagai ekspresi murka atau kemarahan Tuhan.
Saudara, relasi yang benar dengan Tuhan, itu bukan selalu relasi dengan bayangan kita tentang Tuhan yang kasih dan tidak pernah murka. Relasi yang hidup, relasi yang benar, justru relasi yang ditandai dengan: ketika Allah kita murka, kita tetap berani datang kepada-Nya.
Dalam kebaktian pagi, kita membahas tentang Votum/Invocatio, yang merupakan seri pembahasan “Liturgi”. Dan dalam hal ini, kita bisa mengerti Mazmur 38 sebagai invocatio Dei, memanggil/ berseru kapada Allah. Yang menarik, di dalam mazmur ini juga digambarkan –menurut perspektif manusia tentunya –seolah-olah Tuhan terlambat dalam pertolongan-Nya, tidak segera menolong.
Kalau kita mempelajari iman orang-orang Israel dalam Perjanjian Lama, kita mungkin mendapatkan gambaran yang berbeda dari Kekristenan yang agak ke arah stoik. Kita tentu saja percaya kedaulatan Allah, tetapi kepercayaan akan kedaulatan Allah bukan berarti kita tidak boleh berseru kepada Tuhan, hanya boleh berserah, tidak boleh ada keinginan/permintaan, dsb.; kalau seperti itu, jadi mirip Kekristenan stoik. Kalau kita membaca Mazmur 38, dan banyak lagi bagian-bagian lain dalam Perjanjian Lama, kita melihat bagaimana orang percaya berani berdialog dengan Allah. Jadi, Mazmur 38 ini bukan ekspresi mengasihani diri (self-pity) atau manja (spoilt), melainkan ekspresi akan kedekatan pemazmur dengan Allah, yang dia percaya sebagai Bapanya. Saudara yang punya anak, mungkin ada pengalaman ketika anak kita yang masih kecil jatuh lalu kakinya lecet, dan waktu pulang dia tunjukkan lukanya kepada kita. Di situ bisa jadi kita respons “ah, lu manja, jadi anak itu musti kuat; cuma begini saja ditunjukkan, kayak anak kecil” –padahal dia memang anak kecil. Sebaliknya, kita mungkin boleh berpikir lebih positif, kita refleksi ‘mengapa dia justru menunjukkan lukanya itu kepada saya’. Dalam hal ini, berarti anak itu ada kepercayaan terhadap kita; dia mempercayakan dirinya kepada kita, yang dia percaya bisa mendapatkan kasih dan perhatian dari kita. Justru malah bahaya kalau anak kita menunjukkan lukanya itu bukan kepada kita tapi kepada tetangga; atau meskipun luka, dia tidak tunjukkan kepada siapa-siapa, dia tanggung sendiri. Relasi yang seperti ini justru tidak sehat.
Saudara membaca di bagian ini, pemazmur menunjukkan lukanya kepada Tuhan. Ayat 2-3: “… anak panah-Mu menembus aku, tangan-Mu telah turun menimpa aku.Tidak ada yang sehat pada dagingku oleh karena amarah-Mu … ”; lalu ayat 5: “Luka-lukaku berbau busuk, bernanah … “. Ini menunjukkan suatu relasi yang baik, menunjukkan iman percaya pemazmur kepada Allah –yaitu justru dengan menyatakan luka-lukanya supaya Allah sendiri melihat. Bukan cuma itu, yang lebih menarik lagi, di sini pemazmur bahkan mengatakan bahwa ini luka karena amarahnya Tuhan, “karena amarah-Mu”. Meski pemazmur sendiri yang mendapatkan amarah, yang dimurkai, tapi dia tetap datang kepada Allah yang memurkai dirinya itu. Ini berarti pemazmur tidak sakit hati terhadap hajaran atau ganjaran Allah.
Kadang-kadang, waktu kita melihat anak kita terlalu nakal, kita mendisiplin dia, memarahi dia, dsb., lalu anak itu bisa sakit hati, tersinggung, bahkan marah balik kepada kita. Jadi, waktu pemazmur di sini tidak sakit hati, ini bukanlah sesuatu yang otomatis, atau sudah pasti begitu, sudah pasti pemazmur harus datang kepada Allah, dsb., karena orang memang bisa sakit hati juga waktu dimurkai/dimarahi, sebagaimana kita lihat dalam kehidupan ini. Namun dalam ayat-ayat tadi, Saudara perhatikan, meski pemazmur menderita, mendapat sakit penyakit, dan mengatakan ‘ini karena tangan-Mu, karena amarah-Mu’, tapi dia tetap saja datang kepada Allah, yang dia percaya akan tetap mengasihinya. Di sinilah kita bicara tentang relasi yang hidup, relasi kepercayaan (trust), dan sebetulnya adalah relasi cinta. Sepintas yang kelihatan mungkin seperti kekanak-kanakan, tapi sebetulnya ini justru relasi yang dewasa; sebaliknya yang kekanakan justru ketika dimarahi, lalu dia marah balik, tidak mau bicara lagi. Pemazmur tidak demikian, meski sudah dimarahi, dimurkai, dia tetap bicara, mengatakan supaya Tuhan yang memurkai itu jangan memurkai dirinya karena dirinya sudah lecet, luka, tidak ada yang sehat tubuhnya/ dagingnya.
Apa yang membuat pemazmur tidak marah dan tidak menyalahkan Allah meski dia tahu penyakitnya ini adalah ekspresi murka Allah? Yaitu karena dia tahu, hal ini akibat dosanya, akibat kesalahannya. Jadi, alih-alih menyalahkan Tuhan, pemazmur menyadari bahwa dia menderita sakit penyakit ini akibat dosanya sendiri; Saudara membaca di ayat 4 (5): “sebab kesalahanku telah menimpa kepalaku”, lalu ayat 5 (6): “luka-lukaku berbau busuk, bernanah oleh karena kebodohanku”. Itu juga sebabnya, Mazmur 38 ini dalam tradisi Gereja dikelompokkan sebagai salah satu “mazmur pengakuan dosa”.
Apa yang kira-kira diderita pemazmur? Kita tidak tahu pasti, tapi ada tafsiran yang menduga ini penyakit kusta –sebagaimana deskripsi yang kita baca di ayat-ayatnya. Dalam hal ini, kita sudah pernah menjelaskan bahwa meskipun di ayat 1 ada tulisan “Mazmur Daud pada waktu mempersembahkan korban peringatan”, kita tidak harus membacanya secara harfiah. Tulisan “Mazmur Daud”, maksudnya adalah mazmur ini diberikan konteksnya, supaya dengan konteks tersebut kita lebih bisa menghayatinya dengan benar; tapi bukan untuk kemudian kita berkesimpulan ternyata Daud ini pernah mengalami kusta –tidak harus ke sana konklusinya. Istilah “le David” ini tidak harus diterjemahkan ‘oleh/dari Daud’, ‘by David’, tapi bisa diterjemahkan bebas ‘in the style of David’, atau dalam pengertian ‘dedicated in the tradition of David’. Yang pasti, penulis Mazmur 38 ini mau mengaitkan praktek pengakuan dosa dengan persembahan korban peringatan; dalam hal ini kita bisa memastikan.
Seringkali memang Tuhan menyadarkan kita akan kesalahan dan kebodohan kita melalui sakit penyakit juga, melalui krisis yang terjadi dalam kehidupan ini. Di sini kita jangan jadi patah hati, patah semangat, apalagi marah balik dan sakit hati, karena kalau Tuhan masih mau menegur kita berarti Dia masih mengasihi kita, Dia peduli kepada kita. C. S. Lewis mengatakan, ‘di dalam penderitaan, sakit penyakit, Tuhan sedang bicara pakai megafon’ (kutipan bebas); maksudnya waktu kita mengalami penderitaan, di situ Tuhan sedang bicara dengan suara yang keras. Keindahan dari kutipan ini, di sini maksudnya Tuhan bukan baru bicara, Tuhan memang sudah bicara, tapi sepertinya buat kita terlalu pelan suaranya, kita tidak dengar, karena kita terlalu asyik dengan kehidupan kita sendiri; sampai kemudian kita harus mengalami sakit penyakit, baru kita sadar ‘O, Tuhan mau bicara sesuatu dalam kehidupan saya’. Kesadaran yang katakanlah agak terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak mendengar suara Tuhan sama sekali.
Ketika Saudara membaca Mazmur 38, di dalamnya tetap ada diferensiasi, tidak semua penderitaan dikategorikan sebagai murka Allah. Tentang sakit penyakitnya, memang betul dalam Mazmur 38 dikatakan bahwa hal itu karena ‘kesalahanku’, ‘kebodohanku’. Tetapi waktu di ayat 11 (12) dikatakan “Sahabat-sahabatku dan teman-temanku menyisih karena penyakitku … “ lalu ayat 12 (13) “Orang-orang yang ingin mencabut nyawaku memasang jerat, … “, di bagian ini tidak ada keterangan bahwa hal tersebut adalah karena murka Tuhan. Bagaimanapun, kitab Mazmur ini termasuk dalam konteks kitab bijaksana; maka sebagai bagian dari teologi bijaksana (wisdom theology), kita harus bisa membeda-bedakan, jangan berpikir secara sempit bahwa semua penderitaan pasti karena murka Tuhan. Tentu saja ada penderitaan yang merupakan murka Tuhan, yang di situ kita musti bertobat; tapi ada juga yang bukan karena murka Tuhan, melainkan memang kejahatan manusia, yang Tuhan izinkan terjadi. Dan di dalam bagian penderitaan yang ini pun, pemazmur mengungkapkannya kepada Allah.
Kalau kita membaca ayat 11, kita teringat dengan peristiwa Ayub; di sini mirip sekali gambarannya dengan peristiwa yang dialami Ayub. Saudara, penderitaan/sakit penyakit itu satu hal, tapi dijauhi oleh sahabat-sahabat dan sanak saudara, itu penderitaan yang lain lagi. Tidak dimengerti bahkan oleh orang-orang yang paling dekat dengan kita, oleh sanak saudara kita, itu hal yang menyakitkan; apalagi kalau bukan saja tidak dimengerti, tapi juga dihakimi, dipersalahkan, itu berat sekali, sudah sakit masih dipersalahkan. Itu sebabnya, kepada siapa pemazmur mengungkap-kan perkaranya, kalau bukan kepada Allah yang dia percaya. Lalu apa argumentasinya, atau mengapa pemazmur memberanikan diri menyatakan perkara-nya di hadapan Allah, seolah-olah membujuk Tuhan “Tuhan, tidak ada cara lain kecuali Engkau menolong aku”?
Ada beberapa alasan yang bisa kita pikirkan di sini. Yang pertama, di dalam logika pemazmur, kesenangan para musuh melihat kejatuhan orang benar dan orang saleh yang berdoa kepada Tuhan, dimengerti pemazmur sebagai kegagalan Yahweh juga dalam menolong. Argumentasi seperti ini juga pernah dipakai oleh Musa, yaitu dengan meletakkannya pada atribut Yahweh; salah satunya, Musa mengatakan “kalau Engkau membinasakan umat-Mu di padang gurun ini, nanti bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Engkau akan bilang apa tentang Engkau; mereka akan bilang ‘Yahweh, Allahnya Israel yang memimpin mereka keluar dari Mesir itu ternyata tidak sanggup memimpin, lalu membinasakan mereka di tengah jalan’”. Apa yang akan dikatakan orang tentang Engkau nanti, itu argumentasinya Musa. Ini jangan kita mengerti sebagai strategi licik, yang lihai, membujuk Tuhan dengan cara seolah-olah tentang Tuhan padahal tentang dia sendiri –jangan dibaca seperti itu. Ini maksudnya dalam pengertian bahwa Musa, dan juga pemazmur, sungguh-sungguh mengenal Tuhan, mengenal sifat Tuhan, sehingga argumentasinya ini argumentasi yang teosentris, bukan argumentasi antroposentris.
Tadi kita mengatakan, ini bukan sesuatu yang antroposentris, tapi bukan kemudian berarti tidak ada alasan antropologis (tentang manusia). Pemazmur ini percaya kepada Tuhan yang setia mengampuni dosa; ini seperti mengantisipasi 1 Yohanes 1: 9, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia (Allah) adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan manyucikan kita dari segala kejahatan”. Kita membaca di dalam Mazmur 38 pemazmur mengakui dosanya di hadapan Tuhan, dia tidak menyembunyikannya. Dia percaya, siapa yang mengaku dosa, dosanya diampuni, dan dia dipulihkan oleh Tuhan. Jadi ini jauh dari spirit memaksa Tuhan, ini bukan kategori ‘memaksa Tuhan’, melainkan iman yang sejati, iman yang benar. Pemazmur tahu janji Allah –meskipun ini masih dalam Perjanjian Lama– bahwa siapa yang mengaku dosa, maka dosanya diampuni.
Saudara perhatikan di sini, pemazmur di hadapan Tuhan merendahkan dirinya, namun bukan berarti di hadapan manusia dia jadi ketakutan, menjilat, dsb.; dia tetap ada semacam keyakinan (confidence) di hadapan manusia, tapi merendah-kan diri di hadapan Allah. Merendahkan diri di hadapan Allah, itu bukan berarti kehilangan dignitas di hadapan manusia –tidak harus demikian. Namun kita jangan waktu di hadapan manusia seperti jaga gengsi, lalu di hadapan Tuhan juga jaga gengsi; tidak ada harapan kalau seperti ini. Sekalipun pemazmur ini orang yang berdosa, yang karena kebodohannya dia ditimpa sakit penyakit, Saudara perhatikan di ayat 20 (21) dia mengatakan bahwa dirinya ini mengejar yang baik. Memang betul pemazmur gagal, sudah berdosa di hadapan Tuhan, tapi itu tidak menjadikan dia orang yang jahat, yang tidak percaya lagi kepada Tuhan, yang ikut-ikutan berlaku fasik bersama dengan orang-orang fasik yang lain –tidak seperti itu. Di dalam Mazmur ini, meskipun dengan kelemahan yang sedemikian, dengan hukuman yang sedemikian, kita tetap menemukan gambaran orang saleh.
Mungkin bukan kebetulan ada tafsiran yang mengaitkan ini dengan gambaran Hamba Tuhan di dalam Yesaya 53. Dalam hal ini, konteksnya memang berbeda. Di Yesaya 53, memang tidak bicara tentang murka Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosanya, tapi Saudara melihat di sini penggambaran penderitaan yang sangat mirip. Yesaya 53:7 “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya, seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Kita tahu, Yesaya 53 ini penggenapannya ada pada Kristus. Jadi, kalau kita mengaitkannya dengan pembacaan Mazmur 38, maka wajar sekali –meski tidak benar– waktu orang mengaitkan bahwa penderitaan yang dialami Kristus, pasti karena Dia kena tulah; dan Yesaya pun sudah menubuatkan hal itu, bahwa orang berpikir Dia kena tulah. Tetapi sesungguhnya penyakit kita yang ditanggung-Nya; Dia bukan menanggung kesalahan-Nya sendiri melainkan kesalahan kitalah yang Dia tanggung.
Membaca Yesaya 53 dan melibatkan dengan Mazmur 38 di baliknya, itu sangat indah. Maksudnya, dari perspektif Yesaya ada perkembangan, bahwa memang betul sakit penyakit dan penderitaan itu ada kaitannya dengan kesalahan, hanya saja bedanya, di sini bukan kesalahan Dia sendiri, melainkan Dia sedang menanggung kesalahan orang lain. Kalau kita menderita/sakit karena kesalahan kita, itu adalah satu hal; kita bisa selalu datang kepada Tuhan, mengaku dosa kita, dan mengharapkan pengampunan-Nya. Tetapi, menderita karena kesalahan orang lain, itu hal yang lain lagi. Waktu kita melayani sesama dengan cinta, kita akan mengalami penderitaan seperti ini, penderitaan karena kesalahan orang yang kita layani. Keindahan di dalam Kekristenan adalah kalau Saudara dan saya menderita bukan karena kesalahan kita sendiri, melainkan karena kita menanggung orang lain –tentu saja bukan menanggung seperti Kristus– karena cinta lalu kita menderita, kita menanggung orang lain sebagai beban, menanggung kekurangan mereka, menanggung kelemahan mereka, dsb.
Bukan kebetulan di dalam Yesaya 53 ini motifnya adalah ‘hamba Allah yang menderita’, karena seorang hamba Allah memang menderita. Waktu Saudara dan saya dipanggil menjadi hamba-hamba Allah, di dalam pelayanan kita juga akan ada penderitaan. Tapi kita bukan menanggung penderitaan ini sendiri dengan kekuatan kita, karena Kristus sudah berjalan di depan kita, Kristus sudah melakukannya untuk Saudara dan saya, Dia sudah terlebih dahulu menanggung kesalahan kita. Sekarang, kita yang bertumbuh juga diundang untuk mengikuti jejak kaki-Nya, melayani seperti Dia, yang juga akan disertai dengan penderitaan.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading