Kitab Mazmur merupakan satu kitab pergumulan naik-turunnya emosi dan jiwa manusia; tidak ada yang tersembunyi di situ, kita bisa membaca di dalamnya kehidupan orang-orang saleh yang semuanya terbuka bagi kita. Dan kita juga bisa mendapati diri kita dalam pergumulan tersebut –kalau memang kita adalah orang-orang yang bergumul. Tapi yang penting di sini bukan pergumulan itu sendiri, lalu dengan bergumul, kita seakan-akan jadi lebih hebat daripada orang lain karena banyak pergumulan –kita tidak mempermuliakan pergumulan itu sendiri. Hal yang penting kita pelajari di sini adalah bagaimana seseorang berespons di hadapan Allah, bahwa di dalam segala keadaan relasinya dengan Allah makin dekat dan semakin dekat, dia mengenal Allah dengan lebih baik, dia mengenal dirinya dengan lebih baik, dan dia juga mengenal dunia sekelilingnya dengan lebih baik.
Di sini ditulis mazmur ini ‘dari Daud’, atau setidaknya ditulis dalam gaya Daud. Mazmur ini juga adalah mazmur yang dikutip Paulus dalam Surat Roma pasal 3. Dalam hal ini, terjemahan Alkitab Yunani (Septuaginta) penting karena yang dikutip Paulus adalah versi Septuaginta ini. Di sini kita akan mempelajari Mazmur ini dari versi Perjanjian Lama lebih dahulu, dan kemudian mengaitkannya dengan tulisan Paulus.
Mazmur 14 sangat mirip dengan Mazmur 12, sebuah mazmur yang menguatkan orang-orang benar yang minoritas, yang keadaannya di bawah, tidak punya power. Di sini juga ada semacam kontras antara kebebalan dan bijaksana; dalam pengertian paradoksal, apa yang dilihat Tuhan dengan yang dilihat dunia itu berbeda, yang biasanya dianggap hebat ternyata di hadapan Tuhan sebetulnya bodoh/bebal. Sebaliknya, orang yang hidup bergantung kepada Tuhan, dari mata dunia kelihatan seperti orang-orang bodoh, yang tidak berjuang, yang tidak punya kemampuan, tapi itulah orang-orang yang bijaksana menurut Tuhan.
Dalam kotbah dari Injil Yohanes, kita menekankan tentang pentingnya cinta kasih; orang yang mengasihi Tuhan, dia menuruti perintah Tuhan, dan dengan demikian dia tetap tinggal di dalam kasih Kristus. Waktu bicara tentang kasih, seringkali ada banyak orang sinis dengan istilah ‘kasih’. Kita seringkali membenturkan antara kasih dan kebenaran, antara kasih dan doktrin, antara kasih dan teologi; lalu pembicaraan tentang kasih yang dilakukan secara tulus pun ditanggapi dengan sinis, “Ah, bicara kasih, itu cuma menyatakan mereka adalah komunitas yang tidak betul-betul mau mempelajari doktrin, itu sebabnya mereka bolak-balik bicara ‘kasih, kasih, dan kasih’, itu cuma sekedar mau menghindari pengajaran teologi saja”. Padahal, di dalam Alkitab ada pengajaran yang tulus tentang kasih, dan bahwa kasih itu ada kriterianya, bisa dibedakan apakah ini kasih yang dari Tuhan atau kasih yang liar/liberal, dsb. Demikian pula waktu kita membicarakan kehidupan yang bergantung kepada Tuhan, juga bisa ditanggapi secara sinis.
Ada satu kebiasaan para komponis di zaman Barok, setiap kali selesai menulis, mereka mengakhiri dengan ‘SDG’, singkatan dari Soli Deo Gloria, maksudnya semua kemuliaan kembali kepada Tuhan; sementara di bagian atas mereka tulis ‘J.J.’ (Jesu juva), artinya “Yesus, tolonglah kami”. Sampai dengan Mendelssohn, masih ada tradisi seperti itu, atau selambat-lambatnya sampai zaman Romantik. Kemudian di zamannya Beethoven, ada seorang komponis yang tidak terlalu terkenal –sampai saya pun lupa namanya—dia adalah temannya Beethoven, dan pada satu kali dia melihat selembar kertas, lalu dia mau menulis satu komposisi. Pertama-tama dia menulis ‘Jesu juva’; maksudnya, ini satu ekspresi orang yang mau bergantung kepada Tuhan, yang sebelum menggubah musik, dia berdoa dulu kepada Tuhan, “Tuhan tolonglah supaya saya bisa memuliakan Engkau melalui karya ini”. Waktu Beethoven melihat tulisan temannya itu, dia lalu tepuk-tepuk pundaknya, “Bung, tolonglah dirimu sendiri” –sinis sekali—maksudnya, ‘Lu kalau ‘gak bisa gubah musik, ya sudah ‘gak usah, ‘gak perlu teriak Tuhan! Tuhan! Lu sendiri yang musti tolong dirimu sendiri’. Memang Beethoven ini tidak jelas imannya, meski beberapa orang Kristen berusaha “menyelamatkan” imannya supaya dia kelihatan religius, tapi tetap saja sangat tidak meyakinkan. Bukan berarti tidak ada anugerah Tuhan untuk dia –anugerah Tuhan besar sekali bagi Beethoven—tapi apakah dia punya iman yang sejati, kita tidak tahu. Dia lahir di keluarga Katolik, di Bonn, kemudian pernah ke Austria; tapi dia tidak pernah ke gereja. Haydn pernah mengajar Beethoven, dan dia pernah berpikir Beethoven ini sepertinya ateis. Kalau memang betul dia ateis, tidak heran dia sinis terhadap kalimat “bergantung kepada Tuhan”. Ada kebudayaan-kebudayaan tertentu yang menganggap bahwa bergantung kepada Tuhan adalah orang-orang yang kalah, orang-orang pecundang, yang tidak bisa berjuang, yang tidak berhasil, dsb. –sehingga ‘bergantung kepada Tuhan’ itu ditanggapi dengan sinisme. Tetapi, di hadapan Tuhan sesungguhnya orang-orang yang bergantung kepada Tuhan itulah orang-orang yang bijaksana, yang terlepas dari kebebalan.
Di dalam bagian ini dimulai dengan kalimat ayat 1-2: ‘Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah.’ Dan jawabannya: tidak ada (ayat 3). Ini mirip seperti cerita Diogenes, seorang filsuf, yang dalam lukisan biasa digambarkan membawa lentera di siang hari bolong, mencari apakah ada orang yang jujur di Atena; dan ternyata tidak ada. Tuhan, dalam Mazmur ini digambarkan seperti Diogenes, Dia memandang ke bawah dari surga kepada anak-anak manusia, mencari apakah ada yang berakal budi dan mencari Allah; dan jawabannya: tidak ada. Orang yang sungguh-sungguh mencari Allah, seorang pun tidak ada.
Mungkin kita terbiasa membaca Mazmur ini dari perspektif Surat Roma yang ditulis Paulus, sehingga ketika di bagian dikatakan ‘tidak ada yang mencari Allah’, kita menganggap itu sesuatu yang sifatnya universal, bahwa semua orang tidak ada yang mencari Allah sebagaimana dikatakan dalam Surat Roma. Dengan begitu, ketika di ayat 4 muncul istilah “umat-Ku”, kita jadi bertanya-tanya, ini maksudnya ada kelompok lain yang tidak bebal atau bagaimana? Kelompok yang disebut ‘umat Tuhan” ini bebal juga atau tidak bebal? Atau yang disebut bebal adalah musuh-musuh yang memakan habis umat Tuhan? Atau bagaimana pengertiannya? Memang, kalau kita membaca bagian ini, tampaknya kita tidak boleh terlalu buru-buru menganggap ini universal unrighteousness seperti yang ada dalam tulisan Paulus, karena kalau kita membacanya sedemikian, jadi membingungkan waktu tiba-tiba muncul istilah ‘umat Tuhan’ yang sepertinya kontras dengan istilah ‘orang bebal’. Namun, masalahnya di sini, kita jadi masuk ke dalam kesulitan yang lain lagi, seakan-akan ini berarti Paulus salah tafsir karena ketika Paulus di dalam Surat Roma memakai ayat ini, yang dia maksudkan betul-betul universal unrighteousness, bahwa semua orang tidak ada yang benar. Dalam hal ini, kita musti melihat dua-duanya; kita tidak bisa melihat Mazmur ini tanpa Surat Roma, dan kita tidak bisa melihat Roma tanpa Mazmur ini. Kita percaya satu kesatuan teologi Alkitabiah, meskipun ada perbedaan penekanan, perbedaan pendapat, bahkan perbedaan teologi, tapi kesatuannya secara teologi Alkitabiah harus koheren dalam pemahaman kita.
Kalau kita mengerti ayat 1, 2, 3 Mazmur ini sebagai ‘semua orang secara universal’, termasuk Israel, bagaimana menjelaskan ayat 4 yang tiba-tiba muncul kelompok yang bukan termasuk orang bebal? Sebelum melanjutkan pembahasan ke arah sana, ada satu alternatif penafsiran yang membedakan pengertian dalam Mazmur dan pengertian dalam Surat Roma. Dia menafsir berdasarkan fakta, bahwa ada kelompok yang disebut umat Tuhan, yang tidak bebal itu. Dia menafsir, bahwa dalam Mazmur ini kalimat-kalimat yang mengatakan ‘tidak ada yang mencari Allah’ dsb. itu lebih merupakan suara kenabian, yang melakukan analisa sosial tentang masyarakatnya. Ini seperti seorang nabi yang membaca masyarakatnya, dan mendapati bahwa mereka adalah masyarakat yang tidak takut akan Tuhan. Jadi penafsir ini berpendapat, kita tidak boleh membaca Mazmur ini seperti perkataan seorang teolog yang berbicara tentang doktrin manusia, bahwa semua orang, tanpa terkecuali, sudah berdosa, tidak mencari Tuhan, dsb. –pernyataan-pernyataan antropologis seperti yang kita baca di Surat Roma. Waktu membaca tafsiran ini, saya berusaha untuk mengerti, tapi saya kurang yakin dengan tafsiran tersebut karena Mazmur ini dengan Surat Roma jadi tidak koheren, seakan-akan Paulus menggunakan Mazmur 14 ini dengan tafsiran yang sangat bebas.
Saya cenderung menafsir pasal 14 ini termasuk dari terang Surat Roma, yaitu dalam pengertian bahwa yang dimaksud di sini adalah kebodohan yang universal, kebebalan semua orang yang ada di dalam dunia. Lalu, bahwa nantinya akan ada sekelompok orang yang disebut umat Tuhan, itu semata merupakan karunia Tuhan, pilihan Tuhan, belas kasihan Tuhan. Saudara bisa mendapati prinsip yang mirip sekali waktu membaca tentang Nuh. Di situ ada cerita kejahatan manusia yang universal, semuanya jahat. Kejadian 6: 5-6, Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Ini termasuk Nuh dan keluarganya. Ayat 7: Berfirmanlah TUHAN: "Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka." Ini sebetulnya termasuk semua binatang yang nantinya akan dibawa oleh Nuh. Lalu perhatikan ayat 8, yang luar biasa penting. Setelah Tuhan mengatakan menyesal dan akan menghapuskan semua, seperti tombol ‘reset’ yang ditekan mengembalikan chaos yang semula –air bah– seakan Tuhan tidak pernah menciptakan, kemudian ayat 8 mengatakan: Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN. Baru setelah itu ayat 9: Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya. Dalam hal ini, kita bersikeras bahwa ayat 8 mendahului ayat 9; maksudnya, Nuh bukan mendapat kasih karunia karena dia hidup saleh dan tidak bercela, tapi justru karena dia mendapat kasih karunia maka dia bisa hidup benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya. Kalau dia tidak mendapat kasih karunia, maka dia akan sama saja dengan semua orang yang lain.
Kembali ke Mazmur 14; waktu Tuhan memandang ke bawah kepada anak-anak manusia, melihat apakah ada yang berakal budi dan mencari Allah, dikatakan ‘mereka semua telah menyeleweng’. Semua berarti semua. Tidak ada seorang pun yang tertarik mencari Allah. Sama sekali tidak ada. Menurut Tuhan, tidak ada. Lalu mengapa bisa muncul ‘umat Tuhan’ di ayat 4? Di sini Alkitab terjemahan bahasa Indonesia tepat sekali, menempatkan ayat 1, 2, 3 lalu ada jeda sebelum masuk ayat 4; jeda ini benar-benar jeda yang perlu, menunjukkan bahwa ayat 4 ini satu pembukaan yang baru. Di sini diintroduksikan satu tema yang baru, yaitu umat Tuhan. Siapakah mereka sebetulnya? Inilah kelompok yang dibentuk oleh Tuhan sendiri, yang dipanggil keluar, yang dipilih oleh Tuhan, yang mendapatkan kasih karunia Tuhan. Tuhan menyisakan satu kelompok kecil orang-orang yang berseru kepada Tuhan, orang-orang yang diberi kasih karunia untuk mencari Allah meskipun dari diri mereka sendiri tidak tertarik mencari Allah. Ini betul-betul kasih karunia Tuhan. Waktu kita membaca Surat Roma, kita mendapati prinsip yang sama, yaitu universal unrighteousness; baik orang kafir (gentiles) yang tidak mempunyai Taurat, maupun orang Yahudi yang mempunyai Taurat, mereka semuanya unrighteous di hadapan Tuhan.
Kita musti memulai cerita hidup kita dengan gambaran seperti ini, dengan mengakui bahwa kita sebetulnya orang-orang bebal. Kita musti dengan rendah hati mengakui bahwa kita sebetulnya tidak tertarik mencari Allah. Orang dengan kesadaran seperti ini, dia ada harapan. Sebaliknya, kalau kita tidak mau mengakui kekurangan ini, mengatakan “tidak, saya bukan orang bebal, saya mencari Allah”, kita tidak ada harapan. Yesus bilang “Aku datang untuk orang berdosa, bukan untuk orang benar”. Dia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir itu menjadi celik, dan mengatakan, “Aku datang supaya mereka menjadi melihat, dan yang melihat menjadi buta”. Lalu ditanggapi orang-orang Farisi, “Kalau begitu kita ini buta, dong; karena yang tadinya buta jadi melihat adalah orang yang Kamu sembuhkan itu, sedangkan kita ini tidak buta, jadi menurut Kamu kita yang tidak buta ini jadi buta, dong.” Yesus tidak menjawab kalimat mereka itu dengan “ya, iyalah”; Yesus jawab dengan satu kalimat yang mengajak mereka untuk merenung kembali: “Sekiranya kamu buta, kamu akan melihat, kamu ada pengharapan; tapi kamu pikir dirimu adalah orang yang melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh. 9:41). Di sini kita menangkap prinsip yang sama, Yesus datang untuk orang buta, bukan untuk yang melihat; “tapi karena kamu berkata kamu melihat, tetaplah dosamu” –tidak ada pengharapan untuk orang-orang yang melihat.
Permulaan pembelajaran menjadi orang bijaksana, adalah dengan mengakui bahwa Saudara dan saya ini orang bebal. Bisa mengakui diri orang bebal, itu sendiri permulaan bijaksana. Dari orang-orang seperti inilah Tuhan membentuk umat-Nya. Jadi, ketika dikatakan ‘orang-orang bebal’ dalam Mazmur 14 ini, bukanlah untuk dimengerti ‘itu bukan saya, itu bangsa-bangsa kafir, orang-orang bebal, sedangkan saya bukan orang bebal, saya ini mengenal Tuhan, saya umat Tuhan.’ Justru orang yang mengertinya seperti itu, dia orang bebal. Di dalam Alkitab, prinsip-prinsip paradoksal seperti ini sangat banyak. Yesus mengatakan perumpamaan tentang orang yang pergi ke Bait Suci; orang itu bicara tentang semua kebenarannya, sementara ada satu orang yang merasa diri berdosa, sambil pukul-pukul dadanya, mengatakan, “Kasihanilah aku, Tuhan, aku orang yang berdosa”. Di akhir perumpamaan itu Yesus bilang, orang yang merasa dirinya berdosa, dia pergi dan dibenarkan; tapi orang yang merasa dirinya benar, tidak ada pembenaran lagi bagi dia.
Jadi, ketika kita menafsir ayat 1, 2, 3 Mazmur 14, memang ini bicara tentang kebebalan universal, tapi ini bukan akhir keseluruhan cerita, karena Tuhan mau membentuk umat-Nya yang melampaui keterbatasan nasionalisme, baik itu Israel atau bangsa apapun. Sama seperti ini, dalam Surat Roma kita juga mendapati bahwa Tuhan akan membentuk umat-Nya. Waktu Tuhan membentuk umat-Nya, itu bukan bergantung pada kebenarannya orang Yahudi ataupun kebenarannya orang kafir (gentiles) –dua-duanya orang berdosa—tapi Tuhan membentuk umat yang baru, yang dimunculkan oleh karena kasih karunia-Nya, orang-orang yang dimampukan untuk percaya dan beriman kepada Kristus. Dalam gambaran seperti inilah, kita melanjutkan pembahasan ayat 4.
Ayat 4, “Tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN?” [Di kalimat ini, waktu dikatakan “yang tidak berseru kepada TUHAN”, maksudnya bukan umat Tuhan melainkan orang-orang yang melakukan kejahatan dan memakan habis umat Tuhan]. Seperti apakah gambaran kebebalan yang diceritakan di sini? Yaitu seperti tertulis di ayat 4, mereka ini adalah orang-orang yang tidak berseru kepada Tuhan. Mereka hidupnya tidak bergantung kepada Tuhan dan tidak berseru kepada Tuhan. Soal apakah mereka ini percaya secara teoretis Tuhan ada atau tidak, itu tidak terlalu relevan, tapi intinya, dalam kehidupannya mereka ini tidak pernah bergantung kepada Tuhan. Bukan itu saja, orang-orang seperti ini suka memanipulasi (“memakan habis umat-Ku seperti memakan roti”). Mengapa di dalam dunia ini ada orang-orang yang sikapnya manipulatif? Kalau menurut analisa Alkitab, ini adalah orang-orang yang tidak takut akan Tuhan. Orang-orang ini merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya di hadapan Tuhan. Orang-orang seperti ini suka memangsa orang lain, suka memanipulasi orang lain, karena hatinya memang tidak percaya akan adanya Tuhan, dia tidak percaya bahwa hidupnya perlu bertanggung jawab kepada Tuhan. Inilah yang disebut kebebalan; dia pikir hidupnya akan seperti itu terus. Waktu Alkitab memperingatkan, ‘hati-hati orang kaya, kamu rasa kamu mendapatkan sekuritas di dalam kekayaanmu’, itulah artinya orang bebal.
Bebal, istilah asli di dalam bahasa Ibrani-nya adalah ‘nabal’. Dalam 1 Sam. 25, ada orang yang namanya Nabal. Dalam cerita tersebut ada Daud, ada Nabal, dan ada Abigail. Nabal seorang yang kaya. Tapi dia memberikan penilaian keliru terhadap Daud, dia merendahkan Daud; “Siapa Daud itu? Siapa anak Isai itu?” ketika menjawab anak buah Daud, di ayat 10. Dia menghina Daud. Memang waktu itu Daud belum jadi siapa-siapa, tapi Nabal ini tidak ada ketajaman spiritual membedakan mana orang yang akan dipakai Tuhan dan mana orang-orang yang dibuang oleh Tuhan. Dia berasumsi salah tentang orang lain.
Tipikal orang bebal, orang ini seringkali melakukan kesalahan dalam pembacaan tentang realitas. Kalau kita membaca realitas secara keliru, kehidupan kita berada dalam bahaya. Ada orang yang akan dipakai Tuhan tapi kita anggap remeh, tidak perlu perhatikan dia; sementara di sisi lain ada orang yang dibuang oleh Tuhan tapi kita sembah-sembah, kita tinggi-tinggikan, dan kita ingin dekat-dekat dengan dia –ini namanya orang bebal. Cerita di pasal 25 ini cukup panjang; dalam cerita itu, kebebalan Nabal ini kontras dengan kebijaksanaan Abigail. Abigail ini punya spiritual discernment. Dalam cerita yang lain, ketika Yerikho akan ditaklukan, di situ ada Rahab yang memiliki ketajaman spiritual melihat Israel sebagai bangsa yang disertai Tuhan, oleh karenanya dia harus membuat kovenan dengan Israel, dengan Tuhan-nya orang Israel. Alkitab mengatakan, Rahab adalah orang beriman, orang yang memiliki iman sejati. Jadi, lawan kata dari ‘orang bebal’ adalah orang yang memiliki spiritual discernment (ketajaman spiritual untuk membedakan).
Kembali ke Mazmur 14; orang-orang bebal itu bukan saja tidak takut kepada Tuhan, tapi juga memangsa orang-orang yang lemah, memakan habis umat Tuhan seperti memakan roti. Tapi kemudian ayat 5 mengatakan, “Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar.” Mereka pikir diri mereka selama-lamanya akan jaya, selama-lamanya akan di atas; mereka tidak tahu bahwa hidup ini bisa berubah sewaktu-waktu. Orang yang sedang di atas, biasanya tidak sadar; dia pikir keadaannya akan langgeng seperti itu terus, oleh karena itu merasa tidak perlu bergantung kepada Tuhan. Tapi dikatakan, orang-orang ini akhirnya ditimpa kekejutan, mereka tidak sangka bahwa hidup mereka tidak begitu terus. Ini betul-betul bodoh. Koq bisa orang berpikir seperti ini? Bodoh sekali berpikir seperti ini; orang yang di atas berpikir dirinya selama-lamanya dia akan di atas terus, atau yang punya kesehatan berpikir dirinya akan sehat terus selama-lamanya. Alkitab mengatakan, mereka akan ditimpa kekejutan. Sebetulnya itu tidak harus jadi kekejutan, karena sudah jadi rahasia umum bahwa orang tidak akan selalu di situ terus –tapi ada orang yang percaya dirinya akan di situ terus. Jadi, kekejutan ini sebetulnya lebih merefleksikan kebebalan mereka. Kekejutan ini lebih menggambarkan betapa tidak siapnya mereka, betapa naifnya mereka. Sebaliknya, Allah itu berada menyertai angkatan yang benar (ayat 5b). Orang-orang yang berada di atas, para penindas itu, bisa mengolok-olok maksud orang yang tertindas; tapi Tuhan sesungguhnya tempat perlindungan bagi orang-orang yang lemah itu.
Kalau kita mendapat kasih karunia Tuhan, maka ada tanda, yaitu memiliki bijaksana yang dikaruniakan oleh Tuhan. Orang-orang ini dengan rendah hati mengakui realitas yang berasal dari Tuhan, yang dibentuk oleh Tuhan. Mereka berseru kepada Tuhan di saat-saat tertindas atau saat mereka membutuhkan. Mereka mencari Tuhan dalam keputusan-keputusan hidupnya. Orang bebal adalah sebaliknya. Mereka rasa sudah berpengalaman, mereka memutuskan sendiri, mereka tidak merasa perlu bergantung kepada Tuhan.
Ada philosophy of science yang mengajar seperti ini: “Sepanjang kita masih belum bisa menjelaskan segala sesuatu dari perspektif sains, di situ ide tentang Tuhan selalu relevan bagi umat manusia”. Sepintas kedengarannya berarti Tuhan masih relevan, tapi ini kalimat kurang ajar sebetulnya. Maksudnya, filosofi ini mau mengatakan ‘suatu saat, seandainya segala sesuatu bisa kita jelaskan dalam perspektif sains, maka ide tentang Tuhan boleh lengser, kita tidak perlu lagi’. Mereka mengatakan ini dengan menghina; ‘Orang dulu bilang pelangi itu tanda, busur panah dari Tuhan; sekarang kita bisa menjelaskan itu cuma fenomena alam, koq. Dulu mendengar suara gunung berapi mereka bilang itu suara Tuhan; sekarang kita bisa menjelaskan itu bukan suara Tuhan, itu suara gunung, yang sangat bisa dijelaskan secara ilmiah.’ Saudara mengerti maksudnya? Seakan-akan di sini sains mendesak wilayahnya Tuhan; seakan-akan dulu bicara ‘Tuhan, Tuhan’ karena dulu kurang pengetahuan ilmiah. Lalu kalau sains makin maju, ide tentang Tuhan akan makin lama makin sempit, dan suatu saat tidak perlu lagi karena kita bisa menjelaskan semuanya lewat sains. Inilah gambaran orang yang betul-betul memang bebal, orang yang dalam kehidupannya tidak takut akan Tuhan, berpura-pura seakan Tuhan tidak ada. Tetapi orang yang bijaksana, dalam segala tingkah lakunya mereka memperhitungkan Tuhan.
Terakhir, di ayat 7 ada pergeseran penekanan. Kalau di awal tadi fokusnya pada para penindas –orang-orang bebal itu—dan pada umat Tuhan yang ditindas, maka ayat 7 ini membicarakan tentang keselamatan yang dari Sion: “Ya, datanglah kiranya dari Sion keselamatan bagi Israel! Apabila TUHAN memulihkan keadaan umat-Nya, maka Yakub akan bersorak-sorak, Israel akan bersukacita.” Tuhan yang akan memulihkan keadaan umat-Nya, sehingga Yakub akan bersorak-sorak, Israel akan bersukacita. Waktu kita melihat masyarakat, dalam pandangan pertama bisa terasa begitu gelap, membuat pesimis, dan seperti tidak ada harapan. Kebebalan seperti menguasai masyarakat di sekeliling kita. Allah seperti Diogenes yang mencari orang benar, tapi ternyata tidak ada yang mencari Allah. Gambaran masyarakat yang sangat pesimistis. Tetapi pasal 14 ini diakhiri dengan satu pengharapan akan datangnya keselamatan yang dari Sion, dari Israel. Demikian pula, kalau kita berharap akan keselamatan yang dihadirkan Tuhan bagi umat-Nya, akan datangnya Kerajaan Allah, maka gambaran pesimistis tadi akan digantikan dengan sukacita dan sorak-sorai karena Allah Israel yang akan membangkitkan umat-Nya. Dan bukan umat-Nya saja, tapi juga orang-orang bebal lainnya yang bukan umat Tuhan akan dijadikan umat Tuhan.
Ada pembacaan yang salah atas ayat-ayat seperti ini, termasuk juga orang-orang Israel bisa membaca secara salah ayat-ayat seperti ini, yaitu waktu orang percaya (umat Tuhan) hanya membaca dirinya sebagai yang tertindas, yang jadi korban –meski memang benar mereka korban—kemudian berpikir nanti Tuhan akan membela dan memulihkan mereka, tapi cuma berhenti sampai di situ. Inilah yang belum ada di Mazmur 14, tapi nantinya dibicarakan Paulus dalam Surat Roma, bahwa umat Allah bukan cuma Israel, tapi juga mencakup bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah (gentiles).
Saudara lihat di sini, yang diselamatkan bukan cuma orang-orang tertindas dalam arti umatnya Tuhan saja, melainkan Tuhan akan membentuk umat yang lebih luas dan lebih besar lagi dari masyarakat yang rusak ini. Bukan hanya Israel yang akan diselamatkan, tapi yang di luar Israel juga akan mendapatkan keselamatan dari Sion. Inilah pekerjaan yang dilakukan Yesus Kristus di atas kayu salib. Kalau kita betul-betul menerima keselamatan dari Tuhan, kita akan tergerak untuk memberitakannya kepada orang-orang di sekitar kita. Ini satu panggilan universal.
Kita jangan menipu diri dengan mengatakan gereja ini sudah banyak melakukan penginjilan, padahal menurut definisi yang ketat, itu bukan penginjilan, misalnya dengan terlibat dalam KKR Regional. Saya bukan mengatakan KKR Regional bukan pekerjaan Tuhan –itu memang pekerjaan Tuhan– tapi yang dilakukan adalah berkotbah kepada orang-orang Kristen, yang berarti –menurut definisi yang ketat– itu bukan penginjilan. Selain itu, Saudara pergi ke rumah sakit, dan yang Saudara bisa doakan cuma orang-orang Kristen, itu juga bukan penginjilan. Saya bukan menghina itu pekerjaan yang tidak ada gunanya –bukan itu poinnya—tapi kalau kita kurang penginjilan lalu mengatakan sudah banyak melakukan penginjilan, itu namanya menipu Tuhan dan menipu diri. Kalau kita kurang ada keberanian untuk menginjili orang yang belum percaya, kita musti mengaku, kita memang kurang penginjilan. Kalau kita tidak terlalu peduli dengan orang-orang di sekitar kita, kita musti bertobat, mengaku dosa kita di hadapan Tuhan. Dan ini tidak bisa digantikan dengan kegiatan-kegiatan rohani; kegiatan rohani memang baik juga, tapi tetap bukan penginjilan.
Mazmur ini mengingatkan, waktu Tuhan menghadirkan keselamatan-Nya, memang di sini ditulis kesalamatan itu bagi Israel, yang dipulihkan adalah keadaan umat-Nya, yang bersorak-sorak adalah Yakub/Israel; tetapi wahyu Tuhan di Mazmur 14 ini belum selesai, masih perlu tulisan Paulus yang mengatakan bahwa yang diselamatkan bukan cuma Israel. Umat Tuhan bukanlah cuma yang ada di gereja ini, umat Tuhan ada di luar juga, hanya saja mereka belum tergabung dengan kita.
Kiranya Tuhan menolong kita supaya kita jangan terus melihat diri sebagai korban. Kalau kita melihat hanya diri kita yang sebagai korban, maka akhirnya pengharapan pemulihan yang dari Tuhan itu menurut kita, ya, memang bagi kita –kita yang jadi korban, ya, kita yang dipulihkan. Tapi bagaimana dengan para penindas itu? Tuhan Yesus mengatakan, “Kasihilah musuh-musuhmu”. Kita diminta untuk mendoakan mereka. Kiranya Tuhan menolong kita, Tuhan memperluas hati kita, dan kita bisa mengerti Tuhanlah yang menggerakkan pekerjaan-Nya di dalam Kerajaan-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading