Judul perikop ini ditulis “Yesus ditolak di Nazaret”, yaitu tempat asal-Nya. Kalau kita hanya melihat judul ini dan membaca sekilas ceritanya, mungkin kita berpikir ini suatu cerita tentang Yesus ditolak keluarga-Nya sendiri, bahwa Yesus itu sendirian, Yesus itu kasihan, karena bukan cuma musuh-musuh-Nya tapi keluarga-Nya atau orang-orang yang dekat dengan-Nya pun sekarang menolak Dia. Tetapi sebetulnya bukan itu poin dari cerita ini; poinnya bukan mau menekankan bahwa Yesus ditolak oleh orang-orang yang kenal dengan Dia. Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa Yesus ditolak oleh keluarga-Nya sendiri, mereka tidak mau menerima Dia, mereka tidak mengenal Dia yang sesungguhnya, tetapi kita tidak bisa menekankan poin tersebut dari cerita ini. Dalam cerita ini, sebetulnya yang mau ditekankan oleh Markus adalah bahwa ada satu hal yang khusus, yang membuat orang-orang Nazaret, tempat asal Yesus ini, tidak bisa menerima Dia.
Walaupun Yesus sudah melakukan mujizat, sudah mengabarkan Firman Tuhan dengan hikmat begitu tinggi, ada satu hal yang membuat mereka tetap tidak bisa menerima Kristus. Inilah yang akan kita bahas. Tema ini bukan kita buat-buat, tetapi dari posisi/lokasi (setting in book) cerita ini, poin tersebut terlihat lebih jelas lagi. Salah satu contoh, di dalam Injil Lukas, cerita yang sama ditaruh di awal pelayanan Yesus (Lukas 4), sebelum Yesus melayani. Jadi konteks yang mau ditekankan dalam Lukas, adalah bahwa Yesus sejak awal sudah mengalami penolakan. Tetapi mengapa Dia ditolak? Kita melihat di pasal 4, konteksnya adalah Yesus sedang memakai Perjanjian Lama untuk memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama juga mengajarkan umat Tuhan untuk bisa menerima orang-orang kafir, Perjanjian Lama juga menyalurkan keselamatan kepada orang-orang gentiles –lalu muncullah cerita ini. Dan orang-orang di tempat asal Yesus, mendengar Dia mengatakan hal-hal sedemikian, mereka menolak Yesus. Mereka tidak bisa menerima bahwa keselamatan sekarang disalurkan kepada orang kafir. Mereka tidak bisa terima bahwa Mesias sekarang juga datang untuk orang-orang gentiles. Tetapi konteks di Injil Markus berbeda.
Kalau kita melihat lokasi cerita ini dalam kitab Markus, cerita ini ditulis setelah Yesus memberikan perumpamaan tentang Kerajaan, dan setelah Yesus melakukan mujizat-mujizat yang besar. Setelah Yesus berfirman dan melakukan mujizat, muncullah cerita ini. Jadi, cerita ini adalah suatu respons/tanggapan terhadap apa yang Yesus katakan (Jesus’s words) dan yang Yesus lakukan (Jesus’s works). Ini bukan suatu penolakan terhadap pribadi, yang cuma gara-gara Dia itu orang Nazaret, tetapi ini satu respons terhadap perkataan Yesus dan apa yang dilakukan Yesus; dan ada satu hal yang khusus yang membuat mereka menolak Yesus. Tidak heran, dalam cerita ini orang-orang itu bertanya, dari mana Yesus mendapatkan kalimat-kalimat seperti ini, dari mana Yesus dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini.
Kita masuk ke ceritanya. Di ayat 1 ditulis ‘Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia’. Di situ Markus sengaja menulis bahwa murid-murid-Nya mengikut Dia; mengapa? Karena setelah cerita ini, kita bisa melihat bahwa Yesus mengutus kedua belas murid-Nya pergi, membuat mujizat, mengabarkan Kerajaan Surga. Itu sebabnya penting di bagian ini ditulis bahwa ada murid-murid-Nya yang mengikut Yesus, karena apa yang Yesus lakukan ini boleh dibilang semacam “kelas persiapan”; sebelum murid-murid diutus, Yesus perlihatkan kepada mereka, bahwa ‘setelah Gurumu membawakan Firman, setelah Gurumu melakukan mujizat –yang hanya bisa dilakukan oleh seorang yang diurapi Tuhan—yang terjadi adalah: ada orang yang percaya, ada orang yang tidak percaya. Jadi, ketika Saya utus kamu, kamu juga akan bisa mengusir setan, melakukan hal-hal yang besar, membawa hikmat dan Firman dari Saya, tetapi kamu akan melihat ada orang yang akan menerima dan ada yang akan menolak’.
Kalau kita melihat dalam Kekristenan sekarang, ada semacam idealisme, seolah-olah kalau kita sudah membawakan yang terbaik, bring the best case, maka orang pasti akan percaya; tetapi dalam tradisi Reformed kita sangat menekankan ‘sola gratia’, kita tahu iman adalah dari Tuhan, dan bukan dari apa yang kita presentasikan. Mungkin dalam Kristen kharismatik, mereka menganggap ‘kalau saya bisa membawa cerita kesuksesan yang paling besar, cerita mujizat yang paling besar, orang pasti percaya, orang tidak mungkin menolak’; sedangkan di kalangan Reformed seringkali orang berpikir, ‘kalau saya bisa memberikan argumen yang terbaik, sistem apolegetika yang terbaik, alasan-alasan yang terbaik, maka orang pasti diyakinkan (convinced), karena argumennya sudah sempurna, tidak ada lubangnya, tidak bisa diserang, sehingga bagaimana mungkin orang bisa menolak.’ Dan seringkali, walaupun kita percaya ‘sola gratia’, kita tidak menghidupinya; kita malah sibuk menjelaskan semuanya, secara ordonya, teknik-tekniknya, bahwa ini sola gratia, doktrin Alkitab, pasti paling betul, dst. Tetapi, meskipun kita bisa jelaskan itu dengan sempurna, orang tidak tentu percaya. Ini satu poin yang minor dari cerita ini, namun di sini Yesus membawa murid-murid-Nya untuk menekankan bahwa iman itu penting sekali, iman adalah anugerah (faith is grace), ‘kamu bisa mengusir setan, kamu akan diutus oleh Saya, tapi lihatlah lebih dulu kepada Saya, Saya pun melakukan semua ini dan ada orang yang percaya, ada orang yang tetap akan menolak’.
Kita lanjutkan ceritanya. Di ayat 2a ditulis ‘Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat’. Ada satu komentator yang menulis bagus sekali: “The synagogue becomes a place of rejection by both religion leaders and those who knew Him best” — sinagoge, tempat ibadah, menjadi tempat penolakan Kristus oleh orang-orang religius dan orang-orang yang paling mengenal Dia. Ini satu hal yang menyedihkan, karena di pasal 1 kita juga melihat hal yang sama; Yesus masuk ke sinagoge, Dia mengajar, dan yang terjadi adalah: orang-orang pemuka agama itu menolak Dia, orang-orang yang dianggap paling mengenal Tuhan tidak menerima Dia. Sekarang sekali lagi, di pasal 6 Yesus masuk ke sinagoge, dan orang yang paling dekat dengan Dia juga menolak Dia, tidak mengenal Dia. Ini ironis. Sinagoge, tempat ibadah, adalah tempat manusia seharusnya berjumpa dengan Tuhan, tetapi di Alkitab sinagoge justru menjadi tempat manusia menolak Tuhan.
Mungkin dari hal ini kita bisa bilang ‘O, ya, Gereja harus hati-hati, kita harus bijaksana, yang kita lakukan benar-benar taat kepada Firman Tuhan’, tapi poin di sini bukan itu, karena Yesus tidak sembarangan di dalam sinagoge. Yesus masuk ke tempat ibadah, dan yang Dia lakukan adalah kehendak Tuhan, pekerjaan Tuhan; yang Dia bicarakan adalah Firman Tuhan. What He did, was completely right –tidak ada salahnya. Tetapi tetap saja orang menolak Kristus. Mengapa? Markus sekali lagi sedang menekankan mengenai iman. Tanpa iman, meskipun yang kita lakukan di gereja sudah betul, tetapi itu kosong. Tanpa iman, sakramen hanya menjadi simbol. Tanpa iman, liturgi hanya menjadi suatu kebiasaan (habit). Tanpa iman, kotbah jadi cuma suatu pengajaran, seperti kita sekolah. Tanpa iman, apa yang Yesus lakukan di sinagoge, itu semua kosong. Yesus tidak melakukan kesalahan apapun, orthodox faith, orthodox words, dan semua mujizat dari Tuhan –tidak ada salahnya—tapi tetap tanpa iman, mereka tidak bisa percaya.
Selanjutnya di ayat 2, waktu Yesus di hari Sabat masuk ke sinagoge, dikatakan ‘jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia’. Di bagian ini terjemahan bahasa Indonesia agak aneh, karena yang dimaksud di sini bukan ‘takjub’ dalam pengertian positif, semacam kagum, melainkan dalam bahasa aslinya ‘takjub’ dalam pengertian negatif; waktu mereka melihat Yesus, mereka kaget, tetapi kaget yang tidak suka. Mereka tidak suka dengan apa yang mereka dengar, dan apa yang terjadi pada saat itu. Mengapa mereka kaget? Karena mereka tidak mengerti bagaimana mungkin seorang Yesus bisa berkata demikian. Mereka tidak mengerti bagaimana mungkin seorang Yesus bisa melakukan mujizat-mujizat yang Dia lakukan sebelumnya. Walaupun tidak semua orang menyaksikan mujizat tersebut, tapi pasti ada orang-orang di antara mereka yang tahu bahwa Yesus benar-benar bisa melakukan itu. Dan mereka kaget, ’koq bisa, ya, Yesus melakukan hal ini??’
Di ayat 3, mereka mulai bertanya-tanya. Mereka mengeluarkan 5 pertanyaan; 3 pertanyaan tentang pelayanan Dia –kenapa Dia bisa berkata demikian, kenapa Dia bisa ada hikmat, kenapa Dia bisa melakukan yang demikian– dan 2 pertanyaan tentang hidup pribadi-Nya –bukankah Dia itu anaknya Maria, bukankah Dia itu tukang kayu, bukankah saudara-saudara-Nya, Yakobus, Simon, dan saudara-saudara perempuan-Nya, semua kita kenal. Mengapa mereka bertanya demikian? Kenapa mereka juga harus menekankan hidup pribadinya Yesus? Mereka bertanya semua ini, poinnya adalah: mereka menganggap Yesus itu common, Yesus itu normal. ‘Dia itu tukang kayu, itu ketrampilan (skill) yang biasa-biasa saja. Dia juga belajar skill ini dari orangtua-Nya, semua tetangga kita juga belajar skill ini dari orangtuanya dan melanjutkan profesi ini. Dia tinggalnya sama dengan kita di Nazaret, saya kenal si Maria, saya kenal si Yakobus. Saudara-saudara perempuan-Nya juga tidak ada yang luar biasa, tidak ada yang extraordinary’. Mereka bertanya-tanga demikian karena mereka menganggap Yesus itu normal, biasa, ‘tidak ada bedanya dengan kita, koq’. Inilah poin/titik beratnya.
Mereka tidak bisa terima Yesus berkata-kata begitu berhikmat, karena Yesus itu normal, common, biasa-biasa saja. Kitab Yesaya bilang, penampilan Mesias itu tidak terlalu ganteng, biasa-biasa saja. He was normal! Dan mereka tidak bisa terima bahwa orang yang normal, yang biasa-biasa itu, bisa dipakai oleh Tuhan. Mereka tidak bisa terima bahwa orang yang normal seperti itu bisa jadi Mesias. Yesus itu tidak ada yang luar biasa, Dia bukan anaknya bangsawan, bukan anaknya Farisi, bukan anaknya Imam Besar; Yesus itu sama seperti mereka. Di dalam hati, mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa memakai orang yang biasa seperti ini untuk melakukan hal-hal yang besar. Yesus itu lahirnya di Betlehem, tempat biasa-biasa; Dia bukan lahir di Roma. Bagaimana mungkin Yesus itu bisa jadi mesias?? Tidak mungkin! Itu sebabnya di Alkitab ditulis ‘Lalu mereka kecewa dan menolak Dia’. Dalam bahasa Inggrisnya lebih jelas, mereka bukan saja kecewa tapi dikatakan ‘they took offense’, mereka marah. Mereka benar-benar tidak bisa terima, bagaimana mungkin Orang yang normal seperti ini bisa menjadi Orang yang dipakai Tuhan. Lalu yang mereka mau, orang seperti apa? Yang mereka mau adalah yang extraordinary, mesias yang lompat dari tempat tertinggi bait Allah dan ditopang oleh malaikat-malaikat, yang luar biasa, yang elit, mungkin bangsawan yang khusus –itulah mesias! Sedangkan Yesus yang normal, tidak mungkin mesias; mesias harus extraordinary.
Bapak/Ibu sekalian, ini bukan cuma masalah mereka, ini juga masalah kita. Seringkali ketika menghidupi narasi Injil, kita juga demikian. Kita ini cenderung tidak percaya bahwa yang normal itu ada sesuatu yang bisa diberikan kepada kita. We don’t believe the normal, the common, has anything to offer us –‘dia itu normal-normal saja, ‘gak mungkin dia bisa memberkati kita’. Kita maunya yang extraordinary. Kita itu mau menyembah yang extraordinary. Kita ini percaya bahwa Tuhan bekerja melalui orang yang extraordinary, sedangkan orang yang biasa, yang normal, yang sama seperti kita, sorry ya, anugerah kamu kecil, kamu cuma normal saja, kamu ‘gak extraordinary. Kita seringkali begitu.
Dalam dunia Kekristenan, seringkali kita menganggap pahlawan-pahlawan Kristen itu orang-orang yang extraordinary, yang sejarah hidupnya luar biasa, yang dulu bangkrut lalu jadi kaya, yang dulu dianiaya lalu mengalahkan kesulitan, dsb. Khususnya dalam gereja Injili, itulah yang dianggap extraordinary; orang-orang yang dulu hidupnya pahit, setengah mati, susah, inilah orang-orang yang Tuhan bekerja melalui mereka. Sedangkan orang yang common, yang normal, yang sudah lahir di keluarga Kristen, yang “biasa-biasa saja”, itu bukan pekerjaan Tuhan, itu normal. Tetapi coba kita bayangkan, misalnya Yesus baru mulai pelayanan, dan kita undang Yesus: “Kita mau bikin KKR, tolong dong, Kamu kasih kesaksian bagaimana Kamu mengenal Tuhan, bagaimana Kamu bisa mengikut Tuhan, menghidupi iman; coba ceritakan”. Kita bisa membayangkan apa yang Yesus jawab. “O, Saya yang paling susah dulu dilahirkan di kandang binatang, tempat paling hina. Setelah itu, umur 12 tahun Saya pernah hilang, Saya ditinggalkan di bait Allah selama 3 hari. Tapi Saya oke-oke aja, Saya belajar, Saya bertanya, Saya dapat makan, lalu setelah 3 hari juga orangtua Saya balik lagi cari Saya.” Setelah itu apa? Tidak ada cerita lagi. Kalau kita minta kesaksian Yesus di awal-awal pelayanan-Nya, ya, cuma itu saja, tidak ada cerita lagi –lahir di kandang binatang, umur 12 tahun ditinggal di bait Allah. Tidak ada cerita orangtua yang setengah mati, ikut perang dunia, dan semacam itu. Normal saja. Kalau di saat itu kita mendengar Yesus, mungkin kita juga sama, kita melihat Yesus normal saja. He is too normal to become a messiah! Tidak mungkin!
Bapak/Ibu sekalian, Juruselamat kita itu normal. He was normal. Dia sama dengan kita. Dia itu biasa. Tetapi, Yesus normal dalam arti apa? Yesus normal di dalam arti Dia sungguh-sungguh bisa melakukan kehendak Tuhan –itu normal. Dia bisa sungguh-sungguh mengasihi Tuhan –itu normal. Di dalam pengertian seperti itulah Yesus normal. Dia benar-benar bisa taat mengikut Tuhan. Dia sungguh-sungguh bisa sepenuh hati mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dia bisa sungguh-sungguh menaati kebenaran Tuhan. Di dalam hal itulah Dia normal. Kita ini tidak normal. Kita ini abnormal. Dosa membuat kita abnormal, kita tidak bisa lagi taat kepada Tuhan sepenuhnya. Kita tidak bisa lagi mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati. Kita tidak bisa lagi mengasihi sesama dengan sepenuh hati. Kita tidak bisa lagi sepenuhnya menghidupi kebenaran Tuhan. Kita ini semuanya abnormal. Jesus ability to be normal, makes Him extraordinary. Yesus yang normal, itulah yang membuat Dia spesial. Yang membuat Yesus extraordinary, bukanlah gara-gara Dia bisa melakukan ini itu; yang membuat Yesus extraordinary adalah karena Dia normal. Dia sungguh-sungguh bisa menjalankan fungsi, peran, panggilan sebagai manusia yang normal.
Kita semua tidak normal, abnormal. Panggilan Kekristenan adalah panggilan untuk menjadi normal. Seringkali kita menganggap bahwa kita dipanggil untuk mejadi khusus, spesial, extraordinary, seakan-akan kita ini normal. Seolah-olah kita sekarang ini dalam level normal lalu dipanggil untuk jadi spesial. Tidak demikian. Kita ini di bawah normal, kita abnormal; dan kita dipanggil untuk menjadi normal, menjadi seperti Kristus yang adalah normal human being, yang tidak dinodai oleh dosa, yang bisa sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai 100% manusia. Itulah panggilan kita.
Kita lanjutkan ceritanya. Yesus kemudian menanggapi mereka; di ayat 4 Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” Seringkali di Gereja kita menemukan ada orang yang memakai Gereja sebagai eskapisme, pelarian. Banyak orang Kristen yang mungkin di rumah tidak bertanggung jawab, mungkin mereka tidak menemukan jati diri di rumah, dan mereka lari ke Gereja. Di tampilan luarnya, kita melihat ini orang yang rajin, pelayanannya banyak, dalam semua kepanitiaan ada namanya. Tapi kadang-kadang kita perlu berhati-hati juga terhadap orang yang di setiap kepanitiaan muncul namanya; kalau orang itu benar-benar menghabiskan semua waktunya dalam pelayanan, siapa yang layani keluarganya? Pelayanan dia di rumah bagaimana? Ada orang yang di Gereja super aktif, tapi sebetulnya di rumah tidak bertanggung jawab; dan kadang-kadang orang seperti ini paling suka dengan ayat ini, ‘nabi itu ‘gak diterima di rumahnya, tapi di gereja, di lingkungan orang yang mengenal Tuhan, nabi diterima, jadi saya juga demikian’. Tetapi, kita percaya Yesus bukan demikian. Ayat ini juga bukan untuk dipakai kita menjustifikasi diri sendiri. Ketika Yesus mengatakan nabi tidak diterima di rumahnya, Dia sedang mau menekankan poin yang sama, bahwa nabi, yang kita anggap tinggi, seperti Elia, Yohanes Pembaptis, yang berada di padang gurun, yang hidupnya seakan jauh di sana, mistis, extraordinary, itu kita suka; sedangkan nabi kalau di rumah, ya, common, normal, dia juga dilahirkan seorang ibu, dia juga punya saudara, di rumah dia juga harus sama-sama menyapu atau cuci piring, ‘gak ada bedanya dengan saudara-saudara yang lain, normal-normal aja. Nabi di rumahnya tidak diterima, mengapa? Karena dia normal.
Poin yang sangat penting dalam hal ini: kita tidak suka yang normal, kita lebih suka yang extraordinary. Narasi hidup kita bukan cuma tentang bagaimana diri kita terhadap orang-orang yang kita worship, tetapi juga terhadap pekerjaan/pelayanan kita. Seringkali kita menganggap pelayanan yang extraordinary adalah pelayanan yang penuh dengan kuasa; KKR yang di Gelora Bung Karno itu penuh dengan kuasa, sedangkan mimbar keluarga tidak. Mengapa? Karena kita menghina yang normal. Kita tidak suka yang normal. Tapi, Yesus itu normal. Jesus was very normal. Panggilan kita, dalam satu aspek kita dipanggil untuk menjadi normal.
Selanjutnya, di ayat 5 ditulis: ‘Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka.’ Di sini seolah-olah menunjukkan bahwa mereka tidak beriman, tidak percaya, dan Yesus jadi terhalang, tidak bisa melakukan mujizat di sana. Dan ayat ini paling disukai oleh orang-orang radikal yang suka melakukan mujizat; kita sering mendengar cerita orang yang datang ke KKR penyembuhan, tapi dia tidak sembuh, lalu pendetanya –yang radikal—mengatakan “Kamu masih ada dosa, maka kamu tidak disembuhkan; atau kamu kurang iman, kamu ‘gak beriman, maka Tuhan juga tidak bekerja di atas hidup kamu. Mereka yang sembuh ini orang beriman, mereka sungguh-sungguh percaya, sedangkan kamu kurang percaya makanya kamu tidak sembuh. Yesus di Nazaret pun ‘gak bisa melakukan mujizat karena orang-orang tidak percaya. Kamu harus percaya dulu; kalau kamu percaya, kamu akan disembuhkan”. Mereka memakai cerita dari ayat ini, tetapi kita sudah melihat di cerita-cerita sebelumnya dalam Injil Markus, Yesus melakukan mujizat dalam situasi ada ataupun tidak ada iman. Dia tetap melakukan mujizat, Dia tetap melakukan pekerjaan Tuhan. Pekerjaan Tuhan, atau mujizat yang Yesus lakukan, itu tidak dipengaruhi oleh iman kita. Dalam cerita anak perempuan Yairus, tentu saja kita melihat Yesus mengatakan “jangan takut, percaya dulu”; jadi memang ada aspek di mana iman serta mujizat ada relasinya, tetapi kita tidak bisa bilang bahwa harus beriman dulu baru ada mujizat.
Pertanyaannya, jadi mengapa di tempat asalnya Yesus tidak bisa melakukan mujizat, bahkan di Alkitab ditulis “satu pun tidak bisa”? Pertama, kita harus mengerti bahwa ketika Yesus melakukan mujizat, Dia bukan sedang menjual mujizat, Dia bukan sedang jadi badut yang ke mana-mana melakukan mujizat untuk pamer. Ketika kita melihat cerita Injil, seringkali yang terjadi adalah Yesus melakukan mujizat, dan Dia minta semua orang untuk diam, tidak kasih tahu siapa-siapa. Di sini harusnya jelas bagi pembaca Alkitab, bahwa Yesus tidak mau dikenal sebagai miracle worker, Dia tidak mau dikenal sebagai mesias yang hanya melakukan penyembuhan, mengusir roh jahat; Dia tidak mau manusia salah mengerti –walaupun Dia tetap melakukan mujizat. Ada satu hal yang sangat penting –khususnya di Injil Markus—ketika Yesus ke mana-mana melakukan mujizat, dan ada orang yang menerima maupun tidak menerima Dia, setidaknya mereka percaya Tuhan sedang bekerja melalui Orang ini. Baik mereka suka ataupun tidak suka Yesus, mereka tetap tahu/sadar bahwa Tuhan bekerja melalui Orang ini, ini bukan Orang sembarangan. Bahkan musuh-musuh-Nya tahu Tuhan sedang bekerja, tapi mereka tidak rela, sampai-sampai mereka bilang bahwa itu Beelzebul. Waktu mereka bilang seperti itu, sebetulnya mereka takut bahwa Tuhan benar-benar bekerja melalui Yesus. Jadi, bahkan musuh-musuh pun percaya God is working through Him. Meski begitu, karena orang-orang Nazaret ini menganggap Yesus itu biasa, normal, mereka tidak bisa percaya Tuhan sedang bekerja melalui Orang yang normal ini. Dia terlalu biasa; ‘Dia terlalu mirip dengan kita, tidak mungkin Tuhan bekerja melalui Dia’. Maka di Nazaret, tempat asal-Nya, Alkitab mengatakan bahwa Yesus tidak membuat satu mujizat pun; mengapa? Karena itu seperti membuang mutiara kepada babi. “Kamu sama sekali tidak percaya pada Saya, ngapain Saya melakukan mujizat”.
Seandainya Yesus tetap melakukan mujizat, cuma ada 2 kemungkinan hasil: pertama, mereka akan menganggap Yesus sedang show off, sombong, cuma pamer keahlian-Nya; kedua, Yesus itu penipu. Jadi hasilnya salah satu, antara ‘Yesus itu sombong’ atau ‘Yesus itu penipu’. Itulah sebabnya di Nazaret, tempat asal-Nya, Yesus tidak melakukan banyak mujizat, kecuali atas beberapa orang yang sakit, Yesus meletakkan tangan-Nya. Ini menjadi penghiburan bagi kita; di satu kota yang dari atas sampai bawah sudah menolak Kristus pun, tetap ada orang yang percaya. Yesus bukan menyembuhkan orang-orang ini gara-gara Dia harus melakukannya karena ‘ini teritori Saya, Saya harus melakukan mujizat di sini’ –bukan itu. Di sini Markus mau menekankan, bahwa di dalam satu sistem yang semuanya tidak percaya Yesus dipakai Tuhan dan menolak Dia, tetap ada orang yang percaya, dan Yesus menyembuhkan mereka. Ini penghiburan untuk kita bisa terus melakukan penginjilan, terus ada pengharapan dalam melakukan pekerjaan Tuhan. Seringkali kita bisa sangat pesimis, ‘dunia ini sudah hancurlah, ‘gak ada pengharapan; Gereja ini sudah hancurlah, ‘gak ada pengharapan’, tetapi kalau kita melihat di sini, Nazaret itu tidak ada pengharapan, tidak menerima Dia, namun Alkitab menulis bahwa Yesus tetap melakukan mujizat. Mengapa? Karena tetap ada orang yang percaya. Di Perjanjian Lama, Sodom dan Gomora tempat yang benar-benar hancur, tapi tetap ada Lot, satu orang, yang diselamatkan.
Terakhir, ayat 6: ‘Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka’, atau dalam bahasa Inggrisnya ‘Jesus marveled about their unbelief’, Yesus terheran-heran, koq bisa ya, orang tetap tidak percaya, sementara Dia sudah melakukan begitu banyak hal, sudah membuktikan dari pasal 1 sampai pasal 6 dalam begitu banyak kejadian, dan tetap mereka tidak bisa percaya. Di sini kita melihat apa? Yaitu bahwa orang yang beriman adalah orang yang bisa melihat keindahan Kristus di dalam ke-normal-an Dia, orang yang percaya bisa melihat Tuhan di dalam diri Yesus yang normal. Orang yang beriman, orang yang percaya, dia bisa melihat inkarnasi itu indah; Yesus menjadi budak itu indah. Orang yang beriman, orang yang percaya, orang yang diberkati, dia bisa melihat salib itu satu-satunya pengharapan; the ugliness of the cross, yang begitu rendah, yang begitu jijik, itulah keindahan Tuhan, kemuliaan Tuhan. Sedangkan orang tidak percaya, orang yang tidak beriman, mereka adalah orang-orang yang terus mencari yang extraordinary, mereka menolak yang common, yang ugly. Mereka maunya mencari yang spesial, yang khusus, yang di atas sana. Mereka terus-menerus melihatnya yang di atas sana, mereka hanya percaya mesias itu di atas sana, tidak bisa di bawah. Untuk orang yang demikian, inkarnasi tidak ada artinya, salib tidak ada keindahannya. Namun untuk orang yang beriman, untuk orang yang percaya, kita bisa percaya, bisa melihat keindahan, pengharapan, keselamatan di dalam Dia yang disalibkan, yang dihina, yang vulnerable, yang lemah, bahkan yang normal .
Kiranya Firman Tuhan hari ini bisa menolong dan membantu kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading