Kita sedang dalam satu seri khotbah mengenai mengenal diri Allah. Lima khotbah sebelumnya, kita sudah melihat Allah sebagai pencipta, Allah sebagai pemelihara, Allah yang mahakuasa, Allah yang memegang janji, Allah yang adalah gembala; hari ini khotbah ke-6, kita mau membicarakan mengenai Allah yang indah, mengenai mengenal Tuhan dalam aspek the beauty of God.
Di mana istilah “keindahan” muncul dalam Mazmur 27 ini? Sepertinya kita tidak melihat-nya, namun kalau Saudara baca ayat 4, “Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya”, istilah “kemurahan” di sini, bahasa Ibraninya adalah noam, yang sebenar-nya lebih tepat diterjemahkan dengan beauty, artinya delightfulness –menyaksikan keindahan Tuhan; jadi Daud di sini sedang membicarakan pengalaman ‘datang ke rumah Tuhan’ sebagai pengalaman dia bisa memandang keindahan-nya Tuhan. Tapi ini bukan alasan utama kita mau membahas mengenai keindahan Tuhan; keindahan Tuhan penting untuk kita bahas karena keindahan ini punya karakter yang menarik. Kapan Daud mengalami keindahan tersebut, dikatakan di ayat 5, “Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.” Jadi, Daud memandang keindahan Tuhan di mana? Di rumah Tuhan. Kapan? Pada hari-hari bahaya; dalam bahasa Ibrani literalnya yaitu pada days of trouble, yang pada dasarnya berarti pada hari-hari perseteruan.
Mundur ke ayat 2 dan 3, ini jadi lebih jelas, karena konteks situasinya Daud sedang dalam keadaan penjahat-penjahat menyerang dia, tentara berkemah mengepung dia, timbul peperangan melawan dia. Belum lama ini kita baca berita Israel sedang diserang oleh Hamas, dan PM-nya baru saja mendekla-rasikan perang; Saudara bisa bayangkan tidak, menikmati keindahan Tuhan justru dalam momen-momen seperti itu? Susah memba-yangkannya, karena pengalaman kita memang tidak seperti itu. Tapi Daud justru mengatakan bahwa dia ingat, dia ingin, dia menyaksikan keindahan Tuhan, justru pada masa dia sedang dalam peperangan! Kalau kita sulit memba-yangkan ini, kita rasa kurang nyambung karena banyak dari kita tidak pernah mengalami perang, kita bisa lompat ke ayat 10, Daud mengatakan, “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.” Jadi, konteks yang Daud bicarakan bukan cuma dalam masa perang, tapi juga dalam masa-masa yang personal seperti misalnya Saudara bahkan ditinggalkan oleh orangtua Saudara. Dari arah yang personal sampai arah yang kenegaraan, semua perseteruan A-Z ini, adalah konteks di mana Daud malah mengatakan dia teringat apa artinya meman-dang keindahan Tuhan.Saudara, kenapa ini penting? Karena ini berarti bahwa pengalaman “beauty of God” di dalam Alkitab bukanlah suatu eskapisme.
Banyak gereja dan jemaat pada hari ini –termasuk mungkin juga di tempat ini– sengaja atau tidak sengaja mengejar eskapisme waktu datang ke Gereja. Dalam buku dari Matthew Kaemingk, salah satunya dia mengkritik suatu gaya Gereja yang dia sebut sebagai “saccharine worship”, atau bisa dibilang “ibadah gulali/ibadah gula-gula”, yaitu ibadah atau Gereja yang isi liturginya, lagu-lagunya, kalimat-kalimatnya, doa-doanya, khotbah-khtbahnya, senantiasa berusaha menghadir-kan gambaran “Tuhan yang manis, baik, indah”, tapi itu gambaran Tuhan yang indah yang ujungnya tidak realistis, tidak jujur terhadap situasi dunia riil. Dalam ibadah gereja seperti itu, tidak ada tempat untuk mengakui atau melihat bahwa dunia ini dunia yang rusak, yang penuh dengan ketidakadilan, penindasan, kejahatan, dst. Ibadah gereja-gereja seperti itu isinya sentimentalitas, baper-baperan, sweetness, positive thinking, dan pada akhirnya kalau kita datang ke gereja itu terus-menerus, cepat atau lambat kita menangkap apa message utamanya, yaitu: “Kesedihanmu tidak di-welcome di tempat ini, kefrustrasianmu tidak di-welcome di tempat ini, ratapanmu itu tidak ada tempatnya di sini; ini sebuah happy place!”
Waktu saya dulu mahasiswa, kalau ada acara besar seperti misalnya KKR Pak Tong di GBK, dsb., kami disuruh keliling untuk humas; dan waktu humas ke gereja-gereja, adakalanya kami harus ikut dalam ibadah mereka juga. Secara umum ibadah gereja-gereja di Jakarta, lagu-lagunya mengajak orang untuk berdansa, pemimpin ibadahnya minta orang berdiri, tepuk tangan, menari-nari, dsb. Lalu satu kali, sementara pemimpin ibadah melakukan seperti itu dan jemaat menari-nari, lompat-lompat, dsb., dia melihat kami yang bergeming –dan kami juga bingung harus ngapain. Yang menarik, pemimpin ibadah itu lalu mengatakan, “Saya masih melihat ada orang-orang yang belum dimerdekakan dalam Kristus!”, sampai rasanya kami ada tekanan untuk bergoyang-goyang sedikitlah. Saudara lihat, di dalam ekspektasi gereja-gereja seperti ini, hal yang negatif tidak ada tempatnya. Gereja kita mungkin tidak sampai ke situ, tapi bisa jadi kita sendiri melakukan seperti itu waktu memimpin ibadah kita mengatakan, “Saudara-saudara, kita harus bersukacita karena Tuhan sudah memimpin kita, sudah menciptakan kita! Mari kita bersukacita bersama-sama!” Pendeta Ivan Kristiono pernah mengatakan kepada saya, “Jethro, kalau kamu suatu hari jadi liturgis, jangan pernah melakukan itu di mimbar”; kenapa? Dia mengatakan, “Karena kita tidak pernah tahu, orang hari itu datang ke gereja untuk bersukacita atau untuk meratap.”
Saudara, gereja harusnya menyediakan ruang untuk orang maratap, kita lihat saja kitab Mazmur isinya penuh dengan ratapan. Jadi, ini bukan cuma problem dari gereja-gereja lain, banyak dari kita pun secara sadar atau tidak sadar mencari keindahan yang seperti ini, kita inginnya di gereja menyanyi “Grace Alone” atau lagu-lagu seperti “Why Have You Chosen Me”. Bukan ada yang salah dengan lagu-lagu seperti itu, tapi kita inginnya menyanyi lagu-lagu yang seperti itu saja, ulang-ulang 10 kali sampai rasa “enak”, tapi begitu dapat lagu dengan tangga nada minor seperti “Agungkan Allahmu …”, kita tidak tahu harus ngapain dengan lagu seperti ini, karena tidak terbiasa. Ini satu hal yang menyedihkan, karena akhirnya konsep kein-dahan, konsep kebaikan, konsep kebajikan, yang ditawarkan Gereja, seringkali bersifat eskapis –“kita datang ke gereja untuk melupa-kan, menghindari, dan membuang semua kefrustrasian dalam dunia ini”. Tetapi, itu bukanlah jenis keindahan yang Saudara lihat di dalam Alkitab. Adalah bahaya, kalau Gereja senantiasa memberikan ibadah yang seperti tadi. Kalau Saudara sebagai pendatang di situ, paling tidak Saudara bisa mulai curiga, ‘koq orang-orang gereja ini seperti hidup di alam lain, ‘gak nyambung dengan realitas’; realitas dunia yang penuh dengan kerusakan dan penderitaan tidak disebut sama sekali dalam gereja seperti itu –itu yang pertama. Namun yang lebih celaka, kalau Saudara bukan cuma datang satu dua kali tapi ikut terus dalam gereja-gereja seperti itu, beribadah terus dengan orang-orang seperti itu, karena cepat atau lambat Saudara akan mulai curiga, bukan kepada gerejanya melainkan curiga terhadap dirimu sendiri, Saudara akan mulai mengata-kan, “Yang gila siapa ya? Yang gila jangan-jangan saya, karena kenapa saya koq, tidak bisa happy seperti pemimpin-pemimpin ibadah ini, kenapa saya tidak bisa mempertahankan kebahagiaan Kristen sepan–jang minggu seperti mereka? Ada apa yang salah dengan saya??” Saudara, mungkin tidak ada yang salah denganmu, tapi karena gereja berusaha membungkam semua realitas hidup, akhirnya kita jadi bisa punya ekspektasi seperti itu.
Kalau Saudara mau menilai Kekeristenan yang sejati, Saudara harus melihat bahwa Kekeristenan sejati itu tidak mungkin bersifat eskapis –karena Mazmur tidaklah eskapis. Keindahan Allah yang sejati, sesungguhnya harus bisa dialami di tengah-tengah keterpurukan hidup —seperti Daud. Jika tidak bisa, maka itu bukan keindahan Allah yang sejati, bukan Kekeristenan yang sejati. Saudara lihat pengalaman “beauty of God” bagi Daud, itu lain sama sekali, bukan eskapisme, bukan ibadah gulali; ini adalah pengalaman yang membuat Daud bisa mengatakan di ayat 6, “Meskipun musuh-musuhku mengelilingi aku –selagi mereka mengelilingi aku– aku bisa mengangkat kepalaku dengan tegak”. Ini bukan eskapisme sama sekali, ini Daud di dalam situasi musuh-musuhnya sedang mengepung dia; tetapi dalam situasi tersebut, karena dia memandang akan keindahan Tuhan, maka dia bisa mengangkat wajahnya.
Demikian introduksi yang pertama, kenapa kita perlu belajar “keindahan Tuhan” dalam Alkitab, karena mungkin ini satu konsep yang berbeda dari apa yang kita pikir selama ini. Dan dengan demikian, yang kedua, kita coba membahas apa “keindahan Tuhan” itu, kalau itu bukanlah sebagaimana yang selama ini kita alami atau percayai. Sebelum masuk ke “keindahan Tuhan”, kita perlu terlebih dahulu mengerti apa artinya melihat keindahan secara umum; dan baru dari situ kita akan melihat keindahan Tuhan.
Kalau Saudara melihat di dalam Alkitab, yang namanya memandang keindahan Tuhan, itu tidak pernah cuma berarti berada dalam ruang yang sama dengan sesuatu yang indah. Misalnya di dalam Mazmur 16:11 dikatakan, “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah”; dalam bahasa Ibrani kata ‘hadapan/hadirat’ ini memakai istilah yang sama dengan ‘muka/wajah’. Jadi dalam bahasa Ibrani tidak ada istilah yang khusus untuk mengungkapkan kehadiran seseorang, selain istilah ‘wajah’ orang. Misalnya kalau dikatakan “aku menghadap raja”, bahasa Ibrani aslinya adalah “aku memandang wajah raja”. Dengan demikian Saudara bisa mengerti, bahwa di dalam Alkitab, kehadiran seseorang tidak pernah cuma urusan geografis, kehadiran seseorang tidak pernah cuma urusan Saudara berada di ruang yang sama dengan dia, kehadiran seseorang selalu adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih personal; Saudara bisa bayangkan, kalau seseorang hadir bersama-sama dengan Saudara, tapi dia tidak mau memandang wajahmu, rasanya lain ‘kan. Jadi Alkitab tidak memisahkan antara hadir dan memandang wajah; bagi Alkitab, yang namanya mencari wajah Tuhan, atau mencari hadirat Tuhan, artinya adalah melihat Tuhan atau mengalami Tuhan.
Dalam pengalaman keindahan pun sama juga; yang namanya memandang keindahan, itu bukan cuma urusan persepsi, “O, ada sesuatu yang indah di sini; ini barang yang indah, itu barang yang jelek, saya bisa bedakan secara objektif” –tidak demikian. Yang nama-nya mengalami keindahan, di dalam Alkitab berarti ada sesuatu yang lebih, berarti Saudara tergugah oleh barang tersebut; Saudara diubah, digetok oleh barang ini, karena barang ini terlalu indah maka itu membuat Saudara pada dasarnya jadi belok. Itu sebabnya adalah beda, antara melihat dan melihat keindahan. Melihat/mempersepsi, tentu saja itu bisa berguna. Misalnya Saudara sedang jalan lalu melihat ada orang berjalan ke arah Saudara –Saudara mempersepsi dia– itu berguna, karena Saudara jadi bisa memutuskan apa tindakan yang tepat. Kalau dia itu musuhmu, maka Saudara langsung belok cari jalan lain. Kalau dia temanmu, Saudara bisa say “hi” misalnya. Atau, kalaupun Saudara tidak kenal orangnya, dengan menyadari ada orang yang berjalan ke arah Saudara, maka Saudara jadi bisa menghindari bertabrakan dengan dia. Jadi, persepsi/melihat adalah berguna, utilitarian. Namun di sinilah bedanya antara melihat dengan melihat sesuatu yang indah; ketika kita melihat sesuatu itu indah, berarti ini melampaui sekadar urusan berguna, bermanfaat, useful/, utilitarian.
Anak saya sekarang sudah 11 bulan; dan mereka pada dasarnya saat ini useless, tidak ada gunanya sama sekali. Mereka memang sudah bisa mulai berespons terhadap perintah kita, misalnya sedang main di playground lalu kita bisa bilang, “Mana bola?” maka dia ambil bola, kita bilang, “Kasih ke papa” maka dia kasihkan. Yang menarik, mama mertua saya berhasil mengajarkan mereka untuk tepuk-tepuk pundak atau pantatnya seperti kalau kita mau menidurkan mereka; kalau dibilang, “Ayo, pok-pok”, maka mereka langsung datang dan tepuk-tepuk seperti mau menidurkan kita, padahal kita tidak perlu. Lucu banget –indah–namun juga apa gunanya mereka bisa ambilkan kita bola, apa gunanya mereka pok-pok kita? Tidak ada gunanya, dan tidak perlu. Kalau suatu hari mereka sudah tumbuh dewasa, sudah jadi remaja, mungkin mereka bisa berguna, mereka bisa disuruh mengepel, bisa disuruh cuci piring. Kalau mereka sudah lebih dewasa lagi, mereka lebih berguna lagi, mereka bisa cari duit, lalu kalau kita sudah pensiun dan butuh pemasukan maka mereka mungkin bisa mengisinya. Semakin mereka dewasa, semakin mereka berguna. Tetapi yang lucu, Saudara merasa momen-momen anakmu itu terindah adalah justru dalam fase-fase mereka tidak berguna tadi ‘kan. Semua orang bilang ke saya, “Jethro, sebisa mungkin nikmati masa-masa mereka bayi ini, karena akan segera hilang”; kenapa? Karena pengalaman akan keindahan, bukanlah terutama soal kegunaan. Pengalaman keindahan adalah sesuatu yang kita kejar demi dirinya sendiri, terlepas soal dia berguna atau tidak berguna, menguntungkan atau merugikan. Punya anak sebetulnya sangat merugikan, paling tidak secara ekonomi, bahkan dalam segala hal, namun demikian pengalaman punya anak justru satu pengalaman yang paling indah yang manusia bisa alami. Dengan demikian Saudara jadi sadar apa maksudnya waktu Daud mengatakan dia ingin memandang keindahan Tuhan. Waktu Daud mengatakan dia ingin memandang Tuhan, menyadari siapa Tuhan itu, dan apa yang Dia telah lakukan, melihat apa arti nama-Nya, sungguh-sungguh melihat Dia beautiful, berarti ini sesuatu yang dia lakukan hanya demi diri Tuhan dan bukan karena Tuhan berguna bagi dia; dan itu sebabnya tidak heran Daud bisa tetap mengagumi keindahan Tuhan meskipun pada dasarnya hidupnya hancur. Hidup Daud itu hancur, dia dikelilingi musuh, ditinggalkan ayah ibu; tapi justru dalam momen seperti itu dia bisa mengalami pengalaman tersebut.
Apa implikasinya bagi kita? Kita jadinya menyadari, seberapa sedikitnya orang Kristen yang benar-benar mengalami hal ini. Berapa banyak orang yang sungguh mengalami keindahan diri Tuhan, dan bukan cuma mengalami keindahan berkat-berkatnya Tuhan? Apakah kita selama ini bisa membedakannya, atau tidak? Dalam hal ini ada satu disclaimer, Saudara jangan jadi pikir berkat Tuhan itu sesuatu yang negatif; bukan demikian. Agustinus, seorang teolog dan Bapa Gereja, membedakan apa yang disebut dengan uti dan frui. Uti adalah hal-hal yang kita pakai, kita ambil, kita kejar, karena berguna/ bermanfaat; frui adalah hal-hal yang kita kejar semata-mata karena indah pada dirinya sendiri. Intinya, bagi Agustinus uti adalah barang-barang yang berguna, sementara frui adalah barang-barang yang indah. Dalam hal ini kita tidak membaca Agustinus mengatakan misalnya: “Begini ya orang-orang Kristen, kamu jangan jadi orang utilitarian, pakai barang cuma buat menggunakan, habis manis sepah dibuang, tidak boleh seperti itu; maka buang semua hal-hal yang uti dalam hidupmu, pokoknya kamu harus kejar frui saja” –Agustinus tidak seperti itu. Agustinus mengata-kan, “Tidak masalah kamu menggu-nakan hal-hal yang bisa digunakan itu; berkat Tuhan adalah uti, silakan pakai, silakan nikmati, tidak masalah. Tetapi, kiranya kamu menyadari bahwa kegunaan utama dari hal-hal yang bersifat uti adalah untuk membawamu mendapatkan yang frui, yaitu menikmati Tuhan pada diri-Nya sendiri”. Jadi, uti bagi Agustinus tidak masalah, tapi itu adalah sarananya, sementara tujuannya/goal-nya adalah menik-mati Tuhan pada diri-Nya sendiri. Berkat Tuhan mau Saudara nikmati, silakan, tetapi Saudara tidak pernah boleh lupa tujuan dari berkat Tuhan itu apa. Berkat Tuhan tidak boleh jadi tujuan, berkat Tuhan hanyalah sarana untuk Saudara menikmati Allah pada diri-Nya sendiri terlepas dari semua berkat itu. Ini berarti, bagi Agustinus gunanya barang-barang yang berguna adalah untuk pada akhirnya mendapatkan barang yang tidak berguna —in some sense; kalimat ini memang provokatif, tapi kita bisa ubah, yaitu bahwa guna dari barang-barang yang berguna adalah untuk pada akhirnya mendapatkan hal yang indah, yaitu hal yang Saudara kejar bukan karena gunanya. Jadi berkat Tuhan silakan digunakan, itu tidak masalah sama sekali. Bagi Agustinus, problemnya bukan urusan kita menggunakan berkat-berkat Tuhan, tetapi ke mana tujuan kita menggunakan berkat-berkat Tuhan itu. Kembali lagi kepada kita, pertanyaannya adalah: kita selama ini bagaimana? Waktu Saudara mengalami keindahan Tuhan, itu berarti menyadari segala berkat Tuhan dan segala kebaikan Tuhan adalah uti, sarana, bukan tujuan, maka jika semua berkat ini hilang, tidak masalah, karena Saudara sudah mendapatkan tujuannya. Ini namanya orang yang mengerti keindahan Tuhan sehingga tidak perlu escape dari segala macam kehancuran hidup.
Hari ini kita ada Google Maps, dan kita bisa menikmatinya. Di Google Maps Saudara bisa melihat satelite view, elevation, traffic, dsb., tetapi ketika Saudara sudah sampai tujuan, Google Maps-nya tentu Saudara matikan, atau bahkan kadang tidak dimatikan tapi Saudara cuekin saja, sudah tidak penting lagi, kita tinggal screen lock saja dan selesai urusan; kenapa? Karena itu cuma sarana, dan sekarang tujuannya sudah tercapai; begitu tujuannya sudah tercapai, sarananya ada atau tidak ada itu tidak penting, mau hilang pun tidak masalah, kita tidak peduli, ada terus pun kita tidak peduli karena kita tidak bergantung pada itu lagi. Menarik, ya. Di sini kita baru sadar, betapa jarang sekali kita mengalami keindahan Tuhan seperti itu, yang pada diri-Nya sendiri, yang terlepas dari berkat-berkat dan kebaikan-Nya. Meskipun berkat itu membawa kita menikmati keindahan Tuhan ini, tetapi keindahan Tuhan ini independen dari berkat-berkat-Nya –itu kayak apa, koq, ‘gak kebayang?? Inilah tepatnya yang terjadi, karena kita begitu jarang mengalaminya. Yang kedua, kita baru sadar bahwa sering kali kita terbalik, kita bukan menggunakan berkat-berkat Tuhan untuk mencapai Tuhan tapi kita malah menggunakan Tuhan untuk mencapai hal-hal yang lain itu. Kita malah menjadikan Tuhan uti, untuk mencapai frui-frui yang lain dalam hidup kita, yang bukan Tuhan. Buktinya apa? Buktinya ketika masa-masa hidup kita mulai nyaman, kita merasa tidak perlu lagi berdoa; ketika masa-masa hidup kita ada problem, baru kita mencari-cari Tuhan. Saudara lihat, kalau begini yang mana uti, yang mana frui??
Ini menyambung dengan poin kita berikutnya mengenai “apa itu keindahan”. Dalam bahasa Ibrani ada beberapa istilah yang biasa disebut sebagi beauty, tidak cuma istilah noam tapi juga ada istilah yofi. Istilah yofi kita temukan dalam Yesaya 33:17, “Engkau akan memandang raja (maksudnya Tuhan) dalam semaraknya”. Kata semarak di sini bukan terjemahan yang terbaik, karena yofi mengandung makna keindahan/beauty tapi dalam arti keindahan yang excellent, yang puncak. Istilah yang sama juga muncul dalam Mazmur 50:2 ketika dikatakan, “Dari Sion, puncak keindahan (yofi), Allah tampil bersinar.” Jadi, mengalami keindahan Tuhan adalah mengalami Tuhan sebagai suatu hal yang excellent, yang sempurna, yang puncak. Saudara mengalami seperti ini dalam mengalami keindahan yang lain juga, misalnya waktu Saudara mengatakan, “Nah, barang itu tuh, paling … “, itulah pengalaman yofi, pengalaman keindahan yang puncak, “pokoknya ini yang paling”.
Apa imiplikasinya jika kita melihat Tuhan seperti ini, sebagai puncak keindahan? Kalau misalnya kita sedang capek, yang saking capeknya sampai tidak bisa tidur, capek yang penuh tekanan sehingga istirahat pun tidak bisa; lalu kita ngapain? Kita biasanya akan berusaha mengekspos diri kita dengan keindahan –meski kita tidak mengatakannya dengan istilah itu– kita pasang headphone, putar musik favorit, duduk di sofa, tutup mata. Itu sebenarnya kita bukan sekadar nge-cas baterai, kita sedang mengekspos diri kita dengan keindahan. Caranya bisa apa saja, tidak harus cuma dengan dengar musik, tapi intinya kita perlu ada break. Yang menarik, break ini biasanya Saudara habiskan bukan dengan tidur 3 hari tanpa bangun-bangun; sering kali kita memakai break ini untuk pergi liburan, dan malah kadang-kadang aktifiitas dalam liburan justru lebih padat dibandingkan waktu kita kerja. Misalnya kita pergi ke Gunung Bromo, bangun jam 3 pagi, sedangkan kalau hari biasanya kita ke kantor mana mungkin bangun sepagi itu. Dan lucunya, ketika Saudara balik dari liburan, Saudara bisa rasa capek namun juga disegarkan. Kenapa? Karena ternyata kunci dari kesegaran bukan cuma urusan otot dan asam laktat, tapi urusan mengalami keindahan. Ini satu hal yang diperlukan manusia.
Seorang penulis, Iris Murdoch, menceritakan pengalamannya ketika suatu hari dia begitu kesal, marah, penuh dengan self-pity, bete, lalu dia memandang keluar jendela dan melihat seekor burung elang sedang melayang (hovering) di langit. Saudara tahu, burung elang bukan cuma bisa terbang ke depan; kadang-kadang dalam daerah tertentu ada arus udara panas, yang karena panas maka arus udara ini naik ke atas sehingga burung-burung bisa mengendarai arus udara ini dan melayang di tempat, tidak jatuh, diam di tempat dan cuma jaga keseimbangan. Keren banget. Waktu Iris Murdoch melihat itu, dia mengatakan dirinya mengalami sesuatu yang disebut unselfing, dia keluar dari dirinya, dibawa keluar dari kesempitan dirinya. Dalam momen kekaguman ini, Murdoch mengatakan, tidak lagi ada dirinya, hanya ada si elang. Dan menarik, setelah itu ketika dia kembali kepada dirinya, dia melihat problemnya secara lain sekarang; dia mengatakan, “Kenapa saya begitu sempit, ya; kenapa saya begitu terganggu dengan masalah-ku itu. Kalau saya lihat keseluruhan dunia ini, dalam skala yang begitu besar, maka apa artinya sih, ke-bete-an saya??” Saudara lihat, keindahan yang true beauty itu membawa kita keluar dari diri kita, unselfing; kenapa? Karena keindahan itu bersifat puncak, excellent, sempurna, maka waktu kita mendekati puncak ini, kita jadi direlatifkan –bukan problem kita hilang tapi kita jadi kecil atau jadi tidak signifikan– dan waktu kembali, kita bisa melihat problem-problem itu dengan perspektif yang lebih tepat; inilah efek keindahan. Murdoch mengatakan, itu sebabnya semua orang butuh hal ini, manusia tidak bisa hidup tanpa ini. Manusia tidak utuh hidupnya tanpa mengalami beauty, karena beauty adalah salah satu hal yang membuat kita unselfing.
Saudara, ini satu hal yang kita lihat sebagai salah satu tanda keindahan Tuhan. Mazmur 16 tadi mengatakan, “Di hadapan-Mu –di wajah-Mu– ada fullness of joy”. Dalam bahasa asli Ibrani untuk menekankan sesuatu, orang Ibrani pakai dobel pengulangan, misalnya day of days (harinya hari). Atau istilah “ruang mahasuci”, dalam bahasa Ibrani tidak ada kata “maha”, mereka menyebutnya “holy of holies” (ruang sucinya kesucian). Demikian juga dalam Mazmur ini Daud mengatakan ‘di wajah-Mu Tuhan, ada the joy of joys’, artinya ini puncak, ini yang paling tinggi, tidak bisa ada yang lain lagi, ini adalah tanda dari keindahan Ilahi. Untuk mengerti ini, kita bisa kembali ke Agustinus; Agustinus bukan teolog yang ekstrim. Waktu Saudara membaca mengenai keindahan, kadang ada orang-orang yang mengatakan, “Sudahlah, tolak semua kenikmatan duniawi, itu semua tidak ada artinya dibanding kenikmatan dari keindahan Tuhan. Semua gunung, laut, dan segalanya itu sampah, cuma Tuhan yang indah”. Ini ekstrim. Di sisi lain, ada orang-orang yang mengatakan, “Gunung, laut, dan semua ciptaan begitu indah; kamu menemukan Tuhan di dalamnya, Tuhan tidak beda dengan keindahan alam ini”. Dalam hal ini, Agustinus bukan dua-duanya. Agustinus tidak mengatakan “tidak perlu Tuhan”, Agustinus juga tidak mengatakan “gunung dan lautan dibuang saja”; Agustinus mengatakan, “Apa sesungguhnya yang kamu cari ketika kamu mencari keindahan di gunung-gunung dan di lautan, dan di musik, dan di wajah manusia? Yang sesungguhnya kamu cari, adalah sesuatu yang bisa dipenuhi ketika kamu menemukan wajah Tuhan dan keindahan Tuhan, karena itu puncaknya”. Jadi, Agustinus tidak menolak yang lain itu. Silakan pakai selama kamu tahu tujuannya apa, karena waktu kita memenuhi hidup dengan keindahan-keindahan, itu adalah suatu berkat. Tetapi cepat atau lambat Saudara akan tahu, di dalam segala keindahan yang Saudara dapatkan di dunia ini, itu tidak pernah memuncak, tidak pernah cukup.
Satu hal yang menarik, kalau Saudara kenal orang atau teman yang dianggap cantik atau super ganteng, dan semua orang senang dengan mereka, lalu Saudara ada kesempatan ngobrol-ngobrol secara mendalam dengan dia, apa yang Saudara temukan? Sering kali Saudara menemukan orang-orang seperti ini menyebalkan, tidak harus karena karakternya jelek tapi menyebalkan dalam arti mereka mengatakan, “Gua sebenarnya ‘gak merasa diri gua cantik” –lalu kalau orang secantik itu rasa tidak cantik, jadi kita apa?? Tapi ini realitas; orang-orang yang dalam dunia ini mengalami pengakuan begitu banyak bahwa mereka cantik, baik, indah, sering kali mereka sendiri merasa diri mereka tidak cukup. Ada sebuah serial TV berjudul “Queen’s Gambit” di Netflix, salah satu serial TV yang review-nya cukup tinggi, orang-orang menerima dengan baik drama tersebut. Ini drama yang mengetengahkan tentang percaturan, tokoh utamanya seorang wanita yang jago sekali catur. Yang menarik, seorang reviewer mengatakan, sebagai sebuah drama tentang percaturan, urusan teknik dan strategi catur sebenarnya tidak muncul di situ, jadi apa yang membuat drama ini begitu menarik banyak orang? Jawabannya menurut dia, cuma satu: lihat saja apa yang disorot terus-menerus oleh sutradara, yaitu bukan papan catur dan bidak-bidaknya, melainkan wajah aktrisnya. Memang benar, serial itu dari depan sampai belakang fokusnya adalah wajah si aktris; ke manapun dia pergi, yang diperlihatkan adalah wajahnya, reaksinya, dsb. Kenapa? Karena dia cantik banget, yaitu Anya Taylor-Joy, yang ada darah campuran Argentina-Inggris. Berhubung serial TV ini begitu melambung, satu kali director dan aktrisnya di-interviu; dan waktu di-interviu, aktris ini mengatakan, “Saya tidak pernah merasa diri saya cantik” —nyebelin ‘kan, karena kalau kita punya tampang kayak dia, kita akan merasa puaslah (dalam hal ini saya tidak merasa si aktris cuma false-humility, sebab dia menceritakan waktu dia mengatakan itu ke pacarnya, yang sekarang sudah jadi suaminya, suaminya sampai bilang, “Lu tahu ‘kan, kalau orang dengar lu ngomong kayak begini, lu bakal dianggap sombong banget”). Jadi dia memang merasa dirinya tidak cantik, tidak atraktif. Lalu twist-nya apa? Twist-nya adalah: dia tidak bisa mengingkari perasaan tersebut. Twist-nya adalah: kalau kita punya wajah seperti Anya Taylor-Joy, kita pikir kita akan merasa puas, tapi nyatanya Anya Taylor-Joy –dan tentu saja banyak contoh yang lain– tidak merasa demikian. Selalu ada yang kurang, selalu ada yang rusak, selalu ada yang tidak mencapai puncak. Kenapa bisa demikian? Agustinus mengatakan, karena memang yang bisa sungguh-sungguh mengisi kebutuhan kita akan beauty yang true itu hanyalah keindahan Tuhan sendiri, yang memuncak itu. Di sini Saudara bisa menyadari, inilah sebabnya ketika Saudara bisa mendapatkan keindahan Tuhan, Saudara bisa mengangkat wajahmu tegak dalam semua situasi, meskipun hidupmu dikepung musuh-musuh dan orang jahat, meskipun kau ditinggalkan oleh ayahmu dan ibumu.
Tahun 1851, Allen Gardiner, seorang Inggris, pergi ke Amerika Selatan untuk jadi misionaris. Dia seorang perwira di Angkatan Laut Inggris, bukan prajurit rendahan; dan pada zaman itu menjadi misionaris berarti benar-benar dia meninggalkan seluruh hidup. Allen Gardiner mencapai tempat bernama Tierra del Fuego di Amerika Selatan –pada dasarnya dia bersama beberapa awak kapalnya terdampar di sana– dan mereka tidak bisa masuk ke suku setempat. Mereka hanya punya persediaan untuk sekitar 6 bulan lalu harus disuplai oleh negara mereka, jika tidak, mereka akan mati. Tapi suku-suku di tempat itu sangat memusuhi dan tidak mau menerima mereka. Mereka juga sulit berburu karena mereka meninggalkan semua senapan di kapal yang mereka tumpangi. Mereka cuma punya sekoci, mereka tidak bisa pergi ke laut kepas; dan di sekoci hanya ada persediaan untuk 6 bulan, sementara suplai yang harus dikirim ke mereka tertahan di Inggris. Akhirnya satu demi satu dari mereka mulai meninggal; dan kita bisa menebak Allen Gardiner mati terakhir dari jurnal yang ditemukan bersama dengan mayatnya. Dia mencatat di jurnal itu, bagaimana satu per satu temannya mati lalu pada akhirnya tinggal berdua. Dan dalam catatan terakhirnya, dia mengatakan temannya itu kemarin berjalan pergi, dan pasti sudah mati; dikatakan di catatan itu: “Dia memang pergi untuk mati; dan ini momen-momen terakhir saya”. Kalau Saudara baca isi jurnalnya, Saudara akan bingung, koq bisa ya, orang dalam keadaan kelaparan, kehausan, no hope, menulis jurnal yang isinya begitu tenang dan penuh ucapan syukur. Aneh. Apa ucapan syukurnya? Salah satu tulisan terakhir dia demikian: “Terpujilah Tuhan yang luar biasa baik dan agung, karena Dia memberikan kepadaku 5 hari terakhir tidak ada makanan ataupun minuman, tetapi aku tidak merasakan lagi lapar ataupun haus, aku bersyukur kepada Tuhan” –itu ucapan syukurnya. Lalu dia kutip Mazmur 34:11, “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatu pun yang baik.” Kenapa orang ini tidak marah, tidak ngamuk?? Dia menyerahkan segala sesuatu, kariernya, kenyamanannya, security-nya demi Tuhan, dan Tuhan membiarkan semua ini terjadi pada dia, lho, tapi kenapa dia tidak marah? Jawabannya simpel: karena dia punya apa yang sesungguhnya semua manusia cari lewat karier, lewat kenyamanan, lewat security; dia punya apa yang sesungguhnya semua manusia cari di gunung-gunung, di lautan, dan juga di musik, yaitu keindahan yang puncak yang indah bukan karena berguna, keindahan yang puncak yang dikejar bagi keindahan itu sendiri. Gardiner bukan menggunakan Tuhan untuk mencapai sesuatu yang lain; tahu dari mana? Yaitu karena Tuhan pada dasarnya “tidak berguna” buat dia, tapi Tuhan adalah keindahan yang puncak baginya, dia mendapatkan hal yang terutama itu maka dia tidak masalah dengan hal-hal yang lan.
Di sini kita baru sadar, banyak orang beragama menggunakan Tuhan untuk mendapatkan hal-hal yang lain itu. Taat Tuhan demi ini dan itu. Melayani Tuhan demi ini dan itu. Namun umat Tuhan melayani Tuhan demi Tuhan, untuk mendekat kepada-Nya, untuk melihat senyuman-Nya, untuk hanya menempel dengan-Nya, karena Tuhanlah keindahan yang puncak itu. Dan, ini berarti Allen Gardiner meninggal dengan kepala yang terangkat tegak, meskipun dia dikelilingi oleh kelaparan, kehausan, dan kematian, karena dia memandang kepada keindahan Tuhan. Semua berkat-berkat Tuhan jadi sekunder demi hal yang satu ini, itu cuma sarana demi tujuan yang ini; karena ia sudah mendapatkan yang ini, maka ketika yang lain tidak ada, tidak masalah.
Poin ketiga/terakhir: “bagaimana bisa menjadi seperti itu?” Atau mungkin pertanyaan yang lebih jujur: bagaimana bisa mau jadi seperti itu –karena kalau mau jujur, kalau kita disuruh memilih antara Tuhan dengan semua hal-hal lain itu, karier, kenyamanan, security, dll., saya akan pilih semua yang lain itu. Bagaimana bisa melihat Tuhan sebagai puncak keindahan?
Di sini Saudara perlu tanya dulu, di mana Saudara menyaksikan yang seperti itu. Pada dasarnya Daud memberitahukan jawabannya kepada kita dalam Mazmur 27 tadi; dikatakan di ayat 4, yaitu diam di rumah Tuhan, menyaksikan keindahan Tuhan, menikmati bait Tuhan. Jadi , Daud mengatakan “aku melihat keindahan Tuhan di rumah Tuhan”. Ini bukan cuma Daud, misalnya juga dalam Mazmur 84, mazmur bani Korah: “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!” –dan ini maksudnya bukan surga melainkan bait suci Yerusalem– “Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! Hatiku hancur merindukan pelataran-Mu”. Saudara juga melihat dalam Mazmur 65: “Berbahagialah orang yang Engkau pilih dan yang Engkau suruh mendekat untuk diam di pelataran-Mu! Kiranya kami menjadi kenyang dengan segala yang baik di rumah-Mu, di bait-Mu yang kudus”. Jadi, dalam Perjanjian Lama kita berkali-kali melihat bahwa tempat untuk memandang keindahan Tuhan adalah di bait Allah. Saudara tentu tahu, kita bisa memandang kebaikan Tuhan, keindah-anTuhan, di alam ciptaan, karena ada dikatakan, “Langit menceritakan kemuliaan Tuhan …”; tetapi Saudara lihat, message dari Perjanjian Lama adalah: kalau Saudara mau mengalami keindahanTuhan yang paling intens, paling ultimat, paling luar biasa, paling keren, Saudara harus pergi ke bait Allah. Dengan demikian kita perlu bertanya, ada apa di bait Allah? Ada banyak hal, tapi salah satunya yang paling center, sebagaimana disebut dalam mazmur bani Korah tadi, yaitu ada altar, tempat pengorbanan.
Tempat pengorbanan dalam kompleks bait Allah yang paling sentral adanya di mana? Seperti Saudara tahu, Tabut Perjanjian, tutupnya disebut tutup pendamaian (mercy seat), yang di atasnya ada dua kerub; dan ini tutup pendamaian yang setiap tahun satu kali, dalam hari penebusan/pendamaian, imam besar akan datang masuk dan mencipratkan darah pengorbanan untuk melambangkan umat Israel yang ditebus, ke keseluruhannya (hari Yom Kippur). Ini bukan cuma tempat penebusan dan pengudusan dilakukan, Saudara juga membaca Tuhan mengatakan ‘kemuliaan-Ku akan muncul di tengah-tengah tutup pendamaian’ ini. Kalau Saudara perhati-kan desain interior ruang mahasuci dan mem-bandingkan dengan kuil-kuil agama zaman kuno, Saudara akan mengerti apa poinnya. Dalam rekonstruksinya, tabut perjanjian terletak di bawah, lalu ada 2 kerub, dan di ruang mahasuci ini ada 2 kerub lagi yang besar di belakang, sangat tinggi sampai belasan meter, sayap mereka mengembang sedemikian sehingga ujung sayap kiri kerub yang satu menyentuh ujung sayap kanan kerub lainnya. Para ahli mengatakan, ini adalah sebuah takhta; kaki Tuhan bertumpu di tabut perjanjian, Ia duduk ditopang oleh kerub-kerub tersebut. Kalau di kuil-kuil agama lain, di sana ada patung dewa mereka; sedangkan dalam bait suci Israel tidak ada patung dewanya, hanya ada takhta yang kosong, yang maksudnya di situlah Tuhan menampakkan kemuliaan-Nya. Dengan demikian, dalam bait suci Yerusalem, keindahan Tuhan, kemuliaan Tuhan, terutama diperlihatkan di atas tempat penebusan –ini message-nya.
Tentu saja Saudara bisa melihat keindahan Tuhan dalam ciptaan, tapi pada dasarnya Tuhan menetapkan untuk orang melihat kemuliaan dan keindahan-Nya lebih jelas di dalam penebusan. Ini satu hal yang kita lihat di dalam diri Yesus Kristus. Dalam Yohanes pasal 4 ada cerita perempuan Samaria yang berdialog dengan Yesus Kristus; perempuan ini mengatakan, “Kamu mengaku jadi Mesias, jadi jawab aku satu pertanyaan: nenek moyang-Mu, orang Israel, menyembah Allah di Yerusalem; nenek moyangku bikin kuil sendiri di Samaria, jadi harusnya menyembah di mana? Yang mana yang benar?” Tuhan Yesus tidak menja-wab, “Harus di Yerusalem!” Tuhan Yesus juga tidak menjawab, “Tidak usah main takhayul-takhayul, di mana pun bisa, ‘kan semua ciptaan Tuhan, maka menyembah Tuhan bisa di mana-mana.” Tuhan Yesus mengatakan, “Hai wanita, akan datang segera waktunya orang-orang yang menyembah Allah akan menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran –bukan di dalam gedung bait suci itu lagi tapi di dalam roh dan kebenaran”. Dan, Saudara tahu waktunya telah datang; apa yang terjadi sehingga waktu tersebut datang? Yaitu Yesus naik ke atas kayu salib. Di Filipi 2 kita membaca, meskipun Yesus Anak Allah dan setara dengan Allah, Ia mengosongkan diri-Nya akan kemuliaan-Nya, ini berarti Dia mengosongkan diri-Nya akan keindahan-Nya. Saudara baca di Yesaya 53: “Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun (yofi) tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.”
Yesus Kristus datang dengan tidak beautiful! Yesus Kristus datang secara ugly, Yesus Kristus datang tanpa excellence, Yesus Kristus datang bukan dengan sebagai filsuf besar, atau jendral besar, atau bahkan mem-punyai kebesaran dalam hal permukaan yaitu tampang cakep. Tidak ada itu semua. Yang terjadi adalah: Kristus, yang adalah puncak dari segala keindahan, Dia kehilangan, menyerahkan, mengosongkan diri-Nya dari segala keindahan itu, naik ke atas kayu salib di mana Dia digebuki sampai babak belur, sehingga Yesaya 52 mengatakan, “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia –begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi”. Kenapa Dia melakukan ini? Karena Dia sedang membayar hukuman, menanggung penalti, dari dosa kita.
Apakah hukuman dosa kita itu? Kita selama ini pikir tidak ada urusannya hukuman dosa dengan keindahan. Tapi sesungguhnya ada. Saudara tahu, waktu Tuhan menciptakan dunia ini, dikatakan di Kejadian 2:9, “Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya”. Ini bukan cuma pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat yang menarik, tapi semua pohon diciptakan secara indah adanya. Saudara juga tahu, Adam dan Hawa itu telanjang dan tidak merasa malu; berarti mereka juga begitu indah. Tapi kemudian kita berpaling dari Tuhan, kita memutuskan untuk menjadi tuan atas hidup kita sendiri, menjadi juruselamat atas hidup kita sendiri, dan kita dibuang dari taman itu. Apa artinya? Artinya yaitu Mazmur 103:15-16, “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Saudara, kecelakaan manusia bukanlah bahwa kita jelek semua, melainkan kita punya keindahan namun keindahan ini senantiasa fana dan berlalu, flitting, seperti bunga tumbuh hari ini indah dan besok hilang ditiup angin. Itulah tragedi kehidupan manusia, bukan? Lahir jadi bayi, begitu indah, lalu naik jadi remaja, pemuda, ganteng dan cakep luar biasa, dan setelah itu hilang. Restoran yang enak, satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dan sudah tidak enak lagi. Bahkan gunung, dalam jangka waktu yang amat panjang, lama-lama jadi kerikil. Itulah kehidupan manusia. Itulah kutukan dosa.
Yesus Kristus mengambil kutukan ini; di atas kayu salib, Yang Puncak Indah menjadi buruk rupa, sengsara, menjadi tunas dari tanah kering, tidak ada harapan, kisut, layu, dan mati. Dan, oleh karena Ia naik ke atas kayu salib dan menanggung dosa dunia, Alkitab mengatakan, “Barangsiapa percaya kepada-Nya, menerima-Nya, maka apa yang Kristus lakukan, kita mendapatkan, karena apa yang kita lakukan, Kristus ditimpakan”. Ini berarti di mata Allah, orang-orang yang percaya kepada anak-Nya, beautiful. Bukan cuma di mata Allah, kita beautiful, Efesus 5 mengatakan Yesus itu Pengantin Pria yang sejati, Dia bukan cuma menikahi kita, Dia membasuh dan membersihkan kita, maka kita bukan hanya akan indah di mata Allah, tapi Saudara akan melihat dengan matamu satu dengan yang lain, kita semua menjadi indah karena kita akan menjadi umat yang tidak bercacat cela dan sempurna. Yesus Kristus kehilangan keindahan-Nya, menjadi buruk rupa, supaya Saudara dan saya yang buruk rupa dan terkutuk bisa menjadi indah, oleh karena pengorbanan-Nya, oleh karena penebusan-Nya. Dia melakukan itu bagi Saudara dan saya. Apa reaksimu terhadap hal ini?
Saudara, inilah kasih Tuhan. Tapi ini bukan cuma kasih, ini kasih yang berkorban! Yesus mengorbankan keindahan-Nya demi membuat kita jadi indah; ini justru hal yang terindah, lebih indah dari segala sesuatu, lenih indah dari gunung-gunung dan lautan, puncak dari kein-dahan, bukan? Maka tidak heran keindahan Tuhan engkau temukan di mana, yaitu di bait Allah, di atas tempat Tuhan mengorbankan diri-Nya, di atas tempat Tuhan menebus umat-Nya. Bagaimana Saudara bisa mendapatkan keindahan seperti ini terus-menerus? Saudara datang ke bait Allah. Apa yang Daud lakukan di bait Allah? Doa dan firman. Itu saja. Saudara mungkin kecewa mendengarnya, sama seperti dengar nasehat yang itu-itu lagi, “vitamin C, tidur cukup, olah raga” –maunya antibiotik. Tapi tidak demikian. Solusinya sebenarnya selama ini Tuhan sudah sediakan, cuma kita saja yang senantiasa tidak mau bertekun di dalamnya, tidak ada rahasia lebih daripada firman dan doa. Kenapa doa? Karena doa tidak ada gunanya buatmu; karena waktu Saudara datang bersama-sama di persekutuan doa, Saudara berlutut, tidak ada suara dari langit menjawabmu. Benar-benar tidak ada. Tidak ada kelihatan apa-apa. Tapi justru dalam keadaan seperti inilah Saudara bisa mengalami keindahan yang sejati, yang bukan sarana tapi tujuan. Kenapa firman? Belum lama saya baru menyadari hal ini; dalam Yehezkiel ada cerita yang terkenal, “the valley of the dried bones”, ada banyak tulang-tulang yang kering, dan waktu Tuhan tanya Yehezkiel, “Apakah ini bisa hidup lagi?”, Yehezkiel jawab, “Tuhan yang tahu”. Kemudian adegannya begitu dramatis, tulang-tulangnya mulai bersatu satu dengan yang lain, muncul tendon, syaraf, kulit menutupi, dst., lalu menjadi tentara yang besar. Tapi coba perhatikan, apa yang Tuhan pakai untuk membangkitkan orang-orang ini? Apakah Tuhan mengatakan, “Yehezkiel, duduk manis di sana diam-diam ya, Aku akan menjentikkan jari dan tiba-tiba mulai tendon- tendon itu muncul”? Tidak. Tuhan mengatakan, “Yehezkiel, kamu seorang pengkhotbah, khotbahlah kepada tulang-tulang itu sekarang!” Lalu Yehezkiel mengata-kan, ‘selagi aku berkhotbah kepada tulang-tulang itu, aku mendengar derak-derik tulang menyatu satu dengan yang lain, muncul syaraf, tendon, kulit, dan mereka berdiri menjadi bangsa yang besar’. Jadi apa kuncinya? Firman Tuhan. Tidak lain dari itu. Saudara cinta dan haus akan firman Tuhan, atau tidak? Itu yang jadi pertanyaan.
Saudara, gereja kita mau memberikan Alkitab kepada anak-anak di Sumba –dan kita tahu itu cuma langkah pertama. Para reformator menerjemahkan Alkitab, menulis bervolume-volume tafsiran untuk mengajar orang bagaimana mengerti Alkitab dengan benar –itu juga perlu. Tapi tetap saja, itu langkah pertama yang krusial; kenapa? Karena kita percaya, kuncinya adalah firman Tuhan! Jurnal Allen Gardiner penuh dengan ayat-ayat Alkitab, dia tahu luar dalam, dia punya satu kebiasaan careful study Alkitab bertahun-tahun, maka ketika harinya tiba, dia tahu apa yang tujuan dan apa yang sarana. Kalau Saudara setia dalam perkara kecil, Saudara baru dapat dimasukkan dalam perkara yang besar. Pertanyaannya adalah: apakah kita menyadari akan hal ini?
Kiranya keindahan Tuhan memenang–kanmu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading