Kita akan membaca kisah tentang Tabut Allah yang dirampas dan ditaruh di kuil Dagon, dan kita akan membahas bagaimana Tabut Allah itu kembali dengan sendirinya ke Israel. Sebelumnya, saya akan memberikan sedikit gambaran ceritanya. Suatu kali, orang Israel dalam peperangan melawan orang Filistin, dan Israel kalah besar, sekitar 3000 orang mati. Mereka frustrasi dan bertanya-tanya, mengapa Tuhan membiarkan mereka kalah. Lalu mereka mencetuskan satu ide, ‘bagaimana jika kita membawa Tabut Allah’; suatu ide yang bagus, membawa “bom nuklir” ke peperangan maka musuh akan kalah semua. Ketika Tabut itu dibawa ke medan peperangan, orang Israel sangat bahagia, mereka yakin akan menang. Orang Filistin pun sangat ketakutan, “Ini ‘kan Tabut Allah yang menghajar dewa-dewa Mesir dengan tulah-tulah-Nya, celaka, kita pasti mati.” Jadi dua-duanya sangat tahu akan kehebatan Yahweh. Tapi, ternyata orang Israel mengalami kekalahan lebih besar lagi; orang Filistin kemudian menawan Tabut itu dan membawanya ke kuil Dagon. Mereka mengarak-arak Tabut itu sebagai trophy kemenangan, “Kita menang, Dagon menang, Yahweh kalah.” Malam itu Tabut ditaruh di kuil Dagon, lalu esok harinya mereka mendapati patung Dagon jatuh seakan-akan bersujud di hadapan Tabut Allah. Mereka membangunkannya kembali, tapi besok paginya mereka mendapati gambaran kekalahan yang lebih besar lagi; kalau yang sebelumnya memalukan, yang ini benar-benar kehancuran total, Dagon kalah di kandangnya sendiri, kepala dan kedua tangannya terputus, seakan-akan hancur di hadapan Tabut Allah.
Di sini kita bisa melihat, Tuhan tidak akan membiarkan diri-Nya diperlakukan sebagai jimat oleh umat Allah, dan Dia juga tidak akan membiarkan diri-Nya diperlakukan sebagai piala/trophy kemenangan oleh orang-orang Filistin. Bukan hanya Dagon yang mencicipi kekuatan dari Yahweh, orang-orang Filistin pun nanti akan dihajar Tuhan, mengalami banyak tulah, borok-borok, dan tidak bisa ditolong oleh Dagon yang sudah putus kepalanya itu. Mereka akan belajar bahwa Allah ini Allah yang tidak bisa dikungkung, Allah yang tidak bisa fit in terhadap kategori-kategori mereka, Dia Allah yang bebas, Allah yang berdaulat melakukan apa yang Dia inginkan.
Setelah 7 bulan dihajar habis-habisan –tadinya Tabut Allah di kota Asdod, lalu dipindah ke kota Gat, dipindah lagi ke kota Ekron, dan dari kota ke kota yang mereka dapati adalah tulah, hukuman demi hukuman Tuhan–akhirnya orang Filistin berkata, “Enough is enough”. Mulai dari sini, kita akan membahas bagian yang pertama, dari 1 Samuel 6:1-2, mengenai Tuhan berurusan dengan orang-orang Filistin.
Hal pertama yang ditulis di bagian ini adalah: ‘Setelah tujuh bulan lamanya tabut TUHAN itu ada di daerah orang Filistin’. Kita tahu, kalau mengalami tulah yang besar, 7 bulan itu rasanya lama sekali; Covid Delta kita hadapi selama 2 bulan, dan itu saja sudah sangat mengerikan, tetapi di bagian ini sampai 7 bulan. Di sini kita perlu bertanya, kenapa mereka menunggu selama itu sampai akhirnya baru menyerah? Ada yang menafsirkan 7 bulan ini sebagai kegenapan waktu, bahwa ini waktu yang genap, waktu yang komplit, komplit penderitaannya mereka. Kita juga bisa mengerti memang sepertinya waktu yang cukup lama, mereka sudah memindahkan Tabut itu dari kota ke kota, jadi pastinya bukan waktu yang singkat. Lalu kenapa menunggu lama begitu? Yaitu karena orang biasanya menyerah, kalau sudah mentok, kalau sudah benar-benar tidak ada cara lain. Selama masih bisa mencoba menangani dengan kekuatannya, dan selama masih bisa bertahan, mereka tidak akan menyerah. Itulah yang dilakukan sampai 7 bulan, dan akhirnya tidak tahan lagi, enough.
Pernah ada jemaat yang mengalami seperti itu; pakai credit card sampai maksimum, lalu tidak bisa bayar. Dia lalu ambil pinjol, bukan cuma satu dua tapi sampai belasan, dan akhirnya gali lubang tutup lubang sini sana, sampai tidak ada lagi yang bisa digali dan yang bisa ditutup, baru akhirnya menyerah. Bersyukur akhirnya urusan itu bisa ditangani, tapi sering kali banyak kasus harus dilalui sampai mentok dan tidak ada jalan keluar, seakan-akan benang kusutnya sudah tidak bisa diurai. Itulah yang seringkali para hamba Tuhan hadapi. Ketika jemaat datang konseling, biasanya bukan di stadium 1, tapi sudah stadium 4 dalam permasalahan, baru datang konseling. Sudah belasan tahun, atau bahkan puluhan tahun dalam pernikahan yang tidak saling membangun, pernikahan yang saling melukai, pernikahan yang sudah tawar dan pahit, baru datang ke hamba Tuhan dan berharap dalam 2-3 kali sesi konseling bisa rukun kembali, permasalah bisa selesai. Tapi tidak semudah itu. Seharusnya kita jangan tunggu sampai sudah mentok; dalam permasalahan, jangan tunggu sampai stadium 4 baru cari pertolongan, kadang-kadang it’s too late.
Di ayat 2 dikatakan, orang Filistin itu memanggil para imam dan para petenung. Di sini mereka jelas bahwa mereka perlu pertolongan, tapi mereka mencari pertolongan kepada imam-imam mereka dan petenung-petenung mereka. Mereka jelas banget bahwa Tabut ini tidak bisa lagi berada di tengah-tengah mereka. Awalnya mereka bangga, ‘Allah Yahweh yang sudah mengalahkan Mesir, sekarang bisa kami kalahkan’; dan Tabut itu jadi trophy kemenangan mereka. Mereka pikir Tabut sudah jatuh ke tangan mereka, tapi faktanya merekalah yang jatuh ke tangan Yahweh. Dan dikatakan di pasal 5, ‘tangan Allah menekan orang-orang itu dengan berat’, ini tangan yang benar-benar keras dan kuat, sampai akhirnya mereka tidak tahan, ‘lebih baik kita menyerah sebelum nanti kita salah langkah lagi’. Itu sebabnya mereka mencari petenung, supaya mereka membuang Tabut itu dengan cara yang aman, jangan sampai salah mengambil tindakan dan malah dihukum lebih berat lagi. Namun, mereka mencari nasehat di tempat yang salah; sudah tahu kanker stadium 4, tapi bukan datang ke dokter malah ke bengkel sebelah.
Ayat 2-3: “Apakah yang harus kami lakukan dengan tabut TUHAN itu? … bagaimana kami harus mengantarkannya kembali ke tempatnya.” Lalu kata mereka: “Apabila kamu mengantarkan tabut Allah Israel itu, … haruslah kamu membayar tebusan salah kepada-Nya; maka kamu akan menjadi sembuh dan kamu akan mengetahui, mengapa tangan-Nya tidak undur dari padamu.” Perhatikan, orang kafir saja tahu satu hal yang banyak orang modern sekarang tidak mengerti, yaitu: kalau orang bersalah/berdosa, harus ada tebusan salah; sementara yang kita sering kali dapatkan dalam keberatan-keberatan terhadap Kekristenan adalah: ‘kenapa harus ada salib, kenapa harus ada tebusan dosa, kenapa Kristus harus mati, why can’t God just forgive, kenapa Tuhan tidak bisa mengampuni begitu saja sih, kenapa harus pakai korban-korban yang berdarah-darah begini?’ Orang modern tidak sadar mereka itu pendosa (sinners) —sinners in the hands of an Angry God, sebagaimana khotbah Jonathan Edwards. Sedangkan orang-orang di bagian ini, yang pernah mengalami betapa kerasnya tangan Tuhan, mereka sadar, ini tidak bisa kita sekadar lewatkan tanpa tebusan salah. Itu sebabnya mereka dinasehati untuk membayar tebusan salah; dan itu tebusan yang mahal, dengan emas yang harus dibentuk seperti borok-borok dan tikus-tikus yang menimpa mereka (dalam hal ini ada penafsir yang menafsirkan sebagai sympathetic magic; kalau mereka bikin borok-borok dan tikus-tikus emas yang lalu diusir keluar, maka borok-borok dan tikus-tikus di tanah mereka juga ikut pergi bersama-sama dengan borok-borok dan tikus-tikus emas tersebut). Ini sekaligus bentuk persembahan yang bisa meredakan amarah Tuhan yang murka itu.
Selanjutnya kita akan lebih fokus pada ayat 5: “Jadi buatlah gambar borok-borokmu dan gambar tikus yang merusak tanahmu, dan sampaikanlah hormatmu kepada Allah Israel. Mungkin Ia akan mengangkat dari padamu, dari pada allahmu dan dari pada tanahmu tangan-Nya yang menekan dengan berat”; bahasa Inggrisnya: “You shall give glory to the God of Israel; perhaps He wiil ease His hand from you.” Kalau kita ingat cerita di pasal-pasal sebelumnya, di sini kita mendapat satu ironi besar, karena yang menyuruh memberikan kemuliaan kepada Allah Israel justru imam-imam Filistin dan petenung-petenung ini —tukang guamya, dukun–mereka ini yang menasehati orang Israel untuk memberikan kemuliaan kepada Allah Yahweh. Ironi besar, karena mereka harusnya tidak memberikan kemuliaan kepada Allah yang sejati. Dan, kalau kita mau bandingkan, ironi yang lebih besar lagi adalah: imam-imam Israel, yang seharusnya memberikan kemuliaan kepada Allah, malah tidak memberikan kemuliaan. Kita melihat di pasal 2, ketika kita diperkenalkan dengan seorang imam dari bangsa Israel, yaitu Imam Eli dan anak-anaknya, apa yang mereka lakukan? Di pasal 2 tersebut dicatat gambaran-gambaran yang sangat tidak cocok dengan gambaran seorang imam.
Pasal 2:12 dikatakan: ‘Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN’. Inilah gambaran imam-imam tersebut; mereka imam Allah Yahweh, tapi kelakuannya tidak beda dengan imam kafir. Ayat 17: ‘sangat besarlah dosa kedua orang muda itu di hadapan TUHAN, sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN.’ Kita tahu di dalam cerita tersebut, setiap kali umat datang membawa korban, mereka tidak mempersembahkan kepada Yahweh lebih dulu, sebaliknya mereka ambil dulu yang mereka mau, lalu yang mereka tidak suka baru dipersembahkan kepada Yahweh. Ini tindakan yang benar-benar kurang ajar, bukan saja terhadap umat, tapi lebih lagi terhadap Tuhan; seakan-akan mereka harus dapat yang pertama, lalu Yahweh dapat sisa-sisanya. Kita mungkin pikir ini anak-anak Eli, anak muda, biasalah anak muda tidak tahu diri; tapi coba kita lihat bapaknya, Eli. Ternyata bapaknya tidak jauh beda; ayat 29 dia ditegur Tuhan melalui perkataan seorang abdi Allah: “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku (bahasa aslinya: mengapa kamu memberikan kemuliaan lebih kepada anak-anakmu dibanding kepada Tuhan) sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?” Selanjutnya ayat 30 Tuhan mengatakan: “siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi siapa yang menghina Aku, akan dipandang rendah”.
Sekarang kita kembali ke pasal 6:5 perkataan dari imam kafir itu, “Mungkin Ia akan mengangkat dari padamu, dari pada allahmu dan dari pada tanahmu tangan-Nya yang menekan dengan berat.” Kita melihat, imam kafir itu saja bisa pakai kata ‘mungkin’. Memang di sini bisa ada dua alasan mereka memakai kata ‘mungkin’; pertama, bisa jadi mereka menyadari kalau diri mereka tidak cukup qualified, mereka mengakui keterbatasannya, dan tidak bisa memastikan apakah metode yang mereka usulkan tersebut akan berjalan efektif atau tidak; atau yang kedua, mereka tidak berani lagi memaksakan kehendaknya, dan mereka menyerahkan kepada keputusan/kedaulatan Yahweh, Dia Tuhan yang bebas bertindak, tidak bisa lagi paksakan kehendak kita. Seperti mereka saksikan, Tabut bisa mereka tawan, tapi Yahweh itu bebas, bebas menghajar mereka, bebas menghajar allah mereka –Dagon sampai hancur– bebas menghajar tanah mereka juga. Inilah tiga hajaran Tuhan, yaitu kepada tubuh mereka, kepada allah mereka, dan kepada tanah mereka. Dagon sudah hancur, tubuh mereka sudah penuh borok, dan tanah mereka mungkin sudah gagal panen diserang oleh tikus-tikus. Itu sebabnya imam-imam tersebut tahu keadaan Filistin sudah terlalu gawat, maka diagnosa mereka cuma satu: ‘kamu tidak bisa lagi menahan Yahweh di sini, semakin kamu tahan, semakin kita mampus, maka Yahweh has to go”. Kalimat ini, “Yahweh has to go”, mungkin tidak familier; tapi kalau “Let My people go”, familier, yaitu dari Keluaran ketika Musa berulang kali datang kepada Firaun dan berkata, “Lepaskanlah umat-Ku, let My people go”.
Itu sebabnya ayat 6 langsung ada kaitan dengan Mesir: “Mengapakamu berkeras hati, sama seperti orang Mesir dan Firaun berkeras hati? Bukankah mereka membiarkan bangsa itu pergi, ketika Ia mempermain-mainkan mereka?” Di bagian ini sebetulnya ada permainan kata yang dipakai penulis, tapi dalam terjemahan bahasa Indonesia sudah hilang. Ayat 5 dikatakan: “Jadi buatlah gambar borok-borokmu dan gambar tikus yang merusak tanahmu, dan sampaikanlah hormatmu kepada Allah Israel.” Kata ‘hormat’ ini bahasa aslinya memakai istilah kabod, sementara ‘berkeras hati’ di ayat 6 memakai istilah kabed; kalau disandingkan jadi, “give kabod …”, dan “mengapa kamu kabed…” –ada kabod dan kabed. Dalam permainan kata tersebut, penulis seakan-akan mau mengatakan, ‘bagaimana kamu kabod kepada Allah Yahweh, yaitu dengan kamu tidak kabed. Bagaimana kamu memberikan kemuliaan kepada Tuhan, yaitu dengan kamu tidak berkeras hati lagi; coba belajar dari sejarah, dengan kamu terus mengeraskan hati, itu hanya membawa kehancuran, itu sudah ada contohnya di masa lalu, di Mesir, Firaun mengeraskan hatinya, lalu apa yang dia dapatkan, sepuluh tulah beruntun. The longer he stays, the more plague, lebih banyak tulah yang dia dapatkan, dan akhirnya apa? Nyerah juga ‘kan. Jadi apa kamu mau tahan sampai 7 tahun? Apa 7 bulan tidak cukup??
Kita bisa melihat di sini, orang-orang Filistin ini orang yang belajar sejarah. Mereka tahu pelajaran dari sejarah, mengenai yang dihadapi Firaun dan orang Mesir. Mereka juga mengerti keunikan teologi Israel, ‘kalau kamu berhadapan dengan Yahweh, kamu hanya punya 2 opsi ini, dan tidak ada lainnya, yaitu: kamu memberi kabod, kamu menghormati Yahweh, memuliakan Dia; atau kamu kabed, mengeraskan hati. Cuma itu saja, takluk atau mengeraskan hati. Situasi yang mereka hadapi sama seperti yang Firaun hadapi, tapi mereka belajar dari sejarah dan berespons secara berbeda, ‘oke, kami tidak mau kabed lagi, kami mau kabod saja, karena semakin menunda, semakin kita kena tulah; dan kita juga sadar, hati keras kita tidak sekeras tangan Tuhan yang menekan, jadi kalau diadu, pasti hati keras kita yang kalah dan tangan Tuhan yang keras itu yang menang, jadi ya, sudahlah’.
Kaitan dengan Keluaran tersebut masih berlanjut. Dalam Exodus, bangsa Israel pergi dengan membawa banyak sekali perhiasan emas perak yang diberikan oleh orang-orang Mesir dengan sukarela; demikian juga ketika bangsa Filistin ini hendak melepas Yahweh, mereka juga memberikan banyak emas. Jadi, penulis seperti menyandingkan kisah bangsa Israel yang dilepas pergi oleh Mesir dengan tangan Yahweh yang kuat, lalu sekarang di bagian ini Yahweh pergi sendiri dengan tangan yang kuat.
Saudara, kita familier dengan Katekismus Westminster yang mengatakan: “Apakah tujuan hidup manusia?”, dan jawabannya: “Yaitu memuliakan Tuhan dan menikmati Dia.” Tapi sering kali kita bertanya, ‘maksudnya bagaimana memuliakan Tuhan itu; apa sih, yang namanya praktek memuliakan Tuhan; jangan abstrak, praktisnya bagaimana, Pak?’ Di bagian ini, setidaknya kita bisa belajar satu aspek tentang bagaimana memuliakan Tuhan, yaitu dengan tidak mengeraskan hati. Waktu dikatakan ‘mengeraskan hati’, mungkin ada dari antara kita yang mengangguk-angguk, ‘iya, saya tahu harusnya sudah setop berbuat ini tapi saya belum, karena saya masih mengeraskan hati’; atau, ‘saya tahu, harusnya saya melakukan sesuatu, tapi saya masih enggan, saya masih kukuh’. Misalnya seorang istri yang tahu dirinya salah, dan juga tahu harusnya mengucapkan kata ‘maaf’, tapi masih gengsi –sama seperti Filistin masih gengsi mengaku kalah, masih tidak mau melepaskan, masih mengeraskan hati, masih menunggu. Di sini kita belajar bagimana memuliakan Tuhan (kabod), yaitu salah satunya dengan tidak mengeraskan hati (tidak kabed), sesuatu yang di dalam relasi kita dan di dalam hidup kita mungkin harus kita lepaskan, sesuatu yang mungkin kita harus mulai tapi kita belum mulai.
Ayat 7, kita mendapati imam-imam ini menyuruh melakukan banyak hal: kamu harus siapkan kereta yang baru, kamu harus siapkan dua ekor lembu yang belum pernah kena kuk. Dan, di sini nantinya mereka memberikan satu tes kepada Yahweh, mereka mengatakan, “Coba lihat, kereta tersebut nanti akan balik atau tidak; kalau tidak, mungkin ini hanya kebetulan saja, dan bukan tangan-Nya yang menimpa kita”. Jadi seakan-akan di sini masih ada sedikit keraguan dalam hati mereka, yang berpikir ‘bisa jadi semua kejadian buruk dan musibah ini hanya kebetulan lho, kita saja yang berpikir ini tangan Yahweh; ‘kan pilihannya antara sial atau tangan Yahweh, jangan-jangan bukan tangan Yahweh tapi memang nasib saja, memang lagi cuacanya saja, memang lagi KEBETULAN saja’. Maksudnya, Dagon yang tiba-tiba sujud di hari pertama itu apa? ‘Ya, mungkin karena angin besar waktu itu, jadi patung besar itu bisa saja jatuh, atau mungkin terdorong orang secara ‘gak sadar; bisa saja ‘kan??’ Okelah, betul; tapi hari kedua, Dagon sudah diberdirikan lagi dan jatuh lagi, kepala serta tangannya terputus, lagipula ini patung yang besar banget, ’gak gampang lho jatuh sampai kepalanya putus, tangannya putus? ‘Ya, memang ‘gak bisa dijelaskan, tapi bisa saja kebetulan, ‘kan kita ‘gak lihat, ‘gak ada CCTV, kita ‘gak tahu apa yang terjadi malam hari itu’. Lalu bagaimana dengan borok-borok kita? ‘Ya, namanya juga banyak Covid sekarang, namanya banyak penyakit, bisa saja setiap kita kena; ‘gak ada Yahweh pun tahun lalu ada cacar air ‘kan, tahun ini juga banyak gagal panen ‘kan, jadi bisa saja kebetulan’. Betul juga. Makin dipikir dan dipikir, makin skeptis, bisa saja kebetulan-kebetulan. Walaupun mereka harusnya setelah 7 bulan sudah sadar ini bukan kebetulan, tapi tetap saja mereka masih ada sedikit keraguan, skeptisisme, yang mereka ingin betul-betul diyakinkan ‘ini benar-benar tangan Tuhan!’. Lalu bagaimana caranya mereka memastikan?
Pertama, pasang 2 ekor lembu betina yang menyusui yang belum pernah kena kuk, kalau lembu itu bisa jalan sendiri ke Israel, itu mujizat besar, itu pasti bukan kemauan si lembu karena lembu yang belum pernah kena kuk pasti akan meronta-ronta dan berjalan ke sana kemari, bukan berjalan lurus. Itu satu hal. Yang kedua, ini lembu yang menyusui, dan naluri seekor betina yang menyusui, otomatis akan berjalan kembali ke kandangnya, bukan berjalan ke depan tapi berjalan pulang, apalagi anaknya sengaja ditahan di rumah; jadi kalau 2 lembu ini berjalan ke Bet-Semes, daerah Israel, itu benar-benar melawan insting/naluri keibuan seekor lembu, dengan demikian ini pasti tangan Yahweh yang mendorong kedua lembu itu, tidak mungkin tidak. Begitulah tes-nya –semakin impossible, semakin kita yakin. Itu sebabnya kalau wanita mau tes pacarnya, tes-nya bukan ‘kalau kamu cinta saya, beliin martabak dong’ –itu gampang banget, tukang gojek juga bisa. Kalau mau membuktikan cinta, biasanya mintanya yang impossible, ‘kamu kalau betul-betul cinta saya, seberangi laut Atlantik yang ada resiko mati digigit hiu, dsb.’ Yang seperti itu yang diminta; semakin impossible, semakin menunjukkan komitmen. Begitu juga di bagian ini, kalau tes-nya semakin impossible, maka semakin membuktikan ini tangan Yahweh. Mirip juga dengan Elia ketika melawan nab-nabi Baal; bagaimana caranya? Siram daging-daging itu dengan air sampai luber-luber. Kalau kita camping dan rencana mau api unggun, lalu siangnya hujan, maka api unggun pasti batal, karena tidak mungkin menyalakan kayu yang sudah basah; apalagi ini, yang disiram sampai banjir, impossible dinyalakan. Tapi kemudian ada api dari langit, sampai semua yang menonton mengatakan, “Ini Yahweh!”, tidak ada pertanyaan lagi, tidak ada keraguan lagi.
Begitulah di bagian ini, ketika harinya tiba, ajaib, dua lembu itu berjalan tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan, langsung sampai. Tapi coba Saudara bayangkan, kalau Saudara yang diuji demikian, perasaan saudara bagaimana? Seorang hamba Tuhan saja suka geregetan menghadapi jemaat yang terus-menerus tidak yakin, terus-menerus tanya, “Pak, tahu dari mana saya sudah diselamatkan?” Sudah dijelaskan oleh Pendeta Jadi sampai berbusa-busa, lalu besoknya tanya lagi ke Pendeta Billy, dijelaskan lagi sampai berbusa-busa lagi, datang lagi ke pendeta lain, datang lagi ke Pak Tong dalam Q&A, dan masih belum yakin juga. Sama juga seorang suami kalau istrinya tanya terus-menerus, “Kamu sayang ‘gak sih sama saya?” Dijawab, “Sayanglah.” Besoknya tanya lagi, “Kamu sayang ‘gak sih sama saya?” Dijawab, “Sayanglah.” Begitu terus, tanya terus, sampai akhirnya bulan ketujuh si suami sudah murka, “Lu mau apa, sih??”
Begitulah, bukan hal yang enak di-tes begini; dan Saudara bisa bayangkan, Tuhan harus ‘gak sih mengikuti tes-tes beginian? Tuhan bisa saja marah, “Lu ‘gak cukup ya, 7 bulan Gua hajar, masih harus pakai tes-tes begini”, lalu kirim api dari langit, bakar mereka semua –dan mereka juga akan yakin ini tangan Yahweh. Tuhan bisa kirim bukti lain, yang membuktikan Dia itu benar-benar Yahweh, tapi Saudara lihat di dalam perikop ini Yahweh itu begitu panjang sabarnya, sampai mau mengikuti. Tesnya pakai dua lembu? Oke. Tangan Yahweh yang tadinya hajar-hajar mereka, sekarang tangan-Nya menuntun dua lembu ini dengan sabar, dengan pelan-pelan, di tengah-tengah mereka. Kita bisa lihat, betapa panjang sabarnya Tuhan. Betul Tuhan itu menghukum bangsa Filistin, tapi kita juga melihat Tuhan yang panjang sabar sekali, yang memberikan wahyu kepada bangsa Filistin ini; mereka tidak mau dengar nabi-nabi Israel, mereka maunya dengar lembu yang menguak sepanjang jalan, mereka baru yakin ini tangan Yahweh –suara Yahweh—lewat suara lembu. Betapa Tuhan bisa merendahkan diri-Nya sampai sebegitunya, betapa Tuhan benar-benar panjang sabar, benar-benar inkarnasi supaya orang-orang Filistin bisa mengerti firman Tuhan, apa yang Tuhan kerjakan, dengan pakai suara lembu –sama seperti Tuhan pakai suara keledai untuk menegur Bileam. Tapi ini membuktikan apa? Membuktikan mereka ini level lembu; mereka bebal dan dungunya seperti seekor lembu, yang diberitahu pakai suara manusia tidak mau mengerti, maunya dengan cara suara lembu begini.
Bukankah kita juga demikian? Diberitahu lewat firman yang keras, oleh pak Jethro ‘gak mempan, oleh Pak Billy ‘gak mempan, oleh siapa pun ‘gak mempan. Lalu mempannya lewat siapa? Mempannya lewat Covid, mempannya lewat kanker, mempannya lewat bangkrut, mempannya lewat patah hati, mempannya lewat kematian sanak saudara. Apakah harus sampai sebegitunya, baru kita benar-benar mau ngeh ini suara Tuhan? Apa kita perlu tunggu 7 bulan dihajar Tuhan? Apa kita perlu tunggu suara-suara yang bukan suara firman langsung dari mimbar tapi suara lembu –suara penyakit, suara kematian– baru kita ngeh? Semoga tidak, Saudara. Filistin ini begitu bebal dan dungu, sama seperi Dagon yang kepalanya sudah hilang, tidak ada wisdom sama sekali, dan powerless juga.
Lalu bagaimana mereka merespons setelah tahu Yahweh ini benar-benar Allah yang sejati? Dikatakan, mereka pulang kembali. Di sini Saudara bisa menduga-duga, setelah mereka tahu Dagon itu palsu, Dagon kalah, Yahweh-lah Allah yang sejati, Allah yang hidup, Allah yang bertindak, dan kemudian mereka pulang ke Filistin, apa yang mereka lakukan? Bertobat minta ampun, lalu menyembah Yahweh? Atau, mereka kirim Dagon ke bengkel untuk disambung kembali tangan dan kepalanya, lalu menyembah Dagon kembali? KIra-kira apa yang mereka lakukan? Orang tidak perlu jenius untuk menduga-duga apa yang mereka lakukan tentunya; yang mereka lakukan adalah: back to business, ‘yang penting Yahweh –problem kita yang satu ini– sudah hilang, sekarang kita bersukacita, borok-borok kita sudah pulih, kita sudah bisa menikmati hidup, kita ‘gak lagi di dalam suasana pandemi, akhirnya selesai juga, and life goes on’.
Bukankah kita juga sedikit banyak dapat gambaran seperti itu. Dulu waktu awal-awal pandemi, banyak orang yang mencari Tuhan, PA penuh; tapi setelah pandemi hampir selesai, sudah new normal, bukankah life goes on lagi, bukankah kita sibuk kembali, bukankah kita tidak ada waktu lagi untuk urusan spiritual-spiritual begini? ‘Sudahlah, life goes on, kehidupan kembali sibuk, roda ekonomi kembali berputar kencang, sibuk, tidak ada waktu untuk Yahweh, tidak ada waktu ngurusin hidup yang harus berubah’. Buat kita pendosa, yang lebih gampang adalah: enyahkan kesulitan dalam hidup kita, dan kembali ke hidup yang lama, daripada putar balik seluruh orientasi hidup dan menyembah Allah yang benar. Faktanya, lebih banyak jemaat yang mengangguk-angguk dalam ibadah –saya juga salah satunya– yang setuju, yang bilang, “Wah, khotbah Pak Billy hari ini keren banget, khotbah Pak Jethro limpah banget, saya mau begini, begini”, tapi setelah pulang sudah lupa, dan life goes on lagi. Lalu hari Minggu berikutnya ulangi lagi hal yang sama, “Saya ingin berubah, Tuhan”, tapi Senin sampai Sabtu back to old life, no changes.
Bagian yang kedua, mengenai Tuhan berurusan dengan Israel, ayat 13-21; kita mau melihat bagaimana Tuhan berurusan dengan orang Israel. Orang Filistin senang karena akhirnya Tabut keluar dari tempat mereka, dan dikatakan orang Israel juga senang menyambut Tabut Allah yang datang kembali. Dua belah pihak senang, win-win solution. Tapi gambarannya tidak sesederhana itu, karena Tabut ini bukan hanya berbahaya di tanah Filistin, tapi juga berbahaya di tanah Israel. Tabut ini tidak jinak, bukan singa waktu di luar, lalu begitu masuk kandang jadi kucing jinak yang bisa dibelai-belai. Orang Israel yang tidak menghormati, yang tidak respek His kabod, mereka mendapati tangan Tuhan itu juga menekan mereka dengan keras karena mereka melanggar kekudusan Tuhan.
Kita fokus pada ayat 19, karena di bagian ini dalam teks aslinya banyak sekali kesulitan yang membuat para penafsir garuk-garuk kepala. Dikatakan di ayat 19: ‘Dan Ia membunuh beberapa orang Bet-Semes, karena mereka melihat ke dalam tabut TUHAN; Ia membunuh tujuh puluh orang dari rakyat itu. Rakyat itu berkabung, karena TUHAN telah menghajar mereka dengan dahsyatnya.’
Hal pertama, mengenai jumlah orang yang mati dihajar Tuhan. Ditulis di sini 70 orang; dalam beberapa manuskrip asli tertera 50.070 orang, yang dalam bahasa literalnya ‘tujuh puluh orang lima puluh ribu orang’, sementara masuskrip lainnya tidak ada tulisan ‘lima puluh ribu’ yang di belakang ini. Dalam hal ini, sepertinya secara common sense kita bisa menduga tidak mungkin yang mati sampai 50.000, apalagi jumlah penduduk Bet-Semes yang kecil juga mungkin tidak sampai 50.000 orang, jadi kemungkinan beberapa manuskrip tadi ada kesalahan, yang sudah diperbaiki di manuskrip lainnya. Itu sebabnya hampir semua terjemahan modern menulis 70 orang. Ini perdebatan yang agak gampang diselesaikan.
Hal yang kedua, kenapa 70 orang ini mati dihajar, mereka salahnya apa sebetulnya? Dalam bahasa Indonesia ditulis ‘karena mereka melihat ke dalam’. Tabut Allah ini ada tutupnya, yang di atasnya ada dua kerubim; jadi kalau mereka melihat ke dalam, artinya mereka angkat tutupnya lalu melongok ke dalam. Ini jelas bakal mati, karena Tabut biasanya disimpan di Ruang Mahakudus, yang hanya satu orang imam besar boleh masuk melihat satu kali saja dalam setahun. Satu orang, satu tahun sekali. Waktu masuk ke Ruang Mahakudus tersebut, imam besar ini kakinya diikat tali, supaya kalau pun imam besar ini “tidak suci”, tidak menguduskan diri, sehingga mati di dalam, dia bisa ditarik ke luar, karena kalau orang lain lalu masuk sudah pasti dia akan mati juga. Sebegitu mengerikannya, seperti masuk ke ruang nuklir yang bisa langsung mati karena terekspos nuklir. Dengan demikian, tentu saja kalau orang-orang Bet-Semes ini melihat ke dalam, sudah pasti mati. Tetapi, bahasa aslinya bukan ‘melihat ke dalam’ (look into), melainkan ‘melihat’ (look at). Jadi hanya dengan melihat saja lalu mati? Betul. Melihat saja pun mati. Itu sebabnya dalam Bilangan 4 ada peraturan bahwa yang boleh mengurusi benda-benda mahakudus, dari keturunan Harun hanyalah suku Kehat saja. Itu pun hanya Harun serta anak-anaknya yang boleh menudungi Tabut tersebut. Setelah Tabut ditutup, baru boleh diangkat oleh orang-orang Kehat, artinya selama orang-orang Kehat tersebut mengangkat Tabut dengan bahunya, mereka tidak pernah melihat yang namanya Tabut Allah itu seperti apa; yang melihat Tabut Allah hanya Musa, Harun, dan anak-anaknya. Di sini kita lihat betapa seriusnya urusan Tabut Allah, sampai-sampai orang-orang yang mengangkatnya pun tidak boleh melihat. Kalau begitu, apakah ini sebabnya 70 orang tadi mati? Bisa jadi. Jadi dalam hal ini kemungkinan pertama adalah karena melihat secara langsung atau pun melihat ke dalam.
Ada lagi kemungkinan kedua. Di dalam kitab Septuaginta (kitab Perjanjian Lama bahasa Yunani, terjemahan dari bahasa Ibrani), ayat 19 ada tambahan satu kalimat: ‘Dan anak-anak Yekhonya tidak bersukacita dengan orang-orang Bet-Semes ketika mereka melihat Tabut Tuhan’. Dalam terjemahan ini ada sedikit nuansa yang berbeda, bahwa dosa mereka bukanlah tentang melihat, tapi tentang sukacita –anak-anak Yekhonya tidak bersukacita. Ternyata tentang 70 orang mati dihajar Tuhan dan kalimat dalam Septuaginta ini bisa berkaitan, jadi jangan langsung menganggap Septuaginta ini mungkin penafsirnya lagi mengantuk, atau copas-nya salah tempat. Dalam hal ini ada beberapa argumen dari komentator-komentator yang cukup masuk akal untuk kita perhatikan.
Alasan yang pertama ini bukan tambahan yang sembarangan dan tiba-tiba muncul, karena di beberapa ayat sebelumnya penulis memang terus-menerus memperkenalkan tokoh-tokoh baru. Ada orang-orang Bet-Semes, ada orang-orang Lewi yang menurunkan, ada raja-raja Filistin yang pulang kembali –dan ada anak-anak Yekhonya yang tidak bersukacita. Anak-anak Yekhonya ini dikatakan tidak ikut bersukacita, dan ini kontras sekali dengan orang-orang Bet-Semes yang sedang menabur gandum itu yang penuh dengan sukacita. Kita tahu, Alkitab suka memakai kontras –sementara orang-orang Bet-Semes menyambut dengan sukacita, ternyata ada orang-orang Yekhonya yang tidak menyambut dengan sukacita. Jadi di sini Tabut menimbulkan dua reaksi: banyak yang bersukacita, ada yang tidak bersukacita.
Di sini mungkin Saudara bilang, “Oke, Pak, kalau Bapak setuju dengan tafsiran ini, so what?? Lalu apa signifikansinya?” Signifikansinya, kita bisa menanggapi dengan begini: perhatian dari teks ini, yang berulang-ulang dilanggar yaitu kekudusan Tuhan –kekudusan Tuhan dilanggar sehingga Tuhan marah, di Filistin demikian, di Israel juga demikian– maka dalam hal ini yang dilanggar oleh orang-orang Yekhonya adalah: ‘cuek bebek’, indifference, tidak peduli. Ini bisa jadi kontras yang lebih besar lagi karena waktu di awal orang-orang Israel semangat banget melihat Tabut Allah datang ke medan perang, “Kita pasti menang!!” Mereka sangat bersukacita dengan kehadiran Tuhan karena mereka pikir pasti menang, mereka menggembar-gemborkan kehebatan Tabut Allah, “Allah pasti hadir bersama kita!” –dan itu terlalu lebay– tapi di sini Yekhonya justru sebaliknya, Tabut Allah hadir bersama mereka dan mereka berkata, “So what??” Memangnya kenapa, siapa yang peduli; coba saja lihat, 7 bulan tidak ada Tabut Tuhan juga tidak apa-apa koq —7 bulan kita ‘gak ke gereja juga ‘gak apa-apa koq; 7 bulan ‘gak doa, ‘gak baca Alkitab, juga gak apa-apa koq, so what?? Mereka tidak bersukacita, mereka apatis –ini opsi kedua, yang menjadi penyebab 70 orang itu mati.
Yang pertama tadi melihat/melihat ke dalam Tabut Allah, dosanya adalah dosa kekurangajaran, dosa yang benar-benar negatif; sedangkan yang kedua ini, sebagaimana dalam tafsiran Septuaginta, mungkin dosanya adalah dosa yang tidak kalah serius namun orang suka menganggap remeh, yaitu tidak peduli –bukan negatif, tapi pasif.
Ada satu ilistrasi yang mungkin sesuai dengan ini. Biasanya setiap malam saya membaca Alkitab bersama anak, dan saya kadang-kadang merekam, lalu anak saya akan menceritakan ulang pelajaran Alkitab hari sebelumnya; dan hari kemarinnya, yang bercerita adalah istri saya. Saya tanya kepada anak saya, “Hari ini tentang apa?”, dia bilang, “Tentang Adam dan Hawa berdosa.” Saya tanya, “Jadi dosa itu bagaimana?”, dia jawab, “Kalau kita berdosa, nanti kita berbuat baik saja, Daddy, nanti lama-lama dosa itu hilang dengan sendirinya”. Saya bingung, ini siapa yang ajarin?? Ini doktrin pelagian, doktrin yang mengajarkan ‘kalau kamu berdosa, lakukan saja perbuatan baik, nanti dosamu hilang’. Saya tanya dia, “Siapa yang ajarin?”, dia bilang, “Mami”. Lalu saya kirim rekaman percakapan itu buat lucu-lucuan ke grup WA, dan salah seorang pendeta me-reply begini: “Masih mending anak lu, masih bahas dosa-dosaan, anak gua baru diamuk emaknya karena main game kelamaan.” Saudara lihat, ini dua dosa yang mirip dengan cerita orang-orang tadi, yang satu negatif banget, salah doktrin, kurang ajar; sementara yang satunya lagi tidak peduli, apatis. (Omong-omong, sebelum Saudara mengambil kesimpulan yang salah tentang istri saya, waktu saya tanya hal tadi, dia mengatakan, “O, itu dia salah ngerti, kemarin saya bilang apakah dosa bisa dibayar dengan perbuatan baik?” lalu dia jawab, “Enggak, mami”, dan istri saya lanjut, “Oke, berarti perlu korban, nanti ada anak/keturunan yang Tuhan janjikan”; tapi anak saya rupanya cuma ingat bagian pertanyaannya, jadi ini bukan kesalahan doktrin istri saya tapi kesalahan akibat ketidakmengertian seorang anak yang masih kecil).
Kita melanjutkan. Setelah 70 orang mati dihajar, baru mereka berespons. Responsnya apa? Ada 2 pertanyaan di sini. Pertama, “Siapakah yang tahan berdiri di hadapan TUHAN, Allah yang kudus ini?” (ayat 20a). Ini pertanyaan yang tepat; ini Allah yang kudus, siapa yang bisa tahan di hadapan Dia. Tapi mereka melanjutkan dengan pertanyaan kedua yang salah: “Kepada siapakah Ia akan berangkat meninggalkan kita?” (ayat 20b) –‘ini Allah yang kudus, kami tidak tahan, bagaimana cara buang Dia?’ Mereka bukan tanya bagaimana bisa datang kepada Dia dengan tepat, yang mereka inginkan bukan datang kepada Tuhan tapi Tuhan enyah dari hadapan mereka. Di sini kita langsung teringat satu cerita di Perjanjian Baru ketika Yesus berhadapan dengan orang-orang di Genesaret; Yesus menyembuhkan orang yang kerasukan setan, lalu setannya diusir ke babi-babi, orang-orang kota itu datang dan kaget, “Orang gila itu sudah sembuh, babi-babi kita semua mati”, lalu yang mereka lakukan menyembah Tuhan Yesus-kah? Tidak. Mereka ketakutan dan berkata, “Tuhan pergilah dari kami”. Mereka minta Yesus pergi, inilah respons orang-orang Genesaret, orang-orang Bet-Semes, dan kemungkinan respons kita juga sama. Tidak ada self-examination, tapi yang terjadi adalah: Tabut Allah harus pergi, Yahweh has to go –sama seperti orang Filistin.
Kita bisa melihat di sini, mereka yang tidak menghormati Tuhan mendapati Allah yang kudus itu menakutkan; tapi buat kita yang menghormati Tuhan, misalnya Hana dalam 1 Samuel 2 digambarkan bersukacita ketika Samuel lahir dan berkata, “Siapa seperti Engkau, Allah yang kudus, Engkaulah satu-satunya Allah yang kudus”, dia bersukacita melihat Allah yang kudus. Jadi, Allah yang kudus, bagi orang yang tidak hormat kepada Tuhan, buat yang kabed, adalah bad news; tapi buat orang yang hormat kepada Tuhan, buat yang kabod, ini good news.
Saya akan tutup khotbah ini dengan respons kita. Waktu Saudara membaca bagian ini, bagian mana yang kayaknya kita agak susah telan, susah kunyah? Bagian yang ‘Tuhan mematikan 70 orang’ tentunya; masa sih, cuma melihat saja, cuma apatis saja, sampai harus 70 orang mati?? Masa sih, gara-gara tidak datang PA, 70 orang mati?? Masa sih, gara-gara main-main di mimbar, main-main organ yang ada tulisannya ‘tidak boleh dimainkan’ lalu 70 anak Sekolah Minggu mati semua?? Kita tidak senang melihat hal seperti ini. Kita tidak suka dengan perikop seperti ini; ini perikop yang tidak cocok dengan situasi toleran seperti begini. Gambaran Allah itu harusnya toleran dong, harusnya bisa mengerti dong, gambaran yang baik, yang cute, yang chubby, domba, bukan singa. Dalam film “Chronicles of The Narnia”, ketika 4 anak itu akan diperkenalkan dengan Aslan (yang merupakan gambaran Kristus), mereka bertanya-tanya, Aslan itu seperti apa, ya. Lalu Mr. Beaver bilang, “O, Aslan is a lion, the great lion.” Salah seorang anak lalu bilang, “Saya pikir dia seorang manusia, dia aman ‘gak? Saya cemas kalau bertemu lion.” Mr. Beaver kemudian bilang, “Safe? You asking ‘safe’? Who said anything about safe? Of course He isn’t safe, but He is good” —siapa yang bilang Dia jinak, siapa yang bilang Dia aman, tentu Dia tidak aman, tapi Dia baik, dan Dia raja kita.
Di sinilah, harusnya ada 2 kesulitan tapi kita cuma lihat satu kesulitan, yaitu soal 70 orang mati tsb. Mustinya, di bagian pertama ketika berurusan dengan orang Filistin, kita juga kesulitan, koq Allah bisa begitu sabar sih menghadapi ketidakpercayaan orang Filistin; lalu di sisi lain, koq Allah begitu tidak sabarnya menghadapi kesembronoan orang Israel. Kalau buat orang kafir sepertinya Allah itu sabar banget, tapi buat umat sendiri rasanya tidak sabar, langsung darah tinggi, langsung sumbu pendek. Kita seakan lebih gampang terima Tuhan yang sumbu panjang daripada Tuhan yang sumbu pendek, karena kita lebih suka Allah yang maha pemurah tapi kita kurang suka Allah yang maha adil. Kalau Dia sumbu panjang, kita rasa sudah seharusnya; tapi kalau Dia sumbu pendek, kita anggap ‘koq bisa ya?? gua kayaknya lebih sabar daripada Tuhan’.
Kalau kita benar-benar mendalami perikop ini, tentang Tuhan dengan orang Filistin dan Tuhan dengan orang Israel, kita akan mendapati sebenarnya 2 kesulitan yang sama sulitnya diterima oleh otak manusia yang berdosa. Dan itulah alasannya kita sulit menerima kayu salib, Kristus yang disalibkan, karena di sini kita melihat dua-duanya dipertemukan sekaligus. Allah yang maha adil harus menghukum setiap dosa dan pelanggaran, sampai-sampai Kristus bertanya, ‘Bapa, kalau boleh cawan ini lalu, bolehkah ada jalan lain’; dan tidak ada jalan lain, harus dihukum, harus naik ke kayu salib. Di sisi lain, kita juga mendapati Allah yang maha pemurah, yang pengampunan-Nya diberikan kepada siapa pun bahkan yang kita anggap tidak layak. Masa sih Hitler layak?? Masa sih penjahat di samping Yesus layak dapat pengampunan?? Tapi Tuhan berkata, “Hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di Firdaus”. Dia juga berkata, “Bapa, ampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Ini orang-orang yang baru saja menyalibkan Kristus, tapi Kristus mengampuni mereka. Inilah kesulitan ‘salib’. Tapi kalau kita bisa percaya ini, ada pengharapan; pengharapan untuk kita bisa melihat kekudusan Tuhan sebagai kabod, good news –kalau kita benar-benar bisa melihat kedua hal ini bersanding. Dan, tidak ada Allah lain, agama lain, injil lain, yang bisa menggabungkan keduanya, hanya satu-satunya di kayu salib.
Setiap kali kita boleh berjumpa dengan Kristus di salib, biarlah kita bukan merespons dengan cara seperti orang-orang Filistin, “That’s good, that’s interesting, but life goes on”; atau yang kedua, dengan berkata, “Aku ‘gak sanggup Tuhan, aku ‘gak mau Tuhan yang seperti begini, aku minta Tuhan pergi, let Yahweh go away from us”. Dua respons inikah yang jadi respons kita? Atau kita justru berkata dalam hati kecil kita, “Tuhan, Engkau Allah yang kudus, bagaimana kami yang berdosa ini boleh datang kepada Engkau?”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading