Dalam ayat 25 dikatakan satu gambaran sederhana, bahwa ada satu gambaran negatif tentang seorang ahli Taurat, tentang seorang yang datang kepada Yesus yang melontarkan satu pertanyaan. Dengan jelas Lukas mencatat motivasi, bahwa orang ini bertanya bukan ingin mengetahui dan mengenal kebenaran, bukan dalam satu sikap kerendahan hati, tetapi datang untuk mencobai Yesus. Di sini kita juga melihat, bahwa alkitab tertarik bukan hanya melihat secara fenomena, ketika ada orang yang bertanya lalu senang, tidak, tetapi alkitab juga menyoroti keadaan hati manusia, tentu saja di dalam gambaran manusia itu ada orang-orang yang bertanya bukan untuk mengetahui jawaban, tetapi di dalam bagian ini dikatakan, bertanya untuk memamerkan kebolehan mereka, mungkin kerumitan pikiran mereka, untuk memamerkan bahwa mereka adalah orang yang harusnya dihormati, karena mereka lumayan tahu banyak. Tentu saja di sini kita melihat Yesus mengehatui jenis pertanyaan seperti ini, kalau manusia saja bisa tahu, bisa mengenali orang yang tanya mau show off, apalagi Yesus Kristus. Dalam bagian ini kita melihat, Yesus tetap melayani dengan sabar, orang ini bertanya dengan pertanyaan yang tidak tulus, tetapi pertanyaan itu tetap Yesus jawab dengan tulus.
Di sini dia bertanya satu pertanyaan yang penting secara content, secara motivasi memang tidak benar, jadi bukan pertanyaan sembarangan. Secara content, pertanyaan ini juga seharusnya muncul di dalam hati kita masing-masing, “apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Pertanyaan tentang kehidupan yang kekal, dia tidak bertanya, apa yang harus aku lakukan supaya memperoleh kebahagiaan pribadi atau apa yang harus kuperbuat supaya daganganku lancar dsb.? Tetapi memang betul, di sini digambarkan, dia bukan bertanya di dalam sikap hati yang tulus, tetapi Yesus tetap menjawab. Waktu kita membaca dalam ayat 26, di situ Yesus mengarahkan orang ini kepada hukum Taurat, apa yang tertulis di dalam hukum Taurat. Nah kita punya kebiasaan di dalam spiritualitas reformatoris, baik Lutheran atau Calvinis, kita mengenal konsep tentang orang yang melalui Taurat, justru dia mengenal bahwa dia tidak mungkin bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya, segenap jiwanya, segenap kekuatan dan segenap akal budinya, dan bahwa dia adalah juga orang yang gagal mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri. Konsep ini sangat populer di dalam Lutheran teologi, tetapi sebenarnya bukan originaly Luther, kita membaca tulisan atau konsep seperti ini ditulis oleh Paulus sendiri misalnya di dalam suratnya, bahwa fungsi Taurat itu salah satunya adalah membawa orang ke dalam pengenalan diri yang benar.
Ada banyak orang beragama merasa dia mampu, ada banyak orang beragama merasa dia baik, bahkan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus, mereka punya pikiran saya tidak percaya kepada Yesus Kristus, tetapi saya sedikitpun hidup tidak lebih buruk dari pada mereka. Agama, di dalam keadaan yang umum, (kristen pun tidak terkecuali) memang bisa membawa seseorang ke dalam pengertian self righteousness, merasa benar sendiri seperti ini. Di dalam cerita ini pun kita membaca agaknya orang yang bertanya ini pun juga mempunyai pengertian yang demikian, tetapi jawaban Yesus sebetulnya tulus, waktu Dia mengarahkan kepada hukum Taurat yang dikenal oleh ahli Taurat ini, Yesus bukan sekedar berusaha sekedar untuk membawa orang ini sadar, bahwa sebetulnya dia tidak mampu. Tetapi kita membaca di dalam PL ada ayat yang mengatakan, bahwa orang yang melakukan Taurat, itu akan hidup karenanya, itu adalah prinsip firman Tuhan. Orang yang melakukan perintah Tuhan dalam arti Taurat, dia akan hidup, itu adalah ajaran di dalam PL, jadi waktu Yesus Kristus mengatakan kalimat “apa yang tertulis di dalam hukum Taurat”, di sini Dia memang secara tulus mempercayai bahwa orang yang melakukan Taurat, itu akan hidup karenanya.
Tapi waktu kita melihat di dalam cerita ini, orang ini agaknya memang dipenuhi dengan satu sikap self righteousness, merasa benar sendiri, merasa dirinya sempurna, waktu dia menjawab pertanyaan ini, “apa yang tertulis di dalam Taurat”, kita mendapati bahwa jawaban itu adalah jawaban yang tepat. Betul-betul merangkumkan seluruh Taurat, kalimat ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Yesus juga, waktu Dia mengatakan, sesungguhnya seluruh Taurat dan kitab nabi-nabi itu tergantung kepada dua hukum ini yaitu yang persis seperti yang dikatakan oleh orang ini, mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi, dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Secara teologi benar, tetapi tidak cukup di dalam pandangan Yesus. Kita di dalam kekristenan kalau hanya mengajar manusia masuk ke dalam pengertian theological correctness, ketepatan jawaban teologis, secara katekisasi lulus, ya Yesus juga akan mengatakan jawabanmu itu benar, tidak perlu koresksi lagi. Tetapi apa yang menjadi persoalan di dalam seluruh kehidupan manusia? Yesus mengatakan kalimat yang sederhana, setelah jawabanmu itu benar, perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup. Apa maksudnya? Mengetahui jawaban yang benar saja tidak akan membuat kita hidup, pengetahuan alkitab mungkin lebih baik dari ada orang lain, lebih baik dari pada denominasi yang lain, secara jawaban teologis benar, tetapi di sini Yesus mengatakan, perbuatlah demikian. Ada gap dan gap itu seringkali tidak sedikit orang-orang yang mengetahui jawaban yang benar tetapi hatinya tidak tertarik untuk melakukan seperti jawaban yang dia katakan itu. Sehingga kehidupannya tidak menghidupi apa yang betul-betul dia percaya, apa yang dia betul-betul ucapkan kepada orang lain, itu bukan menjadi bagian dari pada kehidupan sehari-hari.
Sebetulnya seluruh perikop sudah boleh berhenti sampai di sini, karena Yesus sudah mengarahkan kepada pengenalan diri yang tepat. Waktu bicara tentang kelemahan orang ini, tidak ada persoalan tentang pendidikan teologinya, tidak ada, dia menjawab dengan condensed crystalize, sangat tepat, Yesus mengatakan benar, tapi persoalan di dalam dirinya adalah dia tidak melakukan apa yang dia katakan itu, dia tidak melakukannya, maka Yersus mengatakan, “perbuatlah demikian”. Nah, orang waktu mendengar kalimat seperti ini, perbuatlah demikian, bisa tersinggung, bisa sakit hati. Seperti di sini juga yang dicatat di dalam firman Tuhan, dia dikatakan, berusaha untuk membenarkan dirinya, saya percaya, saudara dan saya tidak kebal dengan spirit pride seperti ini. Kadang-kadang waktu orang menegur kita, waktu orang memberi kita masukan, kita cenderung self defense, kita membela diri, kita merasionalisasi atau kalau tidak mau merasionalisasi, kalimat yang seringkali kita keluarkan adalah “saya sudah tahu”, orang berkata dengan kalimat yang panjang, kita cuma jawab dengan kalimat, saya sudah tahu dari dulu, mungkin saya lebih tahu dari pada kamu loh…., kamu tahu baru sekarang, mau ngajarin saya lagi……, lalu kita hadir di dalam keadaan pride sepert itu, berusaha untuk membenarkan dirinya.
Intinya adalah bahwa manusia itu tidak senang kalau dikatakan bahwa dia itu tidak mampu, dia itu masih ada kesalahan, perbuatannya kurang konkrit, dia kurang mengasihi Tuhan, kurang mengasihi sesama, dia terganggu, dia lebih suka untuk dipuji sebagai orang yang mengasih Tuhan, mengasihi sesama, berbunga-bunga hatinya. Tetapi bahayanya adalah justru di dalam keadaan bunga-bunga seperti ini, seringkali manusia jadi menipu dirinya, dia tidak mengenal dirinya dengan tepat, dia bukan hanya membohongi sesamanya, tetapi juga membohongi dirinya sendiri, dan terutama membohongi Tuhan. Demikian juga orang yang dicatat di dalam bagian ini, dia berusaha untuk membenarkan dirinya, self justification, yang bisa membenarkan seseorang itu adalah Tuhan, tetapi yang seringkali dikerjakan oleh manusia, di dalam kehidupan saudara dan saya adalah kita berusaha membenarkan diri sendiri, bukan membiarkan Tuhan yang membenarkan kita, bukan membiarkan Tuhan yang menyelamatkan kita, bukan membiarkan Tuhan yang mengampuni dan menerima kita, tetapi kita melakukan pembenaran diri sendiri, mengampuni diri sendiri, menerima diri sendiri, memuji-muji diri sendiri, dst. Nah ini ada orang yang kekurangan kebenaran, belum justified, belum dibenarkan, tetapi dia membenarkan dirinya sendiri, padahal dia tidak benar, tetapi dia mau membenarkan dirinya sendiri, ini kan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak mungkin, subyek sekaligus menjadi obyek.
Kalau saya tidak mengerti sesuatu, saya akan mengatakan, saya tidak mengerti, saya tidak tahu ini. Adalah hal yang konyol kalau saya tanya kepada diri saya sendiri yang tidak tahu untuk memberitahu saya yang tidak tahu kalau saya tidak tahu. Lalu saya bertanya pada diri sendiri, hai jiwaku, katakanlah kepadaku apakah jawaban dari pertanyaan itu, ini kan orang gila, dia sendiri tidak tahu, tetapi dia tanya kepada dirinya sendiri untuk memberitahu dirinya yang tidak tahu, subyek dan obyek, menjadi confuse. Mungkin sampai di sini kita berkata, iya ya, bagian itu memang iya sih, tetapi yang seringkali lebih sering hadir di dalam kehidupan kita adalah kita kekurangan kasih, kita kekurangan pujian, kita kekurangan penerimaan, lalu kita yang kekurangan, kita yang mengasihi diri sendiri, yang puji-puji diri sendiri, yang berusaha untuk menerima diri sendiri, padahal kita yang kekurangan, sama anehnya kan dengan orang yang tidak tahu, lalu dia bertanya pada dirinya sendiri yang tidak tahu.
Termasuk dalam bagian ini, waktu kita membaca, orang ini berusaha untuk membenarkan dirinya sendiri, harusnya dia membiarkan dirinya untuk dibenarkan oleh Yesus melalui proses yang panjang, itu termasuk melalui koreksi, teguran, itu bagian dari pada pembenaran, bagian dari pengudusan yang dikerjakan Kristus di dalam kehidupan kita, tetapi dia tidak mau. Dia maunya shortcut, maunya instant, kalau bisa dia langsung membenarkan dirinya sendiri dan lebih menarik lagi waktu kita membaca, dengan cara apa dia membenarkan dirinya sendiri? Dengan kalimat sederhana, “Siapakah sesamaku manusia?” Dia tidak berani bilang tentang Tuhan, nanti urusannya besar, di sini kan ada satu hukum di dalam dua aspek, kasihlah Tuhan Allahmu dengan segenap…., segenap…., segenap….., yang kedua, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, dia tidak berani menyentuh bagian kasihilah Tuhan, mungkin dia sadar juga bahwa dia tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati dst., (alkitab tidak menuliskan), atau mungkin dia merasa bagian ini dia sudah lulus, tidak perlu ngomong lagi. Tapi yang dia utarakan untuk membenarkan dirinya, terutama adalah siapakah sesamaku manusia?
Kalimat ini begitu sederhana, tetapi apa maksudnya? Maksudnya adalah bagaimana saudara dan saya diminta untuk mengasihi sesama kita seperti diri sendiri. Lalu orang ini mengatakan, siapa sesama manusia itu, maksudnya adalah sebetulnya saya sih sudah siap untuk mengasihi sesama, tetapi tidak ada orang yang terlalu beruntung untuk mendapatkan cinta kasih saya. Apakah tidak lihat bahwa saya ini orang yang penuh dengan cinta kasih? Masalahnya bukan ada pada saya, masalahnya adalah orang yang membutuhkan cinta kasih saya itu tidak muncul, tidak ada di sini, lalu siapa sesamaku manusia? Siapa yang mau saya tolong, siapa yang mau saya kasihi? Coba muncul saja, saya murah hati, saya penuh dengan kebaikan, cuma saya tidak diberikan kesempatan pelayanan sih, di gereja itu orangnya suka monopoli, akhirnya saya tidak kebagian!! Siapa sesamanya, saya ini orang yang cinta Tuhan, tetapi selalu didiskriminasi seperti ini, tidak diberikan kesempatan pelayanan dsb. Siapa sesama manusia itu, tidak ada sesama yang bisa saya kasihi, maka terpaksa saya mengasihi diri sendiri saja, jadi tidak salah kalau saya narsisistik, karena memang tidak ada sesama kok? Wah… waktu Yesus mendengar jawaban seperti itu, padahal Dia sudah mengatakan jawabannya benar, cuma persoalannya adalah engkau tidak mau melakukan, “perbuatlah demikian”, tetapi dia terus berargumentasi.
Yesus akhirnya memberikan pengajaran melalui semacam perumpamaan, cerita, story, kadang-kadang, kalimat yang begitu jelas, kalimat proposisional seperti ini, “perbuatlah demikian”, langsung jelas apa yang harus dilakukan, lakukanlah, tapi ada orang yang tidak suka. Maka Yesus memakai pendekatan yang lain, memakai pendekatan cerita, seperti anak sekolah Minggu, harusnya orang yang dewasa tidak perlu cerita yang seperti ini kan? Kamu cuma menjawab dengan benar, tapi kamu tidak tertarik untuk melakukan, maka perbuatlah demikian sesuai dengan yang kamu jawab. Tapi kalimat ini tidak cukup, dia mau diperlakukan seperi anak sekolah Minggu, yang mesti ada ceritanya, tapi Yesus akomodatif, Yesus merangkul dengan sabar kelemahan manusia termasuk saudara dan saya. Akhirnya Dia mengajarkan melalui satu cerita (kita sudah membacanya), dalam bagian ini gambarannya adalah ada satu orang yang jatuh ke tangan penyamun, turun dari Yerusalem ke Yerikho, dari Yerusalem kemungkinan besar dia pergi ke bait suci. Dia mengalami perampokan, bukan hanya dirampok habis-habisan, tapi dia juga dipukuli, meninggalkan dia sampai sekarat, Yesus mulai dengan satu cerita penderitaan. Sekali lagi, pertanyaannya tadi adalah siapakah sesamaku manusia? Lalu Yesus mulai satu cerita penderitaan ini.
Lalu di situ digambarkan ada tiga orang yang lewat dan bukan kebetulan, seorang imam, seorang Lewi dan seorang Samaria. Iman dan Lewi itu ada kemiripan, dua-duanya adalah orang-orang yang sangat beragama, yang religius dan mungkin juga mereka dari Yerusalem, dalam perjalanan yang sama menuju Yerikho, mungkin mereka juga baru beribadah dari Yerusalem di dalam bait suci yang sama. Mereka tidak bisa excuse, dengan berkata, saya masih ada pekerjaan dalam bait suci, jadi tidak bisa menolong (memang kita tidak tahu arahnya, bisa juga dia dari Yerikho mau ke Yerusalem, dalam alkitab tidak terlalu jelas), tapi mungkin juga dari Yerusalem menuju Yerikho, jadi dalam perjalanan yang sama. Katakanlah kalaupun dari Yerikho mau ke Yerusalem, tetap dia tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa saya tidak ada waktu untuk kamu, karena saya sudah terlalu sibuk dalam pelayanan gerejawi. Pelayanan gerejawi ternyata bisa membawa kita jauh dari Tuhan, pelayanan gerejawi ternyata bisa membawa kita jauh dari apa artinya menjadi manusia, pelayanan gerejawi ternyata bisa menjauhkan kita dari Tuhan. Yah… mungkin ini adalah orang-orang yang memakai alasan ini, saya tidak ada waktu lagi untuk kamu mama, papa, saya harus datang ke persekutuan doa (saya percaya ada waktunya tempat seperti itu, keadaan seperti itu kita harus menyangkal keluarga kita), lalu mempersembahkan kepada Tuhan, di dalam hal ini pelayanan gerejawi.
Tetapi coba kita perhatikan, spiritualitas seperti ini tidak selalu betul, dimana-mana, ada saatnya Tuhan lebih mau menggerakkan kita untuk nungguin keluarga kita yang terbaring di rumah sakit, penyangkalan diri yang berat itu, dan bukannya ke luar lalu pelayanan kemana-mana (itu menyenangkan juga kan ya, bertemu orang banyak), kalau di rumah sakit nungguin yang sakit itu bosan luar biasa kan ya? Orang sakit, ya biar saja, kita berurusan dengan orang sehat, mungkin saja orang Lewi dan imam ini juga punya pikiran yang seperti itu, pikiran religiusitas yang ngawur, pikiran keagamaan yang menjauhi tanggung jawab horizontal. Kita tidak percaya orang yang cinta Tuhan, lalu hubungannya dengan sesama itu jadi berantakan, kita tidak percaya dengan orang yang cinta Tuhan, lalu kemudian tanggung jawabnya secara horizontal (baik keluarga, saudara seiman yang lain atau tetangga dll.) menjadi luar biasa rusak, hanya karena dia mencintai Tuhan, alkitab tidak advocated, tidak mendukung ajaran demikian. Justru alkitab mengkritik dengan keras, inikah gambaran orang yang beragama, seperti orang Lewi dan imam? Katanya imam, katanya Lewi, mungkin memikirkan Tuhan, Tuhan dan Tuhan, tetapi dia tidak tertarik sama sekali waktu dia berhadapan dengan penderitaan sesamanya.
Dia tidak tertarik sama sekali waktu melihat disekelilingnya ada orang yang sedang menanggung beban yang berat, kita harus hati-hati dengan ini, satu kecenderungan spiritualitas yang hanya menuntut orang lain untuk bertumbuh, bertumbuh, tetapi kita sendiri tidak mau peduli dengan mereka. Itu kedengaran sangat mendewasakan orang, tetapi sisi yang lain juga bisa menjadi excuse dari kita. Sekali lagi, kita harus hati-hati dengan spiritualitas yang terus-menerus mengajak orang lain dewasa-dewasa, untuk struggle, berjuang sendiri dsb., (memang poin itu baik, tidak menjadikan orang manja dan cengeng), tapi hati-hati, jangan-jangan itu merupakan ekspresi ketidakpedulian saya. Kalau saya punya anak kecil, saya akan terganggu kalau terus-menerus harus menggantikan popoknya, jadi bagaimana, mendidik anak itu dengan berkata, kamu harus belajar struggle dari kecil, silahkan bersihkan popok kamu sendiri, kamu ngepel sendiri, ini papa sedang mendidik, supaya kamu belajar untuk jadi dewasa. Hal seperti ini tidak masuk akal bukan? Hati-hati masuk dalam spiritualitas ketidakmasuk akalan seperti ini, kelihatan seperti baik, tetapi orang mungkin belum sampai di dalam takaran seperti itu.
Sebetulnya yang jadi permasalahan adalah saya tidak tertarik untuk menanggung beban kamu, maka di dalam Tuhan, aku ajarkan kepadamu, berusahalah, berjuanglah, mulai dari bawah, (maksudnya: sebetulnya adalah saya tidak tertarik untuk menolong kamu, itu poinnya), saya tidak tertarik menolong kamu, jadi silahkan berjuang sendiri. Hati-hati masuk ke dalam spiritualitas yang seperti ini. Ada banyak orang, waktu dia struggle di dalam keadaan masih muda, dia kecil, begitu susah kehidupannya, tidak ada orang yang menolong dia, tidak ada orang yang berbelas kasihan kepada dia, waktu dia berhasil (katakanlah berhasil berjuang sendiri), sampai akhirnya dia betul-betul berhasil, akhirnya dia tidak peduli siapapun. Karena dia merasa, waktu saya susah, siapa yang hadir di dalam kehidupan saya? Lalu sekarang, waktu saya sukses, orang mau berbagian di dalam kesuksesan saya, enak saja, saya dulu berjuang sendiri, tidak ada yang menolong saya, waktu berhasil, dia juga tidak tahu apa artinya belas kasihan, tidak tahu, karena waktu di dalam susah, dia juga tidak tahu apa artinya belas kasihan. Tidak ada orang yang berbelas kasihan kepadanya, waktu dia berhasil, dia juga tidak tahu apa artinya belas kasihan.
Maka banyak sekali orang yang sukses, orang yang berhasil di dalam kehidupannya itu, waktu dia muda, waktu dia kecil, dia susah sendiri, tidak ada orang yang menolong, pada waktu dia berhasil, dia juga tidak tertarik untuk menolong orang lain, dia akan mengatakan kalimat yang sama, “saya dulu waktu susah, tidak ada orang yang menolong, sekarang kamu datang dengan kesusahan saya, saya akan mengatakan kalimat yang sama yang saya dengar waktu dulu saya susah yaitu berjuanglah, kenapa kamu datang minta tolong saya? Tidak usah cengeng seperti ini, berjuang, kamu harus bergumul sendiri sampai berhasil, saya saja bisa, masakan kamu tidak bisa? Lalu, dimana tempatnya belas kasihan? Padahal menurut ajaran alkitab, justru yang membedakan orang yang ketiga yaitu orang Samaria ini dengan dua orang pertama. Terutama adalah karena orang yang ketiga ini yaitu orang Samaria tergerak hatinya oleh belas kasihan, inilah keagamaan yang sejati, bukan keagamaan secara status, saya ini orang Lewi, saya ini imam, saya ini majelis, saya ini pengurus, saya ini pendeta, saya ini penginjil, saya ini hamba Tuhan atau mengatakan, saya ini orang reformed……, keagamaan bukan dinilai di situ. Keagamaan itu dinilai dari apakah seseorang itu hatinya bisa tergerak oleh belas kasihan.
Bahasa Indonesia bagus sekali “tergerak oleh belas kasihan”, kita tidak bisa menciptakan ketergerakan, tidak bisa kan? Masakan kita bisa ketika melihat orang lain susah, lalu berkata, hai jiwaku, tergeraklah……, tidak bisa seperti itu kan? Masakan kita menghipnotis diri sendiri, ayo dong, menangis dong, ada orang yang susah kok tidak nangis, bagaimana sih? Nanti kamu kelihatan cuek loh… ayo menangislah…! Tidak mungkin seperti itu walaupun kita tergerak dan tidak tergerak, karena tergerak itu satu spontanitas, walaupun hati kita dingin atau penuh belas kasihan, gampang terenyuh, dan menurut Yesus inilah esensi keagamaan yang sesungguhnya, seorang Samaria, bukan orang Israel, tidak comparable sama sekali dengan orang Lewi. Ini sudah orang Yahudi, suku Lewi pula, satu suku yang khusus, saya ini orang Samaria, kalau orang Samaria, apa artinya orang Samaria? Mereka kelompok yang rendah, kelompok yang selalu dianggap tidak tahu apa-apa tentang iman kristen, tidak tahu apa-apa tentang bait suci, orang kelas dua, tapi jangan-jangan orang seperti ini justru lebih mengerti apa artinya tergerak oleh belas kasihan.
Saya tertarik bagaimana Yesus waktu menjawab kalimat terakhir itu pada saat Dia menanyakan, “Siapakah diantara ketiga orang ini menurut pendapatmu adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ketangan penyamun?” Kita melihat di sini ada perubahan paradigma tentang kata “sesama”, tadi orang itu kan berkata, siapa sih sesamaku manusia? Siapa sih orang yang beruntung itu? Saya sebagai subyek, saya siap mengasihi sesama, tetapi siapa yang mau jadi obyek sesama yang beruntung itu, obyek dari cinta kasih saya, siapa? Siapa sesama itu? Siapa yang bisa menjadi obyek cinta kasih saya? Tetapi Yesus mengatakan, siapa diantara ketiga orang ini menurut pendapatmu adalah sesama manusia? Yesus menempatkan role, peran sesama itu bukan sebagai obyek yang dikasihi, tetapi sebagai subyek yang menderita. Waktu kita melihat keadaan orang yang menderita, dia itu menjadi subyek, dia bukan menjadi obyek. Subyek itu kan lebih penting, kalau obyek itu ya cuma obyek, ini jadi obyek saya, begitu kan ya? Tetapi di sini, sesama itu bukan ditempatkan sebagai obyek seperti itu, tapi dia menjadi center, menjadi subyek.
Apa maksudnya? Kita bukan menanyakan kalimat saya sudah siap mengasihi, saya subyek yang mau mengasihi, siapa obyeknya, bukan seperti itu. Tetapi pertanyaannya adalah apakah saya menjadi sesama saya bagi saudara saya yang menderita? Orang yang menderita itu lebih penting, orang yang menderita itu menjadi pusat perhatian, lebih dari pada kita yang tergerak untuk menolong dia. Agak lucu kalau ada orang yang menderita kita malah self concious, hanya perhatikan diri, tetapi inilah keadaan saudara dan saya, keadaan saudara dan saya, waktu orang menderita, kita tidak menjadikan dia sebagai pusat perhatian, kita malah sibuk memperhatikan diri kita sendiri, gila orang seperti ini. Terlalu self concious, terlalu perhatikan dirinya sendiri, menjadikan diri selalu sebagai subyek, lalu memperlakukan orang lain hanya sebagai obyek.
Tetapi di sini Yesus mengatakan, siapakah diantara ketiga orang ini yang menjadi sesama manusia? Adakah engkau menjadi sesama bagi manusia yang menderita ini? Sesama bagi orang yang menderita, “tergerak oleh belas kasihan”, terjemahan ini sangat tepat dan bagus sekali, tergerak oleh belas kasihan itu tidak bisa memper-obyek-kan, saya tergerak oleh belas kasihan, berbeda dengan saya mengasihani kamu. Waktu saya mengasihani kamu, itu kamu langsung jadi obyek, predikatnya mengasihani dan saya sebagai subyek, begitu kan? Saya mengasihani kamu, tetapi ini bukan orang yang sedang mengasihani, dia bukan menjadi subyek, tetapi tergerak hatinya oleh belas kasihan. Tergerak itu kan kalimat yang agak pasif, memang sedikit berbeda dengan digerakkan, tetapi yang pasti dia bukan subyek. Dia tergerak oleh belas kasihan, istilah tergerak ini adalah verb intransitive, tidak ada obyeknya, dia tergerak oleh belas kasihan, jadi tergerak itu tidak perlu ada obyek artinya ini adalah satu sikap hati yang spontan, yang tidak menjadikan sesama sebagai obyek belaka. Sebaliknya, sesama, yang menderita itu, menjadi satu pusat yang menggerakkan hatinya.
Penderitaan orang lain menggerakkan dia untuk mempunyai belas kasihan, belas kasihan itu berbeda dengan saya mengasihani orang lain. Orang yang mengasihani bisa menempatkan diri tinggi sekali, lalu mengasihani, kasihan kamu itu, ini loh… kamu perlu uang berapa sih? Di sini ada, ini ambil, dari atas melihat ke bawah, kasihan kamu itu, jadi yang dimaksud dalam bagian ini bukan seperti itu, bukan. Ini bukan orang yang mengasihani, ini orang yang tergerak oleh belas kasihan, jadi lain sama sekali. Orang yang tergerak oleh belas kasihan, dia tergerak waktu melihat kebutuhan sesamanya, penderitaan sesamanya, meaning, pertanyaannya dikatakan, ini tidak jujur, “siapakah sesamaku manusia?”, pertanyaan ini salah, siapakah sesamaku manusia, salah, kenapa? Karena kalau kita melihat sekeliling kita saja, kita seharusnya tahu ada begitu banyak orang yang menderita, persoalannya bukan tidak ada sesama manusia yang bisa kita kasihi atau kita kasihani, bukan? Tetapi persoalannya adalah kita tidak tergerak oleh belas kasihan melihat penderitaan yang terjadi disekitar kita. Penderitaan itu ada dimana-mana, penderitaan itu tidak ada habisnya, jadi persoalannya bukan tidak ada yang menderita yang bisa saya tolong, bukan, tetapi persoalannya adalah apakah saudara dan saya tergerak hatinya waktu melihat penderitaan yang ada disekeliling kita?
Jangan disalahmengerti bagian ini, kita bukan sedang mengajarkan bahwa kita harus menyelesaikan seluruh penderitaan di dalam dunia ini, bukan. Nanti kita bukan masuk ke dalam ajaran kristen tetapi malah masuk ke dalam ajaran humanisme, seorang filsuf besar Emmanuel Levinas mengatakan, “untuk apa aku hidup kalau di luar sana masih ada yang menderita?”, luar biasa, etikanya tinggi sekali, banyak orang kristen mengatakan, “untuk apa saya hidup kalau saya menderita?”, waduh… luar biasa, tidak bisa dibandingkan dengan etika filsuf tadi, dia bukan orang kristen, dia seorang Yudais, orang yang hanya percaya PL. Tetapi di sisi yang lain kita harus kritis juga, kenapa? Karena kita bukan sekedar hidup untuk menyelesaikan seluruh penderitaan yang ada di dalam dunia ini, bukan. Tetapi ada takaran, ada porsi yang Tuhan percayakan di dalam kehidupan kita, nah inilah yang seharusnya kita tergerak. Kita tidak percaya di dalam kehidupan kita, kita tidak ada porsi sama sekali, oh… itu bukan bagian saya, orang yang menderita itu harusnya dilayani orang lain, bukan saya, karena saya sendiri sedang menderita, mestinya orang lain yang melayani saya.
Kalau saya sedang memerankan peran orang yang dirampok ini, jadi bagian ini untuk mendidik orang-orang yang kurang memiliki belas kasihan, begitu kan ya? Kalau memakai istilah teologisnya mudah sekali, itu namanya membenarkan diri dengan cara yang lain, termasuk orang-orang yang seringkali kecewa waktu datang ke gereja. Mana nih, katanya gereja, katanya orang kristen, katanya orang percaya kepada Tuhan, kenapa mereka tidak hadir waktu melihat saya sedang menderita, ini adalah cara lain untuk membenarkan diri, dimana mereka waktu saya menderita, kenapa mereka tidak datang? Mana yang mengasihi saya, ini pertanyaan lain lagi, kalau orang tadi sudah siap, siapa sesamaku manusia, lalu Yesus menelanjangi, bohong, kalimat itu tidak jujur. Tapi ada penyakuit lain lagi yang mengatakan, saya menderita, mana sesama manusia yang mengasihi saya? Dia tidak tertarik menjadi sesama yang mengasihi, dia tertarik menjadi menjalankan peran orang yang dirampok habis-habisan, yang menuntut sesama yang lain untuk mengasihani dia ramai-ramai, another self justification.
Tetapi Yesus juga tidak mengajarkan bagian ini, Yesus mengatakan, siapa diantara ketiga orang ini yang adalah sesama manusia, lagi-lagi orang ini menjawab dengan tepat, tetapi sayang tepat hanya di dalam jawaban saja, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan, dialah sesamanya itu”, lalu Yesus mengatakan kalimat terakhir, “ pergilah dan perbuatlah demikian”. Pergilah, itu adalah satu pengutusan, maksudnya kita tidak perlu diskusi lagi, karena secara pengertian kamu sudah komplit, sudah cukup, paling tidak untuk takaran hari ini sudah cukup. Sekarang pergi, jangan diskusi teologis terus, pergilah dan terutama adalah perbuatlah demikian. Ini masih kalimat yang sama, tadi mengatakan, sebetulnya perikop ini sudah bisa berheti di ayat 28, perbuatlah demikian, tetapi orang ini karena membenarkan dirinya memakai ini dan itu, dsb. sampai Yesus harus menggunakan cerita yang panjang tetapi kalimat ini diakhiri dengan kalimat yang sama “perbuatlah demikian”. Engkau bukan tidak tahu, bukan tidak ada pengertian, tetapi persoalan di dalam kehidupan kita, kehidupan saudara dan saya adalah kita kurang berbuat seperti apa yang sudah kita mengerti, kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading