Khotbah ini ada tiga bagian. Bagian pertama ini saya beri judul “teori konspirasi”.
Saulus tinggal beberapa hari bersama murid-murid di kota Damskus, kira-kira 300 km dari Yerusalem, kurang lebih tiga hari kalau jalan kaki dari Yerusalem. Dia datang ke Damsyik dengan satu misi yang sama sekali berbeda dari apa yang dia kerjakan, karena beberapa hari sebelumnya dia menuju Damsyik dengan membawa sebuah surat jaminan untuk boleh menangkap orang. Saulus adalah musuh orang Kristen, dia datang untuk menangkapi orang-orang Kristen itu dan membawa mereka ke Yerusalem untuk disidang. Saulus adalah orang yang setuju –kalau perlu– menghukum mati orang-orang Kristen ini. Saulus, yang barangkali adalah musuh paling besar orang-orang Kristen, yang paling ditakuti, orang Yahudi yang paling fanatik, mengalami sesuatu dalam perjalanannya ke Damsyik ini (kita sudah bahas beberapa minggu lalu); dan yang dialaminya itu mengubah dirinya, sehingga ketika dia sampai ke Damsyik, dia sampai bukan sebagai orang yang sama lagi. Dia berjalan ke Damsyik sebagai musuh Kristen, dia sampai di Damsyik sebagai orang Kristen. Dia datang ke Damsyik untuk membinasakan Kekristenan, namun dia sampai di Damsyik sebagai orang yang ingin menyebarluaskan dan membesarkan Kekristenan. Hal yang terjadi di jalan menuju Damsyik itu, dapat kita sebut sebagai: orang yang menganut teori konspirasi yang satu, kini beralih ke sesuatu yang dulu dia anggap sebagai teori konspirasi yang lain.
Saulus adalah orang yang percaya bahwa Kekristenan itu sekadar teori konspirasi yang tidak masuk akal untuk dipercaya siapapun, dan bukti-buktinya jelas bahwa Kekristenan itu salah. Orang-orang Yahudi beranggapan Tuhan itu penyayang dan besar kasih-Nya bagi mereka yang menantikan Dia, Tuhan tidak akan mengecewakan orang yang menantikan Dia, sehingga orang-orang yang menantikan Tuhan bisa menyerahkan bebannya kepada Tuhan, Dia akan menopang orang-orang yang menantikan-Nya, umat-Nya tidak akan kecewa; sedangkan jelas-jelas Yesus itu menantikan Tuhan, jelas-jelas Yesus itu dikepung oleh musuh-musuh-Nya, lalu jelas-jelas salah satu kata-kata terakhir Yesus adalah “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Jadi, Yesus ini orang yang mengalami delusi dan menganggap diri-Nya Mesias, didukung dengan banyak orang di sekeliling-Nya yang mengobarkan delusi tersebut sehingga membuat Dia semakin percaya dan yakin bahwa Dia memang Mesias, tapi pada akhirnya Dia mengalami disillusion di kayu salib, dan dalam delirium-Nya Dia berseru-seru “Tuhan-Ku, Tuhan-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dan, coba lihat, apakah Tuhan menolong Yesus? Yesus akhirnya mati, bukan?? Akhirnya matahari terbenam, dan mereka menurunkan mayat Yesus, menguburkan-Nya. Kemudian murid-murid-Nya meneruskan teori tadi, mereka meneruskan delusi-Nya, mereka mengatakan bahwa Yesus bangkit. Tetapi siapa yang mau percaya kepada orang-orang ini?? Itu teori konspirasi!!
Kita tahu, penganut teori konspirasi bukan hanya orang-orang bodoh. Kita cenderung tergoda untuk menjelaskan bahwa kenapa orang-orang tertentu percaya bumi itu datar, percaya nyamuk-nyamuk tertentu bisa menyebarluaskan entah semacam chip yang dipakai untuk memancarkan informasi rahasia kepada sekelompok orang yang menguasai dunia ini, percaya dunia ini dikuasai oleh sekelompok orang Yahudi yang somehow bersekongkol dan memiliki jejaring di antara mereka serta kesepakatan tertentu yang diteruskan turun-temurun, adalah karena mereka itu bodoh, kurang pendidikan, tidak kritis, gampang percaya. Dalam hal ini saya kira sebagian benar juga; percaya bahwa bumi ini datar, percaya bahwa COVID itu bikinan pabrik obat, percaya bahwa dunia ini dikuasai makhluk ruang angkasa sejenis reptil yang menjelma jadi manusia, tentu benar juga bahwa bisa percaya yang begituan adalah karena bodoh. Namun tidak semua orang yang percaya teori konspirasi adalah orang-orang yang IQ-nya rendah, bodoh, atau kurang pendidikan. Banyak dari antara mereka adalah orang-orang yang punya pendidikan tinggi; tidak sedikit dari mereka yang punya pendidikan sampai level doktor dan profesor –orang-orang yang punya kecerdasan tinggi.
Salah satunya, Kurt Gödel, seorang matematikus, salah satu yang paling brilian, barangkali satu di antara sepuluh orang yang bisa paham tulisan Einstein ketika dia menerbitkan “Special Relativity”. Kurt Gödel bukan orang tidak berpendidikan, bukan orang yang IQ-nya rendah, bukan orang yang cupet, tapi dia percaya sejenis teori konspirasi yang membuat dia curiga terhadap makanan apapun yang disajikan baginya, atau yang dijual bebas di luar; dia hanya mau makan masakan istrinya. Lalu ketika istrinya harus opname berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya Kurt Gödel mati duluan karena kurang gizi, sedangkan istrinya malah tidak mati. Tragis, ya. Kita mungkin bisa tertawa, tapi sedih juga dunia kehilangan matematikus brilian karena kurang gizi; dan kurang gizinya karena dia percaya dirinya diincar serta mau dibunuh sekelompok orang. Padahal siapa sih yang mau bunuh matematikus, haiyaaa… . Meski demikian, common sense seperti ini bisa tidak dipercaya oleh orang-orang yang begitu cerdas seperti Kurt Gödel; dan saya kira tidak sedikit juga orang-orang lain yang percaya teori konspirasi, yang bukan orang-orang bodoh, bukan orang-orang yang tidak berpendidikan.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky menjelaskan dalam karyanya, Thinking, Fast and Slow, bahwa manusia memang punya dua modus dalam berpikir. Modus yang pertama yaitu modus analitik; manusia berpikir lambat, membedah, mencari kebenaran, menguji kebenaran, mencoba mencari verifikasi dan falsifikasi. Namun hal tersebut kontraintuitif, tidak natural, sesuatu yang melawan bias kita, melawan kebiasaan kita yang membuat kita ada di sini dan survive sementara dinosaurus-dinosaurus mahaperkasa sudah punah 65 juta tahun yang lalu. Kita survive bukan karena kita punya daya pikir analitik, bukan karena kita menerapkan metode ilmiah; kita survive karena kita itu rentan (prone) percaya teori konspirasi. Kita survive karena kita punya bias konfirmasi, karena kita itu cari-cari alasan kenapa saya benar dan kenapa saya bukan salah, kita meluputkan data-data bahwa kita selama ini salah dan bodoh, kita abaikan data-data itu seberapa pun banyaknya. Kita, dari 200.000 tahun yang lalu sampai hari ini, punya kerentanan untuk lebih gampang menerima bukti-bukti yang sesuai dengan yang selama ini sudah kita pegang, dan sulit menerima bukti-bukti yang mensyaratkan kita untuk meninggalkan teori/cara pandang/ anggapan-anggapan yang selama ini kita andalkan, yang selama ini kita pikir sudah benar. Metode ilmiah –yang mengedepankan falsifikasi (mencari-cari kesalahan), dan kita bahkan hanya mengatakan “ini hipotesis saya, ini model saya; benar, selama belum terbukti salah” — itu kontraintuitif, tidak natural, tidak terbiasa manusia pakai; dan itu bukan yang menyebabkan kita hari ini ada di planet ini, masih bertahan hidup sementara dinosaurus sudah punah 65 juta tahun yang lalu. Dengan demikian tidak perlu heran kalau orang-orang yang paling pandai sekali pun, bisa lho percaya teori konspirasi –meski tentu jangan dibalik jadi ‘orang yang percaya teori konspirasi berarti pandai’.
Jadi kenapa teori konspirasi bisa dipercaya, adalah karena kita memang punya kebiasaan berpikir yang banyak menguntungkan –namun banyak merugikan juga– yang kita miliki sebagai warisan/pembawaan alamiah manusia, yaitu kita cenderung mengkonfirmasi apa yang kita sudah pegang. Kita ini berpikir dengan modus group think (berpikir bersama), ada peer pressure. Lingkungan kita adalah orang-orang yang sejalan, sehati sepikir dengan kita. Kita jarang ngobrol atau bergaul atau nontonin konten yang isinya berseberangan dengan kita, yang kalau orang-orang itu benar maka berarti saya bodoh. Contohnya, kalau kita orang-orang “kanan”, orang-orang libertarian, orang-orang yang percaya akan kerja keras dan pajak yang rendah dan kendali pemerintah yang kecil, orang-orang yang percaya bahwa mereka yang gagal adalah karena malas dan mereka yang berhasil adalah yang kerja keras dan jujur dan kontributif dalam masyarakat, maka biasanya cukup banyak yang mendukung figur-figur semacam Elon Musk, Jordan Peterson, atau Donald Trump, misalnya. Dan tentu saja, orang-orang semacam ini akan enggan meng-klik konten-konten dari sisi seberang, yang mengatakan Presiden Trump itu presiden yang rate berbohongnya luar biasa banyak sekali; mereka akan mengatakan, “Ah, itu propaganda doang, tidak fact based”, dsb.
Intinya, saya mau menunjukkan bahwa kita ini prone terhadap konfirmasi; dan itu bisa baik, bisa buruk juga. Dan, itulah yang terjadi pada Saulus, terjadi pada orang-orang Farisi, orang-orang Saduki. Mereka melihat Yesus sebagai orang yang delusional, sebagai orang yang mengaku-ngaku Mesias padahal bukan. Dalam hal ini, kalau Yesus tidak laku, tentu tidak apa-apa dan tidak berbahaya, tapi masalahnya Yesus itu laku! Dia punya banyak pengikut, orang banyak mendukung Yesus; dan ini bahaya! Makin laku, makin bahaya –samalah dengan teori konspirasi.
Saudara tahu, ada jurnal –yang tidak usah dicarilah, pasti ecek-ecek, bahkan tidak di-akreditasi– yang menerbitkan makalah-makalah mengenai bumi itu datar. Jurnal bumi datar itu subscriber-nya sedikit, yang baca juga sedikit, yang mengutip juga sedikit, paling-paling dikutip untuk menunjukkan bahwa ada lho jenis manusia begini di zaman sekarang. Pengaruhnya pun kecillah. Kalau kamu mewawancarai orang-orang di Univeritas Indonesia, ITB, Harvars, Oxford, Cambridge, apakah mereka percaya bumi itu datar, maka dari satu juta manusia palingan hanya satu yang percaya, itu pun mungkin sekadar bercanda. Jadi sedikit sekali yang percaya itu; bukan tidak ada atau nol, tapi sedikit. Artinya apa? Artinya, selama teori konspirasi yang dianut tersebut levelnya sama seperti teori bumi datar, ya tidak laku, aneh, maka Romawi punya ruang yang lebar sekali untuk mentoleransi orang-orang seperti ini, dan orang-orang Yahudi pun ‘gak kurang kerjaanlah untuk mengurusi orang-orang seperti, sudah biarkan saja. Tetapi Yesus tidak bisa dibiarkan. Para pengikut Yesus tidak bisa dibiarkan. Mereka orang-orang yang berbahaya, karena yang mereka percaya itu punya implikasi terhadap hal-hal penting kita, implikasi mengenai legitimasi kepemimpinan di Bait Suci, implikasi mengenai cara hidup kita secara umum dalam dunia ini, cara hidup kita sebagai jajahan Imperium Romawi —dan implikasinya adalah: kita menuju kematian, kita harus berbalik, kita harus mengalami metanoia, kita harus bertobat dari jalan ini. Bertobat dari jalan apa? Kita harus bertobat dari jalan sebagai orang Farisi. Kita harus bertobat dari jalan sebagai orang Saduki. Kita harus bertobat dari jalan sebagai penganut Zelot, atau orang yang bersumpah untuk membunuhi orang Romawi sebanyak mungkin, kaum Sikari atau orang Eseni. Kita harus metanoia, berbalik, bertobat dari jalan-jalan tersebut. Dan, jika Yesus serta murid-murid-nya benar, berarti kita ini menganut teori konspirasi (hanya saja subscriber kita banyak), dan mereka benar, kita salah –bias konfirmasi. Tidak heran, seberapa pun banyak bukti-bukti mukjizat yang dilakukan Yesus, bukti-bukti yang di-argumentasikan sampai berbusa-busa oleh Petrus dan Yohanes, tidak semua orang percaya.
Barangkali kita beranggapan –bersama-sama dengan René Descartes —kalau saya bisa mendemonstrasikan kebenarannya, bahwa percaya yang sebaliknya itu sungguh-sungguh tak dapat dibayangkan, maka kita akan bisa memaksa orang untuk percaya Kristen, atau mengakui bahwa mereka bodoh, karena saya sudah menunjukkannya. Namun masalahnya, manusia tidak bekerja dengan cara begitu, kepercayaan tidak bekerja dengan cara begitu, dan iman tidak bekerja dengan cara begitu. Masalahnya, kalau orang sudah invest hidupnya –emosinya, social networking-nya, masa depannya, impiannya– di dalam satu teori, ideologi, cara hidup/gaya hidup, kebudayaan, agama, maka untuk dia menyeberang adalah sesuatu yang sulit, sesuatu yang otaknya tidak mampu melihat bahwa dia sesalah dan sebodoh itu. Untuk menyeberang dari posisi melihat satu ideologi sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh tidak masuk akal-jahat-bodoh, menjadi posisi barangkali ini satu-satunya jalan menuju kehidupan, itu hanya Tuhan yang bisa melakukan. Dan Tuhan melakukannya terhadap Saulus beberapa hari sebelumnya, ketika dia dengan penuh keyakinan. Ini bukan ketika Saulus sedang ragu, sedang goyah imannya ‘jangan-jangan Yesus benar, sedangkan imam-imam di Bait Suci ini apa-apaan, korupsinya banyak, Kayafas tidak masuk akal pidatonya kemarin’ lalu dia mulai diskusi dengan Petrus, lalu dia mulai mempertimbangkan hipotesis Kristen, dan kemudian Tuhan jrenggg menampakkan diri, mengkonfirmasi, “Saulus, Saulus, yang kamu cari sekarang ada di depanmu, Aku, Yesus”. Bukan seperti itu.
Saulus penuh dengan keyakinan bahwa jelas Kristen itu teori konspirasi yang keliru, dan jelas jalan hidup Farisilah yang paling benar, maka jelas Kristen harus musnah dari muka bumi ini; kalau bukan mereka yang musnah maka kita musnah. Kalau Kristen thriving, Yudaisme terancam, maka Kristen harus musnah mumpung masih kecil. Memberantas enceng gondok, itu jangan tunggu danau Sunter penuh dengan enceng gondok, bakal berat. Tapi kalau baru satu, dua, gampang kita jaring. Setiap kali muncul enceng gondok, langsung jaring, tumpas selagi kecil; itulah logika Saulus. Dia penuh keyakinan untuk membunuhi orang-orang Kristen di Damsyik. Dan saat itulah Yesus ketemu dia; dan ketika Yesus ketemu Saulus, dia jadi buta. Dia jadinya jalan saja musti ditolong orang. Dia mau tinggal di mana, itu pun harus bergantung pada belas kasihan murid-murid yang dulunya ingin dia bunuh, di Damaskus.
Setelah Saulus tinggal beberapa hari di sana, dia memutuskan untuk bertindak. Dia pergi ke sinanoge-sinagoge (rumah ibadat Yahudi), dan berargumentasi sebaliknya dengan orang-orang Yahudi di sinagoge. Dia membuktikan bahwa Yesus adalah Anak Allah, sehingga orang-orang Yahudi jadi heran, bertanya-tanya (istilah ‘heran’, kata lainnya adalah takjub, takut; dalam Kisah Para Rasul terjemahan TB 1974 kita menjumpai istilah ini dipakai, ‘Sementara rasul-rasul mengadakan banyak mukjizat dan tanda-tanda, murid-murid dipenuhi ketakutan’, artinya dipenuhi ketakjuban). Orang-orang Yahudi ini takjub sekali dengan apa yang dikatakan Saulus, soalnya Saulus dari Tarsus ini malah membuktikan Yesus itu Mesias, “Ini ‘gak mungkin! Dia dulu yakin teori (konspirasi) yang sebelahnya yang kami percaya, sekarang koq dia percaya teori ini, ini ‘kan teori konspirasi!”. Biasanya orang yang percaya teori konspirasi tentu tidak bilang teori dia itu teori konspirasi, tidak bilang “saya ini percaya teori konspirasi, tapi ini benar”, melainkan akan mengatakan: “Inilah kebenarannya, faktanya, kenyataannya; tinggal kamu buka mata saja, kamu harusnya bisa lihat”, sedangkan teori orang lain dibilang teori konspirasi. Miriplah dengan debat-debat di forum-forum internet, misalnya debat teologi. “Wah, kamu itu filsafatnya Calvin, itu teologi bikinan manusia, tapi yang saya punya dari Alkitab”. Atau sebaliknya kita punya dogmatisme yang kita bilang, “Ini Alkitab, ini firman Tuhan, ini kebenarannya, ini just common sense”, sementara yang lain bilang, “Yah, itu ideologi kamu, worldview kamu, kacamata kamu, yang bikin kamu percaya itu”. Jadi penganut teori konspirasi biasanya tidak menyebut, tidak menyadari, tidak menghayati teori konspirasinya sebagai teori konspirasi, karena hal tersebut sudah jadi matanya dia, cara dia melihat dunia ini.
Saulus menyeberang. Dia sekarang melihat dunia dengan kacamata ‘bagaimana jika Yesus itu memang Mesias, bagaimana jika memang Bait Suci Yerusalem itu di bawah penghakiman Tuhan, bagaimana jika memang saya melawan Tuhan, bagaimana jika memang umat Israel itu membunuhi nabi-nabi utusan Tuhan seperti yang Yesus katakan dalam berbagai perumpamaan, bagaimana jika memang orang-orang paling suci yang paling tinggi posisinya dalam hierarki kepemimpinan Israel justru melawan Tuhan, bagaimana jika kita ini keadaannya seperti kerajaan Israel pada masa nabi-nabi, sehingga ketika kita merasa bergiat bagi Tuhan justru kita sedang melawan Tuhan’; bagaimana jika itu semua benar? Itulah yang Saulus sekarang hayati. Dan dia yakini jawabannya adalah: memang itu benar; karena dia sudah berjumpa dengan Yesus yang naik ke surga, Yesus yang bangkit, dan Yesus itu bertanya kepada dirinya, “Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Jadi, dalam kebutaannya Saulus melihat. Dia buta di mata orang-orang dan teman-temannya yang lama, di mata orang-orang Farisi, tapi dia sesungguhnya baru mulai belajar untuk melihat. Ini seperti dalam perumpamaan Plato, perumpamaan mengenai gua (allegory of cave): orang yang melihat dunia yang sebenarnya –bukan bayang-bayang– dia itu buta sebentar, tapi kemudian yang dia lihat adalah kenyataannya.
Beberapa hari kemudian orang-orang Yahudi mulai berunding untuk membunuh Saulus. Mungkin mirip juga seperti orang-orang dalam perumpamaan gua-nya Plato, yang bersekongkol untuk menganiaya orang yang melihat terang. Persengkokolan itu diketahui oleh Saulus. Saulus tidak bisa dengan mudah kabur, karena pintu gerbang selalu dijaga oleh orang-orang Yahudi, mereka ingin menangkap dia dan membunuhnya. Itu sebabnya suatu malam Saulus harus diselundupkan keluar, diturunkan dalam sebuah keranjang –tidak gagah sama sekali. Kita mungkin membayangkan kalau Saulus mau kabur, mustinya kayak tokoh Tom Cruise dalam Mission Impossible, dia melewati penjagaan, lalu dia buka topengnya, dst. Tapi bukan seperti itu. Saulus kabur di dalam sebuah keranjang yang diturunkan, kayak ayam saja, memalukan. Namun tidak apa-apa, karena memang Kerajaan Allah datang bukan dengan kegagahan dan kemuliaan dalam arti yang duniawi.
Saulus kabur dalam sebuah keranjang, dan dia melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, dan di Yerusalem dia berusaha menggabungkan diri dengan murid-murid yang lain. Sekarang saya masuk ke babak kedua, yang saya beri judul “ketakutan”.
Ketika Saulus coba menggabungkan diri dengan murid-murid yang lain, ada sesuatu yang menghalangi. Apa yang menghalangi? Yang menghalangi adalah kecurigaan dan ketakutan; dan memang ini lazim. Yang mencegah kita dari mencari tahu tentang teori tandingan, mencegah kita dari membaca-baca teologi tandingan, mencegah kita dari mencari tahu prejudice kita soal suku tertentu, lapisan masyarakat tertentu, ideologi politis tertentu, pandangan ekonomi tertentu, dan apapun lainnya, sering kali juga sama: ketakutan. Kita takut kita salah. Kita takut nanti keadaan jadi tidak terkendali. Kita takut nati kita berubah –kalau mahasiswa teologi, takut jadi liberal, atau takut jadi fundamentalis di sisi yang lain, meski ini agak jarang. Jadi, kita takut; dan takut itu melumpuhkan. Takut itu menghalangi orang untuk mengasihi. Takut itu menghalangi orang untuk berjalan bersama dengan Tuhan.
Mereka dihampiri oleh Saulus yang sudah bertobat, sudah berubah –diubahkan oleh Yesus– dan mereka menutup diri karena takut. Bukan karena mereka hati-hati, bukan karena mereka ingin menjaga kemurnian, bukan karena mereka takut berdosa. Mereka takut pada Saulus, soalnya Saulus ini ‘kan orang yang mengejar-ngejar mereka, Saulus ini tidak sampai seminggu sebelumnya adalah Saulus yang ingin membunuhi orang Kristen, lalu koq sekarang memberitakan Injil Yesus?? Tidak mungkin!! Jadi mereka takut kepada Saulus, mereka curiga. Ketakutan dan kecurigaan sering kali berkelindan.
Saudara pernah melihat rekaman CCTV atau rekaman amatir dari handphone yang memperlihatkan orang berkelahi sungguhan, atau tembak-tembakan? Mungkin beberapa tahun lalu kita pernah melihat video amatir –videonya goyang-goyang– memperlihatkan tembak-tembakan di Sudirman, waktu ada bom meledak di Starbucks Sudirman. Tembak-tembakannya polisi itu keren tidak? Apa keren seperti kayak di film John Wick, yang menembak dengan gagah, maju terus, jungkir balik, dst.? Tentu tidaklah; tidak keren sama sekali! Pernah lihat orang berantem? Orang berantem tidak keren sama sekali, khususnya kalau masih seimbang, meski sejago apapun keduanya tetap tidak keren, lebih keren film silat. Kenapa tidak keren? Soalnya sejago apapun, kamu takut juga kalau kepukul, sakit. Orang pada dasarnya takutlah. Bisa saja orang bilang, “Gua ‘gak takut!” tapi tetap saja takut; seandainya dipasangi alat ukur detak jantung, jelas dia deg-degan, takut. Pernah lihat singa sedang makan honey badger? Honey badger ini binatang yang kecil, tapi galak banget, agresif sekali, makanannya adalah ular kobra. Singa atau hyena kadang-kadang mau memakan dia, tapi honey badger ini agresif sekali sampai singanya juga takut, meski kalau singanya maju terus, ya mati jugalah si honey badger, meski tetap saja si singa baret-baret.
Intinya, saya mau mengatakan bahwa kita ini tidak ada yang terlepas dari rasa takut. Rasa takut itu universal, sama seperti confirmation bias itu universal; tapi takut itu menghalangi kita. Menghalangi kita untuk apa? Macam-macam. Menghalangi kita untuk mengetahui kebenaran. Menghalangi kita untuk mengasihi. Apa itu mengasihi? Yaitu mengatakan sesuatu, melakukan sesuatu, bersikap sesuatu, demi kebaikan yang lain. Ini terhalang, karena kita takut. Takut apa? Macam-macam. Kalau manusia, takutnya tidak kayak singa atau anjing yang takut mati; manusia takut mati sih, tapi ada yang lain-lain juga, kompleks. Takut malu, takut dipermalukan, takut kehilangan wibawa, takut kehilangan kendali, dan macam-macam.
Saya kadang-kadang ikut rapat-rapat; dan di rapat kadang-kadang kita ngomongin orang, gosipin orang, tapi kalau di rapat bilangnya ‘mendiskusikan’. Kita mendiskusikan strategi, atau apalah, macam-macam. Lalu ketika mendiskusikan strategi, kadang-kadang ada informasi yang sesimpel itu untuk kita bisa tanya langsung ke orangnya, langsung telpon saja. Misalnya saya punya nomer telponnya, lalu saya bilang, “Gua telpon ya, gua tanyain”, tapi kemudian dia bilang, “Oh, jangan-jangan.” Kita maunya cari tahu secara tidak langsung; kenapa? Karena tanya langsung itu ada resikonya, misalnya nanti dia besar kepala, nanti dia jadi tahu bahwa dia diselidiki, dan macam-macamlah resikonya –dan kita mau menghindari resiko. Intinya: kita takut. Dan orang yang takut biasanya jadi agresif, orang yang takut kadang-kadang jadi kejam.
Saya sendiri menganggap diri saya bukan orang yang sadis, tapi saya tahu bahwa saya bisa sadis kalau saya merasa terancam. Waktu anak paling besar saya masih kecil, sekitar umur dua tahun, di rumah ada ular masuk. Saya pikir, ular ini kalau gigit anak saya dan beracun, anak saya bisa mati, maka saya ambil tongkat dan bunuh ularnyalah. Kalau zaman sekarang cerita begini mungkin bisa diprotes oleh PETA (penyayang binatang), tapi saya waktu itu tidak pikir yang lainlah, saya hanya pikir siapa tahu ularnya beracun, jadi saya bunuh. Sesimpel itu. Ketakutan membuat orang berbuat kejam. Ketakutan membikin orang melakukan sesuatu yang mencelakakan pihak yang lain. Saya tidak bilang ‘tidak boleh bunuh ular’ secara general, namun harus saya akui yang saya lakukan waktu itu karena saya takut, saya kuatir. Itu saja. Saya juga pernah melihat ular yang seperti kobra tapi kecil; dan apa yang saya lakukan? Saya bejek pakai bangkulah, saya matikan sebelum dia mematikan saya. Jadi, orang kalau takut, dia bisa jadi berbahaya. Selain berbahaya, yang paling penting adalah ini: dia itu bisa lumpuh, tidak bisa mengasihi.
Murid-murid di Yerusalem ini tidak bisa mengasihi Saulus, tidak bisa melihat pekerjaan Tuhan yang sedang dikerjakan luar biasa dalam diri Saulus, dan hampir-hampir memadamkannya. Kalau mereka tidak menerima Saulus, apa jadinya? Tentu saja pekerjaan Tuhan tidak bisa dihalangi, itu benar, namun di sini mereka sedang resist pekerjaan Tuhan; kenapa? Karena takut. Karena merasa tidak masuk akal banget. Saulus ini ‘kan yang mau bunuh kita; Saulus ini penganut teori konspirasi sebelah, koq sekarang jadi promotor dan apologet teori konspirasi yang ini?? Tidak mungkin! Jadi mereka ingin melindungi diri dari Saulus karena menganggap Saulus pasti punya niat jahat. Ketakutan itu melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak bisa menjadi channel of blessing bagi Saulus, tidak bisa membiarkan Saulus jadi channel of blessing bagi mereka, tidak bisa membiarkan pekerjaan Tuhan mengalir di tengah mereka, lebih besar dari yang mereka bayangkan. Apa yang menghalangi? Ketakutan. Dan apa yang Tuhan kerjakan untuk addressing ketakutan itu?
Babak ketiga, inilah yang Tuhan kerjakan: Tuhan menyediakan “makelar”. Makelar itu make it happened, membuat urusan cepat kelar. Mereka adalah katalisator. Katalisator itu ada urusannya dengan energi aktivasi dari reaksi. Reaksi dari entah senyawa/eleman A dengan senyawa/elemen B, kadang butuh energi aktivasi agak tinggi, misalnya suhu tinggi, ionisasi, radiasi, atau dikocok-kocok, dsb. Namun energi aktivasi ini kadang-kadang tidak harus setinggi itu, karena reaksinya A dengan C lebih rendah, reaksinya B dengan C lebih rendah; dan reaksi A dengan B rupanya dua arah, demikian juga B dengan C dua arah, sehingga kalau di antara A dan B yang tidak terjadi apa-apa kita tambahkan C, maka A dan B bereaksi, C sempat bereaksi lalu balik lagi jadi C –katalisator. Dalam bidang Biokimia, ini enzim, yang mempercepat reaksi, memungkinkan reaksi, make it happened –makelar. Dan, makelar di bagian ini namanya adalah Barnabas.
Barnabas ini sepertinya another nobody, sebagaimana juga Ananias, yang dipakai Tuhan sebagai enzim, katalisator. Dia percaya pada Saulus, dia mendengarkan Saulus, dia kemudian mengantarkan Saulus kepada murid-murid yang takut itu. Dan dengan cara itu Saulus kemudian diterima. Dengan cara itu Tuhan meneruskan pekerjaan-Nya di Yerusalem, di Yudea, di Samaria, dan sampai ke ujung bumi –melalui Saulus, melalui Barnabas, melalui lenyapnya ketakutan. Oleh apa? Oleh kepercayaan, yang mengalahkan kecurigaan. Oleh mendengarkan, yang mengalahkan adu teriak.
Kita kadang-kadang kalau merasa tidak didengarkan, entah karena orang itu kupingnya agak tuli, atau suara kita kurang keras, maka kita teriak. Apalagi kalau dia tidak mau mendengarkan, kita teriak, kita ngomong dua kali. Dan, kalau tiap anggota masyarakat merasa tidak didengarkan, akhirnya suasana jadi bising karena setiap kita menggandakan usaha untuk terdengar. Tapi, kita bisa juga melakukan yang sebaliknya, yaitu kita mulai mendengar, mulai membuka hati. Ini butuh apa? Butuh keberanian, butuh kepercayaan, butuh faithfulness, butuh iman; dan orang benar hidup oleh iman. Iman ini bukan hanya imannya kita, bukan hanya imannya manusia individu; iman ini juga bisa berarti kesetiaan. Dan tentu kesetiaan yang memungkinkan ‘orang benar hidup oleh iman’ adalah kesetiaannya Tuhan. Yang memungkinkan orang benar hidup adalah: Tuhan itu setia pada perjanjian-Nya. Jadi pada babak terakhir ini, katalisator yang bernama Barnabas itu menaruh percaya kepada Saulus, membuka hatinya kepada Saulus. Dan, karena murid-murid lebih mudah menaruh percaya kepada Barnabas daripada kepada Saulus, maka ketika Barnabas meperkenalkan Saulus kepada mereka, mereka mau menerima, mereka membuka hati.
Saulus kemudian tinggal bersama mereka di Yerusalem, dia dengan berani mengajar dalam nama Tuhan. Dia bersoal jawab dengan orang-orang Helenis, orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani –tapi mereka tetap berusaha membunuh dia, karena teori konspirasi tadi. Karena confirmation bias, tidak mudah untuk seseorang mempercayai sesuatu yang mensyaratkan dirinya membuang semua yang selama ini dia pakai untuk hidup, untuk melihat dunia, untuk menakar dan menimbang dunia ini. Kalau semuanya itu ternyata salah, atau bodoh, atau bahkan jahat, maka sebagaimana kita tahu: jika Yesus itu memang Mesias, maka mereka adalah pembunuh Mesias, maka mereka seperti nenek moyang mereka yang membunuhi nabi-nabi, maka mereka itu pelawan-pelawan Allah –dan ini ‘kan sulit diterima. Namun itulah yang terjadi, Roh Tuhan bekerja, merekrut siapa yang Dia bisa rekrut.
Lukas kemudian menutup dengan deskripsi umum: ‘Jemaat di seluruh Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai (shalom)’. Shalom ini dalam arti bukan sekedar tidak ada peperangan atau penganiayaan, melainkan dalam arti ada human flourishing, mereka berkembang, mereka jadi manusia seutuhnya, mereka hidup tanpa terkekang untuk menjadi Kristen –kira-kira begitu. Selanjutnya dikatakan: ‘Jemaat dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan, jumlahnya bertambah besar oleh pertolongan Roh Kudus’. Komentar-komentar ini merupakan refrain dalam tulisan Lukas, bahwa apapun yang terjadi, Roh Tuhan tidak bisa dicegah/ditahan untuk mengerjakan, memajukan plot drama Kerajaan Allah sebagaimana yang Dia inginkan. Tidak bisa ditahan oleh fanatisme Saulus. Tidak bisa ditahan oleh bias konfirmasi yang inheren dalam diri setiap manusia yang menyebabkan kita bisa ada di sini hari ini. Tidak bisa ditahan oleh ketakutan kita. Tidak bisa ditahan juga oleh kecurigaan kita. Tuhan selalu berhasil mengalahkan segala halangan yang menghalangi penggenapan datangnya Kerajaan-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading