Hari ini kita memilih ayat Alkitab yang ada kaitan dengan Kalender Gereja, Misericordia Sunday, epistle reading diambil dari 1 Ptr 2:18-25. Salah satu center dalam Surat Petrus adalah tentang suffering (penderitaan), salah satu kata kunci dalam Surat Petrus. Dan bagian yang kita baca ini masih di bawah center itu, maka sangat tepat LAI memberi judul ‘Penderitaan Kristus sebagai teladan’.
Waktu melihat gambaran ini, kita mengamati dalam Alkitab bahwa semua doktrin/teologi –dalam hal ini theology of suffering– bisa diaplikasikan di dalam banyak hal, termasuk hubungan relasi hamba dan tuan. Setiap aspek kehidupan yang sederhana bisa ditinjau dari sudut doktrinal; sebaliknya setiap aspek doktrinal bisa diaplikasikan ke dalam aspek kehidupan manapun, sehingga selalu ada integrasi. Kita tidak percaya doktrin yang tidak bisa diaplikasikan dalam aspek hidup tertentu. Kita juga tidak percaya ada aspek-aspek kehidupan tertentu –misalnya urusan domestik tentang hamba dan tuan– yang tidak bisa ditinjau dari sudut doktrinal, karena itu bukan pengajaran Kristen, tapi fragmentasi kehidupan. Kalau kita tidak bisa mengaitkannya, persoalannya ada pada diri kita sendiri bukan pada teologi Kristen maupun Alkitab. Jelas sekali dalam tulisan Petrus ini, dia membahas kaitan kesulitan hidup sehari-hari –dalam hal ini hamba dan tuan– ditinjau dari teologi penderitaan.
Ada bagian yang sangat mirip yaitu tentang hubungan hamba dan tuan, dari perspektif Paulus dalam Surat Efesus. Kalau kita bandingkan, ada keunikan Surat Efesus yang tidak disentuh oleh Surat Petrus, ada juga keunikan Surat Petrus yang tidak disentuh Surat Efesus. Salah satunya yaitu di bagian ini wejangannya ditujukan kepada hamba-hamba saja, tidak ada kepada para tuan; sementara dalam Surat Efesus ada wejangan bagi para tuan, bukan cuma bagi para budak. Dari sini kita langsung tahu konteks pendengar yang dituju oleh Petrus atau Paulus. Agaknya, yang dituju Paulus mencakup hamba-hamba Kristen dan juga tuan-tuan Kristen; sedangkan dalam Surat Petrus hanya ada hamba-hamba Kristen tidak ada tuan-tuan Kristen. Yang disebut ‘tuan yang bengis’ di ayat 18 nampaknya bukan tuan-tuan Kristen, sehingga Petrus tidak merasa perlu menulis ajaran kepada tuan-tuan, karena toh tuan-tuan yang non Kristen itu, yang belum percaya, bukan bagian dari jemaatnya Petrus dan tidak akan membaca suratnya. Ini memberikan signifikansi tersendiri dalam Surat Petrus yang tidak ada dalam Surat Efesus. Surat Efesus membicarakan secara simetris –ada ajaran untuk hamba, ada ajaran untuk tuan– masing-masing mendapat porsinya. Tapi Surat Petrus asimetris, hanya bagi hamba-hamba.
Kita di tahun 2017 ini tidak hidup dalam zaman perbudakan lagi; lalu kadang-kadang muncul pertanyaan klasik ini: ‘Mengapa Alkitab seperti mengakomodasikan sistem yang salah ini, yaitu perbudakan? Mengapa Alkitab tidak pernah mengoreksi atau mengkritik sistem perbudakan ini?’ Ini sebenarnya tidak terlalu benar juga; kita membaca dalam Keluaran ada polemik yang sangat keras tentang perbudakan, oleh karena itu bangsa Israel ditarik keluar dari Mesir. Tapi, bebas dari perbudakan sampai tidak ada perbudakan atau perhambaan sama sekali, memang tidak ada di dalam Kekristenan. Kita ini ditebus keluar dari perbudakan, untuk masuk ke dalam perbudakan yang lain; from slavery to another slavery. Yang pasti, from worldly slavery –perhambaan yang tidak ada gunanya– untuk masuk kepada slavery Ilahi, diperhamba oleh Tuhan. To be human is to be a slave, wheter you like it or not. Pertanyaannya bukanlah ‘kita ini hamba atau bukan’–karena kita tidak ada pilihan untuk tidak jadi hamba, semua orang pada dasarnya adalah hamba, entah dia hambanya Tuhan atau hambanya manusia/ uang/ dst.– melainkan kita diperbudak oleh apa? Tidak ada yang tidak diperbudak, termasuk juga orang yang diperbudak oleh dirinya sendiri. Tuhan mengeluarkan kita dari perbudakan untuk masuk ke dalam perbudakan yang lain, tapi ini happy slavery, bukan full of oppression melainkan full of goodness, full of steadfast love of God.
Di dalam konteks ini juga Petrus mau mengajarkan jemaatnya, juga Saudara dan saya, untuk melihat perspektif ini. Yesus waktu dipermalukan diarak keliling Yerusalem, dari perspektif dunia/ Romawi Yesus adalah orang yang tunduk kepada pemerintah Roma/ The Great Roman Empire; jangan coba-coba melawan kekaisaran Roma, kehidupanmu akan berakhir seperti ini, dipermalukan, pikul salib dan dipaku di luar kota, menyatakan bahwa tidak akan berhasil menggulingkan pemerintah Roma karena Roma lebih powerfull. Dari perspektif Kristus, waktu Dia pikul salib, Dia bukan sedang taat kepada pemerintah Roma tapi kepada Bapa-Nya yang di surga. Ini mewarnai pandangan Petrus tentang gambaran hamba-hamba di bagian ini, waktu ia mengatakan kalimat ‘Hai, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu’. Ketakutan yang dimaksud di sini bukan takut dihukum, takut dibunuh/dianiaya, tapi ketakutan dalam pengertian respek terhadap orang-orang yang ditempatkan secara ordo di atas kita. Dan di dalam perspektif Efesus dikatakan bukan cuma melayani dengan takut dan gentar (fear and trembling) tapi juga antusiasme (enthusiasm), yang sebenarnya tidak ada benturan sama sekali; bukan ketakutan seperti sedang melayani diktator tapi ketakutan karena menghargai orang yang ditempatkan Tuhan secara ordo di atas kita.
Kita ini diciptakan Tuhan dalam jejaring ordo; ordo dalam kehidupan kita bukan cuma satu tapi banyak aspek. Saudara di sini sedang mendengar saya berkotbah, saya yang berkotbah kepada Saudara bukan Saudara yang berkotbah kepada saya, berarti ada ordo tertentu di sini; waktu Saudara berhadapan dengan anak Saudara, Saudara di atas, anak di bawah; dengan presiden, presiden itu di atas dan kita warganegara di bawah. Ada banyak jejaring ordo dan kompleks; kadang-kadang kita di atas, kadang-kadang kita di bawah, tergantung relasi di mana kita berada, dan hopefully orang lincah menempatkan dirinya di dalam jejaring ordo ini. Petrus mengajak kita untuk tunduk kepada ordo yang ada di atas itu. Yang menarik –bagian yang tidak ada pada Surat Efesus– dikatakan ‘bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga yang bengis’. Tunduk kepada yang ramah dan baik, tanpa dibicarakan lagi semua sudah tahu. Dalam pengalaman konseling, saya pernah ditanya seseorang begini: ‘apakah saya masih harus menghormati papa saya yang di rumah tidak menjalankan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, tidak bekerja, bahkan tidak mengasihi istrinya, dst.’ Pertanyaan yang sulit. Alkitab mengatakan ‘hormatilah ayahmu dan ibumu’, tapi waktu ada ayah yang seperti itu bagaimana? Mungkin Saudara jawab ‘tidak bisa dong, ini orang memang tidak layak dapat respek, mengapa kita musti menghargai ayah seperti itu yang tidak menjalankan tanggung-jawabnya’ (atau juga suami, dst. dst.), tapi kita baca dalam Sepuluh Hukum ‘hormatilah ayahmu dan ibumu’ tanpa ada footnote ‘kalau mereka bertanggung-jawab’ atau ‘kalau mereka setia dan cari nafkah baik-baik’. Tidak ada seperti itu, yang ada hanya ‘hormatilah ayahmu dan ibumu’, titik. Ini mirip dengan bagian ini, ‘Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu’, yang sampai di sini sebenarnya bisa juga titik, maksudnya dalam pengertian ‘bukan saja kepada yang baik dan peramah tapi juga yang bengis’. Dan itu berarti juga semua tuan, semua ayah, semua ibu, dst. dst. Inilah yang sulit.
Waktu kita bicara mengenai respek, sebenarnya dalam dobel pengertian. Di satu sisi ada respek yang unconditional, karena dia memang ordo yang di atas maka kita memang harus respek; di sisi lain ada respek yang conditional. Kita musti bisa membedakan 2 hal ini. Maksudnya begini: saya tidak mungkin menghormati orang yang cinta pekerjaan Tuhan dan banyak berkorban bagi pekerjaan Tuhan, secara sama dengan menghormati orang yang tidak tertarik bahkan tidak peduli pekerjaan Tuhan. Tuhan pun juga tidak akan menghormati secara sama. Yesus pernah mengatakan ‘Bapa-Ku menghormati mereka yang melayani’, artinya bukan menghormati semua, ada diferensiasi. Tentu saja kita akan lebih hormat kepada orang yang jujur dibandingkan yang tidak jujur, kita akan lebih hormat orang yang punya integritas daripada yang disintegrated. Inilah artinya respek yang conditional. Pendeta Stephen Tong seringkali mengatakan kepada rekan-rekan hamba Tuhan, “You have to gain your own respect” (kamu harus dapatkan respek kamu sendiri, itu tidak bisa diajarkan, jemaat akan punya sistem penilaian sendiri terhadap hamba Tuhan yang akan direspek, itu tidak bisa dihindari; karena respek itu so conditional dalam hal ini). Anak yang orangtuanya mengasihi pasti akan lebih respek kepada orangtuanya, dibandingkan dengan yang orangtuanya tidak menjalankan peran sebagai orangtua, karena di sini ada aspek conditional respect. Namun di sisi lain Alkitab mengajarkan kepada kita untuk tetap, bagaimanapun juga, respek kepada orangtua; ini tidak bicara aspek yang unconditional respect. Seperti itulah juga yang dibahas di bagian ini, ‘tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, yang mana saja, yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis’. Mengapa? Bukan karena kita anggap ‘ramah’ dan ‘bengis’ itu sama saja, tentu saja tidak –seperti juga orang jujur dan tidak jujur tentu saja tidak sama, orang yang suka mendukung pekerjaan Tuhan dan yang tidak tentu saja tidak mungkin sama– tapi karena bagaimanapun orang itu ditaruh Tuhan secara ordo di atas kamu, kamu hamba, dia tuan, dan dalam hal ini kamu harus tunduk. Christian submission bukan cuma kepada yang baik dan peramah saja, Tuhan Yesus pernah mengatakan ‘kalau kamu memberi salam kepada orang yang memberi salam kepadamu, apa bedanya kamu dengan orang yang tidak percaya’. Dalam prinsip yang sama, kalau kita sebagai orang Kristen hanya bisa tunduk kepada atasan yang baik dan peramah, tidak ada yang luar biasa karena orang kafir pun bisa begitu, jangan-jangan bahkan lebih baik daripada kita. Ayat ini mengajarkan ‘tunduklah juga kepada yang bengis’, tampaknya yang dimaksud adalah orang-orang yang memang belum percaya; karena itu juga Petrus tidak menulis kepada mereka karena memang tidak ada di dalam jemaatnya. Petrus cuma menghibur hamba-hamba yang ada di sana. Memang ada tension di sini; bagaimana dengan hidup yang sepertinya meaningless ini.
Kalau dalam Perjanjian Lama, ada Daud yang Tuhan taruh untuk sementara waktu di bawah Saul. Saul memang bukan orang kafir, dia bagian dari Israel umat Tuhan. Tapi Saul bukan pemimpin yang baik dan peramah, dia mau menghabisi Daud; dan Daud ditaruh Tuhan di dalam kepemimpinan seperti itu. Mengapa tidak Samuel saja yang jadi raja, bukankah lebih cocok? Mengapa musti Saul yang di atasnya Daud? Ada misteri di sini, tapi Daud betul-betul belajar di dalam pemosisian ini. Orang yang tidak pernah beres dalam ordo pemosisian seperti ini, yang tidak pernah bisa menerima hal ini, hidupnya tidak bisa diberkati Tuhan. Kalau kita terus menerus gagal memposisikan diri di dalam ordo yang Tuhan taruh dalam kehidupan kita, tidak bisa submit, maka tidak bisa dipakai Tuhan. Kalaupun Tuhan pakai, orang seperti ini akan sulit sekali, tidak bisa maksimal karena dia tidak bisa menaruh dirinya dengan benar di dalam ordo yang ditetapkan Tuhan, akhirnya kacau balau.
Kembali ke bagian ini, Saudara melihat bahwa Petrus bergumul untuk memberikan kepada budak-budak ini penghiburan di dalam keadaan yang seperti itu. Kita tahu di tahun 2017 tidak ada lagi perbudakan, namun bagian ini tetap relevan karena kita hidup dalam jejaring ordo. Adakalanya kita punya atasan yang bukan baik dan peramah, dan adakalanya atasan yang dalam bagian ini dipakai istilah ‘bengis’, lalu bagaimana kita musti bersikap terhadap atasan tersebut? Petrus mengatakan bahwa kita tetap harus belajar tunduk, dengan penuh ketakutan, karena pada dasarnya kita takut kepada Tuhan, kita menghargai Tuhan, kita respek Tuhan, The Heavenly Master; oleh karena itu kita belajar untuk juga menghargai our earthly master di dunia ini.
Selanjutnya Petrus menghibur mereka dari perspektif kasih karunia. Ayat 19: ‘Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung’. Jadi bukannya meaningless tapi ada meaning di sini, yaitu bahwa adalah kasih karunia kalau seseorang menderita, penderitaan yang seharusnya bukan dia yang menanggung, bukan karena kesalahannya. Ini orang yang di-victimize, diperlakukan tidak adil. Ketidak-adilan adalah pengalaman sehari-hari dalam kehidupan kita. Kita baru saja selesai Pilkada, mungkin ada orang-orang yang merasa tidak terima bukan saja soal hasilnya tapi juga perlakuan ketidak-adilan di sana-sini, dsb. Lalu dalam keadaan seperti ini bagaimana meresponinya? Petrus mengatakan: kalau seseorang menderita, penderitaan yang dia tidak harus tanggung –maksudnya bukan karena kesalahannya– dia sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan itu, maka penderitaan itu bukannya meaningless melainkan meaningful. Mengapa? Karena hal itu tidak lain tidak bukan adalah persekutuan dengan Kristus (union with Christ), yang Dia sendiri juga menderita diperlakukan tidak adil. Waktu orang menderita, karena kehendak Allah, diperlakukan tidak adil, menderita yang tidak harus dia tanggung, itu artinya dia sedang mengenal Kristus. Suatu persekutuan yang erat, betul-betul mengenal Kristus dari dekat, bukan cuma dari studi tapi dari pengalaman menderita bersama dengan Kristus; tanpa ini, penderitaan seperti itu memang meaningless. Kalau Saudara kerja di bawah tuan yang bengis lalu dipukuli tanpa alasan, atau mungkin hanya karena engkau orang Kristen (somehow dunia ini tahu kalau orang Kristen itu tidak suka membalas sehingga sangat rentan untuk di-abuse dan mereka memanfaatkan itu), hidup seperti itu seperti meaningless, tidak ada artinya. Di sini Petrus menghibur, bahwa itu adalah kasih karunia.
Tapi dia tidak berhenti di situ. Ayat 20 mengatakan ‘Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa?’ Ini seni yang tinggi; menghibur tapi juga ada peneguran. Apa penegurannya? Yaitu: ‘kamu jangan cepat-cepat menghibur diri, introspeksi dulu, jangan-jangan itu memang kesalahan kamu sendiri’. Introspeksi itu luar biasa penting untuk orang Kristen; kalau tidak ada introspeksi,bubarlah spiritualitas kita, kita akan kacau balau dalam banyak hal, sudah berdosa lalu justifying dosa secara teologis pula. Seandainya kita dipukul karena memang melakukan dosa, kita mengalami penghukuman/sangsi, kemudian kita mengibur diri mengatakan ‘tidak apa-apa, saya mirip Kristus’, itu dosanya lebih besar lagi karena bukan saja tidak bertobat malah mengatakan dirinya mirip Kristus. Ada seorang yang belajar main piano, dan menurut penilaian dia, dirinya jenius, permainannya bagus; lalu waktu ada orang lain tidak bisa terima permainannya, dia mengatakan ‘tidak apa-apa, Beethoven juga ditolak’, dia rasa dirinya Beethoven. Orang kayak gini tidak terlalu ada harapan, ini orang yang insist dengan kemampuannya sendiri, merasa mirip Beethoven. Alkitab mengajarkan waktu kita menderita, mengalami perlakuan tidak adil, dsb. coba cek dulu, jangan-jangan bukan perlakuan tidak adil tapi memang ada dosa yang kita lakukan, dan karena itu kita menderita. Introspeksi penting di dalam semua aspek kehidupan kita, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan berjemaat, kehidupan pelayanan, kehidupan bernegara –juga pasca Pilkada ini– dan hopefully di waktu yang akan datang kita bisa lebih baik. Orang yang tidak ada introspeksi akan selalu menyalahkan orang lain. Menyalahkan orang lain itu biasanya self righteousness, lalu ditambah lagi viktimisasi diri sendiri, playing the role of victim. Banyak orang melakukan kejahatan lalu playing victim, merasa dirinya dijahati. Mengapa bisa terjadi yang seperti ini? Sederhana saja: karena tidak introspeksi. Kalau orang ada introspeksi, dia tidak playing victim. Playing victim itu bahaya sekali. Mungkin kadang-kadang betul kita diviktimisasi oleh orang lain, tapi saya kuatir dengan spiritualitas yang terus melihat diri sebagai korban, karena itu semacam bentuk self righteousness tanpa kita sadar; ‘saya di posisi korban’ itu berarti ‘yang jahat orang lain’. Ini juga salah satu cara mengambil simpati orang lain. Kalau Saudara di atas, orang sulit untuk bersimpati, tapi kalau Saudara menempatkan diri sebagai korban, orang bisa simpati, padahal mungkin kita tidak tentu benar, kita playing victim di situ.
Maka kembali pada ayat yang diajarkan di sini ‘dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa?’ artinya musti introspeksi, cek dulu penderitaan ini karena kamu berbuat dosa atau bukan. Kalau karena kamu berbuat dosa, ya, wajarlah kamu dipukul, menderita, kena sanksi, kena hukuman, dipecat, dsb. Kalau kamu berbuat dosa, ya, keadilan harus ditegakkan di situ. Tapi pengajaran ini memang asimetris; maksudnya begini: keadilan harus ditegakkan, waktu kita bersalah kita memang layak menerima hukuman, tapi waktu tidak bersalah dan kita mengalami ketidak-adilan, bagaimana? Di sinilah bagian asimetri-nya. Petrus mengatakan: ‘Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah’. Tidak bicara keadilan di sini, tapi kasih karunia pada Allah. Kalau kamu bukan bersalah, kamu tidak berbuat dosa, tapi kamu tetap menderita juga, penderitaan yang tidak harus kamu tanggung itu, maka kata Petrus ‘itu adalah kasih karunia’. Mengapa kasih karunia Allah? Bukan karena penderitaannya, tapi karena Kristus juga diperlakukan demikian. Kamu jadi seperti Kristus, kamu mengenal Kristus, kamu sedang bersekutu dengan Kristus, union with Christ through suffering, bukan sekedar melalui scholastic study.
Belajar teologi atau scholastic study ada takarannya untuk setiap orang, tapi bersekutu dalam pederitaan Kristus adalah hal yang accessible untuk semua orang, meskipun betul juga tiap orang ada porsinya, tidak setiap orang jadi martir. Yang saya mau katakan adalah: hidup meneladani Kristus ini panggilan yang universal, seperti yang dikatakan di ayat 21 ‘Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya’. Hidup mengikuti jejak Kristus meneladani Kristus adalah panggilan yang begitu universal sehingga kita tidak bisa mengatakan,’susah ya, talenta saya untuk mederita cuma segini’. Kita bisa bicara talenta dalam hal orang yang satu punya kesempatan untuk studi teologi dan yang lain tidak, tapi dalam hal meneladani Kristus apa mungkin kita tidak bisa bilang seperti itu. Peneladanan mengikuti jejak Kristus itu universal, dapat diakses dan dihidupi semua orang.
Dalam spiritualitas Injili, kita mungkin agak kurang menekankan tentang pentingnya peneladanan atau imitation of Christ ini. Di zaman Medieval ada buku yang sangat ‘best seller’, sebuah buku klasik berjudul “Imitatio Christi” (Imitation of Christ) dianggap sebagai tulisan Thomas á Kempis (mungkin yang menulis adalah Gerrit Groote, tapi menurut sejarah adalah tulisan Thomas á Kempis). Biasanya kalau orang Injili membaca buku itu, mereka memberikan kritik: “Ini tidak jelas konsep keselamatannya, tidak ada jaminan keselamatan, yang ada adalah semua orang diajak meneladani Kristus”, lalu yang lebih kritis lagi: “Ini mengajarkan Kristus sekedar sebagai guru moral”, maksudnya liberal (padahal saat itu zaman Medieval, waktu itu belum ada liberal). Orang Injili seringkali punya semacam ketakutan waktu bicara tentang peneladanan Kristus, karena kuatir bahwa pengajaran-pengajaran seperti itu hanya sekedar memberitakan Kristus sebagai guru moral, yang artinya liberal. Tapi betulkah Kristus itu guru moral? Sebetulnya memang benar. Kristus memang guru moral, tapi Kristus bukan guru moral SAJA. Kekristenan itu termasuk moralitas, tapi Kekristenan bukan moralitas SAJA. Bagaimana mungkin Kekristenan tidak boleh mencakup moralitas?? Pernyataan ‘Kekristenan itu bukan cuma moralisme’ memang betul, tapi kalau ‘Kekristenan tidak ada urusannya sama sekali dengan moral’, saya pikir itu bukan ajaran Alkitab, mana ada dukungan ayat Alkitabnya. Yesus memang guru moral tapi Yesus bukan cuma guru moral. Orang Liberal mengatakan Yesus cuma guru moral saja, Dia bukan Tuhan; tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan, hanya sebagai pengajar moral yang memberikan teladan saja. Tapi di ayat ini memang Yesus memberikan teladan kepada kita waktu kita hidup meneladani Kristus –Yesus guru moral kita– dan juga tetap percaya Dia adalah Tuhan. Petrus mengatakan ‘Dia telah menderita untuk kamu’, berarti ada substitution/penggantian di sini, Yesus mati di atas kayu salib untuk kita. Tapi Dia bukan cuma mati untuk kita, lalu setelah itu selesai, kita diselamatkan; ayatnya tidak berhenti di situ. Yesus mati untuk kita, Dia menderita untuk kita, dan Dia meninggalkan teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya. Ada pemuridan di sini. Ada persekutuan dengan Kristus.
Dalam tulisan Calvin “Institutes of Christian Religion”, Buku Tiga bicara Doktrin Keselamatan/ classical Soteriology tentang bagaimana kita diselamatkan, lalu dalam Buku Empat ia memberikan penekanan yang sama kuatnya tentang dengan apaTuhan mempertahankan keselamatan kita, yaitu dengan memberikan alat-alat anugerah (means of grace) supaya kita tetap dalam persekutuan dengan Kristus. Ini bagian yang penting sekali. Sayangnya orang-orang Injili lebih tertarik pada Buku Tiga, pokoknya kita sudah selamat, sudah beres, sudah selesai. Saya betul-betul kuatir dengan model Kekristenan seperti ini karena menghasilkan orang-orang Kristen palsu, yang mengaku diri diselamatkan tapi tidak pernah tertarik untuk mengikuti jejak Kristus; yang katanya percaya Injil ‘Yesus mati untukku’ tapi sendirinya tidak menghidupi spirit Injil, tetap hidup menuruti spirit dunia ini. Kita mengatakan keselamatan itu di dalam Kristus, pondasi keselamatan kita terletak di dalam kesempurnaan korban Kristus di atas kayu salib bukan di dalam kesalehan kita; itu betul. Tapi orang yang diselamatkan sejati, kalau menurut Alkitab, dia akan meneladani Kristus, mengikuti jejak Kristus.
Ayat 22, ‘Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil’. Saudara perhatikan poin ini: orang Kristen mengalami ketidak-adilan dan Petrus mengatakan ‘kita tetap tunduk pada yang di atas kita, bukan hanya yang baik dan ramah tapi juga yang bengis’. Lalu bagaimana dengan ‘saya mengalami ketidak-adilan’? Kalau menurut ayat ini, ketidak-adilan akan diselesaikan Tuhan secara eskatologis. Kita sekarang ini kesulitan membaca ayat-ayat seperti ini. Saya membaca komentar –komentar modern– yang sibuk menjelaskan ‘tapi ini bukan berarti hanya diam; dan karena Yesus itu diam waktu Dia dicaci-maki, tidak membalas, lalu kita harus pasif sepenuhnya, diam juga, tidak berjuang untuk keadilan’ dst. Pembacaannya diarahkan ke arah lain, padahal itu bukan yang jadi tekanannya Petrus di sini. Memang ada certain tension; orang Kristen kan harus berjuang untuk keadilan, tapi di sisi lain ada perlakuan ketidak-adilan yang menimpa kehidupan kita, bagaimana menyelesaikan ini? Apakah pasifisme itu jadi orang-orang konyol? Ditampari ya sudah, memang itu panggilan kita, puji Tuhan union with Christ, seperti itu? Sulit menerima hal seperti ini. Tapi di sisi lain, waktu kita katakan ‘kita berjuang untuk keadilan’, apa maksudnya? Saya kembali kepada cerita Kristus saja. Kristus diperlakukan tidak adil, Dia mati dengan tidak adil, lalu Dia bangkit mengalahkan kematian itu. Setelah bangkit, apa yang Dia lakukan? Hitung-hitungan dengan orang Farisi? Apa ada cerita itu? Atau Dia mengunjungi Pilatus yang skeptis dan mengatakan, “Lu ya, waktu itu tanya ‘what is truth’, apa-apaan kayak gitu. Ayo tanya lagi ‘what is truth’,Gua gampar lu sekarang” ? Tidak ada cerita seperti ini; itu bukan Yesus. Kapankah Yesus balik menemui orang-orang itu lalu hitung-hitungan keadilan dengan mereka karena Dia mati diperlakukan tidak adil? Kita tidak ketemu bagian seperti itu di Alkitab. Inilah yang dibicarakan Petrus, ‘Ia menyerahkan kepada Bapa yang menghakimi dengan adil’; eschatological. Tuhan akan datang kembali sebagai Hakim yang adil yang akan menyelesaikan semuanya. Lalu kita bagaimana? Alkitab mengatakan ‘seorang murid tidak lebih dari gurunya’; kalau Guru kita diperlakukan seperti itu, ya, kita akan diperlakukan seperti itu. Guru kita mati dalam ketidak-adilan, lalu kita orang Kristen mau expect apa?? Guru kita bangkit dari kematian dan tidak menyelesaikan ketidak-adilan pada saat itu juga, lalu kita mau expect apa?? Setelah bangkit Yesus itu mengurus murid-murid-Nya, melakukan pemuridan sekali lagi, Dia tidak membereskan urusan ketidak-adilan dengan Pilatus, Herodes, dsb., lalu Saudara mengharapkan apa dalam kehidupan Kristen?? Hati-hati dengan spirit theology of liberation, yang katanya berjuang untuk keadilan, tapi sebetulnya tidak rela menerima ketidak-adilan dalam kehidupan. Tidak rela hidup seperti Kristus, ada spirit balas dendam di dalamnya, lalu mengatakan ‘keadilan harus ditegakkan’.
Indoktrinasi seperti ini ada dari semua sisi. Contohnya film. Dalam film, waktu orang baik –misalnya Superman– digebukin, pasti ada pembalasan, keadilan harus terjadi; dan kita senang. Tapi kalau Superman digebukin lalu dia bilang ‘aku mengasihi musuh-musuhku’, ya, bubarlah filmnya, tidak menarik sama sekali. Baik itu film silat maupun film superhero Barat, tidak ada yang menghadirkan message seperti itu karena konyol sekali. Dan yang kita baca dalam cerita Injil, itulah yang dilakukan oleh Kristus. Kristus tidak ada pembalasan ketidak-adilan; bukan tidak ada selama-lamanya, itu akan ada tapi BELUM. Itu di-reserve sampai pada eschatological point.
Kalau begitu, apakah artinya kita jadi tidak peduli terhadap isu ketidak-adilan? Kalau kita mau bersih dalam motivasi, perjuangkanlah keadilan untuk orang lain; karena kita perlu kerohanian yang luar biasa tinggi untuk memperjuangkan keadilan bagi diri sendiri tanpa ada bias pembalasan dendam, keegoisan, ketidak-relaan menderita, dsb., yang semuanya campur aduk dan kalau kita jujur, kita ini luar biasa lemah. Tapi yang ditekankan oleh Petrus dalam hal ini justru kerelaan untuk mengalami ketidak-adilan. Tidak ada pilihan. Waktu kerusuhan tahun 1998, ada orang yang punya pilihan untuk pergi ke luar negeri, tapi ada yang tidak. Dalam bagian ini, hamba-hamba ini tidak ada pilihan juga; apa mereka bisa jadi orang merdeka? Kalau kita sekarang dijahati di company, kita tinggal keluar mengundurkan diri lalu cari yang lain. Tapi hamba-hamba ini apa bisa memilih tuan yang lain? Dalam kehidupan ini, ada hal-hal yang kita tidak punya pilihan; dan di situlah Tuhan menghendaki kita dibentuk waktu mengalami ketidak-adilan itu, seperti Yesus Kristus.
Ayat 24 ‘Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran’. Agak asimetri di sini. Dari sisi saya, karena saya sudah ditebus maka saya harus hidup penuh dengan keadilan. Dari sisi orang lain yang tidak adil terhadap saya –tuan yang bengis tadi– ya, memang begini, asimetri; mereka belum percaya lalu kita mau mengharapkan apa, Yesus sendiri juga diperlakukan tidak adil. Kita dibebaskan supaya kita hidup untuk keadilan; orang lain yang belum dibebaskan, yang belum percaya kepada Yesus yang mati untuk mereka, ya, tidak bisa hidup untuk keadilan, mereka hidup untuk ketidak-adilan. Dalam keadaan seperti inilah kita menderita ketidak-adilan itu.
Tapi Petrus kemudian menghibur, ayat 25 ‘Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu’. Kita bisa keluarkan bagian ini dari konteks (supra konteks), misalnya: dahulu saya hidup banyak berhala, sekarang saya menuhankan Kristus (tapi di perikop ini bukan bicara berhala); atau dulu hidup saya dipenuhi dengan mengumbar nafsu, sekarang setelah mengikut Kristus saya lebih ada penguasaan diri (tapi perikop ini tidak bicara soal mengumbar nafsu). Saya ingin tafsir kalimat ‘kamu sesat seperti domba’ ini dalam konteks yang ketat menurut perikop ini, yaitu bicara tentang hamba yang tidak bisa apa-apa ini yang hidup di dalam ketidak-adilan tuannya yang bengis, yang sesat seperti domba. Ada satu domba yang tidak sesat, yaitu Domba Allah. Waktu Dia disembelih, Dia diam; itu domba yang tidak sesat. Dahulu kamu sesat seperti domba, kamu menuntut keadilan untuk dirimu sendiri. Coba lihat kehidupan Kristus seperti yang digambarkan Yesaya: ‘waktu disembelih, Dia diam, domba itu kelu tidak berbicara’, itulah Kristus yang kita kenal dalam Firman Tuhan. Bukan domba yang sesat tapi Domba yang kelu. ‘Dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu’, yaitu Domba Allah itu.
Saya tidak mau tafsir kalimat ‘pemelihara jiwamu’ ini secara berlebihan, melakukan dualisme soul and body. Tapi kalau boleh sedikit hati-hati menafsirkan bagian ini, ketidak-adilan yang kita alami itu paling banter adalah ketidak-adilan yang menimpa tubuh kita. Ayat Alkitab mengatakan ‘dunia cuma berkuasa membunuh tubuhtapi tidak bisa membunuh jiwa; yang bisa membunuh jiwa itu Tuhan’. Waktu orang Kristen mengalami penganiayaan/ketidak-adilan, paling banter hanya sampai aspek fisik saja, tidak akan sampai merenggut jiwa kita. Tidak ada kemungkinan itu kalau kita betul-betul teguh percaya kepada Tuhan. Mungkin karena itu juga di ayat 24 dikatakan ‘Ia sendiri –yaitu Yesus– telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya’, Yesus memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya. Penderitaan yang Kristus alami tidak bisa merenggut jiwa. Kristus sendiri yang mengatakan, “ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”, bukan mereka yang membunuh Yesus tapi Yesus yang secara aktif menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa. Yesus betul-betul menderita, tubuh-Nya dihancurkan, tapi mereka tidak bisa mengambil jiwa (Saudara jangan tafsir secara heretical seolah saya mengajarkan bahwa penebusan Yesus tidak komplit karena kematian-Nya cuma tubuh; itu ajaran sesat yang sangat berbahaya). Poin yang saya mau katakan adalah: ketidak-adilan yang bisa dilakukan dunia ini paling banter secara fisik saja, sementara jiwa kita akan dipelihara Tuhan. Jangan ditafsir juga seolah Tuhan tidak bisa pelihara tubuh kita, Tuhan juga memelihara jiwa dan tubuh, toh Tuhan akan memberikan tubuh kebangkitan untuk kita. Mungkin bukan kebetulan ayat 24 bicara tentang penderitaan Kristus di dalam tubuh-Nya, lalu ayat 25 mengatakan ‘kita akan kembali kepada pemelihara jiwa kita’.
Pertanyaannya, kita menghidupi worldview apa? Kalau kita menghidupi worldview physicalism, naturalisme, materialisme, maka celakalah kita karena sangat mementingkan kepastian-kepastian di dalam hal-hal ini. Kalau bukan hanya uang tapi juga tubuh kita yang kita sembah sedemikian rupa karena inilah pondasi sekuritas kehidupan, maka celakalah kita karena Alkitab tidak mengajarkan itu. Tapi untuk orang-orang yang rela mengikut Kristus, memang dia mengalami ketidak-adilan, bahkan tidak bisa menuntut keadilan khususnya dari orang-orang seperti tuan yang bengis ini. Lalu bagaimana? Ya, kita tetap berlaku adil, dan pada saatnya Tuhan akan membereskan ketidak-adilan itu; tapi itu eskatologi, bukan di sini. Di sini kita masih bergumul dengan ketidak-adilan. Pasca Pilkada ini, kita ada sedihnya. Tuhan juga sedih dalam proses ini; waktu Lazarus mati, Dia tahu akan mebangkitkan Lazarus tapi Dia tetap masuk dalam proses kesedihan karena ada kematian itu. Percaya kedaulatan Tuhan bukan berarti tidak boleh sedih. Kalau anak Saudara mati dan Saudara percaya kedaulatan Tuhan lalu pesta, itu jadi batu sandungan bagi banyak orang. Saudara pastinya berdukacita, bukan pesta. Maka dalam bagian ini, waktu berjumpa dengan ketidak-adilan, kita griefing, lamenting, berdukacita. Itu normal, and yet tetap ada harapan.
Dalam semua aspek kehidupan kita berurusan dengan ketidak-adilan di sini sana, tapi Tuhan tidak berhenti memberikan kita pengharapan, karena di dalam perjumpaan itu ternyata Kristus sudah mendahului kita. Ternyata kita bisa semakin mengenal Kristus melalui persekutuan penderitaan, karena Kristus juga diperlakukan seperti itu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading