Hari ini saya akan berkotbah tentang Tantangan dan Masa Depan Reformasi. Kita melihat Roma 1: 16-17, ayat yang mempertobatkan Martin Luther ketika dia sedang mengambil studi S3-nya dan diperbolehkan meminjam scroll Alkitab. Waktu dia membaca Alkitab dan melihat konteks yang terjadi, dia mengalami kegelisahan. Setelah membaca bagian nats ini, dan mengerti kebenaran, dia merasa seperti dilahirkan kembali. Roma 1: 16-17 Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman." (Terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 16 adalah: Sebab aku tidak malu akan pemberitaan Injil). Kita melihat juga Roma 11:36 Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Apa hadiah terbesar yang Tuhan berikan untuk kita? Pasti kita berani berkata bahwa hadiah terbesar adalah: Allah Bapa mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus kita (Yoh 3:16); Dia lahir di dalam hati kita.
Apa hadiah terbesar untuk Gereja Tuhan? Jawabnya: reformasi. Mengapa reformasi harus menegakkan kembali satu kebenaran? Mengapa gereja-gereja yang mengalami reformasi harus kembali membangun satu kerohanian yang benar? Karena pada saat itu Gereja tidak lagi memuliakan Tuhan; Gereja tidak lagi mewakili Tuhan; dan mulai abad 13 sampai awal abad 16 –sebelum Martin Luther merubuhkan semua kebohongan dan ketidak-benaran di dalamnya– Gereja mengalami suatu krisis, yaitu: 1) krisis otoritas, 2) krisis kebenaran, 3) krisis kerohanian. Maka pada abad-abad tersebut Gereja tertidur dalam kenikmatan kekuasaan, Gereja tertidur dalam kenikmatan kekayaan, Gereja tertidur dalam nilai-nilai yang seolah menyatakan bahwa hamba Tuhan tidak ada salah. Saat itulah Gereja tidak lagi bisa mewakili Tuhan dan tidak lagi memuliakan Tuhan.
Spirit Reformasi menyadarkan kita tentang pentingnya kebahagiaan spirutualitas, yang melampaui kebahagiaan lahiriah. Melalui para reformator kita dibukakan akan satu nilai transparansi spiritualitas. Kita dibukakan akan satu kebenaran yang boleh dimiliki semua orang. Kita diberikan satu hidup dengan kebebasan untuk boleh memuliakan Tuhan dalam dimensi keimanan kita, pribadi lepas pribadi. Melalui Reformasi kita menemukan lagi identitas kita di dalam Tuhan. Melalui Reformasi, kita akhirnya boleh mendapatkan satu kebahagiaan yang melampaui harta, melampaui seluruh kesuksesan kita, melampaui seluruh kekuasaan kita; yang disebut kebahagiaan spiritualitas. Di dalam bagian ini, kita jadi mengerti Martin Luther berani berkata: “Di sini saya berdiri; jikalau saya harus menarik seluruh ajaranku, dan jika itu sungguh bukan dari Tuhan, biarlah itu sendiri akan tercabut. Tapi yang kuajarkan itu benar, dan aku tidak akan mencabutnya.” Dan sebelumnya ada Jan Hus yang berani berteriak: “Setelah saya mati, seratus tahun setelah saya, Tuhan akan bangkitkan orang yang akan membongkar seluruh kebobrokan Gereja”. Teriakan Jan Hus itu akhirnya nyata ketika Martin Luther dibangkitkan Tuhan. Di sini kita mengerti, bahwa Tuhan sangat sayang kepada umat-Nya.
Teologi Reformasi memberikan kepada kita spirit sola scriptura , hanya Alkitab sumber kebenaran. Dan hanya melalui iman kepada Yesus Kristus, kita diselamatkan; bukan karena perbuatan baik (sola fide). Dan seluruh keselamatan kita sifatnya anugerah (sola gratia). Oleh karena itulah kita patut hidup berpusat kepada Kristus (solus Christus), dan mengembalikan seluruh hidup kita kepada kemuliaan Tuhan (soli Deo gloria).
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana tantangan reformasi di depan? Tantangan yang dihadapi Martin Luther, Melanchthon, Beza, Calvin, berbeda konteksnya dengan tantangan kita zaman sekarang ini. Tapi apakah kita hanya mengingat reformasi dan melupakan momentumnya? Apakah kita hanya mengingat reformasi dan melupakan spiritnya? Jawabannya: reformasi harus menjadi satu gaya hidup kita, sesuatu yang kita nafaskan dan jalankan dalam seluruh kehidupan kita. Di situlah baru kita disebut “reformed injili”.
TANTANGAN SECARA EKSTERNAL zaman ini adalah pertemuan antara global dan keragaman budaya. Telekomunikasi hari ini sudah sangat cepat, berita-berita apapun sangat cepat kita ketahui. Di sisi lain kita melihat keragaman budaya yang bebas. Hari ini jangan kaget kalau anak kita, orang Indonesia, penampilannya kebarat-baratan; orang Indonesia berambut hitam tapi banyak yang hari ini rambutnya kekuning-kuningan; anak-anak kita lebih mengerti tarian model hip-hop daripada tarian Indonesia. Keragaman budaya yang bebas membuat segala sesuatu mudah sekali saling dipengaruhi. Apa pengaruhnya bagi Gereja? Ketika kita memanfaatkan teknologi untuk kita isi dengan Firman, sehingga melalui teknologi orang-orang boleh bertemu dengan Tuhan, itu hal yang baik. Tapi mungkinkah melalui teknologi dengan keragaman budaya yang bersifat relatif, akhirnya Gereja dipengaruhi budaya? Mungkinkah budaya sekular, budaya yang bebas dan relatif, akhirnya mempengaruhi musik Gereja? Mungkin. Kalau kita belajar teologi Reformed tentang musik, kita berani berkata bahwa musik itu tidak ada yang netral, karena di dalam musik pasti ada struktur, beat, ritme, ada penampilan, ada kandungan kebenaran. Hari ini lagu-lagu yang bersifat pop-culture masuk ke Gereja karena budaya global dan keragaman ini.
Yang kedua, kita hari ini masuk ke satu zaman yang disebut dengan Humanisme, zaman yang mengedepankan hak asasi manusia. Bahkan di Finlandia dan Swedia, anjing sangat dihargai peri-kebinatangan-nya; seminggu dua kali pemiliknya wajib membawa anjing-anjing mereka bersosialisasi jika tidak ingin didenda. Hari ini manusia ditinggikan, bukan Tuhan yang ditinggikan; binatang ditinggikan, bukan manusia dikembalikan untuk hidup bagi Tuhan. Akhirnya zaman ini manusia lebih banyak menuntut hak daripada melakukan kewajiban. Anak-anak kita banyak menuntut ‘apa yang papa mama harus beri kepadaku’. Padahal, jika kita membaca Alkitab Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru, mengenal Allah Yahweh dan Tuhan Yesus Kristus, kita dituntut kewajiban moralitas, dituntut kesetiaan untuk mengenal Tuhan, dituntut hidup sebagai anak-anak terang, dituntut kewajiban menjalankan perintah-perintah Tuhan. Tapi zaman ini terbalik; hak selalu dibesar-besarkan dan kewajiban yang dituntut sedikit. Kita orang Kristen harus menuntut banyak kewajiban kita untuk Tuhan, kewajiban diri kita sebagai orang yang sudah ditebus Yesus Kristus, kewajiban bagi orangtua yang sudah membesarkan kita, kewajiban kita bagi negara. Seluruh hidup kita harus punya nilai tanggung jawab. Di situlah baru kita tahu, iman kita benar atau tidak.
Yang ketiga, ini adalah zaman terjadinya pertemuan materialisme dan hedonisme, yang akhirnya menjadikan zaman ini zaman konsumerisme. Hari ini, ‘membeli’ itu punya nilai bahasa, punya nilai dignitas, punya nilai kepuasan. Membeli belum tentu karena kebutuhan, tapi ada unsur kepentingan. Membeli adalah bahasa komunikasi zaman ini; waktu seseorang beli HP, dia ingin tunjukkan kepada orang lain ‘aku ini orang hebat, yang aku beli HP dengan harga sekian, merek ini’. Berbahasa bukan lagi dengan tubuh atau secara mulut, tapi melalui yang dia beli, karena inilah zaman konsumerisme. Maka zaman hedonisme dan materialisme ini membuat kita jadi orang yang tidak lagi punya identitas. Identitas kita berdasarkan yang kita miliki secara tampak luar, sehingga kita jadi tidak punya sukacita dan kebahagiaan spiritualitas menurut apa yang kita miliki di dalam hati yaitu Yesus Kristus. Kalau seorang mampu beli mobil Lamborghini, silakan beli jika memang punya tujuan yang jelas. Tapi kalau sudah jadi orang Kristen, dan membeli mobil hanya untuk menunjukkan bahasa tubuhmu, dignitasmu, bahasa komunikasimu, maka kita bisa jatuh dalam dosa konsumerisme. Jangan kita membeli segala sesuatu hanya untuk menunjukkan ‘kita lebih hebat, kita lebih punya martabat, kita lebih, lebih, dan lebih’.
TIGA TANTANGAN INTERNAL untuk kita terus menjaga reformasi; reformasi perlu terus dibangun dan dipertahankan. Martin Luther pernah merobohkan, dan John Calvin membangun; tugas kita adalah mengembangkan teologi itu. Maka tantangan yang pertama di dalam Gereja adalah berbicara teologi. Tantangan yang kedua, Gereja dalam bentuk kecilnya adalah keluarga dan zaman ini membuat keluarga mengalami krisis identitas. Dari aspek dunia, waktu kita keluar ke dunia, kita berhadapan dengan budaya yang bebas, budaya yang tidak lagi menekankan suautu boundary life –batasan-batasan hidup mana yang boleh dan tidak boleh. Bagaimana kita menjawab ini? Kita menjawab berdasarkan spirit Ecclesia reformata semper reformanda secundum verbum Dei –Gereja yang sudah diperbaharui harus terus mengalami pembaharuan sesuai dengan Firman Tuhan, Gereja tidak boleh statis. Gereja harus terus dinamis. Gereja tidak boleh berdiam, Gereja harus terus bergerak. Gereja harus terus memberitakan Injil, Gereja tidak boleh menikmati Injil hanya dalam satu persekutuan ibadah tapi Injil itu harus terus diberitakan ke luar.
Kita sudah diwariskan Teologi Reformasi –sola scriptura, sola fide, sola gratia, solus Christus, soli Deo gloria. Teologi bukan sekedar kepuasan berpikir. Teologi bukan sekedar engkau tahu teologi tentang Allah, tentang manusia, tentang eskatologi/ akhir zaman. Tapi bahwa teologi, yang pada satu taraf menjadi ‘knowing’, kemudian engkau hidupi menjadi suatu ‘being’ yang akan mengubah hidupmu. Reformasi akan efektif waktu dirimu sendiri mengalami satu transformasi. Gerakan yang merupakan lawannya reformasi adalah revolusi, karena revolusi menghalalkan banyak cara –termasuk dengan kekuatan militer– tapi reformasi memakai pendekatan kebenaran dan kekuatan Allah dalam penyertaan-Nya. Oleh sebab itu, waktu kita ingin melihat reformasi terjadi, salah satunya adalah dengan melihat terjadinya transformasi, pembaharuan dalam diri kita. Teologi menjadi sesuatu yang mentransformasi hidup kita, sehingga teologi itu kita lakukan dan menjadi teologi hidup. Di bagian inilah Martin Luther membongkar seluruh kemunafikan para hamba Tuhan waktu itu, membongkar seluruh kebobrokan Gereja dalam organisasinya yang tidak lagi memiliki ke-transparan-an. Melalui Teologi Reformasi kita juga belajar dari Calvin akan pentingnya kebenaran itu transparan dalam seluruh kehidupan orang Kristen.Waktu Calvin mengatur, membina, menegakkan disiplin Jenewa selama 23 tahun, dia berani menegakkan ini. Pada waktu itu, jikalau ada anak-anak Tuhan pesta berlebih-lebihan, melakukan perbuatan yang amoral, maka ada tindakan disiplin dari konsistori. Bagi Calvin, orang-orang Kristen di Jenewa harus memiliki hidup yang mewakili Kristus, suatu nilai hidup yang menyatakan kemuliaan Tuhan.
Para reformator menekankan teologi salib; semua teologi mengarahkan kepada Kristus yang sudah mati menebus dosa manusia. Di zaman sekarang, reformasi masih mungkin bisa digerogoti dengan teologi humanisme. Pendeta tidak lagi berani berkotbah tentang dosa. Gereja hari ini pusatnya adalah manusia. Kotbah untuk menyenangkan manusia bukan menyenangkan Tuhan. Kotbah harusnya menyatakan kebenaran, tapi sekarang menyatakan motivasi. Di zaman humanisme ini, manusia ditinggikan, Tuhan dikecilkan. Manusia ingin dipuaskan, hati Tuhan tidak dipuaskan. Teologi sukses membuat orang Kristen kembali tidak lagi memiliki identitas di dalam Tuhan, tidak lagi memiliki karakter yang kudus di dalam Tuhan, tidak lagi memiliki karakter yang kuat di dalam Tuhan. Mengapa? Terlalu dimanjakan dengan teologi humanisme; tidak lagi menekankan jabatan Kristus sebagai Raja, Imam, Nabi.
Yang kedua, teologi Reformasi bisa tersingkir karena teologi kemuliaan diganti dengan teologi kenikmatan. Pada waktu ibadah, dari awal masuk kebaktian sampai dengan pengutusan, semua jemaat dibuat nikmat. Aspek kenikmatan menjadi standar. Jika kita bicara kepuasan customer berkaitan dengan pelayanan dari awal sampai akhir, itu tidak jadi masalah karena di dalam bisnis tidak ada standar nilai kesucian yang berkaitan dengan ketuhanan. Tapi, kalau ini dimasukkan ke dalam Gereja menjadi standar mutu kepuasan customer, akhirnya pusatnya bukan lagi Kristus tapi manusia. Dan pada saat itulah Gereja mulai menyeleweng. Akhirnya dalam kebaktian dari awal sampai akhir, semua begitu memanjakan manusia, tapi apakah Tuhan disenangkan? Tidak. Iman dibangun? Tidak; kepuasan yang dibangun.
Yang ketiga yang bisa menyingkirkan teologi Reformasi adalah: teologi misi diganti dengan teologi pluralisme, yaitu adanya satu pergerakan di mana Yesus disingkirkan dan dikatakan “ada jalan dalam semua agama; ada kebenaran dalam semua kitab”. Di dalam bagian ini, teologi pluralisme membuat Gereja tidak lagi melakukan penginjilan. Teologi pluralisme membuat Gereja tidak lagi punya aspek compassion/ belas kasihan menangisi orang-orang berdosa untuk kembali kepada Tuhan, karena mengganti berita Amanat Agung menjadi memerdekakan orang dari ketertinggalan dalam aspek pikiran dan ekonomi.
Berkaitan dengan keluarga, Martin Luther sampai dengan Calvin, membangun kembali teologi keluarga yang benar. Di rumah Martin Luther hari ini, ada 2 paper ditempel pada kaca; yang pertama tentang “mengapa hamba Tuhan boleh menikah”, dan satunya lagi tentang “mengapa dirinya memilih Katharina”. Seperti kita tahu, ketika itu Martin Luther berumur 43 tahun dan Katharina 27 tahun. Teman-teman Katharina sudah menikah, kemudian ia dijodohkan oleh pastur dengan seorang jemaat awam, tapi dia merasa tidak cocok. Katharina memilih Martin Luther menjadi suaminya. Tapi Martin Luther bergumul, apakah dirinya dipanggil untuk menikah atau tidak. Singkat cerita, akhirnya mereka menikah. Itu pasti tidak mudah, karena Martin Luther sudah biasa hidup sendiri selama 43 tahun. Satu pengalaman unik, suatu hari pintu kamar belajar Martin Luther hilang, dicopot sampai engsel-engselnya oleh Katharina. Katharina mengatakan, “Kamu sudah menikah dengan saya, kamu sudah punya anak. Kamu terlalu egois kalau waktu mempersiapkan firman, mempersiapkan lagu yang engkau cipta, lalu tinggal 3-4 hari di dalam kamar. Kami juga perlu bicara, kami juga perlu punya relasi. “ Maka dalam sebuah cerita, Martin Luther mengatakan bahwa ada 2 hal yang bisa menundukkan dirinya; pertama: pimpinan Allah Roh Kudus, kedua: pimpinan Katharina di rumah. Martin Luther memberi julukan kepada Katharina “the morning star of Wittenberg”, karena dia selalu bangun sebelum matahari terbit dan tidur setelah matahari jauh terbenam. Di situlah terjadi terobosan, wanita yang menjadi istri bangun pagi-pagi sebelum matahari terbenam dan tidur paling terakhir, dan wanita harus melayani Tuhan bersama dengan suaminya. Ada komitmen melayani bersama yang akhirnya juga mempengaruhi para reformator, termasuk Calvin.
Kita melihat di sini, melalui reformasi, teologi keluarga kembali dibangun. Karakteristik fungsi papa dan mama memakai model fungsi raja, imam, dan nabi. Model keluarga yang melayani, ditegakkan kembali. Kebaktian keluarga ditegakkan kembali. Reformasi mewariskan kepada kita model keluarga yang melayani. Katharina mengajar, berkotbah, memimpin koor, mengajar di sekolah yang muridnya semua perempuan. Istri Calvin pun demikian. Bagaimana dengan kita yang mengaku Reformed Injili? Jikalau suami istri belum melayani, buatlah kesepakatan untuk melayani karena di dalam melayani Tuhan, di situ engkau menemukan kebahagiaan yang besar.
Kebahagiaan ada di dalam jiwa seseorang yang hidup benar bagi Allah. Kita yang sudah dibenarkan Yesus Kristus, kita menyatakan hidup benar itu di dalam pekerjaan, di dalam rumah, di dalam fungsimu sebagai seorang bapak atau ibu, sebagai seorang suami atau istri. Kita tidak boleh lagi hidup seperti seorang yang tidak punya penguasaan diri, demikian kata Surat Petrus. Kita harus jadi orang yang hidup daam kebijaksanaan, bukan dalam kebodohan, dan yang kita kejar adalah kekudusan. Dan di sini saya percaya bahwa hidup kita –termasuk emosi kita– bisa dikuduskan melalui pasangan kita. Bukan itu saja, karakter kita juga bisa dikuduskan. Dan seluruh misi kita ke depan setelah kita punya istri dan anak-anak, itu juga bisa dikuduskan.
Oleh sebab itu, semua warisan para reformator hendaknya menjadi spirit yang kita hidupi. Tantangan kita adalah bahwa pada zaman ini keluarga yang teosentris digeser menjadi keluarga yang humansentris. Keluarga tidak lagi mementingkan Firman. Mengaku Kristen, tapi tidak pernah ada ibadah. Mengaku Kristen, tapi suami istri dan anak-anak tidak pernah bergandengan tangan berbakti di rumah. Rumah jadi seperti tempat untuk beristirahat saja, untuk berkaraoke, untuk pemulihan fisik saja. Rumah tidak dijadikan tempat untuk pertumbuhan iman. Rumah tidak dijadikan tempat utnuk pertumbuhan karakter, pertumbuhan aspek science dan sosial anak-anak. Di sinilah kegagalan kita mencetak pemimpin masa depan untuk Indonesia atau untuk dunia, salah satunya karena kita gagal membangun karakter keluarga yang benar di dalam Tuhan –keluarga yang bersifat teosentris/ Kristosentris.
Sebagai seorang ayah, sebagai seorang suami, saya pun harus mengajar diri saya tidak boleh egois. Saya berusaha menjadi pendamping yang baik untuk istri dan juga anak-anak saya, untuk bertumbuh secara keimanan, karakter, sosial, talenta, bagi Tuhan. Di sini pentingnya keluarga punya identitas di dalam Tuhan, agar kita mengerti fungsi ayah dan fungsi suami dengan tepat, yang tidak mengecewakan pasangan kita dan anak-anak kita. Maka kita harus mengerti apa yang disebut dengan keluarga yang teosentris, bukan humansentris. Kalau humansentris, saya pulang ke rumah sebagai bos, sebagai pemilik otoritas yang paling tinggi, saya bisa minta dilayani, karena menganggap diri kita penting.
Hal lain, kita melihat adanya keluarga yang terlalu mementingkan privatisasi, tidak menjadi keluarga yang melayani, lebih menuntut dilayani. Maka di sini hati-hati para istri, para suami, bahwa semua gerakanmu itu bisa mempengaruhi anak-anakmu. Berapa banyak uang kita boroskan untuk baby sitter, satpam, tukang kebun, tukang cuci, bagian ini dan itu, sehingga akhirnya rumah tangga kita lebih banyak pembantunya. Tentu tidak salah kalau membutuhkan pembantu, tapi kalau engkau bisa mengerjakan, mengapa tidak engkau kerjakan sendiri? Tema keluarga saya adalah “self-service”, jadi tidak ada pembantu. Dari kecil anak-anak sudah diajarkan mandi sendiri, merapikan barang sendiri, karena kita menuntut diri kita melayani. Semua harus melayani, semua harus bekerja, semua harus belajar nilai tanggung jawab, bukan bergantung si mbak, si ini dan si itu. Ada anak sudah kuliah tapi sama sekali tidak bisa masak, tidak tahu menghidupkan kompor gas, tidak bisa membedakan merica, garam, dsb. Ini masalah, karena pendidikan harusnya mulai diajarkan sejak dini waktu kita di rumah masak bersama anak-anak. Kita belajar jadi orang yang tidak memanjakan diri, belajar irit, belajar bahwa melayani Tuhan dan orang lain lebih penting, dan diri bukannya untuk dilayani. Zaman sekarang ini zaman privat; anak minta kamar sendiri, TV sendiri, ruang main game sendiri lalu papa mama punya ruang karaoke sendiri. Semua serba sendiri, masuk rumah semua dengan HP-nya masing-masing tertawa sendiri, senang sendiri, akhirnya kita jadi orang yang rusak. Ini tantangan, pergumulan kita.
Kalau keluarga sebagai unit yang kecil dari Gereja itu beres, maka unit yang besar –institusi GRII Kelapa Gading ini– akan beres. Saya percaya sekali alasannya salah satu peninggalan Reformasi adalah teologi keluarga, yaitu karena banyak pastur/ kardinal hidupnya tidak beres dalam aspek seksualitas. Kita percaya sekali yang dikatakan Martin Luther, bahwa seks itu suci. Ini terobosan yang baru, sehingga dia harus membuat artikel tentang sebabnya hamba Tuhan boleh menikah. Dan salah satu pembahasannya mengatakan bahwa seks itu suci, panggilan menikah itu suci. Maka marilah kita me-redeem ulang keluarga kita, memperbaharui ulang nilai kita sebagai seorang suami, seorang istri, seorang bapak atau seorang ibu untuk anak-anak kita. Dan sebagai anak, mari kita juga memperbaharui diri untuk kita tepat dalam menghormati Tuhan dan menghormati papa mama. Anak jangan dimanja. Anak saya kalau mau membeli apapun harus menabung dulu 50% baru 50% lagi dari saya. Kita jangan mencuri perjuangan anak kita. Kita juga jangan mengeksploitasi anak untuk kebanggan kita. Dia punya Tuhan, biarkan dia menemukan pembentukan Tuhan dengan cara Tuhan, bukan cara kita. Ini penting sekali.
Keluarga yang berkarakter kudus memiliki ciri: kuat dalam iman, bermoral, takut akan Allah –artinya beribadah–, memiliki teladan rohani –artinya melayani. Jadi, tuntut dirimu –suami istri– melayani, tuntut anakmu dalam level tertentu untuk melayani bersama-sama. Inilah yang perlu kita jaga supaya kita jadi orang ang mengerti spirit reformasi dalam nilai teologi, dalam nilai keluarga.
Dan yang ketiga, kita melihat dunia. Reformasi mempertobatkan orang-orang pintar. Orang-orang pintar ini menerjemahkan iman Kristen masuk ke dalam dunia teknologi, dengan iman mereka bisa menciptakan teknologi untuk membawa orang lebih melihat Tuhan. Melalui teknologi, orang akhirnya bisa mencetak Alkitab, dan orang bisa memakai teknologi untuk kotbah dll. Tapi zaman scientist sekarang ini, justru waktu orang baru mengerti sedikit tentang teknologi, langsung tidak melihat Tuhan, langsung tidak menerima Allah Tritunggal, tidak menerima Alkitab dalam nilai ineransi atau infallibility -nya. Banyak orang menjadi guru tanpa iman, yang membuat orang jadi ateis. Banyak guru tanpa iman yang membuat anak-anak sekarang menjadi orang-orang deisme, agnostik, dan akhirnya tidak lagi takut akan Tuhan. Di sinilah perubahan pergerakan yang sudah berbeda, karena iman digeser, tidak lagi bercahaya di dunia. Kita sekarang seolah-olah menjadi orang Kristen yang terlalu eksklusif, kita tidak lagi menciptakan orang-orang dalam aspek lawyer, arsitek, militer. Kita ini orang Reformed, maka kita ini semua hamba Tuhan, marilah kita menjadi hamba Tuhan dalam panggilan kita masing-masing.
Dunia membutuhkan orang-orang pintar yang sudah bertobat. Dunia membutuhkan orang-orang pintar yang mempunyai hikmat dari Tuhan. Dunia membutuhkan orang-orang pintar yang mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan. Dan orang itu ada di mana? Di Gereja. Maka teologi stewardship dari Calvin mementingkan bahwa orang Kristen harus kerja keras dan berjuang. Calvin mengambil dari Surat Tesalonika: “Jikalau orang tidak bekerja, dia tidak layak untuk makan”. Kita melihat negara-negara yang dibangun berdasarkan teologi reformasi, menghasilkan sesuatu karena mereka sistemnya adalah in making, mereka penghasil bukan penikmat. Waktu saya pelayanan ke Swiss, saya pergi ke museum Patek Philippe, di Jenewa. Di situ kita takjub dengan aspek seni-nya, fungsinya, modelnya, karakternya. Dan semua jam Patek Philippe adalah buatan tangan manusia; 1500-2500 item buatan tangan manusia dibentuk jadi sebuah jam Patek Philippe. Ini pengaruh dari reformasi; mengerjakan segala sesuatu dengan teratur dan harmonis, untuk orang bisa tahu waktu. Oleh sebab itu jam yang terbaik selalu dari Swiss. Di balik itu adalah pengaruh Calvin yang mengedepankan kerja keras, berjuang, in making bukan penikmat.
Aspek yang kedua, yaitu belajar bertanggung-jawab, menjadi orang yang punya predictability, orang yang bisa diandalkan, orang yang punya aspek human capital, orang yang punya modal. Dan yang ketiga, punya nilai disiplin dalam waktu; disiplin rohani, disiplin dalam bekerja. Dan yang keempat, teologi stewardship Calvin mengajarkan kepada kita hidup sederhana, irit, jangan boros. Di situ Calvin berani mengatakan: “Berapa banyak dari kita sudah berdosa karena pemborosan”. Membeli adalah berdasarkan nilai kebutuhan, bukan keinginan. Berapa banyak bajumu, sepatumu, jam tanganmu, alat make-up-mu? Hidup sederhana, irit, adalah warisan dari reformasi.
Lalu apa tantangannya? Karena dunia memiliki budaya yang bebas, semua hal di-relatifkan dalam dunia Post Modern hari ini, tidak ada lagi yang dimutlakkan, maka banyak Gereja hari ini tanpa standar Alkitab. Banyak Gereja tidak lagi meninggikan otoritas Alkitab. Banyak Gereja tidak lagi memutlakkan kebenaran Alkitab. Ditambah lagi dengan pengalaman, dikurangi dengan satu pemahaman, akhirnya banyak Gereja tidak lagi mengakui standar Alkitab dalam otoritasnya. Dan yang kedua, kita akhirnya melihat Kekristenan yang tanpa Kristus. Mengaku Kristen, tapi tidak pernah baca Alkitab. Mengaku Kristen, tapi tidak pernah menjunjung tinggi nilai kekudusan. Mengaku Kristen, tapi tidak pernah penginjilan. Mengaku Kristen, tapi tidak sungguh-sungguh mau berubah dalam Kristus. Di sinilah kita melihat reformasi digerogoti oleh dunia yang sekarang semuanya serba bebas tanpa batas. Zaman yang sudah mengalami sekularisasi, mengalami banyak perubahan, maka yang ketiga, akhirnya keluarga tanpa kekudusan hidup.
Anak saya play group di Ipeka, TK di Ipeka, SD di Ipeka, setelah itu di sekolah Katholok Marsudirini, lalu SMP- SMA di Calvin, maka waktu mahasiswa lihat temannya menyontek, dia terkaget-kaget. Mengapa? Karena saya mengajarkan standar kekudusan dalam hidup. Saya punya prinsip bahwa keluarga harus kudus, rumah bukan tempat mengembangkan dosa, rumah tempat kita menyatakan kemuliaan dan kesucian Tuhan.Tapi bagus juga dia bisa melihat dunia yang nyata seperti itu, supaya dia tahu bagaimana dirinya menjadi garam dan terang dalam dunia yang sesungguhnya.
Karakter yang kudus akan memperbaharui faktor hereditas, lingkungan, dan kebiasaan lama yang telah merusak karakter kita dalam dosa. Saya percaya sekali, dengan reformasi kekudusan terjadi secara utuh; bukan kekudusan secara status tapi secara nilai hidup.
Kesimpulannya, Amsal 11: 30 Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang. Terjemahan yang lebih tepat: Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, merebut hati orang. Apa artinya? Kita sebagai orang Reformed Injili, bekerjalah, karena hasil kerjamu akan seperti pohon kehidupan yang bisa dilihat orang, bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dan hati-hati dengan cara engkau mengambil keputusan. Bijaklah dalam engkau menciptakan satu soft skill dan hard skill, karena melaluinya, hidupmu akan bisa merebut hati orang di sekitarmu. Apalagi ditambah dengan pemberitaan Injil, maka engkau akan merebut orang itu kembali kepada Tuhan.
Biarlah melalui spirit Reformasi ini, kita berani untuk jadi pemenang bagi Tuhan. Biarlah melalui spirit Reformasi ini, kita berani menujukkan diri kita sebagai orang-orang Reformed Injili. Dan biarlah melalui spirit Reformasi ini, kita boleh membawa diri kita, suami/ istri kita, anak-anak kita, Gereja kita menjadi Gereja yang terus berkenan kepada Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading