Kita masih menyambung perikop sebelumnya, kita tahu dalam bagian akhir ini ada tension yang semakin kuat antara Yesus dan penguasa-penguasa bait Allah, termasuk juga di dalam bagian perikop yang sudah kita baca ini, masih disebut ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala. Kita membaca tokoh yang sama di dalam permulaan pasal 20, di situ, di bait Allah yang datang adalah imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat yang menjadi gusar karena Yesus memasuki daerah teritori mereka, dan mereka kemudian menanyakan dengan kuasa mana Yesus melakukan itu dst., makin lama semakin tegang. Sehingga waktu kita membaca dalam bagian ini jelas juga ditulis oleh catatan redaksional dari Lukas bahwa mereka bertanya bukan mau belajar dengan rendah hati, tetapi supaya mereka boleh menjerat Yesus. Menjerat siapapun akan sangat efektif kalau kita bisa menemukan pertanyaan-pertanyaan yang dilematis, kalau dijawab ini salah, tapi kalau dijawab sisi yang ini ya salah juga dan mereka agaknya bisa menemukan pertanyaan seperti itu, pertanyaan sensitif yaitu tentang urusan siapa yang sebetulnya boleh menjadi otoritas di dalam kehidupan orang-orang Israel ini.
Di sini ada benturan, ada kaisar, ada Tuhan, Yahwe, kalau secara sederhana kita pasti tahu, kita harus memilih Tuhan, tetapi persoalannya tidak sesederhana itu, karena ada persoalan kalau kita selalu membuat polemik, sementara di situ tidak ada polemik. Sebenarnya apakah betul kita harus memilih? Ada pertanyaan yang menyudutkan, seperti seolah-olah sekarang kita harus memilih, padahal di sini tidak ada yang harus memilih, bisa kemungkinan keduanya berjalan bersamaan, seperti yang dijawab oleh Yesus. Kita tahu, di dalam kehidupan kita ada saat-saat indeed dimana kita harus memilih, memang harus memilih, memilih antara ketaatan kepada pemerintah atau ketaatan kepada Tuhan? Kita harus memilih menyenangkan keluarga atau lebih mau menyenangkan Tuhan? Kita harus memilih lebih taat kepada orang tua sebagai manusia atau kita lebih taat kepada Tuhan? Ada saat-saat seperti itu, tetapi seperti itu tidak selamanya, ada kebahayaan di dalam spiritualitas kekristenan kalau kita merasa saya harus selalu memilih, orang seperti ini tidak bisa melihat lagi kenapa saya harus taat kepada orang tua, lebih baik saya taat kepada Tuhan? Wah ini bisa menjadi justification seseorang yang rebellious, tidak mau dididik oleh orang tuanya, tidak mau mendengarkan oranng tuanya, lalu dia bilang, kan alkitab katakan, kita harus selalu memilih Tuhan, tidak boleh mendengarkan orang tua lebih dari mendengarkan Tuhan? Akhirnya menjadi semacam kekristenan yang kacau dan bukan hanya terhadap orang tua, terhadap pemerintahan juga bisa seperti itu?
Kecenderungan penulisan Lukas dan Kisah Para Rasul kita akan mendapati gambaran pemerintahan yang cukup positif, kita juga mendapati hal yang positif dalam tulisan Paulus ke jemaat Roma, memang tidak semunya positif, Yohanes dalam kitab Wahyu jelas tidak positif sama sekali ketika berbicara tentang pemerintahan. Jadi ada saat-saat dimana kita selalu harus bergumul ulang, lalu di dalam pergumulan itu kita melihat, betulkah kita memang harus memilih dan kalau memang kita harus memilih, tentu saja kita harus memilih Tuhan, tidak bisa menduakan lagi. Tetapi di dalam bagian ini tidak ada ketegangan itu, tapi mereka ingin menciptakan semacam ketegangan ini, seolah-olah Yesus dipojokkan, ya memang di sini Yesus dipojokkan, seolah-olah Dia harus memilih antara kaisar dan Tuhan. Sebenarnya motivasi mereka seperti yang kita tahu, karena ada rakyat yang sensitif kalau dikatakan kalimat seperti ini, kalau orang pilih kaisar, yang senang adalah pemerintah Romawi, tapi yang akan menjadi gusar adalah orang-orang Israel, kenapa Dia memihak kepada kaisar? Kalau Yesus mengatakan, kita harus memilih Tuhan, yang senang adalah orang-orang Israel, memang itu Tuhan yang kita percaya, tetapi Dia akan berada di dalam masalah dengan pemerintahan Romawi. Ini yang menjadi motivasi dari pertanyaan itu.
Ironis, mengatakan kalimat dalam ayat 21, “Guru, kami tahu……, Engkau tidak mencari muka”, ya memang betul sih Yesus tidak mencari muka, tetapi orang-orang ini sedang mencari muka kalau tidak terhadap pemerintahan Romawi, ya terhadap orang-orang banyak itu, orang Israel, untuk menjebak Yesus, setelah Yesus terjerat mereka yang akan mendapat posisi kepemimpinan. Mereka bilang Yesus mengajar dengan jujur, tetapi mereka bertanya bukan dengan pertanyaan yang jujur, kalimat yang mereka keluarkan betul-betul satu kalimat yang berani sekali. Kalau seseorang menyebut orang lain guru, ya berarti dia kan murid, murid yang rela belajar, apakah itu sikap hati mereka? Tidak. Mereka berkata Guru, tetapi sebetulnya mereka yang ingin menjadi guru, “kami tahu”, betulkah mereka tahu? Sebetulnya mereka tidak tahu, kalau mereka tahu maka mereka akan bertobat tetapi mereka bilang, “kami tahu”, kita bisa melihat perkataan yang dikatakan di sini semuanya salah, dusta dan kebohongan, Yesus mengajar dengan jujur, mereka bertanya dengan tidak jujur, Yesus tidak mencari muka, mereka berusaha mencari muka dst.
Kembali kepada pertanyaan membayar pajak kepada kaisar atau tidak? Sekali lagi dilemanya cukup jelas. Di dalam zaman itu ada tokoh yang cukup terkenal mengajarkan bahwa sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah, tidak perlu membayar pajak kepada kaisar. Kita sudah pernah membahas hal kelihaian orang-orang Farisi, mereka terus bisa bermain didua perahu, orang-orang Zelot itu adalah orang-orang yang “kurang pintar”, tetapi punya integritas, karena mereka berusaha untuk tidak memihak kepada kedua sisi. Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk kemerdekaan Israel, meskipun tentu saja kita tahu pengharapan mereka keliru karena hanya sebatas kemerdekaan nasionalis, Yesus kan datang bukan membebaskan secara itu, tetapi membebaskan manusia dari pada dosa. Orang-orang Zelot ini jelas sekali, mereka berdiri disatu perahu yaitu di bangsanya, bangsanya adalah Israel, kita harus membela mereka dan mereka mati-matian berperang untuk mendapatkan kemerdekaan bangsa Israel dari penjajahan orang Romawi. Dan karena itu mereka sangat dikejar-kejar, lalu ditumpas dan dibinasakah oleh pemerintahan Romawi, itu orang-orang Zelot.
Kita bisa membayangkan, orang-orang seperti ini waktu mereka propaganda, mereka pasti akan mengajarkan ajaran-ajaran kita tidak perlu membayar pajak kepada kaisar, memangnya kaisar itu siapa? Kita kan bukan di dalam kepemimpinan kaisar, kita di bawah kepemimpinan Tuhan, kepemimpinan Yahwe. Lalu Yesus mau ditarik di sini, karena orang-orang Farisi juga sudah bisa melihat masa depan dari orang-orang Zelot, sudah suram sekali. Mereka sih memang disenangi oleh rakyat tetapi mereka tidak bisa mengambil hati para antek-antek Romawi, tetapi orang Farisi bisa dapat dua-duanya, satu sisi dihormati oleh rakyat banyak, sisi yang lain juga mendapat simpati dari pada pemerintahan penjajah. Kalau seperti ini mau jawab yang mana? Sebenarnya kalau kita membaca jawaban Yesus, kita tetap bisa melihat terjebak juga kok akhirnya karena pada dasarnya kalau hanya disudutkan antara jawaban ya atau tidak, jawaban Yesus kan jelas ya, begitu kan ya? Boleh bayar pajak kepada kaisar atau tidak? Jawabannya kan jelas ya dalam bagian ini, tetapi tidak se-simple itu. Kalau se-simple itu, ya Yesus akan langsung mendapatkan kesulitan dari rakyat banyak, iya kan? Dan jerat itu berhasil masuk di dalam pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Yesus Kristus, tetapi tetap tidak berhasil.
Kalau kita baca ayat 26, mereka tidak berhasil menjerat Dia dalam perkataanNya di depan orang banyak, di situ bukan tidak ada orang banyak, ada orang banyak, tetapi mengapa dengan jawaban yang katakanlah menuju kepada ya, Yesus tetap dikatakan tidak terjerat? Meskipun di situ hadir orang banyak, karena Yesus membawa mereka kepada perenungan yang lebih dalam dari pada sekedar jawaban yes atau no. Kalau kita berbijaksana di dalam kita menjawab pertanyaan-pertanyaan waktu kita ber-apologia, waktu kita mempertanggungjawabkan iman kita, waktu kita counsel saudara seiman kita dsb., kita tidak akan masuk di dalam jeratan pertanyaan yang hanya disudutkan dalam ya dan tidak? Kadang-kadang orang bertanya, dia tidak mau mendengar jawaban yang komplit, dia berkata, sudahlah pak, saya hanya mau tahu ya atau tidak? Kita harus menjawab, saya tidak menjawab, begitu ya? Supaya dia tidak menyempitkan kita di dalam jawaban yang kita mau. Seperti dalam bagian ini, Yesus juga disudutkan, membayar pajak kepada kaisar, itu boleh atau tidak? Yesus tidak mau jawab seperti itu, Yesus membawa mereka kepada pengertian yang mereka sendiri perlu belajar.
Menarik, waktu kita membaca dalam bagian ini, Yesus punya bijaksana, seperti selalu untuk mengetahui maksud pertanyaan mereka yang licik itu, ini bagian dari pada menjawab pertanyaan, mengetahui motivasi seperti di dalam kitab bijaksana, ada dikatakan, jangan jawab orang bebal menurut kebebalannya, itu kelincahan. Ada saat dimana kita menjawab orang bebal menurut kebebalannya supaya tahu bahwa cara pikirnya itu keliru, ada saat juga dimana kita jangan menjawab orang bebal mengikuti kebebalannya, kita harus transcend menjawabnya supaya dia tahu bahwa pertanyaan itu pertanyaan orang bebal. Ini berkaitan dengan bagaimana kita bisa mengerti maksud orang yang bertanya itu motivasinya apa? Memang kita tidak maha tahu seperti Yesus, tetapi orang seringkali dijebak dengan pertanyaan-pertanyaan, yang paling sederhana mungkin juga di dalam keluarga kita, kadang-kadang anak-anak itu nakal, memberikan pertanyaan untuk menjerat kita, supaya dia mendapat konfirmasi yang dia mau saja. Lalu kalau kita tidak punya bijaksana, kita akan terjebak di dalam pertanyaan-pertanyaan yang sederhana seperti itu. Yesus menjawab apa? Yesus mengetahui maksud mereka yang licik, lalu meminta kepada mereka untuk menunjukkan satu dinar, gambar dan tulisan yang ada pada dinar itu, jelas itu adalah gambar dan tulisan kaisar, memang itu adalah wilayah yang dikuasai oleh kaisar, jadi koin yang beredar di sana adalah koin yang bergambar kaisar.
Yesus mau mengantar mereka pada satu prinsip bahwa kamu ini pakai uang di dalam daerah kekuasaan kaisar, ini system yang harus kamu terima yang ada di dalam dunia, despite kamu percaya kepada Yahwe, kita tidak bisa hidup di luar struktur itu. Ada orang-orang kristen yang saking hidupnya di dalam Kerajaan Allah katanya, tidak mau hidup dibelenggu sama struktur sama sekali, sebagai contoh, kalau kita pergi ke luar negeri, di imigrasi akan ditanya mana paspornya? Lalu kita bilang, saya ini pendeta, memang kamu pikir saya bajingan? Saya ini pendeta, saya orang baik-baik, kenapa tidak membiarkan saya lewat saja? Intinya paspor apa sih? Kan supaya mencegah orang-orang atau teroris jahat masuk, nah saya kan bukan orang jahat, sekarang biarkan saya pergi ke luar negeri tanpa paspor. Ya silahkan saja kita ngotot seperti itu, dunia ini ada strukturnya, kita tidak bisa mengatakan, esensinya, substansinya dari paspor itu sebetulnya kan pencegahan orang-orang yang bukan-bukan berkeliaran secara bebas, akhirnya membahayakan banyak orang, itu kan esensinya, nah sekarang saya kan bukan orang jahat? Jadi saya tidak perlu lagi paspor dsb., atau kita sekolah, lalu setelah itu tidak perlu ijazah dsb., semuanya kita ngawang di dalam Kerajaan Allah.
Tentu saja Yesus tidak mau masuk kepada model kekristenan yang seperti ini, seperti sangat hidup di dalam Kerajaan Allah, menyembah kepada Yahwe, lalu transcend semua struktur, sama sekali tidak mau dikuasai oleh struktur. Memang kita harus segera menambahkan, kita bisa terjebak waktu masuk ke satu struktur, akhirnya struktur itu struktur yang berdosa, sedemikian rupa menjerat kita, tapi kita tidak sadar atau mungkin bahkan kita sadar tetapi kita tidak peduli, yang penting masuk saja kepada struktur, toh orang tidak bisa lepas dari struktur, itu tentu saja another problem dan Yesus juga tidak mengajarkan itu. Membayar pajak kepada kaisar itu bukan dosa, ini bukan berbagian di dalam korupsi, bukan, katakanlah bahkan kalau kaisar itu menggunakan uang itu semena-mena, itu bukan urusan orang yang membayar pajak, itu urusannya kaisar. Ada banyak orang berpikir, untuk apa saya bayar pajak, setelah saya bayar dikorupsi juga, dari pada dikorupsi lebih baik saya pakai sendiri saja, itu bukan urusan kita, mau dikorupsi, melacur, itu urusan mereka, bukan urusan kita.
Yesus juga tidak mengajarkan, begini ya, sebelum bayar pajak, kamu selidiki dahulu kehidupan kaisar, hari senin sedang ngapain dst., waduh, siapa yang bisa menguji, lalu menyelidiki bagaimana kaisar menggunaan uang itu, nanti setelah 3 bulan selesai riset, saya akan menjawab, apakah kita perlu membayar pajak kepada kaisar atau tidak, pembicaraan seperti itu tidak ada dalam bagian ini. Yang bagian kita ya bagian kita, yang bagian kaisar ya bagian kaisar, tanggung jawab kita ya tanggung jawab kita dan tanggung jawab kaisar adalah tanggung kaisar, kita tidak bisa terus men-justify keengganan kita untuk taat dan submit berdasarkan kelemahan orang lain. Jangan-jangan itu hanya sekedar mau menyatakan keengganan atau kemalasan kita yang sebetulnya tidak bisa submit. Tetapi submission dari pada Yesus juga tidak se-simple itu, pokoknya karena kita berada di daerah kekuasaan kaisar, makanya kita harus submit kepadanya, bukan, lebih dari pada itu.
Menarik, waktu kita melihat bagian ini, istilah yang dipakai di koin ini gambar dan tulisan kaisar, di koin itu ada ikon kaisar. Di dalam zaman dulu, ancient, government itu selalu meletakkan ikon dari penguasanya itu di daerah tempat mereka berkuasa, itu sangat dekat. Seperti yang kita baca dalam Kejadian 1, manusia itu diciptakan sebagai koin dan ikon Allah, gambar dan rupa Allah, tetapi kaisar sendiri juga menaruh gambar dan rupanya di dalam daerah kekuasaannya. Yesus meng-acknowledge bagian itu, karena ini memang daerah kekuasaan kaisar, memang secara struktur kita ada di bawah pemerintahan Romawi, either you like it or not, kamu suka atau tidak suka, itu adalah pemerintah yang dipercayakan Tuhan untuk memerintah sementara ini, bukan kerajaan yang kekal. Jadi kita membayar pajak itu memang adalah bagian kaisar dan itu adalah tanggung jawab kita, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Kemudian Yesus mengatakan, kalau begitu berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan (tanggung jawab mereka), tetapi ada kalimat kedua langsung merelativisasi semuanya dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. Bukan hanya kaisar tanpa Allah, tetapi juga bukan Allah saja yang membabi buta lalu transcend semua struktur, ke luar negeri tidak mau pakai paspot, tidak rasa perlu ijazah dll.
Membayar pajak kepada kaisar karena memang wajib, itu kewajiban kita, tetapi yang lain yang tidak kalah penting juga kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah, mengapa? Karena kamu adalah gambar dan tulisan Allah, urusan uang ini sih urusan sepele, ini milik kaisar berikan saja, toh itu hanya uang kok, bayar pajak kepada kaisar, itu uang, tetapi hidupmu itu adalah gambar dan rupa Allah, bukan gambar dan rupa kaisar. Kalau uang diberikan kepada kaisar itu tidak ada persoalan, memang itu bagian kaisar dan hanya sebagian juga, tidak semua uangmu yang harus diserahkan kepada kaisar, tetapi hidupmu, termasuk uangmu yang lain, semuanya adalah gambar dan rupa Allah. Jangan lupa kamu diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, dan karena itu kamu harus memberikan hidupmu kepada Allah. Karena itu setelah mengakhir bagian ini mereka tidak dapat menjerat Dia, sulit ya waktu kita ditanya kalimat seperti ini, jawabannya hanya yes or no, dijawab yes salah, dijawab no juga salah, begitu kan ya? Tehnik yang lain adalah neither nor, ooh saya tidak mau dijebak, saya jawab yang lain.
Tapi Yesus dalam bagian ini, Dia dengan bijaksana bisa include dua-duanya, tetapi sekaligus memberikan batasan, submission kepada kaisar bukan submission kepada kaisar sebagai Tuhan, tidak, tidak ada ajaran itu? Submission kepada kaisar memang di dalam bagian yang kita perlu submit, kalau kita taat, tertib lalu lintas bukan berarti kita memberhalakan traffic light kan ya? Tidak ada orang yang berpikir seperti itu kan ya? Waktu kita taat aturan-aturan lalu lintas, ya itu tidak harus di stempel bahwa orang ini tidak lagi percaya kepada Yesus, dia taat kepada peraturan lalu lintas, orang sinting yang memberikan statement seperti itu. And yet Yesus dipojokkan dengan pertanyaan seperti ini, seolah-olah bahwa membayar pajak saja itu sebagai berhala, penyembahan kepada kaisar, ooh tidak, ini hanya memberikan sebagian kecil dari uang saya, seluruh hidup saya lebih limpah dari pada uang yang saya bayar kepada kaisar.
Di dalam setiap situasi, gereja, kita orang-orang kristen harus selalu bergumul secara baru, bagaimana hubungan dengan pemerintah, ini jawaban kita bisa mengatakan certain konteksnya di dalam pembacaan Lukas, Kisah Rasul, Paulus, gambaran pemerintah yang positif. Tapi ada saat dimana pemerintah begitu menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan Tuhan, di saat seperti itu tidak ada panggilan kepada kita orang-orang percaya untuk taat kepada pemerintah, kita harus mengatakan kalimat seperti itu. Penguasaan Nero, Hitler dan sekarang seperti ISIS terus ramai diperdebatkan oleh banyak negara, negara islam pun tidak rela untuk mendukung gerakan ini. Lalu kalau betul-betul mereka berhasil memegang kepemimpinan lalu bagaimana sikap dari rakyatnya? Apakah harus submit kepada pemerintahan yang seperti itu? Satu pertanyaan yang lain lagi, sehingga jawaban ini mendorong kita untuk selalu bergumul secara baru setiap periode, setiap zaman, bagaimana kita melihat pemerintah? Yesus sendiri melihat untuk sementara waktu memang itu satu pembentukan yang Tuhan kerjakan di dalam bangsa Israel, sehingga mereka harus dan perlu memberikan apa yang memang mereka wajib berikan kepada kaisar. Mereka diapain sih oleh kaisar dalam periode ini? Mereka bukan sedang dianiaya kan? Tidak, bahkan nanti Yesus yang akan disalibkan secara tidak adil atas nama kaisar, atas nama pemerintahan. Ada tanggung jawab yang kita harus kerjakan bagi bangsa, bagi negara kita, tetapi jangan lupa, kita bertanggung jawab juga kepada Tuhan yang memiliki kehidupan kita secara sepenuhnya.
Selesai di dalam persoalan ini, membayar pajak kepada kaisar, ada kelompok yang lain lagi, kelompok Saduki, satu kelompok yang tidak percaya adanya kebangkitan dan mereka hanya menerima 5 kitab Musa. Dan menurut studi mereka setelah mereka mempelajari Pentateuch, mereka akan mendapatkan pengajaran tentang kebangkitan, memang dalam Pentateuch gambaran tentang doktrin kebangkitan seperti samar sekali, bukan tidak ada, gambaran tentang doktrin kebangkitan itu baru ada dalam kitab nabi-nabi (seperti: Daniel, Yehezkiel). Mereka juga mau menjerat, mau memojokkan Yesus, bertanya kepadaNya dalam ayat 27 dst., kalau kita lihat sangat menarik permainan kasusnya, tidak jauh berbeda di dalam zaman kita juga ada orang-orang yang tanya pertanyaan-pertanyaan teologis seperti rumit sekali, dengan menciptakan studi kasus yang sama sekali tidak riil, pertanyaan yang tidak riil. Pertanyaan itu adalah pertanyaan what if, bagaimana seandainya, tetapi hanya seandainya saja? Kalau pertanyaan seperti itu bagaimana? Bisa dijawab dengan bagaimana seandainya kalau saya tidak jawab pertanyaanmu? Langsung selesai, karena dia bertanya seandainya.
Pertanyaan-pertanyaan yang hanya mengisi kuriositas, keinginan tahu, itu seperti sudoku teologi, seperti teologi teka-teki, tidak ada hubungannya dengan pergumulan hidup manusia, sebetulnya tidak layak untuk dijawab. And yet sebetulnya yang lebih konyol lagi pertanyaan ini ditanyakan oleh orang Saduki, tapi pertanyaan ini kan pertanyaan tentang kematian? Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan satu sentuhan pastoral yang sangat bijaksana dan pertanyaan yang lahir dari satu pergumulan yang berat yaitu keterhilangan, kematian. Tetapi kasus seperti ini dipermainkan menjadi studi kasus, betapa jauh ke luar dari konteks kehidupan. Bukan tidak mungkin sih seseorang itu setelah menikah lalu mati, kemudian harus disambung lagi keturunannya melalui saudaranya dsb., tetapi sampai 7 kali, ini very unlikely, apes sekali orang seperti ini dan terakhir akhirnya mati juga, tetap tidak punya keturunan. Tapi katakanlah misalnya 2 kali saja, itu sudah merupakan satu pergumulan yang berat untuk orang yang betul-betul mengalami, tetapi kasus seperti ini dipermainkan oleh orang-orang Saduki untuk sekedar mengkonfirmasikan teologi mereka.
Misalnya kalau kejadian seperti ini betul-betul terjadi, tidak ada jawabannya, maka tidak mungkin doktrin resurrection itu benar, buktinya tidak bisa di apply ke dalam keadaan seperti ini. Kalau orang seperti ini akhirnya di sorga nikah sama siapa? Padahal Musa sendiri mengajarkan dia harus terus-menerus ganti suami seperti itu, ini doktrin resurrection itu tidak make sense. Mereka mempermainkan pergumulan orang yang menderita, yang kehilangan, persoalan yang sangat berat, lalu dipermainkan jadi studi kasus, yang sepertinya menarik untuk dipelajari secara teologis, begitu kan ya? Herannya ada guru-guru teologi yang bodoh juga, sudah pertanyaan seperti itu, eeh dia berkata, wah ini challenge nih, iya yah ini pertanyaan susah, mengasah otak juga, ok mari kita bicarakan, coba kita lihat apa menurut alkitab, ooh akhirnya sama-sama jadi orang gendeng. Yesus tidak terjerat dengan pertanyaan seperti ini, Dia tidak ada waktu untuk pertanyaan orang-orang yang tanya hanya out off dia punya kuriositas dan juga mempermainkan persoalan orang lain.
Lalu Yesus menjawab mereka dalam ayat 34-35, mereka bukan orang yang sepenuhnya mengerti tentang gambaran besar dari pada apa yang mereka percaya. Orang Saduki hanya bisa melihat dari pada horizon di bawah, mereka tidak tahu apa sebetulnya yang dinantikan orang di dalam pengharapan eskatologis dan Yesus jelas tahu, karena Yesus dari sana. Yesus memberitahu kepada mereka pertanyaanmu itu salah, tidak berhasil menjerat, kenapa? Karena di sorga orang bukan hidup seperti di dunia, di sana tidak ada lagi orang menikah, semuanya menjadi saudara satu dengan yang lain, pernikahan itu tidak dibutuhkan lagi, sebab sudah terjadi intimacy yang sempurna dengan saudara seiman dan dengan Tuhan. Di dalam dunia kita tidak ada kemungkinan mau mengalami intimacy di dalam arti termasuk juga di dalam intimacy secara bodily kalau kita tidak menikah, tetapi di sorga tidak perlu ada itu. Di sini argumen yang paling penting adalah menjawab berdasarkan kebebalan mereka, dalam bagian pertama Yesus bukan menjawab berdasarkan kebebalan mereka.
Kamu hanya percaya lima kitab Musa, ok Saya juga bisa menjawab berdasarkan perspektif lima kitab Musa, lalu Yesus menjawab menurut lima kitab Musa dan ini cerita Abraham, Ishak dan Yakub kan memang ada di dalam lima kita Musa, Yesus menjawab kebebalan mereka berdasarkan kebebalannya. Di dalam pemikiran kamu ada certain self contradiction sebetulnya yaitu Musa kan menyebut Allah Abraham, Ishak dan Yakub, lah kalau mereka ini adalah orang-orang mati seperti yang kamu percaya, berarti ini adalah Allahnya orang-orang mati. Allah orang-orang mati untuk apa? Saudara menjadi penguasa, penguasa orang-orang mati, ya tidak terbukti kekuasaannya. Hannah Arendt seorang filsuf keturunan Yahudi membicarakan perbedaan antara power dengan force, force itu waktu seseorang seperti Hitler sepertinya mereka exercise mereka punya power, sebetulnya mereka bukan exercise power, mereka hanya exercise force, apalagi mereka harus sampai membunuh jutaan orang, karena orang-orang mati. Kalau hanya bisa menguasai orang-orang mati, itu bukan power at all, itu just exercising your own force, tetapi kamu tidak berhasil menguasai mereka, karena orang tidak bisa mengatakan bahwa dia powerful kalau dia main-mainnya dengan orang mati. Hitler atau Nazi main-mainya dengan orang lemah, yang tidak sebanding dengan mereka, membunuh mereka, setelah membunuh terus menyatakan kekuasaan mereka, menurut Hannah Arendt, itu bukan exercising power, no power at all. Orang yang betul-betul punya power adalah orang yang memiliki kekuatan untuk embrace orang lain dan orang lain itu submit secara sukarela, bukan submit secara paksa. Kalau ada orang yang so authoritarian, orang ketakutan, terpaksa takluk kepada dia, itu orang yang gagal exercising power, itu hanya exercising force menurut Hannah Arendt.
Kalau Allah adalah Allah orang-orang mati, ya itu mirip seperti orang yang merasa kuat karena berhasil menginjak kecoa, apa bagusnya di situ? Itu Allah terhadap siapa? Itu Allah terhadap orang-orang mati. Allah bukan itu, Allah adalah Allah orang-orang hidup dan bukan hanya Allah orang hidup, Allah yang melalui Yesus Kristus, kematianNya bisa pursuit miliaran orang untuk mau dengan rela mengikut Dia, itu Allah yang truly powerful, gambaran Allah seperti ini adalah powerfully at all. Dalam bagian ini Yesus mau mengatakan bahwa teologimu itu sesat, gambaran doktrin Allahmu itu bukan doktrin Allah yang benar, kita juga harus hati-hati di dalam merenungkan atau mengaplikasi bagian ini. Bahwa kita percaya Allah bukanlah Allah yang powerful terhadap orang-orang yang mati, yang mati karena dibunuh, dipaksa dll., bukan, Allah adalah Allah yang powerful karena berhasil membujuk orang-orang yang tadinya adalah seteruNya, akhirnya bisa dibujuk oleh cinta kasihNya mengikut Dia dengan rela hati. Bagaimana saudara dan saya, exercising power kita bagaimana? Apakah kita exercising power atau sebetulnya exercising force terhadap anak-anak kita, terhadap orang-orang yang ordonya ditempatkan Tuhan di bawah kita, sebetulnya kita ini exercising apa?
Kalau kita mengikuti Allah yang berkuasa atas orang-orang hidup, kita bukan hanya berkuasa terhadap orang-orang yang mati, yang powerless, yang tidak punya uang, yang miskin, lalu kita merasa keren sekali bisa menguasai mereka, sekali lagi itu bukan power, Yesus datang menaklukkan semua lapisan . Saudara dan saya dipanggil untuk mengikuti jalan yang sama, kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading
