Cerita ini tidak asing bagi kita semua; orang Israel pergi melawan orang Filistin dan mereka kalah, lalu mereka membawa tabut Tuhan dan menganggap akan menang, tapi tetap saja mereka dikalahkan, bahkan tabut dirampas, dibawa oleh orang Filistin. Tabut Allah, bagi Israel sungguh-sungguh menyatakan kemuliaan Allah, menyatakan kehadiran Allah, itu sebabnya ketika tabut Allah dirampas maka istri Pinehas, orang yang kudus, mati dalam ketidakadaan pengharapan; dia menamakan anaknya Ikabod, artinya kemuliaan Allah sudah pergi dari Israel.
Bagian yang kita baca ini, LAI memberi judul “Tabut TUHAN di Tanah Orang Filistin”. Ini sebenarnya bukan tema utamanya, karena kalau sekilas kita baca, kita bisa dengan gampang melihat ada kata-kata yang terus-menerus diulang dalam cerita ini, yaitu ‘tangan Tuhan yeng berat’ (the heavy hands of God). Dikatakan di bagian ini, tangan Tuhan menekan, tangan Tuhan menghajar, tangan Tuhan yang berat, mereka mengalami hal-hal yang berat –‘tangan Tuhan yang berat’ ini terus-menerus diulang. Kalau kita sadar bahwa kata ‘berat’ dalam bahasa Ibraninya persis sama dengan kata ‘kemuliaan’ –‘kemuliaan’ dalam bahasa Ibrani adalah kavod, ‘berat’ dalam bahasa Ibrani juga kavod— dan kita mengaitkan dengan cerita sebelumnya, ini satu hal yang menarik karena dalam pasal 5 kavod (kemuliaan) itulah yang diharapkan orang Israel ketika mereka mendatangkan tabut Allah. Ketika tabut Allah datang, mereka merayakan. Merayakan apa? Mereka merayakan kemuliaan Allah yang hadir, kemuliaan Allah dalam bentuk tangan yang berat itu; inilah kemuliaan yang mereka inginkan. Mereka mau mempermuliakan Tuhan dengan satu harapan bahwa Tuhan akan menyatakan kuasa kemenangan-Nya, kuasa kehancuran-Nya atas musuh-musuh mereka. Mereka mau tangan Tuhan yang berat itu —the kavod, the glorious hands itu– diturunkan kepada orang-orang Filistin; tapi justru kita lihat itu tidak terjadi. Walaupun orang Filistin kurang ajar, mereka anggap dirinya bisa mengalahkan Yahweh, tapi Tuhan mengizinkan diri-Nya kalah. Dan, di bagian yang kita baca hari ini, ketika tidak ada orang Israel sama sekali, ketika tidak ada satu orang pun yang merayakan kemuliaan Allah, yang meminta kemuliaan Allah dinyatakan, dst., justru the kavod itu dinyatakan, tangan Tuhan yang berat itu nyata atas orang-orang Filistin.
Dari keseluruhan cerita tersebut, kita bisa melihat satu hal yang cukup jelas, bahwa Tuhan sungguh-sungguh tidak butuh umat-Nya untuk mempermuliakan Dia melalui kuasa kemenangan Dia. Kita harus hati-hati, Tuhan tidak butuh umat-Nya untuk merayakan kemuliaan Dia dari pengertian kuasa kemenangan, dari cara kemenangan/ triumphalist yang bisa menekan atau bisa menang atas orang lain, dst. Tuhan tidak butuh umat-Nya mempermuliakan Dia dengan hal-hal demikian. Ketika umat-Nya sendiri mau mempermuliakan Dia dengan cara demikian, dengan cara “nyatakan kuasa-Mu, menang atas orang lain”, Tuhan tidak melakukan apa-apa. Tapi ketika tidak ada orang Israel sama sekali yang menyaksikan, Tuhan menghancurkan orang Filistin. Yang terjadi di Filistin, baik Asdod, Gat, maupun Ekron, itu tidak disaksikan oleh orang-orang Israel, dan mereka tidak minta itu. Mereka minta yang sebelumnya, tapi tidak terjadi, dan sekarang mereka tidak minta, tapi terjadi.
Kita juga sama; ketika kita mau mempermuliakan Tuhan melalui kuasa kemenangan-Nya, secara triumphalist, mau menjadi yang di atas, mau menjadi yang menang, dan baru dengan begitu kita sungguh-sungguh mempermuliakan Tuhan, hati-hati. Tidak ada salahnya kita mau mempermuliakan Tuhan. Kita semua dipanggil untuk hidup mempermuliakan Tuhan, tetapi Alkitab menunjukkan kepada kita, kalau kamu mau mempermuliakan Tuhan melalui cara yang triumphalist, menang, kuasa yang besar, itu bukan cara Tuhan. Itu cara orang Israel dalam 1 Samuel ketika mereka memperalat Tuhan. Kita harus hati-hati ketika kita berdoa, “Tuhan, berikan saya kesuksesan, supaya dunia bisa tahu bahwa Engkau Allah yeng besar; Tuhan berikan saya kekayaan, supaya seluruh dunia tahu sumber kekayaan dari Engkau, sumber berkat dari Engkau”. Ini terdengar sangat rohani, menyebut Tuhan, kelihatan rendah hati, minta Tuhan menyatakan kemuliaan, “Tuhan, beri saya kekayaan, kesuksesan, supaya dunia bisa sadar itu Engkau, bahwa Engkau berkuasa, Engkau hebat, Engkau luar biasa, powerful”, tapi inilah persisnya yang Israel lakukan –dan Tuhan sama sekali tidak menyahut.
Hati-hati kalau kita bilang, “Tuhan, beri saya kuasa seperti John Sung, supaya saya bisa memenangkan banyak orang”, doa yang sangat baik, tapi ini maksudnya kita mau Tuhan yang dipermuliakan atau kita sendiri yang dipermuliakan?? Ketika kita bikin acara KKR atau apapun lainnya, lalu kita bilang, “Tuhan, berikan kesuksesan supaya Kerajaan-Mu dinyatakan, supaya lebih banyak orang yang tahu, nyatakan kemuliaan-Mu dengan memberikan kami kesuksesan dalam pekerjaan-pekerjaan rohani ini”; pertanyaannya, benarkah mau mempermuliakan Tuhan? Atau kita minta Tuhan dipermuliakan hanya supaya kita juga dipermuliakan? Itulah theology of glory, itulah tepatnya yang dilawan oleh Reformasi. Teologi kemuliaan (theology of glory) hanya mau diri sendiri juga dipermuliakan dengan Tuhan, tanpa salib; “Tuhan, Engkau mulia, maka saya juga harus dipermuliakan; Tuhan, Engkau hikmat, maka saya juga mau ada hikmat; Tuhan, Engkau menang, maka saya juga mau menang”. Perkataannya sih supaya Tuhan dipermuliakan, tapi sebetulnya mau diri kita yang diangkat juga ketika Tuhan mempermuliakan diri-Nya. Kita meminta Tuhan memberikan kesuksesan –baik secara jasmani maupun rohani, baik di dalam Gereja ataupun di luar Gereja– tapi sebetulnya untuk menyatakan diri kita mulia karena kita ikut serta dalam perjalanan tersebut, sehingga kalau Tuhan naik maka saya juga naik, lumayan dan bergengsi juga, jadi, ”Tuhan tolong permuliakan diri-Mu, supaya saya juga ikut dipermuliakan”. Ini juga yang pada dasarnya dilakukan orang-orang Israel itu, ‘Tuhan, nyatakan tangan-Mu yang besar –supaya kamu juga kelihatan powerful–kami mau memperrmuliakan Engkau’. Tapi Tuhan tidak menyahut, Tuhan diam.
Kalau begitu, bagaimana kita mempermuliakan Tuhan? Dari konteks kitab 1 Samuel, jawabannya sebenarnya simpel, Tuhan itu dipermuliakan ketika kita taat dan menghormati Dia. Tuhan tidak dipermuliakan ketika kita bisa meraih jasa-jasa, kita bisa melakukan ini dan itu, kita bisa menyatakan kehebatan kita atau kehebatan apapun; Tuhan sungguh-sungguh dipermuliakan ketika kita taat dan menghormati Dia. Tuhan tidak lebih dipermuliakan ketika kita bisa meraih lebih banyak keberhasilan; Tuhan sungguh-sungguh lebih dipermuliakan ketika kita taat dan hanya mau menghormati Dia.
Saya tidak bisa terima –dan saya juga tidak melihat dalam Alkitab– bahwa Tuhan mau dipermuliakan melalui cara-cara triumphalist/ kemenangan itu, luar biasanya Dia, kebesaran Dia, hikmat Dia, kuasa-Nya yang melampaui dunia itu. Saya tidak melihat Tuhan mau dipermuliakan umat-Nya melalui cara-cara demikian. Saya juga tidak melihat Tuhan mau dipermuliakan secara demikian. Tuhan mau dipermuliakan di dalam Kristus, Kristus yang inkarnasi, yang rendah hati. Kalau Tuhan hanya mau dipermuliakan melalui kehebatan-Nya, kuasa-Nya, ini berarti orang yang tidak berdaya adalah makhluk yang paling tidak bisa mempermuliakan Tuhan. Manusia-manusia yang tidak berdaya, adalah manusia yang sampah di mata Tuhan –kalau betul Tuhan mau dipermuliakan oleh kuasa kebesaran-Nya, kehebatan-Nya. Tapi saya tidak melihat Alkitab menyatakan seperti itu, saya tidak melihat Alkitab menunjukkan bahwa orang-orang autis yang tidak berdaya itu sampah. Tidak ada dalam Alkitab yang seperti itu. Saya tidak melihat dalam Alkitab bahwa orang-orang tua yang lemah tubuhnya, yang sudah tidak bisa bergerak, tidak bisa melayani, mereka menjadi sampah. Orang-orang yang down syndrome, bagaimana mereka meraih kemuliaan yang hebat, yang luar biasa?? Kalau mereka tidak bisa meraih itu, lalu berarti mereka sampah?? Tidak ada kesaksian seperti itu dalam Alkitab. Justru sebaliknya ada; justru sebaliknya Yesus yang datang inkarnasi, memanggil orang-orang marjinal yang dibuang, yang tidak dianggap, yang dianggap tidak berguna Ini yang ada dalam Alkitab.
Kalau kita melihat dalam pribadi Kristus, dengan cara apa Kristus mepermuliakan Allah, itu bukan dengan cara achievement. Paulus lebih ada achievement, Paulus pergi ke tempat-tempat lebih banyak, menjangkau orang lebih luas; kalau mau bilang achievement, Paulus lebih ada achievement daripada Yesus. Yesus itu mempermuliakan Allah karena Dia sungguh-sungguh sepenuhnya mengasihi dan taat kepada Allah. Di dalam hal ini, Dia sungguh-sungguh mempermuliakan Allah, karena Dia sepenuhnya mengasihi dan sepenuhnya taat kepada Allah.
Di dalam kitab 1 Samuel, jelas sekali Tuhan tidak mau umat-Nya dipermuliakan dengan kebesaran-kebesaran seperti yang mereka pikir. Kita lihat imam Eli; kalau secara keberhasilan semata-mata yang kelihatan, Eli lumayan, siapa yang bisa menyangkali Eli?? Secara prestasi, dia menjadi hakim dan imam 40 tahun! Saya sekarang umur 35, kalau 40 tahun berarti saya umur 75, dan sebelum umur 75 mungkin saya sudah ingin pensiun; tapi Eli 40 tahun menjadi pemimpin Israel terbesar. Secara prestasi dan achievement, ini luar biasa, biografinya cakep. Tetapi Tuhan menolak dia. Dan, ketika Tuhan menolak dia serta anak-anaknya, Tuhan tidak bilang, ‘siapa yang tidak bisa meraih jasa bagi-Ku, Aku menolak; siapa yang bisa menyatakan kebesaran-Ku, Aku terima’ –Tuhan tidak bilang demikian. Tuhan bilang: “Siapa yang menghormati-Ku, Aku hormati; siapa yang menghina-Ku, Aku hina”. Eli dan anak-anaknya gagal, bukan di dalam hal achievement, mereka gagal karena mereka tidak taat –simpel saja. Karena mereka tidak taat, mereka tidak bisa mempermuliakan Tuhan. Kalau secara achievement, keberhasilan, kemenangan, cukuplah; dunia melihat Eli cukup oke menjadi pemimpin 40 tahun, tidak perlu dikritik lagi. Tapi di mata Tuhan, itu gagal total.
Sekali lagi, dalam keseluruhan cerita ini kita bisa melihat, Tuhan tidak perlu umat-Nya melalui kebesaran dan kehebatan mau mempermuliakan Dia, mau menyatakan Tuhan itu besar, dsb. Tuhan tidak perlu itu. Tuhan menciptakan dunia ini pun sudah menyatakan kehebatan-Nya. Di dalam ciptaan Tuhan sudah menunjukkan keluarbiasaan-Nya, hikmat-Nya sudah nyata di sana. Kalau orang tidak mau mengakui kehebatan dan keluarbiasaan Tuhan, itu berarti mereka menekan, bukan mereka tidak tahu –demikian kesaksian Paulus dalam kitab Roma. Kita tidak perlu bersaksi, “O, Tuhan itu hebat, Tuhan itu luar biasa”, karena orang sudah tahu; melihat dunia ini, orang sudah tahu. Tuhan bukan mau dipermuliakan dalam hal itu. Lihatlah bagaimana Yesus mempermuliakan Allah, lihatlah bagaimana Dia inkarnasi, bagaimana Dia menjadi rendah, taat, mengasihi sempurna sampai mati. Itulah yang sungguh-sungguh Tuhan dipermuliakan.
Sekarang mari kita masuk ke ayat-ayatnya. Dalam pasal 5 ini ada 3 bagian besar. Yang pertama, ayat 1-5, Alkitab menceritakan kepada kita bagaimana akhirnya orang-orang Asdod (Filistin) tidak mau masuk ke kuil Dagon, yaitu karena Dagon terpenggal kalah sehingga dianggap tempat itu tempat kutukan. Menariknya, ketika merampas tabut Allah, mereka memasukkan tabut Allah ini ke kuil Dagon. Mereka bukan masukkan tabut tersebut misalnya ke museum lalu dipajang dan dipamerkan, tapi mereka memasukkannya ke kuil Dagon. Mengapa? Karena mereka juga mau menyembah Yahweh. Inilah satu-satunya alasan mereka memasukkan tabut allah itu ke kuil Dagon, karena kalau bukan mau disembah, ngapain dimasukkan ke kuil Dagon?? Jadi mereka ini mau menyembah Yahweh juga. Mereka ini sangat welcome dan sangat bisa menyembah Yahweh, as long as what? As long as Yahweh lebih rendah daripada Dagon. Selama Yahweh lebih rendah daripada Dagon, mereka welcome, mereka bisa sembah juga, toh mereka ini politeis, bukan monoteis; mereka memang menyembah dewa-dewa, jadi tambah satu lagi, no problem, yang penting Dagon nomor satu, sehingga kalau Yahweh nomor dua, ya, tetap sembah saja.
Kalau mau jujur, inilah kondisi kita juga hari ini; baik di dalam Kristen maupun juga non Kristen, sama saja. Dalam kepercayaan yang menyembah banyak dewa, tambah satu lagi juga no problem, fine-fine saja, apalagi kalau terima Yesus bisa diampuni, dosa dihapuskan. Ini win-win, menguntungkan, jadi ya sudah, tidak apa-apa menyembah saja as long as Dia bukan Tuhan yang menggantikan segala-galanya, Dia bukan yang satu-satunya, Dia bukan yang paling tinggi, Dia bukan yang Raja; as long as Dia di bawah, atau paling tidak one among many, ya sudah, tidak apa-apa, sembah saja. Namun sedihnya, di dalam Gereja juga sama. Mau saya ibadah? Oke, no problem. Mau saya memberikan persembahan? Oke, ‘gak masalah. Mau saya hari Minggu ke gereja? Tidak masalah. Mau saya memberikan perpuluhan? No problem. Tapi, semuanya as long as Yesus bukan di posisi yang paling tinggi, selama Yesus tidak mengganggu idola saya, selama Yesus tidak mengganggu karier saya, uang saya, reputasi saya, kenyamanan saya, kesenangan saya, kebebasan saya, intelek saya, tradisi saya –selama Yesus itu tidak menyentuh dan mengganggu my highest idol– welcome, saya akan menyembah. Namun di dalam kesaksian Alkitab cukup jelas, if Jesus is not The Lord of all, He is not The Lord at all; kalau Tuhan bukan Tuhan atas segala-galanya, Dia bukan Tuhan.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kalau kita menyembah Yesus, itu bukan true devotion jika tidak sungguh-sungguh mau menaruh Dia di posisi paling atas, menjadi satu-satunya, menjadi Raja atas kita. Kalau kita tidak mau menyembah Yesus yang demikian, then don’t! Lebih baik kita menolak Dia. Kalau kita bilang, ‘Tuhan, saya tidak mau menaruh Engkau jadi yang pertama, yang paling penting, yang satu-satunya, yang mengontrol hidup saya’, ya sudah, berhenti saja, daripada kita memasukkan Yesus ke kuil dagon kita masing-masing, idola kita masing-masing. Kalau kita memasukkan Yesus ke dalam kuil dagon kita, God will destroy us, He will absolutely destroy us, sama seperti Dia menghancurkan Dagon. Tuhan tidak memaksa kita ‘kan, Tuhan tidak todongkan pistol ke kepala kita untuk harus percaya ‘kan. Tuhan bilang, “Here I am, Saya datang sebagai Raja, mau tidak?” Kalau tidak mau, bilang saja ‘no, saya tidak mau’; dan kita harus doakan orang itersebut lagi, kita harus introspeksi lagi. Kalau kita bilang ‘ya, welcome’, tapi kemudian kita memasukkan Dia ke dalam kuil dagon kita, ke dalam idola-idola kita, hati-hati; ketika tabut Allah dimasukkan ke kuil Dagon, yang terjadi adalah Dagon dihancurkan, orang-orang Filistin dihancurkan.
Di dalam Kekristenan ada gambaran Yesus yang mengetuk; dan setiap kali hal tersebut digambar atau dilukiskan, Yesus-nya kelihatan panjang sabar, loving kindness, senyum, mau menerima. Lukisan itu sebenarnya didasarkan dari kitab Wahyu pasal 3, di mana Dia mengatakan, “Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk”. Tapi kita sering kali lupa, bahwa pasal 3 itu adalah peneguran terhadap Gereja Laodikia, “Kamu itu suam-suam kuku, kamu tidak dingin, tidak panas, maka Aku memuntahkan kamu”. Maksudnya apa? Maksudnya, ketika Yesus mengetuk, Dia datang sebagai Tuan —Tuan rumah. Yesus panjang sabar? Pasti panjang sabar. Yesus mengasihi? Pasti sangat mengasihi. Tapi ketika Dia mengetuk dan masuk, Dia itu bukan salah satu, kita bukan lagi tuan rumah atas diri kita sendiri, Dia menjadi Tuan rumahnya. Dan, Alkitab menyatakan, kalau kita tidak mau, ya sudah, tidak apa-apa, kita boleh menolak, semua orang bebas melakukan apapun; tapi kalau kita bilang mau menerima Dia, jangan masukkan Yesus ke dalam kuil-kuil dagon kita.
Sama halnya juga ketika kita mempersaksikan Kristus, menginjili orang lain, kita tidak men-diskon Injil. Injil tidak boleh diobral, Injil tidak boleh ada ‘semasa promo, 30% off’. Injil tidak bisa dibilang, “O ya, ya, yang penting kamu percaya dulu dan dibaptis, lalu seterusnya ya sudah, ‘gak apa-apa, datang saja” –tidak bisa demikian. Kita katakan apa adanya, toh Injil itu undangan; kita bilang, “Yesus itu satu-satunya Juruselamat, Yesus itu satu-satunya Tuhan, Yesus itu ketika kamu percaya kepada Dia maka Dia harus menjadi Raja kamu; mau atau tidak?” Kalau mereka mau, puji Tuhan; kalau mereka tidak mau, kita doakan, kita tunggu, kita panjang sabar, tapi Injil tidak boleh kita diskon. Dan, ketika mereka mau, mereka harus tahu bahwa sekarang di dalam Kristus kita adalah ciptaan yang baru, a new devotion, a new way, a new direction; dan tidak bisa Yesus hanya salah satu atau lebih rendah daripada apapun. Inilah profession of faith kita.
Di bagian berikutnya, ayat 6-12, berulang-ulang Alkitab mengatakan tangan Tuhan itu berat di atas orang-orang Filistin; dan menarik kalau kita perhatikan bagaimana setiap kota meresponsnya. Pertama-tama, kota Asdod; di ayat 7 dikatakan tabut Allah itu tidak boleh tinggal bersama-sama dengan mereka. Mengapa? Karena kata mereka: “Sebab tangan Tuhan yang keras —tangan Tuhan yang berat itu— melawan kita dan melawan Dagon, allah kita”. Kalau demikian, apa yang harus dilakukan? Mereka kemudian berkumpul dan mengatakan bahwa tabut Allah harus dipindah. Ini menarik. Orang-orang Asdod sungguh-sungguh sadar siapa yang lebih besar, siapa yang lebih berkuasa. Mereka tahu patung Dagon sudah dipenggal, sudah kalah, sudah sujud di hadapan tabut Allah. Mereka tahu semua, effectually and logically they know. Mereka tahu ketika tabut Allah itu hadir, mereka menerima borok-borok, mereka sengsara, mereka dihukum. Tetapi, walaupun mereka tahu segala hal ini, respons mereka adalah: send God away, tabut Allah harus pergi, He has to go. Ini ‘kan aneh. Kalau kita tahu dewa orang lain itu lebih kuat daripada dewa kita, ya sudah, kita sembah dewa itu-lah, kita takluk pada dewa itu, ngapain kita send him away?? Dewa yang itu sudah menang sedangkan dewa kita sudah kalah, dan kita sekarang sengsara, kalau begitu kenapa kita ‘gak langsung menyembah dewa itu saja, selesai, beres, karena dia lebih berkuasa. Tapi bukan itu respons mereka; mereka bilang, “Send God away, tabut Allah harus diusir.”
Kenapa mereka demikian? Apakah mereka super faithful dan sudah memmbuat perjanjian darah dengan Dagon, tidak akan meninggalkan Dagon selama-lamanya, dan setia sampai mati?? Kayaknya tidak juga. Apakah Dagon pernah melakukan apapun bagi mereka? Tidak. Dagon itu idola/berhala palsu, cuma kayu. Dagon tidak pernah melakukan apa-apa bagi mereka –setidaknya di dalam Alkitab; ketika mereka melawan bangsa Israel, kemudian tabut Allah hadir, mereka takut. Coba perhatikan respons mereka, mereka tidak bilang, “For Dagon!!”; mereka bilang “For us!!” Dagon tidak ada bagian; mereka percaya diri mereka sendiri bisa menang. Tidak ada loyalitas kepada Dagon. Tapi kenapa sekarang dalam situasi sengsara seperti ini, mereka minta tabut Allah dipindah?Jawabannyagampang, yaitu karena pride, kesombongan; karena Dagon adalah pilihan mereka sendiri, ‘that is my choice’. Mereka tidak bisa melepaskan Dagon gara-gara Dagon adalah pilihan mereka; kalau mereka menyangkali pilihan mereka sendiri, itu artinya mereka harus mengaku salah –dan kita tahu, manusia paling susah mengaku salah. Kita susah mengaku salah.
Kadang-kadang orang susah menerima Injil, bukan karena mereka tidak tahu. Secara logika, secara faktual, secara analisa, secara argumen, secara apologetika, mungkin mereka sudah tahu, mungkin agama mereka ‘gak make sense juga, mungkin kehidupan mereka juga ‘gak make sense, dan mereka sadar akan hal itu, tetapi yang membuat mereka tidak bisa menerima Injil adalah karena mereka susah mengaku salah. Sangat sulit bagi kita untuk sungguh-sungguh mengakui bahwa kita ini makhluk yang hancur, bahwa semua pekerjaan kita di luar Tuhan itu seperti kain kotor, sia-sia.Kita susah mengakui ‘seluruh hidupku berpuluh-puluh tahun, yang saya lakukan adalah mengejar angin’. Kita susah menerima diri kita sebagai orang berdosa, dalam arti kita ini hancur, kita ini tidak pernah melakukan apapun yang benar. Dan kalau kita melihat Alkitab, hanya orang yang digerakkan oleh Roh Kudus, yang bisa sungguh-sungguh menerima hal ini, sungguh-sungguh bisa menerima kehancuran, kebobrokan, kesalahan kita –dan itu mendorong kita untuk menerima Yesus.
Itulah sebabnya ketika kita bersaksi, ketika kita menginjili, jangan kira kalau argumen beres maka semua beres. Semua orang inginnya sesimpel itu, yang penting logikanya beres, argumennya beres, lalu semua beres. Hamba Tuhan yang paling berharaplah kalau kayak begitu, saya juga harap seperti itu karena pekerjaan saya akan jadi jauh lebih gampang. Tapi tidak demikian. Karena apa? Karena kita angkuh, karena kita semua ada pride-nya, sudah mengerti pun tidak tentu kita bisa menerima. Kita sudah tahu salah pun, tidak tentu kita mau kembali kepada Tuhan. Yudas juga tahu dirinya salah koq, Yudas juga sangat merasa bersalah, tapi rasa bersalah dia, gulity feeling dia, tidak membawa dia kepada Yesus, tidak membawa dia kepada keselamatan yang ditawarkan di dalam Yesus; guilty feeling dia mati dalam dirinya sendiri, berhenti, itu saja, no grace –dan dia bunuh diri. Kita sungguh-sungguh perlu anugerah Tuhan; ketika kita bersaksi, itu sungguh-sungguh pekerjaan Tuhan. Keangkuhan manusia jelas sekali di dalam cerita-cerita Alkitab.
Selanjutnya, ketika mereka berkata bahwa tabut Allah harus dipindah, maka dipindah ke mana? Ke Gat. Ini menarik. Kalau kita baca tafsiran, sekilas kita bandingkan Asdod dan Gat, Asdod adalah kota pelabuhan, kota yang dekat laut, sementara Gat di atas gunung. Di dalam kitab suci Perjanjian Lama Septuaginta LXX, di ayat 6 ketika dikatakan orang-orang Filistin itu dihajar oleh borok-borok, ada ditambahkan satu kalimat, bahwa borok-borok itu datang melalui tikus-tikus yang memenuhi perahu mereka dan masuk ke daratan. Borok-borok itu datang dari perahu yang masuk ke daratan, demikian dalam versi Yunani Perjanjian Lama, tapi kita tahu penerjemahan Alkitab sering kali lebih suka dari versi Ibrani, maka kalimat tersebut dalam Alkitab LAI tidak muncul. Jadi maksudnya apa? Maksudnya, ketika mereka yang di Asdod mau memindahkan tabut Allah ini ke Gat, itu dengan kesadaran dan percaya borok-borok ini masuk melalui tikus-tikus di perahu, artinya mereka sedang mau menguji Tuhan, menguji realitas yang mereka hadapi; kalau tabut Allah sudah dipindahkan ke Gat –yang di atas gunung, jauh dari pelabuhan, jauh dari perahu-perahu, jauh dari orang-orang Asdod– dan borok-borok penghukuman ini semua berhenti, artinya semua hanyalah natural coinfidence, pas kebetulan unlucky, kena tikus, kena borok-borok. Jadi mereka tidak sepenuhnya yakin, mereka tidak sepenuhnya mengakui bahwa yang terjadi itu sungguh-sungguh dari Tuhan, ‘ini ‘kan di Asdod, ada tikus-tikus, bawa bakteri, kotor, siapa tahu kita kena bakterinya maka kita jadi begini, ya sudah, mari kita coba pindahkan tabut ke Gat; kalau di Gat orangnya fine-fine saja, ya berarti memang masalah tikuslah, bukan masalah Yahweh, it’s just a natural phenomena’. Sekali lagi, keangkuhan mereka, kesombongan mereka, menggagalkan mereka untuk mengakui bahwa itu adalah pekerjaan Yahweh, pekerjaan Tuhan.
Kita juga sama. Ketika kita sulit mengakui pekerjaan Tuhan, ketika kita sulit melihat kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita dan di dalam pekerjaan kita, kalau kita sulit mengaku bahwa apa yang sudah dilakukan dalam kehidupan kita itu adalah dari Tuhan, masalahnya mungkin bukan pada Tuhan, bukan Tuhan tidak ada, bukan Tuhan tidak menyertai. Ketika kita sulit mengakui ini adalah pekerjaan Tuhan, Tuhan yang sertai, Tuhan itu hadir –ketika kita tidak bisa “merasakan” ini– masalahnya mungkin bukan pada Tuhan, tapi di pride kita. Keangkuhan kita sendiri, kesombongan kita sendiri, kepercayaan diri kita sendiri, kebergantungan kita pada tangan kita sendiri, itulah yang menggagalkan kita untuk melihat hadirat Tuhan, pekerjaan Tuhan, penyertaan Tuhan.
Tabut Allah kemudian dipindahkan dari Asdod ke Gat; dan ketika tabut Allah hadir di Gat, langsung terjadi hal yang sama, tangan Tuhan yang berat sekali lagi turun atas mereka. Di ayat 9 dikatakan: ‘Ia (Tuhan) menghajar orang-orang kota itu, anak-anak dan orang dewasa, sehingga timbul borok-borok pada mereka”. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka langsung mengantarkan tabut Allah itu ke Ekron. Dan, ketika tabut itu tiba di Ekron, orang-orang Ekron langsung berteriak bahwa saudara-saudara mereka, orang-orang Filistin itu, sekarang mau mematikan mereka, karena ketika tabut Allah tiba di Ekron, terjadi hal yang sama juga, mereka mengalami dihajar borok-borok.
Ayat 12 dikatakan: ‘… orang-orang yang tidak mati (berarti ada yang mati), dihajar dengan borok-borok, sehingga teriakan kota itu naik ke langit.” Kalimat ‘teriakan naik ke langit’ ini yang mau saya soroti. Ini kalimat yang unik. Di dalam kitab Keluaran, ketika umat Tuhan dianiaya/ditekan, mereka teriak, dan teriakan mereka minta tolong itu sampai kepada Allah (Keluaran 2). Di bagian yang kita baca hari ini pun sama, teriakan mereka sampai ke langit, artinya sampai ke Tuhan. Jadi keduanya ini mirip. Tapi ada perbedaannya; di mana perbedaannya? Di dalam kitab Keluaran ketika umat-Nya dianiaya dan teriak, Tuhan mendengar teriakan mereka, Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya, dan setelah itu umat Tuhan dipersatukan dengan Tuhan; Tuhan menarik orang-orang Israel keluar untuk bisa beribadah kepada Dia –bersatu dengan Dia. Jadi, umat Israel teriak, Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya, lalu Tuhan dan umat-Nya dipersatukan. Sementara di bagian ini, Tuhan yang menghukum, Tuhan yang terlebih dahulu menyatakan kemuliaan-Nya, orang-orang itu teriak, dan kemudian Tuhan dipersatukan kembali dengan umat-Nya, tabut Allah dikirim kembali ke Israel. Dalam kedua bagian Alkitab ini, sama-sama Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya, sama-sama Tuhan dan umat-Nya dipersatukan kembali.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kita harus melihat cinta kasih dan kesetiaan Tuhan di bagian ini. Orang Israel itu ketika mereka kalah, mereka sudah mempergunakan tabut Allah dalam arti memperalat Tuhan, menghina Tuhan, dengan membawa tabut Allah ini ke medan peperangan –dan mereka dikalahkan. Mereka kalah, mereka kabur, bahkan mereka tidak membawa kembali tabut Allah itu, tabut yang menyatakan kehadiran Tuhan itu ditinggal. Dan, mereka tinggalin tabut itu selama 7 bulan, tidak ada usaha untuk mencari atau apalah, dibiarkan saja, bye-bye. Lalu apa yang Tuhan lakukan ketika orang Israel tidak peduli, meninggalkan tabut Allah begitu saja? Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya di antara bangsa Filistin supaya Dia bisa kembali kepada umat-Nya. Kita bisa lihat di sini sebab dan akibatnya, bahwa setiap kali Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya, baik di dalam bangsa Israel maupun di dalam bangsa-bangsa lain yang tidak percaya, umat Tuhan dipersatukan kembali dengan Tuhan. Ketika Yesus dalam dunia ini datang untuk mempermuliakan Allah Bapa, Yesus berkata, “Bapa, permuliakanlah Anak-Mu”, dan Allah Bapa menjawab, “Aku sudah mempermuliakan-Mu, dan Aku akan mempermuliakan Kamu sekali lagi”, dan itu menunjuk kepada salib. Ketika Yesus di atas kayu salib mempermuliakan Allah Bapa, apa yang terjadi? Orang berdosa dipersatukan dengan Tuhan.
Apa yang mau saya katakan? Ketika kita mempermuliakan Tuhan —true glorification— maka apa efeknya? Efeknya adalah: umat Tuhan akan dipersatukan dengan Tuhan –karena di dalam Alkitab ketika Tuhan mempermuliakan diri-Nya, umat Tuhan dipersatukan. Kalau kita bilang, “O, hidup saya mempermuliakan Tuhan, I glorify God; melalui saya, Tuhan, nyatakan kemuliaan-Mu”, tapi hanya kita yang diberkati, hanya kita yang bertumbuh, hanya kita yang menikmati, hanya kita dan kita dan kita saja, tidak ada persatuan antara umat Tuhan dengan Tuhan, itu glorification macam apa?? Koq sedikit berbeda dengan yang dipersaksikan oleh Alkitab? Alkitab menyatakan, ketika kemuliaan Tuhan dinyatakan, Tuhan itu kembali kepada umat-Nya. Tuhan kembali kepada umat-Nya Israel di Mesir, Tuhan –tabut Allah– juga dikembalikan kepada orang-orang Israel di bagian ini. Kita harus introspeksi ulang; ketika kita bilang, “Tuhan, saya mau mempermuliakan-Mu melalui pekerjaanku, melalui misiku, melalui gerejaku; aku mau Engkau dipermuliakan dalam setiap aspek hidupku, pelayananku”, apa yang kita lihat terjadi? Kita saja yang diberkati, atau umat Tuhan dipersatukan? Sekali lagi, Yesus sendiri ketika Dia mempermuliakan Tuhan, yang terjadi adalah umat Tuhan dipersatukan kembali kepada Tuhan.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua, memberikan kepada kita cinta kasih Kristus, supaya kita bisa taat kepada Dia, sungguh-sungguh menyatakan kemuliaan-Nya, membawa umat-Nya kembali kepada Dia.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading