Waktu kita membaca cerita Ananias dan Safira, fokus kita sering kali salah, kita gagal fokus karena kita fokus kepada hal-hal yang penulis tidak ingin jelaskan. Misalnya, kita fokus mencari tahu kenapa sih bahwa Ananias dan Safira menahan sebagian dari penjualan tanah, lalu hukumannya berat banget; kita mungkin bertanya-tanya, kalau jual tanah apakah hasilnya semua musti diserahkan kepada gereja, lalu kalau kita simpan sebagian untuk bayar pajak, untuk anak-anak sekolah entah di Harvard atau MIT, apa itu tidak boleh, dan kita bisa mati?? Atau kita fokus pada urusan membohongi Tuhan, dan kita bertanya, ngapain mereka membohongi Tuhan?? Dan seterusnya. Saya kira, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting, keliru dan misleading, sehingga auto focus kita error, sehingga kita gagal juga memahami apa yang Lukas ingin sampaikan melalui injil Lukas yang kedua ini –yaitu catatan mengenai pekerjaan Tuhan di tengah mereka, bukan lewat Yesus secara fisik melainkan lewat Roh yang sama yang menggerakkan Yesus dan sekarang menggerakkan Tubuh Yesus yang adalah Gereja– yakni catatan Kisah Para Rasul.
Lalu bagaimana kita bisa punya fokus yang benar? Kita harus bertanya apa, supaya bisa paham dengan tepat yang Lukas ingin sampaikan melalui kisah ini, tanpa kita membuang pertanyaan yang bersumber dari rasa ingin tahu tadi mengenai apa yang menggerakkan Ananias dan Safira membohongi Tuhan. Jadi dalam hal ini kita bukan membuangnya, melainkan akan meletakkannya dalam kerangka yang benar, yaitu kerangka pertanyaan hermeneutis yang tepat, kerangka pertanyaanya Lukas sendiri yang Lukas jawab; pertanyaannya adalah: ngapain Lukas menaruh bagian ini di sini, ngapain Lukas mencatat peristiwa Ananias dan Safira, ngapain Lukas menceritakannya seperti itu. Ini pertanyaan yang lebih tepat, pertanyaan yang akan menghantar kita kepada pemahaman yang lebih benar. Jadi, kita tidak bertanya ngapain Ananias dan Safira melakukan itu, melainkan bertanya ngapain Lukas cerita hal ini, dan ngapain Lukas menceritakannya begini, karena ia bisa saja menceritakannya berbeda, misalnya ceritanya lebih pendek: “Ananias dan Safira menipu Roh, lalu mati. Selesai”, tapi ngapain dia perlu bercerita soal detailnya.
Kita akan melihat hal ini dengan lebih dulu skimming seluruh cerita Lukas dalam Kisah Para Rasul; kita membaca sepintas dengan memperhatikan apa kata kuncinya. Kata kunci penting untuk melihat benang merah, kesatuan dari seluruh buku; orang-orang seperti Mortimer Adler, dalam buku “How to Read a Book” menjelaskan pentingnya melihat keseluruhan tulisan untuk paham bagian dari tulisan. Jadi kalau kita memahami bagian dari sebuah tulisan, kita tidak boleh melupakan struktur keseluruhannya, memahami parts tidak boleh dilepaskan dari memahami the whole structure; dan caranya kita memahami the whole structure adalah dengan melihat kesatuan tema dari keseluruhan buku tersebut. Kalau dalam buku Kejadian, temanya dipersatukan lewat kata toledot (riwayat), jadi buku Kejadian adalah buku riwayat atau silsilah. Lalu buku Kisah Para Rasul ini buku apa, tema besarnya apa, tema kuncinya apa, saya kira itu terkait dengan dua istilah, yang pertama “tanda” dan yang kedua “takjub” (dalam bahasa Yunani “tanda” adalah semeia, “takjub” adalah phobos). Kira-kira di bagian mana saja Lukas memunculkan secara eksplisit istilah-istilah ini, saya mencatat ada 9 bagian namun ada 10 kemunculan istilah tanda (karena ada satu bagian yang kemunculannya 2 kali).
Kemunculan istilah tanda (semeia) yang pertama ada di Kis. 2:19. Di sana dikatakan: Aku akan mengadakan mukjizat-mukjizat di atas, di langit, dan tanda-tanda ajaib di bawah, di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap.Ini adalah perkataan yang dikutip Petrus. Ketika itu Petrus sedang bangkit berdiri bersama kesebelas rasul untuk menjelaskan kepada para peziarah yang datang ke Yerusalem untuk merayakan Pentakosta pada hari Pentakosta itu, yang melihat para rasul berbicara dengan glosolalia. (Sebagaimana saya sudah jelaskan, glosolalia bukan sekadar bicara aneh-aneh yang tidak dimengerti, melainkan kebalikannya, berbicara yang justru anehnya adalah kita bisa mengerti, bahkan kita mengerti seakan-akan ibu kita yang menjelaskan pakai bahasa ibu, kalau kamu orang Jakarta maka pakai bahasa Betawi sehari-hari, kalau kamu orang UK maka pakai bahasa Inggris, dst.). Kepada mereka yang mengatakan rasul-rasul ini mabuk, Petrus menjelaskan bahwa tidak demikian, ini selaras dengan nubuatan Nabi Yoel, “Di bumi akan ada semeia, dan semeia ini dinyatakan di depan mata kamu”. Dalam hal ini, semeia-nya adalah mukjizat pengertian, mukjizat hermeneutis, dari tidak mengerti jadi mengerti, dari ‘gak ngeh jadi ngeh. Kamu pasti pernah mengalami mukjizat itu; kalau kamu dari kecil Kristen dan sampai sekarang sudah tua masih Kristen, kamu mungkin menyadari, ‘O, pada saat saya usia 13, saya mendadak ngerti, waktu usia 17 saya mendadak ngeh, waktu usia 23 saya mendadak bisa melihat; I was blind but now I see, I got it’. Pasti ada momen-momen itu dalam hidupmu, yaitu kamu menangkap apa itu Injil. Mukjizat inilah yang terjadi pada Hari Pentakosta itu, they got it, mereka akhirnya mengerti, itu yang sedang terjadi di tengah kita bahwa Kerajaan Allah datang di dalam Yesus.Itulah semeia yang pertama.
Semeia yang kedua ada di Kis. 2:43, dalam deskripsi Lukas mengenai cara hidup jemaat mula-mula. Cara hidup jemaat mula-mula ini adalah secara sosialis ala Israel sebagaimana Tuhan anjurkan melalui Musa. Dalam Taurat Musa dianjurkan untuk mereka hidup bersama, berbagi resources —mereka hidup secara sosialis. Ini bukan sosialis ala Henri de Saint-Simon, bukan sosialis ala Karl Marx, bukan sosialis ala komunis hari ini, melainkan sosialis ala Taurat, yaitu mereka saling menolong, sehingga yang berkelebihan tidak kelebihan, yang berkekurangan tidak kelaparan, ada cukup bagi mereka semua; mereka dibebaskan dari penjara, baik penjara keserakahan ataupun penjara kemiskinan, untuk hidup bagi Tuhan. Itulah yang diceritakan Lukas dalam Kis. 2:41-47; dan di ayat 3 muncul semeia yang kedua: ketika rasul-rasul mengadakan banyak mukjizat dan tanda (semeia), mereka takjub.
Kembali sedikit ke semeia yang pertama; semeia pertama ini hasilnya apa? Semeia pertama ini –ada tanda-tanda di bumi, ada gumpalan asap dsb.– hasilnya adalah pasal 2:21, mereka berseru kepada nama Tuhan, dan diselamatkan.Jadi hasilnya adalah: mereka menyadari situasi mereka, mereka berseru minta tolong kepada Tuhan, dan Tuhan menolong. Semeia pertama ini oleh Tuhan sendiri dalam sebuah nubuatan, tidak dijelaskan melalui apa; sedangkan semeia kedua dijelaskan melalui rasul-rasul yang mengadakan tanda –seperti Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Paulus di kemudian hari, juga Apolos, Barnabas, termasuk Stefanus (diakon)– dan hasilnya: mereka takjub, phobos.Dalam hal ini terjemahan bahasa Indonesia TB 1974 dikatakan ‘…ketakutanlah mereka sementara rasul-rasul mengadakan banyak mukjizat dan tanda’, sementara dalam terjemahan TB 2: ‘… ketakjuban melanda semua orang’; dan dua-duanya benar karena phobos bisa diartikan teror, bikin gemetar, tapi juga bisa diartikan takjub, awe. Waktu kamu dalam kondisi awe, kamu melongo; dan orang melongo itu kehilangan kontrol sepenuhnya, dia tidak bisa mengontrol respons-responsnya, karena yang ada di hadapannya itu besar banget –itulah yang namanya takjub. Ini seperti orang takjub melihat pesulap. Pesulap itu defying your expectation akan normal things, maka pesulap membuat kita takjub. Misalnya dia berbaring di meja itu, bagian bawah meja kelihatan, juga samping kiri kanan semua kelihatan, bisa dilewati hula hoop tanpa ada penghalang apapun, tidak bisa menyembunyikan apapun, lalu tiba-tiba gergaji mesin turun “grekkk…!” membelah dua, dan semua orang tercekat, sementara di balik kain kelihatan si pesulap lemas lunglai; tapi waktu kain diangkat, ternyata dia masih hidup –dan semua orang takjub, dipenuhi dengan awe. Bukan hanya pesulap yang bikin takjub, tapi juga orang yang pintar banget; misalnya seorang profesor menjelaskan Teorema Fermat yang terakhir sampai memenuhi 40 papan tulis, lalu setelah semua selesai, kelas jadi hening, jarum jatuh pun kedengaran karena semua orang jaw dropped, “Haaahh… gitu doang?? Buset, luar biasa, kita ‘gak kepikir dalam 200 tahun belakangan..” –kira-kira begitu, mereka awe, terpesona oleh kehebatan profesor Matematika itu.
Tetapi semeia yang kedua ini mereka bukan terpesona oleh pemecahan matematis, mereka terpesona karena apa yang dikerjakan para rasul; dan yang dikerjakan para rasul menghasilkan kemurahan hati dalam diri orang yang terpesona itu. Hal ini sekaligus membuat kita bisa discerning bahwa tanda yang sejati bisa dilihat dari ‘menghasilkan apa pada kita’. Kalau hasilnya cuma terpesona-terpesona doang, “Wuihh.. gila.. hebat!” kemudian menjadi semacam rumor yang menyebar bahwa pendeta itu hebat bisa membangkitkan orang mati, lalu that’s it, maka itu bukan tanda yang sejati dari Tuhan. Tanda yang sejati, menghasilkan salah satunya cara hidup sebagaimana jemaat-mula-mula, yaitu ada kemurahan hati, ada kebebasan, ada kebenaran (righteousness), ada segala yang baik. Jadi, takjub kepada Tuhan, takjub akan yang dikerjakan Tuhan melalui rasul-rasul, tidak berhenti pada takjub saja. Kalau berhenti pada takjub saja, itu sama seperti para pengikut dukun-dukun Mesir yang takjub pada dukun-dukun itu, atau seperti imam-imam kerajaan Inca, Maya, Sumeria, dst., yang kepadanya mereka takjub, paling jauh hanya takut, gemetar, dikuasai oleh religious authority, itu saja, selesai –dan itu tidak hanya positif, ada negatifnya juga. Namun dalam kisah ini, mereka dipenuhi ucapan syukur, dipenuhi kemurahan hati. Mereka melakukan Taurat, hukumTuhan itu, “kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri; kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu”. Itulah yang mereka lakukan, sesederhana itu.
Semeia yang ketiga ada di Kis. 4:30, dalam doa Petrus dan Yohanes setelah dilepaskan tua-tua Yahudi yang mengancam mereka. Tua-tua Yahudi ini menangkap Petrus dan Yohanes yang mengabarkan Injil Yesus, mengabarkan datangnya Kerajaan Allah melalui Yesus, mengancam sampai dua kali, tapi akhirnya mereka dilepaskan karena tua-tua ini tidak melihat ada ngefek-nya. Petrus dan Yohanes lalu berdoa bersama rasul-rasul yang lain; dan dalam salah satu doa, mereka meminta Tuhan “… adakanlah tanda dan mukjizat dalam nama Yesus, Hamba-Mu yang kudus”. Lalu apa hasilnya? Hasilnya adalah seperti dikatakan di ayat 31, mereka memberitakan Firman Allah dengan berani. Jadi, hasilnya bukanlah mereka bisa bikin yang orang lain tidak bisa bikin, suatu kejadian yang luar biasa, yang jarang-jarang terjadi, lalu dibanding-bandingkan —mana ada gereja yang bikin begini, mana ada rasul yang lain bikin begini, dukun-dukun Mesir mana bisa bikin begini, dst. Tidak demikian. Memang benar yang dilakukan mereka itu, dukun Mesir tidak bisa, tapi penekanannya bukan ‘kita hebat, lebih hebat dari mereka’ melainkan mereka memberitakan perkataan Tuhan, memberitakan datangnya Kerajaan Tuhan di dalam Yesus. Itulah hasilnya, keberanian menjadi saksi dari datangnya Kerajaan Allah. Hasilnya bukan menjadi sombong, bukan menjadi pe-de, melainkan menjadi berani –berani untuk bersaksi.
Semeia yang keempat, dalam Kis 5:12, dikatakan: ‘Banyak tanda dan mukjizat dibuat rasul-rasul di antara orang banyak. Semua orang percaya selalu berkumpul di serambi Salomo dalam persekutuan yang erat.’ Ini tanda dan mukjizat yang menyusul cerita “Ananias dan Safira”, dan perlu kita perhatikan. Kenapa? Karena cerita “Ananias dan Safira” harus ditaruh dalam kerangka seluruh struktur injil Lukas yang kedua (Kisah Para Rasul), bahwa seluruh Kisah Para Rasul bercerita mengenai tanda dan mukjizat yang kemudian menghasilkan apa. Tanda dan mukjizat yang keempat ini menghasilkan sebagaimana yang kita baca dalam ayat 12b, 13, 14, yaitu mereka bersekutu dengan erat. Jadi setelah melihat tanda dan mukjizat yang dibuat rasul-rasul, tidak berhenti pada takjub secara pribadi lalu selesai, melainkan mereka bersekutu; ketakjuban itu menghasilkan persekutuan.
Omong-omong, ini terjadi juga dalam kehidupan kita waktu kita takjub pada orang-orang hebat atau narasi-narasi dunia ini, sama-sama menghasilkan persekutuan. Contohnya orang-orang yang takjub akan kelihaian Elon Musk dalam berbisnis, dalam mensponsori inovasi teknologi, mereka berkumpul bersama dalam persekutuan yang erat, yang saling membela, saling mendukung, saling menyemangati, saling membiayai, saling berkorban, saling melayani, dst., di SpaceX, di Boring Company, barangkali di Twitter yang sekarang sudah jadi X, dan seterusnya. Mereka berkumpul bersama dalam takjub akan hebatnya bos mereka, yang bisa brokering power dan popularity dan opinion, menghasilkan aliran dana untuk mereka mewujudkan misi dan visi mereka mengirim manusia ke Mars, bikin hyperloop, dst., dst. Anda juga bisa mengatakan hal yang lain mengenai Bill Gates, mengenai orang-orang hebat lain, para raksasa yang membangun kota. Fascination kepada mereka, menghasilkan persekutuan yang erat –orang-orang yang berkumpul di bawah logo Trump misalnya, atau American Dream, atau Nazi Germany, atau apapun yang lain. Mereka yang takjub, mereka yang terinspirasi, mereka yang merasa kepingin hidupnya sehebat itu tapi tidak bisa bahkan terpikir pun tidak, lalu melihat dengan mata kepala sendiri tanda –mukjizat dan tanda– yang dilakukan orang-orang hebat, hasilnya sama: persekutuan yang erat; namun ini persekutuan yang menghasilkan kehidupan jenis apa, itu cerita lain. Kita juga sama, sebagai orang-orang yang takjub pada pekerjaan Tuhan di tengah kita, menghasilkan persekutuan erat yang menghasilkan dunia macam apa di tengah kita?
Anyway, dalam cerita bagian ini persekutuan erat mereka menghasilkan: orang lain respek kepada mereka. Respeknya ada dua sisi; di satu sisi, tidak berani menggabungkan diri (ayat 13a), namun di sisi lain makin lama makin bertambah jumlah yang percaya kepada Tuhan (ayat 14a). Menarik di sini, yang tidak berani menggabungkan diri itu kenapa? Ada dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, mereka melihat orang-orang ini dianiaya, dipinggirkan, dimusuhi, maka mereka tidak berani menggabungkan diri; sepertinya demikian karena dalam pasal 2-4 diceritakan bahwa Petrus dan Yohanes, juga rasul-rasul yang lain, mendapatkan perlawanan –selain juga penerimaan– sehingga mungkin mereka melihat konsekuensinya yang membuat mereka tidak berani, karena takut pada orang Yahudi dan takut pada pemerintah Roma juga, itu sebabnya mereka tidak berani menggabungkan diri, mereka takut membayar harganya. Namun saya kira ada juga alasan yang kedua, yaitu mereka takut karena melihat bahwa bergabung dengan orang-orang ini bukan hanya mereka melihat hasilnya adalah orang lumpuh bisa berjalan, orang buta bisa melihat, tapi juga pembohong jadi mayat, orang-orang yang berusaha mendirikan citra hebat tertentu secara sosial malah mengalami dibongkar aibnya lalu mati karena syok.
Semeia yang kelima, yaitu di Kis. 6:8, peristiwa tentang Stefanus. Stefanus adalah seorang diaken; diaken biasanya digambarkan sebagai pelayan Gereja yang seakan-akan stratanya tidak terlalu bergengsi, sehingga Gereja tertentu yang hanya memberikan gengsi kepada laki-laki, mereka memberikan posisi ini kepada perempuan juga. Stefanus itu diaken, bukan penatua, bukan pendeta, bukan rasul, tapi Stefanus penuh dengan anugerah, penuh dengan kuasa, dan Stefanus mengadakan mukjizat serta tanda juga di antara orang banyak (jadi bukan hanya Tuhan, bukan hanya Yesus, bukan hanya rasul, tapi juga diaken, yang mengadakan mukjizat dan tanda). Lalu apa hasilnya? Hasilnya: mereka menyergap Stefanus, menyeretnya ke hadapan Mahkamah Agama, memfitnah, dan pada akhirnya membunuh dia.
Semeia yang keenam, yaitu di Kis. 7:36, semeia yang dibikin sendiri oleh Yahweh di antara orang Israel melalui Musa. Ini adalah semeia dalam bentuk orang Israel dibawa keluar dari Mesir. Mereka melihat 10 tulah, mereka melihat Laut Teberau dibelah, mereka berjalan di tanah yang kering, mereka dibawa keluar dari cengkeraman Firaun oleh tangan Tuhan yang teracung dan kuat. Lalu apa hasilnya? Hasilnya dikatakan di ayat 43: “… malahan kamu mengusung justru kemah Molokh dan bintang ilahmu, Refan, patung-patung yang kamu buat itu untuk disembah.” Mereka bikin patung lembu emas, mereka minta pulang ke Mesir gara-gara hal sepele seperti tidak ada timun di padang gurun, tidak ada daging, bawang, dsb.; dan itu juga hasil dari Tuhan mengadakan mukjizat dan tanda. Jadi, mukjizat dan tanda bukan hanya menghasilkan takjub pada Tuhan, berani bersaksi, menjadi seperti Stefanus, dst., dst., tapi juga menghasilkan ketidakpercayaan, pembelotan, pemberontakan, pembangkangan kepada Tuhan. Dan dalam hal ini khotbah Stefanus tentu dimaksudkan untuk menyikut orang-orang Israel yang pada akhirnya membunuh dia itu. Jadi semeia kelima dan keenam ini sehubungan dengan Stefanus.
Semeia yang ketujuh adalah sehubungan dengan pelayanan Filipus di Samaria, dan sehubungan dengan orang yang tidak mengenal Tuhan, bukan orang Israel, yaitu Simon si tukang sihir atau dukun. Di sini muncul dua istilah semeia, yaitu di pasal 8 ayat 6 dan ayat 12-13. Semeia ini ditujukan kepada Filipus. Filipus ini melayani di Samaria, menghasilkan banyak mukjizat dan tanda, menghadirkan ketakjuban, tapi juga salah satunya ketakjuban dari seorang dukun bernama Simon, yang kemudian ingin membeli kekuatan tersebut. Dia bilang: “Hebat banget lu bisa gitu, gua juga mau dong, beri gua kekuatan itu, gua bayar deh”, dst. Tentu ini bukan repons yang baik, karena ingin menunggangi segala takjub dan segala social power yang dihasilkan oleh takjub, walaupun kekuatannya dari Tuhan. Dan, itu pun respons dari semeia atau tanda.
Semeia yang kedelapan, dalam Kis. 14:3, yaitu semeia yang terjadi dalam pelayanan Paulus dan Barnabas. Ketika itu Paulus dan Barnabas pergi ke suatu rumah ibadah (sinagoge) di Ikonium, lalu mereka mengadakan banyak mukjizat dan tanda. Lalu apa yang jadi respons? Respons atas semeia yang terjadi di Ikonium adalah polarisasi, perpecahan, orang-orang Yahudi melawan orang-orang Yahudi, orang-orang Yunani melawan orang-orang Yunani.
Yahudi lawan Yunani tadinya adalah polar pertama; orang Yunani mungkin bisa kita bandingkan kalau di zaman kita adalah orang-orang asing, katakanlah orang Barat, sementara orang Yahudi adalah orang-orang yang menyebut diri “kita ini orang Timur, kita punya budaya yang beda, kita jangan sampai terpengaruh budaya Barat” –kira-kira seperti itu. Jadi biasanya polarisasinya antara Yahudi dengan Yunani, karena Yunani ingin memaksakan juga worldview mereka melalui seorang raja bernama Antiokhus Epifanes yang mewajibkan persembahan kepada dewa Zeus di altar Tuhan di Yerusalem. Dia memaksa ayah dari Yudas Makabeus mempersembahkan kurban di sana, yang kemudian menolak. Setelah itu utusan Antiokhus Epifanes menyuruh orang lain, dan orang ini mau mempersembahkan kurban kepada dewa Zeus, berupa babi, di altar Tuhan. Lalu apa yang dilakukan ayah dari Makabe bersaudara ini? Dia mencincang orang yang mepersembahkan kurban itu di hadapan Tuhan, dan melarikan diri bersama anak-anaknya ke gunung-gunung, menjelma menjadi Che Guevara dan Fidel Castro –kira-kira begitu– menjadi gerilyawan, dan meneror Yudea dengan zeal mereka, dengan kegiatan mereka membela kemurnian agama Tuhan, tidak kurang berani dan tidak kurang giat dari para Taliban di Afganistan. Usaha mereka cukup sukses. Antiokhus kewalahan, apalagi Antiokhus sebenarnya tidak kuat-kuat banget sementara Romawi sedang berjaya, sehingga hasil gerilya mereka itu sedikit banyak bersumbangsih atas akhir dari era Helenisme (era Yunani), dan mulailah era Romawi. Jadi ini diakhiri dengan Pompeii berkuasa mengakhiri era tersebut, dan meng-instal Herodes di daerah Yudea sebagai raja yang baru. Itulah sedikit latar belakang bagaimana orang Yahudi dan orang Yunani tadinya berperang, mereka betul-betul seperti golongan kanan dan kiri, seperti golongan pro-Barat dan anti-Barat di negara-negara bekas kolonial –dan kemudian mereka bisa bersatu melawan Kristen. Kenapa? Karena hasil dari semeia nomor 8 tadi, mereka –baik orang Yahudi maupun orang Yunani– bersatu melawan Paulus dan Barnabas, melawan Kerajaan Allah.
Semeia yang kesembilan, yaitu Kis. 15:12. Ini cerita khotbah Petrus yang memberitakan pekerjaan Tuhan di rumah Kornelius, kepala pasukan Italia itu, yang di sana Roh menyuruh Petrus masuk ke rumah sang panglima. Bagi kita ini sesuatu yang normal saja, apa susahnya masuk ke rumah orang yang beda suku, beda bangsa, namun bagi orang Yahudi itu sesuatu banget, karena orang Yahudi tidak boleh masuk ke rumah yang najis –dan rumah Kornelius hampir dapat dipastikan najis karena dia bukan orang Yahudi. Petrus sebelumnya diberikan suatu penglihatan dari Tuhan, dia disuruh makan binatang yang haram, dan Petrus protes kepada Tuhan, “Saya ‘gak makan beginian… “, dst. –jadi bisa dikatakan Petrus lebih puritan daripada Tuhan– dan Tuhan kemudian mengatakan, “yang dinyatakan halal oleh Tuhan, jangan engkau katakan haram”, dan itu mengawali masuknya Kerajaan Allah kepada orang-orang bukan Yahudi. Ini adalah kesaksian Petrus dalam sidang di Yerusalem. Sidang Yerusalem ketika itu mencoba menegosiasikan mengenai harus diapakan orang-orang tak bersunat di dalam Gereja, lalu Paulus bersaksi, Petrus bersaksi, dan Yakobus kemudian menyimpulkan. Dalam kesaksian itu, Paulus dan Barnabas menceritakan soal semeia nomor 8 tadi –jadi ini kemunculan istilah semeia dalam peristiwa Sidang Yerusalem, Kis. 12:15– dan apa hasilnya? Hasilnya adalah kesepakatan dari Sidang Yerusalem, yang membuat Gereja punya masa depan. Jadi ada way forward untuk Gereja tidak lagi terpecah-belah ataupun mandek karena pertanyaan ‘harus diapakan orang Kristen non-Yahudi’, suatu pertanyaan yang tidak pernah di-address oleh Yesus sendiri secara langsung sebab Yesus kebanyakan melayani domba-domba di kalangan Israel, walaupun bukan berarti Dia tidak melayani di luar itu. Para pengikut Kriesten mula-mula kebanyakan orang Yahudi sehingga tidak ada pertanyaan mengenai ‘harus diapakan orang Kristen non-Yahudi’ di tengah mereka, namun pertanyaan itu semakin genting ketika semakin banyak populasi orang Kristen non-Yahudi. Dan pada akhirnya, dalam Kis.15 sidang di Yerusalem itu ada way forward karena ada tanda/semeia nomor 9 ini.
Sekarang kita simpulkan: tanda-tanda tersebut ada 9 kali kemunculan secara peristiwa, dan 10 kali kemunculan secara istilah; lalu bagaimana kita framing peristiwa Ananias dan Safira sehingga kita bisa memahaminya seturut dengan maksud Lukas? Saya kira, bahwa tanda-tanda itu menghantar datangnya Kerajaan Allah. Ananias dan Safira ketika membohongi Roh Kudus, mendustai Tuhan, kemudian hukumannya begitu cepat dan begitu berat, ini juga menjadi tanda.
Kita lihat dalam Kis. 2, setelah Pentakosta, orang-orang percaya hidup bersama, dan itu membuat begitu banyak orang tertarik, Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang-orang yang diselamatkan (ayat 47) –jadi ketakjuban akan tanda, menghasilkan perkumpulan tersebut jadi menarik. Hal ini diulangi lagi dalam Kis.4:30, yang menceritakan bagaimana orang-orang percaya yang berkumpul itu jadi berani memberitakan Firman Allah. Diceritakan lagi dalam ayat 32-36 bahwa mereka sehati sejiwa, hidup bersama berbagi resources; dan salah satu contoh yang berbagi resources adalah Barnabas. Dia ini nama aslinya Yusuf, tapi lebih dikenal oleh pembaca Kisah Para Rasul dengan nama Barnabas; jadi ini indikasi bahwa Lukas mau bicara kepada komunitas yang lebih kenal dengan nama Barnabas ketimbang nama Yusuf. Yang mau dikatakan, bahwa nama Barnabas ini dari kata bar artinya anak, barnabas artinya anak penghiburan, dan alasannya dia disebut anak penghiburan adalah karena kehadirannya menghibur banyak orang, membuat banyak orang memuji Tuhan. Kenapa? Karena dia menjual ladang miliknya dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul –karena dia murah hati. Jadi, signs and wonder menghasilkan kemurahan hati dalam hidup Barnabas, yang membekas dalam sejarah umat Tuhan –dan itu dikontraskan dengan apa yang dilakukan Ananias dan Safira. Ananias dan Safira tidak seperti Barnabas, tapi Ananias dan Safira kemungkinan –kalau Saudara tertarik dengan pertanyaan ‘ngapain mereka membohongi Tuhan, ngapain mereka mengaku-ngaku sudah memberikan seluruhnya padahal tidak’– ingin dikontraskan dengan Barnabas. Jadi, ini ingin dikontraskan dengan semeia nomor 3, dan ini juga menjelaskan semeia nomor 4.
Barnabas adalah orang yang begitu murah hati sehingga dia menjual ladang miliknya dan membawa uangnya lalu meletakkannya di depan kaki rasul-rasul. Kalau Saudara membaca Injil, Saudara pasti ingat motif ini: “menjual milikmu, membagi-bagikannya kepada orang yang membutuhkan”; ini motif apa? Jangan langsung buru-buru kita kaitkan dengan kapitalisme, sosialisme, hukum mengenai pertanahan, dan segala macam lainnya; jangan demikian, karena itu concern kita, bukan concern Lukas. Di dalam Injil, Yesus juga pernah mengatakan hal itu kepada seorang sukses, seorang tua-tua Yahudi yang datang kepada Yesus (dia masih muda), dan bertanya, “Guru, apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” kemudian jawaban Yesus: “Juallah segala milikmu, berikanlah kepda orang miskin, dan ikutlah aku”, lalu orang itu pergi karena miliknya banyak. Sekarang dalam injil Lukas yang kedua ini, diceritakan ada orang yang dipikat oleh takjubnya kepada Tuhan, yang melakukan persis seperti yang Yesus katakan kepda orang muda sukses tadi. Ini tentu saja jangan langsng dikaitkan dengan ‘wah, saya ini sukses, saya punya sahamnya Apple 30%, jadi saya harus jual lalu sumbang ke GRII Kelapa Gading’ –jangan ya, nanti jadi rusak juga kalau gereja punya 30% sahamnya Apple– melainkan bahwa hal itu ada kaitannya dengan Injil; dan dalam penceritaan Injil, datangnya Kerajaan Allah memerdekakan kita untuk menjadi manusia, untuk menjadi sesama bagi sesama, untuk melakukan perintah Tuhan yang pada dasarnya cuma dua hal yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Dan, hal itu dilakukan secara spontan, secara gembira, secara bukan menyangkal diri dan penuh gerutu, kepahitan, serta segala kebanggan diri, oleh Barnabas.
Barnabas melakukannya dengan spontan saja, sukarela, biasa saja; dan itu kelihatannya menghadirkan sesuatu dalam hati Ananias dan Safira, mungkin rasa malu, mungkin rasa terintimidasi, mungkin rasa iri akan gelarnya Barnabas, mungkin rasa ingin bersaing, dst., sehingga Ananias dan istrinya bersepakat menipu Tuhan. Lalu hasilnya adalah ketakjuban kepada Tuhan juga, karena Tuhan membongkar di hadapan semua orang ‘siapakah semua orang di hadapan semua orang’ –karena human action seperti dikatakan Hannah Arendt dalam “The Human Condition” menyatakan di hadapan semua orang, siapakah anda. Siapakah kamu, saya, dia, mereka, itu menjadi nyata di hadapan semua melalui tindakan kita. Mengetahui kamu itu siapa, tidak bisa hanya dengan mengamati motif-motif internal kamu, cara pikir kamu, ideologi kamu, profil emosi kamu, temperamen kamu, melainkan dengan melihat tindakan-tindakan kamu. You are what you’re doing, you are what you’re doing everyday, you are what your way of life; your praxis itulah diri kamu. Praksis hidup Barnabas adalah praksis hidup yang menyatakan datangnya Kerajaan Allah –dan demikian juga orang-orang yang lain. Ananias dan Safira mencoba meng-copy itu untuk efek yang berbeda, barangkali seperti yang dilakukan Simon si tukang sihir yang berusaha meng-copy fenomena dari kuasa roh; dan hasilnya tentu adalah kepalsuan.
Tuhan berespons juga akan hal itu dan menghadirkan mukjizat, yang menghasilkan persekutuan yang erat namun sekaligus perasaan hormat/segan dari orang banyak. Ini berbeda dengan perasaan yang muncul dari orang banyak di dalam Kis.2:47 tadi yang mengenai orang-orang percaya berkumpul untuk hidup bersama, dan menghasilkan ‘mereka disukai semua orang’, karena di sini tidak dikatakan bahwa hal itu menghasilkan ‘mereka dihormati semua orang’, atau ‘ada orang yang tidak berani menggabungkan diri dengan mereka’; sementara dalam bagian ini dikatakan begitu. Jadi, peristiwa Ananias dan Safira, saya kira musti dipahami dengan kacamata ini, yaitu kacamata “tanda-tanda yang dikerjakan Tuhan di tengah umat-Nya”, yang menghadirkan sejenis opini publik mengenai orang Kristen, yang bukan hanya bahwa ini orang-orang yang menyenangkan, fun, tidak berbahaya, tidak perlu kamu curigai, mereka domba-domba yang jinak, dst. –bukan hanya itu– tapi juga in other sense adalah orang-orang yang menyeramkan, perkumpulan yang dangerous juga, dan dengan demikian ini perkumpulan yang penting juga –karena kita cenderung menghina orang-orang dan perkumpulan yang aman.
Kita ini sambil sayang, sambil merasa aman, sambil merasa senang, sambil sedikit menghina. Contohnya, kalau kamu jadi guru –guru yang kayak saya– yang tidak tega beri nilai jelek,tidak tega memarahi dengan kata-kata pedas, maka anak-anak cenderung ngelunjak, cenderung tidak menghormati; dan saya mau jengkel, tidak bisa juga, karena saya bawaannya tidak terlalu peduli –tapi makin tua, saya jadi jengkel juga kalau anak-anak tidak dengerin. Hal ini menyatakan kepada kita, bahwa orang-orang yang tidak berbahaya, orang-orang yang tidak menimbulkkan perasaan segan, mungkin kita suka, tapi juga kita tidak hormat terhadap mereka, dan dengan demikian mereka tidak berguna juga buat kita, khususnya tidak berguna untuk menegur kesalahan atau memperbaiki kelakuan atau untuk mengubah diri kita ke arah yang baik. Jadi, saya kira itu juga ada tempatnya, walaupun tentu tempatnya tidak seperti dalam dunia ini bahwa itu satu-satunya jalan karena dikaitkan dengan dominasi, dengan menguasai, dengan social control, dst. Dalam dunia ini, orang saling mengontrol, saling berusaha menguasai, lewat menakut-nakuti, mempermalukan, membikin rasa bersalah; dan saya kira, kita orang Kristen harus meninggalkan semua jurus itu, kita harus membiarkan Tuhan menyucikan kita dari segala hasrat berkuasa itu. Karena apa? Karena panggilan kita bukan berkuasa dengan menundukkan lewat ketakutan atau manipulasi –seperti Floki si anjing viral menundukkan anjing-anjing galak lain dengan mengintimidasi, dengan digonggong-gonggongin sehingga tidak berkutik– itu bukan pada tempatnya bagi orang Kristen. Kita orang Kristen jangan menakut-nakuti orang, dengan kita geremin, dengan kita pelototin. Panggilan kita bukan untuk bikin takjub dan bikin takut, karena itu adalah takut akan manusia yang justru mendorong Ananias dan Safira berdosa.
Ananias dan Safira merupakan satu contoh bagi kita untuk kita boleh takut pada hal ini: takut kepada ‘takut akan manusia’. Ini adalah takut yang cukup menakutkan, karena kalau kita takut kepada manusia maka dua hal: kita tidak bisa mengasihi Allah, dan kita tidak bisa mengasihi mereka. Kamu tidak bisa mengasihi orang yang kamu takut kepadanya, kalau takutnya itu adalah takut kamu dipermalukan, takut kamu dijahati, takut kamu dimanipulasi, dibikin susah hidupnya, dijelek-jelekkan namanya di depan semua orang, menggiring opini, dst.; those kind of fear of human beings bikin kamu incapable of loving those kind of human beings. Jadi kita perlu untuk tidak menghidupi narasi itu, karena dalam narasi itu jalan buntu, tidak ke mana-mana —saya takutin kamu lalu kamu takutin saya, saya gertak kamu kalau kamu kurang takut sama saya– kurang lebih samalah seperti anjing gonggongin anjing lain.
Hal ini sangat membukakan mata waktu saya melihat karier dari si anjing Floki tadi lewat gonggong-gonggongan, lewat intimidasi-intimidasian yang entah apa, ‘lu naik Bajaj, gua naik Robicon; lu temannya cuma tetangga lu, teman SD lu, teman gua jendral, jadi gua ngomong hal yang bodoh-bodoh pun lu akan manggut-manggut; teman gua profesor, jadi gua punya argumentasi bolong-bolong logikanya pun lu tetap menghormati karena gua selfi sama Profesaor A, dan B, dst.’ Saya dulu pernah tergoda kalau mengajar Worldview pakai buku “Creation Regained”-nya Albert Walters, untuk memajang foto selfie saya bersama Albert Walters; tapi waktu saya cari-cari fotonya sebelum mengajar, tidak ketemu, jadi saya pikir memang tidak bakat pakai cara-cara demikian. Saya kira, cara-cara kekanak-kanakan seperti itu dibuang sajalah, itu duniawi sekali, tidak menghasilkan apa-apa yang baik dalam Kerajaan Allah.
Cerita Ananias dan Safira memperingatkan kita akan hal itu. Ananias dan Safira terprofokasi dengan janji imannya Barnabas, yang kayaknya cetar banget, luar biasa mengagumkan, jadi anak penghiburan, sementara mereka mungkin pikir ‘kalau kita jual semuanya, lalu anak kita sekolahnya pakai apa, ya’, sehingga kemudian mereka memutuskan ‘ya sudah, kita tilep saja, lagipula ini memang punya kita juga’, tapi mereka juga pikir ‘Barnabas nyumbangnya segitu, kalau kita cuma segini, kayaknya koq tidak ada apa-apanya ya, tidak sehebat Barnabas’, maka mereka membesar-besarkan. Saya kira, ini sesuatu yang menceriminkan kita masih dibelenggu oleh takut akan manusia, seperti Edward Welch katakan, ‘takut akan manusia membelenggu kita dari mencintai mereka’. Kalau mereka masih menguasi kita dengan segala provokasi, lu itu ‘gak sepintar orang ini, lu ‘gak sedermawan orang itu, lu ‘gak sesuci orang itu, lu ‘gak seberkuasa orang itu, dst., dst., saya kira kita bisa say “No” terhadap semua itu karena Yesus tidak datang dan mati dan bangkit untuk permainan kanak-kanak seperti itu, dan permainan yang jahat pula sebetulnya.
Jadi, biarlah ketakjuban kita akan Allah, yang dihantar oleh segala tanda dan mukjizat yang dikerjakan Allah di tengah kita, boleh membebaskan kita dari takjub akan manusia atau takut akan manusia. Biarlah takjub kita hanya kepada Allah saja dan bukan kepada manusia, sambil kita mengakui manusia itu masih menakjubkan juga sebetulnya buat kita –dan itu adalah sisa-sisa dari dosa kita, dari dosa sosial kita, yang sering kali tidak di-address dalam lingkungan Gereja, khususnya Gereja Injili, karena Gereja lebih highlighting dosa-dosa yang dunia ini juga mafhumi sebagai dosa, seperti misalnya dosa seksual, dosa finansial, atau dosa apapun yang lebih kelihatan. Saya kira kita perlu melihat dengan lebih holistik, bahwa takut akan manusia juga adalah dosa, dan membawa kita kepada dosa yang tidak kalah maut –Ananias dan Safira sampai mati karena itu. Saya kira ini menjadi peringatan buat kita, bukan supaya kita takut, tapi supaya kita takjub kepada Tuhan, supaya kita berharap kepada Yesus, supaya kita boleh dibebaskan dari berharap akan tepuk tangan manusia, dari berharap tepukan di pundak dari top dog komunitas kita.
Kiranya Tuhan membebaskan kita dari hasrat-hasrat memalukan itu, hasrat-hasrat rendahan untuk dipuji bos, dst., yang saya kira itu semua membelenggu kita, mencegah kita dari jadi saksi Injil yang sejati, mencegah kita untuk mengasihi mereka juga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading