Kita perlu mengerti konteks/ latar belakang sebelum membahas bagian ini. Dalam Perjanjian Lama ada yang disebut 3 nabi besar: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel; dan ada 12 nabi kecil (Dodecapropheton). Disebut “nabi besar’ karena menulis Firman Tuhan lebih panjang daripada yang disebut “nabi kecil”, jadi bukan dilihat dari kuasanya atau seberapa pentingnya melainkan dari panjang kitab yang mereka tulis. Yehezkiel, salah satu nabi besar, dalam pasal 36 ini menubuatkan tentang pembaharuan Israel. Israel sedang di zaman pembuangan, dan dinubuatkan bahwa mereka akan kembali.
Apa sebetulnya pembuangan itu? Mengapa disebut pembuangan, padahal waktu dibuang ke negara-negara besar itu kondisi kehidupannya sama sekali tidak kalah dengan di Israel, bahkan negara-negara ini justru lebih besar daripada Israel? Contohnya kalau dalam konteks sekarang, kalau saya mengatakan: aduh, keadaan saya susah sekali, saya terbuang dari Indonesia, terbuang ke Canada; seperti itulah keadaan Israel, terbuang ke Babilonia, dsb., negara yang maju. Lalu orang mungkin bertanya: mengapa pakai istilah terbuang, apanya yang terbuang, bukankah lebih baik hidup di sana? Tapi orang Israel tidak berpikir seperti kebanyakan kita ini. Bagi mereka keadaan terbuang bukan keadaan kurang mapan secara ekonomi atau tidak ada standar hidup yang baik, dst. melainkan mereka terbuang karena di tempat tersebut tidak ada Bait Allah. Tidak ada kehadiran Allah secara khusus, itu jauh lebih penting daripada kondisi kehidupan. Kalau bicara soal kondisi kehidupan, Daniel dalam pembuangan tinggal di istana, sedangkan di Israel dia tidak tinggal di istana karena bukan keluarga raja. Dalam pemerintahan Darius dan raja-raja besar itu, Daniel termasuk orang yang cukup mapan, tapi tetap dia merindukan kebangunan Yerusalem, terus menerus berdoa dengan wajah menghadap Yerusalem menantikan restorasi itu.
Ada sesuatu yang lebih yang dimengerti Israel dan tidak dimengerti kebanyakan orang zaman ini. Waktu orang zaman ini bicara tentang pemulihan/ restorasi/ pembaharuan, bahkan waktu menuliskan new year’s resolution-nya, yang mereka pikirkan tidak ada bedanya dengan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Memang new year’s resolution semacam itu tidak harus berdosa tapi cuma berputar antara gambaran better condition of life, kita sebetulnya mirip orang tidak percaya, dan Yesus tidak terlalu penting dalam kehidupan kita. Sedangkan orang Israel waktu dalam pembuangan, mereka menyadari bahwa mereka jauh terbuang; bukan terbuang dari kenikmatan hidup atau fasilitas-fasilitas yang baik, melainkan terbuang dari hadirat Tuhan, menjadi dipermalukan karena mereka tidak menaati Taurat. Mereka pelanggar-pelanggar Taurat, covenant breaker bukan covenant keeper. Dalam theology of covenant, orang Israel diikat perjanjian dengan Tuhan. Yahweh berjanji untuk menjadi Allah Israel, tapi Israel juga menjadi umat Yahweh. Jadi saling memiliki, saling berkomitmen, seperti pernikahan –pernikahan Yahweh dengan umat-Nya– covenantal relationship.
Waktu kita membaca dalam perspektif seperti tulisan Samuel, kitab Raja-raja, dsb. (disebut Deuteronomistic History dalam studi Perjanjian Lama), di situ dengan jelas menyatakan alasan Israel dibuang oleh Tuhan ke tangan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan yaitu karena Israel tidak taat, Israel mendua hati, ada berhala dalam kehidupan Israel. Berhala itu apa? Berhala bukan tanpa Yahweh, tapi ada Yahweh dan ada yang lain. Bukah Yahweh sama sekali turun digantikan Baal, misalnya. Yahweh tetap ada, tapi Yahweh bukan satu-satunya, itulah berhala. Sangat mirip dengan kehidupan kita orang Kristen; Yesus tidak lengser, Yesus tetap di atas, tapi ada sesuatu yang lain yang bukan Yesus yang mendampingi Yesus. Entah itu Yesus dan kekayaan, Yesus dan kesehatan, Yesus dan perasaan saya, Yesus dan keluarga saya, Yesus dan para orang kudus yang lain, atau Yesus dan Gereja, Yesus dan my theological knowledge, atau Yesus dan macam-macam lainnya. Yesus tidak turun. Setan itu pintar, setan tidak menurunkan Yesus, Yesus boleh tetap disembah tapi bukan satu-satunya yang disembah, ada banyak yang lain yang mengelilingi Yesus. Itu sama seperti kejatuhan Israel. Mereka tidak mencemarkan nama Yahweh sampai Yahweh dianggap tidak ada, mereka tidak pernah jadi ateis, tapi yang terjadi adalah: selain Yahweh, ada yang lain (Baal, Asytoret, atau dewa-dewa yang lain). Yahweh murka, Dia membuang bangsa Israel dari hadirat-Nya.
Dalam pengertian pada saat itu, dalam Keluaran waktu Israel dibebaskan dari Mesir, pertarungannya bukan cuma pertarungan Israel yang dijajah dengan Mesir si penjajah, melainkan pertarungan kosmik antara dewa-dewa yang dipercaya Mesir melawan Yahweh, Allah yang dipercaya Israel. Demonstrasi tulah-tulah bukan urusan Israel lagi melainkan drama kosmik pertempuran antara kepalsuan dewa-dewa Mesir melawan ke-otentik-an Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang benar. Lalu waktu Israel keluar dari Mesir, Yahweh mendapatkan kemuliaan. Maka sekarang Saudara bayangkan, waktu Israel ditawan bangsa-bangsa apa yang kira-kira ada dalam pikiran bangsa-bangsa yang mengalahkan Israel itu, dan juga pikiran orang Israel sendiri? Nah, memang dewa kita lebih hebat; orang Israel bangsa kecil, allahnya juga kecil, buktinya kalah dan kita yang menang. Yahweh turut dipermalukan di dalam kekalahan Israel, padahal Yahweh sendiri yang membuang Israel. Yahweh sama sekali bukan less powerful terhadap dewa-dewa itu, tapi seolah kalau Israel kalah berarti Yahweh tidak cukup berkuasa untuk menyelamatkan sehingga Israel akhirnya dibuang, tertawan di tangan bangsa-bangsa tidak mengenal Tuhan yang punya allah mereka sendiri, yang tampaknya lebih besar daripada Allah-nya Israel. Yang dipertaruhkan adalah the honour of Yahweh Himself. Waktu Yahweh menghukum dan membuang orang Israel, Dia sendiri masuk ke dalam penghinaan itu.
Latar belakang ini penting untuk mengerti kalimat ayat 22 tadi. Kita berpikir, masa ya, berita kelepasan dimulai dengan kalimat seperti ini: “Bukan karena kamu Aku bertindak, hai kaum Israel, tetapi karena nama-Ku yang kudus yang kamu najiskan di tengah-tengah bangsa-bangsa di mana kamu datang”. It’s about the glory of God, the glory of Yahweh, bukan tentang Israel.
Ini tahun yang baru, kita musti terus menerus diperbaharui. Apa yang diperbaharui? Salah satu yang boleh kita tekankan dari bagian ini, yaitu visi tentang kemuliaan Allah. Berapa banyak saat-saat waktu kita menderita, sakit, bangkrut, kesulitan, kecewa, dsb. kita berpikir: celaka, saya sudah mempermalukan nama Tuhan. Yang kita pikir adalah mengapa saya dizalimi seperti ini, mengapa lagi-lagi saya yang jadi korban, mengapa orang salah mengerti saya, mengapa saya difitnah, mengapa saya tidak dipercayai, dst. dst., putar-putar di sekitar “saya”. Atau jangan-jangan kita suruh Yahweh yang bertobat, “Tuhan menyesallah Engkau, bertobatlah dari kekejaman-Mu yang tidak menyayangkan anak-Mu yang sedang menderita”. Itulah orang-orang yang sangat mencintai dirinya sendiri dan sebetulnya jadi ada tanda tanya apakah dia mengenal Tuhan atau tidak.
Berbicara tentang dosa ada banyak dimensi, salah satu dimensi yang jelas terbersit dalam pikiran kita tentu dosa pelanggaran moral. Itu tidak salah. Waktu dikatakan “jangan membunuh”, “jangan berdusta”, jelas ada pelanggaran moral, ada certain moral code yang dilanggar. Tapi Alkitab menggambarkan dosa perspektifnya banyak sekali bukan cuma satu. Kalau orang Kristen mengerti dosa hanya sebagai pelanggaran moral code saja, itu tidak terlalu ada keunikan perspektif Alkitab. Di bagian ini, dosa dimengerti sebagai hancurnya visi kemuliaan Tuhan. Ini sangat dimengerti Paulus waktu dia menulis surat Roma, bahwa kejatuhan itu adalah hilangnya/ kurangnya/ rusaknya kemuliaan Allah di dalam diri manusia. Dalam katekisasi kita sering membicarakan “apa tujuan hidup manusia?”, dan langsung kita bisa mengutip Katekismus Westmeinster “to enjoy God and to glorify Him forever”. Kita hafal dan lulus, tapi menghayati itu dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang lain. Betulkah tujuan hidup atau falsafah kehidupan kita berkenaan dengan kemuliaan Tuhan? Atau sebetulnya sesuatu yang lain? Kita lebih peduli dengan keadaan kita sendiri daripada nama Tuhan yang dicoreng-coreng. Bagi kita itu hanya ‘yah, mau bagaimana lagi memang saya gagal’.
Di bagian ini kita membaca bahwa Yahweh konsisten, ini bukan karena kamu, ini adalah karena kemuliaan-Ku; begitu teosentris. Terdengarnya seperti ‘kurang manusiawi’, tapi salah satu musuh dalam Kekristenan, kalau kita tidak hati-hati, adalah humanisme. Humanisme memang lebih baik bengis dan kejam karena humanisme peduli kemanusiaan. Tapi humanisme tetap bisa jadi musuh Alkitab ketika kita terlalu mempermuliakan manusia dan kurang memperhatikan kemuliaan Tuhan. Waktu ada orang baru yang datang ke sini, kita tidak bilang ‘terima kasih’ karena Saudara datang –perhatikan prinsip ini– orang datang perlu Tuhan bukan Tuhan yang terima kasih pada dia. Kita juga tidak bilang ‘terima kasih’ setelah orang pelayanan, karena Tuhan tidak bilang ‘terima kasih’ waktu orang melayani Dia. Itu jelas sekali dalam prinsip Firman Tuhan. Memang saya bilang ‘terima kasih’ atas pelayanannya orang, misalkan orang menjenguk saya, secara manusia saya mengatakan, “Terima kasih sudah datang dan mendoakan”, tapi kita tidak bilang terima kasih waktu orang melayani Tuhan. Ini cuma satu contoh sepele. Tapi kalau kita tidak hati-hati, kita bisa melihat gambaran Tuhan yang memperjuangkan kemuliaan-Nya sendiri seperti begini: koq egois ya, setelah itu kita sendiri juga harus mempermuliakan Dia, dan Dia sendiri mempermuliakan diri-Nya sendiri.
Saya sendiri baru mendiskusikan bagian ini waktu renungan malam bersama anak yang paling besar. Lalu dia menanyakan mengenai Tuhan yang mempertaruhkan kemuliaan-Nya sendiri, ada kesulitan iman dalam pikirannya bahwa kita musti hidup menaati Tuhan, mempermuliakan Tuhan, tidak boleh mempermuliakan diri kita sendiri, tapi Tuhan sendiri berputar di dalam diri-Nya sendiri. Kira-kira arah pertanyaan anak saya “koq Tuhan egois? kita musti memperjuangkan kemuliaan Tuhan tapi Tuhan memperjuangkan kemuliaan-Nya sendiri, ini bagaimana? bukankah kita mendapatkan model Tuhan yang egois, kalau gitu kita egois sekalian saja; Tuhan berputar dalam diri-Nya sendiri, kalau begitu kita juga berputar dalam diri kita sendiri, kita diciptakan dalam the image of God ‘kan? karena Tuhan kayak begitu, kita juga kayak begitu dong”. Saya menjawab bahwa Tuhan itu yang paling tinggi, paling atas, Dia tidak-bisa-tidak harus memperjuangkan kemuliaan-Nya sendiri. Kalau Tuhan memperjuangkan kemuliaan yang lain, berarti ada tuhan di atasnya Dia dan Tuhan bukan yang paling tinggi, dan ini bisa tidak ada habisnya karena nanti yang di atasnya memperjuangkan kemuliaan yang di atasnya lagi dst., dan tidak bisa diselesaikan persoalan ini. Musti stop di satu saat, yaitu Tuhan yang berakhir pada diri-Nya sendiri. Tuhan tidak bisa punya goal yang lain selain diri-Nya sendiri, karena Dia Tuhan.
Tapi kita ini ciptaan. Ciptaan itu naturnya tidak mungkin goal-nya ada pada dirinya sendiri, tapi harus refer kepada yang lain yaitu Tuhan atau sesamanya, precisely karena dia itu ciptaan. Kita manusia diciptakan sebagai makhluk yang bukan self-centered tapi ke luar. Ada teolog yang memakai istilah ek-sentris (bukan eksentrik seperti yang kita mengerti dalam pengertian populer) –pusatnya menuju ke luar, tidak bisa ke dalam– manusia pusatnya harus ke luar tidak bisa ke dalam, yaitu Tuhan. Bisa juga dikatakan dengan istilah kon-sentris, manusia adalah makhluk yang harusnya konsentris, pusatnya adalah Tuhan. Manusia mengalami kebahagiaan yang paling tinggi –the true and highest blessedness– waktu dia memperjuangkan kemuliaan Tuhan, karena dia adalah manusia. Waktu manusia berputar di dalam dirinya sendiri, persoalannya tidak habis-habis, karena dirinya sendiri tidak layak untuk jadi pusat tapi dia menjadikan dirinya pusat. Waktu manusia menjadikan dirinya pusat –atau keluarganya, atau perasaanya, dsb. segala sesuatu yang berkaitan dengan diri– dia jadi tidak lebih bahagia daripada orang yang memusatkan dirinya kepada kemuliaan Tuhan. Ini bukan masalah keegoisan Tuhan, justru kemurahan hati Tuhan bahwa kita boleh mementingkan kemuliaan Tuhan. Kalau Tuhan mau kita tidak berbagian di dalam-Nya, tidak perlu ada penebusan, tidak ada kesempatan bertobat sama sekali, semua ke neraka, semua tidak ada yang konsentris kepada Tuhan, bahkan Tuhan tidak usah menciptakan siapa pun karena kemuliaan-Nya toh sudah penuh. Waktu Tuhan menciptakan manusia, sebetulnya karena Dia mau share, supaya ketika manusia mempermuliakan Tuhan dia mengalami kebahagiaan yang tidak ada pada yang tidak mempermuliakan Tuhan. Ini bukan keegoisan Tuhan melainkan ekspresi dari God’s mercy, God’s love, God’s compassion, privilege manusia boleh mempermuliakan Tuhan.
Tapi dunia tidak mau mengerti hal ini, dunia selalu mau mengertinya ‘Tuhan itu kejam’. Memang kalimat seperti dalam bagian Yehezkiel ini bukanlah satu-satunya. Dalam Keluaran kalimatnya lain, waktu orang Israel menderita, dikatakan bahwa Tuhan mendengar teriakan mereka, Tuhan datang, turun untuk membebaskan. Kalimat seperti ini menghibur, kita merasa lega, puji Tuhan, Tuhan mengerti kesulitan saya, Tuhan mengerti penderitaan saya, dan sekarang Tuhan mau membebaskan dan menolong saya. Tapi ayat ini “Bukan karena kamu Aku bertindak, hai kaum Israel, tetapi karena nama-Ku yang kudus” terasa garing, kita sudah menderita lama dalam pembuangan lalu dengar kalimat ini yang sepertinya kurang pastoral, bagaimana? Kita harus membedakan orang yang kurang cinta kasih dan karena itu terlalu dingin, cuek, egois, dengan orang yang memperjuangkan kemuliaan Tuhan, yang secara manusia bisa terlihat seperti cuek. Di sini Yehezkiel mewakili Tuhan, seperti kurang humanis waktu mengatakan “bukan karena kamu tapi karena kemuliaan nama Tuhan sendiri”. Ini konsisten dengan cerita pembuangan (exile); orang Israel jatuh bukan karena Tuhan tapi karena ketidaktaatan mereka kepada Taurat, Yahweh bahkan terseret dalam kejatuhan mereka, dipermalukan muka-Nya.
Ada struggle memperjuangkan kemuliaan Yahweh yang di-refleksi dengan baik dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Contohnya waktu tabut perjanjian ditawan ketika Israel kalah terhadap Filistin, dalam gambaran mereka Yahweh ikut kalah. Tapi Yahweh mendemonstrasikan kemuliaan-Nya ketika Dagon jatuh rebah seperti menyembah di hadapan tabut perjanjian itu, untuk menyatakan bahwa Yahweh bukan powerless, supaya orang Filistin tidak salah mengerti. Memang Filistin menang terhadap Israel tapi bukan berarti Yahweh kalah terhadap Dagon, buktinya waktu Tuhan mengizinkan tabut perjanjian itu dirampas, Dagon rebah seperti menyembah tabut perjanjian. Di situ the supremacy of Yahweh dipertahankan.
Dalam cerita Daniel (bangsa yang terbuang), raja-raja –Nebukadnezar, Ahasyweros, Darius, Koresy– semuanya naik turun tapi Daniel tetap ada di sana. Ini gambaran the everlasting Kingdom of God. Kingdom of the world jatuh bangun, jatuh bangun, tapi The Kingdom of God tetap ada; dalam hal ini Daniel, hamba-Nya, diizinkan hidup sampai tua sekali. Yang mau ditekankan adalah kekalnya/ langgengnya Kerajaan Allah dibanding dengan kerajaan-kerajaan dunia yang boleh turun, hancur, digantikan kerajaan yang lain. Asyria, Babilonia, Media Persia, Mesopotamia semuanya naik turun tapi Daniel yang melakukan kehendak Allah tetap dipeliharakan di dalam kekekalan pemerintahan Tuhan. Dan Darius setelah peristiwa Daniel, si orang Israel bangsa yang terjajah di gua singa, mengumumkan, “Di kerajaanku jangan ada orang yang menghina nama Allah Daniel. “ Di sini ada pergumulan bagaimana di dalam keadaan exile boleh saja menjadi minoritas tapi jangan sampai merusak kemuliaan nama Tuhan. Ini bukan tentang kebahagiaan kita saja tapi terutama tentang visi Kerajaan Allah, tentang visi kemuliaan Allah.
Maka waktu kita membaca bagian ini, kita melihat Yahweh memperjuangkan nama-Nya sendiri yang kudus, jangan Israel berpikir secara salah bahwa pembaharuan/ restorasi yang dikerjakan Tuhan adalah karena jasa-jasa mereka. Visi yang konsisten: the glory of God; mereka jatuh karena merusak kemuliaan nama Tuhan , dan sekarang mereka dipulihkan karena Yahweh memperjuangkan kemuliaan nama-Nya sendiri. Ini satu bagian yang sangat penting yang terus menerus diperjuangkan dalam prinsip Teologi Reformed yaitu Soli Deo gloria dan Solus Christus, Yesus saja, tidak ada yang lain, bukan Yesus plus ini itu. Dari perspektif Deuteronomistic Theology, Israel jatuh karena mereka tidak taat, akhirnya menuai penghukuman dari Tuhan.
Kita sering menghadapi polemik yang selalu memutlakkan keadaan malang dengan akibat dosa; contohnya orang sakit di rumah sakit lalu dibesuk orang yang mengatakan: “Kamu pasti ada dosa, ayo harus mengaku dosa karena kalau tidak ada dosa pasti tidak ada sakit penyakit seperti ini”. Urusan seperti ini sebetulnya sudah diselesaikan dalam kitab Ayub; jelas sekali di situ bahwa kita tidak bisa memutlakkan keadaan malang/ malapetaka sebagai pasti akibat dosa, karena Ayub sendiri bingung, saya dosa apa sampai menderita seperti ini. Tapi kita musti hati-hati supaya tidak jatuh kepada ekstrim satunya yang mengatakan penderitaan, kesulitan, dsb. itu sama sekali tidak ada urusannya dengan dosa, tidak ada yang namanya akibat dosa. Kalau tidak ada akibat dosa, orang Israel terbuang karena apa? Alkitab jelas sekali mengatakan bahwa orang Israel terbuang karena dosa mereka. Jawaban yang lebih tepat adalah: kita tidak tahu. Kita jangan main hakim sendiri mengatakan “kamu bangkrut, sakit, ini pasti karena dosa”, sebaliknya kita jangan judgemental dengan mengatakan “ini tidak ada urusannya dengan dosa kamu”. Kita bukan dalam posisi Tuhan, biarlah orang itu introspeksi sendiri. Dan selalu lebih baik orang yang dalam keadaan penderitaan, pertama-tama introspeksi dulu mengapa masuk dalam keadaan seperti itu, mungkin karena akibat dosa. Kalau akibat dosa, tentu harus bertobat. Kalau setelah periksa diri, seperti Ayub, tidak mendapatkan dosa, mungkin ada ujian yang dari Tuhan diizinkan terjadi supaya dia belajar sesuatu. Kita tidak bisa memutlakkan mengatakan: orang dalam keadaan malapetaka sudah pasti tidak ada kaitan dengan dosa; itu sama bahayanya dengan kalimat: orang menderita sudah pasti karena ada dosanya. Tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan dan orang itu yang bergumul sendiri di hadapan Tuhan.
Yang pasti, dalam bagian ini bangsa Israel dibuang karena dosa mereka. Yahweh, yang mempertaruhkan kemuliaan-Nya, akhirnya datang membebaskan Israel. Dan Israel jangan lupa, sama seperti dulu kejatuhan adalah karena kesalahannya sendiri, maka sekarang restorasi adalah karena kebaikan Yahweh sendiri, bukan karena jasa-jasamu, bukan karena kelebihanmu, tapi karena Tuhan yang memperjuangkan kemuliaan-Nya sendiri.
Kita diundang untuk berbagian dalam visi yang mulia ini, berjuang untuk kemuliaan Tuhan. Kalau Saudara baca dalam sejarah Gereja, orang-orang yang sangat diberkati Tuhan adalah orang-orang yang memperjuangkan kemuliaan Tuhan lebih daripada memperjuangkan well-being mereka sendiri. Waktu Tuhan berkata kepada Musa tentang Israel ‘mereka bangsa yang tegar tengkuk, Saya kirim utusan saja’, kita baca doa Musa: “Bangsa-bangsa lain akan mengatakan: ‘Lihat ini, Allahnya Israel membebaskan dari Mesir lalu akhirnya Dia membunuh semua orang Israel di padang gurun’, bangsa-bangsa lain akan bilang apa tentang kemuliaan-Mu?” Musa tidak berdoa ‘kita sudah lama sekali sengsara sekali, Tuhan, tolong bebaskan kami, masa tidak ada belas kasihan?’ Doanya Musa adalah tentang kemuliaan Tuhan, “nama-Mu sendiri sedang dipertaruhkan”, Musa memperjuangkan kemuliaan Tuhan.
Yehezkiel memberitahukan kepada Israel: kamu bebas, jangan ge-er, ini bukan karena penderitaanmu sudah cukup, sudah terlalu lengkap, sehingga akhirnya Tuhan menyelamatkan, tapi karena “kemuliaan nama-Ku”. Dalam penderitaan: visi kemuliaan Allah. Dalam restorasi: visi kemuliaan Allah. Dalam penderitaan kita musti berpikir ‘ini kemuliaan Allah sedang dipertaruhkan, saya perlu bertobat dari dosa-dosa saya karena kemuliaan Allah sedang dipertaruhkan’. Waktu Tuhan memulihkan keadaan kita, visi kemuliaan Allah tetap harus menjadi center. Memang ada bagian-bagian lain yang menyatakan betapa cintanya Yahweh kepada Israel, saya bukan membuang aspek ini sama sekali karena Alkitab itu limpah.
Dalam bagian-bagian selanjutnya kita membaca “Aku menunjukkan kekudusan-Ku kepadamu di hadapan bangsa-bangsa”. Bangsa-bangsa lain termasuk juga yang perlu belajar kemuliaan Allah. Waktu Yahweh mengembalikan Israel adalah supaya bangsa-bangsa lain tahu bahwa Yahweh tetap powerful bukan powerless. Yahweh sanggup mengembalikan bangsa Israel –despite ketidaktaatan mereka– ke tanah perjanjian, bukan karena kebaikan bangsa-bangsa yang menjajah yang timbul belas kasihan kepada Israel, melainkan karena tangan Yahweh, tangan yang sama yang membebaskan Israel dari Mesir meskipun dengan cara berbeda. Waktu berdoa Bapa Kami: “Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu”, jangan lupa arti kalimat itu salah satunya memperjuangkan kemuliaan Tuhan lebih daripada kondisi kita. Itulah orang yang teosentris.
Dalam ayat berikutnya, janji Tuhan akan menjemput orang Israel dari antara bangsa-bangsa kembali ke tanah, supaya ada kehadiran Tuhan yang khusus yang tidak ada di pembuangan meski di sana ada kondisi yang lebih baik. Perjamuan Kudus dari perpektif Calvinistik, kita percaya ada kehadiran Kristus yang khusus di tengah-tengah kita. Orang Israel tidak pernah lupa bahwa Allah selalu mahahadir; di Babilonia pun Allah mahahadir, juga di Mesopotamia. Mereka tidak pernah goncang pengertiannya akan ke-mahahadir-an Allah, tapi ini bicara tentang kehadiran Tuhan yang khusus. Waktu Musa dipanggil, dalam semak belukar yang menyala itu Tuhan bilang, “Tanggalkan kasutmu, ini tempat yang kudus”; suatu kehadiran Tuhan yang khusus. Sebelumnya pun pasti Tuhan hadir, Tuhan hadir di Midian dan di mana pun tapi tidak ada kalimat ‘tanggalkan kasutmu karena Aku mahahadir’ karena jika begitu semua orang Kristen tidak boleh pakai sandal dan sepatu karena Tuhan hadir di mana-mana. Ini bukan bicara ke-mahahadir-an Tuhan tapi kehadiran Tuhan yang khusus, seperti juga Tuhan hadir secara khusus di dalam kebaktian. Salah satu aplikasi sederhana, Saudara coba menghargai waktu kebaktian karena tempat ini adalah tempat yang kudus, Tuhan hadir secara khusus, Tuhan hadir tidak sama dengan di tempat parkir; ini kehadiran Tuhan yang khusus, waktunya khusus, tempatnya juga khusus. Kehadiran Tuhan di sini lain dengan di Mal Kelapa Gading yang ada di sana, meski Tuhan pasti juga hadir di sana.
Kembali ke bagian ini, Tuhan mengatakan: “Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih … “. Kita minggu lalu membahas Yesus mengubah air menjadi anggur, karena di situ mau menekankan kontinuitas Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Mengapa Yesus tidak menghadirkan anggur langsung dari tidak ada apa-apa –creatio ex nihilo– yang kelihatan lebih powerful, lebih cocok dengan mitos Dionysos sehingga lebih persuasif untuk meyakinkan bahwa Yesus adalah ‘the true Dionysos’? Karena Yesus mau meng-inisiasi The New Covenant, darah-Nya, anggur yang kita minum dalam Perjamuan Kudus. Air dalam Perjanjian Lama adalah elemen purification, kemudian zaman yang baru itu tiba, bisa secara komunal maupun secara individual. Yang individual kita rayakan dalam Sakramen Baptisan tetap pakai air. Air sebagai purification dalam Perjanjian Lama adalah ritual yang umum, tapi di bagian ini air yang external ritual saja tidak cukup karena ada inner transformation yang Tuhan kerjakan di dalam hati. Poin yang penting: external ritual bersama dengan inner transformation , dua-duanya.
Contoh jalan ekstrim yang kita tidak terima yaitu external ritual tanpa inner transformation, karena itu kemunafikan. Agama paling jago menciptakan external ritual tanpa inner transformation. Sebaliknya sangat menekankan inner transformation, yang di dalam, tapi kemudian anti terhadap semua external ritual. Itu bukan teologi Reformed, meski kita mengakui dalam Swiss Reformation ada pengaruh/ kemiripan dengan Radical Reformation. Ketika itu di kubu Wittenberg ada Reformasi Luther. Luther melakukan banyak hal dalam reformasi tapi bukan berarti membuang segala sesuatu yang berbau Roma Katholik. Dia memilah-milah mana yang masih bisa dipertahankan, masih alkitabiah, dan mana yang sudah keluar dari ajaran Alkitab. Setelah sidang di Worms, Luther dilarikan oleh Frederick the Wise ke Wartburg karena di luar Worms ia bisa dibunuh oleh orang-orang yang masih mendukung Roma Katholik pada saat itu. Sementara itu di Wittenburg reformasi harus jalan terus, yang meneruskan Andreas Bodenstein von Karlstadt, supervisor Luther waktu ia membuat disertasi doktoralnya. Karlstadt kemudian melampaui Luther, menghancurkan semua patung dan ikon-ikon yang ada di gereja karena dianggap berhala. Itu Reformasi Radikal. Ketika kembali ke Wittenberg, Luther marah, “Ini bukan reformasi yang kita kehendaki, ini adalah api yang asing, bukan api reformasi”. Sayangnya, Reformasi Swis oleh Zwingli dan Bullinger, penerusnya, (Calvin baru muncul belakangan) sangat skeptis terhadap patung-patung, ikon-ikon, lukisan, lukisan, dsb., mereka juga menghancurkan itu semua. Gambaran ini lebih mirip Reformasi Radikal daripada reformasi yang asli yang dari Luther, ini kemudian jadi Reformasi Swis.
Kita bukan dalam skeptisisme yang berlebihan tentang external means. Kita jangan jatuh ke dalam penekanan inner transformation lalu membuang semua yang berbau eksternal, karena jika begitu mengapa kita masih pakai roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus? Apa tidak cukup dengan merenungkan penderitaan Kristus saja? Zwingli gerakannya ke sana, sehingga di Zurich dia mereduksi Perjamuan Kudus menjadi sangat jarang –setengah tahun atau satu tahun sekali– karena bagi dia yang paling penting kontemplasinya, iman kita, ingatan kita kepada penderitaan Yesus Kristus, bukan roti dan anggur. Tapi Calvin insist seminggu sekali kalau bisa. Ini bukan external ritual semata yang tidak artinya kemudian kita reduksi ke dalam pengertian yang purely symbolical, karena jika simbolis belaka tidak ada kehadiran Kristus secara nyata di tengah-tengah kita, maka tidahkusah pakai Perjamuan Kudus sekalian. Logikanya begitu. Itu tidak setia dengan yang dikatakan dalam Firman Tuhan. With all respect, Zwingli orang yang sangat diberkati Tuhan dan dipakai Tuhan, tapi dalam hal ini kita tidak bisa ikut karena highly rationalistic, menghapus semua mystical element, menggerakkan kita kepada agama New Platonis bukan kepercayaan Reformed. Kalau kita tidak ada lagi respek yang khusus dalam Perjamuan Kudus, dan buat kita itu hanya ritual saja, yang penting hidup saya sehari-hari diubahkan oleh Tuhan, kita perlu melihat kembali Yehezkiel membicarakan tentang air dan tentang inner trasformation. Di ayat 26 Yahweh berkata: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras (stony heart/ heart of stone) dan akan Kuberikan kepadamu hati yang taat (heart of flesh)”, di dalam New Covenant, seperti Yesus. The New Covenant mengubah hati menjadi orang yang lebih reseptif terhadap Firman Tuhan.
Ini tahun yang baru orang suka menulis new year’s resolution. Coba saudara baca lagi new resolution tersebut isinya apa, bisa dibedakan dengan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan atau sama saja? “Saya tahun ini berjanji bangun lebih pagi”, apa cuma begitu? Mungkin orang lain malah bangun lebih pagi dari kita. Itu tidak ada bedanya, and yet masih lebih baik daripada bangun kesiangan. Apa new year’s resolution Saudara yang Saudara janji di hadapan Tuhan? Di ayat ini Tuhan berbicara tentang sesuatu yang baru –“Aku memberikan kepadamu hati yang baru”–hati yang baru yang lebih reseptif, lebih terbuka terhadap Firman Tuhan. Tanpa perubahan yang di dalam, kita cuma masuk ke dalam ritual eksternal belaka termasuk juga Perjamuan Kudus hari ini, tidak ada inner transformation, tidak ada hati yang baru. Kita tidak membuang external ritual, kita tetap melakukannya, tapi ini tidak bisa tanpa inner transformation yang cuma bisa dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam kehidupan kita.
Apa bedanya stony heart/ hati yang seperti batu dengan hati daging? Batu itu keras. Dalam perumpamaan penabur ada benih Firman Tuhan yang jatuh –bukan tidak jatuh– yaitu orang yang mendengar –bukan tidak mendengar– tapi seperti yang dikatakan Yesaya ‘mendengar tapi tidak mendengar, melihat tapi tidak melihat’, jatuhnya di batu, tidak bisa berakar. Jangankan bertumbuh, berakar saja tidak bisa, bagaimana juga mau berbuah? Dia tidak sadar kalau hatinya batu. Penolakan demi penolakan tidak harus berupa penghujatan, tapi bisa hanya sekedar menganggap sepi dan lewat saja, mendengar Firman Tuhan hanya sebatas “bagus” saja. Ada orang dengar kotbah yang dikomentari adalah: “Bahasa Indonesianya gak baku ya, caci maki jadi maki caci, narkoba jadi narkorba”. Dia tidak tertarik, dia hanya tertarik grammar bahasa Indonesia, lalu terima apa?
Hati yang baru selain lebih reseptif, juga kerelaan. Waktu bertumbuh dalam kehidupan mengikut Tuhan, kita mengerjakan yang tadinya termasuk kategori ‘tanggung jawab/ duty’ menjadi suatu enjoyment. Memang ini proses. Anak kecil itu mau mengerjakan semua yang enjoyment, tidak mengerti tanggung jawab, semua yang dia senang dia kerjakan. Begitu kita bicara tanggung jawab, dia mukanya sebel. Itu memang anak kecil, sifat childish. Yang membedakan orang dewasa dari anak kecil adalah seharusnya dia tahu bahwa hidup ini musti mengerjakan tanggung jawab yang tidak selalu enjoyable. Ini level kedua. Tapi ada level di atasnya lagi, yaitu orang yang bisa mentransformasi kewajibannya sehingga akhirnya menjadi enjoyable; bukan kembali ke tingkat yang pertama seperti sifat kekanak-kanakan tadi, tapi yang tadinya kewajiban memberatkan seperti siksaan, akhirnya karena dia melakukannya dengan cinta kepada Tuhan, untuk kemuliaan Tuhan, cinta kepada sesamanya, ada enjoyment. Enjoyment bukan karena mengerjakannya melainkan karena ada tujuan yang mulia. Ini tidak mungkin terjadi kalau orang tidak ada hati yang baru. Orang yang hatinya batu, semua menjadi kewajiban-kewajiban, berat, musti memaksa diri. Saya percaya ada fasenya, tapi kalau kita bertumbuh dewasa, Tuhan memberikan kepada kita hati yang baru, kita melakukannya bukan dengan sungut-sungut terpaksa tapi dengan cinta. Ini pemulihan covenant. Maka di bagian ini Saudara membaca ada bahasa covenant “Kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu”, saling memiliki, saling mencintai, saling berkorban, saling membahagiakan, saling memberi diri dimiliki, dst. ini pernikahan. Kalau pernikahan yang sehat, suami melakukan sesuatu untuk istrinya dan istri melakukan untuk suaminya menjadi enjoyment karena ada cinta, seperti Yahweh dan umat-Nya.
Poin terakhir –poin yang tidak lulus secara humanisme– ayat 32 setelah Tuhan melakukan itu semua, setelah Tuhan bertindak, dikatakan: “supaya kamu akan merasa malu”, ayat 31: “kamu akan teringat-ingat kepada kelakuanmu yang jahat dan perbuatan-perbuatanmu yang tidak baik dan kamu akan merasa mual melihat dirimu sendiri karena kesalahan-kesalahanmu dan perbuatan-perbuatanmu yang keji.” Kalau kita salah mengerti, ini mirip accusation-nya iblis ‘itu dosamu, masa lampaumu!’ Bukan itu. Ini ingatan tentang dosa yang sehat, ini perkataan Yahweh melalui Yehezkiel bukan iblis. Ada beda orang diingatkan dosa-dosa masa lampau dan accusation, dengan yang dikatakan di sini yaitu supaya kamu merasa mual melihat dirimu sendiri, ada kejijikan terhadap dosa-dosa kita, yang tidak mungkin timbul tanpa visi kemuliaan Allah yang tadi kita bicarakan. Melihat visi kemuliaan Allah, dan bersamaan dengan itu melihat diri kita sendiri begitu jijik jadinya. Gereja yang diberkati Tuhan akan terus memberikan visi kemuliaan Allah dan visi kejijikan diri kita sendiri. Gereja yang ditinggalkan Tuhan mengatakan ‘kamu itu oke, you are actually doing great, you feel good’, dsb., terus menerus yang dijunjung manusia akhirnya orang senang mendengarnya, adem ayem, tidak ada teguran, dsb. Saudara lebih baik tinggalkan Gereja seperti itu, termasuk kalau Gereja ini sudah melakukan kejahatan seperti itu. Tuhan tidak hadir di dalam Gereja seperti itu.
Tapi dalam kalimat seperti yang dikatakan Yehezkiel ini adalah tanda nabi yang asli. Memulai dengan visi kemuliaan Allah, ‘ini adalah tentang nama-Ku sendiri dan bukan tentang kamu’, dan bersama dengan itu ‘kamu musti muak, malu dengan dirimu sendiri’; kemuliaan Yahweh dan rasa malu kamu. Kita mau kalau bisa ditukar, kita yang mulia, Yahweh malu atau tidak malu itu no issue, lalu terus bicara human self image. Ada teologi Kristen yang mengarahkan ke situ, Saudara dibuat sedemikian rupa supaya punya confidence di dalam diri, tidak minder, self image, self acceptance, dignity, dsb. tapi tidak ada urusannya dengan kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan menurut perspektif pasal 36 ini, Yahweh jelas mengatakan “ini kemuliaan-Ku”, dan “kamu merasa malulah dan biarlah dipermalukan karena kelakuanmu, hai kaum Israel”. Tidak enak mendengar kalimat seperti itu. Tapi inilah umat yang diberkati Tuhan, pemberitaan Firman yang membawa kepada rasa malu bertubi-tubi, sampai kita bertemu Tuhan karena selama di dalam dunia kita tidak bebas dari kesalahan. Luther mengatakan “Simul Justus et Peccator”, ‘righteouss’ dan at the same time ‘pendosa’ karena kita masih bergumul dengan dosa. Ini bukan dipermalukan ala setan, melainkan dipermalukan yang membebaskan, yang membawa kita supaya berbagian di dalam kemuliaan Tuhan. Inilah kemuliaan yang sejati. Bukan kemuliaannya manusia sendiri tapi kemuliaan-Nya Tuhan. Waktu Adam jatuh, dia kehilangan kemuliaan Allah bukan kemuliaannya dia sendiri karena kemuliaan yang ada pada Adam adalah kemuliaannya Allah yang ditaruh di sana. Maka pemulihan sama, harus dikembalikan lagi kemuliaan Allah itu, bukan kemuliaannya Adam karena Adam tidak punya kemuliaan dari dirinya sendiri. Gereja juga tidak punya kemuliaan dari dirinya sendiri. Kita orang Kristen, waktu bertumbuh, kita terus menerus mengenal kemuliaan Tuhan, kesucian Tuhan, kekudusan nama Tuhan, lalu ada perasaan malu terhadap diri kita sendiri yang terus berkembang, yang bersamaan dengan itu membawa kita kepada kekudusan nama Tuhan.
Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading