Selamat Tahun Baru. Hari ini hari yang cocok untuk membahas satu kisah tentang new beginning, yaitu kisah Abraham dipanggil Allah. Biasanya di awal tahun orang membuat resolusi; sebagian orang memikirkan ‘apa resolusi saya di tahun 2019’, sementara sebagian lainnya sudah give up karena setiap tahun di bulan Maret sudah melupakan yang dia resolusi-kan di awal tahun. Kita tidak bisa membedakan resolusi jadi 2 –yang rohani dan tidak rohani– lalu yang rohani misalnya mau membaca Alkitab, berdoa, melayani; dan yang tidak rohani misalnya mau olahraga setiap minggu atau mau memulai kebiasaan-kebiasaan baru lainnya. Pembagiannya bukan tentang itu karena tidak selalu yang tidak rohani seperti olahraga bersifat negatif, melainkan apakah komitmen-komitmen itu bersifat God centered (berpusat kepada Allah dan pekerjaan-Nya), atau hanya untuk self profit.
Dan di kisah ini, Abraham dipanggil oleh Tuhan bukan atas kemauannya, melainkan karena panggilan Tuhan. Kita tahu, Abraham salah satu tokoh yang paling besar. Tiga agama monoteisme terbesar di dunia –Kristen, Yahudi, Islam—bermuara pada satu nabi ini dan sangat menghormati dia. Dan kebesaran Abraham bukan pada diri orangnya, melainkan tentang panggilan Tuhan. Inilah yang menjadi poin kita, bahwa panggilan Tuhan-lah yang menjadikan Abraham seorang yang besar dan agung.
Sebelum membahas kebesaran dan keagungan Abraham, kita harus sadar poin besarnya, bahwa Tuhan selalu mempersiapkan orang-orang yang dipanggil-Nya. Kalau melihat Abraham, kita selalu mengingat kebesaran dan keagungannya, serta teladan imannya; tetapi sebelum itu, kita harus melihat dari awalnya, dan itu ditulis sebelum pasal 12, yaitu pasal 11: 27-32 tentang silsilah Abraham. Kita yang hidup di abad 21 tidak terlalu peduli dengan silsilah, tapi kita akan melihat betapa signifikannya silsilah ini.
Kalau kita nonton pertandingan tenis Wimbledon, waktu sang juara mengangkat pialanya, kita tahu bahwa kebesaran/ keagungan dia bukan dimulai saat dia masuk Wimbledon, persiapannya sudah jauh belasan bahkan puluhan tahun sebelum itu, mungkin ketika masih kecil dia sudah belajar tentang tenis. Kita juga bertepuk-tangan luar biasa untuk seorang pianis terkenal dalam konsernya, kita encore untuk sang pianis pada saat itu, tapi persiapan sang pianis mungkin bermula sejak dia umur 5 tahun, mungkin sambil dipukul mamanya untuk dia berlatih terus-menerus. Demikian juga Abraham, kisahnya dimulai sejak dari Kejadian 11.
Kejadian 11 mencatat tentang kisah Menara Babel. Ketika semua sudah dihancurkan Tuhan, dan orang-orang diserakkan, ada satu silsilah –yaitu dari keturunan Sem– yang ditulis turun-temurun satu per satu sampai ke Terah (ayat 10-26). Sama seperti di zaman Nuh, ketika itu tidak ada lagi yang percaya kepada Tuhan setelah kisah Menara Babel, hanya tinggal satu keluarga, yaitu dari keturunan Sem, yang dijaga benar-benar. Untuk bisa lebih mengerti hal ini, saya mau menceritakan satu film tentang zombie, yaitu “Train to Busan”. Filmnya tentang sebuah kereta yang menuju kota di Korea, Busan. Di gerbong kereta tersebut ada satu zombie yang berhasil masuk ketika kereta itu meninggalkan sebuah kota yang sudah terjangkit zombie semuanya. Selanjutnya sepanjang filmnya menggambarkan satu per satu orang di dalam kereta digigit si zombie, lalu orang yang terinfeksi tersebut menggigit orang lainnya, sampai tinggal sisa sekelompok kecil orang. Film terus berjalan, dan lama-kelamaan dari sisa 10 orang menjadi 8 orang, 6 orang, 4 orang, dan terakhir sekali sisa 3 orang, yaitu jagoan utamanya, anaknya, dan seorang ibu hamil. Keadaan semakin mengenaskan. Dan si jagoan utama pun akhirnya digigit, tinggal sisa anaknya dan ibu hamil tadi. Untungnya kisah itu tidak ditutup dengan semua orang akhirnya jadi zombie, masih ada sedikit pengharapan.
Maka waktu kita membaca Kejadian 11, kira-kira seperti itu, semua sudah jadi “zombie”, tinggal sisa keturunan Sem, yang dijaga baik-baik. Tetapi terakhirnya, kita membaca dalam Yosua 24:2 mengenai yang terjadi dengan keluarga Terah di Haran, demikian: Berkatalah Yosua kepada seluruh bangsa itu: "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain.” Jadi boleh dikatakan Abraham –yang sisa satu itu pun– sudah rusak, sudah tercemar; tidak ada lagi satu orang pun yang murni di hadapan Tuhan. Tuhan sudah pernah memberikan kesempatan kepada Adam dan Hawa. Tuhan sudah pernah memberikan kesempatan kepada Nuh dan keluarganya. Lalu sekali lagi Tuhan memberikan kesempatan setelah Menara Babel dengan menyisakan satu keluarga, keturunan Sem. Dan sekarang, sisa satu keluarga ini pun meninggalkan Tuhan. Lalu apakah Tuhan menyerah? Ternyata tidak.
Ternyata Tuhan masih memanggil dan memberikan anugerah-Nya; dan Dia tidak memanggil orang yang mampu tetapi memanggil dari keluarga Abraham yang sudah menyembah ilah-ilah lain, memanggil keluar untuk menjadi umat-Nya. Ini berbeda dengan kita; kita hanya memanggil orang yang mampu. Misalnya di rumah Saudara toiletnya rusak, dan Saudara perlu memanggil tukang ledeng. Lalu tetangga menyarankan memanggil Pak Tono, tukang gorengan, katanya, “Tidak apalah, sama saja goreng-goreng dengan memperbaiki ledeng”; apa bisa? Tidak bisa tentunya. Tukang gorengan tidak qualified untuk membetulkan ledeng. Begitu juga satu perusahaan waktu mau memanggil orang jadi akuntan, pasti akan dilihat kualifikasinya, apakah dia lulusan dari jurusan akuntansi, dsb. Intinya, kita hanya memanggil orang yang mempunyai kualifikasi; dan di sini Abraham serta keluarganya sama sekali tidak punya kualifikasi apa-apa. Tetapi di situlah anugerah Tuhan bekerja, Tuhan panggil orang yang tidak qualified.
Oleh sebab itu bagi Saudara yang punya panggilan untuk melayani di tahun 2019 ini tapi merasa ‘saya tidak qualified’, itu memang betul, Saudara tidak layak, dan saya pun tidak layak. Demikian juga Abraham tidak layak. Tetapi pelayanan justru bagi orang-orang yang tidak layak, yang Tuhan panggil untuk melayani Tuhan. Jadi justru di situlah paradoksnya. Ketika Saudara merasa ‘saya paling layak’, mungkin justru Saudara tidak layak untuk melayani Tuhan. Ketika Saudara merasa tidak layak untuk melayani Tuhan, dan Tuhan panggil, di situlah ketaatan yang Tuhan inginkan supaya kita mulai melayani Dia.
Ketika suasana seakan-akan sudah suram, tidak ada harapan, helpless and hopeless, Tuhan memanggil. Inilah yang namanya panggilan. Inilah yang namanya new beginning. Dan ini new beginning yang sama seperti penciptaan, sebagaimana dicatat dalam Kejadian 1 ketika semua yang kacau dibuat menjadi teratur, demikian juga dalam kisah ini semua sudah kacau, hancur lebur, dan Tuhan membuat keteraturan melalui satu keluarga, yaitu Abraham dan keturunannya. Kalau Saudara merasa masa depan suram, relasi juga kacau, dan Tuhan seakan-akan tidak bisa membereskan benang kusut yang sudah terjadi di tahun 2018 sehingga Saudara pesimis bagaimana bisa mengurai benang kusut tersebut di tahun 2019 ini, maka kisah Abraham menjelaskan bahwa benang kusut itu selalu ada, dan Tuhan selalu bekerja untuk mengurai benang kusut itu. Melalui siapa? Melalui satu orang demi satu orang. Tuhan juga bekerja di dalam bangsa Indonesia, mengurai benang kusut yang terjadi dalam perpolitikan dan semuanya, yaitu melalui satu orang demi satu orang yang Tuhan panggil. Maka kita mendoakan untuk pemilihan capres, cawapres, caleg, karena orang-orang itulah yang Tuhan panggil dan Tuhan pakai untuk membereskan benang-benang kusut ini.
Waktu Tuhan memanggil Abraham, berkatalah Tuhan: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kej. 12: 1). Pernahkah Saudara dipanggil mendapatkan tugas, tapi tugasnya tidak jelas, dan semua di detail di depannya juga tidak jelas? Itulah yang terjadi dalam panggilan Abraham. Saya dulu bertanya kepada Pendeta Ivan: “Pak, kalau nanti saya jadi full-time pelayanan di GRII, kesulitan paling besarnya apa?” Dia jawab: “Kesulitannya satu: kita tidak pernah tahu job desc. kita apa; kamu bisa jadi hamba Tuhan yang rajin sekali, sibuk sekali, atau kamu bisa jadi hamba Tuhan yang super malas, tidak ngapa-ngapain, dan tidak ada punching card absensi, tidak ada istilah masuk kantor, jam kerja, cuti –ini pelayanan. Kamu harus cari tahu sendiri apa yang harus kamu lakukan.” Itulah yang terjadi dengan Abraham, sangat tidak jelas. Begitu juga kalau kita ditanya ‘apa beban yang Tuhan taruh bagi Saudara di 2019’, kita mungkin jawab ‘tidak tahu, jalani saja, seperti hamster yang terus bergerak di rodanya’.
Tetapi masalahnya bukan soal jelas atau tidak jelas. Betul bahwa Abraham tidak jelas, tetapi berbeda dengan Simson atau Yusuf. Simson, sejak lahir misinya sudah jelas, dia akan jadi nazir Allah tidak boleh digunting rambutnya, dia akan membebaskan umat-Nya dari tangan orang Filistin, dia akan diberikan kekuatan yang luar biasa besar. Dia tidak usah bertanya-tanya lagi ‘apa, ya, panggilan saya, apa, ya, visi hidup saya’; semuanya jelas sekali. Tetapi kita melihat kisah Simson berakhir dengan tragis. Dia main-main dengan panggilan Tuhan, sampai akhirnya dibutakan matanya, dipenjara, dan mati di dalam kumpulan musuh-musuhnya. Sedangkan Yusuf, ketika ia dijual oleh saudara-saudaranya dan dibawa dari Kanaan ke Mesir sejauh 700 Km, mungkin bertanya-tanya dalam hatinya ‘apa salah saya sampai saya dibuang oleh saudara-saudara saya’. Dia kemudian menjadi budak di rumah Potifar, melayani baik-baik, lalu difitnah oleh istri Potifar sampai masuk penjara, dan akhirnya jadi perdana menteri. Dia baru jelas panggilannya setelah 13 tahun! Tiga belas tahun dia tidak mengerti mengapa dia mengalami jatuh bangun itu semua, sampai saudara-saudaranya berlutut minta pengampunan, dan dia baru sadar –“engkau mereka-rekakan yang jahat kepadaku, tetapi Tuhan telah mereka-rekakan yang baik, mengirim aku terlebih dahulu untuk memelihara nyawa satu bangsa yang besar”. Jadi yang satu jelas, tapi berakhir tragis. Sementara yang tidak jelas tapi taat, justru dipelihara dan berakhir dengan kemuliaan.
Kesimpulannya, di tengah segala ketidakjelasan yang kita alami, yang penting adalah kita taat kepada panggilan Tuhan, menjalankan yang Tuhan inginkan. Dan Tuhan selalu mempersiapkan orang yang dipanggil-Nya. Melalui apa? Melalui 13 tahun ketidakjelasan itu, melalui panggilan-panggilan yang tidak ada job desc.-nya seperti Abraham. Bukan saja Tuhan mempersiapkan orang yang dipanggil-Nya, yang kedua adalah Tuhan menuntut ketaatan orang yang dipanggil-Nya.
Panggilan Tuhan tidak main-main, terutama dalam panggilan Abraham. Panggilan Abraham adalah panggilan yang luar biasa besarnya. Mungkin Saudara pernah menerima email dari entah kerajaan atau pangeran atau menteri apa di Afrika, yang menawarkan 1 juta dolar kalau kita mentransfer sejumlah uang dan nantinya akan dibagi 20%, dsb. Lalu apakah kita akan melakukannya? Tentu tidak; kita berpikir yang seperti itu to good to be true, jadi pasti hoax. Atau mungkin menerima SMS “Anda memenangkan hadiah kejutan Telkomsel 500 juta, kalau Anda melakukan ini dan itu”, atau mungkin menerima telpon dari telemarketer “Selamat Bapak Heruarto Salim, Anda mendapatkan hadiah ini dan itu, tapi Anda harus begini begitu”. Di situ saya akan langsung jawab, “Terima kasih, saya tidak perlu”, karena itu pasti hoax. Seperti itulah sesuatu yang to good to be true, biasanya it’s never true.
Dan, panggilan Abraham is to good to be true, karena yang ditawarkan oleh Tuhan adalah: “engkau akan menjadi bangsa yang besar” –bangsa, bukan keluarga. Menjadi bangsa, berarti ada kerajaan, ada sistem pemerintahan, ada tanah yang luas. Lalu selanjutnya dikatakan: “… membuat namamu masyhur dan engkau akan menjadi berkat”. Yang Tuhan janjikan kepada Abraham itu terlalu besar, very very big promises; dan janji yang terlalu besar menuntut visi yang besar juga. Dan kalau Abraham ada pilihan, mungkin sama seperti kita semua, memilih untuk keep the vision small, ‘saya tidak mau jadi bangsa yang besar, saya cukup puas dengan tanah 5 hektar di Kelapa Gading tidak perlu seluruh Tanah Kanaan; saya dan Sarai ini mandul, kami cukup puas dengan satu anak saja, kita tdak perlu banyak-banyak anak/ keturunan’. Di bagian lain, waktu Tuhan datang dan mengatakan: “Nanti keturunanmu akan jadi bangsa yang besar, lewat Sarai,” –yang kemudian akan diganti namanya menjadi Sara—maka respons pertama Abraham adalah: “Tuhan, jayalah nama-Mu, kiranya Ismael berkenan di hadapanmu”. Abraham menyodorkan anak pertamanya, Ismael; dan dia sudah puas dengan satu anak sebenarnya, tidak perlu impossible plan menjadi bangsa yang besar dengan anak sebanyak bintang di langit, pasir dii laut. Tuhan juga mengatakan “Aku akan membuat namamu masyhur”; apakah Saudara pernah terpikir dijanjikan nama besar? Misalnya, kepada Nike –yang menjadi pianis hari ini di gereja—dijanjikan ‘aku akan membuat namamu lebih besar daripada Lang Lang’, seorang pianis yang begitu besar yang kalau booking dia harus 7 tahun di muka dan bayarannya 1,5 M per malam; apakah percaya? Mungkin kita jawab, “Tidak, Tuhan, saya cukup dengan yang ada sekarang.” Dan Tuhan bilang “Your vision is to small, I want to do something big with you”, lalu kita mengatakan, “Saya tidak berani, Tuhan, visi saya terlalu kecil.”
Tuhan mau melakukan visi yang begitu besar, dan kita seringkali kagum pada orang-orang yang mau melakukan hal-hal besar. Tapi dalam retreat hamba Tuhan kemarin, saya menyadari, kita semua senang tinggal di comfort zone yang kecil. Kita nyaman tinggal di apartemen kita yang kecil. Kita nyaman di keluarga kecil kita. Kita nyaman di pelayanan kecil kita. Pendeta Stephen Tong dalam retreat itu berkali-kali meneriakkan, “Di zaman ini tidak ada hamba Tuhan yang berbakat yang bisa menaklukkan anak-anak, yang bisa jadi pengkotbah massal anak-anak!” Lalu setelah selesai, satu hamba Tuhan berkata kepada saya, “Her, waktu dengar itu tadi, saya ingat nama kamu, saya doakan, ya.” Saya langsung bilang, “Jangan, jangan, kayaknya bukan saya.” Bayangkan berkotbah kepada 1000 anak, itu benar-benar bukan hal yang menyenangkan, bukan hal yang enak dan gampang dilakukan. Tapi perkataan itu makin menggelitik, karena esok harinya ada seorang hamba Tuhan yang lain lagi yang berkata, “Saya rasa kamu cocok berkotbah kepada anak-anak, saya doakan jadi pengkotbah untuk anak-anak.” Itulah, saya berpikir mungkin visi saya terlalu kecil, saya cukup nyaman menggembalakan Persekutuan Pemuda yang sekarang –kita terbiasa tinggal di comfort zone.
Seorang penulis tafsiran bernama Burgmann, menulis: seluruh kisah Abraham ini bertumpu di atas satu kontradiksi, yaitu diam di comfort zone –berarti tetap mandul—atau pergi keluar, yang berarti ada pengharapan, tapi juga sangat berbahaya. Seperti Abraham, Saudara dan saya punya pilihan, apakah tetap tinggal di zona nyaman Saudara yang kecil itu, dan tetap mandul, tetap stagnan; atau pergi keluar menjalani panggilan Tuhan, tapi berarti siap-siap untuk berkorban besar –karena yang mendapatkan visi besar, dituntut pengorbanan besar. Yang diberikan visi besar, pasti dituntut harga yang besar, yaitu pergi dari negeri-mu, pergi dari sanak saudara-mu, pergi dari rumah bapa-mu.
Satu ekskavasi yang pernah dilakukan pada tahun 1900 awal oleh Sir Leonard Woolley, berhasil menemukan bahwa Ur adalah kota metropolitan, kota yang sangat maju, sangat makmur, mungkin merupakan pusat ekonomi, politik, budaya; sedangkan Kanaan adalah daerah pedalaman yang sangat jauh. Jadi waktu Abraham disuruh pergi, itu seperti pindah dari New York ke kota kecil, misalkan Bojonegoro. Dari kota yang bertembok besar, aman dari serbuan para pengacau, harus pergi ke tanah terbuka yang bisa diserang oleh pengacau kapan saja. Maka ketika Abraham dipanggil dari negerinya, itu berarti ‘kamu harus meninggalkan keamanan finansial, keamanan fisik, dan segala keamanan yang ada pada dirimu sekarang ini –pergi dari comfort zone’—pergi ke zona yang sangat tidak nyaman. Apa pengorbanannya? Pengorbanan meninggalkan segala fasilitas di belakang yang jelas, serta segala sesuatu yang jelas –sanak saudara, negeri, dll. Bukan hanya meninggalkan segala sesuatu yang di belakang itu, tetapi juga yang di depan; pengorbanan pergi ke depan, yang segala sesuatunya tidak jelas. Bahkan di ayat 1 belum dikatakan ‘ke Kanaan’, cuma dikatakan ‘ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu’. Sama sekali tidak jelas, negerinya di mana, negerinya model apa.
Setiap akhir tahun semester, bagi mahasiswa STT, salah satu yang membuat deg-degan adalah ‘saya dipindah praktek di mana’; dan yang paling tidak jelas kalau dikatakan kita dipindah cabang tapi tidak diberitahu cabang mana. Dan yang Abraham alami bukan saja tidak jelas di depan, tapi juga tidak terlihat, sampai matinya dikatakan: ‘Abraham tidak memperoleh apa yang dijanjikan, dia hanya melihat dari kejauhan janji-janji Tuhan.’
Abraham dipanggil keluar, dan dia harus taat. Dipanggil keluar untuk apa? Untuk menjadi berkat. Dia taat untuk menjadi berkat. Ini satu kunci bagi kita semua, yaitu taat menjadi berkat. Resolusi-resolusi Tahun Baru bisa saja tentang ketaatan, tapi bukan untuk menjadi berkat melainkan untuk memperoleh berkat saja. Apa resolusi tahun ini? Saya mau mulai ikut paduan suara. Mengapa kamu mau mulai pelayanan di choir? Kayaknya keren dilihatin satu gereja. Jadi bolak-balik bukan tentang pekerjaan Tuhan melainkan tentang diri, tentang mendapatkan berkat. Sedangkan yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham bukan untuk mendapatkan berkat-berkat saja. Betul bahwa Tuhan memberikan banyak berkat bagi Abraham, tetapi berkat itu tidak berhenti pada Abraham, karena dikatakan: “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau; dan engkau akan menjadi berkat bagi seluruh kaum di muka bumi”. Jadi kamu akan mendapat berkat, tapi berkat itu akan kamu teruskan untuk semua kaum di muka bumi.
Maka waktu kita berpikir tentang resolusi, komitmen, janji, itu bukan tentang diri kita mendapat berkat saja, tapi bagaimana berkat yang Saudara terima di tahun 2019 ini menjadi berkat. Kalau Saudara berpikir untuk pindah pekerjaan, Saudara musti berpikir apakah pindah pekerjaan itu untuk menjadi berkat, ataukah hanya sekedar gaji lebih besar, pekerjaan lebih santai. Kalau pekerjaan lebih santai, apakah jadi lebih bisa melayani, menjadi berkat, atau santai-santai sekedar untuk menikmati hobby ataupun segala kesenangan dunia yang tidak berkait dengan kekekalan? Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana ketaatan itu menjadi berkat keluar, sebagaimana Abraham dipanggil untuk keluar. Keluar dari dirinya, keluar dari negerinya, untuk menjadi berkat bagi seluruh negeri. Tim Keller pernah ditanya, mengapa dia melayani di New York, kota yang sangat sekular, ateistis, sangat sulit pelayanannya, sangat mahal biayanya, dsb. Dia menjawab: “Memang New York kota yang paling tidak nyaman buat saya di antara semua kota yang saya pernah tinggal, tapi di kota ini, saya paling useful, saya merasa di sinilah Tuhan tempatkan saya untuk menjadi berkat paling besar.” Maka Saudara dan saya musti berpikir, bukan apa yang menjadi paling nyaman saya, tapi saya bisa menjadi berkat paling besar di mana.
Selanjutnya dikatakan bahwa Abraham berjalan ke Sikhem, dia berjalan ke Betel, ke Ai, lalu dia berjalan ke sebelah timur dan ke Tanah Negeb; jadi utaranya adalah Sikhem, dan Negeb di selatan. Abraham berjalan dan berjalan terus. Mengarungi apa? Mengarungi seluruh janji Tuhan akan Tanah Kanaan. Walaupun dia belum sadar batas-batas yang diberikan, dia sudah mengunjungi semua daerah itu; dan setiap kali mengunjungi, dia membangun altar. Tujuan dia terus pergi adalah sama seperti tujuan Musa menulis kisah ini kepada bangsa Israel di padang gurun, yang Tuhan pimpin keluar dari Mesir, berjalan berkeliling di padang gurun, untuk menuju ke Tanah Kanaan. Di sini seakan-akan Musa mengingatkan bangsa Israel yang terus ingin kembali ke Mesir, “Jangan kembali ke Mesir, ingat Abraham, dia terus berjalan dan berjalan sampai ke Tanah Kanaan; itu garis finish-mu. Kamu mengalami kesusahan, kekeringan, kelaparan, di padang gurun, tapi don’t stop, don’t give up, keep on walking sampai Kanaan untuk mendapatkan berkat Tuhan.”
Ke mana pun Abraham pergi, dia selalu mendirikan mezbah dan memanggil nama Tuhan. Seorang penulis mengatakan tentang hal ini: “The only stuctures he left behind him were altars, no relics of his own whealth” –tidak ada rumah, tidak ada tugu, satu-satunya relik struktur yang Abraham tinggalkan adalah altar. Peninggalan apa yang mau kita tinggalkan bagi generasi-generasi selanjutnya? Apakah mereka bisa melihat panggilan Tuhan jelas dalam diri kita? Dan ketika mereka melihat hidup kita di belakang, apakah mereka bisa melihat bahwa inilah orang yang memanggil nama Tuhan?
Saya selalu tergugah –ketika mengingat almarhum Pendeta Amin Tjung– dengan satu ayat yang terus dia ingatkan kepada para mahasiswa STT, dan juga ayat yang dia inginkan ditulis di batu nisannya, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak layak”. Ayat itu selalu mengingatkan saya kepada beliau, wajah tanpa rambut, yang melayani Tuhan dengan giat; dan dia meninggalkan altar, yaitu altar yang mengingat nama Tuhan. Setiap kali mengingat beliau, kita ingat akan sosok seorang hamba Tuhan yang dengan setia menggembalakan domba-dombanya. Yohanes Pembaptis diingat oleh pengikut-pengikutnya sebagai: “dia tidak pernah membuat satu mujizat pun, tetapi semua yang dia katakan tentang Mesias, adalah benar.” Apa yang generasi selanjutnya ingat akan Saudara? Apakah Saudara akan diingat sebagai orang yang mendapatkan banyak berkat –“buset, mobil dia ada 7”—atau Saudara dikenang sebagai orang yang membagi-bagikan berkat besar, seperti Dorkas yang ditangisi ribuan wanita karena semasa hidupnya selalu menjadi berkat, membagi-bagi pakaian kepada ibu-ibu yang memerlukan?
Jadi, tentang janji Tuhan, Tuhan selalu mempersiapkan orang-orang yang dipanggil-Nya, Tuhan menuntut ketaatan orang-orang yang dipanggil-Nya; dan yang ketiga: janji Tuhan tidak digagalkan oleh ketidaktaatan kita. Satu perikop yang menjelaskan ini yaitu dari ayat 10-20, tentang ketidaktaatan Abraham. Kalau ayat 1-9 menjelaskan ketaatan Abraham yang legendaris, dipanggil keluar, dia langsung keluar; maka ayat 10-20 justru langsung menjejakkan kaki Abraham –dia bukan malaikat. Dia sama seperti kita, manusia yang jatuh bangun, gagal di dalam ketaatan juga.
Jadi di sini kita harus sadar satu hal: panggilan Tuhan jelas bagi Abraham, dia taat, dia pergi ke Kanaan; tetapi rencana jelas, bukan berarti tanpa ujian. Sama seperti bersekolah; masuk ke sekolah jelas, tapi yang menunggu di depan adalah tes, ujian. Itulah yang juga terjadi pada Abraham. Dia sudah pergi sampai Tanah Kanaan, tanah perjanjian, dan sampai di situ dia mendapati bukan semuanya lancar melainkan terjadi kelaparan; masalah hidup dan mati. Kadang iman kita datang setelah kita mantap komitmen, “Oke Tuhan, saya jelas panggilan Tuhan, saya akan jalankan”, lalu apakah kemudian semua lancar? Tidak. Bahkan justru banyak hambatan di depan. Waktu Petrus selesai mengucapkan kalimat yang dipuji Tuhan, kalimat berikutnya adalah hardikan Tuhan Yesus kepadanya.
Kita harus tahu, pergi ke Mesir ketika terjadi kelaparan adalah hal yang sangat rasional pada waktu itu, karena Kanaan sangat bergantung pada curah hujan sedangkan di Mesir ada Sungai Nil yang sepanjang tahun menjadi irigasi mengairi tanah-tanah di Mesir. Dengan demikian Mesir tidak pernah kelaparan, dan menjadi lumbung padi bagi Kanaan. Setiap kali gagal panen, orang-orang Kanaan memang akan pergi ke Mesir. Tetapi masalahnya, waktu Abraham pergi ke Mesir, tidak ada perintah dari Tuhan untuk pergi ke sana. Kesimpulannya, bukan semua yang masuk akal dan natural, itu pasti sesuai dengan kehendak Tuhan. Buktinya kita melihat di episode berikutnya Abraham hampir-hampir kehilangan visi hidupnya.
Waktu Abraham pergi dari Ur ke Kanaan, itu didorong oleh imannya; sedangkan ketika pergi dari Kanaan ke Mesir, itu didorong oleh rasa takut dan tidak beriman kepada janji Tuhan. Dia mungkin mulai membuat rasionalisasi begini: saya ‘kan menerima janji Tuhan bahwa berkat ke seluruh dunia akan melalui saya; kalau saya mati, bagaimana mungkin janji Tuhan bisa terlaksana, jadi saya membantu Tuhan. Inilah masalah pertama, rasionalisasi mencoba membantu Tuhan. Yang kedua, dia mulai membuat strategi-strategi manusia. Diam di Kanaan yang kelaparan, berarti menunggu mati; sedangkan pergi ke Mesir, berarti selamat tapi berbahaya, karena Sarai cantik (ketika itu masih hukum rimba, kalau ada kelompok-kelompok yang saling menyerang, biasanya wanita-wanita cantik diselamatkan untuk dijadikan simpanan, lalu suaminya dibunuh). Oleh karena itu Abraham berkata kepada istrinya, “Engkau seorang perempuan yang sangat cantik, tapi kalau orang Mesir melihat engkau, mereka akan bunuh aku. Karena itu, kita bikin strategi, jangan katakan bahwa aku suamimu, katakan saja aku kakakmu.”
Memang pada zaman itu, yang negosiasi soal pernikahan, tentang mas kawinnya, dsb. adalah kakak laki-laki; seperti ketika Ishak mau menikah dengan Ribka, negosiasinya dengan Laban, kakak laki-laki dari Ribka. Jadi strategi Abraham ini bagus, pintar. Jangan bilang aku suamimu, nanti aku dibunuh, kamu dijadikan budak seks, sama-sama rugi; bilang saja aku kakakmu, maka kita bisa nego mas kawin. Kalau ada yang tertarik mengambil kamu, kita taruh saja harga yang tinggi, 5 M, karena siapa yang bisa bayar?? Lalu kita delay 5 bulan, 6 bulan, sampai kita bisa pindah lagi. Strategi ‘delay’ yang cukup strategis, hanya saja Abraham tidak pernah menyangka satu hal: yang tertarik kepada Sarai bukan rakyat biasa, melainkan Firaun –“lu mau 5 M, gua bisa; lu mau harga seberapa pun, gua bisa”. Maka kemudian dikatakan Abraham diberi keledai betina –seperti Avanza zaman ini–, lalu unta –seperti Ferrari, yang tidak ada gunanya tapi simbol status. Inilah masalahnya; yang namanya janji Tuhan melalui Abraham, bahwa Sara mendapat anak dan menjadi berkat besar, sekarang ada di ujung tanduk.
Taktiknya semula berjalan baik, sampai kemudian di istana Firaun seakan tidak ada harapan. Abraham tidak percaya bahwa Tuhan bisa menyelamatkan dia dari situasi kelaparan, dan sekarang pun satu-satunya jalan keluar bagi Abraham adalah kalau Tuhan intervensi. Dan itulah yang Tuhan lakukan. Tuhan mengintervensi, membawa Abraham keluar dari Mesir. Jadi poin utama perikop ini adalah tentang Tuhan mengintervensi, membawa Abraham keluar dari Mesir, sama seperti bangsa Israel keluar dari Mesir hanya karena intervensi Tuhan. Di sini seakan-akan Musa menulis kepada bangsa Israel, “Ingat, ya, kalian keluar dari Mesir bukan karena hebat, kalian tidak akan menang lawan tentara Mesir yang begitu besar, kalian kaum budak yang tidak pernah berperang; dan kalian bisa jadi bangsa yang bebas sekarang, hanya karena intervensi Tuhan.” Jadi dalam hal ini Abraham sama kondisinya dengan bangsa Israel.
Itu sebabnya agak salah kalau banyak tafsiran membahas bagian ini tentang Abraham yang bohong tapi yang dihukum Firaun, malahan Abraham mendapat unta, keledai, kambing, domba, budak, jadi makin kaya. Cerita ini bukan masalah moral tentang berbohong atau tidak berbohong. Juga bukan tentang nenek-nenek 65 tahun masih diincar oleh Firaun, jadi pastinya Sarai cantik banget; lalu ada tafsiran yang berusaha menjelaskan bahwa usia 65 tahun bukan nenek-nenek karena waktu itu umur manusia sampai 175 tahun, jadi Sarai seperti orang umur 30 tahun, tidak heran masih cantik. Poinnya bukan tentang itu semua. Cerita ini ditulis bagi bangsa Israel yang akan melihat ‘dulu nenek moyang kami –12 suku– ke Mesir karena kelaparan, mereka diperbudak di situ, mereka sudah tidak ada way out untuk keluar kecuali intervensi Tuhan’; dan mereka melihat bahwa kisahnya sama dengan kisah Abraham. Abraham keluar dengan membawa banyak harta, dan bangsa Israel waktu keluar juga membawa banyak pemberian dari orang-orang Mesir. Inilah pesan utamanya: tentang intervensi Tuhan yang setia menjaga janji-Nya walaupun Abraham gagal dalam ketaatannya; dan Tuhan yang berjanji setia kepada bangsa Israel untuk membawa mereka keluar dari Mesir kembali ke Kanaan, walaupun mereka berjalan 40 tahun lamanya, Tuhan tidak akan pernah lupa pada janji-Nya, Dia pasti menggenapi janji-Nya. Jadi bangsa Israel jangan pernah menyerah, jangan pernah meragukan janji Tuhan, karena Allah yang berjanji adalah Allah yang setia.
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7). Paruh yang pertama dari ayat ini –serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya– adalah bagian yang seringkali kita gagal. Bukankah seringkali Saudara tidak menyerahkan kekuatiran Saudara? Saudara pegang erat-erat kekuatiran Saudara, bikin plan A, plan B, plan C, berbagai rencana cadangan kalau Tuhan tidak bekerja, sama seperti human strategy Abraham yang bagus itu. Tapi seringkali kita sadar bahwa itu akhirnya gagal. Namun paruh kedua dari ayat ini –sebab Ia yang memelihara kamu—adalah hal yang tidak pernah gagal; Tuhan akan selalu memelihara kita. Maka waktu kita membahas kisah ketaatan dan ketidaktaatan Abraham ini, hal tersebut menjadi contoh teladan dan sekaligus menjadi peringatan bagi bangsa Israel di zaman Musa, dan bagi kita sekarang di abad 21.
Namun kalau kisah Abraham ini hanya menjadi contoh untuk kita mengikuti teladannya, celakalah kita. Siapa dari kita di sini yang bisa mengikuti jejaknya Abraham? Apa Saudara berani pergi ke satu negeri yang Tuhan tunjuk dan tidak jelas? Tidak ada dari kita yang siap; mengikuti jejak Abraham pun begitu sulit bagi kita. Tetapi untunglah keselamatan itu standarnya bukan Abraham –yang bahkan teladan yang tidak sempurna ini pun kita tidak bisa mengikutinya—melainkan oleh apa yang Kristus sudah lakukan bagi kita. Inilah tumpuan keselamatan kita; bukan apa yang harus kita lakukan supaya diterima oleh Tuhan, melainkan apa yang Kristus sudah lakukan untuk kita bisa diterima oleh Tuhan Allah.
Dengan demikian, peran Abraham bukan cuma sebagai contoh teladan, tetapi sebagai bayang-bayang yang menunjuk kepada Kristus. Memang patut kagum terhadap Abraham, tapi Abraham bukan poinnya, bukan garis finishnya. Abraham hanya bayang-bayang yang menunjuk kepada Nabi yang lebih besar, Kristus. Abraham taat, keluar dari Ur ke Kanaan yang jaraknya 1000 Km, beda negara, beda iklim. Kristus taat, turun dari surga; itu pindah alam, pindah natur, dari Allah menjadi manusia. Abraham dijanjikan nama besar, Kristus menerima Nama di atas segala nama. Abraham berbohong untuk menyelamatkan dirinya, tapi Kristus berkata kebenaran yang justru mebuat musuh-musuh-Nya menyalibkan Dia. Abraham diselamatkan dari Mesir menuju Kanaan, tapi kita diselamatkan Tuhan dari dosa dan maut menuju ke Tanah Perjanjian surgawi.
Kita sama seperti Abraham, jatuh bangun dalam iman. Kita seperti Abraham yang hidup di tengah-tengah jepitan antara janji Tuhan yang besar tadi –nama besar, seluruh Tanah Kanaan, bangsa yang besar—dengan fakta realita yang sampai mati Abraham tidak pernah menerima, hanya melihat dari jauh; kita juga hidup di antara jepitan fakta Tuhan yang besar –katanya jadi Kristen lancar, diberkati, dijaga oleh Tuhan—seakan-akan bebas dari masalah, tapi realita fakta sehari-harinya mengecewakan. Janjinya promised land, faktanya famine land; janjinya berkat besar, faktanya kelaparan. Janjinya berkat besar, faktanya ATM BCA makin lama makin kering; janjinya semua lancar, faktanya orderan makin lama makin sepi, relasi makin buruk. Betul bahwa di Jumat Paskah, Tuhan Yesus Kristus menggenapi semuanya, “tapi Pak Pendeta, besok ‘kan hari Senin, dead line kerjaan menunggu, bos gila menunggu, anak-anak merengek seperti biasa, istri ngambek seperti biasa, mertua mewek seperti biasa” –inilah fakta sehari-hari yang kita hadapi.
Kita bergumul dengan pencobaan. Dan ketika kita melihat faktanya, pencobaannya adalah bahwa kita ingin kembali ke Mesir, di sana ada kemudahan, ada berkat yang gampang –tetapi bukan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, harap 2019 ini menjadi tahun untuk kita taat dan menjadi berkat. Ketaatan kepada Tuhan kadang meminta harga yang mahal; jadi solusinya apa? Solusinya seperti Abraham, berharap kepada janji Tuhan dan kepada Tuhan yang memberi janji serta panggilan itu.
Kristus memanggil umat-Nya, “Ikutlah Aku, pikullah salib-Ku.” Pattern hidup kita tidak jauh berbeda dengan hidup Kristus, suffering unto glory. Kalau Saudara hanya berharap glory, tanpa suffering, itu omong kosong, karena Kristus pun mengalami glory with suffering. Dan kita akan terus mengalami penderitaan-penderitaan itu sampai kita terus menantikan kemuliaan yang Tuhan janjikan di depan nanti, maka pegangan kita jangan sampai melemah. Tapi ketika pegangan kita melemah dan kita gagal, ingatlah janji Tuhan tidak mungkin digagalkan oleh kegagalan kita. Janji Tuhan tidak bisa digagalkan semata oleh karena kita gagal, namun itu bukan berarti kita boleh gagal; justru karena Tuhan tidak pernah gagal dalam janji-Nya, itu memberi kita kekuatan memegang janji-Nya.
Dan satu saat, gap antara janji Tuhan dengan pengalaman kita akan selesai, tidak ada lagi gap antara famine land dengan promised land, suatu saat semua famine land akan menjadi promised land. Suatu saat relasi Saudara yang berantakan akan dipulihkan, harapan-harapan Saudara yang tidak pernah terealisasikan akan digenapi, di dalam kebangkitan Kristus. Kita tidak perlu menunggu sampai kedatangan Tuhan yang kedua, itu sudah digenapi here and now, surga itu sudah datang. Langit dan bumi baru sudah mulai bekerja efeknya saat ini, ketika kita berkomitmen taat untuk menjadi berkat, seperti Abraham taat, keluar, untuk menjadi berkat bagi orang lain.
Kalau Saudara coba untuk menghitung berkat, yang pertama misalnya kesehatan, keluarga, masih ada pekerjaan, masih ada makanan di atas meja, saldo di rekening belum kosong, masih bisa jalan-jalan –banyak sekali. Tetapi kita diminta bukan hanya menghitung berkat yang ada pada kita, melainkan bagaimana berkat itu menjadi berkat bagi orang lain. Berkat tidak boleh mandek pada diri kita, kita taat untuk menjadi berkat keluar. Layanilah Tuhan, dan kita minta kehendak Tuhan yang jadi di bumi seperti di surga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading