Bagian yang sudah kita baca hari ini adalah satu penjelasan dari apa yang sudah kita baca di dalam perikop yang sebelumnya yaitu tentang 70 murid yang diutus untuk masuk ke dalam kota memberitakan tentang Kerajaan Allah, lalu ada kota yang menerima dan ada kota yang menolak. Dan sudah kita pelajari juga bagaimana nasib atau keadaan yang menimpa kota yang menolak berita Kerajaan Allah tersebut. Dan di dalam bagian ini ayat 13-15, perkataan-perkataan yang begitu keras diberikan Kristus kepada kota-kota yang menolak pemberitaan Kerajaan Allah, jadi bukan tidak ada penghakiman, penghukuman.
Kita harus berhati-hati dengan satu keadaan penginjilan yang cenderung mengobral atau membuat murah semua janji-janji, belas kasihan, cinta kasih, tetapi tidak ada kalimat-kalimat penghukuman. Kita percaya di dalam pemberitaan Kerajaan Allah yang sejati, kita bukan hanya memberitakan belas kasihan, tetapi kita juga memberitakan teguran, memberitakan penghakiman, seperti kita baca di dalam ayat 13-15 ini. Di dalam kehidupan saudara dan saya, di dalam kelemahan kita, kegagalan kita adalah saat dimana kita seharusnya mengekspresikan belas kasihan, tetapi kita mengekspresikan kalimat-kalimat penghukuman dan penghakiman di dalam kedagingan kita. Dan sebaliknya, dimana saat-saat kita seharusnya mengatakan kalimat-kalimat yang keras, tetapi kita malah menjalani idiologi humanisme, kita sungkan, apalagi kita adalah orang Timur, lalu kita takut untuk memberikan teguran-teguran yang to the point, dan kita berharap ya kalau bisa dia mengenal sendiri kelemahannya, dia tahu sendiri akibatnya, ya kita serahkan saja kepada penghakiman Tuhan.
Sekali lagi, murid-murid mempunyai kesulitan kapan mereka mengekspresikan belas kasihan, kesabaran dan kapan mereka juga mengekspresikan kalimat-kalimat penghukuman. Injil yang sejati tidak mungkin tanpa kalimat-kalimat kutukan atau kalimat celaka, ini pararel dengan kalimat-kalimat bahagia. Kalau boleh perbandingan dengan injil Matius (dalam perikop yang lain), Lukas adalah injil yang bukan hanya mencatat kalimat sabda bahagia, tetapi di dalam versi Lukas, kita juga membaca sabda celaka, bukan berarti Matius lebih humanis daripada Lukas, dua-duanya di dalam kepenuhan Roh Kudus. Tapi agaknya Lukas adalah seorang penginjil yang sangat unik dipakai oleh Tuhan, di dalam hal ini memberitakan secara pararel, gambaran antara kalimat-kalimat bahagia dengan kalimat celaka. Waktu Matius mengatakan, berbahagialah orang yang miskin di dalam RohNya (dalam bahasa Indonesia dituliskan, dihadapan Allah), Lukas menambahkan, berbahagialah mereka yang miskin, tetapi juga, celakalah kamu yang kaya. Saya tertarik dengan orang-orang puritan, mereka bukan hanya menyampaikan kalimat berkat, tetapi juga kalimat kutukan, mereka menyampaikan secara pararel kalimat berkat dan kutukan. Kalimat kutukan bukan tidak ada di dalam alkitab, Paulus pernah mengatakan kalimat yang keras sekali, terkutuklah mereka yang tidak mengasihi Yesus, itu kalimat luar biasa keras, berkat bagi kita yang struggle dalam pengikutan kita akan Tuhan, tetapi kutukan bagi mereka yang tidak mempedulikan Tuhan.
Maka ketika kita membaca di dalam bagian ini, kalimat-kalimat yang keras diucapkan kepada Khorazim, Betsaida, bahkan di dalam satu perbandingan yang sangat vulgar, Tirus dan Sidon, itu kota-kota yang sudah ditinggalkan di dalam saat pelayanan Yesus. Ini kota-kota yang sudah sangat memprihatinkan, kota-kota yang melawan Tuhan. Tetapi di dalam perbandingan ini dikatakan, bahkan dosa-dosa yang terjadi di Tirus dan Sidon atau karena bagaimana sikap mereka akan menjadi receptive seandainya saja mujizat terjadi di tengah-tengah mereka, tidak bisa dibandingkan dengan kekerasan hati kota-kota yang dilayani oleh Yesus Kristus. Ini sesuatu yang ironis, waktu ada kota-kota yang di dalam kedaulatan Tuhan justru dikunjungi oleh Yesus Kristus sendiri, tetapi mereka menolak, mereka tidak menerima dan mereka tidak mengindahkan berita Kerajaan Allah, sehingga kecelakaan akan menimpa mereka. Sekali lagi, waktu kita membaca poin ini, Yesus menahan bagian ini sampai kepada hari eskatologis dan bukan segera, dalam bagian ini kita melihat kematangan seorang kristen, seorang percaya, bukan takut, lalu tidak ada kalimat penghakiman. Tetapi bersamaan dengan itu juga menyerahkan penghakiman itu kepada Tuhan dan dengan sabar menyatakan penghakiman Tuhan dinyatakan pada waktunya.
Di dalam kedagingan saudara dan saya, kita seringkali, apalagi kalau kita yang dirugikan, kita yang terluka, kalau kita yang jadi victim, maunya kita adalah keadilan segera dinyatakan, lalu orang langsung mendapat penghukuman dan penghakimannya, tetapi seringkali di dalam rencana Tuhan, itu ditahan sampai kepada hari yang terakhir. Sebetulnya hal ini melatih ketekunan saudara dan saya, melatih juga integritas kehidupan kita, Tuhan bukan tidak tahu bagaimana Daud dibawah kepemimpinan Saul yang begitu corrupted itu, tetapi Tuhan mengijinkan itu terus terjadi dan di dalam waktu yang cukup panjang, bukan satu atau dua hari, tetapi bertahun-tahun. Itu adalah satu pembentukan yang Tuhan kerjakan di dalam kehidupan saudara dan saya waktu kita berurusan dengan pengalaman evil, suffering, termasuk juga morally evil yang kita alami di dalam kehidupan ini. Murid-murid ada temptation, kalau bisa segera mau menjatuhkan hukuman kepada kota-kota ini, tetapi Yesus terus mengingatkan kepada mereka, mereka memberikan satu tindakan simbolis, mengebaskan debu dari kaki mereka. Tapi sekali lagi, penghukuman atau penghakiman itu dilakukan oleh Tuhan sendiri dan pada harinya Tirus dan Sidon, tanggungannya akan lebih ringan daripada kota-kota itu, demikian juga Kapernaum yang di sini dikatakan, dinaikkan sampai ke langit. Mengapa ada kalimat seperti ini, karena Kapernaum itu secara geografis tempatnya di dataran tinggi. Di dalam alkitab seringkali memakai gambaran-gambaran seperti ini, alusi-alusi, yaitu misalnya Kapernaum yang happen to be, kebetulan ada di tempat yang tinggi seperti menjulang ke atas, termasuk dengan kemegahannya dsb. tetapi kemegahan itu akan dilenyapkan oleh Tuhan, Kapernaum akan diturunkan sampai ke dunia orang mati, kerena kemegahan itu hanya kemegahan sementara.
Lalu ayat 16, yang muncul di dalam bagian ini yaitu penolakan atau penerimaan, itu pada dasarnya adalah bukan kita yang ditolak atau diterima, tetapi Yesus yang ditolak atau diterima. Di dalam kehidupan pelayanan, kita harus belajar untuk menjadi orang yang tidak narsisistik, narsisistik di dalam pengertian, waktu orang menerima kita, lalu kita menerima penerimaan itu sebagai penerimaan terhadap diri kita sendiri, lalu kita menjadi bahagia, sukacita. Tapi waktu orang menolak, kita menjadi begitu sakit hati, begitu jengkel, marah, tersinggung dst., sikap seperti ini adalah ketidakdewasaan di dalam pelayanan, ketidakdewasaan di dalam mengikut Kristus. Tentu saja di sini asumsinya waktu kita melakukan sesuatu yang benar, kalau orang menolak karena kita melakukan sesuatu yang salah, ya memang seharusnya kita introspeksi, di sini asumsinya adalah waktu kita mengalami penolakan atau penerimaan, kita menyerahkan penerimaan dan penolakan itu sebagai penerimaan dan penolakan terhadap Tuhan, bukan terhadap kita, bukan terhadap saudara dan saya.
Saya percaya kesulitan pelayanan bisa terjadi dalam kehidupan kita, kalau kita sangat dikuasai oleh perasaan saya diterima atau ditolak. Lalu kalau saya diterima jadi sangat ter-encourage, saya menjadi sangat bahagia di dalam kehidupan pelayanan, tapi waktu kita ditolak, kita menjadi begitu dingin, kita jadi menahan diri, kita juga jadi tidak sanggup memeluk lagi, kalau seperti itu, sebenarnya itu bukan sedang melayani Tuhan, tetapi melayani perasaannya sendiri. Saudara dan saya tidak dipanggil untuk mencari penerimaan atau menjadi sakit hati terhadap penolakan-penolakan seperti itu, karena di dalam ayat ini dikatakan, “Barangsiapa yang mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku”, artinya: kita jangan ge-er. Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku, itu bukan karena kamu fasih lidah, bukan karena kamu yang hebat, punya kuasa persuasi, tetapi karena mereka terbuka hatinya untuk mendengarkan Yesus, untuk mendengarka firman Kerjaaan Allah dan bukan karena murid-murid tadi. Tetapi bersamaan dengan itu juga, pararelnya, waktu pekerja-pekerja di dalam Kerajaan Allah itu mengalami penolakan, sekali lagi penolakan itu bukan terhadap mereka, tetapi terhadap Yesus dan menolak Yesus berarti menolak Bapa yang mengutus Yesus, satu persoalan yang luar biasa besar.
Kalau hanya sekedar kita yang ditolak, itu isu kecil sekali, bahkan mungkin non isu, kita harus berhati-hati di dalam kehidupan kita, saya pikir, bukan hanya konteks di dalam gereja, tetapi juga di dalam seluruh aspek hidup kita, di pekerjaan dsb. Bagaimana kita bersikap waktu mengalami penolakan dari sesama kita atau mungkin bawahan kita, nah kita menjadi kuatir kalau kita lebih sensitif waktu orang menolak kita dari pada orang menolak Kristus. Seperti Daud, bagaimana waktu dia berhadapan dengan Goliat, kejengkelan dan kemarahannya, sakit hatinya, itu sakit hati yang Teosentris, bukan sakit hati kekanak-kanakan, seperti seringkali terjadi di dalam kehidupan kita. Daud bukan tidak ditolak secara pribadi, dia dilecehkan oleh kakak-kakaknya sendiri, kamu ngapain ada di sini? Aku tahu niat jahatmu, dst., tetapi Daud tidak tersinggung, dia punya alasan untuk tersinggung kalau dia mau, dia ditolak seperti itu. Tetapi kegusarannya waktu dia menghadapi Goliat, ada satu kalimat yang muncul, “siapa orang ini, yang menghina barisan Allah yang maha tinggi?” Daud tidak mengatakan, siapa orang ini yang menghina orang Israel, ini kan Israel, bukan saya, tidak narsisistik atau waktu kita berkata, siapa orang ini ya, yang menghina GRII? Siapa orang ini yang menghina teologi reformed? Tetapi Daud masih ada diatasnya, “yang menghina barisan Allah yang hidup”. Daud menjadi gusar karena si Goliat ini menghina nama Tuhan, bukan menghina Israel dan bukan menghina dia juga, itu non isu di dalam kehidupan Daud, kalau Daud melayani itu, dia tidak akan menjadi orang yang dipakai Tuhan dengan leluasa, tetapi dia akan terus melayani penerimaan, penolakan, kalau ada penolakan jadi sedih, kalau ada penerimaan jadi bergairah dsb.
Yang menjadi pertanyaan adalah orang-orang seperti itu sebenarnya melayani siapa? Melayani Tuhan atau melayani dirinya sendiri? Melayani pencitraan dirinya atau melayani Yesus Kristus? Saudara dan saya dipanggil untuk melayani Yesus, bukan melayani diri kita sendiri, panggilan itu bukan satu panggilan yang biasa, panggilan itu adalah satu panggilan yang sangat mulia, bahkan melampaui panggilan yang dilakukan oleh Elia kepada Elisa. Panggilan yang saudara dan saya terima lebih tinggi daripada pangggilan Elisa dari Elia, menurut Yesus, bukan menurut saya ya, karena yang memanggil disini bukan Elia, tetapi Yesus Kristus. Maka poin ini, “barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku, barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku”, seharusnya menguduskan kita, seharusnya menyempurnakan kita akan kepekaan-kepekaan, sensitifitas-sensitifitas yang seringkali menjadi halangan-halangan di dalam kehidupan kita melayani Tuhan, bukan tidak bisa dipakai Tuhan sama sekali, bisa dipakai tetapi tidak powerful, tidak leluasa, selalu ada batas, karena kita sendiri yang membatasi. Kalau kita masih boleh membaca bagian ini sebagai sub dari perkataan Yesus yang sangat penting itu, “Barangsiapa yang mau mengikut Aku, dia menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”.
Menyangkal dirinya, tidak ada kemungkinan kalau kita tidak menyangkal diri lalu kita bisa mengikut Tuhan dengan sempurna, dengan leluasa, tidak ada kemungkinan itu. Cuma ada satu-satunya kemungkinan yaitu waktu saudara dan saya menyangkal diri dan salah satu penyangkalan diri yang sederhana yaitu menyangkal kepekaan terhadap perasaan kita. Ada orang yang perasaannya itu hampir mirip seperti Tuhan, kalau tidak mau dibilang Tuhan dalam kehidupannya, (meskipun tentu saja dia tidak akan mengatakan seperti itu), dia selalu bilang Yesus adalah Tuhan, saudara dan saya selalu correct di dalam percakapan-percakapan teologis, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali sangat diombang-ambingkan terhadap penerimaan atau penolakan orang lain terhadap kita. Lalu sebetulnya kita sedang melayani perasaan kita, satu kerusakan, satu kebahayaan, sesuatu yang sayang sekali kalau di dalam kehidupan kita sebenarnya yang sedang kita kerjakan adalah pencitraan, pembangunan image, mencari penerimaan dan menghindari penolakan. Tetapi Yesus di sini ingin menarik di dalam prinsip Kristus sentris, berpusat pada Yesus sendiri dan akhirnya Teosentris, berpusat pada Bapa yang mengutus Yesus. Jadi dalam bagian ini tidak ada alasan untuk ge-er dan tidak ada alasan juga untuk terlalu kecewa dan terlalu discourage, tidak ada alasan untuk main hakim sendiri, juga tidak ada alasan untuk main power, karena penolakan itu bukan penolakan terhadap kita, ini penolakan terhadap Yesus Kristus.
Kalau kita melihat ayat selanjutnya 17-24, kita sudah merenungkan bagian sebelumnya, bagaimana tadinya murid-murid gagal di dalam mengusir setan, sampai Yesus sendiri harus turun tangan mengusir setan dan menyembuhkan orang yang di dalam sakit penyakit. Dalam bagian ini mereka jadi gembira, karena setan-setan itu takluk kepada kami demi namaMu, alkitab memberikan satu gambaran yang lugu sekali daripada sukacita murid-murid ini. Saya tertarik dengan pengkalimatan bahasa Indonesia, khususnya yang sangat-sangat baik, ”Setan-setan takluk kepada kami demi namaMu”, kalau kita bermain kata-kata, bukankah akan lebih Teosentri dengan mengatakan: “Setan-setan takluk kepadaMu melalui kami”, tetapi memang spiritualitasnya tidak sampai kesitu. Setan-setan takluk kepada kami, tapi demi namaMu, mungkin demi namaMu hurufnya kecil sekali, tapi kalau kepada kami, hurufnya besar sekali, ini yang melakukan kami (sola gracia, dengan anugerah Tuhan), tetapi ketika bicara itu suaranya hampir tidak terdengar. Secara penggambaran di dalam bahasa Indonesia menurut saya cukup menarik, sebenarnya kalau kita lihat, kita observe secara manusia, ya wajar saja, karena mereka baru gagal. Secara manusia kegembiraan itu merupakan satu proses perubahan yang wajar, Yesus juga mengkonfirmasikan kejatuhan iblis yang ditulis dalam ayat 18, betul, memang ini bukan distorted picture of reality, jadi kejatuhan setan itu bukan dibikin-bikin, bukan hasil daripada pencitraan.
Tetapi Yesus kemudian mengatakan di dalam ayat 20, “jangan bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi karena namamu ada terdaftar di sorga”, sekali lagi, sukacita seorang pelayan Kerajaan Allah bukan karena setan-setan takluk, itu menurut Yesus hal biasa. Tetapi mengapa kita bersukacita, karena nama terdaftar di sorga, ada beberapa tafsiran yang membahas ayat 20 ini, salah satunya ayat 20 ini ditujukan kepada Yudas supaya dia introspeksi, apakah sebenarnya namamu terdaftar di dalam Kerajaan Sorga? Maksudnya apakah kamu masuk kelompok orang yang percaya atau sebetulnya kamu munafik dan pura-pura percaya? Maka kalimat ini menjadi satu teguran yang diberikan kepada salah satunya Yudas, tetapi kita juga percaya bahwa ayat ini juga berlaku bagi murid-murid yang lain, yang juga adalah orang-orang pilihan, orang-orang yang namanya terdaftar di sorga. Maksudnya adalah sukacita, bahagia atau kegembiraan yang sejati menurut Yesus Kristus yaitu karena kita mengalami keselamatan, karena dosa-dosa kita ditebus dan kita dikeluarkan di situ, dari situ kita lalu mendapatkan satu bahagia, kehidupan yang kekal di dalam Yesus Kristus.
Kalau kita boleh menguji apa yang menjadi kesedihan, menjadi sukacita kita yang terdalam, misalnya murid-murid di sini kegembiraan atau sukacitanya adalah bagaimana mereka sukses di dalam pelayanan, setan-setan itu takluk di dalam nama Yesus melalui mereka, mereka sukacita karena itu, tetapi Yesus kemudian mengatakan sukacita karena namamu terdaftar di sorga. Di dalam kehidupan ini kita dipenuhi dengan naik turunnya atau datangnya kegembiraan dan kesedihan, tetapi yang langgeng, yang tidak pernah berubah adalah ketika nama kita terdaftar di sorga, itu dasar sukacita yang tidak bisa digoyah. Kalau pelayanan kita bisa ditolak, bisa diterima, mungkin waktu diterima, wajar kalau kita lebih sukacita, waktu ditolak mungkin ada kesedihan, hal seperti itu naik turun. Kehidupan keluarga kita, keluarga saudara dan saya juga naik turun, ada saat kita bahagia, saat sentimentil, mungkin sampai bisa keluar air mata, tapi ada saat-saat yang begitu kering, bukan hanya kering, tapi banyak konflik terjadi di dalam kehidupan keluarga kita. Itu bukan sesuatu yang kita bisa mendasarkan sukacita kita terus-menerus secara kekal, bahkan keterlibatan-keterlibatan di dalam pelayanan-pun, menurut Yesus Kristus bukan dasar sukacita yang terus-menerus, bukan, tapi hanya satu yaitu sukacita karena keselamatan yang kekal, yang Tuhan berikan di dalam kehidupan saudara dan saya.
Bagaimana kita bisa memahami sukacita seperti ini? Bagi saya sukacita selalu pararel dengan dukacita, apa yang menjadi dukacita kita terbesar juga sekaligus adalah sukacita kita yang terbesar. Kalau dukacita kita terbesar misalnya adalah dilukai atau tidak dimengerti orang lain, maka sukacita terbesar adalah bagaimana orang menyukai saya, pararel kan? Kalau dukacita terbesar adalah suami tidak mengasihi saya, maka sukacita terbesar adalah suami mengasihi saya, itu pararel, kalau dukacita terbesar adalah kalau dagangan saya ini tidak berjalan seperti yang saya inginkan, penghasilan tidak seperti yang saya harapkan, maka sukacita terbesar adalah ya income, penghasilan sesuai dengan harapan, kalau perlu melampaui harapan saya, itulah sukacita terbesar. Apa yang menjadi dukacita saudara dan saya, itu juga akan membangun, menentukan apa yang menjadi sukacita saudara dan saya. Tetapi ayat di sini mengatakan, sukacita karena nama kita terdaftar di sorga, berarti dukacita terbesar, harusnya di dalam kehidupan saudara dan saya adalah kejatuhan di dalam dosa. Kalau dukacita terbesar kita adalah gagal, jatuh di dalam dosa, lalu di situ terjadi satu penyangkalan identitas kita sebagai orang percaya, maka sukacita terbesar adalah karena kita mendapati satu fakta bahwa kita sudah diampuni, kita diselamatkan, nama kita terdaftar di sorga.
Injil itu harus selalu ber-resonan di dalam hati kita, waktu injil menjadi satu berita yang memuakkan, waktu injil menjadi satu berita yang tidak bisa lagi menggetarkan hati kita, lalu bahkan mungkin kita memakai ayat-ayat alkitab … oh… saya sudah dewasa, saya perlu makanan keras, bukan susu, susu itu lagi. Lalu kita katakan, injil itu seperti susu, saya perlu makanan keras, memang ada tulisan Paulus yang mengatakan seperti itu, tetapi di dalam bagian yang lain Petrus menggambarkan kehausan itu juga di dalam kalimat yang menggunakan metafora susu, jadi susu tidak harus sesuatu yang selalu salah, susu bukan selalu identik dengan kekanak-kanakan, tapi air susu yang murni, yang rohani, itu sesuatu yang positif, yang seharusnya bisa menggetarkan kehidupan saudara dan saya waktu kita mengikut Tuhan.
Waktu kita membangun kegembiraan di dalam dasar yang tidak langgeng, bersamaan dengan itu di dalam kehidupan akan disertai kesedihan yang naik turun, lalu ada kegembiraan, ada kesedihan dst., saya bukan mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh punya kegembiraan apa pun kecuali ini, bukan, saya percaya Yesus pun bukan sedang mengajarkan itu, tidak, tetapi yang dimaksud adalah apa yang mendasari sukacita kita yang terdalam, yang paling langgeng, yang paling lasting, menurut Yesus adalah karena nama kita terdafar di sorga, karena kita sudah diselamatkan, karena kita sudah dibebaskan dari dosa. Waktu dosa masuk di dalam kehidupan kita, itu menghasilkan dukacita terbesar, karena relasi kita dengan Tuhan jadi rusak, jadi terganggu dan orang yang kehilangan relasinya dengan Tuhan atau terganggu relasinya dengan Tuhan, dia akan menderita dukacita di dalam jiwanya. Pada waktu kita boleh mengembalikan pengudusan, afeksi atau emosi di dalam perspektif perikop yang kita baca pada hari ini, kita melihat Yesus mengajarkan kepada kita, kepada murid, sebagai pelayan-pelayan, sebagai pengikutNya, konsep kegembiraan, konsep sukacita bahkan tidak dibangun dari kesuksesan atau kegagalan dari pelayanan, bukan dibangun atas kesuksesan atau kegagalan bagaimana kita hidup di dalam keluarga dsb., itu bisa ada naik turunnya, tetapi semata-mata karena nama kita terdaftar di sorga.
Di dalam ayat 21-24, dalam ayat ini Yesus sendiri juga bergembira karena kedaulatan dan rencana Tuhan, serta maha bijaksana Ilahi, waktu kita membaca ayat 21 yaitu Allah yang menghendaki orang-orang yang kecil ini untuk masuk (masuk di dalam pengertian kebenaran), tetapi menyembunyikan itu bagi orang bijak dan orang pandai. Ini ciri khas dari Lukas, dalam penggambaran dia selalu mengangkat, menaikkan orang-orang yang sederhana, orang-orang yang kecil, orang-orang yang biasa, lalu memberikan teguran yang keras kepada orang-orang kaya, orang-orang bijak, orang-orang yang pandai, orang-orang yang kuat dan mulia menurut dunia ini. Mengapa? Karena di dalam struktur atau sosiologis Kerajaan Allah itu ada penjungkirbalikan dari pada apa yang terjadi di dalam dunia ini dan saya percaya kehidupan gereja seharusnya menyaksikan penjungkirbalikan ini, apa yang tidak diterima dunia seharusnya diterima oleh gereja, apa yang dipuji oleh dunia, seharusnya dianggap sepi saja oleh gereja. Terjadi penjungkirbalikan seperti itu di dalam kehidupan Kerajaan Allah, saudara dan saya dipanggil untuk berbagian di dalamnya. Waktu kita melihat di sini, orang bijak, orang pandai, saya percaya ini bukan diskriminasi bagi orang bijak, kaya, pandai dsb., tetapi di dalam penghayatan yang subyektif, maksudnya adalah ada orang yang merasa diri bijak, pandai, ya mungkin di dalam kenyataan sebenarnya dia tidak terlalu pandai, tetapi dia merasa diri pandai. Mungkin di dalam kenyataan dia adalah orang yang miskin rohani, tetapi di dalam hatinya dia merasa kaya dan self sufficient, cukup, tidak membutuhkan sesamanya, orang-orang demikian adalah orang yang dimaksud dengan istilah kaya di dalam firman Tuhan, jadi bukan dalam pengertian berapa banyak income, penghasilannya perbulan, bukan itu, tetapi lebih pada pengertian penghayatan subyektif.
Apakah seseorang itu merasa hebat, kaya, besar, bijak, mulia, pandai atau dia menghayati dirinya sebagai orang yang sederhana, kecil atau biasa-biasa saja. Yesus bersyukur, karena di dalam kedaulatan Tuhan, di dalam bijaksana Ilahi, Tuhan justru memperkenalkan injil yang mulia itu kepada orang-orang seperti ini. Theology of the cross ala Lukas menyembunyikan kemuliaan itu, Yesus sendiri tidak memamerkan, tidak show off kebesaranNya secara duniawi, tidak, tetapi bahkan juga di dalam pengenalanNya, Dia juga tidak tertarik untuk membuktikan diri bahwa injil yang Dia beritakan itu sanggup menarik kaum yang paling pandai, bijak atau kaya, karena itu adalah kemuliaan duniawi, bukan kemuliaan kristen. Tetapi Yesus justru bergembira karena diterima oleh orang-orang yang kecil, saya sudah pernah sharing bagian ini, kalau di Jepang menurut seseorang, hanya orang-orang yang kecil, gagal, tidak sukses seperti itulah yang menjadi kristen, tetapi orang-orang yang berhasil, kaya, bijak, pandai dst., mereka tidak ada waktu untuk kekristenan, karena hal itu menurut gambaran banyak orang adalah agama orang-orang gagal, agama orang-orang yang tidak sanggup berjuang, dst. Paulus mengatakan, diantara kamu tidak banyak orang yang terpandang, bukan tidak ada, memang ada, tetapi tidak banyak, hanya sedikit orang yang terpandang, lebih banyak orang yang biasa-biasa saja, orang yang kecil dan sederhana.
Dan dalam bagian ini kita mendapati prinsip yang sama, Yesus bergembira di dalam Roh Kudus, karena hal itu di dalam kedaulatan Tuhan, Tuhan mengerjakan perkara-perkara yang besar ini, yang mulia ini justru untuk mencapai orang-orang yang kecil. Mengapa ya sepertinya alkitab cenderung menuju kepada mereka dan meng-exclude orang-orang yang bijak, pandai atau kaya secara dunia ini, dsb.? Saya percaya salah satu alasan yang sederhana yaitu karena orang-orang seperti ini lebih receptive, lebih terbuka untuk Kerajaan Allah. Kekayaan itu bukan dosa, kepopuleran-pun bukan dosa, kalau kita mendapatkan posisi penting, tentu saja itu bukan dosa, tetapi alangkah susahnya berada di dalam posisi itu namun tetap terbuka untuk injil anugerah. Betapa susahnya orang seperti ini mengerti apa artinya belas kasihan, susah sekali, orang kaya yang dicatat dalam alkitab akhirnya juga kehilangan kesempatan untuk percaya kepada Yesus Kristus, kerena hatinya terikat kepada kekayaan, dia tidak bisa lepas dari situ. Dia bahkan mengorbankan Yesus demi kekayaannya, lebih baik saya mendapatkan kekayaan saya daripada Yesus, tetapi mengapa mereka sulit sekali untuk percaya? Karena mereka sulit untuk terbuka, sulit untuk receptive, sulit untuk mengalami pengalaman perlu ditolong oleh orang lain atau juga oleh Tuhan, yang di luar diri mereka.
Kita akan berbahagia kalau di dalam kehidupan kita Tuhan memberikan kepada kita pengalaman hidup kekurangan, kekurangan itu tidak selalu financial bukan? Kekurangan di dalam banyak hal, lalu dari situ kita belajar terbuka, belajar bergantung, belajar memberikan Tuhan untuk mengulurkan tanganNya bagi saudara dan saya. Hidup yang sangat menakutkan adalah satu kehidupan dimana kita merasa tidak perlu lagi pertolongan dari luar, hal seperti ini bukan kemajuan, ini bukan kedewasaan tetapi kejatuhan. Kita berpikir itu adalah kedewasaan, konsep dunia waktu membicarakan tentang kedewasaan, dari satu keadaan yang bergantung, lalu makin lama makin tidak bergantung, waktu kecil saya bergantung sepenuhnya, lalu makin lama saya makin tidak bergantung, makin independent, ini adalah konsep yang dibicarakan oleh dunia. Tetapi konsep yang dibicarakan alkitab adalah orang yang dewasa, makin lama, makin bergantung, makin lama semakin merasa tidak bisa hidup sendiri, makin lama semakin merasa membutuhkan orang lain, makin lama semakin merasa membutuhkan Tuhan, makin merasa dirinya itu sederhana, kecil dan tidak punya apa-apa. Karena itu dia hanya bisa hidup di dalam pertolongan Tuhan, belas kasihan Tuhan dan sesamanya, ini orang yang dewasa, tetapi dunia membalikkan konsep ini.
Di dalam realita Kerajaan Allah kita membaca pembalikan yang tidak ada habis-habisnya dan khususnya Lukas menghadirkan bagian ini, sekali lagi, Yesus bermegah di dalam bagian ini, Yesus memberikan segala ucapan syukur dan kegembiraanNya di dalam Roh Kudus, karena di dalam kedaulatan Allah hal ini terjadi demikian. Di dalam injil yang lain kita membaca lebih jelas bagian yang ini (saya percaya ini satu even, bukan dua even), yaitu waktu murid-murid berhasil kembali di dalam pekerjaan pemberitaan Kerajaan Allah, tetapi di dalam pelayanan Yesus tidak ada orang yang dimenangkan, jadi sepertinya Yesus sendiri sebagai pemimpin gagal, ini kan merusak pencitraan. Banyak pemimpin yang tidak bisa menerima ini, pokoknya dia yang selalu harus diatas, kalau pengikut 3, dia harus 5, dst., tidak bisa tahan kalau ada orang yang ordo di bawah itu melampaui dia. Tetapi Yesus tidak ada persoalan ini, karena Dia percaya kedaulatan Allah, Yesus bukan tidur-tiduran, tidak mengerjakan dan akhirnya tidak ada jiwa yang dimenangkan, tidak, Dia sendiri juga memberitakan Kerajaan Allah, tapi di dalam kedaulatan BapaNya tidak ada orang yang berespon menerima, tidak ada orang yang receptive. Di dalam bagian itu dicatat, Yesus bersyukur dan memuliakan Bapa, itulah kehendakMu. Kedaulatan Allah seharusnya menjadi satu doktrin yang menghibur kita, di dalam kalangan reformed, doktrin kedaulatann Allah dijadikan satu isu untuk berdebat, persoalan kehendak bebas dsb., saya sangat skeptis dengan relevansi konteks kita di Indonesia perdebatan seperti itu. Sepertinya perdebatan itu menarik, hanya memenuhi intelektual kita saja, tetapi tidak mengubah kehidupan kita.
Saya percaya doktrin kedaulatan Allah, sovereignty of God, itu memang sangat penting di dalam teologi reformed, tetapi seringkali aplikasinya keliru dan dibikin-bikin, jadi tidak ada sesuatu yang menyentuh kehidupan kita. Tetapi dalam bagian ini Yesus memuji Tuhan, saya percaya hal ini didasari karena bijaksana Ilahi yang tidak pernah keliru itu, itu adalah di dalam pertimbangan Tuhan, tapi juga di dalam kedaulatanNya, memang Tuhan yang menghendaki seperti itu. Dan Yesus sendiri mengkonfirmasikan di dalam ayat 22, di sini ada kedaulatan Kristus, Yesus yang menghendaki orang itu percaya, jadi kalau ada orang tidak bisa percaya, ya memang Tuhan tidak memberikan kesempatan kepada orang itu. Nah di sinilah bedanya kita dengan kaum injili yang cenderung kearah humanis, sepertinya kita menjadi sangat gelisah sekali kalau ada orang yang tidak percaya, kalau ada orang yang tidak bisa percaya secepat mungkin di dalam waktu kita, dsb., kita menjadi gelisah. Sekali lagi, ayat ini mengajarkan, yang membawa orang untuk percaya, itu ada di dalam otoritas Kristus, pilihan bukan ada pada manusia, waktu kita memberitakan injil, dia bukan sedang memilih, waktu kita memberitakan injil, Tuhan sedang melakukan seleksi, yang ini layak, yang ini tidak layak.
Itu dignitas yang luar biasa seharusnya menjadi kekuatan dan dignitas di dalam pelayanan penginjilan saudara dan saya. Kita bukan sedang mengemis, tetapi pengajaran yang kudus, itu yang sedang memilah-milah. Waktu kita mendengar firman Tuhan, kita bukan di dalam posisi berdaulat untuk menentukan, kalimat ini yang mau saya dengar, kalimat ini saya tidak tertarik, saya lebih baik tidur atau bermain HP, karena membosankan dsb., itu bukan di dalam kedaulatan saudara dan saya. Itu di dalam kedaulatan Tuhan, Tuhan yang akan menyingkirkan, ini kalimat yang tidak perlu di dengar oleh orang ini, yang ini kalimat yang akan di dengar dst., saya percaya kalau kita memiliki konsep seperti ini, penghargaan kita terhadap firman Tuhan akan berubah, penghargaan kita terhadap alkitab, perghargaan kita terhadap Tuhan sendiri akan berubah, konsep kita tentang pelayanan akan berubah. Jadi bukan saudara dan saya yang berdaulat menentukan kapan waktunya kita mau melayani, bukan, Tuhan yang menentukan, memberikan kepada kita kesempatan, kapan Dia memberikan, itu ada di dalam kedaulatanNya.
Kedaulatan Tuhan menjadi satu penghiburan bagi kita waktu melayani, kegagalan ada penghiburan, kalau kita sudah melakukan bagian kita, kedaulatan Tuhan akan menjadi penghiburan bagi kita, kita tidak perlu discourage, karena Tuhan sudah menghendaki itu. Tetapi disisi yang lain, kedaulatan Allah juga memberikan kepada kita warning, memberikan kepada kita peringatan, maksudnya, kedaulatan Tuhan secara kontras, berarti bukan kedaulatan saudara dan saya, keadulatan ada pada Tuhan, berarti selama kesempatan masih diberikan kepada saudara dan saya, maka inilah waktunya, inilah kairosnya. Yang namanya kairos itu bukan selama-lamanya, apa artinya kairos? Kita pakai istilah momen, saat dsb., tapi kairos itu bisa diterjemahkan juga di dalam pengertian time, kronos yang di condense, dipadatkan, dikecilkan sampai kecil sekali, jadi itulah yang disebut istilah kairos.
Sebagi contoh, waktu kita meninggalkan ruangan ini, kita merasa punya banyak waktu, ada durasi begitu banyak, kita merasa pilihan ada pada kita, saya mau meninggalkan ruangan ini kapan saja, mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol dulu dst. Tetapi seandainya tiba-tiba terjadi gempa yang hebat, waktu yang biasanya kita punya durasi mungkin 10 menit, kita merasa masih ada waktu, tiba-tiba mendadak jadi tinggal hanya 10 detik. Jadi waktu yang tadinya kronos duratif, yang panjang, mendadak jadi condense, lalu kita tidak punya waktu lagi, tidak punya banyak pilihan, kita keluar sekarang, tangkap kesempatan, kairos ini atau kita mati di dalam gedung ini, ini namanya kairos, jadi kairos itu adalah kronos yang mendadak jadi sempit. Saya percaya banyak orang yang di dalam sakit penyakit, khususnya penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi, pengalaman batas, mempunyai pengalaman kairos seperti ini, mendadak sepertinya dia tidak punya waktu lagi. Lalu yang tadinya merasa selalu punya banyak waktu, sekarang waktu tinggal sedikit, lalu dia akan mengerjakan hal-hal yang bijaksana, alkitab memberikan prinsip seperti itu kan?
Sekali lagi, kalau kita mengatakan Tuhan itu berdaulat, maka kita tidak akan berpikir secara durasi saja, berpikir secara kronos, saya punya pilihan, saya punya banyak waktu, harus kita ingat, pilihan bukan ada pada saudara dan saya (ini berbicara secara prinsip universal dalam hidup kita), pilihan ada pada Tuhan. Tuhan yang berdaulat, Dia memberikan kepada kita kairos, momen dan ini bukan sesuatu yang terus kita bisa bentangkan menjadi sangat panjang waktunya, ya itu namanya bukan kairos lagi. Kalau kita melihat dalam prinsip firman Tuhan, yang diajarkan Yesus, kepada siapa Anak itu berkenan menyatakannya atau kepada siapa Anak itu memberikan kesempatan. Sejauh masih ada kesempatan, mari kita meresponi. Kiranya Tuhan memberkati dan menguatkan kita untuk boleh hidup sesuai dengan firmanNya. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)