Saya pernah janji untuk tahun ini membahas mengenai ibadah dan hari ini kita akan membahas ke arah sana, hanya bukan membahas dari dasar mengenai konsep ibadah dsb. melainkan kita akan mulai justru dari yang sudah ada di permukaan, yaitu peran para liturgis dalam memimpin pujian. Ini hal yang cukup praktis, tapi dari sini saya harap kita bisa menelusuri ke bawah kepada dasar kebenarannya, melihat konsep yang indah yang relevan buat kita semua, karena setelah Reformasi partisipasi jemaat dalam ibadah sangat penting. Kita semua adalah hamba Tuhan, dan orang yang di depan (liturgis) bukan berarti dia statusnya lebih tinggi. Lagipula, akan ada waktu-waktu Saudara sendiri juga harus memimpin, paling tidak di tengah keluarga sendiri.
Di sini saya bukan mau membicarakan mengenai postur tubuh waktu berdiri di depan, atau teknik menyanyi. Yang saya ingin bicarakan adalah kata-kata apa yang harusnya dipakai seorang liturgis waktu memimpin pujian, khususnya pada bagian-bagian transisi. Kalau Saudara lihat dalam Liturgi, bagian ini tidak ditulis; ini bagian yang kecil tapi penting karena ini adalah satu tempat yang membuat alur dari sebuah ibadah itu nyata, satu tempat yang membuat subtext dari sebuah ibadah itu nyata.
Kita akan membahas dulu mengenai subtext kita waktu berbakti kepada Tuhan. Text (teks) itu maksudnya ‘pesan’, context adalah ‘situasi tempat pesan itu diberikan’, sedangkan subtext berarti ‘pesan di balik pesan itu’ (the message under the message). Contohnya, Saudara bertemu seseorang lalu Saudara bertanya: “Apa kabar?” Apa subtext di balik kalimat salam itu? Sebenarnya bukan untuk menanyakan kabar, karena kalau kemudian dia menceritakan semua keadaannya –pagi hampir keserempet bajaj, lalu hampir menggilas kucing di jalan, lalu kondisi medis tubuhnya– Saudara akan merasa dia tidak mengerti, saya bukan ingin menanyakan semua kabarnya. Memang sih kalimatnya “apa kabar”, tapi ada sebuah pesan di balik pesan yang lain, namanya subtext, dan subtext-nya di sini secara umum mau mengatakan bahwa saya mau berlaku sopan kepada kamu, tolong kamu juga berlaku sopan kepada saya. Ini contoh yang bagus karena bukan hanya menjelaskan tentang arti subtext, tapi juga bahaya di balik subtext. Apa bahayanya? Yaitu bahwa seringkali kita tidak sadar akan subtext yang kita bawa ketika sedang melakukan apapun. Seperti contoh tadi, itu mungkin membuat Saudara terhenyak, koq kita segitu manipulatifnya ya, waktu tanya ‘apa kabar’ bukan mau tahu kabarnya tapi cuma mau menujukkan kesopanan kita dan mengharapkan orang lain juga begitu, masa saya sejahat itu. Kalau seorang dokter tanya “apa kabar” memang dia menginginkan informasi, Saudara perlu kasih tahu kabar Saudara kepada dia, tapi waktu kita mengatakan “apa kabar” secara umum seringkali tidak seperti itu maksudnya. Kita seringkali tidak sadar subtext yang kita bawakan, demikian juga dalam ibadah/ kebaktian. Waktu kita berbakti, ada subtext yang kita bawa, yang seringkali kita tidak sadar. Ini sangat penting untuk kita kenali; ada 4 subtext yang berbeda.
Yang pertama, subtext “kebaktian penjaga pintu”. Ini adalah subtext, yang objektif dari kebaktiannya adalah meng-komunikasikan “lihat kita, kita itu beda”, komunikasi yang bertujuan membentuk sebuah sense of belonging, rasa kepemilikan, sebuah identitas grup. Contohnya seorang liturgis mengatakan, “Saudara-saudara, kita di Gerakan Reformed ini lain, kita pakai hymn dan musik klasik karena gereja kita peduli pekerjaan Tuhan bukan hanya di masa sekarang tapi juga di masa yang lampau”. Memang itu tidak salah juga, bukan berarti tidak ada tempatnya sama sekali, tapi ketika message ini jadi yang message terutama dalam satu kebaktian, kebaktian itu jadi kacau.
Ketika message utamanya bukan mengajak orang untuk melihat Kristus tapi melihat ‘siapa kita’ –sekumpulan orang yang berkomitmen ini dan itu– itu bahaya. Mengapa? Karena ibadah yang seperti ini tidak bisa mengubah orang. Ini seperti orang yang sedang penginjilan di rumah sakit lalu pertanyaan dia kepada orang itu bukan “Bapak sakit apa” tapi “Bapak tahu ‘gak mengenai kedaulatan Allah versus tanggung jawab manusia”; mau apa tanya seperti itu? Lalu kalau orangnya jawab “gak tau”, maka “saya harus jelasin, supaya dia masuk ke dalam grup kita” Atau kalau orangnya jawab, “O ya, saya tertarik sama itu” lalu merasa langsung nyambung, ada semacam ‘solidaritas’ dengan dia. Tapi kalau orangnya memang ‘gak mau, dia tidak bakal tertarik dan akhirnya persis seperti situasi pertanyaan “apa kabar” tadi yang tujuannya hanya sebagai penjaga pintu, saya sopan, kamu sopan ‘gak? kalau kamu sopan, masuk, kalau kamu ‘gak sopan, ya sudah di luar saja. Jadi pelayanan seperti ini sama sekali tidak mengubah orang; dan kalaupun tetap mau dikatakan ‘mengubah’, itu bukan mengubah jemaat jadi seperti Kristus melainkan jadi penjaga-penjaga pintu kecil. Akhirnya kebaktian kita jadi seperti penjaga pintu, lu masuk ke mari kita mau pastiin, lu pantes ‘gak, lu bener ada semangat juangnya ‘gak, dsb. Dan pelayanan seperti ini bukan cuma tidak berkuasa mengubah orang, tapi juga tidak menyentuh kebenaran sama sekali, karena tidak ada real information transfer. ‘Skill’ utama yang diperlukan dalam melayani seperti ini adalah fasih menggunakan jargon-jargon yang khas dari grup tersebut. Bukannya itu tidak boleh sama sekali, tapi adakalanya itu jadi message utamanya “lihat kepada kita, kita itu beda”.
Yang kedua, yaitu subtext performa/ performance. Subtext yang ini bukan mengatakan “lihat kepada kita” melainkan “lihat kepada saya”; kalau yang pertama tadi mengatakan “kita itu beda”, yang kedua ini mengatakan “saya itu beda”, lebih individual. Komunikasi tipe kedua ini ujungnya bertujuan membangun kekaguman atau mengundang pengakuan terhadap diri secara individual. Ini lebih terselubung daripada yang pertama tadi, tidak mungkin ada liturgis yang katakan “Saudara-saudara harus dengerin saya pemimpin, karena saya menang penghargaan the best liturgis 2016 “. Yang ada, misalkan seorang liturgis berbicara kepada jemaat tapi tidak ada respon, lalu dia bicara lagi, tidak ada respon lagi, bicara lagi, masih tidak ada respon, makin bicara lagi, dst. sampai tidak selesai-selesai karena ingin direspon. Satu contoh, dulu di NREC Vik. Audy pernah memimpin satu lagu “Kita Harus Membawa Berita”. Sebelum memimpin, dia tanya, “Di sini apakah ada wartawan?” Tidak ada yang angkat tangan. “Di sini apakah ada artis?” Tidak ada yang angkat tangan juga. Lalu katanya, “Bagus Saudara-saudara, karena wartawan mencari berita dan artis ingin menjadi berita, tapi kita dipanggil untuk membawa berita. Mari kita menyanyikan lagu ini ‘Kita Harus Membawa Berita’. “ Keren juga ya, ini contoh yang baik. Tapi yang ingin saya ajak Saudara pikirkan adalah seandainya Saudara liturgis berikutnya, tekanan apa yang muncul dalam hatimu? Kalau saya yang jadi liturgis setelah Vik. Audy itu, saya somehow akan terpengaruh untuk bukannya membawakan satu message yang benar tapi bagaimana caranya bisa mengulang kesuksesan yang baru, dan akhirnya hal inilah yang jadi terutama. Inilah subtext ‘performa’, message-nya adalah ‘lihat saya’. Sekali lagi, subtext ini bukan tidak ada tempatnya sama sekali karena waktu Saudara sebagai pemimpin yang berada di depan, Saudara perlu establish kredibilitas, Saudara tetap harus menghadirkan diri dengan patut, tapi problemnya adalah jika subtext ini jadi yang terutama dan pada akhirnya liturgis itu membawa jemaat melihat dirinya bukan Kristus. Dan lagi, cepat atau lambat jemaat akan melihat bahwa orang ini bukan melayani ‘kami’ tapi melayani diri sendiri. Itu akan jadi pelayanan yang tidak efektif sama sekali. ‘Skill’ utama dalam pelayanan seperti ini adalah memberi informasi yang ‘wah’ yang tidak dimiliki oleh pendengar, yang sensasional. Subtext kedua ini boleh dikata paling dekat dengan teknik salesman.
Yang ketiga, subtext teaching/ pengajaran. Subtext ini lebih naik sedikit, subtext ini mengatakan “lihatlah kebenaran ini, doktrin ini, prinsip ini, prinsip ini beda”. Tujuannya adalah menambah pengetahuan pendengar, atau mengubah cara hidup pendengar. Ini subtext yang less selfish dan ada engagement dengan kebenaran karena di sana ada information transfer. Ini biasa muncul di Gereja yang sudah lumayan lama berdiri dan lumayan mapan, yang jemaatnya menginginkan ‘makanan keras’, informasi yang baru, tidak mau yang itu-itu lagi. Contohnya, seorang liturgis sebelum mengajak jemaat bernyanyi, dia memberitahu dulu ayat pertamanya begini, ayat keduanya begitu, dst. atau berusaha menceritakan back ground hymn tersebut. Sekali lagi, ini bukan berarti semuanya salah 100 %, ini memang ada tempatnya, tapi meski begitu subtext-subtext ini tidak pernah bisa jadi yang terutama.’Skill’ utama dalam subtext ini adalah riset dan retorika.
Mengapa ini tetap tidak bisa jadi yang terutama? Karena subtext seperti inilah penyebab utama terjadinya yang disebut ‘kotbah mini’ dalam suatu kebaktian. Liturgis yang berusaha menceritakan satu prinsip kebenaran seringkali akhirnya makan banyak waktu. Di satu sisi kita tidak setuju dengan pelayanan yang seperti ini karena bukan cuma masalah waktu, tapi karena kita percaya bahwa seorang liturgis yang baik dalam Teologi Reformed adalah liturgis yang memimpin tanpa mendominasi. Dia harus bisa berjalan seperti meniti tali, tidak melenceng ke kiri, tidak melenceng ke kanan. Di satu sisi, Saudara harus memimpin, tapi di sisi lain tidak boleh menggantikan porsi jemaat. Ini jelas sangat berbeda dengan certain distinction yang memang ada secara historis, misalnya dalam gereja Katholik Roma pada zaman Luther, ibadahnya didominasi oleh para clergy/ imam, jemaat tidak boleh bernyanyi, tidak boleh berdoa sendiri, tidak boleh baca Alkitab sendiri, dan benar-benar diwakili secara penuh oleh para imam di depan. Luther merombak ini dengan mengatakan bahwa karena kita seluruhnya adalah imamat rajani, semua kita adalah hamba Tuhan, bukan cuma satu dua orang yang di depan, maka semua jemaat boleh berdoa, boleh membaca Alkitab (maka Luther menerjemahkan Alkitab), dan boleh bernyanyi bersama-sama. Ibadah di satu sisi tetap harus ada pemimpin dan keteraturan, di sisi lain pemimpin tersebut tugasnya tidak pernah untuk menggantikan jemaat, melainkan membantu mereka untuk menyembah. Tapi hal ini seringkali akhirnya menggerakkan liturgis untuk ‘kotbah mini’, alasannya karena tujuannya untuk mempersatukan jemaat memuji Tuhan maka cara apa yang lebih baik selain dari memperlihatkan kepada mereka satu kebenaran yang sama. Itu bisa kita mengerti, tapi di sisi lain secara praktikal akan sangat sulit bagi seorang liturgis menjelaskan poin-poin/ prinsip-prinsip kebenaran dalam waktu yang sangat singkat karena itu memerlukan waktu yang sangat-sangat banyak.Tapi itu bukan keberatan yang terutama terhadap subtext ini. Ada satu problem lebih fundamental kalau kita bandingkan subtext ketiga ini dengan subtext yang keempat (terakhir).
Subtext yang keempat yaitu subtext ibadah, penyembahan, worship. Kalau yang pertama “lihat kepada kita, kita beda”, yang kedua “lihat kepada saya, saya beda”, yang ketiga “lihat pada kebenaran ini, kebenaran ini beda”, maka yang keempat adalah “lihatlah kepada Allah, Allah kita yang beda”.Ini satu subtext yang paling komplit, paling unselfish, dan juga paling sulit, menuntut ‘skill’ yang paling banyak. Yohanes 17:3 mengatakan hidup kekal itu mengenal Allah, mengenal pribadi Allah, melihat diri Allah sendiri, bukan cuma belajar kebenaran-kebenaran mengenai Dia. Dalam 1Yohanes 1, tujuan diberitakannya Injil adalah untuk supaya kita beroleh persekutuan dengan Allah dan bukan cuma beroleh pengetahuan mengenai Allah; ada pengenalannya di situ. Subtext keempat ini targetnya melebihi sekedar informasi, bahkan melebihi sekedar perubahan gaya hidup. Ini adalah satu subtext yang targetnya adalah perubahan arah hati dari manusia.
Ini satu hal yang agak sulit dideskripsikan, paling gampang dengan melihat suatu contoh. Saya pernah melihat video diskusi antara John Piper dengan Tim Keller mengenai santification/ pengudusan. John Piper menanyakan seperti ini, yang namanya pengudusan tentunya bukan cuma secara di luar tapi juga yang di dalam, bukan cuma gaya hidup kita berubah tapi juga arah hati kita yang berubah; lalu bagaimana supaya kita bisa berubah sampai ke arah hati bukan cuma yang di luar? Lalu dia memberi satu kasus begini: “Tim, kamu kan pendeta, lalu katakanlah kamu sudah seharian kotbah, sudah capek, lalu kamu pulang. Tiba-tiba jam 11 malam waktu sudah mau tidur, ada telepon mengatakan ‘Pak Pendeta, ini ada seorang nenek di rumah sakit X yang perlu dibesuk dan didoakan karena mungkin dia tidak bakal lewat malam ini’. Rumah sakit X itu jaraknya 200 km”. Bagaimana menghadapi hal ini? Saudara tentu merasa ada satu beban yang merintangi. Mungkin Saudara tetap melakukannya, gaya hidup Saudara tetap ok, tapi arah hati Saudara kenyataannya sulit sekali untuk bisa dikontrol. Kita ingin supaya arah hati ini juga berubah bukan cuma luarnya, karena kita tahu kalau cuma berubah di luar itu bukanlah Kekristenan. Kita ingin ketaatan yang bukan cuma di luar tapi juga di dalam, bukan cuma betul-betul pergi tapi ada keinginan untuk melayani. Bagaimana caranya? Kalau Saudara kembali ke subtext ke-3 tadi “kebenaran itu kuncinya”, maka kebenarannya: “saya ini pendeta, dia jemaat, ini tugas saya, ya, saya harus lakukan dong”. Saudara mungkin kemudian bisa taat, tapi apakah arah hati Saudara berubah segitu mudahnya? Tetap saja mungkin Saudara ngedumel dalam perjalanan, atau mungkin di tengah perjalanan Saudara ditelepon “Pak, maaf tidak usah datang lagi karena nenek sudah lewat” dan Saudara langsung ‘puji Tuhan’ sambil putar balik. “Jadi bagaimana caranya supaya arah hati bisa berubah?” begitu yang ditanyakan John Piper dalam video tadi. Tim Keller kemudian balik mempersilakan John Piper menjawab lebih dulu.
John Piper, seperti Saudara tahu, adalah seorang Hedonis Kristen, yang mengatakan bahwa tujuan hidup manusia untuk menikmati Tuhan. Dia mengatakan cara supaya arah hati juga berubah bukan cuma luarnya, adalah: “Kamu pikirkan yang Tuhan janjikan di masa depan; Tuhan pernah berfirman ‘lebih berbahagia memberi daripada menerima’, jadi waktu saya melakukan ini, ini adalah sesuatu yang Tuhan suruh saya lakukan karena Dia mau memberikan sukacita yang lebih. Maka begitu Saudara merenungkan ini, Saudara jadi tahu bahwa Tuhan menyuruh saya melakukan bukanlah untuk menyusahkan saya tapi supaya saya mendapat sukacita; dan hati Saudara berubah, bukan cuma gaya hidup di luar. “ Lalu Tim Keller mengatakan, “Itu jawaban benar, tidak salah. Tapi ada satu problem yaitu kamu, John, adalah orang Kristen yang sudah lama, juga pendeta, bagaimanapun juga kamu sudah sering dipaksa untuk rela dan rela untuk dipaksa, untuk memberi dan akhirnya mendapatkan sukacita itu. Kamu sudah pernah mencicipinya, jadi gampang untuk bisa melakukan itu. Bagaimana dengan orang Kristen yang baru lahir-baru, yang belum pernah merasakan kesukacitaan memberi daripada menerima?” Selanjutnya Tim Keller mengatakan kalau tadi John mengatakan ‘Lihat ke depan, janji Tuhan di masa depan, yang Tuhan akan berikan’, maka menurut Tim ‘Jangan cuma lihat ke depan tapi ke belakang juga, ke masa lampau, yang Tuhan telah berikan, telah kerjakan’. Kembali ke contoh tadi, urusannya adalah ‘saya musti mengunjungi seorang nenek yang sudah mau mati’, di sini ada beberapa rintangan: saya berbeda dengan dia, saya muda – dia nenek, saya pria – dia wanita, saya di sini – dia 200 km di sana, saya sehat – dia sakit, dst. (lebih gampang simpati kepada orang yang sama); maka pikirkan sekarang hal-hal yang Tuhan telah lakukan buat Saudara: Dia Tuhan – Saudara manusia, Dia tidak terbatas – Saudara terbatas, Dia suci – Saudara berdosa, Dia di surga – Saudara di bumi, and yet Dia rela datang bagi Saudara menjadi sama dengan Saudara dan bahkan mati bagi Saudara. Waktu Saudara merenungkan hal ini, arah hati Saudara berubah.
Ini bukan trik magis. Ini sesuatu yang memang Firman Tuhan berikan. Waktu Paulus menggerakkan jemaat untuk memberikan persembahan, yang dia katakan bukan ‘berikan persembahan karena itu penting, benar, dan ini prinsip-prinsipnya’. Memang dia memberikan itu juga tapi tidak berhenti di situ, dia memulai dengan kalimat: “kamu pikirkanlah Kristus, yang walaupun sebenarnya kaya, telah rela menjadi miskin supaya kamu yang miskin bisa menjadi kaya di dalam Dia”. Contoh yang lain, waktu Paulus mengajak suami-suami untuk mengasihi istri mereka, yang dia katakan bukan ‘hai suami-suami, kasihi istri ya, ini benar’ tapi dia mengatakan: “kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi kamu, Gereja, dengan cara memberikan tubuh-Nya bagimu”. Ayat-ayat itu seringkali kita baca sebagai peraturan, dalil, ‘saya harus mengasihi istri saya seperti Kristus telah mengasihi saya’, aduh, mampus, bingung gimana caranya. Jangan Saudara baca seperti itu, Paulus tidak bermaksud seperti itu, intention-nya adalah kasihilah istrimu sebagaimana engkau telah dikasihi, dan itu akan membuat Saudara bisa berubah hatinya. Itu kuncinya. Melihat pribadi Allah, bukan cuma prinsip-prinsip mengenai Allah. Ini yang bisa mengubah orang bukan cuma di gaya hidup tapi di arah hati, yaitu ketika Saudara melihat diri Allah yang telah melakukan bagi Saudara. Inilah ibadah.
Dari sini Saudara bisa melihat bahwa model keempat ini bukan tanpa pengertian; ada doktrin di situ –doktrin Allah jadi manusia, doktrin dwi-natur, doktrin inkarnasi, dst.– tapi tidak cuma berhenti di situ. Salah satu ilustrasi yang paling bagus dalam hal ini adalah dari Thomas Goodwin. Dia menceritakan seorang anak dan papanya sedang berjalan bersama. Anak ini sudah tahu bahwa papanya mengasihi dia, tapi ketika itu papanya tiba-tiba menggendong dia dengan erat dan membisikkan beberapa kalimat, “Nak, aku mengasihimu. Aku rela membuang mimpiku kalau itu berarti mimpimu tercapai. Aku rela menyerahkan kekayaanku kalau itu berarti engkau bisa kaya secara rohani. Aku rela membuang nyawaku jikalau itu berarti nyawamu selamat. Aku mengasihimu, Nak.” Dan anak itu pun menangis. Mengapa? Apakah karena ada informasi yang baru dalam kalimat itu? Bukan. Ada sesuatu yang lebih di situ yang membuat si anak menangis, bukan karena dia bertemu dengan prinsip atau proposisi tapi karena dia encounter dengan seorang pribadi. Itulah yang unik.
Sampai di sini, mungkin Saudara mengatakan, “OK, saya sudah mengerti sekarang bahwa dalam ibadah jangan cuma subtext 1, 2, 3; jangan cuma lihat kita itu beda, jangan cuma lihat saya itu beda, jangan cuma lihat pengajaran ini beda, tapi lihatlah bahwa Allah itu beda dan itu yang paling penting. Lalu bagaimana seorang liturgis bisa membawakan ini dalam memimpin pujian? Bagaimana caranya memperlihatkan Tuhan dalam waktu yang singkat? Bukankah malah lebih lama?” Dalam konteks kebaktian kita, biasanya pemilihan lagu yang baik adalah lagu pertama merupakan lagu worship, lagu kedua disebut lagu praise. Ini 2 hal yang bisa sedikit dibedakan dalam arti Saudara hanya bisa worship Tuhan tapi Saudara bisa praise bukan cuma Tuhan, Saudara bisa praise istrimu, suamimu, bahkan anjingmu.
Worship/ menyembah itu bukan cuma karena Saudara mendapat sesuatu dari orang itu tapi karena Saudara melihat dia itu siapa. Maka biasanya lagu worship berfokus kepada siapa diri Allah (Who God is), seperti lagu “Suci, Suci, Suci”. Lagu itu memang bicara tentang penebusan juga tapi fokus utamanya adalah mengenai diri Allah, Dia suci, Dia patut dipuji. Sedangkan lagu praise berfokus pada apa yang telah Tuhan lakukan buat kita, maka lagu yang dipakai misalnya lagu-lagu yang berisi anugrah-Nya limpah buatku, Tuhan itu setia kepadaku. Lalu apa yang terjadi ketika lagu pertama itu lagu worship kemudian lagu kedua praise? Contoh: lagu pertama “Puji Tuhan yang Mahakuasa”, memuji Tuhan karena Dia mahakuasa, Dia pencipta, Dia itu yang mulia, Dia itu yang menopang; lagu itu berfokus bukan apa yang Tuhan lakukan tapi siapa diri Tuhan. Kemudian lagu kedua “Besar Setia-Mu”, berfokus pada apa yang Tuhan lakukan buat saya. Maka di antara lagu pertama dan kedua seorang liturgis dapat mengatakan: “Saudara-saudara, lagu pertama tadi kita telah melihat Tuhan, Allah kita itu adalah Allah pencipta mahakuasa, Dialah penopang kita semua, maka sudah sepantasnya kita setia kepada Dia. Tapi yang Saudara lihat di lagu kedua, ternyata Allah kita bukan cuma Allah yang menuntut kesetiaan, Dia adalah Allah yang telah lebih dahulu setia kepada Saudara.” Di sini Saudara bukan cuma bicara prinsip karena Saudara bukan cuma menjelaskan satu kebenaran, satu prinsip, satu lagu, tapi Saudara sedang menjelaskan –lewat beberapa lagu– pribadi Allah yang ada di balik itu. Ini yang sangat penting untuk kita telusuri bersama karena inilah yang bisa membuat orang berubah hatinya. Dan juga, dengan ini seorang liturgis tidak mendominasi, tidak menggantikan proses berpikir Saudara, tapi dia mengajak Saudara untuk berpikir, O, gitu ya, tadi lagu pertama ngomong tentang Allah yang harusnya kepada Dia kita setia, lagu kedua malah ngomong Allah yang setia kepada kita. Lalu Saudara justru jadi ingin lihat apa lagi yang dikatakan dalam lagu ini, Saudara jadi ada keinginan untuk melakukan sendiri porsi Saudara itu dibandingkan kalau Liturgis menjelaskan setiap bait lagu itu satu per satu yang artinya mendominasi dan malah membuat orang tidak tertarik. Maka di sini urusan bagaimana memimpin tanpa menggantikan bisa selesai, yaitu ketika Saudara menceritakan mengenai seorang pribadi Allah, bukan cuma prinsip. Contoh berikutnya, misalkan lagu pertama “Worship The King”, siapa Tuhan? Dia itu Raja; dan lagu kedua “Near to The Heart of God” (Dekat dengan Hati Allah). Ini menarik. Kalau Saudara memikirkan mengenai ‘raja’, antara raja dan bawahan pasti ada jarak. Tapi lihat, kita menyembah Raja kita yang harusnya berjarak begitu tinggi –dan memang ada jarak– namun undangan Raja ini kepada kita adalah ‘mendekatlah sampai ke hati-Ku karena hati-Ku telah Kucurahkan bagimu’. Sekali lagi, bukan cuma sekedar prinsip tapi pribadi.
Mengapa hal ini bisa berbeda dari subtext ke-3 yang bicara prinsip-prinsip? Karakteristik apa yang tidak ada di subtext ke-3 tadi, yang ada di subtext ke-4? Kita bisa sedikit mengerti hal ini kalau kita menelaah perbedaan antara ketika kita menceritakan sebuah prinsip dengan menceritakan sebuah pribadi. Dalam contoh-contoh tadi sebenarnya yang saya lakukan adalah membuat sebuah kontras atau menghadirkan dua sifat yang ‘berlawanan’ pada Allah, antara siapa diri-Nya dengan apa yang Dia kerjakan; seperti ada ketidak-sinambungan di sini. Dia itu Raja, koq jadi hamba. Dia itu suci, koq Dia mau menanggung dosa. Dia itu Allah, koq Dia mau menjadi manusia. Who dan what He has done. Mengapa ini unik? Sederhana, karena kita mengenal manusia sebagai seorang pribadi, juga di dalam kompleksitas seperti ini. Kalau kita memberitahu sebuah prinsip, biasanya ujungnya berupa satu statement yang elegan, simpel, satu; tapi kalau Saudara menceritakan mengenai seseorang, biasanya justru dengan menghadirkan beberapa sifat , yang seperti berlawanan. Contoh: satu kali seorang teman, seorang penginjil, melihat laptop saya yang mahal, lalu dia bilang, “Wah, lu koq bisa beli ini.” Saya jawab, “Bisa dong, karena bukan gua yang beli, istri gua yang beliin. Dan bukan cuma beliin doang, ini dikasih sebagai iming-iming supaya selesai tesis.” Lalu, “O, gitu ya.” Lalu dia mulai menceritakan pengalamannya, “Kalau gua mau beli barang buat diri gua, kamera atau yang lain, gua musti beli dulu barang yang kira-kira senilai harganya buat istri gua, baru aman.” Dan dia menceritakan itu dengan nada ngedumel. Tapi satu hal yang saya perhatikan dalam nada bicaranya itu adalah dia bukan cuma menceritakan dengan nada ngedumel melainkan juga dengan nada bangga. Saudara yang punya suami atau istri pasti pernah mengalami seperti ini, cerita “kejelekan” pasangan tapi sebenarnya ada bangganya. Saya melihat 2 sifat yang’berlawanan’ ini pada teman saya, dan inilah yang membuat Saudara menganggap saya mengenal dia. Bayangkan kalau saya cuma mengatakan, “Teman saya ini orangnya pendek”, itu statement yang benar, simpel, elegan, tapi tidak membuat Saudara lebih mengenal dia, hanya mengetahui tentang dia.
Apa yang unik dalam pengenalan pribadi, sehingga kita bukan cuma mengetahui tapi benar-benar mengenal? Seringkali karena kita mengenal orang di dalam kompleksitasnya, bukan dalam simplisitasnya. Contoh waktu membicarakan mengenai orang lain, kita sering mengatakan, “Dia itu di satu sisi memang sopan, tapi kalau sudah sebel sama orang, ‘kebun binatang’ keluar semua.” Itu artinya menghadirkan dua sifat, atau lebih, yang seperti berlawanan dalam diri seseorang, dan kita tidak pernah merasa harus meresolusikannya. Waktu kita menghadirkan seperti itu, itulah artinya pengenalan, pengenalan seorang pribadi. Inilah sebabnya bangsa Israel dihukum waktu membuat lembu emas. Inilah sebabnya ada hukum ke-2.
Di dalam cerita lembu emas, bukan tidak ada logikanya sehingga mereka pilih ‘lembu emas’. Di situ mereka bukan mau me-representasikan dewa-dewi lain tapi Yahweh. Mereka mengatakan, “Inilah Allah yang telah membawa kita keluar dari Mesir”. Mereka pilih lembu emas karena mereka baru belajar mengenai Allah dalam sifat kekuatan-Nya. Inilah Allah yang mengguncang Mesir habis-habisan, memberikan 10 tulah epik sehingga Firaun bertekuk-lutut bahkan akhirnya mati, dan membawa kita dengan tangan yang teracung keluar dari Mesir. Lalu gambaran apa yang paling mirip dengan itu? Lembu adalah gambaran yang paling kuat yang mereka lihat, bisa membajak, menarik kereta, dst., maka mereka memilih untuk membuat lembu emas. Tapi mengapa mereka tetap dihukum? Karena walaupun lembu emas bisa menceritakan mengenai kekuatan Allah, lembu emas tidak bisa menceritakan mengenai kebijaksanaan Allah, lembu emas juga tidak bisa menceritakan mengenai kasih Allah. Satu-satunya yang bisa merepresentasi Allah dengan kompleksitas-Nya, hanyalah gambar dan rupa Allah, yaitu manusia. Memang kita tidak bisa karena kita rusak; dan sekarang kita mengerti mengapa Kristus disebut sebagai Gambar Allah yang Sejati.
Maka Saudara lihat, hal yang unik dalam mengenal manusia yaitu kita mengenal manusia dalam kompleksitasnya. Itu sebabnya masuk akal sekali untuk mengatakan bahwa jika dalam ibadah Saudara mau menghadirkan diri Allah lewat liturgi, yang harus Saudara lakukan adalah memberitakan kompleksitas-Nya. Perlihatkanlah diri Allah yang adalah Raja, and yet yang Dia lakukan adalah menjadi Hamba. Waktu Saudara melihat keduanya ini, yang seperti bertabrakan, dan itulah diri Allah, dan Saudara mengatakan “itulah Pribadi Allah”, maka hati Saudara trenyuh. Saudara tidak perlu bicara panjang lebar ke mana-mana, tidak perlu mengambil waktu kotbah Hamba Tuhan, juga tidak mendominasi jemaat sama sekali, tapi justru membuat ada keinginan untuk menggali lagu-lagu yang dinyanyikan itu. Di satu sisi saya mengharapkan para liturgis mulai menjalankan pola ini. Tapi di sisi lain ini sebuah model, dan sebuah model artinya tidak mutlak. Tidak semua situasi bisa pakai model ini.
Tapi ada satu benefit yang terakhir, yang paling penting. Ketika Saudara menggunakan model ini, ketika Saudara melakukan persiapan dan melihat diri Allah lewat lagu-lagu ini, ketika Saudara dipaksa untuk bukan cuma lihat prinsip tapi lihat pribadi dan memberikan itu kepada jemaat, dan Saudara betul-betul menemukannya, maka Saudara sendiri akan menyembah dan bukan cuma mengajak jemaat untuk menyembah. Saudara sendiri akhirnya punya kekuatan untuk mengajak orang beribadah karena Saudara sendiri menyembah. Apa ajakan yang paling persuasif? Kalau anak tidak suka sayur lalu disuruh makan sayur, diberi tahu manfaat-manfaatnya, dia tidak akan tergerak sampai kapan pun. Tapi ketika Saudara sendiri mengambil sayurnya, lalu makan dengan lahap, “enak, lho, enak…”, maka anak itu mulai tertarik. Kalau Saudara pergi ke restoran bakmi, lalu lihat tempat itu bukan cuma ramai tapi semua yang makan sampai menjilat-jilat mangkoknya, Saudara langsung jadi kepingin juga. Mengapa? Karena Saudara melihat pathos-nya. Kalau salesman Acer datang kepada Saudara tapi dia sendiri pakai laptop HP, itu tidak ada power-nya sama sekali. Sama halnya dengan itu, ketika Saudara senantiasa maunya pengajaran, itu tidak menggerakkan jemaat beribadah kalau Saudara sendiri tidak beribadah.
Tadi kita juga mengatakan bahwa sebagian besar dari kita tidak bisa menghindari subtext ‘performa’ karena kita terlalu self conscious, takut ngomongnya bener atau tidak, dan itu justru membuat makin hancur. Kunci dari seorang public speaking yang bagus adalah waktu berada di depan, dia lupa akan dirinya. Bagaimana caranya? Makin mengatakan pada diri untuk lupa diri, justru makin ingat diri; saya pernah lewat di jalanan, ada papan reklame di sebelah kanan bertuliskan “jangan lihat kemari”, pastinya kita justru makin lihat karena mau tahu. Jadi tidak bisa seperti itu. Kalau seekor anjing ada daging di mulutnya, dan Saudara ingin daging itu dilepaskan, bagaimana caranya? Tarik-tarikan? Ya, memang lepas juga, tapi kemudian anjing itu gigit Saudara. Sedangkan kalau Saudara berikan daging yang lebih besar, langsung anjing itu melepaskan yang di mulut, mau ambil yang baru. Sama juga dengan kita. Ketika Saudara menemukan diri Allah, Saudara akan lupa dengan dirimu; dan itu caranya untuk bisa melayani dengan baik. Lihat diri Allah, dan waktu Saudara lihat diri Allah, Saudara akan lupa dengan diri Saudara sendiri; Saudara menceritakan tentang diri Allah dan tidak ingat dengan diri Saudara sendiri. Sejujurnya, itu yang justru paling contagious, paling infectious, paling menggerakkan orang untuk mau beribadah bersama-sama.
Poin yang terakhir, betapa amazing-nya pelayanan yang Tuhan berikan. Kalau Saudara pergi kerja, Saudara perlu bawa modal untuk bisa survive. Hanya dalam pelayanan, modal yang Saudara perlukan sudah ada di pelayanan itu sendiri. Hanya dalam pelayanan, kita datang bukan karena kita ada modal lalu kita pakai itu. Keunikan ibadah orang Kristen adalah semuanya sudah ada, Pribadi Allah yang Saudara perlukan tinggal Saudara menggalinya. Di manakah tempat yang Saudara bisa datang untuk bekerja tapi semuanya disediakan bagi Saudara? Hanya dalam ibadah Kristen. Mengapa? Karena seperti Votum yang dikatakan, bahwa kita bukan datang karena kekuatan kita, kita bukan melayani karena kita sempurna, kita melayani untuk disempurnakan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading