Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen dalam buku “The Drama of Scripture” bertanya: kita ini, waktu melihat, membaca, menghayati Alkitab, kita melihatnya, membacanya, dan menghayatinya seperti apa; kita menganggap Alkitab itu apa, cara bekerjanya Alkitab bagaimana? Demikian pertanyaannya; maka kita akan coba refleksi bagaimana kita menjalankan, membaca, dan menghayati Alkitab. Hal ini kira-kira akan jatuh pada beberapa pilihan berikut.
Yang pertama, kita bisa melihat Alkitab sebagai kumpulan hukum. Kalau kita orang legalis, kita akan melihat Alkitab sebagai kumpulan aturan, mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan, yang ditengah-tengahnya adalah apa yang terserah kamu, karena tidak dibilang tidak boleh dan juga tidak disuruh; misalnya tentang hari Minggu harus pakai baju merah atau kuning atau abu-abu, ini adiafora, sesuatu yang tidak disuruh dan tidak dilarang. Namun tentu saja di dalam Alkitab ada hal-hal yang disuruh, seperti misalnya ‘kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap kekuatanmu; kasihilah orang lain seperti dirimu sendiri’; ada juga hal-hal yang dilarang, seperti ‘jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzina, jangan bersaksi dusta, jangan mengingini milik sesama’, dst. Kira-kira ada 613 perintah dalam Perjanjian Lama –demikian orang Yahudi menghitungnya– perintah ini ada yang positif (hal-hal yang disuruh), dan ada yang negatif (hal-hal yang dilarang). Inilah cara pertama kita membaca Alkitab, yaitu sebagai kumpulan perintah, jadi semacam KUHAP, tapi lebih daripada KUHAP karena KUHAP hanya berisi yang dilarang, sedangkan Alkitab termasuk hal-hal yang disuruh.
Cara pertama ini tentu saja tidak menghormati bentuk Alkitab, karena kalau Alkitab isinya cuma suruhan dan larangan, ya, lebih bagus ditulis seperti KUHAP, berupa pasal 1, pasal, 2, pasal 3, dst., berikut penjelasannya; jadi seolah-olah Roh Kudus di sini tidak becus membikin cara penyampaian yang lebih efektif, karena kalau yang ingin disampaikan adalah hukum/aturan, ada cara lain yang lebih terang dan efektif, sedangkan Alkitab dalam hal ini bukan cara yang paling efektif. Jadi, cara pertama ini –melihat Alkitab sebagai kumpulan hukum, dos and don’ts— sepertinya harus kita tinggalkan, walaupun tentu saja Alkitab juga mengandung aturan-aturan. Tapi kalau keseluruhan Alkitab kita pahami sebagai dos and don’ts, kita kehilangan banyak hal.
Cara kedua, kita bisa melihat Alkitab seperti orang-orang yang kita sebut “liberal” melihatnya (ini sebutan pejorative, biasanya tidak ada orang yang mau dibilang liberal, biasanya musuhnya yang menyebut demikian). Orang-orang liberal –atau yang kita sebut “liberal”–memahami Alkitab sebagai buku yang sudah ketinggalan zaman, kuno, yang isinya somehow menarik, seperti Enūma Eliš mungkin, atau seperti mitos-mitos Babilonia dst., yang menarik bagi para ahli atau para hobiis. Ini seperti teori konspirasi mungkin, yang menarik bagi beberapa orang, tapi antara perlu dan tidak perlu, antara masih berlaku dan tidak berlaku, tidak seperti KUHAP. Kalau KUHAP ‘kan berlaku banget, waktu kamu melanggar hukum, kamu tidak bisa beralasan, “Tapi Pak, saya bukan ahli hukum lho, saya tidak tahu kalau tidak boleh berhenti di sini”; bahwa kamu tidak tahu, itu salahmu sendiri, karena ada aturannya yang kamu bisa baca, dan aturan tetap berlaku walaupun kamu tidak tahu. Jadi KUHAP memang relevan banget, sedangkan kalau Ramayana, Mahabharata, motos-mitos Babilonia, dsb., ya, itu buat yang hobi sajalah, kalau kita tidak suka, tidak mau baca, ya tidak apa-apa; dan Alkitab itu buat yang hobi saja, yang hobi baca cerita-cerita kuno, yang hobi agama, buat mereka yang memang senangnya itu, yang tiap Minggu ke gereja baca buku yang sudah tidak relevan itu dan bukan pergi hiking, bukan olah raga, dsb. Itulah sikap yang kedua, melihat Alkitab sebagai buku kuno berisi cerita-cerita yang menarik. Mereka tidak mengatakan Alkitab isinya ecek-ecek, cere, sepele; mereka bilang Alkitab penting banget, orang-orang yang hebat-hebat bangetlah yang belajar Alkitab, tapi ya, buat hobiis saja, sebenarnya sih tidak begitu relevan –demikian sikap yang kedua.
Sikap yang ketiga –barangkali ini banyak di antara orang-orang Injili dan mungkin juga sebagian dari kita– yaitu melihat bahwa Alkitab isinya sebagian besar ilustrasi, dan sebagian kecil berita Injil. Ini beda dengan dos and don’ts. Kalau dos and don’ts, kamu do this and don’t’ do that, dan kamu sempurna melakukannya, maka kamu berkenan pada Tuhan, kamu diselamatkan; kalau kurang-kurang sedikit ya ‘gak apa-apalah, Tuhan maha pengampun. Intinya kamu diselamatkan karena do this and don’t do those things, demikian sikap orang legalis; sedangkan sikap yang ketiga ini tidak demikian, mereka mengatakan Tuhan memang memberi aturan, tapi aturan itu bukan untuk dituruti lalu kamu jadi selamat, melainkan untuk menunjukkan bahwa kamu tidak bisa memenuhi standar Tuhan, bahwa kamu itu orang berdosa, tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Jadi, Alkitab itu isinya selain aturan-aturan yang kamu bisa coba lakukan –tapi sebenarnya diberikan untuk menunjukkan bahwa kamu tidak bisa– Alkitab mengandung juga berita Injil, yaitu: walaupun kamu tidak bisa, kalau kamu percaya kepada Yesus –meski tidak terlalu di-unpack percaya kepada Yesus artinya bagaimana– kamu akan diselamatkan. Diselamatkan itu apa? Ya, kalau mati tidak usah takut neraka, hidupnya somehow diubahlah, dulu suka judi, sekarang tidak judi, dulu mukulin istri, sekarang tidak, dulu suka curang dalam bisnis, sekarang tidak.
Sikap yang ketiga ini melihat somehow ada kabar baik yang penuh dengan anugerah di dalam Alkitab. Tapi, kalau mau dicari-cari bagian kabar baiknya, sebetulnya cuma sebagian, yaitu sebagian besar ada di empat buku berjudul Matius, Markus, Lukas, Yohanes, lalu sebagian lagi ada di surat-surat Perjanjian Baru, sedangkan Perjanjian Lama isinya ilustrasi –ilustrasi dari Injil. Jadi jenis ketiga ini melihat Alkitab isinya adalah Injil dan ilustrasi Injil; tapi ini juga tidak menghormati keseluruhan Alkitab dan bentuk Alkitab sebagaimana diberikan, demikian kata orang-orang seperti Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen.
Model keempat yang diusulkan oleh Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen, diberikan sebagai suatu adaptasi dari yang diusulkan N.T.Wright dan kawan-kawan yang lain, yaitu: kita bisa melihat Alkitab sebagai naskah drama.
Kalau Shakespeare punya naskah drama, biasanya ada lima babak, maka di dalam Alkitab babak pertama adalah pendirian Kerajaan (Kejadian 1-2). Tuhan mendirikan tatanan kekuasaan, Tuhan mendirikan Kerajaan-Nya di bumi. Dia menaruh manusia sebagai wakil-Nya dan segala makhluk sebagai rakyat-Nya.
Lalu babak kedua, terjadi pemberontakan (pasal 3). Manusia ingin memberontak terhadap Tuhan –dan memang pada akhirnya memberontak– maka kemudian menderita konsekuensinya. Hal ini nantinya diulangi lagi dan lagi; dalam Roma 8 dan berbagai tempat dalam Alkitab, bicara mengenai pemberontakan.
Babak ketiga, yaitu berdirinya –atau datangnya– suatu keumatan, yang atasnya Tuhan menaruh harapan bahwa keumatan ini menjadi permulaan dari pemulihan Kerajaan yang didirikan-Nya. Permulaan dari rekonsiliasi Tuhan dengan umat, permulaan dari reformasi dalam Kerajaan tersebut; dan ini dimulai dari suatu umat yang disebut Israel, keturunan Abraham. Jadi babak ketiga ini adalah cerita Israel, yaitu cerita Abraham dipanggil, cerita Ishak, cerita Yakub, cerita Musa, cerita Israel di padang gurun, cerita Israel di Kanaan, cerita Hakim-hakim, cerita pendirian kerajaan dan pecahnya kerajaan itu, cerita kerajaan tersebut akhirnya dibuang. Cerita Israel ini bukan mau mengatakan Israel itu bagus, Israel itu memang umat pilihan Tuhan, Israel itu diberkati Tuhan –bukan cuma itu– tapi juga bahwa umat ini gagal. Jadi cerita Israel dalam babak tiga ini berakhir dengan Israel gagal, dan diberikan janji suatu hari kelak akan ada pemulihan.
Pemulihannya terjadi pada babak keempat, dimulai dari kitab-kitab Injil, khususnya Markus 1:15, ketika Yesus tampil pertama kali di Galilea dan mengatakan, “Kerajaan Allah sudah datang (artinya sudah di antara kamu, atau sudah dekat), bertobatlah (metanoia, berpalinglah dari jalan hidupmu sekarang yang sedang kamu jalani, kalau kamu orang Zelot, berhentilah dari berusaha membunuhi orang-orang Romawi; kalau kamu kamu orang Farisi, berhentilah berusaha untuk sesempurna mungkin secara legalis menjalankan 613 aturan-aturan dalam Torah itu –karena kamu tidak akan pernah mampu melakukannya, kamu tidak akan bisa dibenarkan oleh Tuhan atas usahamu sendiri; kalau kamu orang Eseni, berhentilah memandang semua orang yang lain sebagai bahan bakar neraka yang suatu hari dihakimi Tuhan, dst.), dan percayalah kepada Injil!” Injil yang mana? Injil yang kemudian diceritakan oleh Markus, Injil soal datangnya Kerajaan Allah dalam diri Yesus orang Nazaret, walaupun akhirnya Yesus mati, sedangkan mesias harusnya tidak mati tapi mematikan orang-orang Romawi. Ini Injil yang aneh, Injil di mana Mesiasnya mati, dan kemudian disusul dengan lebih aneh lagi, yaitu Mesiasnya konon bangkit. Itulah babak keempat.
Babak kelimanya apa? Babak kelima tidak ditulis terlalu banyak oleh Matius, Markus, Yohanes, tapi banyak ditulis oleh Lukas. Lukas menulis bukan hanya Injil babak keempat, tapi juga Injil yang merupakan naskah drama babak kelima, yaitu cerita tentang Gereja. Babak kelima adalah Gereja. Namun mengenai Gereja, Lukas hanya menulis permulaannya. Ini mirip seperti menulis suatu naskah cerita/drama yang baru awal-awalnya saja, bab 1 dan bab 2, sementara masih ada banyak bab berikutnya. Lukas mungkin tidak tahu bahwa Gereja masih terus berlangsung sampai 2024 sekarang, seperti juga kita tidak tahu Gereja akan terus ada sampai entah kapan, apakah Yesus datang kembali tahun 3000, atau tahun 5000, atau tahun 7251 misalnya. Kita tidak tahu, Lukas juga tidak tahu. Lukas menghentikan ceritanya dalam Kisah Para Rasul bagian terakhir, kisah tentang Paulus, yang memang dipenjara di kota Roma (karena dia naik banding kepada Kaisar, sebenarnya kalau tidak naik banding dia bisa dilepaskan), di rumah yang disewanya sendiri. Lukas menceritakan ini untuk memberikan kesan bahwa tidak ada yang bisa menghalangi pekerjaan Roh Kudus, bahkan negara superpower seperti Romawi tidak bisa menghalangi pekerjaan Roh Kudus dalam diri orang-orang sederhana ini. Lukas kemudian mengakhiri dengan kalimat ini: Injil tersebar –kabar mengenai datangnya Kerajaan itu tersebar– tanpa ada yang bisa menghalangi, tidak mendapat tentangan yang terlalu berarti; demikian ending dari cerita Lukas, script drama babak kelima.
Itulah cara kita melihat Alkitab seperti yang disodorkan oleh Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen. Lalu apa hubungannya dengan Kisah Para Rasul pasal 6 yang kita baca hari ini? Hubungannya di sini: kisah mengenai sungut-sungut orang-orang Ibrani (Yahudi) berbahasa Yunani ini, kita baca sebagai apa. Kita bisa baca sebagai aturan hitam putih tentang cara mengelola gereja; namun saya kira pembacaan legalis seperti itu keliru. Kita bisa baca sebagai somehow cerita yang menariklah bagi para hobiis, tapi tidak relevan dengan kita sekarang; itu cerita sejarah yang menarik saja, seperti juga sejarah Kota Tua Jakarta menarik buat turis atau para penggiat sejarah, namun tidak relevan buat kita. Cara yang ketiga, kita bisa melihat ini sebagai ilustrasi saja mengenai bagaimana kemurahan Tuhan dalam Yesus bekerja. Atau, kita melihatnya dengan paradigma yang disodorkan oleh Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen, yaitu sebagai suatu petunjuk mengenai bagaimana kita menyepak bolanya lebih lanjut lagi, dan meneruskan permainan bola itu sampai Yesus datang kembali; dan kita tidak perlu meniru persis cara Petrus, Yohanes, Barnabas, Stefanus, serta murid-murid lain menyepak bolanya. Permainan sepak bola sudah berkembang sejak zaman Pele sampai hari ini, dan kita tidak perlu membeku dalam zaman Pele, namun juga kita tidak perlu membuang video-video footage permainan sepak bola zaman Pele, zaman Marco van Basten, atau siapapun –tidak perlu dibuang tapi juga tidak perlu di-copy, kira-kira seperti itu. Jadi kita tidak perlu copy paste, karena keadaan sudah berbeda sama sekali, tapi kita juga tidak perlu menganggapnya tidak relevan. Inilah script drama yang bisa menolong kita menyerap spirit dari drama itu, menyerap spirit dari karakter dalam drama itu, kemudian menghidupi bagian kita dalam kisah besarnya Tuhan –cerita drama kolosal yang Tuhan sedang gelar di dunia ini– kita bisa tahu di mana posisi kita dalam cerita tersebut, dan kita bisa mulai untuk menjalankannya. Menjalankannya bukan hanya dalam percakapan, tapi juga dalam dagang kita, dalam profesi kita mengajar, atau sebagai ibu rumah tangga, atau sebagai sahabat, atau apapun lainnya di mana Tuhan menempatkan kita.
Sekarang saya mulai dramanya, kisah yang diceritakan Lukas dalam pasal ini. Ayat 1 dimulai dengan: ‘Pada masa itu ketika murid-murid makin bertambah jumlahnya’. Ini semacam tema dalam kisahnya Lukas –yaitu murid-murid makin bertambah, berita itu makin meluas– seperti juga suatu lagu ada temanya, misalnya “te re te dem…” yang sewaktu-waktu muncul dalam Symphony No. 5-nya Beethoven. Tema luasnya Kisah Para Rasul adalah: dari Yerusalem, ke Samaria, ke seluruh penjuru dunia.
Di bagian ini “te re te dem…” itu muncul lagi ketika Lukas mengatakan ‘jumlah murid makin bertambah’, namun hal tersebut selalu diselipi dengan varias-variasi; variasi kali ini adalah bahwa hal tersebut memunculkan sungut-sungut. Jadi di sini mulai muncul sesuatu yang tidak muncul dalam 5 pasal sebelumnya. Dalam 5 pasal yang awal, tema besarnya adalah: jumlah murid makin bertambah, mereka makin luas menyebarkan berita datangnya Kerajaan Allah, mereka makin disukai orang, mereka sehati –meski ada juga yang seperti Ananias dan Safira, tapi itu minor banget. Namun di pasal 6 mulai muncul tema baru, mereka tidak sehati, timbul sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Yahudi berbahasa Ibrani (yang dalam TB2 diterjemahkan sebagai orang-orang Ibrani).
Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani adalah orang-orang Ibrani diaspora yang kembali menetap di Yerusalem. Ini seperti kalau di Indonesia ada orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri, yang somehow bicaranya agak beda logatnya karena sudah lama tinggal di luar negeri. Orang-orang ini mengalami semacam “diskriminasi”; bukan diskriminasi yang disengaja sepertinya, tapi semacam tidak diprioritaskan. Ada semacam pengabaian terhadap orang-orang ini, yaitu dalam hal pelayanan meja (semacam social welfare) terhadap konstituen mereka yang paling vulnerable, yaitu janda-janda. Mengenai janda-janda, dikatakan dalam kitab Yesaya, kalau janda-janda tidak diperlihara dengan baik oleh umat Israel, maka umat Israel akan dihakimi Tuhan walaupun mereka memberikan persembahan yang banyak dan tidak mengabaikan hari-hari raya di Bait Suci. Kalau pada zaman sekarang, ini tentu tidak harus literally janda, namun pada zaman itu memang demikian yang dimaksudkan, karena masyarakat patriakhal zaman itu membuat seorang wanita kalau suaminya meninggal dan tidak punya anak cowok, mereka jadi orang-orang yang paling vulnerable, biasanya secara ekonomi, dan di lapis kedua secara sosial. Mereka tidak punya semacam safety nett; dan safety nett-nya tentu bukan negara Romawi melainkan harusnya adalah Bait Suci. Namun Bait Suci sepertinya mengabaikan hal ini, demikian dalam kritik agama yang diutarakan Yesus, bahwa orang-orang Farisi –pengkhotbah keliling yang so called membela wong cilik ini– menelan rumah janda-janda. Ini mau mengatakan betapa tidak ada safety nett bagi orang-orang yang paling vulnerable itu. Dalam Kisah Para Rasul, safety nett-nyaadalah Gereja; dan Gereja pada saat itu sepertinya memang sudah outstretched herself sehingga ada yang tidak terjangkau –dan wajar saja, yang tidak terjangkau adalah orang-orang yang bahasanya somehow tidak benar-benar dianggap murni karena tercampur logat tempat mereka tadinya merantau.
Kedua belas rasul melihat ini sebagai suatu situasi yang perlu mereka intervensi. Mereka lalu memanggil semua murid (yang disebut murid bukan 12 rasul, tapi orang-orang dari lingkaran yang 70 orang atau 120 orang itu), dan mengatakan kepada mereka, “Tidak baik kalau kami melalaikan firman Allah untuk melayani meja.” Para rasul melihat problem utamanya bukan sekadar ‘tidak baik kalau janda-janda itu terabaikan’, atau ‘tidak baik kalau terjadi sungut-sungut –sebaiknya tidak sungut-sungut’, atau ‘bisa terjadi perpecahan kalau begini, karena perasaan dizolimi, perasaan haknya dirampas, perasaan dibeda-bedakan karena berbahasa Yunani’. Concern utamanya bukan itu, concern utamanya adalah: kami melalaikan firman Allah. Tentu ini bukan berarti social justice tidak penting dan boleh tidak dilakukan, melainkan bahwa tugas utama para rasul adalah untuk melayankan firman Tuhan; dan melalui melayankan firman Tuhan itulah muncul pelayanan kepada hal-hal yang lain juga. Jadi bukan berarti social justice tidak boleh dilakukan secara langsung oleh Gereja atau tidak perlu dilayankan oleh orang-orang Kristen, melainkan bahwa hal-hal itu bisa dilayankan dengan ketrampilan serta scope tugas dan panggilan masing-masing. Ini sama seperti kalau kita mengatakan, bahwa orang bisa juga mempersaksikan Injil ketika dia mengerjakan pekerjaannya di kantor atau melakukan pekerjaan di perusahaan milik sendiri, dengan baik. Kalau dia menggaji karyawan dengan pantas, tidak menekan mereka, tidak memeras mereka, itu juga sudah menjadi suatu kesaksian juga bagi Injil, walaupun tentu saja tidak menggantikan bersaksi secara verbal tentang Injil.
Social justice ini suatu pekerjaan yang harus dilayankan juga, penting, dan tentu sama sekali tidak haram kalau para rasul melayankan hal tersebut, namun ketika hal itu membuat mereka tidak dapat melayankan firman Allah dengan efektif –mungkin karena jadi kurang waktu untuk belajar, berdoa, dst.– itu hal yang tidak baik. Oleh sebab itu, yang dikatakan para rasul bukan ‘kita harus menghentikan’, bukan ‘Gereja tidak terpanggil untuk melakukan itu’, melainkan mengangkat orang-orang yang dipilih Tuhan untuk melayankan hal-hal itu; dan inilah para diaken yang pertama. Jadi para diaken yang pertama itu menolong para rasul untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memang sudah on going dilakukan oleh Gereja, yang memang seharusnya dilakukan oleh Bait Suci –dan Gereja adalah Bait Suci yang sejati– supaya para rasul bisa berkonsentrasi melakukan tugas yang waktu itu hanya mereka yang bisa melakukannya, yaitu berkhotbah, mengajarkan firman Tuhan. Pada waktu itu, Stefanus pun kelihatannya tidak bisa menggantikan fungsi para rasul, walaupun nantinya kita lihat Stefanus bukan tidak mampu mengajar, hanya saja mungkin tidak punya hikmat dan pengertian mengajar yang selevel Petrus atau Yohanes.
Dikatakan selanjutnya, usul itu kemudian diterima baik oleh seluruh jemaat. Ini menyoroti bahwa Petrus dan Yohanes bukan memutuskan sepihak, seakan-akan ring satulah yang berhak memutuskan lalu tinggal disosialisasi, melainkan mereka mengajak seluruh murid –bukan seluruh jemaat– untuk berunding. Kemudian seluruh jemaat menerima dengan baik hal itu; ini kelihatannya mengisyaratkan bahwa mereka memilih orang-orang tersebut (yaitu Stefanus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus) secara demokratis.
Mereka ini dipilih berdasarkan kriteria-kriteria. Kriterianya bukan ‘saya suka dia, saya menjagokan kandidat A atau B atau C’, melainkan kriteria yang ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip. Ada 3 kriteria, yaitu: punya reputasi yang baik, penuh dengan Roh, penuh dengan hikmat. Kriteria ‘terkenal baik’ atau punya reputasi yang baik, ini tentu bisa dicapai lewat lewat dua hal. Pertama, dengan pencitraan saja, memberi kesan diri baik –seperti para politisi menjelang Pemilu– dan ini tentu bukan hal yang baik. Yang kedua, karena mereka baik maka mereka terkenal baik; jadi bukan karena mereka memperkenalkan diri sebagai baik maka mereka terkenal baik, melainkan karena mereka memang baik, punya reputasi yang baik. Reputasi yang luas sebagai orang yang baik, saya kira sulit direkayasa, karena ini perlu waktu. Lalu kriteria ‘penuh dengan Roh’, bagaimana menilainya? Apakah karena orang itu sendiri mengatakan ‘saya kepenuhan rohnya ada 90%’, lalu kita percaya? Tentu bukan, Ini kriteria-kriteria yang bisa dilihat oleh orang lain, bisa dilihat secara eksternal. Jadi bukan self-report atau hasil introspeksi bahwa ‘menurut saya, saya ini orang yang reputasi baik, saya ini penuh roh, saya ini penuh hikmat’, melainkan orang lain yang melihatnya. Orang lain yang memilih berdasarkan ketiga kriteria tersebut; bukan orang itu sendiri mengajukan diri atas dasar kriteria-kriteria yang diberikan.
Setelah orang-orang ini dipilih, mereka dihadapkan kepada para rasul, dan rasul-rasul berdoa menumpangkan tangan di atas mereka –seperti kebiasaan yang masih kita lanjutkan hari ini. Kemudian di sini Lukas kembali mengeluarkan tema besar itu: firman Allah makin tersebar, jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak, dan juga sejumlah besar imam menerima Kekristenan. Jadi sepertinya case of Christianity makin mengakar di Yerusalem.
Babak berikutnya, Lukas menceritakan mengenai Stefanus. Stefanus adalah orang pertama yang disebutkan dalam daftar diaken tadi. Stefanus juga diceritakan dengan satu keterangan tambahan, yang cuma diceritakan atas diaken terpilih nomor 7 yaitu Nikolaus, sebagai orang yang penuh dengan iman. Kemudian berdasarkan penceritaan yang dikhususkan tentang Stefanus, yang panjang lebar dari pasal 6:8 sampai pasal 7 dia mati martir –sementara tidak ada penceritaan panjang lebar soal Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus– kita bisa melihat bahwa kelihatannya ini suatu prelude dari kisah Stefanus yang cerita intinya adalah karya dan cara matinya Stefanus, yang adalah prelude juga untuk menjelaskan kenapa jemaat Kristen makin tersebar. Poinnya di ayat 7, karena terpilihnya tujuh diaken ini, firman Allah makin tersebar. Jadi, Lukas mau menceritakan bahwa firman Allah makin tersebar, jumlah murid di Yerusalem makin bertambah, itu bukan hanya karena para rasul pintar mengajar, rajin mengajar, mereka beraksi, mereka jagoan, melainkan karena ada orang banyak yang ikut serta di dalam melakukan bagian mereka. Mereka ini bukan melakukan bagiannya para rasul, mereka melakukan bagian mereka, yaitu melayankan pelayanan meja.
Namun demikian, dalam penceritaan selanjutnya, Stefanus tidak diceritakan cuma mengurusi urusan social justice; kita mengenal Stefanus bukan sebagai diaken yang bagi-bagi sembako, tapi justru sebagai martir yang pertama, orang yang mati karena imannya setelah Yesus. Kenapa Stefanus ujug-ujug koq dibunuh? Tentu ini tidak ujug-ujug, tapi karena Stefanus melakukan pelayanan ini: apologetika. Lho, koq aneh? Stefanus ‘kan diaken, tugasnya ‘kan bagi-bagi sembako, lho koq cawe-cawe apologetika?? Ini mau mengatakan bahwa ada cross section. Ini bukan pembagian tugas yang spesialisasi sampai benar-benar separasi murni, seperti misalnya tukang mengencangkan baut roda sebelah kanan tidak mengencangkan baut roda sebelah kiri, melainkan ada semacam sphere sovereignty-nya Abraham Kuyper yang ada cross boundaries, seperti misalnya ibu rumah tangga juga bisa bikin burger, montir juga bisa bikin burger, gembala sapi juga bisa bikin burger, dan tentu saja koki bisa bikin burger. Stefanus ini, pada masa-masa dia tidak sedang melayankan meja, dia mengadakan mukjizat dan tanda-tanda di antara orang banyak. Wow!
Jadi pada masa-masa yang bisa dikatakan spare time-nya, Stefanus melakukan sesuatu yang cetar juga. Ini kemudian menimbulkan resistensi dari antara anggota Sanhedrin, rumah ibadat orang Yahudi. Orang-orang yang melawan Stefanus ini, adalah orang-orang yang disebut Lukas dengan label ‘Kaum Orang-orang Merdeka’ (Kaum Libertini, dalam terjemahan 1974) dari Kirene dan Aleksandria, dan juga orang-orang Yahudi dari Kilikia dan Asia. Ini adalah pusat-pusat studi Taurat di tempat-tempat yang sebenarnya jauh dari Yerusalem. Kirene dan Aleksandria sebenarnya lokasinya sudah masuk ke Afrika Utara, sedangkan Yerusalem bukan di Afrika. Yang disebut Asia, bukan Asia seperti yang kita mengerti sekarang; Asia adalah nama propinsi dari Romawi yang ibukotanya Efesus. Asia dan Kilikia lokasinya di sebelah barat tapi agak ke utara dari Yerusalem, sedangkan Kirene dan Aleksandria juga di sebelah barat dari Yerusalem, tapi agak bawah di dalam peta. Jadi, bisa dikatakan Stefanus ini didebat oleh orang-orang yang datang dari jauh, kalau misalnya dia di Jakarta, ini berarti didebat oleh orang-orang yang datang dari Menado, Thailand, Malaysia, dsb. –orang-orang yang cukup jauh. Artinya apa? Ini berarti reputasi Stefanus sebagai tukang debat –reputasi orang-orang Kristen– sudah tersebar lebih jauh daripada komunitas mereka. Komunitas mereka di Yerusalem (ketika itu belum ada penganiayaan, maka mereka belum menyebar), tapi reputasi mereka sudah menyebar jauh. Orang-orang Yahudi ini sudah merasa terancam, dan mereka mengirim para apologet untuk berdebat dengan Stefanus. Mereka kemudian kalah debat. Ini mengingatkan kita pada orang-orang Yahudi di Yerusalem yang kalah debat dengan Tuhan Yesus. Senjatanya pun sama, yaitu: kamu menghujat agama (religious blasphemy). Lalu mereka menyeret Stefanus ke pengadilan agama –di sini digambarkan Stefanus sama seperti Yesus– lalu diberikan tuduhan palsu, lalu dihukum mati dengan cara dirajam (tidak disalib karena tidak melibatkan Romawi).
Lalu di ayat 15, Lukas menceritakan: semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat. Frasa ini artinya apa? Motif ini mirip dengan waktu orang-orang Yahudi melihat muka Musa bercahaya, ada suatu kehadiran kemuliaan Tuhan di situ yang mereka tidak bisa sangkali, sama seperti mereka tidak bisa menyangkali saksi yang disembuhkan oleh Petrus waktu orang yang tadinya lumpuh itu sekarang berdiri, sehingga apa lagi penjelasannya selain bahwa Tuhan bekerja di antara orang-orang ini. Demikian juga dengan muka Stefanus, para Sanhedrin melihat mukanya berbeda, mereka sendiri jauh di dalam hatinya tahu siapa Stefanus ini. Namun nanti kita melihat mereka menutup telinganya, mereka menutup hatinya, mereka menekan kebenaran dengan kelaliman –kalau pakai bahasanya Paulus dalam kitab Roma– dan mereka membunuh Allah, dengan cara membunuh Stefanus.
Inilah yang bisa dikerjakan oleh semua dari kita: karena Lukas menceritakan bukan Petrus yang jadi martir pertama, yang jadi apologet terkenal sampai ke Kirene dst., mereka itu tidak berdebat dengan Petrus, mereka tidak berdebat dengan Yohanes, mereka datang berdebat dengan Stefanus; ini bukan berarti kita semua bisa jadi apoleget –meski tentu ada yang bisa– tapi kita semua bisa jadi martir, maksudnya menjadi saksi (martir tidak harus berarti mati –sebagian besar martir tidak mati– karena martir artinya saksi). Tidak ada contoh dalam 2000 tahun yang lalu itu bahwa hanya sebagian operator saja yang bisa menjadi saksi Injil, melainkan semua kita –dan contohnya di sini yaitu seorang Stefanus. Dia bukan rasul, dia bukan ring satu, tapi dia juga dipanggil menjadi saksi, dan dia menjadi saksi yang efektif, apa yang dia kerjakan mendapatkan tanggapan dari tempat-tempat yang jauh juga. Jadi, kita bisa melihat bahwa Tuhan ingin agar setiap kita terlibat menjadi saksi untuk datangnya Kerajaan Tuhan.
Untuk menyimpulkan, saya akan kembali ke contoh di awal tadi, bahwa Alkitab ini isinya script drama untuk kita kemudian menenggelamkan diri dalam script drama tersebut –demikian kata Craig G. Bartholomew– sehingga kamu bisa making sense of your life, kamu tahu Tuhan mau apa untuk kamu kerjakan dalam profesi kamu, sebagai diri kamu, dalam situasi kamu –ketika kamu sudah menyerap naskah drama tersebut. Ini mirip seperti kalau kamu pegang sebuah naskah drama dan ada bagian-bagian yang tidak lengkap, lalu sebagai aktor, kamu bisa improvisasi. Kamu bisa improvisasi, karena kamu sudah baca semua, kamu sudah menyerap ceritanya. Sama seperti itu, waktu kamu ingin tahu jawaban dari doa kamu yang kamu suka nyanyikan “What must I do, dear Lord?” ketika kamu harus memutuskan kuliah di mana, jurusan apa, menikah dengan si A atau si B, cari pekerjaan lain atau tetap di pekerjaan sekarang, dst., lalu apakah untuk mengetahui jawabannya kamu berpuasa, berdoa, minta wangsit dari Tuhan, atau apapun? Saya kira itu tidak alkitabiah. Lalu bagaimana yang alkitabiah? Bacalah Alkitab. O, baca Alkitab itu caranya langsung asal buka Alkitab sambil doa ‘Tuhan tunjukkan jalannya’? Bukan juga. Itu magis juga, mirip perdukunan. Yang dianjurkan oleh firman Tuhan adalah: bacalah keseluruhan script dramanya, nanti kamu tahu kira-kira improve-nya di mana. Dan kalau kita perhatikan Kisah Para Rasul, ini adalah buku catatan mengenai bagaimana para rasul sendiri improve, karena Yesus tidak meninggalkan pesan ‘nanti ya, kalau bergabung jemaat dari golongan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani, lantas kamu kehabisan tenaga untuk melayani mereka, lakukan A, lakukan B; jika A, lakukan X, jika B, lakukan P, dst.’ Tidak demikian. Yesus tidak meninggalkan blue print.
Yesus memberikan kepada kita realitas penggenapan Kerajaan Allah, dan Dia mendorong kita untuk membaca script-script awalnya, karena bukankah Yesus menjelaskan kebangkiktan-Nya dari script-script awal, dari kitab Taurat, tulisan para nabi, kitab-kitab hikmat dalam Perjanjian Lama. Jadi ambilah dan bacalah Alkitabmu, tenggelamkan dirimu dalam kisah-kisah itu. Biarlah itu meresap dalam setiap fibre sel-selmu, dalam percakapanmu, dalam cara kamu berpikir, dst., nanti kamu akan tahu apa yang berkenan kepada Tuhan, apa kehendak Tuhan. Tentu bukan kamu sendirian tahu, tapi ada konfirmasi dari pihak lain, kita jalankan drama itu bersama-sama, bukan masing-masing mandiri. Seorang pemain drama yang bagus, tidak cuma konsentrasi pada script bagiannya sendiri, tapi juga melihat orang lain. Sama juga seperti kalau kamu menyanyi koor, sama juga kalau kamu jam session main jazz, atau juga dalam orkestra musik klasik, kamu mendengarkan juga orang lain, tidak cuma lihat conductor dan partitur. Jadi, dalam kita menjalankan peran kita, yang cuma 70-80 tahun dalam seluruh penyelenggaraan Kerajaan Allah yang ribuan tahun itu, kita bukan hanya melihat kepada Tuhan dan Alkitab saja, tapi juga kepada orang-orang lain, dan in tune dengan itu.
Kiranya Tuhan beserta kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading