Di sini ada 2 bagian yang sepertinya saling kontradiktif; yang pertama ayat 1-5 dikatakan ‘jangan menghakimi, dst.’ dan yang kedua di ayat 6 justru seakan malah menghakimi ‘ada sebagian orang yang seperti babi, ada sebagian orang yang seperti anjing, dan janganlah berurusan dengan mereka’. Begitu kira-kira biasa kita membacanya. Tabrakan ini bukan hanya dalam ayat-ayatnya tapi juga penggunaannya. Ayat 1-5 mungkin ayat yang paling sering dipakai di dunia Barat –dunia orang yang lebih liberal, orang yang lebih relatifistik, post-modern– yaitu “do not judge”. Di sisi lain, ayat 6 hampir tidak pernah mereka pakai, bahkan mungkin mereka kaget kalau tahu ayat ini persis datang setelah ayat 1-5 ‘jangan menghakimi’. Penggunaan yang bertabrakan ini tentu juga ada pada kita, orang Timur yang lebih tradisional dan konservatif. Yang paling sering kita pakai justru ayat 6, dan mungkin kita juga kaget waktu sadar bahwa ayat 6 ini datang persis setelah ayat 1-5 ‘jangan menghakimi’.
Kita sering memakai ayat 6 dalam konteks menghadapi orang-orang tertentu yang hidupnya begitu rusak, kotor, sangat berseberangan dengan kita, orang-orang yang kepala batu. Kita mengeluarkan frasa “jangan memberikan mutiara kepada babi” ini dengan maksud ya sudahlah, kita tidak usah ladeni terus mereka ini, hopeless, bahkan Tuhan Yesus pun ada batasnya, Tuhan Yesus pun ngomong begitu. Tapi waktu kita melihat ayat 1-5 ini ternyata bersanding bersamaan dengan ayat 6, bagaimana kita mengertinya? Tuhan Yesus mengatakan ‘jangan menghakimi’ tapi sesudah itu Dia langsung melabelkan orang sebagai ini dan itu; bagaimana kita mengerti kedua hal yang seperti kontradiksi ini?
Kita bisa memakai satu pendekatan yang melihat hal ini bukan sebagai suatu ejekan melainkan suatu perumpamaan yang tidak harus kita terima secara harfiah. Pertama, kita bisa tanyakan mengapa Tuhan Yesus memakai binatang babi dan anjing, bukan singa dan jerapah misalnya? Karena babi dan anjing memiliki kesamaan, yaitu keduanya hewan domestik. Memang ada anjing liar, tapi ada beberapa bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa orang Israel pada zaman Tuhan Yesus sudah memelihara anjing. Lebih awal lagi, sejak zaman Yesaya, kita menemukan bahwa anjing dipakai untuk menggembala domba (Yes 56 Tuhan membandingkan penjaga-penjaga Israel seperti anjing-anjing yang tidak tahu menyalak, kerjanya cuma tidur dan makan). Jadi waktu orang Israel mengatakan bahwa anjing itu najis, bukan berarti dalam kehidupan masyarakat anjing tidak ada gunanya, baik dalam zaman yang lebih awal seperti Yesaya, apalagi di zaman Tuhan Yesus yang sudah ada pengaruh Helenisme. Lebih lagi soal babi, babi selalu merupakan hewan ternak peliharaan orang (kecuali babi hutan). Di dalam Alkitab, cerita orang yang kerasukan di Gerasa, sekawanan babi yang kemudian terjun ke jurang tentu saja babi peliharaan, bukan babi liar. Juga dalam cerita anak yang hilang, dikatakan bahwa pekerjaan si anak bungsu adalah memberi makan babi. Inilah gambaran yang ada tentang anjing dan babi; bukan sekedar binatang yang di bawah manusia tapi binatang-binatang yang ada di bawah tanggung-jawab manusia, di bawah perawatan manusia.
Oleh karena itu, Saudara bisa mengerti perumpamaan ayat 6 dengan kacamata seperti ini: manusia yang harusnya merawat mereka, yang harusnya memberikan mereka sesuatu yang mereka perlu (makanan), malah memberikan mereka sesuatu yang berharga/sakral yang tidak bisa mereka makan/cerna; kalau mereka berusaha mencerna barang-barang tersebut, itu akan menyakiti mereka dan mereka akan berbalik mengoyak kamu. Kalau Saudara memakai pendekatan seperti ini, Saudara akan menerima perumpamaan ayat 6 ini secara berbeda. Siapa sebenarnya target yang mau ditegur dari perumpamaan ini? Jelas bukan binatangnya, tapi justru manusia-manusia yang harusnya bertanggung-jawab merawat binatang tersebut. Dalam kasus ini, adalah wajar sekali binatang-binatang itu melakukan yang mereka lakukan, binatang-binatang itu sedang bertindak sesuai dengan natur mereka. Jadi cara menggunakan perumpamaan ayat 6 dalam konteks seperti yang biasa kita gunakan, jelas kelihatan ngawurnya. Kalau mau jujur, kita menggunakan ayat 6 sebagai alih-alih untuk mengatakan “sudahlah, hopeless mereka semua itu”; targetnya di mereka. Di permukaan seakan mengatakan ‘ya kita yang salah, kita kasih mutiara kepada babi’, tapi di balik itu yang mau kita katakan ‘memang mereka sih kaya’ babi tidak mau terima kita, bukan salah kita’.
Kalau Saudara betul merasa bahwa diri Saudaralah yang salah –memberi mutiara kepada babi– bukan babi yang salah (karena babi memang tidak bisa mencerna mutiara), maka tindakan selanjutnya bukanlah berhenti memberi melainkan mengganti yang Saudara beri. Itulah respon yang tepat. Tapi waktu kita menggunakan ayat 6 secara salah, tindakan selanjutnya kita mundur, berhenti memberi, lalu mengatakan ‘sudahlah, tidak usah berurusan lagi dengan orang-orang itu’. Respon seperti ini membuktikan bahwa kita menggunakan ayat ini untuk menyerang orang dan bukan untuk introspeksi diri. Dalam hal ini, Kristus terbalik sama sekali. Justru secara permukaan Dia seperti sedang menghina babi-babi dan anjing-anjing, tapi di balik itu sebenarnya kritikan kepada manusia-manusia bodoh yang tidak tahu memberi yang tepat. Dari sini Saudara bisa melihat bahwa bagian ayat 6 ini tidak bertabrakan sama sekali dengan bagian sebelumnya, karena ini cuma satu cara lain untuk mengatakan ‘jangan lu sok-sok’an mau mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu padahal balok di matamu, elu tidak lihat’.
Semua yang kita bicarakan itu merupakan introduksi supaya bisa mengerti bagian ini dalam perspektif yang tepat. Jujur saja, waktu membaca bagian ini kita pikir kita jagoannya, dan targetnya adalah orang-orang lain yang brengsek itu. Tapi sekarang kita tahu, perspektif kita yang tadi itu salah. Kita bukan cuma perlu kebenaran yang tepat, tapi kita juga perlu perspektif yang tepat untuk datang kepada kebenaran. Dan dalam bagian ini kita bisa melihat bahwa targetnya tidak pernah ‘mereka’ melainkan ‘kita’. Ini konklusi yang Alkitabiah, karena kalau kita melihat struktur kitab Matius, pasal 7:1-6 ini ada bagian sebelumnya dan ada bagian sesudahnya yang merupakan satu tema, sebagaimana biasanya para komentator menaruh 3 bagian dalam 1 tema (1 tema dengan 3 aspek). Di bagian sebelumnya, Tuhan Yesus bicara mengenai ‘jangan mencari harta yang dapat rusak di dunia tapi kumpulkanlah harta di surga’; ini bicara mengenai sikap murid-murid-Nya terhadap alam/ barang-barang milik kita. Di bagian setelahnya, Tuhan Yesus bicara mengenai doa, artinya tentang sikap kita datang kepada Tuhan. Dan di bagian ini adalah sikap kita, para murid Tuhan Yesus, terhadap orang lain/ sesama. Oleh karena itu sangat masuk akal bahwa bagian ini tujuannya bukan untuk Saudara pakai menyerang orang lain, tapi untuk kita self-critic.
Pembacaan yang lebih jauh lagi adalah dengan menanyakan: bagaimana kalau cerita ini bukan cuma mengatakan kita bukan jagoannya, tapi lebih dari itu mengatakan bahwa kitalah babinya? Apa yang bisa kita pelajari di sini? Saya rasa, kita akan menemukan diri kita. Mari kita lihat, problem dari binatang-binatang ini bukanlah bahwa mereka keracunan, dengan kata lain bukannya mereka perlu makanan bergizi lalu diberikan makanan yang kotor sehingga keracunan, melainkan bahwa mereka diberikan sesuatu yang lain yang di atas naturnya. Mereka berharap jagung, tapi yang datang mutiara. Mutiara jelas lebih berharga daripada jagung, mutiara bisa membeli lebih banyak jagung, mutiara lebih indah daripada jagung, tapi si babi tidak punya kemampuan untuk mengenali nilai dari mutiara. Adalah wajar mereka tidak punya kemampuan itu, karena naturnya memang demikian. Kalau hal ini merupakan metafor hati manusia yang jatuh dalam dosa, maka bagian ini bukan sekedar bicara mengenai kebutaan rohani –babi bisa melihat mutiara– tapi tidak bisa melihat nilai dari mutiara itu, sehingga kita boleh menamakan ini ketidak-pekaan rohani. Bukan spiritual blindness melainkan spiritual insensitivity. Ini sesuatu yang lebih gawat karena bukan sama sekali tidak bisa melihat, melainkan tidak bisa melihat lebih dari yang kelihatan. Bukan soal tidak bisa melihat jurang, tapi tidak ngeh bahayanya sebuah jurang; dan ini lebih berbahaya.
Contohnya mengenai hidup kekal, salah satu tema yang paling utama dalam Perjanjian Baru. Apa itu hidup kekal? Biasanya kita mengerti hidup kekal sedikit banyak sebagai ‘saya dapat tiket, yang kalau saya meninggal nanti saya akan mendapat hidup yang berikutnya, hidup selama-lamanya’. Problem atas pengertian ‘hidup kekal’ yang seperti ini adalah berulang kali Yesus dan murid-murid-Nya dalam Alkitab membicarakan bahwa Saudara mendapat hidup kekal itu bukan nanti melainkan sekarang; jika demikian, apa artinya hidup kekal? Tentu saja dalam pengertian yang Alkitabiah, hidup yang akan datang (after life) sudah pasti termasuk hidup kekal, tapi kalau kita melihat seperti ini, maka kemungkinan besar hidup yang nanti itu bukan gambaran keseluruhannya, bahkan bukan bagian utama dari hidup kekal. Kita bisa melihat hal ini lebih lanjut dengan mengerti perbedaan 2 istilah Gerika mengenai ‘hidup’, yaitu kata bios dan zoe. Bios adalah hidup dalam pengertian jantung berdetak, tidak mati. Tapi zoe bukan cuma mengacu pada durasi melainkan mengacu pada kualitas hidup, hidup yang lebih tinggi. Dan setiap kali ada istilah ‘hidup kekal’ dalam Alkitab, selalu dipakai kata zoe, tidak pernah bios. Oleh karena itu kita dapat mengerti arti hidup kekal yang sekarang adalah hidup yang lebih hidup.
Babi itu hidup. Manusia juga hidup. Tapi kehidupan tidak rata, ada tingkatan-tingkatannya; hidup manusia tidak sama dengan hidup babi. Kalau seorang manusia yang karena kecelakaan atau suatu penyakit hidupnya menurun sehingga kesadarannya dan pikirannya sampai ke level hidup seekor babi, kita akan mengatakan orang seperti itu ‘tidak hidup’ meski jantungnya tetap berdetak. Oleh karena itu kita bisa mengerti ‘hidup kekal’ dari perspektif seperti ini: sebagaimana hidup manusia adalah hidup yang lebih hidup daripada hidup seekor babi, maka hidup kekal adalah hidup yang lebih hidup lagi daripada hidup manusia. Secara sederhana, hidup kekal adalah kehidupan di level yang lebih tinggi daripada hidup hari ini. Apa yang membedakan tingkatan-tingkatan ini? Banyak, salah satunya kepekaan makhluk hidup tersebut. Sebagaimana hidup manusia adalah hidup yang lebih hidup daripada hidup seekor babi, demikian juga babi mempunyai hidup yang lebih hidup daripada sebuah pohon karena babi lebih peka akan realita dibandingkan pohon, babi bisa melihat, mendengar, mencium lebih banyak realita dibandingkan pohon. Pohon memiliki sense gelap dan terang, panas dan dingin, tapi pohon tidak mengerti apa-apa waktu sebuah truk menabraknya, sedangkan babi bisa melihat dan menghindar atau bersuara. Babi ada kepekaan yang lebih tinggi daripada pohon, maka babi punya kehidupan dalam level yang lebih hidup daripada pohon. Tapi babi tidak punya kepekaan akan keadilan versus kecurangan, tidak bisa membedakan antara film horor dengan film komedi; ini kepekaan dalam level manusia.
Kembali ke topik kita, mungkin yang Tuhan Yesus maksudkan melalui cerita mengenai manusia dan babi ialah memakai itu sebagai suatu analogi perbedaan antara manusia yang punya hidup kekal dan manusia yang tidak punya atau belum menerima hidup kekal. Kalau kita melihatnya seperti ini, kita bisa menyimpulkan melalui kacamata Tuhan Yesus bahwa manusia yang belum memiliki hidup kekal itu adalah orang-orang yang melihat kemuliaan/keagungan Allah lalu cuma berespon “jadi? saya harus bilang ‘wow’ begitu??” Salah satu manifestasi hidup kekal adalah kepekaan rohani untuk mampu melihat dan mengapresiasi realita secara lebih utuh, untuk merasakan kesucian Allah yang suci, untuk mengerti keagungan dari kehinaan Kristus; atau secara negatif lebih menyadari pemberontakan dan permusuhan yang kita lakukan terhadap Allah. Tanpa hidup kekal, Saudara akan menemukan bahwa semua yang kita bicarakan tadi hanya omong kosong belaka. Atau bisa jadi Saudara mengangguk-anggukan kepala karena memang sejak kecil sudah diajarkan, tapi itu tidak membakar hati Saudara, tidak mebuat Saudara berdecak kagum sebagaimana seekor babi melihat mutiara.
Inilah hidup kekal, beralih dari semacam level kerohanian binatang kepada level kerohanian manusia seutuhnya. Dan memang normal kalau manusia yang belum memiliki hidup kekal tidak peka terhadap realita ini, mereka sempit, tidak punya kemampuan atau tidak peka akan keutuhan realita spiritual; yang dia bisa lihat hanyalah yang memenuhi kebutuhan yang bisa dia lihat, sama seperti seekor babi yang tujuan hidupnya hanyalah demi ‘kenyang sekarang’, tidak lebih. Itu sebabnya Kekristenan bicara mengenai transformasi bukan cuma reformasi, mengenai jadi ciptaan yang baru. Reformasi artinya kembali ke awal, tapi transformasi melangkah ke langkah selanjutnya. Panggilan kita bukan direformasi saja tapi untuk ditransformasi. Kekristenan bukan sekedar ‘dulu saya tidak percaya Tuhan, sekarang saya percaya’ karena ada banyak orang yang percaya bahwa Tuhan Yesus itu historis, benar-benar pernah mati di kayu salib bagi dunia lalu bangkit, dan respon mereka hanya “jadi kenapa??” Mereka tidak terlalu peduli.
Jadi apa persisnya beda orang yang belum memiliki hidup kekal dan orang yang memiliki hidup kekal? Babi tidak suka mutiara karena dia merasa lapar dan perutnya harus diisi, babi tidak bisa melihat lebih daripada ini, lalu ketika babi melihat mutiara, baginya itu tidak bisa dimakan, jadi tidak saya perlukan, tidak bisa menolong saya. Ini pendekatan instrumentalis (melihat segala sesuatu sebagai alat). Saya ada agenda, agenda saya adalah untuk jadi kenyang, itu yang saya perlu; mutiara tidak bisa saya makan, jadi tidak berguna. Mirip seperti itu adalah orang yang berkata “Kekristenan itu saya harus datang ke gereja, harus berdoa, harus taat Sepuluh Hukum, harus meneladani Kristus, setelah itu hidup saya akan jadi lebih oke, nyaman, lebih baik, doa-doa terjawab, saya akan lebih bahagia. Kalau Kekeristenan bisa memberikan itu semua, saya akan datang dengan senang hati”. Tapi mungkin Saudara tidak seperti itu, bahkan kita mungkin adalah orang-orang yang tidak berharap Kekristenan bisa memberikan setinggi itu. Yang lebih mirip dengan kita, mungkin adalah ‘kita datang ke gereja karena tidak mau dianggap orang Barbar, dan kita berharap gereja yang nyaman, yang tidak terlalu perlu banyak interaksi dengan orang-orang tidak dikenal, menyanyi juga tidak dituntut banyak effort karena memang tidak sesuai juga dengan temperamen kita, dan yang paling penting kotbahnya berisi, cukup inspirasional dan menarik’. Yang mana tipe Saudara? Dua-duanya adalah pendekatan intrumental, pendekatan seekor babi memandang mutiara, ‘ini bisa jadi alat atau tidak’, dan itulah sebabnya babi tidak mengerti artinya mutiara. Dan juga inilah sebabnya kita tidak mengerti artinya doa. Doa kita -didominasi oleh apa? Kapan doa Saudara itu bebas, bebas untuk memuji Tuhan karena keindahan Tuhan dan bukan kegunaan Tuhan? Ataukah doa kita terpenjara lagi dan lagi dan lagi dalam meminta hal-hal yang bukan Tuhan? Coba kita tantang diri kita untuk berdoa murni hanya memuji keindahan Tuhan dan bukan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan Tuhan melalui Tuhan. Mungkin di situ Saudara tidak tahu harus berbicara apa dalam doa karena selama ini doa Saudara bukan doa yang bebas melainkan doa yang terkunci dalam ruangan sempit yang tuhan-nya bukanlah Tuhan tapi kebutuhan.
Ketika Yosua akan menyerang Yerikho, di hadapannya tiba-tiba berdiri seorang yang menghunus pedang. Reaksi Yosua adalah mengatakan “Engkau kawan atau lawan?” Orang itu lalu mengatakan: “Bukan, akulah Panglima balatentara Tuhan dan untuk inilah aku datang”. Yosua cuma punya 2 kategori, sesuatu itu bisa menolongmu (kawan), atau akan melawanmu (lawan); artinya semua yang dihadapi adalah alat atau bukan, berguna atau tidak, di pihakku atau tidak. Itu pertanyaan yang salah sama sekali. Pertanyaan yang benar adalah ‘diri saya di pihak siapa, diri saya berguna bagi siapa’, itulah yang seharusnya kita tanyakan. Spiritualitas level babi adalah bahwa mungkin kita sudah lama melihat Injil, melihat Allah, melihat kesucian-Nya, melihat anugerah-Nya, dan selama bertahun-tahun pertanyaan kita lagi dan lagi adalah ‘ini bakal menolong saya atau tidak, ini berguna buat saya atau tidak, ini berguna untuk keluarga saya atau tidak’, bahkan bukan cuma itu tapi sekedar ‘ini cocok buat saya atau tidak, ini membuat saya nyaman atau tidak’.
Apakah artinya menjadi orang Kristen dan bukan menjadi seekor babi Kristen? Yang seekor babi inginkan hayalah sekedar jadi lebih gendut, makan lagi dan tambah lagi. Tuhan memanggil kita bukan untuk “bertambah bundar”, Tuhan memanggil kita untuk berubah menjadi lebih hidup, menjadi ciptaan baru, bukan reformasi atau ekspansi melainkan transformasi.
Banyak komentator menghubungkan perumpamaan memberi mutiara kepada babi ini dengan kisah mutiara yang lain, karena dalam Alkitab hanya ada 2 cerita mutiara, di kitab Matius pasal 7 dan pasal 13. Cerita mutiara yang satunya adalah perumpamaan tentang seseorang yang menjual segala harta miliknya untuk mendapatkan mutiara. Di sinilah bedanya antara spiritualitas babi dan spiritualitas manusia yang seharusnya, yaitu yang satu hanya mau mutiara jika mutiara itu bisa menambah sesuatu pada dirinya, yang lain membuang segala miliknya demi mendapatkan mutiara. Yang satu bertanya ‘mutiara ini useful atau tidak’, yang lain mendeklarasikan bahwa mutiara ini beautiful. Pertanyaannya: siapakah Tuhan bagi kita? apakah artinya Kekristenan buat kita? apakah artinya Gereja bagi kita? spiritualitasku adalah spiritualitas yang mana?
Jonathan Edwards mengatakan bahwa seorang manusia, yang katanya mengikut Allah, dia bisa menerima Tuhan dalam 2 mode. Yang pertama, menerima Tuhan sebagai bonum utile, artinya ini sesuatu yang berharga/ good untuk jadi alat bagi saya. Yang kedua, menerima Tuhan sebagai bonum formosum, artinya ini sesuatu yang berharga/ good karena beautiful bagi saya, bukan karena useful. Contohnya, waktu dulu saya di Melbourne, saya mendengarkan musik supaya saya bisa dapat nilai bagus, supaya nantinya bisa dapat gelar, supaya dengan begitu bisa mendapatkan kerjaan yang bagus, supaya saya bisa dapat uang; jadi saya mendegarkan musik untuk mendapatkan uang. Tapi sekarang saya rela mengeluarkan uang demi bisa mendengarkan musik. Inilah bedanya antara sesuatu yang cuma useful dengan sesuatu yang beautiful. Saya tidak mengatakan bahwa Allah itu tidak useful, tapi kalau Saudara datang kepada Allah karena itu, Saudara celaka sekali. Apakah transformasi seperti ini pernah terjadi dalam hidup Saudara atau tidak, itu pertanyaannya. Bagaimana supaya bisa terjadi? Caranya sangat sederhana, yaitu Saudara berhenti melihat Allah dengan ‘apa yang Dia bisa lakukan bagimu di masa depan’, dan mulai melihat Allah mengenai ‘apa yang Dia telah lakukan di masa yang lampau’.
Jikalau tujuan dari perumpamaan memberi mutiara kepada babi adalah supaya kita punya alasan yang “biblikal” untuk tidak lagi berurusan dengan orang-orang yang menyebalkan itu, maka Tuhan Yesus agaknya schizophren, dan Allah Bapa pun schizophren, karena Kristus dan Allah Bapa melakukan persis seperti yang Mereka sendiri larang. Di Kolose 2:3 dikatakan “sebab di dalam Dialah (Kristus) tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan”. Kristus adalah harta karun yang terbesar, hartanya Bapa di surga yang paling besar, dan Bapa memberikannya kepada kita, lalu kita berbalik dan mengoyak Dia. Kita semua tahu dan hafal ayat dalam Mazmur 22 yang Tuhan Yesus kutip, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”, tapi tahukah Saudara ayat-ayat selanjutnya bicara apa? Dikatakan: “Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku; mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum. Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku”. Yang terjadi di sini adalah Yesus diberikan kepada kita –para anjing dan babi yang tidak sanggup menerima-Nya– dan kita lalu mengoyak Dia. Jangan Saudara cuma berpikir ‘apa yang dibawa dari pekerjaan Tuhan Yesus ini bagiku’, Saudara perlu berfokus kepada Dia dan bertanya ‘mengapa Dia melakukannya’.
Ada satu novel berjudul “Life of Pi” tentang seorang anak muda berada di perahu bersama seekor harimau. Penulisnya, Yann Martel, bukan cuma mengisahkan cerita antara anak muda ini dengan si harimau melainkan suatu perjalanan spiritual tokoh yang bernama Pi ini. Satu kali Pi berdiskusi dengan seorang pastor, Father Martin, mengenai kematian Kristus, dan Father Martin mengatakan kepadanya bahwa Kristus, Anak Allah sendiri, mati bagi seluruh dosa manusia. Di sini Yann Martel memberikan satu perspektif yang menarik yang bisa mengubah cara kita melihat hal ini. Kita biasanya kurang bisa mengerti keindahan hal ini karena bagi kita Tuhan Yesus mati ya, tidak apa-apa dong mati, nanti juga 3 hari lagi bangkit, mati ‘gak segitu berkorbannya karena akan bangkit juga. Tapi waktu Father Martin mengatakan hal ini, Pi tidak bersikap seperti kita, dia protes. Dia mengatakan alasannya: sekali Allah mati, bagaimanapun juga selamanya Allah itu pernah mati; meski Dia bangkit pun, itu tetap seperti satu noda yang tidak akan bisa hilang, suatu pengalaman horor yang riil menerima kematian. Itu berarti Anak Allah tetap akan merasakan pahitnya kematian di bibir-Nya sepanjang kekekalan, meskipun Dia bangkit. Rasa itu tidak pernah hilang! Dan Allah Bapa akan untuk selama-lamanya mencium bau busuk kematian di sebelah kanan takhta-Nya, karena Anak Allah pernah mati. Mengapa bisa Allah mau mengambil ini bagi diri-Nya?? Mengapa tidak biarkan kematian itu tetap jadi bagian manusia saja, yang memang harus mati?? Mengapa Allah bisa mau merusak hal yang indah, mengotori hal yang sempurna?? Betapa menarik perspektif ini. Dan tentu saja jawaban Father Martin adalah karena kasih. Dari sini Saudara baru bisa mengerti keunikan Kekristenan dibanding agama-agama lain bukanlah semata karena kita membicarakan mengenai Allah yang berkorban sedangkan agama lain tidak, tapi bahwa agama lain tidak sudi, tidak mau, tidak rela, tidak akan merasa itu pantas untuk mempunyai Allah yang demikian. Keberatan akan konsep Allah Tritunggal bukanlah cuma masalah logika, yang lebih sering dikatakan sebagai alasan adalah tidak pantas kalau Allah digambarkan seperti manusia bisa ber-anak. Tapi itulah keunikan kita; Allah kita melakukan itu. Pertanyaannya: sudahkah Saudara mulai melihat Dia sebagai indah dan bukan cuma berguna? Kalau Saudara mulai melihatnya, ini adalah bagian dari proses Tuhan mengubah engkau dari babi menjadi manusia.
Mengapa cerita “The Princess and The Frog” indah? Karena ceritanya bukan mengenai seekor kodok yang memangsa seorang putri raja sehingga kodok ini bertambah besar, melainkan bahwa kodok ini berubah menjadi seorang pangeran. Apa yang bisa mengubah si kodok jadi seorang pangeran? Yaitu beauty. Karena kodok ini mengalami pengalaman indah itu –seorang putri raja yang begitu bersih dan cantik mau mencium dirinya yang kotor, jorok, dan berlendir– itulah yang mengubah kodok menjadi pangeran, yang membuat dirinya naik level. Ini bukan cuma penambahan tapi perubahan. Dan inilah cerita diri kita! Inilah yang Tuhan Yesus beritakan kepada kita. Inilah yang dikatakan “kebenaran itu akan memerdekakan kamu”, karena jika Saudara tidak pernah diubah seperti ini, Saudara sama terpenjara seperti binatang yang hidupnya terpenjara hanya didorong oleh perutnya, oleh hal-hal yang dia butuh dan dia mau, oleh hal-hal yang cuma penambahan dan bukan perubahan. Saya datang ke gereja untuk apa? Untuk saya. Saya berdoa untuk apa? Untuk saya. Saya perlu Allah untuk apa? Untuk saya sukses dalam karir, untuk saya mendapat pengakuan orang lain, untuk saya dapat anak yang baik, dst. Kita dikuasai oleh hal-hal ini. Waktu Saudara jadi orang Kristen, justru salah satu tandanya adalah Saudara berani melepaskan hal-hal itu demi Allahmu. Saudara berani meresikokan karir demi menjadi orang Kristen, Saudara berani meresikokan pendapat orang lain demi orang lain mendengar berita Injil, Saudara rela mengorbankan mimpi demi kehendak Allah bagi anakmu terlaksana. Kalau itu tidak pernah muncul dalam hidup kita, berarti dalam level rohani kita bukan manusia melainkan babi-babi.
Perumpamaan mengenai kepekaan rohani ini bukan hanya memberitahukan tentang yang Tuhan kerjakan bagi kita, tapi perumpamaan ini juga memberitakan kepada kita tentang yang Tuhan bisa kerjakan melalui kita bagi orang lain. Kepekaan spiritual bukan cuma urusan antara kita dengan Allah, tapi bahwa kita sekarang bisa melihat lebih peka terhadap realita keseluruhan. Bukan hanya kita sekarang bisa melihat Allah yang bukan dalam level kegunaan melainkan dalam level keindahan, tapi juga bahwa kita sekarang bisa melihat lebih peka akan alam dan sesama. Waktu dikatakan di bagian ini “jangan memberikan kepada anjing hal yang sakral, jangan memberikan kepada babi hal yang mereka tidak bisa cerna”, berarti apakah waktu Saudara memberitakan kebenaran kepada seseorang, Saudara bisa melihat kebutuhan orang itu? Apakah Saudara cukup peka dengan apa yang dia benar-benar butuhkan, atau cuma melihat kebutuhan atau keinginan Saudara untuk memberitakan, dan Saudara buta terhadap keperluan orang itu? Perhatikan, di satu sisi ada ayat 1-5 tentang jangan menghakimi tanpa dirimu juga dihakimi, tapi ada ayat 6 yang mengajarkan untuk jangan sampai engkau tidak bisa membaca kebutuhan orang dengan tepat, tidak peka dengan kebutuhan orang lain. Dengan kata lain: ada keseimbangan. Keseimbangan antara membuka mata dan air mata.
Dalam cerita mengenai kematian Lazarus (Yoh 11), ada kalimat “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”. Yohanes 11 dengan sengaja menuliskan kalimat itu persis kata per kata, sebagai baik kalimat Marta maupun kalimat Maria. Keduanya mengatakan kalimat yang sama persis. Hal itu dicatat untuk menunjukkan reaksi Tuhan Yesus yang tidak bisa lebih berbeda lagi atas kedua orang ini. Waktu Marta mengatakan “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”, Tuhan Yesus langsung potong dengan mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup, percayakah saudaramu bisa bangkit kembali?” Tapi waktu Maria mengatakan “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”, Tuhan Yesus melihat Maria menangis dan Dia tidak bicara apa-apa, Dia ikut menangis. Pertanyaannya, apakah itu berarti respon yang satu lebih tinggi daripada respon yang lain? Atau apakah ada respon yang lebih tepat dalam hal ini? Mungkin sebagian orang setuju bahwa air mata adalah respon yang lebih tepat karena artinya peka konteks, orang yang sedang kematian jangan ditambah lagi kesulitannya, yang diperlukan adalah solidaritas, ikut menangis sama-sama. Sebagian yang lain mungkin mengatakan bahwa seandainya ada orang jatuh ke lubang, menangis minta tolong, lalu kamu datang kepada dia dengan “peka konteks”, apakah berarti kamu lalu ikut masuk ke lubang sama-sama merasakan penderitaannya? Tentu tidak. Peka konteks artinya kamu membuka mata kebenaran pada orang itu, ulurkan tali, tarik dia keluar dari lubang; bukan kamu masuk ke tempat dia melainkan tarik dia ke tempat kamu. Kedua respon ini mewakili tipe perasa versus tipe pemikir. Yang mana yang benar? Dua-duanya. Itu sebabnya Saudara perlu sesama saudara seiman untuk mengenal Tuhan.
Waku Saudara melihat cerita tentang perempuan Siro-Fenisia yang percaya dan tentang Yesus menyembuhkan orang yang tuli (Markus 7:24-37), Saudara akan menemukan Tuhan Yesus yang sangat berbeda. Kepada perempuan Siro-Fenisia itu, Tuhan Yesus seakan ketus banget mengatakan ‘tidak usah kamu duluan, anak-anak dulu, kamu anjing belakangan’, tapi kepada orang yang tuli dan gagap begitu luar biasa pengertian hati-Nya, pakai bahasa isyarat, bahasa yang dia bisa mengerti karena dia tuli, membawa orang itu ke tempat sepi supaya tidak jadi tontonan orang. Yang mana menurut Saudara yang lebih seperti Tuhan Yesus, yang mana yang lebih seperti bukan Tuhan Yesus? Jawabannya: dua-duanya. Tapi kalau Saudara hanya datang kepada Tuhan dengan sendirian, Saudara mungkin tidak bisa mengenal Dia dengan seutuhnya, Saudara hanya bisa melihat salah satunya saja. Kalau Saudara tipe pemikir, Saudara hanya bisa melihat Tuhan berkarya dalam diri Saudara waktu Dia membuka mata Saudara, dan itu yang benar menurut Saudara. Di sisi lain waktu Saudara yang tipe perasa melihat Tuhan ikut merasakan yang Saudara rasakan, maka menurut Saudara itu yang benar. Tapi tidak demikian. Dua-duanya itu menunjukkan kesempitan masing-masing. Karena Tuhan itu begitu luas, Saudara perlu orang lain untuk bisa mengenal Tuhan secara utuh. Kalau Saudara cuma melihat salah satu, akhirnya Saudara jadi sempit lalu melihat perempuan Siro-Fenisia ini yang benar karena dia aktif terus dan akhirnya memenangkan anugerah Tuhan. Di sisi satunya, orang yang lain akan mengatakan tidak begitu, semuanya by grace alone, buktinya orang yang tuli dan gagap itu tidak ada tindakan iman sama sekali yang dicatat, dia cuma menerima dan menerima, bahkan tidak dikatakan dia memuji Tuhan sama sekali. Keduanya salah karena dua-duanya sempit, dan juga dua-duanya benar karena dua-duanya adalah cara Tuhan Yesus bekerja, air mata dan membuka mata.
Masalah kita adalah: kita tidak punya kepekaan rohani yang lebih besar, lebih luas, daripada temperamen dasar kita. Ada tipe perasa yang cuma bisa ikut menangis tapi tidak tahu harus bicara apa. Ada tipe pemikir yang cuma menegur orang tapi tidak mengerti atau tidak peka akan perasaan orang. Kristus bukan dua-duanya, dan Kristus adalah dua-duanya. Dia tahu, ada waktunya untuk membuka mata. Dia tahu, ada waktunya untuk air mata. Inilah cara Injil bukan menambah kita melainkan mengubah kepekaan kita. Injil di satu sisi mengatakan “kamu itu begitu hancur sehingga Allah harus selama-lamanya merasakan pahitnya kematian di bibir-Nya”. Tapi di sisi lain Injil mengatakan “kamu itu begitu dicintai Allah, sampai Allah mau mengotori bibir-Nya dengan rasa kematian selama-lamanya, sampai Allah mau mencium bau busuk kematian di sebelah kanan takhta-Nya sampai selama-lamanya”. Saudara harus pegang dua-duanya.
Ketika Saudara melihat Allah seperti ini, apa dampaknya terhadap dirimu? Ini akan membuat Saudara yang tipe pemikir jadi lebih bisa merasa, karena Tuhan Saudara bukan Tuhan yang cuma mengatakan “ini semua gara-gara lu, ini faktanya, buka mata!”, tapi Tuhanmu juga mengatakan “memang ini gara-gara kamu, tapi Aku mau mati bagimu”. Bukan cuma membuka mata, tapi juga air mata. Dan ini membuat Saudara yang tipe perasa untuk lebih berani berpikir, lebih berani menegur, karena Tuhanmu bukan cuma menempatkan diri-Nya di tempatmu; pengorbanan-Nya justru jadi meaningful karena Dia membuka matamu, mengatakan “ini dosamu yang Saya tanggung”. Satu ilustrasi sederhana: ada seseorang yang Saudara bertemu dengannya di atas jembatan yang tinggi, orang ini mengatakan “aku mengasihimu” lalu dia melompat. Kita tentu jadi bingung, apa-apaan ini?? Tapi kalau seandainya Saudara sedang tenggelam di sungai di bawah jembatan tersebut, lalu ada orang dari atas melompat terjun dan sekuat tenaga membawa Saudara ke tepian sampai dia akhirnya mati tenggelam karena kepayahan, Saudara tentu menyadari ‘ini gara-gara saya’. Tapi terbukanya mata Saudara bahwa ‘ini gara-gara saya’ –peneguran itu– malah membuat pengorbanan cinta kasih orang ini jadi jauh lebih meaningful. Perasaan itu jadi lebih indah, lebih great, lebih meaningful, karena mata saya ikut dibuka dan bukan cuma merasa-merasa doang. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Ini membuat Saudara yang pemikir jadi lebih perasa, membuat Saudara yang perasa jadi lebih pemikir. Itu membuat Saudara yang membuka mata jadi mulai menangis, membuat Saudara yang tadinya hanya menangis jadi mulai berhenti dan membuka mata orang lain. Inilah Injil. Inilah kepekaan rohani yang harusnya ada pada orang-orang yang diberikan hidup kekal.
Hal ini tidak instan. Ini satu proses yang besar. Tapi Kalau Saudara sungguh adalah anak Allah, Saudara akan bisa melihat hal ini berkembang dalam hidupmu. Jika belum, jangan kuatir, karena Allahmu yang bekerja. Suatu hari orang yang sudah mengenal Saudara selama sepuluh atau dua puluh tahun, akan mengatakan “kamu tidak seperti yang dulu, ada sesuatu yang berubah di dalam kamu”, dan Saudara sendiri mungkin juga bisa merasakan “saya tidak seperti yang dulu; saya bukan cuma peka akan temperamen saya tapi peka akan temperamen orang lain”. Itulah penghiburan yang sangat besar, yang meyakinkan Saudara bahwa Saudara adalah Anak Tuhan; keyakinan keselamatan yang tidak tergoyahkan. Dan inilah panggilan kita. Tidak kurang dari ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading