Para reformator memang tidak pernah duduk bersama memformulasikan kelima sola; mereka bukan duduk-duduk lalu pikir-pikir, “kita ini ada gerakan, tapi apa ya, semboyannya?”, kemudian ada yang mengusulkan ‘solus Christus’ dsb. Bukan seperti itu. Kelima sola itu adalah sesuatu yang di kemudian hari dipopulerkan setelah para reformator meninggal. Para penerus mereka menggumulkan “apa sebetulnya yang menjadi inti perjuangan Reformasi”, lalu dicetuskanlah 5 sola tersebut. Jadi itu tidak secara eksplisit muncul dari mulut Luther atau Calvin, tapi jika mempelajari para reformator, kita menemukan inti perjuangan mereka adalah 5 hal tersebut.
Dengan mempelajari kelima sola tersebut, kita diajak mempelajari jantung ajaran Kitab Suci yang pernah diselewengkan, lalu diperjuangkan untuk kembali. Tidak ada problem bagi Gereja pada waktu itu tentang hal anugerah, tentang iman, tentang Kristus; mereka percaya Kristus, Kristus yang inkarnasi, Kristus yang Pribadi Kedua Allah Tritunggal. Mereka tidak ada problem dengan Alkitab; mereka percaya Alkitab adalah firman Tuhan. Dan mereka juga mau memuliakan nama Tuhan. Tetapi, problemnya adalah pada kata “sola”. Oleh sebab itu, kata “sola” menjadi penting.
Kalau melihat pada konteks Perjanjian Lama, Tuhan itu ingin disembah alone. Tidak ada lagi yang disembah, kecuali Dia. Sehingga, dalam hal kemuliaan yang adalah untuk Allah itu, Dia tidak mau berbagi. Kita, manusia, ada kemuliaannya sendiri. Kalau kita mempelajari konteks kemuliaan Allah ini, jika kita memuliakan Allah dan hanya hidup bagi kemuliaan Allah, maka kita juga akan dipermuliakan oleh Allah. Secara sederhana seperti ini: orang yang terus gila hormat, biasanya jarang dihormati; tapi orang yang terus menerus memikirkan orang lain, bekerja keras, dsb., dia sangat dihormati.
Yesus mengatakan: “Aku memuliakan Tuhan dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Dia berikan”. Memuliakan Tuhan itu tidak cukup dengan menyanyi atau melakukan semacam seruan ‘aku memuliakan Tuhan’ dalam ritual-ritual tertentu. Alkitab penuh dengan pernyataan cinta Allah, seperti: “Karena begitu besar kasih Allah”, “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal”, tetapi Dia juga Allah yang bertindak. Jadi dua hal ini penting, jangan ekstrimkan salah satu. Ada tipe orang tukang gombal, ngomongnya jago tapi perbuatan tidak ada; bilang “kalau untuk kamu, mati pun aku rela”, tapi gara-gara cuma pilek tidak bisa jemput. Ada juga orang yang cuma kerja, tidak mau ngomong. Orang tipe ini bilang, “Aku kan sudah kerja. Tidak usah ngomong ‘cinta’, aku ‘kan sudah melakukan semuanya” . Tapi yang kita lihat dalam Kitab Suci, Tuhan juga tidak begitu. Kalau orang tanya, “Tuhan, Engkau cinta akukah?”, Dia tidak bilang, “Cinta, cinta? Aku sudah mati di atas kayu salib, masih tanya lagi??” Semua pernyataan Allah dalam Kitab Suci menyatakan isi hati-Nya, dan juga tindakan. Oleh sebab pergi ke gereja bernyanyi, berdoa, bersyukur, itu adalah salah satu cara memuliakan Tuhan, tapi kita juga memuliakan Tuhan dengan menyelesaikan pekerjaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita.
Dalam Perjanjian Lama kita melihat, Allah adalah Allah yang tidak berbagi kemuliaan. Itu sebabnya ketika Nebukadnezar dengan congkak mengatakan ‘ini semua hasil jerih payahku’, sementara Tuhan sudah mengatakan ‘Saya yang mengangkat kamu, Saya memberimu kuasa dan segala sesuatu’, akhirnya Tuhan menghukum dia, karena Nebukadnezar merebut kemuliaan yang buat Tuhan. Saya sungguh-sungguh takut dan memberi peringatan kepada setiap kita, “Gereja adalah panggungnya Tuhan. Kalau kita cari panggung di sini, itu sama saja cari mati.” Alkitab banyak cerita mengenai perebutan kemuliaan. Herodes bilang ‘aku yang hebat’, maka Tuhan kirim malaikat menampar dia.
Tuhan di dalam Kitab Suci, tidak pernah berbagi kemuliaan. Oleh sebab itu, penyembahan hanya bagi Allah saja. Di dalam hukum pertama, jelas dikatakan: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”. Itu mutlak. Tidak ada kemenduaan, harus fokus. Itu sebabnya dalam pernikahan, yang menjadi gambaran relasi kita dengan Tuhan, Tuhan berpesan supaya kita tidak mendua hati. Bahkan Bapa Gereja, Agustinus, mengatakan bahwa di dalam pernikahan, kalau hati kita mencintai orang lain lebih besar daripada pasangan kita, meski tidak berzinah, tidak pergi kencan, itu sudah perzinahan. Ketika kita mengenal Tuhan, kita diselamatkan, Tuhan itu menjadi prioritas pertama dalam hidup kita, tidak boleh ada prioritas lain yang menggantikan.Bukan berarti semua yang lain dibuang, tapi ini soal prioritas. Waktu kita mencintai sesuatu lebih daripada mencintai Tuhan, itu berzinah secara rohani. Tuhan tidak mau ada allah lain di hadapan-Nya, “Kalau kamu mau menyembah, sembah Saya. Titik. Tidak ada yang lain. ” Ini prinsip ‘sola’ (alone). Satu-satunya yang boleh disembah, hanya Tuhan. Berhala adalah “Allah, plus (+)”. Problem dalam Perjanjian Lama, waktu dikatakan bahwa orang Israel sering melupakan Tuhan, mereka itu tetap masih menyembah Tuhan, hanya saja ditambah. Jadi ada 2 macam: “Allah, ditambah” atau “Allah, image-Nya diganti.”
Orang Israel mengatakan, “Lihatlah Yahweh, yang telah membebaskan kita dari tanah perbudakan di Mesir”, dan yang ditunjuk lembu emas. Lembu itu dikatakan Yahweh. Yahweh marah. Seandainya kita ulang tahun lalu ada yang memberi celengan babi, dan orang itu mengatakan “ini seperti kamu”, itu kurang ajar bukan?? Orang Israel bukannya tidak menyembah Yahweh, tapi Yahweh diwujudkan dalam suatu bentuk, dan Tuhan tidak senang.
Orang Israel empat puluh tahun di padang gurun, perang terus dan tidak kalah-kalah. Mereka bangsa yang kecil, tapi bisa mengalahkan bangsa yang besar-besar. Strategi perang Yosua, yang adalah hikmat dari Tuhan, banyak sekali yang sampai sekarang dipelajari di dunia militer, misalnya oleh Pentagon. Oleh sebab itu image mereka akan Yahweh adalah ‘jago perang’, dan juga ‘Allah gunung’ karena munculnya di Gunung Sinai. Bahkan pernah satu kali bangsa lain menantang perang di dataran rendah karena Allah Israel ‘Allah gunung’, tapi Tuhan turun, dan Tuhan tetap menang. Maka image sebagai “Tuhan perang” sangat kuat, tapi apakah Tuhan bisa memberi kemudahan ekonomi?? Ketika orang sampai pada tahap bahwa Tuhan itu tidak berdaulat atas seluruh hidupnya, maka dia fragmented, aku menyembah Yahweh, tapi sekarang aku punya bisnis, bertani, beternak; aku butuh kesuburan supaya ternakku bertambah, butuh hujan supaya pertanianku maju, maka aku butuh dewa kesuburan. Dewa perang perlu, untuk proteksi; tapi juga perlu dewa untuk ekonomi, maka mereka menyembah Baal –dewa hujan, dewa kesuburan.
Problem Israel selalu adalah: sudah ada Tuhan, tapi dirasa kurang, maka perlu plus (+). Itu juga seringkali pergumulan jemaat, misalnya tanya, “Pak Ivan, boleh tidak ikut meditasi?” Itu bukan pengajaran Kristen, orang diajar masuk ke dimensi yang aneh-aneh, dan ending-nya orang jadi malas berdoa; kalau ada masalah tinggal tarik nafas, mengosongkan pikiran dengan teknik-teknik seperti itu. Lalu orang masih jawab, “Tapi aku jadi tenang lho”, maksudnya aku doa tidak bisa tenang-tenang, tapi melakukan ritual ini aku tenang; jadi Tuhan cuma berdaulat untuk keselamatanku, itu dijamin oleh Dia, sedangkan untuk ketenangan dan kesehatan musti ke yang lain itu. Inilah benih-benih “Tuhan, plus”. Dengan kata lain, kita mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak sufficient, tidak cukup, tidak alone, maka perlu ‘yang lain’. Itulah benih yang menjadi penyebab sampai zaman sekarang terus menerus terjadi pemberhalaan; Tuhan dianggap tidak cukup.
Kalau dalam Perjanjian Lama, pergumulannya adalah mereka terus mau menambahkan yang lain kepada Tuhan, lalu di zaman para reformator Solus Christus dipahami seperti apa? Mereka percaya Tuhan Yesus itu Tuhan, bahwa Tuhan Yesus itu Juruselamat, Tuhan Yesus itu inkarnasi menjadi manusia. Tapi, mereka juga percaya itu tidak cukup. Maka yang diperjuangkan para reformator adalah “sola, bukan et”; sola artinya ‘hanya, alone’, sedangkan et artinya ‘dan’. Jadi permasalahannya bukan pada the person of Christ (dirinya Kristus), melainkan pada the work of Christ (karya Kristus), yaitu apakah karya Kristus itu sufficient atau tidak.
Kisah Rasul 4:12 mengatakan: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." Perhatikan, kalimat tersebut, keselamatan itu satu-satunya adalah di dalam Kristus. 1 Tim 2: 5 “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus”.
Pada zaman Agustinus, dia memperjuangkan keutamaan dan kecukupan Kristus melawan Pelagius, yang mengatakan bahwa keselamatan di dalam Kristus bukanlah necessity melainkan optional; bukan harus, dan bukan cukup, melainkan menjadi opsi — bisa selamat lewat Kristus, bisa juga lewat yang lain. Ajaran Pelagius mungkin lebih cocok di abad 21ini. Waktu Anda mengklaim kalimat “satu-satunya keselamatan di bawah kolong langit adalah di dalam Yesus Kristus” di abad 21 yang penuh pluralitas dan toleransi, itu jadi problem. Sedangkan kalau seperti Pelagius, mungkin lebih aman; tapi itu bidat. Calvin mengatakan bahwa keselamatan itu necessity and sufficient, di dalam Kristus.
Pelagius mengatakan, natur manusia itu baik. Reformator mengatakan, natur kita itu dosa. Mana yang benar? Kalau Saudara melihat kota Jakarta, rumah-rumah pagarnya tinggi-tinggi, bahkan ada daerah yang pagarnya tinggi lalu menerus ke kanopi atasnya, juga kiri-kanan, jadi seperti penjara. Bukankah ini berarti kita tidak bisa percaya pada orang yang di luar? Kita tidak bisa percaya, karena pada dasarnya banyak orang jahat. Natur manusia itu natur yang jahat. Tapi Pelagius mengatakan: “Kita sebetulnya baik, dan berbuat kebaikan itu mudah, karena Tuhan mengatakan ‘sempurnalah engkau seperti Bapamu sempurna, sucilah engkau seperti Bapamu suci’ sehinggga itu berarti semua perintah Tuhan bisa kita lakukan; karena kalau Tuhan memberi perintah, pasti Tuhan tahu kita sanggup atau tidak untuk melakukannya”. Jadi dalam pemikirannya, kita ini bisa sempurna, bisa suci, bisa kudus, dan itu mudah. Luther berbeda. Dia mengatakan: “Perintah Tuhan itu sulit, impossible untuk kita lakukan”. Lalu mengapa Tuhan berikan? “Tuhan berikan supaya kita sadar, bahwa kita mentok, tidak bisal melakukan, lalu datang minta anugerah Tuhan”. Guru ada 2 macam. Waktu memberitahu sesuatu itu sulit, ada yang langsung bilang: “Ini sulit, jadi caranya begini”. Yang lain, suruh muridnya mencoba dulu, baru memberitahu, sehingga murid bisa menangkap sense kesulitannya.
Pelagius mengatakan: “Kita ini baik, jadi tinggal lakukan saja. Kalau kita pakai anugerah –datang kepada Kristus, jadi Kristen– kita jadi lebih gampang berbuat baik. Tapi kalau tidak pakai Kristus pun, tidak apa-apa, kita bisa berbuat baik dan masuk surga”. Pelagianisme ini di-cap sebagai bidat; sama sekali bukan solus Christus, Kristus cuma opsional. Kemudian nantinya ada Semi Pelagian, mengakui kita rusak dan berdosa, keselamatan tidak bisa dengan kekuatan sendiri, persentasenya 60 % anugerah Tuhan tapi 40 % saya; lalu berikutnya Armenian yang merasa Semi Pelagian masih terlalu kasar, harusnya 99 % anugerah Tuhan dan 1 % saya. Ini biasa dibahas dalam ‘sola gratia’/ grace alone. Satu persen itu pun adalah penghinaan dan pengkhianatan terhadap pekerjaan Tuhan.
Ajaran Pelagius bisa diibaratkan Saudara mau naik ke lantai 25 sebuah gedung. Di situ ada lift, tapi kalau mau naik tangga juga tidak apa-apa, pasti bisa pelan-pelan sampai ke lantai 25. Tapi bukankah kalau pakai lift lebih gampang?? Demikian menurut Pelagius, seperti lift tadi, keselamatan jadi lebih gampang kalau jadi orang Kristen, masuk komunitas Kristen, karena jadi lebih banyak waktunya untuk dicegah berbuat dosa; kalau komunitas kita tidak benar, kita jadi lebih gampang berbuat dosa. Suatu ketika saya disuruh menunggu di kantor seseorang. Sebelum masuk, saya mendengar orang-orang di dalam kantor itu bicaranya jorok, tapi begitu saya duduk, langsung seketika tenang; dan ada suara bisik-bisik mengatakan “Itu pendeta”. Lalu ketika saya meninggalkan ruangan itu, mulai lagi mereka bicara seperti tadi. Jadi kira-kira seperti itulah argumentasi Pelagius, ketika kita masuk komunitas Kristen, kita jadi lebih gampang mengekang diri untuk tidak jatuh dalam dosa. Ini dilawan habis-habisan oleh Agustinus.
Kata “et” –“Yesus dan”– yaitu Yesus dan sakramen, Yesus dan indulgensia, Yesus dan perbuatan baik, inilah yang menjadi problem dalam reformasi. Satu statement yang ada waktu itu: “Our Lord is the one adequate Mediator and Redeemer, but He graciously allows others, and Mary in a special and unique way, to have a subordinate share in union with Him, in the work of redemption”. Ini kita tidak bisa terima sama sekali, bahwa Maria di dalam satu cara yang unik secara sub-ordinasi (di bawah/ tidak setara) berbagian di dalam kesatuan dengan Dia dalam karya penebusan. Statement tersebut menunjukkan bukan ‘Christ alone’. Di situlah perjuangan para reformator, bahwa ‘Kristus saja’ tidak tambah yang lain.
Saya ada pengalaman melayani di daerah Teluk Gong. Mereka di situ kebanyakan orang-orang yang menyembah banyak dewa. Jadi meskipun bukan Kristen, mereka sangat terbuka. Kunci keterbukaannya di mana? Yaitu karena mereka menyembah banyak dewa –dewanya ada ribuan– maka ditambah satu juga tidak apa-apa; mau ditambah Tuhan Yesus Kristus atau siapa pun boleh; yang tidak boleh kalau dikurangi dewa-dewa pentingnya. Itu menjadi kesulitan tersendiri dalam penginjilan, ketika mereka percaya menuju ke surga lewat Yesus, tapi lewat jalan lain pun bisa. Di situ menghilangkan kata ‘solus’. Solus Christus –Christ alone– berarti hanya Kristus, yang lain harus dihilangkan.
Martin Lurher mempopulerkan Teologi Salib (Theology of The Cross), dikontraskan dengan Teologi Kemuliaan (Theology of Glory). Kalau kita menambahkan jasa manusia, berarti kita meninggikan manusia dan merendahkan karya Kristus. Menjadikan manusia sebagai pendamping keselamatan, itu disebut Luther sebagai Theology of Glory. Manusia tidak boleh dijadikan co-redeemer. Luther mengajarkan keselamatan itu semata-mata anugerah melalui salib Kristus; maka disebut Teologi Salib.
Saya pernah menggantikan mengajar di satu sekolah yang cukup besar dan baik, siswanya 600 orang. Mereka adalah orang-orang yang ke gereja, komunitas Kristen, tapi waktu saya mengajar, pandangan anak-anak seperti kosong. Saya coba tes dengan memberi 3 pernyataan dan suruh mereka memilih mana yang benar. Pernyataan no. 1: “Cuma ada satu Tuhan, jadi kalau kamu menyembah Tuhan A, Tuhan B, dsb. artinya salah alamat semua. Dan Tuhan yang cuma satu ini hanya mau didekati lewat Yesus Kristus. Jadi 1 Tuhan, 1 jalan keselamatan lewat Yesus Kristus”. No. 2: “Di surga ada banyak tuhan –ada tuhan agama ini, tuhan agama itu– jadi agama apapun ada tuhannya”. No. 3: “Tuhan cuma satu, tapi jalan yang Dia buka ada banyak, bisa lewat Kristus atau lewat agama apapun, termasuk penyembahan UFO dsb. asal kamu baik akan masuk ke Tuhan”. Celakanya, yang paling banyak mereka pilih no. 2 dan 3. Ini sudah 500 tahun reformasi, tapi hal yang paling dasar, keselamatan di dalam Kristus saja mereka tidak mengerti; gerejanya mengajarkan apa?? Kalau kita melihat sejarah reformasi yang demikian panjang, lalu melihat yang dilakukan Gereja hari ini, kita jadi greget. Tapi itu fakta yang terjadi.
Luther membagi jadi Theology of The Cross dan Theology of Glory, itu sebabnya orang Kristen memahami kemuliaan melalui salib. Ketika orang mau memahami Kristus, itu adalah Kristus yang dinyatakan Alkitab yaitu Kristus yang tersalib, tidak bisa Kristus yang lain-lain. Tantangan zaman ini, orang merasa problem dengan kemutlakan Kristus. Dan yang kedua, kalaupun Kristus, Kristus di sini dibaca bermacam-macam. Saudara mungkin pernah melihat gambar Kristus yang berewokan, pakai selempang peluru dan bawa senapan mesin. Itu Kristus versi teologi pembebasan. Mereka selalu orientasi pada pembebasan orang miskin dsb. Saya bukan mengatakan untuk tidak peduli pada orang miskin, tapi bahwa itu bukan tujuan paling utama Yesus Kristus datang ke dalam dunia, itu sesuatu pancaran dari yang Dia sudah kerjakan.
Jadi, keselamatan di dalam Kristus dipahami lewat Alkitab; dan Kristus-nya pun harus dipahami lewat Alkitab. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Menurut orang banyak, siapakah Aku?” Musti dicek, mereka kenal Yesus, tapi kenalnya seperti apa. Lalu ada yang menjawab: “Menurut mereka, Engkau itu Elia”, karena Yesus membuat mujizat besar, Yesus itu berani, Yesus itu mempunyai zeal for The Lord (giat bagi Allah) seperti Elia. Lalu ada yang mengatakan: “Engkau Yeremia”, karena mereka mungkin melihat Yesus berdoa kuat luar biasa seperti Yeremia. Dan juga menangisi bangsa-Nya, rindu bangsa-Nya kembali kepada Tuhan, seperti Yeremia yang memikirkan kebangunan. Ada juga yang bilang: “Engkau Yohanes Pembaptis”, karena Yesus berani luar bisa, menegur orang, dsb. seperti Yohanes Pembaptis. Di sini Yesus membuka forum, orang boleh bicara apa saja tentang Dia, tapi Dia tidak puas, “Menurut kamu, siapakah Aku?” Petrus jawab: “Engkau Mesias, Anak Allah yang hidup”. Lalu Yesus mengatakan: “Simon bin Yunus, berbahagialah engkau. Bukan manusia yang mengatakan ini, tapi Bapa-Ku di surga menganugerahkan kepadamu”. Dan Dia langsung menambahkan: “Telah tiba saatnya Anak Manusia dipermuliakan”. Apa itu dipermuliakan? Yaitu lewat salib.
Jadi, pertama Yesus mengatakan ‘menurut kamu, Saya siapa’. Kemudian berangkat dari pernyataan ‘Engkau Mesias, Anak Allah’, Dia menanggapi: ‘betul, Bapa sudah kasih tahu’. Berikutnya: ‘Sekarang Saya tambahkan, Mesias ini adalah Mesias yang menderita’. Kunci di situ. Maka memahami Kristus juga harus seperti yang Kristus mau, seperti yang Kitab Suci nyatakan, bukan semau kita. Waktu mengatakan ‘solus Chritus’ tapi Kristusnya ngawur, akhirnya imannya semua ngawur. Kemuliaan Tuhan, menurut Luther, itu dipancarkan melalui salib. Orang Kristen kalau mau memahami kemuliaan, harus lewat paradoks salib.
Aplikasinya seperti apa? Misalnya: “salib dan pekerjaan”. Orang itu mulia bukan kalau sudah kerja lalu sukses dan pakai berbagai asesoris, foto-foto, masuk instagram. Atau karena kerja keras, akhirnya punya jabatan tertentu, yang dia banggakan –bikin kartu nama, gelarnya 7 macam– dan merasa mulia. Bukan itu. Kemuliaan adalah ketika di dalam kebenaran kita bekerja keras, mau susah payah mengembangkan diri, jadi faedah buat orang lain, ketika kita menderita untuk kebenaran dan pada akhirnya kita melihat Tuhan bekerja. Bukan mengharapkan dapat lotre, melainkan satu proses perjalanan panjang dan melelahkan, karena Yesus dimuliakan lewat Dia merendahkan diri. Bukan kemuliaan jabatannya, atau suatu asesorisnya, tapi ketika orang itu menerjunkan diri dalam kebenaran di dalam proses bekerja keras. Yohanes dan Yakobus pernah minta kepada Tuhan Yesus: “Berilah tempat, di kiri atau di kanan Bapa nanti”. Yesus tidak menjawab ‘rendah hatilah sedikit, jangan minta jabatan’, tapi Yesus mengatakan: “Kamu mau kemuliaan, siapkah kamu minum cawan itu, tahu tidak apa yang kamu minta itu?” Mereka tidak tahu apa yang mereka minta; mereka minta kemuliaan tapi kemuliaan bukanlah itu. Yesus sedang mengajarkan teologi salib. Kemuliaan Tuhan bukan lotre, Tuhan dipermuliakan lewat ketaatan Anak-Nya. Jabatan seperti gubernur, presiden, dll. tidak langsung menjadikan seseorang mulia. Tetapi, proses sangkal diri, kerja melayani, mendatangkan shalom, itulah yang menjadikan seseorang mulia.
Lalu mengenai “salib dan keluarga”. Bagaimana kita bisa memahami mempunyai kemuliaan dalam keluarga, dikaitkan dengan salib? Punya keluarga yang bahagia bukanlah ketika suami ganteng sekali, istri cantik luar biasa, lalu anak-anaknya ayu-ayu dan ganteng-ganteng. Kalau seperti itu, kemuliaan hanya untuk segelintir orang dalam dunia ini, karena yang ganteng dan cantik paling hanya 10-15 % menurut survei. Kemuliaan bukanlah kalau anaknya keren dan suami ganteng, tapi ketika seorang pasangan –suami atau istri– dengan sabar dan tekun hadir di tengah-tengah keluarga, mengikuti jalannya cerita yang Tuhan izinkan terjadi di keluarga, berespon, bahkan bisa merespon dosa dengan anugerah, dengan kesabaran membawa damai, menumbuhkan keluarga. Di hadapan Tuhan, seorang ayah yang begadang menggendong bayinya karena istrinya lagi sakit, dan dia mau menyenangkan istrinya dengan cara itu, di situlah kemuliaannya. Alkitab juga mengatakan kita memuliakan Tuhan ketika kita mau menyenangkan keluarga atau pasangan kita. Tentang laki-laki yang pergi berperang, Musa mengatakan “yang belum setahun menikah, suruh dia pulang karena Tuhan mau dia menyenangkan istrinya”. Ada porsinya di situ. Ketika istrinya capek lalu dipijit, ketika suaminya capek lalu dimasakin yang enak, itu adalah bagian dari melayani Tuhan juga. Ada keindahan di situ. Jadi kita melihat di sini, Kristus tidak bisa dipahami lepas dari tindakan cinta-Nya kepada kita, yaitu melalui salib-Nya.
Kalau Kristus itu cukup menyelamatkan kita, kita itu diselamatkan dari apa? Ini juga problem. Abad 21 orang tanya, ‘emangnya saya kenapa, sampai perlu diselamatkan? saya selamat dari apa? makan cukup, gizi cukup’. Zaman berubah luar biasa. Dan orang sekarang menikmati berbagai kemajuan zaman, sehingga orang tanya ‘saya diselamatkan dari apa? dari wabah? wabah apa?’ Lalu kalau pertanyaannya teologis, ‘kita diselamatkan dari apa? apa dari setan?’ Jawabannya: bukan juga. Secara teologis, kita diselamatkan dari murka keadilan Tuhan. Ini tidak enak. Karena image Tuhan yang dibikin zaman ini adalah Tuhan yang penuh cinta kasih, tersenyum dari langit seperti tuhannya film “Bruce Almighty”. Figur tuhan yang tidak menghukum, tuhan yang hadir, mendorong dari belakang, menyemangati, selalu senyum, kalimatnya begitu lembut menyindir sedikit. Begitu kira-kira. Tapi itu bukan Tuhan yang Alkitab nyatakan.
Kita di zaman sekarang ini sungkan menceritakan karakter Tuhan kita, karena yang di dunia ini sudah di-set bahwa yang seperti itu jelek. Setting kulturnya membuat ketika kita bilang “Tuhan saya seperti ini”, langsung mental. Padahal ini masalah kultural. Misalnya di kultur tertentu, kalau bertemu orang lalu langsung bicara, itu tidak sopan; di kultur lainnya, kalau orang bicaranya muter-muter, itu justru yang tidak sopan. Tuhan tidak diikat kultur. Tuhan itu dirinya kebenaran. Masalahnya, kita selalu men-set pakai gambaran kultural –tidak boleh marah-marah, kalau marah musti begini begitu– sehingga waktu bicara soal Tuhan, mental semua. Kalau kita bilang “Tuhan itu menghukum, masuk neraka”, orang langsung bilang “Tuhanmu jahat”.
Alkitab jelas mengatakan bahwa kita diselamatkan dari murka keadilan Tuhan. Mengapa? Karena manusia berdosa dan manusia harus dihukum. Tuhan betul-betul marah karena kita berdosa. Saudara mungkin berkata, ‘ah, cuma makan buah saja, Tuhan begitu marah; Tuhan itu berlebihan’. Tapi coba Saudara keplak kopiah Presiden, dan lihat berapa banyak hukumannya. Kalau saya pakai kopiah lalu Saudara keplak, paling saya berkata, “Jangan nakal, Nak”; tapi kalau itu Presiden, Saudara betul-betul cari perkara. Memang cuma keplak kopiah, tapi itu Presiden! Sekarang, waktu orang berani melawan Tuhan, Pencipta langit dan bumi, itu masalah. Dan itu dibuktikan betapa kita terus bikin masalah di dalam dunia, tidak habis-habisnya. Menujukkan bahwa kita memang patut dihukum.
Kita diselamatkan dari apa? Dari murka Tuhan. Bagaimana caranya? Hanya melalui Tuhan saja. Bukan diselamatkan dari kesepian, bukan diselamatkan dari ketiadaan makna, bukan diselamatkan dari penindasan masyarakat, atau dari alienasi, tetapi dari murka keadilan Tuhan yang menyala-nyala. Sekarang ini sudah tidak ada lagi ketakutan dan keseriusan akan dimurkai dan akan ancaman neraka. Ketika orang Kristen tidak lagi mendengar kebenaran mengenai neraka, nasib manusia, pergumulan, akhirnya bagi mereka keselamatan itu murah. Apalagi ketika doktrin “sekali selamat tetap selamat” tidak dipahami dengan baik, akhirnya pergumulannya tidak ada, tidak perlu melayani Tuhan, dsb.
Anak saya waktu umur 4 tahun, di Sekolah Minggu diceritakan tentang orang kalau berdosa masuk neraka. Pulangnya, waktu dia berbuat sesuatu lalu saya bilang, “Kamu begitu, itu dosa”, dia menangis sejadinya, “Huu… huu… aku dosa masuk neraka, bagaimana Pa, supaya jangan masuk neraka… huu… huu… “. Saya bilang, “Ya tidak bisa; doa sama Tuhan. “ Dia berdoa, lalu tanya lagi, “Memangnya kalau aku doa, bisa masuk surga?” Saya jawab, “Ya, tidak bisa.” Dia menangis lagi. Saya pikir, kalau saya langsung mengatakan ‘tenang saja, tidak usah takut, orang berdosa datang pada Tuhan Yesus maka Tuhan Yesus menyelamatkan’, pergumulannya jadi di mana?? Saya perlu memberikan pada dia pengertian, ‘kamu tahu tidak bahwa kamu berdosa, bahwa kamu akan dimurkai Tuhan’. Lalu waktu dia tanya, “Jadi bagaimana?”, saya katakan, “Kamu harus terima Tuhan Yesus”, dst. Setelah itu dia doa, lalu datang lagi, tanya lagi, “Pa, aku sudah diselamatkan apa belum?” Saya jawab: “Mana Papa tahu. Kamu harus bergumul dengan Tuhan sendiri. “
Kesempatan kita untuk menggumulkan bahwa kita diselamatkan dari Allah yang murka, itu sudah hilang sekarang ini, karena Allah itu allah yang tidak murka. Kalau Allah tidak murka, maka tidak menakutkan. Kalau Allah sudah jinak, apalagi yang perlu ditakutkan?? Maka Kristus juga jadi tidak penting! Problemnya di situ. Berkotbah “Allah yang murka” di zaman seperti ini, tidak laku. Tapi Alkitab jelas mengatakan bahwa Allah itu murka, dan Dia serius murka.
Jadi ‘solus Christus’ di abad 21, 500 tahun setelah Reformasi, kita melihat bahwa pemahaman akan Kristus dan keselamatan diselewengkan. Kalau Tuhan sudah tidak menakutkan lagi, buat apa cari Kristus Yesus?? Mengapa Luther begitu ngotot cari Kristus? karena dia sadar bahwa dirinya akan dimurkai oleh Tuhan. Konteks itu tidak bisa hilang. Mengajarkan Allah yang seperti Teletubbies, yang hanya bisa memeluk dan selalu tersenyum, itu mengajarkan allah palsu yang akhirnya membuat Gereja jadi kosong. Judul buku dari Micahel Horton, “Christless Christianity”, menggambarkan bagaimana Kristus diselewengkan, Gereja mengenal Kristus yang bukan seperti Kristus dalam Kitab Suci, yang Yesus katakan harus mati tersalib. Ada Kristus BFF (best friend forever); Yesus itu sahabatku (bukan Juruselamat). Dia friend, kalau aku bersalah, Dia tidak apa-apa. Dia friend, kalau aku kesepian. Ada juga Yesus sebagai motivator; orang bilang, “Aku tidak butuh keselamatan, aku hanya butuh motivasi, dan Yesus itu motivator terbesar dalam hidupku; ketika Yesus muncul, Dia seperti MacGyver yang mengatakan ‘kamu bisa, kamu bisa’ “. Apa bedanya Yesus dengan cheerleaders yang teriak yel-yel ‘kamu bisa! kamu bisa!’?? Maka Kekristenan dibuat menjadi dangkal, dan dosa jadi manusiawi; orang mengatakan ‘yah, namanya juga manusia, berdosa’. Maksudnya dosa itu enteng, tidak apa-apa, biar saja berdosa, itu manusiawi. Dosa tidak manusiawi. Manusia tidak didesain untuk berdosa. Manusia terbatas? Iya. Manusia lemah? Iya.
Kristus zaman sekarang didangkalkan dan dipahami dengan cara yang sangat tidak Alkitabiah. Saya pernah masuk satu gereja yang menyanyikan lagu “Jesus is awesome… ugh..ugh..ugh.. “ dari lagu rap yang isinya kira-kira “aku dengar anjing menyalak … ugh..ugh..ugh..”; lagu anjing menyalak dijadikan Yesus. Gereja ambil semua kultur lalu langsung mencampurnya sehingga muncul Kristus yang romantis –kekasih jiwaku– , Kristus yang awesome, Kristus yang ini, Kristus yang itu, versinya macam-macam. Tapi apakah itu Kristus yang tersalib, yang Dia sendiri nyatakan dalam Kitab Suci?
Jadi, di zaman ini 3 isu paling besar yang dihadapi dalam kita mengabarkan “solus Christus”. Yang pertama, tentang selamat dari apa, waktu dikatakan Yesus itu satu-satunya Juruselamat. Yang kedua, Kristus dipahami seperti apa. Yang ketiga, bagaimana mengomunikasikan Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat di tengah-tengah zaman pluralis.
Waktu kita di zaman ini mengatakan “Yesus satu-satunya Juruselamat”, orang akan bilang, “Hei, mas, bukan cuma kamu yang punya agama, kita semua punya agama, bagaimana kamu bisa klaim begitu”. Hal ini di zaman Modern diselesaikan dengan apologetika/ perdebatan, pakai logika. Yesus klaim diri-Nya satu-satunya kebenaran, yang lain klaim diri mereka masing-masing kebenaran, maka secara logika tidak mungkin yang bertentangan ini semua benar; bisa jadi semua salah, atau salah satu yang benar. Lalu apologetika berusaha mencari mana yang benar, mulailah perdebatan, dan orang kemudian merasa yang ini atau yang itu masuk akal, lalu dia mau percaya hal itu. Tapi sekarang tidak demikian lagi.
Generasi yang disebut generasi Z sekarang ini, yang katanya akan kembali suka dengan hal-hal tradisional dan klasik, tidak tanya seperti itu. Bagi mereka, “Terserah elo mau bicara yang metafisik atau yang tinggi-tinggi, tapi sekarang gua mau lihat story hidup lo menarik ‘gak, keren ‘gak, bisa gua hidupi ‘gak. Okelah kamu Kristen, tapi hidupnya kaya apa sih?! Koq ‘gak seru, enakan kayak gini aja”. Oleh karena itu sekarang tantangannya adalah di level bagaimana hidup Kristen yang kita sodorkan kepada dunia. Kalau kita bicara begini-begitu soal Kekristenan, mereka tidak peduli, mereka maunya lihat. Mereka mau lihat emosi orang Kristen, kerja orang Kristen, komunitas orang Kristen, itu seperti apa? Maka Gereja ini dan setiap anggota jemaat bertanggung jawab di hadapan Tuhan, karena satu Gereja ini bersaksi di tengah dunia dan dilihat. Betul-betul lampu sorot mengarah kepada kita. Dengan begitu, level apologetika di zaman sekarang adalah di dalam implikasi dan konsistensi –kamu punya knowledge dengan kamu punya hidup itu selaras atau tidak. Kalau selaras, orang mulai berpikir ini mungkin benar, dan mulai mencoba untuk lihat. Dan yang mereka mau lihat bukan dalam level personal spirituality tapi sebagai Gereja –ketika Saudara dan saya ber-Gereja, modelnya seperti apa.
Kira-kira 10-15 tahun yang akan datang, akan muncul booming orang-orang yang haus akan komunitas tertentu. Sekarang masih belum kelihatan, benih-benihnya sudah ada tapi belum global. Dalam hal membeli barang misalnya, dulu orang beli mobil yang diperhatikan mesinnya berapa silinder, dsb. –kualitas yang di dalam– tapi sekarang yang dilihat modelnya. Relasi-relasi antar manusia juga digeser. Demikian juga cara orang mau menangkap kebenaran, ada perubahan. Maka kalau kita bersaksi di zaman Post Modern pakai paradigma Modern, akan sangat sulit sekali, karena perdebatannya bukan lagi di level logika tapi di level kehidupan. Oleh sebab itu kita harus benar-benar bebenah, karena modelnya sudah beda. Kita harus menyiapkan diri untuk mengabarkan “solus Christus” di setiap zaman.
Biarlah perenungan akan “solus Christus” boleh menguatkan kita, dan kita juga berdoa lebih banyak lagi, bersaksi di zaman yang akan datang dengan kesulitan dan tantangannya. Dan tentunya Tuhan akan menyediakan juga cara bersaksi serta menyediakan hikmat. Karena kita percaya, ketika setan giat, kita tahu itu adalah karena respon akan anugerah Tuhan bekerja lebih giat. Kita tidak takut zaman berubah, kesulitan banyak, karena kita tahu Tuhan akan sediakan jalan keluar. TerangTuhan bercahaya dan tidak akan ditelan oleh kegelapan. Hanya, kita yang sudah mengetahui kebenaran, hendaknya terus rajin berdoa, kesulitan hari depan kita serahkan pada Tuhan, Tuhan berikan hikmat untuk menghadapinya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading