Hari ini kita akan berbicara mengenai yang terakhir dari 5 sola, yaitu Soli Deo Gloria atau Sola Dei Gloria, yang artinya: segala kemuliaan bagi Allah. Bagian pertama (Pdt. Billy Kristanto), membahas Soli Deo Gloria dengan pendekatan ‘top-down’; melihat dari ayat Alkitab mengenai kemuliaan Tuhan, kemudian bicara aplikasinya dalam hidup sehari-hari. Bagian kedua (Vik. Jethro Rachmadi) adalah kebalikannya –tapi saling melengkapi– yaitu mulai dari bawah (tentang realitas hidup sehari-hari), lalu melihat koneksinya dengan firman Tuhan.
BAGIAN PERTAMA
“Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1 Kor 4: 7). Apa kaitan ayat ini dengan Soli Deo Gloria? Yaitu bahwa kita tidak mungkin bisa mengerti arti soli Deo gloria tanpa sola gratia. Ayat ini memang tidak secara langsung bicara tentang soli Deo gloria tapi jelas sekali bicara tentang sola gratia.
Soli Deo gloria bukanlah satu virtue (kebajikan), dalam arti sesuatu yang kita peroleh. Dalam tulisan orang-orang dari teologi Roma Katholik, virtue adalah sesuatu yang kita bisa peroleh, tapi orang Reformed sangat kritis dalam hal ini. Salah satunya karena doktrin “Total Depravity”, tapi juga karena kita percaya segala sesuatu yang ada pada kita –termasuk soal kebajikan– adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, bukan yang kita kembangkan dari diri kita sendiri; itu adalah sola gratia. Di dalam hal ini, kita tidak bisa memerintahkan orang untuk mempermuliakan Tuhan, “mari kita mempermuliakan Tuhan!”, “permuliakanlah Tuhan dengan lebih lagi!”, dsb., karena itu bukan sesuatu yang keluar dari diri kita sendiri, melainkan satu respon kedalaman pengertian kita akan sola gratia. Yesus tidak mengatakan “ayo, berbuat kasih lebih banyak lagi! berbuatlah kasih lebih dalam lagi!”, tapi Yesus bilang: “Barangsiapa banyak diampuni, dia banyak berbuat kasih; barangsiapa sedikit diampuni, dia sedikit berbuat kasih”.
Siapa yang sedikit diampuni? Tidak ada sebetulnya. Yang ada adalah orang yang merasa dirinya sedikit diampuni; dan karena itu dia sedikit berbuat kasih, sedikit membalas cinta kasih Tuhan. Siapa orang-orang yang mempermuliakan Tuhan? Yaitu orang yang mengerti sola gratia. Paulus mengaitkan sola gratia dengan bekerja keras; semakin seseorang mengerti sola gratia, semakin dia bekerja keras. Semakin seseorang mengerti sola gratia, semakin kehidupannya mempermuliakan Tuhan. Jadi pertanyaannya bukanlah ‘apakah kita cukup mempermuliakan Tuhan’ melainkan ‘apakah kita betul-betul mengerti kedalaman kasih karunia Tuhan’.
Dalam cerita talenta yang diberikan kepada tiga orang hamba, 2 hamba yang pertama mengerti artinya dipercayakan, sedangkan yang ke-3 melihat Allah sebagai Allah yang kejam. Dua hamba yang pertama melihat Allah sebagai “a gracious God”. Hamba yang ke-3 melihat Allah sebagai Allah yang tidak gracious, yang kejam, oleh sebab itu dia tidak bisa berkarya, kariernya tidak karuan, dia dipenuhi dengan ketakutan.
Dalam Reformasi, yang ditemukan kembali oleh Luther sebetulnya sederhana, yaitu dia menemukan “a gracious God”. Bagi kita ini seperti take it for granted, tapi waktu itu tidak demikian. Kalau Saudara pergi ke Eropa, melihat lukisan-lukisan di dinding zaman Medieval di gereja-gereja, di situ gambarannya adalah Kristus yang menakutkan, Kristus sebagai hakim; misalnya dalam lukisan “Last Judgement”. Maka Luther –dan tentunya orang lain juga– waktu memikirkan Kristologi, dalam pikirannya adalah Kristus yang luar biasa menakutkan, yang akan datang sebagai Hakim. Pikiran tentang the righteousness of God itu sangat menakutkan, sampai akhirnya dia menemukan kembali gambaran a gracious God yang di dalam Kristus. Inilah yang akan mendorong kita untuk bisa mempermuliakan Kristus. Dalam Perjamuan Kudus kita mengingat our gracious God, dan di sini kita ada kekuatan untuk hidup mempermuliakan Tuhan.
Alkitab mengaitkan ini dengan konsep diri; “siapa yang menganggap engkau begitu penting”? Signifikansi diri bukanlah dari ‘berapa banyak yang kita miliki’ , melainkan ‘apakah kita melihat identitas kita sebagai yang diberi oleh Tuhan’. Signifikansi diri bukan dibangun berdasarkan berapa banyak yang Saudara dan saya miliki, melainkah apakah kita memahami itu sebagai pemberian Tuhan. Itulah yang menegakkan identitas kita, yaitu ‘giveness’ (diberikan oleh Tuhan); bukan sesuatu yang kita acquire/ dapatkan lalu kita bermegah karena itu. Alkitab mengatakan, “Jika engkau menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” Maksudnya, bermegah ‘karena SAYA sendiri; karena SAYA yang sudah mengumpulkan ini, karena SAYA yang sudah berkorban’, bahkan juga ‘karena SAYA yang sudah melayani Tuhan dan mempermuliakan Tuhan’.
Yang kedua, alasan dari ‘soli Deo gloria’ adalah karena Alkitab memberitahu kepada kita cerita kejatuhan manusia adalah cerita kehilangan kemuliaan Allah. Roma 3:23 “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”. Inilah cara Alkitab menjelaskan tentang fenomena dosa, yaitu kehilangan kemuliaan Allah. Inilah jantungnya.
Konsep ini sangat mempengaruhi cara kita mengerti Injil. Kalau konsep dosa adalah ‘kehilangan kemuliaan Allah’, maka Injil –kabar baik itu– adalah Saudara boleh kembali hidup memuliakan Allah; soli Deo gloria itu beroperasi lagi, tadinya macet karena dosa. Undangan bahwa Saudara boleh mempermuliakan Allah ini, apakah kabar baik buat Saudara? Ataukah good news kita hal yang lain? Mengapa good news kita –Injil kita– adalah hal yang lain? Karena konsep kejatuhan dosa kita (hamartiology) juga lain, bukan kehilangan kemuliaan Allah. Hati-hati dengan kesesatan di dalam Kekristenan yang tidak kembali kepada Alkitab, yaitu waktu kita membangun konsep dosa yang lain, karena itu akan sangat mempengaruhi konsep kita tentang Injil. Apa yang paling sedih di dalam kehidupan Saudara, hal itulah yang akan jadi sukacita terbesar dalam kehidupan Saudara. Kalau kesedihan terbesar di dalam hidup ini adalah ‘jomblo’, maka sukacita terbesar adalah being married; itulah Injil Saudara. Kalau dukacita terbesar adalah ‘gaji koq segini terus’, maka sukacita terbesar Saudara adalah gaji besar; itulah Injil Saudara. Ini paralel; dukacita dan sukacita selalu paralel. Tapi menurut Alkitab, cerita kejatuhan di dalam dosa adalah kehilangan kemuliaan Allah; manusia tidak lagi mampu untuk hidup mempermuliakan Allah, tidak bisa lagi memancarkan kemuliaan Allah. Akhirnya, dia menggantikan itu dengan yang lain.
Kita diciptakan sebagai ‘worshiping being’, makhluk yang beribadah. Termasuk juga idolatry (penyembahan berhala) adalah ekspresi dari penyembahan. Tidak ada manusia yang tidak beribadah, karena Tuhan menciptakan kita sebagai yang harus beribadah. Kita tidak bisa keluar dari itu. Di Alkitab cuma membicarakan 2 mahlkluk yang diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada Tuhan, yaitu malaikat dan manusia; yang lain tidak. Maka kita ini pasti harus mempermuliakan sesuatu. Tidak ada orang yang tidak mempermuliakan apapun. Semua orang pada dasarnya adalah penyembah. Pertanyaannya: dia menyembah apa? Waktu Tuhan diganti posisinya, maka semua berhala antri masuk ke sana. Kalau kita tidak mempermuliakan Tuhan, takhta itu akan digantikan oleh sesuatu yang lain yang kita bangun sendiri; our own projection yang kita sembah sendiri, kita bikin dewa kita sendiri, kita bikin allah kita sendiri. Dan mungkin juga secara konsep. Oleh sebab itu penting sekali untuk senantiasa kembali kepada firman Tuhan.Tadi kita mengatakan, soli Deo gloria tidak bisa dipisahkan dengan sola gratia. Soli Deo gloria juga tidak bisa dipisahkan dengan semua sola yang lain, termasuk sola scriptura yang dalam hal ini tentang ‘bagaimana menyembah Tuhan’. Tanpa kita mengenal firman Tuhan, jangan-jangan konsep “Allah” kita adalah yang kita bangun sendiri, bukan yang dibicarakan Alkitab.
Waktu Alkitab membicarakan kerusakan manusia, persoalan manusia yang terbesar yaitu “you are no longer able to worship God”. Setelah manusia jatuh dalam dosa, kita tidak bisa, tidak mampu untuk beribadah kepada Tuhan; dan itulah persoalan terbesar. Persoalan terbesar bukanlah manusia kurang dirangkul, kurang dicintai, perlu penerimaan, kurang pengampunan, dst. –sebetulnya kasih dan pengampunan juga dari Alkitab–, tapi secara teosentris persoalan terbesar adalah manusia tidak bisa lagi beribadah kepada Tuhan. Karena itulah hidupnya dalam keadaan menyedihkan. Waktu manusia berhenti beribadah kepada Tuhan, berhenti mempermuliakan Tuhan, dia di dalam keadaan yang menyedihkan, keadaan yang betul-betul sangat kasihan. Di sini yang rugi sama sekali bukan Tuhan, tapi manusia yang akhirnya merusak dirinya sendiri karena dia tidak lagi beribadah kepada Allah yang benar. Oleh sebab itu kabar baiknya adalah Kristus; solus Christus/ solo Christo (only by Christ) datang supaya kita bisa lagi mempermuliakan Tuhan.
Alkitab tidak mengatakan “karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kebahagiaan”, tapi Alkitab bicara tentang “kehilangan kemuliaan Allah”. Apa maksudnya? Waktu kita bicara ‘kebahagiaan’, itu tidak tentu punya visi ‘soli Deo gloria’. Tapi kalau kita bicara ‘soli Deo gloria’, di dalamnya sudah termasuk ‘kebahagiaan’, yaitu kebahagiaan yang sejati. Kalau ada buku “Rahasia Kebahagiaan”, semua orang ingin beli, laris; tapi setelah baca bukunya jadi lebih tidak bahagia lagi, lalu semua buku tentang kebahagiaan lainnya juga dibeli, sampai akhirnya hanya menemukan ternyata semua tidak bisa membahagiakan. Dunia ini menjanjikan semua yang baik, yang positif, tapi mereka tidak mengerti core-nya sebetulnya apa. Kita bukan anti kebahagiaan. Waktu kita mempermuliakan Tuhan, Westminster Cathecism mengatakan bahwa kita enjoying God paling dalam. Saya tidak akan teriak-teriak “Hai Saudara! Muliakanlah Tuhan! Harder please! Lebih dalam lagi” –enak aja ya lu ‘gak mempermuliakan Tuhan, gua sendiri yang mempermuliakan Tuhan– akhirnya seperti orang Farisi. Gusar orang lain tidak mempermuliakan Tuhan, gusar orang lain tidak berkorban, gusar orang lain tidak mencintai Tuhan, gusar orang lain tidak melayani Tuhan, gusar, gusar, dan gusar. Siapa itu orang yang gusar? Orang Farisi. Kalau bukan orang Farisi, dia tidak begitu ngomongnya. Dia ada kenikmatan mempermuliakan Tuhan; ini happy occasion.
Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, sekarang Kristus sudah datang, dan cerita “kehilangan kemuliaan Allah” ini dipulihkan. Bahkan greater glory yang melampaui “the original” creation, dalam pengertian waktu Adam belum jatuh, dia mempermuliakan Allah di dalam keadaan dunia yang belum jatuh; tapi sekarang, setelah penebusan di dalam Kristus, Saudara dan saya dimampukan untuk mempermuliakan Allah di dalam dunia yang masih jatuh. Isn’t that great? Tuhan tidak mengubah keadaan ini jadi Firdaus, yang diubah adalah kita; kita bisa mempermuliakan Tuhan di dalam keadaan dunia yang masih jatuh.
Kehilangan kemuliaan Allah, lalu kita dibenarkan, supaya kita bisa kembali merefleksikan kemuliaan Allah. Kalau kehidupan Saudara dan saya terus-menerus memuliakan Allah, inilah kebahagiaan yang paling dalam, inilah arti hidup yang sesungguhnya. Kalau kita mengganti kemuliaan Allah dengan sesuatu yang lain, apapun itu, –termasuk kemuliaan diri sendiri, mungkin juga kemuliaan gereja kita sendiri, atau kemuliaan teologi Reformed– maka kita kehilangan sesuatu yang lain; kita mendapatkan sesuatu yang lain karena kehilangan Allah itu sendiri.
Dalam Surat Roma pasal 11, Paulus mengakhiri risalah teologis dengan doksologi “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Saya mau kaitkan ini dengan ‘soli Deo gloria’, hati-hati dengan missing link antara doctrinal reflection/ theological reflection, yaitu pasal 1-11, dengan our spirituality practical life. Missing link-nya adalah doksologi; orang yang belajar teologi tapi tidak masuk ke dalam kekaguman, tidak masuk ke dalam doksologi, tidak surprised by joy, tidak surprised by grace, tidak surprised by the glory of God. Kita ini orang dewasa yang susah surprised, kita gengsi untuk kagum, kita menempatkan diri sebagai orang yang sudah tahu. Kita malu untuk kagum, tapi waktu malu, kita kehilangan our childlikeness, lalu bagaimana kita menyanyi lagu “How great Thou art”?? Jadi bermunafik-ria. Kita menyanyi “when I awesome wonder”, tapi mana wonder-nya?? Tidak ada wonder di situ, kita cuma mengerjakan tugas. Kita cuma baca w-o-n-d-e-r “wonder”, tidak ada resonansi di dalam hati. Mengapa? Karena kita terlalu ‘dewasa’ menurut gambaran dunia, kehilangan childlikeness. Mungkin bukan kebetulan dalam hal ini Yesus mengatakan “yang mengerti Kerajaan Allah yang seperti anak-anak” (meski istilah asli ‘anak-anak’ di sini adalah ‘bayi-bayi’), yang gampang surprised, gampang terharu, gampang kagum.
Saya bukan bermaksud meletakkan pada emosionalisme dan romantisme, tapi waktu Perjamuan Kudus, adakah Saudara masih bisa terharu? Kita ini punya emosi, apakah Perjamuan Kudus masih bisa menyentuh emosi kita? Atau kita cuma merenungkan dan merenungkan, mengerti artinya bahwa roti dan anggur bukan tubuh dan darah Kristus tapi tetap ada kaitannya, dan bahwa kita bukan penganut Zwingli melainkan Calvin, dan ini, dan ini, dan ini; precise theology. Tapi Tuhan akan tanya “di mana perasaanmu?”, dingin sekali. Belajar teologi secara begini, tidak ada soli Deo gloria. Waktu mau soli Deo gloria jadi berat sekali, karena tidak ada kekaguman, tidak ada doksologi.
Oleh sebab itu, doksologi bukan hanya akhir –memang ini akhir dari 11 pasal diskursus teologi– tapi juga permulaan spiritualitas kita. Doxology might be the end of our Sunday worship, but at the same time also the beginning of our being sent into the world. Saudara diutus, dan awalnya adalah doksologi. Saudara memulai dengan soli Deo gloria.Soli deo gloria bukan apendiks dari sebuah buku, tapi jantung hatinya Kekristenan. Di bagian ini kita baca Alkitab mengatakan “dari Dia –sumbernya dari Dia– oleh Dia, kembali kepada Dia”. Doksologi bukan cuma kembali kepada Dia, tapi mengakui bahwa sumbernya adalah Tuhan. Perhatikan kata-katanya: “dari Dia”, “oleh Dia”. Kata “oleh Dia” ini kasus ablatif. Dalam bahasa Latin lima sola dipakai bergantian, kadang-kadang kasus nominatif, kadang-kadang kasus ablatif. Solus Christus itu kasus nominatif –artinya Christ alone–, kadang-kadang dipakai bergantian dengan solo Christo –ini kasus ablatif, artinya by Christ alone– maksudnya bahwa yang menggerakkan juga Kristus. Demikian juga sola scriptura atau juga solo verbo, artinya by the Word alone; baik nominatif ataupun ablatif. Sumbernya dari Dia, tapi yang menggerakkan juga adalah Dia. Kita tidak bisa cuma mengakui sumbernya lalu entah bagaimana akhirnya kembali kepada Dia, tapi di tengah-tengahnya saya bergerak sendiri. Itu bukan doksologi. Doksologi bukan apendiks –pokoknya terakhir kembali kepada Dia– itu sesat, bukan doksologi.
Doksologi di ayat 36 mengakui: yang saya terima, saya terima dari Dia, dan ini harus kembali kepada Dia; dan di tengah-tengah perjalanan, yang menggerakkan juga Dia. Itu namanya doksologi. Kehidupan Saudara itu milik Tuhan, bukan milik kita sendiri. Bukan cuma berasal dari Tuhan dan nanti kalau mati kita kembali kepada Tuhan, tapi bahwa yang menggerakkan seharusnya adalah Tuhan. Kalau begitu, baru kita bisa bicara tentang doksologi, tentang soli Deo gloria.Kiranya Tuhan memberkati kita, terus memasukkan kita di dalam cerita kehidupan doksologi.
BAGIAN KEDUA
Kita akan membicarakan tema ini secara ‘bottom-up’, mulai dari realita sehari-hari di bawah untuk bisa menarik tema mengenai kemuliaan Allah, soli Deo gloria. Dalam hal ini saya ingin bicara tentang musik –yang adalah realita dalam kehidupan sehari-hari kita– memperlihatkan bagaimana musik ada kaitannya dengan kemuliaan Allah.
Bahwa musik dapat memuliakan Allah, tentu bukan sesuatu yang kita baru tahu. Kita tentu percaya musik bisa dipakai untuk memuliakan Tuhan, tapi kita hanya melihat musik itu sebagai sesuatu yang netral, sesuatu yang perlu ditambahkan untuk bisa memuliakan Tuhan. Misalnya bahwa musik itu harus punya kata-kata yang memuliakan Tuhan. Atau meskipun tanpa kata-kata (bersifat instrumental), paling tidak musik tersebut harus ada hidden message-nya, baik lewat not-notnya, komposisinya, cara memainkannya, atau bahkan cara kita mendengarnya yang mencerminkan memuliakan Tuhan. Intinya, seringkali kita melihat suatu musik memuliakan Tuhan atau tidak tergantung pada komponisnya, performer-nya, atau bahkan pendengarnya.
Hari ini saya ingin mengangkat satu tema bahwa musik bukan hanya bisa memuliakan Tuhan lewat hal-hal tersebut, tapi lewat the very possibility of music itself, lewat mekanisme musik itu sendiri. Bagaimana caranya? Yaitu bahwa musik itu punya kemuliaan, musik itu memberi kemuliaan kepada Tuhan, lewat keterbatasannya. Kemuliaan yang datang lewat keterbatasan. Salah satu kekuatan dari musik yang seringkali diagung-agungkan orang Kristen yaitu bahwa musik justru bisa membawa kita keluar dari keterbatasan. Misalnya, bahwa musik bisa membawa kita keluar dari kesementaraan, bisa membuat kita mencicipi kekekalan. Ini tentu tidak asing bagi kita; waktu mendengar musik kita bisa lupa waktu, kita seperti diangkat kepada satu realita yang hukum waktu jadi relatif. Inilah sebabnya bagi para pemikir Yunani kuno, musik dianggap sebagai sesuatu yang bisa memberikan akses kepada Yang Ilahi. Pengertian seperti ini tidak tepat.
Musik adalah satu seni yang tidak bekerja di luar waktu. Musik justru suatu seni yang amat sangat dibatasi oleh waktu. Kalau Saudara memperhatikan sebuah lukisan, misalnya sebuah gereja dengan menara di kiri dan kanan, Saudara bisa langsung melihat kedua menara itu dalam sekejap mata. Kalau Saudara melihat sebuah foto samping sebuah mobil, Saudara bisa melihat bagian depan dan belakang mobil tersebut secara sekejap mata. Saudara bisa menangkap itu langsung, ‘tidak perlu waktu’. Musik tidak demikian. Untuk bisa menikmati sebuah musik,Saudara harus mendengarnya ‘dalam waktu’. Saudara tidak bisa mendengar bagian awal dan bagian akhir dari sebuah musik secara bersamaan sekejap mata. Musik tidak beroperasi di luar waktu, musik justru sangat dibatasi oleh waktu, bahkan menuntut waktu kita. Saudara bisa saja mempercepat suatu musik sampai taraf tertentu sebelum akhinya musik tersebut jadi rusak. Hari ini dengan bantuan teknologi kita bisa mempercepat musik yang 3-4 menit jadi cuma 20 detik, tapi tentu kita tidak akan mengatakan telah mendengar musik tersebut secara utuh. Terlebih lagi, penempatan-penepatan not di dalam waktu sangat krusial. Kalau ada satu not yang telat masuk atau masuk terlalu cepat, seluruh musiknya jadi rusak. Maka musik itu punya hubungan erat dengan waktu, musik dibatasi waktu, bahkan membutuhkan waktu, menuntut kita memberikan waktu. Di sini mungkin Saudara menganggap musik itu inferior dibandingkan seni-seni lain yang sepertinya kurang dibatasi oleh waktu. Tapi musik menemukan keindahannya, menemukan maknanya, menemukan kemuliaannya, justru di dalam keterbatasan tersebut.
Kita mungkin terlalu terkunci dalam pemikiran bahwa keterbatasan sangat dekat hubungannya atau identik dengan kejatuhan dan dosa. Bukankah kita mengatakan bahwa keterbatasan dalam waktu, kesementaraan, kefanaan, adalah satu penjara?? Bukankah Kekristenan mengatakan bahwa ini adalah belenggu yang suatu hari kita dilepaskan dan dibebaskan, masuk ke dalam kekekalan, tidak lagi berurusan dengan keterbatasan waktu?? Musik menantang hal ini karena musik justru mendapatkan keindahan, arti, signifikansinya, di dalam dan melalui keterbatasan waktu. Saudara bisa menikmati suatu lagu justru ketika lagu tersebut membatasi dirinya dalam waktu, ketika nada-nada di dalamnya tidak bebas muncul kapan saja melainkan mengikuti kapan waktunya yang tepat untuk muncul dan untuk hilang.
Kita bahkan bisa mengatakan bahwa musik justru menjadi bebas di dalam keterbatasannya dalam waktu. Misalkan kita membagi dua kelompok menyanyikan lagu yang sama, tapi dengan tempo berbeda. Yang satu menyanyi dengan cepat, yang satunya lagi menyanyi dengan lambat sekali, lalu menyanyi bersama-sama. Apakah di situ Saudara merasa bebas waktu bernyanyi? Tidak. Justru ketika setiap Saudara rela masuk ke dalam keterbatasan yang sama, dalam waktu yang sama, barulah Saudara merasa bebas. Saudara merasa bebas karena saudara berada di dalam pembatasan waktu yang sama. Musik justru jadi nikmat karena ada pembatasan waktu, bukan karena keluar dari waktu. Dalam musik, keterbatasan waktu justru membebaskan musik untuk bisa menjadi musik, sebagaimana seekor ikan dengan keterbatasan berada di air justru membuat ikan itu bebas bergerak, bernapas, hidup.
Satu contoh, dalam tradisi musik tonal kita, musik selalu ada arah tujuan tertentu. Misalnya kalau saya menyanyi “do re mi fa sol la si… si… si… “, Saudara senang mendengarnya? Tentu tidak. Ada sesuatu yang sepertinya belum keluar dalam arah tujuan tersebut; Saudara inginnya “do re mi fa sol la si do! ” Kalau dalam film, misalnya seseorang dikejar-kejar monster, lalu dia berhasil masuk ke satu ruang kaca dan menutup pintu tepat sebelum monsternya masuk. Lalu monster itu mencengkeram pintu kaca tersebut sehingga sedikit demi sedikit kacanya mulai retak. Dalam adegan itu, musiknya juga semakin intens. Mengapa? Karena musik ada arahnya. Bahkan kadang-kadang ketika adegannya terbalik, misalnya setelah menabrak pintu yang tertutup, monster itu pergi tapi musiknya sama seperti tadi yang makin lama makin intens, kita akan berpikir ini monster bakal kembali. Mengapa bisa begitu? Karena musiknya memberitahukan ada sesuatu yang akan datang; ada arah dalam musik.
Pembuatan arah ini dalam musik dinamakan tension (ketegangan) dan resolution/ release (pelepasan). Tension dan release inilah yang membuat kehidupan seseorang ada semacam arah. Contohnya lampu merah dan lampu hijau di jalanan. Lampu merah itu tension, kita merasa tegang menunggu di situ. Begitu lampu hijau menyala, serta merta ada rasa kelegaan. Atau waktu weker berbunyi “kriiiingggg… “, itu tension, tegang. Begitu kita matikan, itu release, lega, bisa tidur lagi.
Dalam hal musik, yang menjadi esensinya adalah arah tension – resolution ini. Ini yang membuat musik jadi musikal. Misalkan saya menyanyikan lagu “Suci, Suci, Suci” dalam 2 cara, keduanya dengan nada yang tepat (do do mi mi sol.. sol..) dan tempo yang tepat, tapi yang pertama dinyanyikan ala MIDI seperti robot, yang kedua dengan satu sense “mengarungi waktu”, ada arah tujuannya. Saudara tentu tahu bahwa yang kedua lebih musikal, ada tension (do do mi mi) lalu release (sol.. sol..). Itu sebabnya musik perlu waktu, musik justru memberikan signifikansinya lewat waktu. Musik tidak bisa tanpa arah, seperti metronom yang cuma tik.. tok.. tik.. tok.. ting.. tik.. tok.. tik.. tok.. ting.. tidak ada arah sama sekali, semua waktunya rata. Musik tidak bisa seperti itu karena esensi musik justru pada arahnya, bukan nadanya, bukan ketukannya (meski tentu saja itu penting). Yang kita ingin dengar dari musik adalah nada yang tepat tapi punya sense arah dalam waktu (sense mengarungi waktu).
Contoh lain, menyanyikan do mi sol do’ (do tinggi); ada 2 do di sini, do mana yang lebih nikmat? Tentu do yang belakang. Waktu ditukar jadi do’ sol mi do, tetap do yang belakang lebih nikmat. Jadi bukan masalah do rendah atau do tinggi, tapi karena do yang di belakang adalah hasil resolusi dari tension yang di awal, sedangkan do yang di depan belum ada sense mengarungi waktu ini. Inilah sebabnya makna dan kenikmatan sebuah musik didapatkan di dalam waktu, bukan ketika musik itu bebas dari waktu.
Lalu apa hubungannya dengan Kekristenan? Yaitu bahwa hal ini membuat kita seharusnya berpikir ulang. Tadi kita mengatakan bahwa kita seringkali melihat kesementaraan dan keterbatasan dekat sekali dengan kejatuhan dan keberdosaan. Keberadaan waktu bagi kita biasanya sangat mengancam, karena seberapa bahagia pun kita di masa sekarang, selalu ada ancaman kebahagiaan tersebut akan surut jadi masa lalu. Dan, tidak peduli sebahagia apapun masa lalu, masa sekarang bisa sangat malang, bahkan masa depan belum tentu lebih baik karena sangat tidak tentu dan tidak pasti. Tapi dari contoh di atas, di dalam musik ada hubungan antara masa lalu – masa sekarang – masa depan yang bukan mengerikan, bukan mengancam malah menghidupkan.
Musik adalah satu seni yang justru paling rentan terhadap efek kehancuran oleh waktu. Dalam contoh do mi sol do’ tadi, untuk do’ yang belakang bisa muncul, do mi sol yang di depannya harus surut ke masa lalu, harus berhenti, harus menyerahkan ruangnya supaya musik itu bisa berlanjut. Tapi kematian ini bukan kematian yang menyebabkan kebinasaan tapi justru dengan mati, not do mi sol do’ ini hidup terus dalam do yang belakang. Do yang terakhir jadi lebih meaningful karena ada pengorbanan not do yang di depan. Dengan kata lain, do mi sol tidak sirna/ binasa, mereka hidup terus dalam do yang terakhir. Inilah kematian yang menghidupkan. Sebaliknya, seandainya do mi sol tidak mau mati, tetap sol terus selama-lamanya, itu jadi kekekalan yang mematikan. Mungkin Saudara tidak pernah aware dengan sifat musik yang seperti ini karena itu sudah mendarah-daging dan ada di mana-mana. Ekspektasi akan adanya mati-hidup-mati-hidup ini berjalan terus selama Saudara mendengarkan musik. Karena itu musik menantang asumsi bahwa kesementaraan pasti membawa kebinasaan, bahwa kematian pasti membawa kebinasaan. Dalam musik, kesementaraan/ kefanaan justru membawa kepada kehidupan. Keterbatasan waktu justru membawa arti dan kenikmatan.
Bagaimana bisa seperti ini? Karena Allah kita pun memilih memperlihatkan kemuliaan-Nya melalui keterbatasan. Kita temukan hal ini dalam Alkitab paling jelas pada diri Kristus. Kristus, melalui mengambil bentuk keterbatasan dan kesementaraan yang paling mutlak –yaitu kematian– malah menghasilkan kehidupan yang kekal. Ini ironis. Bagi manusia, keterbatasan itu musuh; tapi mungkin bukan soal waktunya, melainkan soal manusianya yang tidak mau menerima keterbatasan. Manusia tahu dirinya terbatas, tapi tidak pernah mau menerima itu. Manusia selalu ingin lepas dari segala batasan. Dan inilah dosa Adam dan Hawa.
Kita tidak mau ada batasan karena kita ingin jadi allah bagi diri kita sendiri. Keinginan ini merasuki jiwa manusia begitu dalam. Tidak akan terhitung banyaknya film-film, buku-buku, cerita-cerita yang memimpikan kita bisa menciptakan mesin waktu (artinya bebas dari batasan waktu), atau kita bisa bergerak lebih cepat dari batasan otot manusia, menembus batasan gravitasi, punya kekuatan super human, dsb. Sedangkan kisah-kisah tentang orang yang hidup dalam keterbatasan, tidak laku karena manusia memang tidak menginginkan itu. Bukan hanya dalam dunia fiksi, di dunia riil pun penghargaan diberikan kepada mereka yang bisa menembus keterbatasan. Seorang pianis ternama yang sudah berpuluh-puluh tahun latihan dan berkarir dalam permainan piano, tidak akan Saudara forward dalam WA; tapi kalau seorang anak umur 6 tahun yang tidak pernah latihan langsung bisa main musik segila apapun, itu langsung kita sebarkan dalam WA. Kita tidak mau melihat kemuliaan dalam keterbatasan. Kita maunya kemuliaan yang keluar dari keterbatasan. Berita yang menarik adalah berita yang menembus keterbatasan seperti seorang anak SD yang langsung masuk universitas. Olimpiade juga dibentuk atas dasar ini. Motto olimpiade adalah “Citius, Altius, Fortius” (lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat). Poin dalam olimpiade adalah memecahkan rekor, artinya memecahkan batasan. Dan tradisi ini seringkali dibaptis masuk ke dalam Gereja juga; pelayan-pelayan Tuhan yang terbaik adalah yang energinya tidak terbatas, multi-talented, selalu bisa multi-tasking, bisa berdoa di mana saja, kotbah tidak perlu persiapan, rela bahkan bangga meninggalkan keluarga demi pelayanan.
Tentu ada aspek dalam kehidupan Kristen yang kita harus berani menantang keterbatasan kita karena realita dosa di dalam Alkitab memang digambarkan sebagai realita yang membatasi, membelenggu. Alkitab dengan jelas memakai metafor “perbudakan” untuk menggambarkan realita dosa. Memang ada batasan-batasan yang menghasilkan penindasan dan kebinasaan. itu sebabnya kalau keluarga jadi berhala kita, Tuhan bisa saja memakai cara menabrakkan pelayanan dan keluarga. Tetapi, tidak berarti semua keterbatasan adalah hasil dari dosa. Bukankah Allah menciptakan kita dalam keterbatasan waktu, sebelum kita jatuh dalam dosa? “Waktu” bukan muncul setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa tapi sudah muncul sejak awal. Bahkan Allah sendiri sejak penciptaan memberikan gambaran cara Dia mencipta dalam kerangka waktu –hari pertama, hari kedua, dst.. Allah sendiri pun bekerja lewat waktu.
Bulan November biasanya Gereja merenungkan masa Adven. Siapa yang sedang kita muliakan di situ? Bukankah Tuhan yang justru menjadi manusia? Cerita Natal bukan suatu cerita “dari ordinary menjadi extraordinary”, melainkan Allah yang “extraordinary menjadi ordinary”. Allah yang tidak terbatas, mengambil keterbatasan. Cerita Natal bukan cerita seorang anak SD yang tiba-tiba diterima dalam program Ph.D., tapi mengenai seorang profesor ternama yang kembali duduk di bangku SD. Cerita Natal adalah cerita seorang pianis ternama yang meninggalkan pianonya dan mulai hanya bermain pianika. Memang ilustrasi ini kurang tepat, karena tidak ada satu ilustrasi pun yang bisa menggambarkan seberapa antiklimaks-nya penurunan derajat yang Allah kita alami ketika Dia datang ke dunia ini. Tapi inilah keunikan berita Alkitab, keunikan kemuliaan Allah Alkitab.
Bukankah kemuliaan Allah justru datang dari keredahan-Nya, kehinaan-Nya? Bukankah ini alasan Saudara dan saya hari ini mengagung-agungkan Dia, yaitu bukan karena Dia datang dengan cahaya yang membutakan tapi karena Dia datang di malam yang gelap? Bukan karena Dia datang dengan pasukan besar yang mengalahkan tentara Romawi, tapi dengan mati di-eksekusi sebagai kriminal. Kristus bukan saja mengambil keterbatasan, Dia memuliakan Allah lewat keterbatasan; keterbatasan yang paling mutlak yaitu kematian-Nya. Seperti kita lihat dalam musik, kematian Tuhan –bentuk kesementaraan yang paling penghabisan– justru menghasilkan kehidupan yang kekal.
Kalau Saudara mengamini hal ini, kalau Saudara mengatakan “soli Deo gloria” –segala kemuliaan hanya bagi Allah– berarti Saudara akan mengatakan bahwa kemuliaan yang genuine satu-satunya hanyalah kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah adalah kemuliaan yang datang lewat pembatasan. Saudara bisa melihat itu sejak halaman pertama sampai halaman terakhir Alkitab. Dalam kitab Wahyu, kemuliaan yang kita lihat bukanlah kemuliaan yang kita diangkat bersama-sama dengan Allah untuk tinggal bersama Dia di atas sana, melainkan kemuliaan Allah yang justru turun ke bawah. Itu sebabnya, kalau kita sungguh melihat Dia sebagai Raja kita, kita juga harusnya hidup secara demikian.
Satu aplikasi singkat, waktu di gereja kotbahnya pakai video, banyak jemaat yang tidak mau datang. Mengapa? Mungkin karena kita merasa ini pembatasan. Kita tidak senang dengan pembatasan. Kita tidak mau dibatasi. Tapi bukankah kemuliaan Allah kita justru muncul lewat pembatasan-pembatasan seperti ini? Coba Saudara lihat, di manakah dalam hidup Saudara yang kemuliaan datang justru lewat pembatasan? Dalam segala sesuatu. Contohnya: game (permainan). Permainan itu seru karena ada pembatasan. Semua hal dalam dunia kita yang nikmat, yang indah, semuanya mengikuti pola dari Allah kita yang seperti ini. Saudara bisa main game dengan bahagia karena Saudara tahu ada pembatasan, dan percaya/ beriman kepada sang pembuat aturan bahwa dia tidak bikin aturan tersebut dengan sembarangan. Tapi waktu kita selalu mempertanyakan semua batasan yang diberikan kepada kita, di baliknya adalah kita sedang mengatakan bahwa Allah –yang segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, bagi Dia selama-lamanya– adalah Allah yang lebih bodoh dari orang-orang yang membuat aturan permainan bola atau game dalam HP.
Kalau Saudara sungguh mengamini bahwa kemuliaan hanya bagi Allah, bahwa satu-satunya jenis kemuliaan yang asli hanyalah kemuliaannya Allah, maka harusnya hidup kita berbeda. Dan Allah kita bukan cuma Allah yang nyuruh-nyuruh doang, Dia adalah Allah yang sendirinya telah rela masuk ke dalam pembatasan tersebut. Dan pembatasan yang Ia masuki bukanlah pembatasan yang Ia ciptakan, karena Ia tidak menginginkan kita untuk mati. Pembatasan yang Ia alami di atas kayu salib adalah pembatasan yang kita ciptakan oleh karena dosa-dosa Saudara dan saya. Dan Ia menjalaninya demi Saudara dan saya. Maka marilah kita sekarang hidup bagi Dia, kita memberikan kemuliaan bagi Dia, kita mencari kemuliaan-Nya; kemuliaan yang datang lewat pembatasan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading