Hari ini kita pakai untuk mengingat kembali Hari Reformasi, mengingat apa yang menjadi warisan kita sebagai Gereja yang reformasional. Bukan sekadar untuk nostalgia, tapi untuk mendiskusikan apa dampaknya bagi kita hari ini, yang negatif maupun yang positif. Hari ini saya ingin membahas satu hal yang sangat sentral, sangat fondasional, dalam Reformasi yaitu: apakah pengertian “Gereja” dalam pemikiran reformasional; bagaimana para reformator mengerti mengenai yang namanya “Gereja”.
Kenapa ini perlu dibahas? Karena hari ini waktu kita ditanya, “Apa sih, yang namanya reformed atau reformasional”,apa yang jadi jawaban kita? Kalau kita ditanya, apa identitas dan karakter yang kita maksud ketika kita menamakan diri sebagai orang Reformed, biasanya jawabannya seputar urusan kita pegang doktrin tertentu, misalnya Doktrin Kaum Pilihan, Doktrin Predestinasi, Doktrin Kedaulatan Allah, dst., atau mengenai kita pakai kebiasaan tertentu dalam Ibadah, bahwa kita tidak pakai lagu-lagu yang itu tapi yang ini, kita tidak pakai alat musik yang itu tapi yang ini, dst. Namun sebenarnya para reformator sendiri dalam menjawab pertanyaan yang sama, bukan menjawab seperti kita menjawab. Mereka tidak menjawab dengan berangkat dari urusan doktrin apa yang benar, juga tidak berangkat dari urusan musik apa yang benar. Bukan itu yang jadi penekanan mereka. Ini sebabnya kita perlu mempelajari jawaban mereka, karena jangan-jangan jadinya yang ternyata berbeda antara kita dan mereka bukan cuma cara kita menjawab, tapi bahkan konsep “Gereja” (eklesiologi) kita. Itu sebabnya kita perlu tahu hal ini.
Kita akan melihat dulu sedikit latar belakangnya. Ketika para reformator bertanya apa itu Gereja, mengenai bagaimana kita bisa tahu Gereja itu atau Gereja ini adalah Gereja yang sejati, bagi mereka ini bukanlah pertanyaan sebagaimana kita hari ini menanggapinya, yang sekadar untuk dipikir-pikir dalam situasi yang tenang. Pada waktu itu, pertanyaan ini adalah pertanyaan yang urgent untuk dijawab segera. Pertanyaan ini adalah pertaanyaan yang ada dalam benak semua reformator, baik Luther, Calvin, Melanchthon, dsb.. Kenapa? Karena secara tidak langsung pertanyaan ini dipaksakan kepada mereka oleh Gereja Roma Katolik pada waktu itu. Saudara, waktu itu Gereja bukan ada macam-macam –Roma Katolik, Calvinis, Anglikan, Protestan, Kharismatik– seperti hari ini; waktu itu hanya ada satu, Gereja Katolik. Arti istilah “katolik” adalah universal. Dalam Pengakuan Iman kita mengatakan, kita percaya Gereja yang kudus dan am; am artinya universal —Gereja yang universal, Gereja catholicam– bukan denominasi. Dengan demikian bagi orang Roma Katolik, “Kalau kamu, orang-orang reformasional, melepaskan diri dari kami, Gereja universal, lalu hak apa kamu masih bisa menyebut dirimu sebagai Gereja juga?” Orang Roma Katolik pada zaman Luther, berkukuh bahwa para reformator serta jemaatnya yang melepaskan diri dari Roma Katolik, tidak lagi bisa disebut sebagai Gereja, mereka bukan lagi orang Kristen. Di sini Saudara jadi bisa mengerti, kenapa pada waktu itu para reformator bertanya, apakah Gereja menurut Alkitab, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa kita adalah Gereja, apakah tanda-tanda yang jelas dari sebuah Gereja yang membuat kita bisa menunjuk suatu jemaat dan mengatakan, “Ini Gereja, karena ada ini dan itu”? Inilah yang jadi pertanyaan mereka. “Bagaimana kita bisa yakin, bahwa meskipun kita telah melepaskan diri dari Roma Katolik, kita masih disebut sebagai orang Kristen”, adalah satu pertanyaan yang sangat urgent bagi mereka pada waktu itu. Boro-boro tanya “apa karakter reformasional”; sebelum tanya urusan identitas reformasional, mereka mau memastikan dulu apakah mereka masih bisa disebut sebagai Kristen, sebagai Gereja, atau tidak. Itulah konteks pada waktu itu.
Poin saya dalam introduksi ini, agar Saudara melihat bahwa memang Luther, Calvin, dkk., menulis Institutio, menulis doktrin-doktrin yang hari ini menjadi warna khas Reformed yang kita kenal –Theologi Salib, Predestinasi, Kaum Pilihan, dst.–tapi ternyata pertanyaan yang paling fondasional dari seluruh proyek reformasi bukanlah pertanyaan mengenai keselamatan, bukan pertanyaan mengenai predestinasi, bahkan bukan pertanyaan mengenai Allah Tritunggal; pertanyaan yang paling dasar adalah pertanyaan “apa sesugguhnya Gereja”, karena kalau mereka tidak bisa menjawab pertanyaan ini, tidak ada reformasi, mereka akan mati sebelum mereka bisa bangun.
Lalu Saudara mungkin tanya, “Oke Pak, itu sangat fondasional, saya mengerti. Tapi kenapa hal tersebut seperti terkubur selama ini?” Memang kita jarang banget mendengar Theologi Reformasi bicara urusan Gereja. Kalau Saudara melihat karya beberapa orang yang berusaha mengkristalisasi ajaran Reformed, misalnya belakangan yaitu TULIP yang terkenal itu, mana ada di situ bicara mengenai Gereja?? Tidak ada. Adanya mengenai total depravity, unconditional election, dst., tapi tidak ada mengenai Gereja. Menarik ya, jadi tanda tanya. Atau juga misalnya Lima Sola —sola Christos, sola fide, sola gratia, sola scriptura, soli Deo gloria— tidak ada sola ekklesia. Kenapa, ya? Kenapa tidak dibicarakan? Yaitu karena itulah fondasi; fondasi itu terkubur. Saudara masuk ke gedung gereja ini, Saudara tahu dan percaya gedung gereja ini ada fondasinya, karena kalau tidak, maka kita tidak bisa beribadah di sini, gedung ini akan rubuh. Tapi waktu kita masuk ke gedung ini, kita tidak pernah membicarakan fondasinya; siapa dari kita yang waktu masuk gedung ini lalu bilang, “O, fondasinya bagus sekali!” ? Tidak ada. Orang mengatakan, “O, dekorasinya bagus, mimbarnya bagus, kursi-kursinya bagus, jemaatnya banyak, dst.”, itulah yang mereka katakan, padahal tanpa fondasi, tidak ada semua yang lain itu, karena yang paling penting –yaitu fondasi—sering kali tidak kelihatan. Jadi, tidak kelihatan bukan berarti tidak penting. Itu satu hal yang kita perlu belajar dari awal, itu yang kita mau coba gali; dan bukan sekadar gali, tapi kita mau mebicarakan apa dampaknya bagi kita pada hari ini.
Paling gampang, kita memulai dengan membahas terlebih dulu mengenai apa artinya Gereja bagi orang Katolik Roma pada zaman Luther, supaya kita ada bahan perbandingan dengan jawaban para reformator. (Waktu saya bicara Katolik Roma, saya bicara mengenai orang Katolik Roma di zaman Luther; saya bukan pakar dalam hal orang Katolik di zaman hari ini, yang tentunya sudah ada perubahan-perubahan).
Waktu kita melihat konsep “Gereja” bagi orang Roma Katolik pada abad pertengahan, mereka punya pendekatan yang bisa kita sebut sebagai pendekatan institusional, yaitu: “Alasannya saya bisa mengatakan sebuah Gereja adalah gereja yang sejati, adalah karena saya bisa memperlihatkan/membuktikan kontinuitas/kesinambungan tongkat estafet institusional, turun-temurun dari para rasul, turun ke paus, dst., sampai pada hari ini. Itu saya bisa tunjukkan, oleh karena itu saya bisa mengatakan ini Gereja yang sejati” –pendekatannya sangat institusional. Ini mirip seperti kalau kita hari ini memikirkan tentang pemerintah. Misalnya, hari ini Jokowi sudah memerintah dalam term kedua dan terakhir, dia sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi, sehingga presiden berikutnya, siapapun dia, pasti bukan Jokowi. Lalu Saudara tahu dari mana bahwa orang yang baru itu pemerintah Indonesia yang sah? Yaitu misalnya karena waktu Jokowi turun, dia melakukan upacara serah terima jabatan, dengan demikian Saudara tahu presiden yang baru itu mengikuti/melanjutkan –ada kesinambungan/kontinuitas– tampuk pemerintahan yang lama; dari situlah kita mengatakan ini pemerintah yang valid. Tapi bayangkan kalau waktu Jokowi turun, tiba-tiba ada tiga orang mengaku sebagai pemerintah Indonesia yang sah, kita akan langsung bertanya-tanya, “Yang mana ini??” –bingung. Misalnya juga, Restoran Sederhana pecah, lalu ada “Sederhana SA”, ada “Sederhana SB”, lalu yang mana yang asli resepnya?? Kita jadi bingung. Jadi, Saudara bisa mengerti ini satu hal yang jadi pertanyaan orang-orang pada zaman itu; dan bagaimana kita bisa tahu sebuah gereja adalah Gereja, adalah karena saya bisa memperlihatkan kontinuitas institusionalnya, dari Petrus, para rasul, lalu turun ke paus, turun ke paus berikutnya, turun ke paus berikutnya lagi, dst., sampai hari ini saya bisa merunut garisnya, dan saya bisa mengatakan, “Inilah Gereja yang sejati”.
Itu sebabnya ketika Cyprianus, seorang Bapa Gereja, mengatakan, “Di luar Gereja tidak ada keselamatan”, orang Roma Katolik zaman itu membacanya “di luar institusi gereja ini, tidak ada keselamatan”. Saudara bisa bayangkan, kalau konsep “Gereja” orang Roma Katolik seperti ini, maka dalam Reformasi ketika ada beberapa pecahan gereja Katolik yang lalu menamakan diri sebagai kaum Protestan, mereka ini menghadapi suatu bahaya/resiko yang tinggi sekali, yaitu apa benar komunitas pecahan ini bisa disebut sebagai Gereja, sementara mereka sekarang terpisah dan tidak lagi meneruskan tampuk pemerintahan yang sama?? Apakah mereka bisa mengklaim bahwa mereka juga Gereja yang sejati?? Apakah mereka bisa menjamin bahwa mereka bisa menawarkan kepastian keselamatan dalam level yang sama dengan Gereja Roma Katolik yang mereka tinggalkan?? Saudara sekarang bisa mengerti mengapa secara alamiah pertanyaan “apakah Gereja itu” muncul.
Dalam hal ini jawaban orang Katolik Roma sudah jelas, yaitu ada kesinambungan instiitusinya, ada kesinambungan penerusan titel dan pangkatnya. Orang-orang Reformed tidak mempunyai hal tersebut, lalu bagaimana jawaban mereka mengenai apa itu Gereja Kristen? Di sinilah mereka memberikan model/pengertian Gereja yang baru. Saudara tahu, para reformator itu satu dengan yang lainnya tidak selalu satu pandangan, seperti misalnya dalam hal Perjamuan Kudus ada perbedaan pandangan antara Luther dengan Calvin, antara transubstansiasi, konsubstansiasi, dsb. Atau dalam hal Ibadah, mengenai apa yang boleh ada dalam Ibadah, Luther mengatakan pokoknya selama tidak dilarang Alkitab maka tidak apa-apa, jadi Luther seperti dokter yang mengatakan, “Ini resepnya, tapi kamu boleh makan obat yang di luar resep ini; selama saya tidak larang, itu tidak masalah”; sedangkan konon Calvin mengatakan, “Dalam gereja Calvinis, Ibadah hanya boleh menggunakan apa yang ditentukan dari Tuhan”, seperti dokter yang mengatakan, “Ini resepnya, lu jangan beran-berani makan obat di luar resep gua, ya”. Kira-kira begitu –meskipun dalam realitasnya tidak seperti itu karena di Alkitab tidak pernah dibilang soal jam berapa kita musti Kebaktian, dsb. Anyway, para reformator, satu dengan yang lain tidak sepenuhnya satu pandangan atau satu suara, tapi yang menarik, dalam urusan menjawab pertanyaan “apa itu Gereja?” mereka hampir-hampir satu suara. Lalu apa jawaban mereka? Jawaban mereka yaitu: Gereja adalah tempat di mana Saudara menemukan karunia keselamatan dari Tuhan –itu saja. Jawaban ini terdengar simpel, tapi kita perlu unpack karena ini implikasinya besar. Gereja itu, simply adalah tempat di mana Saudara menemukan karunia Tuhan yang mengubah manusia menjadi anak-anak Allah. Karunia Tuhan ada banyak –hujan, matahari, juga adalah karunia Tuhan– tapi karunia yang mengubah kita menjadi anak-anak Allah, karunia dicurahkannya Roh Kudus, adalah karunia yang hanya ditemukan di Gereja. Dengan demikian, tempat Saudara menemukan karunia ini, itulah Gereja.
Selanjutnya para reformator bertanya, “Oke, itu adalah esensi Gereja, lalu apa tandanya karunia ini diberikan?” Bagi mereka, tandanya karunia “menjadi anak-anak Allah” diberikan, datang dalam dua bentuk konkret, yaitu: yang pertama, diproklamirkannya firman Tuhan yang sejati sesuai Alkitab; yang kedua, dijalankannya sakramen yang sejati sesuai dengan Alkitab. Dua hal itu saja, tidak perlu hal-hal yang lain, untuk bisa menamakan diri sebagai Gereja. Jadi, bagi Calvin, Luther, dkk., yang mengesahkan status gerejawi sebuah jemaat, bukanlah urusan titel dan pangkat, bukan ketika seseorang bisa menunjukkan kontinuitas institusional turun-temurun dari para rasul, melainkan ketika kita bisa menunjukkan kontinuitas yang bersifat theologis. Para reformator menuntut bahwa kontinuitas yang penting adalah kontunuitas ajaran para rasul, dan bukan titel atau pangkat mereka. Itu sebabnya dalam Protestan modern hari ini ada begitu buanyakkk gereja, sinode, denominasi; dan tahukah Saudara kenapa bisa seperti ini? Yaitu karena yang pada dasarnya membuka pintu untuk fenomena ini bisa terjadi adalah model/konsep “gereja” para reformator ini. Mereka yakin, bahwa hanya ada 2 elemen tadi yang esensial bagi sebuah Gereja Kristen yang sejati, yaitu firman Tuhan dan sakramen.
Calvin mengatakan, “Di manapun kita melihat firman Tuhan diperdengarkan dan didengar, di manapun sakramen sesuai dengan mandat Kristus dijalankan, tidak boleh diragukan bahwa di sana Gereja Tuhan yang sejati berada”. Jadi tidak ada namanya urusan-urusan pangkat. Dan Saudara lihat, yang signifikan di sini bukan cuma apa yang Calvin sebutkan sebagai tanda Gereja, tapi justru apa yang dia tidak sebutkan. Tidak ada acuan sama sekali soal perlunya kontinuitas titel dan pangkat institusional dengan para rasul. Bagi Calvin, yang menjadikan gereja adalah Gereja, yaitu ketika gereja ini bisa menunjukkan kesinambungan ajaran, bahwa mereka mengajarkan apa yang para rasul ajarkan, yang lebih penting dibandingkan garis turun-temurun tidak terputus rangkaian generasi penerus pangkatnya para rasul. Bahkan bagi Calvin, penerusan institusional seperti itu tidak pernah bisa cukup untuk memastikan kesetiaan ajaran. Menurut Calvin, ketika Saudara terlalu fokus dengan titel, pangkat, jubah, mimbar, maka itulah yang menyebabkan Gereja Roma Katolik menyimpang dari pemikiran dasar para rasul di Alkitab. Demikianlah jawaban para reformator.
Dasar Alkitabnya dari mana? Menariknya, salah satu dasar Alkitab yang mereka kemukakan datang dari Petrus sendiri. Saudara lihat dalam sejarah Gereja-mula-mula, awalnya cuma orang Yahudi saja, lalu muncul Kornelius dan kawan-kawannya. Ketika itu Petrus mendapat penglihatan dari Tuhan, yang dia juga bingung apa artinya, kenapa jadi boleh makan makanan-makanan haram, dsb., lalu dia diundang oleh Kornelius tanpa tahu siapa Kornelius itu. Petrus lalu datang ke rumah Kornelius –dan dia juga bingung sebenarnya untuk apa datang ke situ. Dia mengkhotbahkan tentang Kristus, lalu tiba-tiba datang karunia yang sama kepada Kornelius, sebagaimana karunia yang telah turun kepada mereka, para rasul, yaitu dicurahkannya Roh Kudus. Kesimpulan akhir dari kisah Kornelius, yaitu Petrus dan orang-orang Yahudi yang menyertai dia mengatakan, “Kami sudah menyaksikan sendiri karunia yang sama yang turun ke kami, turun ke mereka juga. Jadi, mana mungkin bisa mengatakan mereka bukan Gereja”. Inilah cikal bakalnya Gereja diperluas, bukan cuma orang Yahudi tapi segala bangsa.
Saudara lihat di sini: ‘otoritasnya bukan otoritas kami, kami tidak memerintah di atas mereka sebelum ini, mereka tidak joinan dengan kami jadi orang Yahudi,; tetapi karunia yang sama yang turun kepada kami, turun juga kepada mereka, berarti mereka adalah Gereja, sama seperti kami Gereja’ –itulah dasarnya, bukan urusan titel da pangkat, tapi karunia Tuhan yang sama dicurahkan atau tidak. Dengan demikian bagi orang Protestan, bagi orang Reformasi, menanggapi kalimat Cyprianus tadi “di luar Gereja tidak ada keselamatan”, mereka mengatakan, “Amin, ya, amin”, tetapi mereka akan menambahkan kalimat Ignasius dari Antiokia: “Memang benar tidak ada keselamatan di luar Gereja, tetapi di mana ada Kristus, di situ ada Gereja; kamu tidak bisa membatasi ‘Gereja’ hanya dalam urusan titel dan pangkat”. Implikasinya apa? Implikasinya adalah: kalau kita mengenali bahwa Gereja adalah tempat di mana engkau menemukan karunia Tuhan —dan bukan menemukan brand name-nya para rasul— maka berarti bagi para reformator “Gereja yang sejati” tidak mungkin hanya satu, tidak mungkin isinya hanya orang-orang Calvinis, atau Lutheran, atau Reformed, atau Anglikan; Gereja pasti lebih besar daripada tembok gereja kami, kalau itu adalah ciptaan Tuhan dan bukan ciptaan manusia. Ini menarik.
Tadi Saudara melihat 5 sola, artinya “hanya ini, hanya ini, hanya ini”. Solus Christus, pokoknya cuma melalui Kristus, tidak pakai melalui Maria dan para santo –demikian tradisi Reformed. Sola scriptura, pokoknya hanya melalui Alkitab, tidak pakai urusan mistis-mistis. Sola fide, hanya melalui iman. Sola gratia, hanya karena anugerah, bukan karena pencapaian dan kuasa manusia. Soli Deo gloria, hanya kepada Tuhan sajalah segala kemuliaan. Semuanya sola, sola, sola, sola, sola, hanya, hanya, hanya, hanya, hanya; dan bukankah gampang untuk para reformator menambahkan sola keenam, sola Ekklesia? Mereka bisa saja mengatakan, “Lihat ya, Gereja Katolik Roma itu menyimpang! Mereka sudah tidak lagi menjaga ajaran yang benar, maka mulai sekarang saya mendeklarasikan Gereja yang benar juga hanya gerejanya saya! Sola Ecclesia!” Adalah gampang untuk mereka mengatakan demikian, tapi tidak ada satu pun reformator yang mengajarkan sola Ekklesia. Kenapa? Karena mereka percaya ini: kalau Gereja adalah tempat simply karunia Tuhan dinyatakan, berarti Gereja tidak terbatas hanya pada gerejanya SAYA. Ini satu hal yang menarik, karena dalam tulisannya Luther sangat anti terhadap Paus, sampai-sampai dia mengatakan Paus itu anti-Kristus, tetapi kalau Saudara baca tulisan Luther itu keseluruhannya dari depan sampai belakang, pada saat yang sama Luther juga menekankan, insist, ngotot, bahwa meskipun Pemimpin Gereja Katolik Roma itu anti-Kritus, namun Gerejanya sendiri (jemaatnya sendiri) adalah Gereja yang kudus, Gereja sejati. Saudara akan temukan ini bukan cuma dalam satu dua tulisan Luther, tapi sepanjang hidupnya dia terus menuntutkan hal tersebut. Kenapa? Karena konsep “Gereja” tadi.
Bagi Luther, Gereja Katolik Roma pasti ada kekurangannya, sama seperti Gereja Reformed pasti ada kekurangannya, sama seperti Gereja Lutheran juga pasti ada kekurangannya. Tapi meskipun ada kekurangannya, dia telah menyaksikan di dalam Gereja Katolik Roma karunia Tuhan dicurahkan, Roh Kudus dicurahkan, maka sejauh di dalam Gereja Katolik Roma Alkitab terus diproklamirkan, Baptisan dan Perjamuan Kudus terus dijalankan, Liturgi yang menceritakan Injil dijalankan, Luther akan bersama-sama dengan Calvin mengatakan, “Di mana karunia Tuhan ditemukan, di mana Roh Kudus ada, maka di situ ada Gereja, termasuk Gereja Katolik Roma”. Jadi bagi Calvin dan Luther, karena mereka percaya konsep Gereja yang seperti itu, mereka beda; sementara orang Katolik Roma mengatakan, “Tidak, pokoknya Gereja cuma gua, lu bukan Gereja”, orang Reformed mengatakan, “Tidak begitu, Gereja bukan urusan titel dan pangkat, Gereja adalah urusan kesetiaan ajaran, maka Gereja tidak cuma saya”. Lucu, ya. Ada standar, tapi standar yang justru membuka, in some sense. Bahkan bisa dibilang lebih jauh lagi Calvin dan Luther akan mengatakan seperti ini: ‘Berarti juga sama, kalau kamu punya brand name “Reformed” atau brand name “Lutheran”, itu pun tidak menjamin kamu adalah Gereja yang sejati’; bahwa bukan cuma di luar Gereja Lutheran dan Calvinis ada Gereja, tapi yang punya brand name-nya Luther dan Calvin pun tidak tentu Gereja yang sejati, sekali lagi karena titel, pangkat, brand name, jubah, itu semua tidak menjamin kesetiaan ajaran.
Saudara bisa lihat, mereka semua setuju ada tanda-tanda yang khusus, dan bisa di-identifikasi. Mereka tidak membuka pintu selebar-lebarnya lalu mengatakan, “O, semua mau buka gereja, silakan, tidak ada masalah”; namun juga di sisi lain, meski mereka punya standar, mereka semua setuju bahwa mereka bukanlah standarnya, mereka bukanlah batasannya. Gereja adalah lebih besar daripada tembok gereja mereka. Ada standar, ada ketegasan, tapi juga ada kerendahan hati dan keterbukaan.
Saudara, itu sebabnya yang namanya belajar, itu perlu belajar mendalam, bukan cuma belajar di permukaan. Saudara sering kali melihat orang-orang Reformed –orang-orang GRII maksudnya–sombong-sombong, lalu mengatakan, “Gereja kami ini satu-satunya …” –dan pada dasarnya ini adalah orang yang sendirinya tidak mengerti dan mendalami kekayaan serta kelimpahan pemikiran para reformator. Satu contoh, suatu kali seseorang dari Gereja Harapan Indah, waktu dua tiga tahun kami melayani di sana, mengatakan, “Pak, kami sangat bersyukur Bapak datang terus mengajar kami, juga Pak Billy, Pak Heru.” Selanjutnya, “Saya sangat belajar banyak; cuma satu hal yang pasti, ketika saya belajar banyak di tempat ini lalu saya kembali ngobrol dengan orang-orang dari gereja lama saya, saya menemukan ‘koq, saya jadi sombong’, ya, Pak? Saya jadi suka marah-marah dengan mereka, ‘Aduh, kalian tolol semua, sini gua ajarin yang benar!’ kira-kira seperti itu. Kenapa ya, Pak? Apakah saya belajar banyak maka saya jadi sombong? Kalau kayak begitu, ‘kan lebih baik tidak usah belajar ya, Pak, jadi orang bodoh saja, jadi rendah hati.” Salah satu jawabannya, itu bukan rendah hati, itu rendah diri; tapi jawaban yang lebih tepat: “Kamu bukan sombong karena kamu belajar banyak, kamu sombong karena kamu baru belajar sedikit”. Kamu baru tahu Luther bilang Paus itu anti-Kristus, tapi kamu tidak menangkap apa yang Luther katakan mengenai Gereja Katolik Roma, kamu tidak menangkap kerendahan hati dan keterbukaan para refromator, kamu baru belajar urusan standar mereka apa, ketegasan mereka di mana, jadinya kamu ikut-ikutan separuh jalan.
Dalam hal ini, ilustrasinya pakai cerita kungfu –yang semua kayak begini. Pendekar kungfu belajar pada suhunya di suatu gunung. Dia belajar, belajar, belajar, latihan dengan keras, lalu suatu hari dia mendengar ada perampok datang ke desanya. Dia mengatakan kepada suhunya, “Suhu, kita harus turun! Kita harus membabat perampok itu; kasihan orang-orang desa dikuasai perampok.” Suhunya mengatakan, “Sudahlah, lu di sini dulu, belajar sampai ilmu lu selesai, tidak ada gunanya turun sekarang dengan ilmu lu setengah jadi.” Si murid mengatakan, “Tidak bisa, ini urgent, kita harus turun, tidak bisa tidak!” Suhu kembali mengatakan, “Tidak, tunggu di sini, belajar sampai ilmunya selesai.” Kembali dia ngotot, “Tidak bisa, Suhu ini orang tua terlalu kaku, saya harus jalan sekarang!” Dia kabur, turun ke desa, dan bertemu para perampok itu. Awalnya yang datang kroco-kroco, jadi dia gebukin dan langsung menang. Dia lalu rasa ‘wah, saya hebat juga, latihan 2 minggu tetap ada hasilnya, jadi saya bisa gebukin orang-orang lain lagi’. Dia gebukin dan gebukin lagi, sampai akhirnya bertemu bos perampok, dan dia yang digebukin babak belur –karena ilmunya setengah jadi. Dia lalu ditemukan Suhunya dalam keadaan sekarat. Suhunya membalut dia, mengobati dia, dan setelah mulai siuman, dia mengatakan, “Suhu, saya salah, minta ampun. Saya memang tidak ada gunanya turun dengan ilmu setengah jadi.” Suhunya mengatakan, “Ya, tidak apa-apa, yang penting kamu sadar.” Setelah sembuh, dia latihan lagi dan latihan lagi, dia menyelesaikan ilmunya, lalu dia turun ke bawah, dan dia berhasil menang. Dan, Saudara lihat satu hal, bukan cuma ilmunya yang bertambah, kedewasaan pendekar ini juga bertambah.
Saudara, arogansi/kesombongan memang datang bukan ketika kita tidak tahu apa-apa –kalau kita kita tidak tahu apa-apa lalu sombong, itu keterlaluan– kesombongan dan arogansi juga bukan datang ketika kita belajar banyak; kesombongan dan arogansi datang ketika kita belajar hanya sedikit, hanya tahu yang di permukaan, turun dengan ilmu setengah jadi, lalu super pe-de. Saudara bayangkan kalau si Suhu yang turun gunung, apa yang terjadi? Kalau si Suhu yang turun gunung, dia tidak bakal arogan sama sekali, dia tidak akan merasa perlu gebukin orang untuk tahu dia hebat, karena dia sudah tahu memang ilmunya tinggi. Tidak perlu semua itu, tangannya selalu di belakang –demikian kungfu master selalu bersikap. Kalau dia bertemu orang kurang ajar yang bilang, “Hai orang tua! Bawakan ini!” mungkin dia akan melakukannya. Lalu kalau orang itu makin sombong dan mulai mengancam orang lain, tiba-tiba tangan si Suhu bergerak, mengeluarkan jurusnya, dan orang itu baru tahu ini bukan orang sembarangan. Cerita kungfu selalu kayak begitu. Ini wahyu umum, tidak perlu Alkitab untuk tahu ini. Intinya, inilah sebabnya kita sebagai orang Reformed perlu belajar mendalam, tidak cuma belajar di permukaan. Saudara perlu belajar banyak dan detail, tidak cuma di permukaan, karena pengetahuan yang sedikit justru berbahaya.
Kembali ke pembahasan kita. Kalau kita kembali ke dalam konsep gerejawi sebagaimana yang disebut para reformator, berarti keberagaman adalah sesuatu yang sudah built in di dalam semangat reformasional. Semangat reformasional tidak pernah mengatakan, “SAYA SATU-SATUNYA”; semangat reformasional berarti mengamini kalimat, “Saya bukan satu-satunya; saya hanyalah salah satu dari Gereja Tuhan yang sejati di atas dunia ini”. Ini berarti, menjadi orang yang punya identitas karakter reformed tentu saja di satu sisi sangat kukuh mempertahankan ajaran para rasul, karena di situlah bertumpu identitas kita sebagai Gereja –maka Gereja Reformed sangat ngotot berpegang kepada firman Tuhan– namun di sisi yang lain, orang-orang reformasional harusnya juga menjadi orang Kristen yang paling bisa hidup bareng, co-exist, secara damai, dengan orang-orang yang mungkin kita ada ketidaksetujuan. Orang Reformed harusnya adalah orang-orang yang justru bisa nyaman dengan pertentangan.
Kalau kita kembali ke Luther, commentary-commentary-nya penuh dengan pendapat dia yang mengutip para Bapa Gereja; itu berarti dia tidak mengatakan, “Pokoknya gua yang benar; gua baru bikin satu theologi baru yang tidak ada orang yang pernah tahu!” dia selalu mengutip ke belakang. Itu yang pertama. Yang kedua, di dalam commentary-nya –misalnya commentary Kitab Galatia– dia membabat seorang theolog yang adalah kontemporernya, yaitu Jerome, yang katanya sangat miskin dalam mengerti Surat Galatia, tapi dalam commentary tersebut Luther juga menulis, “Saya yakin, nanti di surga, saya dan Jerome akan bisa bereskan ketidaksetujuan ini; kami akan ketemu di tengah”. Lucu, ya. Luther bisa meng-engage Jerome dengan kejujuran yang sangat terbuka, dia tidak pernah merasa harus setuju dengan apa yang Jerome katakan, tapi dia tidak pernah setan-setanin Jerome juga; dan dia yakin ketidaksetujuan tersebut suatu hari akan beres di surga. Ini spirit reformasional yang kita perlu belajar, yang kita perlu mengerti kedalamannya. Tidak cuma urusan standar, tidak cuma urusan ketegasan, dsb., tapi juga keterbukaan untuk bisa hidup bersama orang-orang lain yang berbeda, dengan denominasi-denominasi lain yang berbeda. Inilah karakter reformasional.
Demikianlah bagian besar yang pertama, ajaran para reformator mengenai apa itu Gereja. Bagian besar yang kedua dalam khotbah hari ini, kita coba mendiskusikan apa signifikansinya bagi kita hari ini. Bagian pertama tadi ajarannya, sekarang kita akan telusuri apa dampaknya bagi kita.
Pertama, dampak yang lebih bersifat negatif. Sekali lagi, kita mau belajar mendalam tidak cuma belajar satu sisi, jadi kita tidak bisa cuma membahas dampak positif, kita juga musti mengakui ada dampak negatif. Yaitu apa? Karena model Gereja Protestan keabsahannya tidak lagi sentral, tidak lagi di atas, tidak lagi harus tulis surat kepada dewan gereja sedunia untuk bisa bikin gereja –pada dasarnya semua bisa bikin gereja masing-masing—maka biasanya para pemimpin yang punya kharisma besar atau yang ada visi untuk kebutuhan tertentu, mereka bisa bikin jemaat sendiri, mereka bisa bikin denominasi sendiri. Dan Saudara tahu, setiap kali ada pergeseran kuasa seperti ini, dari yang sentral di atas lalu mulai turun ke bawah yang di akar rumput, maka yang selalu tidak terhindari adalah munculnya mentalitas “konsumer”. Itu sebabnya orang Protestan –karena ada begitu banyak gereja, dan boleh buka gereja– jadi merasa bebas untuk pilih-pilih gereja, yang sesuai dengan maunya saya, yang tempatnya paling dekat, yang orang-orangnya menyenangkan,dst. Lalu kalau pun sudah keliling gereja-gereja tapi tidak ketemu yang sesuai selera saya, maka dengan sekadar modal yang cukup saya bisa bikin sendiri gereja, dan tetap menamakan diri sebagai orang Kristen. Itu satu kecenderungan yang kita sadari ada dalam zaman ini.
Ini bukan cuma problem dalam gereja, misalnya juga mengenai “berita”. Dulu tahun 1990-an, berita dikuasai oleh satu saja, sentral dari atas, yaitu TVRI. Di zaman itu kalau kita nonton RCTI, film mulai jam 7, lalu baru setengah jalan, jam 8 dipotong berita; dan karena saya waktu itu masih kecil, jam 9 harus tidur, saya nonton film tidak pernah selesai, terpotong berita, menyebalkanbanget. Nonton berita juga malas, itu acara yang paling membosankan, penyiarnya serius abis, mereka menatap langsung ke kamera, “Selamat Malam, pemirsa di Indonesia”, tidak ada bumbu-bumbunya sama sekali, beritanya dibawakan dengan datar, serius, monoton. Setelah itu mulai ada pergeseran kuasa, yang bikin berita tidak cuma TVRI, semua saluran TV boleh membuatnya, dan ada banyak saluran. Di sini kita mulai mengenal istilah “infotaintment”, inilah yang sesuai selera konsumer, saya mau dengar berita, tapi saya juga mau dihibur oleh berita tersebut. Apalagi sekarang, berita bukan cuma menyebar lewat televisi tapi juga lewat sosmed, lebih parah lagi. Saudara lihat, berita yang disebar lewat sosmed, itu tidak mungkin cara menyebarkannya ala penyiar TVRI yang ngomong serius seperti tadi, pastinya harus lucu, atau kontroversial, bikin marah, bikin ke–trigger. Selalu begitu. Kenapa? Karena mentalitas konsumer. Karena berita tidak lagi dikuasai sentral dari atas tapi sudah turun ke akar rumput, semua orang bisa menyajikan berita, makabagaimana memilih berita, yaitu pilih berita yang sesuai dengan maunya saya –mentalitas konsumer.
Saudara, ini satu hal yang mempengaruhi bukan cuma sosmed, tapi juga Gereja. Itu sebabnya ketika orang Katolik Roma mengkritik Protestan, mereka sering kali pakai argumen sbb.: kenapa Gereja jadi begitu rendahan, jadi begitu hancur, yaitu karena ekelesiologi Protestan itu, karena model Gereja-mu itu; kamu membuat model Gereja yang secara naturnya cenderung untuk membelah diri terus-menerus –dan ini tentu saja dirasa sangat bertentangan dengan Tuhan Yesus,untuk Gereja-Nya menjadi satu. Tentunya bukan cuma orang Katolik yang mengkritik seperti ini, kita sendiri juga menyadari ada kecenderungan yang akhirnya berbahaya ini, yang tidak dapat dipungkiri ini, yang memang problematik. Jadi hari ini saya tidak akan menyangkal hal itu; yang saya mau coba berikan kepada Saudara adalah untuk membuat kita melihat, dan juga mengerti, bukan cuma sisi negatifnya tapi juga dampak positifnya, bahwa ada sesuatu dalam model Gereja Protestan ini, yang menurut saya worth it meresikokan pembelahan diri seperti itu. Apakah itu?
Ada dua hal. Yang pertama, model Gereja Protestan membuat Gereja lebih mampu untuk merespons kebutuhan zaman dan budaya yang berubah secara cepat. Kita tahu, kita hidup dalam suatu zaman yang segala sesuatu berubah dengan sangat cepat. Ada muncul istilah-istilah seperti ‘teknologi yang bersifat disruptif’. Maksudnya apa? Maksudnya, Saudara melihat teknologi berkembang dengan begitu cepat, diterima masyarakat dengan begitu cepat, sehingga kita sebagai masyarakat tidak siap menghadapi konsekuensinya. Misalnya, sekarang ada GoFood, GrabFood, Gojek, Grab, dsb. Kalau dulu, orang bekerja di perusahaan atau pemerintah itu ada hukumnya, bahwa setelah sekian periode waktu maka harus ditawarkan sebagai pekerja tetap; dan pekerja tetap ada asuransi, jamsostek, dll. Tapi sekarang, Gojek dan Grab mengatakan, “O, yang kerja di kami itu bukan bekerja pada kami, mereka bukan karyawan, mereka rekanan; jadi kalau mereka kecelakaan, kami tidak bertanggung jawab apa-apa untuk memberi mereka asuransi. Kami ada juga sih sebagian, tapi lebih dari itu tidak bisa minta, ini saja sudah by grace alone” –Saudara mengerti maksudnya? Jadi di sini pemerintah harus cepat-cepat berespons, bagaimana mengatur hal ini, karena jika tidak diatur dan hukumnya tidak direvisi sesuai kebutuhan zaman, nanti terjadi ketidakadilan dst. Inilah maksudnya teknologi yang bersifat disruptif. Sama juga hal ini mempengaruhi Gereja. Gereja. Dalam zaman yang senantiasa berubah dengan cepat, mengakibatkan ada banyak gereja yang seperti terkunci dalam sebuah time bubble, mereka terkunci dalam menara gading mereka sendiri, mereka masih beroperasi as if mereka melayani kebutuhan zaman yang sudah berlalu. Kalau kecenderungannya seperti ini, maka harusnya model gereja reformasional lebih mampu –meski tidak tentu– untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman, karena keputusan tidak dibuat di lantai 117.
Kalau gereja sangat centralized, semuanya dari atas, maka kalau mau bikin perubahan akan lama setengah mati. Saudara harus minta ke level di atasnya, lalu naik banding, naik banding, naik banding terus sampai akhirnya ke yang paling atas, baru berubah. Itu lama sekali, entah berapa puluh tahun, bahkan mungkin sudah muncul agenda yang baru lagi, muncul teknologi yang lain lagi, dst. Sedangkan gereja model reformasional akan memperkuat para pemimpin lapangan –bukan cuma para pendeta, tapi juga para penatua, diaken, vikaris– untuk mereka secara relatif lebih mudah merespons dan mengadaptasi kebutuhan zaman atau kebutuhan yang baru. Sama seperti visi zaman dulu efektif untuk melayani zaman yang lebih lama, demikian kita juga perlu senantiasa memperbarui diri untuk menghadapi tantangan dalam zaman yang baru. Dan, itu akan lebih mudah dilakukan kalau model gerejanya grass-root.
Kedua, model ini bukan cuma memperkuat para pemimpin lapangan, tapi pada saat yang sama juga membatasi kuasa mereka –ini hal yang kedua. Mungkin kita mengatakan, “Oke, pemimpin lapangan diperkuat, tapi justru di situ bahayanya ‘kan? Karena kalau pemimpinnya ‘gak nyambung parah dengan jemaatnya, biasanya itu pemimpin-pemimpin yang mengejar agenda theologinya sendiri atau agenda kulturalnya sendiri yang tidak bisa diterima jemaatnya, lalu bagaimana orang-orang ini dituntut pertanggungjawabannya? Mereka ini diperkuat, mereka ini pemimpin lapangan, kalau dulu mereka perlu melapor ke uskup lalu uskup lapor ke kardinal dst., tapi di sini tidak lagi, lalu bagaimana mereka bisa dituntut pertanggungjawabannya?” Saudara perhatikan, mereka bukan cuma diperkuat, mereka juga dibatasi. Siapa yang membatasi? Saudara mungkin kaget mendengar jawabannya, bahwa sesungguhnya model reformasional memperkuat jemaat untuk membatasi kuasa para pemimpin. Dalam model reformasional, jemaat boleh membantah pemimpin mereka. Jemaat bisa menurunkan pemimpin mereka; dan kalau itu tidak berhasil, jemaat bebas untuk keluar lalu membentuk jemaat sendiri. Kenapa? Karena dalam model ini Saudara tidak perlu mengikuti tampuk pemerintahan yang sama untuk bisa menamakan diri “Gereja”. Saudara bisa keluar, dan tetap menamakan diri sebagai orang Kristen. “Pak, itu bukannya sisi negatif? Orang pecah gereja kayak begitu ‘kan selalu ada ekses ego, arogansi, kesombongan, dsb.?” Ya, benar, sudah pasti ada ekses seperti itu, tapi di mana yang tidak ada eskses seperti itu? Saudara pikir model Katolik, yang sentral, itu tidakada ekses ego, pride, kesombongan, dan harga diri? Ada juga. Di mana-mana ada. Itulah kondisi normal manusia berdosa. Tetapi, model reformasional paling tidak memperkuat jemaat untuk membatasi kuasa para pemimpin. Model ini bukan model yang tanpa resiko, karena dengan menempatkan esensi Gereja pada kesetiaan kontinuitas ajaran –dan bukan institusi, titel, pangkat, atau brand name— kecenderungannya sudah jelas, yaitu gampang disintegrasi, gampang membelah diri. Namun di sisi lain, model ini juga menghasilkan kemungkinan untuk pembaruan senantiasa terjadi, ecclesia reformata semper reformanda est.
“Oke, Pak, jadi para pemimpin lapangan diperkuat tapi juga dibatasi lewat jemaat, karena jemaat bisa protes, jemaat bisa pindah; tapi itu ‘kan pilihan terakhir, Pak??” Benar, memang kita tidak memakai itu sebagai pilihan yang pertama. “Lalu Pak, bagaimana caranya kalau jemaat tetap mau mempertahankan keutuhan gereja tersebut, siapa yang berhak untuk menuntut pertanggungjawaban si Pendeta, masa’ cara kita cuma dengan keluar doang??” Tidak, Saudara; sekali lagi, tetap kembali kepada jemaat. Kita tahu salah satu pemikiran Luther yang paling populer adalah Theologi Salib, tapi mungkin peringkat kedua setelah Theologi Salib adalah doktrin yang Luther namakan Doktrin Priesthood of All Believers, yaitu bahwa tidak cuma ada golongan “imam” dan “awam” seperti dalam Gereja Roma Katolik abad pertengahan, melainkan bahwa semua orang dalam Gereja, baik awam atau bukan, adalah imam (jadi semua awam pun adalah imam). Dalam Gereja Roma Katolik, ada awam dan ada imam, lalu kalau awam mau mendekat kepada Tuhan, harus melalui imam; kalau mau mengaku dosa tidak langsung ke Tuhan, cari dulu Romo atau Pastor dan mengaku dosa kepada dia, nanti dia yang berurusan dengan Tuhan, seperti juga kalau kita menabrak maka kita ke asuransi dulu tidak langsung ke bengkel. Orang Reformed mengatakan, ini tidak biblical karena solus Christus, bahwa Kristus satu-satunya mediator antara manusia dan Tuhan. Dan bagi Luther, semua yang di dalam Kristus, sudah dijadikan imam. Luther mengambil ini dari Petrus; 1 Petrus 2 mengatakan, “Kamu semua, adalah imamat rajani; kamu semua bangsa yang kudus. Kepada kamu semua, telah diberikan panggilan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar dan ajaib Tuhan kita” –kamu semua, tidak cuma sebagaian dari kamu. Juga dalam Roma 12, Paulus mengatakan, “Kamu semua, persembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah”, berarti kamu semua imam, tidak cuma sebagian orang.
Mungkin kita sudah menangkap ini –bahwa dalam Protestanisme semua orang percaya levelnya sama, tidak lagi ada urutan imam dan awam, semua awam adalah juga imam– tetapi biasanya implikasinya urusan pribadi. Misalnya, kita menangkap tentang merombak kultur, bahwa kalau kamu mau mengaku dosa, tidak usah pakai tangan Romo tapi bisa langsung ke Tuhan; juga misalnya dalam Ibadah, sekarang semua orang boleh menyanyi. (Saudara mungkin pikir lagu hymn jelek karena monoton—“a-migh-ty-for-tress-is-our-God”– membosankan sekali ketukannya; lalu dulu Pak Billy pernah mengajarkan kita, ternyata lagu “A Mighty Fortress is Our God” ada versi aslinya, tapi coba Saudara menyanyi versi aslinya, bisa tidak? Tidak bisa, karena ketukannya susah, kompleks. Tidak semua orang bisa menyanyi, tidak semua orang bisa mengikuti ketukan seperti itu; itu sebabnya oleh Luther ketukannya dibikin rata, bukan karena Luther musikus yang bodoh tidak mengerti musik yang seru, tapi karena Luther punya gambaran visi bahwa semua orang bisa bernyanyi. Memang kelebihan hymn adalah kesederhanaannya, Saudara jangan cari kompleksitas di sana). Inilah visinya Luther; karena semua orang adalah imam, semua orang harus bisa berdoa, semua orang harus diajarkan bernyanyi, semua orang harus bisa membaca Alkitab –maka dia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari. Ini yang sering kali kita pikir sebagai implikasi dari doktrin Priesthood of All Believers; tetapi ini juga salah satu doktrin yang paling sering salah dimengerti karena doktrin ini implikasinya bukan cuma bersifat pribadi tapi juga ke-umat-an. Bagi Luther, ketika dia mengatakan “the priesthood of all believers”, itu bukan urusan kamu dengan Tuhan saja, tapi ketika semua kamu jadi imam maka yang namanya imam tidak pernah berarti imam bagi diri sendiri, yang namanya imam berarti imam bagi orang lain. Jadi, kalau semua orang Kristen adalah imam, maka semua orang Kristen harus menjadi imam bagi satu sama lain. Inilah implikasinya.
Maksudnya apa? Bagi Luther tugas keimaman di gereja ada banyak. Tugas proklamasi firman Tuhan (khotbah), bagi Luther adalah tugas semua orang Kristen. Tugas menjalankan Baptisan dan Perjamuan Kudus, bagi Luther adalah tugas semua orang Kristen. Mengikat dan melepaskan dosa –maksudnya menegur dosa dan menggembalakan–itu juga tugas semua orang Kristen. Berkorban, menilai doktrin, menilai roh, dsb., itu semua tugas orang Kristen. Bagi Luther, Doktrin Priesthood of All Believers maksudnya adalah: kita semua harus saling melakukan semua tadi, satu kepada yang lain. Inilah keumatan; meng-imam-i satu dengan yang lain, bukan secara individual saja. Saudara mungkin bertanya, “Jadi bagi Luther apa tidak ada tempat bagi orang-orang yang khusus melayani sebagai ‘hamba Allah’?” Luther bilang tetap ada tempatnya, tapi boleh dibilang itu sebenarnya adalah hamba jemaat. Mereka menjalankan tugas keimaman mewakili jemaat. Dalam model Roma Katolik, seorang imam adalah mewakili Tuhan, melayani jemaat; tetapi model Luther, seorang pendeta dan vikaris adalah mewakili jemaat melayani jemaat, karena jemaat ini dipanggil untuk saling melayani.
Ini berarti, otoritas seorang pendeta, vikaris, “hamba Allah” di dalam gereja reformasional, dalam arti tertentu bukan dari Tuhan secara langsung melainkan dari Saudara. Sadarkah Saudara akan hal ini? Di dalam Gereja Reformed, tidak ada tempat untuk orang datang lalu langsung mengatakan, “Saya dipilih oleh Tuhan, Tuhan berkata kepada saya, hari ini saya harus berkhotbah”. Tidak ada tempat untuk itu. Orang yang berdiri di mimbar ini, harus diakui oleh jemaat, dipilih oleh jemaat, atau dipilih dari perwakilan jemaat. STT adalah simply jemaat bersama-sama membuat suatu proses, sehingga mereka bisa yakin kalau orang lulus dari STT ini, ada kemungkinan untuk bisa dipakai menjadi perwakilan jemaat untuk melayani mereka.
Satu cerita dari Charles Spurgeon. Ada orang datang hari Minggu mendengar khotbah, lalu setelah selesai, orang ini berkata kepada dia: “Pak Spurgeon, Tuhan mengatakan kepada saya, Minggu depan saya yang berkhotbah di sini.” Lalu Spurgeon mengatakan, “O, begitu, saya tidak setuju, Pak, karena sederhana saja, kalau Tuhan bicara kepada Bapak bahwa Bapak harus khotbah Minggu depan, kenapa Tuhan tidak beritahu saya??” Maksudnya, otoritas berada di mimbar, itu bukan dari Tuhan secara langsung, itu adalah otoritas yang diberikan kepada semua orang percaya sebagai imam, lalu orang-orang imam ini memilih beberapa orang untuk mewakili mereka dalam setting yang bersifat publik. Jadi, bagi Luther tetap perlu ada pendeta dan golongan vikaris, diaken, penatua, dll., karena kalau tidak akan kacau –dan Paulus mengatakan, Ibadah tidak boleh kacau. Dalam urusan ranah publik, golongan ini —yang dikhususkan, ditahbis, dipilih– harus melayani mewakili jemaat; tetapi dalam urusan privat, dalam urusan one on one, dalam urusan antar pertemanan, dalam setting keluarga, OSG, persekutuan, dll., tugas keimaman adalah tugas semua orang Kristen. Secara publik, tidak ada yang diperbolehkan menjalankan fungsi imam tanpa persetujuan jemaat atau badan perwakilan jemaat.
Kembali ke poin kita, otoritas pendeta, vikaris, diaken, adalah berasal dari jemaat yang dilayani. Ini demokratisasi, pergesaran kuasa dari atas ke akar rumput. Sama seperti zaman dulu raja-raja memerintah karena mereka merasa mendapat hak dari ilahi, sedangkan sekarang presiden-presiden memerintah karena mereka mendapatkan mandat dari rakyat. Sama modelnya. Dengan demikian Luther mengatakan, jemaat yang memberikan hak untuk berkhotbah hari ini, boleh mencabut hak tersebut besok. Saudara lihat, apakah model kepemimpinan gereja yang seperti ini adalah model yang tidak ada tanggung jawab karena tidak ada badan sentralnya? Tidak. Karena justru sekarang yang berhak menuntut pertanggungjawaban setiap pemimpin adalah jemaat. Model ini bukan model tanpa pertanggungjawaban; model ini justru menempatkan Saudara, jemaat, di atas kursi tersebut. Ini berarti, kalau tadi Saudara mendengar saya mengatakan, “Jemaat boleh memberhentikan pendeta; yang memberikan hak berkhotbah hari ini boleh mencabutnya besok”, itu memang benar, tapi sebelum melakukan itu, Saudara musti sadar satu hal: jikalau sampai bisa ada pemimpin yang kebablasan di sebuah Gereja, itu hanya bisa terjadi ketika jemaatnya adalah jemaat yang bodoh. Jemaat yang tidak sanggup mengkritik karena belajarnya cuma sepotong-sepotong. Atau, jemaat yang main kritik tanpa ada kerendahan hati untuk belajar.
Saudara sadar sekarang, kenapa di Gereja Reformed Saudara selalu dididik untuk mengerti theologi, sejarah, gereja, filsafat? Saudara mengerti sekarang, kenapa Saudara tidak diberikan tema-tema yang menyenangkan, yang sesuai dengan seleramu dan relevansimu? Karena Saudara perlu banyak hal dari khotbah dan PA tentu saja; tapi Saudara lebih perlu belajar mengerti pelajaran-pelajaran seperti hari ini misalnya, dibandingkan mengejar topik-topik yang ujungnya pakai topeng “relevansi” namun sebenarnya cuma untuk mengisi keingintahuan sendiri. Belajar Doktrin Gereja seperti hari ini, penting tidak? Penting. Tapi kalau Minggu depan ditulis di warta, saya akan bahas tema Poligami, bayangkan yang datang akan berapa banyak?? Saya mau tanya, di antara jemaat, berapa banyak yang bersentuhan langsung dengan poligami, yang ada kecenderungan berpoligami? Sedikit sekali ‘kan. Tapi orang bilang, “O, yang itu lebih relevan”, sedangkan Doktrin Gereja tidak ada yang mau belajar. Inilah celakanya Gereja pada hari ini.
Saudara-saudara datang kemari looking forward untuk mendapatkan firman Tuhan, atau juga looking forward untuk dapat kesempatan untuk berdoa syafaat? Itu jadi pertanyaan. Kalau Saudara adalah warga Gereja reformasional, Saudara harus sadar bahwa Saudara datang bukan demi dirimu, Saudara datang supaya secara khusus bisa diperlengkapi untuk bisa melayani satu dengan yang lain sebagai kaum imamat rajani. Kalau Saudara tidak datang untuk ini, maka Saudara tidak mengerti dan tidak menghidupi identitas warga Gereja reformasional. Tanda seorang pendeta, vikaris, penatua, diaken, yang sejati, adalah mereka akan ngotot sengotot-ngototnya untuk memperlengkapimu sehingga engkau bisa menuntut pertangungjawabanku. Tapi sedihnya, jemaat sekarang tidak mau begitu. Jemaat sekarang maunya menemukan sosok pendeta, vikaris, “hamba Allah” yang terus bia digandrungi, yang terus bisa nyuapin, yang terus mengayomi, semakin gampang didengarnya maka semakin ideal. “Wah, khotbah bapak mendarat, bagus, Pak, jadi saya ‘gak harus naik ketemu di tengah; Bapak pakai istilah-istilah yang langsung saya bisa mengerti jadi saya tidak harus google dulu, tidak harus cari dulu, tidak harus belajar dulu, untuk bisa mengerti Bapak. Itu ideal, saya tidak harus naik!” Itulah jemaat sekarang. Saudara mengerti sekarang kenapa para pendeta dan vikaris suka frustrasi menghadapi jemaat seperti ini, yang terus kepingin jadi bayi, maunya digembalakan terus sampai mati. Saudara sadar kenapa? Karena Saudara menghidupi model kegerejaan yang lebih mirip Gereja Katolik, padahal sejarahmu, warisanmu, adalah tradisi reformasional, yang sebenarnya justru memperkuat posisimu.
Kiranya renungan pada hari ini boleh mengingatkan kita mengenai identitas dan karakter Gereja kita; untuk siapa kita ada di sini. Kita di sini bukan untuk diri kita sendiri; kita ada di sini supaya kita boleh diperlengkapi, dibentuk, untuk melayani yang lain, karena Kristus sendiri juga bukan datang untuk melayani melainkan untuk dilayani, dan untuk menjadikan hidup-Nya tebusan bagi banyak orang.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading