Kita melanjutkan pembahasan dari Kisah Para Rasul. Lukas melanjutkan dalam bagian ini dengan kalimat: ‘Maka kembalilah rasul-rasul itu ke Yerusalem dari Bukit Zaitun’.
Kita tahu bahwa Yerusalem dekat dengan Bukit Zaitun; dan Yesus ngapain di Bukit Zaitun? Di Bukit Zaitun Yesus berdoa, Yesus bergumul untuk melakukan kehendak Bapa di taman Getsemani di kaki bukit itu, kemudian malam itu juga Dia ditangkap. Di sini dikatakan, mereka kembali dari Bukit Zaitun; kembali ke mana? Ke kota Yerusalem. Apa yang dilakukan mereka di kota Yerusalem, di keramaian itu? Mereka berdoa. Ini menarik. Mereka bukan retreat ke Bukit Zaitun untuk berdoa, tapi mereka kembali dari Bukit Zaitun untuk berdoa. Di Bukit Zaitun, mereka baru saja mengalami apa? Mereka mengalami melihat Yesus naik (pasal 1:6-11). Mereka datang ke Bukit Zaitun bukan untuk berdoa, bukan untuk malam-malam melihat Yesus ditangkap. Bukit Zaitun tidak mempersaksikan kisah tragis yang menakutkan lagi, tapi fajar pagi yang menyisakan gema pengharapan, karena di Bukit Zaitun itu mereka melihat Yesus kembali ke surga, Yesus diterima pelayanan-Nya oleh Allah Bapa yang mengutus Dia.
Mereka melihat Yesus terangkat ke surga itu, sambil bengong, lalu mendengar dua malaikat muncul –seperti juga dua malaikat yang muncul di kuburan Yesus– dan menegur mereka yang bengong. Sebelumnya, beberapa perempuan bengong di kuburan Yesus, bengong karena mayat Yesus ke mana, koq kuburan-Nya sudah terbuka, apa yang terjadi, lantas apa??; dan mereka ditegur oleh dua malaikat itu, “Kamu jangan mencari di antara orang mati, karena Dia hidup”. Lalu kali ini, mereka bengong melihat ke surga, mungkin menatap masa depan kita ke mana??, dan ditegur juga oleh malaikat, “Jangan bengong ngeliatin atas, kamu harus melihat satu sama lain, karena pekerjaan Tuhan tidak selesai di sini, pekerjaan Tuhan dilanjutkan dengan kamu”.
Mereka kembali dari tempat itu, kembali dari adegan itu, kembali ke Yerusalem –dan Yerusalem adalah tempat awal mulanya mereka kehilangan Yesus. Mereka tadinya melihat Yerusalem sebagai tempat yang tragis juga. Kita ingat komentar Tomas waktu Yesus bilang, “Yuk, kita ke Yerusalem”, Tomas bilang, “Yuk, kita mati bareng Dia”. Ini kalimat sarkastis, “Oke kita ke Yerusalem, habis itu kita mampus” –seperti parafrasa Chairil Anwar, “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Jadi, Yerusalem dalam ingatan mereka kesannya traumatis banget, tapi mereka disuruh kembali ke sana, ke tempat yang menimbulkan luka itu, ke tempat yang traumatis itu. Bukan untuk mengorek-ngorek koreng mereka supaya berdarah lagi dan lebih sulit sembuh, melainkan untuk mereka menyaksikan bahwa di Yerusalem tidak hanya bisa ada pertumpahan darah, bukan hanya ada ‘orang yang tidak bersalah, dibunuh’, bukan hanya ada ‘kekuasaan menjadi kelaliman’, tetapi bisa ada sesuatu yang berbeda –dan mereka kembali ke sana. Waktu mereka kembali ke sana, kembalinya adalah dari Bukit Zaitun.
Sampai hari ini, orang Yahudi memahami Bukit Zaitun sebagai kuburan. Alasannya di situ jadi tempat berdoa, salah satunya adalah karena di situ banyak orang mati. Di situlah destiny of man –bagi sebagian orang– menjadi bangkai, berakhir di situ. Orang-orang Romawi juga memahaminya begitu, sebagaimana lagu mereka “Gaudeamus igitur” –bersukacitalah– demikian dikatakan kepada anak-anak muda, “Bersukacitalah sebelum tanah mengklaim kita”. Jadi destiny of man bagi orang Romawi adalah kubur, kembali menjadi tanah, mampus; dan sementara itu belum terjadi, bersukacitalah, nikmatilah hari ini —carpe diem. Tapi apakah itu yang menjadi satu ingatan yang menuntun hidup murid-murid Yesus? Kemungkinan iya. Tetapi Tuhan melakukan sesuatu sehingga mereka tidak menjalani jalan itu. Mereka kembali ke Yerusalem bukan dengan sarkastis “untuk mati”, melainkan karena Tuhan ingin mereka kembali ke Yerusalem untuk memulai suatu zaman baru, untuk memulai menghidupi suatu kemungkinan-kemungkinan baru di antara anak-anak manusia. Mereka kembali dari Bukit Zaitun, yang secara tradisional adalah tempat untuk mengubur orang, tempat untuk mengistirahatkan terakhir anak-anak manusia. Orang-orang Yahudi mengharapkan sampai hari ini, bahwa 150 ribu kuburan di Bukit Zaitun itu akan terbuka ketika Malaikat Tuhan berdiri di sana –sesuai nubuatan dari Zakharia (pasal 14:4)– memecah bukit itu jadi dua dan memulai penghakiman dari antara orang mati. Memang wajar juga bahwa penghakiman dimulai dari tempat orang-orang dikubur, karena memang orang-orang mati di kuburan dibangkitkan terlebih dahulu, baru kemudian seluruh dunia akan dihakimi –itulah akhir zaman. Bukit Zaitun adalah simbol dari akhir zaman bagi orang Yahudi, di situlah mulainya zaman yang baru. Dalam hal ini, apa yang terjadi pada Yesus –yaitu Dia terangkat di Bukit Zaitun– secara simbolis menyatakan akhir zaman itu sudah datang. Yesus sudah terangkat ke surga, sekarang inilah hidup kita masih berlanjut di dalam zaman yang baru –dan zaman yang baru ini dimulai dengan “mereka masuk ke Yerusalem untuk berdoa”. Mereka bukan berdoa di luar Yerusalem tapi di dalam Yerusalem, di pusat kekuasaan, di tempat di mana banyak orang, di tempat di mana mereka melihat wajah-wajah orang-orang yang menyalibkan Yesus –yang di dalam pikiran orang-orang yang mengharapkan datangnya kerajaan Allah dengan cara-cara orang Yahudi normal, sepertinya itu adalah ingatan kekalahan. Tetapi bukan demikian rupanya, karena kematian Yesus bukan kekalahan, itu adalah sesuatu yang berbeda.
Mereka kembali ke sana, kembali ke tempat yang sama. Bayangkan, mereka mencium aroma yang sama dari tempat yang pernah disewa oleh Yesus, ketika mereka merayakan perjamuan Paskah di sana lalu Yesus mengatakan, “Aku berjanji tidak akan minum lagi dari pokok anggur ini sampai kerajaan itu datang kembali” –dan mereka kembali ke ruangan itu. Mendengar derit pintu yang sama, mencium aroma yang sama, masuk ke ruangan yang sama, untuk berdoa. Mendoakan apa kira-kira? Kurang lebih mereka tidak mendoakan, “Tuhan, pakailah kami untuk melakukan hal-hal yang besar”. Mereka bukan mendoakan, “Tuhan, ambillah nyawa Kayafas, Imam Besar itu; Tuhan, hancurkanlah Romawi yang dengan kurang ajar sudah membunuh Guru dan Tuan kami”. Bukan itu yang mereka doakan, saya kira, tapi medoakan apa yang diajarkan Tuhan Yesus sendiri, “Jadilah Tuhan, kehendak-Mu di bumi seperti di dalam surga” –karena kehendak Tuhan selalu terjadi di surga, tapi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi di bumi; dan karena Yesus sudah kembali ke surga, maka mungkin saja sekarang kehendak Tuhan itu dijadikan di bumi. Mereka medoakan itu di kamar atas yang sama, tempat beberapa hari sebelumnya mereka merayakan Paskah bersama dengan Yesus.
Selanjutnya, dengan cara bagaimana Tuhan memakai mereka? Kita tidak diberitahu pada poin ini –kita akan tahu dalam pasal-pasal berikutnya– tapi yang pasti, mereka memulai dengan berdoa, mereka memulai dengan menunggu, mereka tidak langsung do something.Kita ini, orang modern, punya eskatologi progres, yaitu “kita yang akan maju, kita yang akan mengubah, kita yang akan menjadikan dunia ini baru.” Barangkali itulah yang ada dalam benak para pendiri Amerika ketika mereka mengeluarkan slogan yang sampai hari ini tercantum dalam lembaran uang dolar, “Novus ordo seclorum”, ordo/tatanan dunia baru –yang dicuplik separuh oleh fan boy Amerika yang pernah memimpin Indonesia 32 tahun itu jadi “Orde Baru”.
Manusia mendirikan ordo di dalam dunia ini; dan ordo yang didirikan itu adalah sebagaimana digambarkan Yesus akan pemerintah yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih pandai, lebih berkuasa, yang bisa membuat orang lain melakukan kehendaknya –mereka memerintah atas orang-orang dengan kejam. Itulah yang dilakukan orang-orang Romawi. Itulah yang dilakukan orang-orang Yunani. Itulah yang dilakukan orang-orang Mongolia. Itulah yang dilakukan orang-orang Inggris atas India, orang-orang Belgia atas tempat-tempat tertentu di Afrika, dst., dst. Itulah yang dilakukan manusia atas manusia-manusia yang lain, menaklukkan mereka, sehingga terjadilah kehendak manusia itu atas orang banyak.
Tuhan memberikan kabar soal berakhirnya ordo itu, dan mulainya ordo yang baru. Namun dalam ordo yang baru ini tidak terjadi manusia yang satu menaklukan manusia lain; lalu terjadi apa? Manusia yang satu, menjadi penolong bagi manusia yang lain. Ini bukan demokrasi (sebetulnya pada zaman dahulu “demokrasi” yang disebut Plato bukan demokrasi republik seperti zaman kita, melainkan populisme, pemerintahan oleh orang-orang yang teriak-teriak ‘gak jelas, mobokrasi; mirip seperti kalau di zaman kita, orang mengandalkan medsos lalu meng-cancel satu sama lain, dan yang massanya paling banyaklah yang akan menang, tidak ada argunentasi, tidak ada perundingan, tidak ada reason yang dikedepankan) –ini bukan demokrasi sebagaimana pengertian Plato, mobokrasi atau populisme. Ini juga bukan otokrasi atau aristokrasi (pemerintahan oleh segelintir orang yang kuat karena mereka bisa menaklukan sebagian besar orang). Ini bukan pemerintahan seperti yang dikritik oleh Yesus, yaitu pemerintahan Romawi, Yunani, Mongolia, China, Inggris, dan apapun yang dapat disebutkan. Ini adalah pemerintahan Seorang Sahabat yang mati bagi sahabat-sahabat-Nya. Ini adalah pemerintahan suatu ordo/tata kekuasaan, di mana manusia yang satu menjadi penolong bagi manusia yang lain, bukan penakluk atas manusia yang lain.
Novus ordo seclorum itu, tata dunia baru itu –percaya atau tidak– orang-orang Kristen ini adalah saksi dari datangnya ordo dunia baru itu, orde baru itu. Orde baru yang tidak didirikan dengan bedil dan lars, yang bukan didirikan di atas air mata ibu-ibu yang anaknya diculik, serta darah dari orang-orang yang ditindas –bukan itu– tetapi di atas apa yang Tuhan kerjakan di kayu salib, di atas apa yang terjadi di kuburan yang sekarang kosong itu, dan di antara para saksi. Dalam realitas tak terlihat, secara internal mereka menjadi orang-orang yang berbeda. Petrus, Yohanes, Yakobus –dan epitomia barangkali Saulus– menjadi orang-orang yang berbeda karena datangnya tata pemerintahan baru itu. Mereka memerintah ciptaan ini secara berbeda, dan menghadirkan pengalaman hidup yang berbeda, sebuah dunia yang berbeda. Dan, itu tidak dimulai dari doa, “Tuhan, jadikan saya besar; Tuhan pakailah saya lebih besar dari dia atau mereka”, melainkan dimulai dengan, “Tuhan, jadilah kehendak-Mu, apapun itu, di bumi seperti di dalam surga” –karena kehendak Tuhan bisa jadi dengan banyak cara, tidak cuma satu cara.
Mereka berdoa, mereka menanti. Mereka bukan rapat bikin program. Mereka berdoa dan menanti di Yerusalem, bukan di Bukit Zaitun, dan kemudian terjadi sesuatu. Ada indikasi perkumpulan itu menjadi makin banyak. Ada 120 orang berkumpul di sana waktu Petrus berdiri (ayat 15). Entah dari semula sejumlah itu atau baru kemudian secara bertahap jadi 120 orang itu, kita tidak diberitahu oleh Lukas secara pasti; tetapi jumlah 120 dari orang-orang yang menangis karena Gurunya dan Tuannya sudah dibunuh oleh orang Romawi sehingga mereka tercerai-berai, saya kira bukanlah hal yang terlalu buruk, saya kira ini satu pertanda yang baik. Saudara bisa bayangkan, orang-orang yang menyaksikan Yesus terangkat, tiap hari berdoa dan berkumpul di Yerusalem di ruang yang disewa Yesus (mungkin uang sewanya untuk 1-2 bulan sehingga mereka tinggal lanjutkan), dan masih ada 120 orang bersama mereka yang berdoa dengan sehati tiap-tiap hari, termasuk Maria ibu Yesus, termasuk saudara-saudara Yesus yang dulu pernah ingin menjemput Yesus karena menyangka Dia sudah gila. Pada momen itulah, suatu hari Petrus berdiri di tengah perkumpulan itu, dan mengatakan, “…haruslah genap nas Kitab Suci”. Apa nas Kitab Suci yang dimaksudkan Petrus, yaitu bahwa ada bagian dari ordo yang lama, yang harus jabatannya diberikan kepada orang lain. Ini menyitir Mazmur 109:8, dan itu merujuk kepada Yudas tentunya.
Kenapa kita bisa katakan bahwa Yudas adalah bagian dari ordo yang lama? Karena Yudas adalah orang yang berkolaborasi dengan pemimpin-pemimpin Bait Suci. Dia menyerahkan Yesus untuk 30 keping uang perak. Kenapa? Karena –sebagaimana dalam setiap pertukaran– apa yang diberikan oleh orang itu menguntungkan bagi dirinya. Misalnya kamu bawa uang 3 juta rupiah ke toko arloji, kira-kira setelah terjadi transaksi kamu senang, atau sebelum terjadi transaksi kamu senang? Tentu setelahnya. Kalau tidak terjadi transaksi, misalnya arloji yang kamu mau beli sudah habis padahal sudah ngantri-ngantri, happy ‘gak? Tidak happy ‘kan. Jadi waktu Saudara kehilangan duit, justru Saudara happy; kenapa? Karena barang yang dibeli lebih berharga buat Saudara daripada duitnya. Lalu yang terima duit, happy ‘gak? Happy, karena bagi dia lebih berharga duitnya daripada barangnya. Buat Yudas, lebih berharga duitnya daripada Yesus; dia tukar Yesus demi duit itu. Tapi setelah dia menerima duit itu –menurut catatan Matius dan juga Lukas–Yudas nyesel, baru dia tahu apa yang telah dia lakukan, namun sudah tidak bisa dikembalikan.
Yudas mengembalikan uang 30 keping perak itu, tapi Sanhedrin tidak mau menerima. Uang tersebut tidak diterima di peti persembahan Bait Suci. Para pemimpin, umat Tuhan yang menyerahkan Yesus itu, mengatakan, “Ini uang darah”, maka mereka memakainya untuk membeli sebuah kuburan –dan inilah menariknya– yaitu sebuah kuburan untuk orang-orang asing. Ini mengingatkan kita kepada Abraham. Sebagai orang asing di tanah yang bukan miliknya tapi yang dijanjikan Tuhan, Abraham membeli sebuah kuburan untuk istrinya dengan sejumlah uang yang besar sekali; sebuah kuburan yang kemahalan, dibeli Abraham untuk dirinya sebagai orang asing, karena dia tidak ada tempat untuk menguburkan istrinya. Di sini ada satu twist, yaitu: pengkhianatan Yudas, menghasilkan dia menerima sejumlah uang yang cukup besar, yang kemudian dia tidak mau terima –padahal tadinya dia anggap berharga– lalu itu menyebabkan si sumber uang tersebut, Sanhedrin, yang tadinya tidak mau membeli sebidang tanah untuk kuburan orang asing, sekarang membeli sebidang tanah untuk kuburan orang asing. Artinya, pengkhianatan Yudas accomplish sesuatu yang Tuhan mau ada di bumi ini seperti di surga. Tuhan itu sudah kepingin ada di bumi suatu realitas seperti di surga, bukan sejak Kristen muncul melainkan sebelumnya, yaitu waktu Israel muncul. Israel diberikan Taurat; dan di dalam Taurat diberikan banyak sekali aturan (613 langkah diberikan di sana), supaya terjadi –kalau itu dilakukan manusia– di bumi seperti di surga. Tapi manusia tidak bisa lakukan itu; dan salah satu yang tidak dilakukan adalah: keramahtamahan bagi orang asing, keramahtamahan bagi yang non-Yahudi. Di Yerusalem orang asing tidak bisa menguburkan kerabat yang meninggal dalam properti orang Yahudi –atau lebih tepatnya, Bait Suci. Tidak ada tempat untuk itu, karena orang Yahudi menganggap seluruh dunia melawan Yahudi, melawan Bait Suci, jadi kalau bisa biar mereka mampus dimakan anjing saja, tidak dikubur. Tetapi, kematian Yesus membuat mereka terpaksa menyisihkan 30 keping perak, membuat suatu tempat yang ramah untuk bangkai orang-orang asing yang tidak punya tanah air. Ini persis kebalikan dari Abraham yang harus membeli dengan uangnya sendiri yang kemahalan, untuk istrinya; bahwa yang dilakukan Tuhan –bahkan melalui kematian si pengkhianat, Yudas– adalah kebalikannya.
Kalau kita mau elaborasi ini lebih lanjut, menarik juga, karena ini mengacu kepada satu hukum yang tertera dalam Keluaran 21:32 mengenai 30 uang perak itu, bahwa itu adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan seorang pemilik sapi kalau sapinya bikin mati seorang budak. Jadi harga seorang budak menurut orang Yahudi, kalau tidak sengaja tertanduk sapi, adalah 30 keping perak. Sapi di sini bisa kita analogikan dengan “yang membunuh”, yaitu Romawi; Romawi sebenarnya tuan, tapi sekarang jadi sapinya Sanhedrin, menjadi alat. Kita tahu, dalam politik tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan, opportunity; tidak ada kawan abadi, tidak ada koalisi abadi, itu slogan iklan. Bagaimana dengan perkawanan antar manusia? Kalau di antara manusia yang fana dan rapuh ini, dengan manusia yang fana dan rapuh yang lain, diikatnya hanya oleh kepentingan, alangkah sedihnya, sebab kita ini ada sebentar lalu kita mati, padahal kita punya kesempatan untuk ada sebentar dan indah seperti bunga sebelum kita mati menjadi bangkai, kita bisa menjadi seindah bunga yang sementara itu. Kembali ke kematian Yudas, ini mempersaksikan bagaimana Sanhedrin, orang-orang yang dijajah ini, underdog ini, minoritas ini, tidak punya duit sebanyak Romawi dan tidak punya kuasa sehebat Romawin, tapi bisa memperalat Romawi, memelintir kelingkingnya –Pontius Pilatus– untuk melakukan kehendak mereka. Mungkin Romawi sampai berhitung, “Yah, gua sedikit kehilangan muka –tapi anyway mukanya Pontius Pilatus– jadi ya, sudah deh, daripada kehilangan duit lebih banyak dengan operasi militer dan beresiko bikin Yudea bersatu membangkang Romawi sehingga nanti butuh duit lebih banyak lagi untuk hancurkan mereka, ya sudahlah, ngalah sedikit pada mereka, serahkan Yesus, perlakukan Dia seperti yang engkau rasa baik”. Tetapi dengan cara itu –justru menariknya– Romawi jadi sapi, Sanhedrin jadi pemilik sapi, untuk menanduk Yesus sampai mati. Lalu yang dapat konmpensasi siapa? Yudas. Yudas seolah-olah yang menjadi si pemilik budak, yang menjual budak “Yesus”, mendapatkan 30 keping uang yang dia tidak bisa pakai setelah melihat dengan mata kepala sendiri –dan barangkali juga mendengarkan–Yesus mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia, serta bagaimana mereka menyiksa Yesus. Yudas tidak bisa telan itu, lalu dia kembalikan uangnya kepada Sanhedrin; dan Tuhan berbalik memelintir kelingking –atau lengan, atau kepala– dari Sanhedrin, untuk melakukan kehendak-Nya. Bukan dengan cara Romawi memelintir lengan penduduk Yudea untuk membayar pajak, tapi dengan cara-cara yang soft, indah. Pada akhirnya, Sanhedrin melakukan kehendak Tuhan yang mereka sudah utang lama sekali, yaitu memberi keramahtamahan kepada orang-orang yang memusuhi mereka, orang-orang asing, walaupun dalam bentuk yang paling simpel yaitu memberi tempat untuk dikubur. Barangkali itu titik mula yang baguslah; sebelum memberi tempat untuk hidup, sekarang memberi tempat untuk bangkai, ya agak mending jugalah, karena dulu untuk bangkai pun mereka tidak beri tempat.
Lalu, untuk menggenapi nas Alkitab, Mazmur 109:8, bahwa jabatan Yudas harus diberikan kepada orang lain, apa yang harus dilakukan? Inilah yang dikhotbahkan Petrus; Petrus mengatakan, “Ya, dia dulu berkumpul bersama kami, melayani bersama kami”, dan menariknya Petrus mengatakan, “… dari baptisan Yohanes sampai Yesus terangkat ”. Petrus tidak menghitungnya sampai Yesus mati; kenapa? Saya kira, karena Yesus mati bukanlah akhir, soalnya Injil bukan cerita tragedi. Dalam cerita tragedi, kalau jagoannya mati, itu memang pas sebagai akhirnya; di film-film, setelah jagoannya mati, langsung keluar credit title. Dan, cerita tragedi sering kali lebih mendalam, lebih menarik, lebih membekas –sebab “hidup itu tragis” sebagaimana Miguel de Unamuno katakana– jadi barangkali kita lebih suka film-film tragis. Tapi, film-film tragis tidak ada redemption-nya, “hidup ya, begitu, mau apa lagi, ya sudah, kita bertahan hidup saja”, bukan cerita yang terlalu mengobarkan hati. Sebagian orang lagi mungkin lebih menyukai cerita yang lain, yaitu membaca Injil sebagai nonton sepak bola di mana kesebelasan Saudara menang –nonton grup Saudara menang itulah cerita Injil. Tapi ini juga bukan ceritanya, karena Petrus tidak mengatakan, “Yudas ini bersama kami melayani sampai kebangkitan Tuhan”. Orang-orang Kristen mula-mula, tidak melihat kebangkitan Yesus sebagai akhir babak Yesus. Akhir babak Yesus adalah Yesus terangkat ke surga. Apa signifikansinya? Kalau diakhiri dengan kebangkitan, ini jadi cerita “nonton sepak bola di mana grup kesebelasan Saudara menang”, hore-hore, merayakan sesuatu. Tapi, orang skeptis kayak saya akan bilang, “Merayakan apa sih sebenarnya??” Merayakan orang lain menang, merayakan orang lain dapat bonus sampai bisa beli rumah 10 atau apapun, merayakan grup sponsor sehingga tahun depan bisa perpanjang kontrak dengan grup itu, dsb.; tapi ini merayakan apa sebenarnya?? Kalau grup sepak bola Saudara menang, itu ‘kan sebenarnya random saja, jadi merayakan apa?? Merayakan grup yang satu mencetak gol lebih banyak daripada yang lain?? Tetapi, yang dirayakan dalam Injil, bukanlah cerita “nonton sepak bola di mana grup kesebelasan Saudara menang”. Yang dirayakan adalah: Yesus terangkat ke surga. Itulah Injil yang kita hidupi, yaitu kelahiran Yesus, disusul dengan karya Yesus, kematian Yesus, kebangkitan Yesus, dan sampai Yesus terangkat ke surga. Ini penting, karena cerita Yesus yang diakhiri dengan Yesus terangkat ke surga, adalah cerita yang bukan sekadar penuh kemenangan sementara penontonnya pasif, melainkan cerita penuh kemenangan dan penontonnya diundang untuk melanjutkan ceritanya. Itulah yang terjadi dengan kisah Injil. Diakhiri dengan Yesus terangkat ke surga, dan hidup harus berlanjut, pelayanan ini harus berlanjut. Kalau diakhiri dengan Yesus bangkit, Yesus sudah menang, kebenaran menang atas kejahatan, dan selesai, maka jabatan yang ditiinggalkan Yudas tidak perlu diganti; kenapa? Karena kita tidak perlu ngapa-ngapain lagi. Tapi tidak demikian. Mereka perlu ngapa-ngapain, mereka perlu menghidupi hidup dalam tata dunia baru, dalam Novus ordo seclorum itu. Dan, apa yang harus mereka lakukan, itu harus mereka lakukan berdua belas, demikian dalam pikiran Petrus, karena ini mewakili 12 suku Israel, mewakili Israel yang baru.
Israel yang lama, terlalu fokus pada dirinya sendiri, terlalu self-centered, terlalu nasionalistis; tetapi Israel yang baru internasionalistis, dari berbagai bangsa, suatu liga bangsa-bangsa, perkumpulan yang terdiri bukan hanya dari satu bangsa. Kristen tidak tribalistis, tidak nasionalistis; Kristen itu internasionalistis. Kristen mengakui bahwa umat manusia semuanya bersaudara, apapun bangsanya; dan semua umat manusia bersaudara dalam pembangkangannya terhadap Tuhan, tapi juga dalam pengharapan yang dimiliki di dalam Yesus. Tidak ada beda antara orang Barbar, orang Skit, maupun orang Yunani. Tidak ada beda antara orang laki-laki dan orang perempuan. Tidak ada beda antara budak dan tuan. Semuanya itu relatif.
Tapi apakah semuanya relatif bagi kita? Mungkin tidak. Mungkin buat kita, “harus”. Kita sering dengar orang mengatakan, “Kenapa harus … ?” Misalnya, kenapa harus beli X di toko Y, kenapa harus menyekolahkan anak di sekolah A, kenapa harus bergereja di gereja S, dan apapun lainnya. “Kenapa harus” ini, kita musti hati-hati, “kenapa harus” ini, menandai apa yang absolut buat kamu. Memang biasanya orang menggunakan ini sebagai slogan marketing, tidak benar-benar harus, tapi bisa juga ini merupakan Freudian slip, mewakili realitas yang kita yakini, yang kita menganggapnya “harus”. Misalnya, “harus dominan, harus macho, harus bisa menaklukan”; dan ini berarti harus cowok daripada cewek, harus punya anak cowok dan tidak harus punya anak cewek. Beberapa orang mengatakan ini urusan kultural saja, tapi bagi saya tidak, bagi saya itu jahat, evil, bagian dari ordo dunia lama karena cowok dianggap lebih tinggi daripada cewek. Misalnya lagi, “harus bangsa A atau bangsa B” ; tidak ada yang harus di sana, Tuhan menciptakan segala bangsa. Misalnya juga, “harus kuliahnya di MIT dan bukan di MIT versi KW”; itu tidak harus, kalau ada ya good for you, kalau bisa ya good to have. Tapi kalau tidak pun, tidak terlalu apa-apa, tidak terlalu masalah, sebab Tuhan itu menciptakan dari dinosaurus sampai semut, dan semuanya berguna dalam kerajaan Allah. Saya bukan celebrating mediocrity dalam arti “jadilah payah, jangan berjuang jadi excellent”, tapi saya mau bilang, bahwa ada orang yang nafas doang saja persoalan Trigonometri di hadapan dia terpecahkan karena dia berbakat Matematika, ada orang yang bergadang sampai 3 malam pun tetap bego Matematika-nya. Siapa yang bikin begitu? Orang itu kurang rajin? Bukan. Yang bikin begitu adalah Tuhan, in a way –kalau begonya sampai keterlaluan, ya mungkin juga bukan Tuhan. Tapi poin saya, orang itu beragam. Kalau saya diadu di Oktagon, saya jamin tidak ada premi asuransi yang mau menanggung soalnya kemungkinan matinya mendekati 100%, tapi ada orang-orang yang kayaknya nafas doang sudah kekar, seperti banteng, susah dikalahkan. Jadi, saya kira yang bikin orang begitu, di antaranya adalah Tuhan; lalu apa bagian kita? Bagian kita adalah merayakan, bersyukur, bergembira. Tidak ada yang harus di sini; ada yang harus juga, yaitu harus bersyukur, harus merayakan, harus melihat keindahan. Hanya saja kita menyempitkan kriteria “bersyukur” kita. Kita bersykur kalau ada orang-orang seperti XYZ, yang sebetulnya kriterianya kecil banget, membosankan banget, gitu-gitu aja. Orang bilang, “Selamat ya, Jeng, anakmu sudah jadi orang”; yang namanya jadi “orang”, itu jadi apa? Seringkali maksudnya jadi kayak Jeff Bezos –dari dosen mentereng di Standford, lalu buka toko buku, lalu sekarang toko bukunya tidak cuma jualan buku– seakan-akan ini orang yang berhasil mewujudkan mimpinya out of nothing, from nobody to somebody, from zero to hero, maka, “Selamat ya, Jeng, anakmu sudah jadi orang” –dulu kamu melahirkan monyet. Saya kira itu narasi yang keliru, itu penyembahan berhala. Tidak ada yang “harus” dengan itu semua; it’s good to have. Kalau kamu bisa, kamu harus wujudkan, karena Tuhan memang titipkan itu.Tuhan bikin dinosaurus yang lahir sebagai bayi dinosaurus, tapi Tuhan tidak kepingin misalnya kelinci jadi dinosaurus; membosankan sekali kalau dunia ini isinya semua dinosaurus, lagipula dinosaurus pun jenisnya banyak koq. Jadi, saya kira kita musti lebih open minded terhadap keragaman dan berhati-hati dengan keharusan. Dalam dunia ini sangat sedikit yang harus; dan yang harus, seringkali kita tidak haruskan. Misalnya apa yang harus? Yaitu ini: kamu bukan Tuhan; Tuhan ada tapi kamu bukan Tuhan. Tuhan ada, dan kamu bukan Tuhan; ini harus kita pegang.
Kejahatan itu nyata, tapi jelas ada pengharapan, sebab Yesus sudah bangkit dan Yesus sudah naik ke surga, memerintah dari sana, menggerakkan kita dengan Roh yang sama, dengan Roh yang ada dalam diri-Nya, untuk menghidupi kehidupan sebagai saksi dari datangnya langit dan bumi yang baru. Kehendak Tuhan bisa, mungkin, realistis, untuk dilakukan sekarang dan di sini, tidak perlu menunggu Tuhan Yesus datang kembali. Itu harus kita percaya kalau kita mau menyebut diri sebagai Kristen.Itulah inti dari iman kita. Inti business yang ingin dilanjutkan oleh Petrus, business yang ada satu kursi kosong karena Yudas sudah mati, adalah business “menjadi saksi kebangkitan”.
Menjadi saksi, artinya apa? Bukan sekadar mengatakan kalimat syahadat tertentu; menjadi saksi kebangkitan artinya menghidupi hidup dengan satu keyakinan bahwa tata dunia baru itu sedang berlangsung; hal-hal tertentu relatif, hal-hal tertentu absolut –itulah artinya menjadi saksi kebangkitan. Menghidupi hidup seolah-olah –dan ini bukan seolah-olah tapi sebenarnya–kasih menang atas kejahatan, pengampunan menang atas pembalasan dendam. Menghidupi hidup seolah-olah yang kecil itu berarti, yang besar itu bukan Tuhan. Menghidupi hidup seolah-olah Tuhan itu adalah Raja. Itulah panggilan kita sebagai saksi dari datangnya Kerajaan Allah.
Namun kadang-kadang Gereja memang fokus pada Injil yang tragis saja, “Yesus sudah mati bagimu” itu yang diberitakan, lalu titik. Yesus mati bagimu. Lalu? Berarti ada lho yang mencintai kamu. Lalu? Itu sesuatu bangetlah, kamu dicintai, diterima as you are. Oke, good; tapi ya orang jahat tetap berkuasa, tapi ya dalam dunia ini tetap ada ketidakadilan, tapi ya dunia ini tetap berjalan sebagaimana dunia berjalan seolah-olah Tuhan sudah mati. Itu saja. Yang demikian bukan Injil —Tuhan-nya mau menghapus kejahatan, menangisi kejahatan, tetapi tidak berdaya. Atau yang kedua, yang juga bukan Injil, yaitu Tuhannya menang, jadi kamu kalau mau menang, ya harus berjuang seperti Yesus, harus jadi seperti Yesus. Kamu akan menderita seperti Yesus, sih, tapi akan menang seperti Yesus juga; kenapa, yaitu karena kamu berjuang. Yang demikian saya kira keliru juga; ini Injil Nietzschean mungkin, intinya adalah perjuangan, karena segala spesies berjuang bersama-sama menuju satu puncak yang sama, dan yang kalah akan terlupakan, musnah. Saya kira itu bukan Injil Yesus Kristus, itu injil Nietzsche atau injil Darwin barangkali. Lalu Injil Yesus itu apa? Injil Yesus adalah Injil yang merayakan penciptaan dalam segala keragamannya, dan bahkan merayakan penebusan yang sebegitu rupa menyaksikan kasih Allah bagi segenap makhluk. Itu bisa kita lihat di dalam apa yang terjadi di Golgota, apa yang terjadi di kubur yang kosong, apa yang terjadi di Bukit Zaitun, dan ini: apa yang terjadi di antara Gereja, mulai dari Yerusalem, sampai Yudea, sampai Samaria, sampai ke ujung bumi.
Hal itu disadari Petrus sehingga dia mengatakan, “Ya, kita harus move on, Yesus udah naik ke surga, kita tidak di sini untuk menatap ke langit terus dan tunggu kapan Dia datang. Pekerjaan kita adalah melakukan pekerjaan yang Dia tinggalkan, karena Yesus memerintah sekarang dari sana, dan kita ada di bawah sini untuk melakukan kehendak-Nya, supaya terjadi di bumi ini seperti di dalam surga –maka Yudas harus ada gantinya”. Lalu siapakah gantinya Yudas? Ada 2 kandidat yang mereka pilih. Pertama Yusuf, yang sepertinya lebih dikenal banyak kalangan, karena namanya ada nama Ibrani (Barsabas), nama Yunani (Yusuf), nama Romawi (Yustus). Yang kedua sepertinya orang yang kurang banyak dikenal, namanya Matias –itu saja. Mereka berdoa, mereka membuang undi; dan yang kena undi adalah Matias. (Sedikit penjelasan mengenai berdoa dan membuang undi untuk mencari kehendak Tuhan di bagian ini: tidak ada indikasi Lukas mengatakan Tuhan menyuruh Petrus membuang undi untuk memilih; jadi di sini tidak dibilang “boleh”, tidak dibilang “tidak boleh”, tidak dibilang “bagus”, apalagi “lu harus mengikuti teladan Petrus”. Jadi misalnya mencari pengganti pengurus/diaken, lalu kita buang undi? Kayaknya tidak begitu. Tetapi ini juga sesuatu yang tidak dipersalahkan, mungkin karena keadaan waktu itu).
Yang terkena undi adalah Matias, Mr. Nobody, yang juga tidak disebut-sebut lagi, kita tidak tahu bagaimana kelanjutan ceritanya; tapi yang pasti ceritanya berlanjut, itu yang paling penting, tidak penting siapa yang melanjutkan. Siapa figur sentralnya tidak penting sama sekali, yang penting adalah cerita apa yang berlanjut, dan apakah ceritanya berlanjut. Dan, dalam kisah itu, saya kira memang datang Kerajaan Allah dalam dunia ini, dalam prosesnya adalah ketika muncul saksi-saksi yang bersaksi dalam Kisah Para Rasul, yang akan kita lihat dalam bulan-bulan mendatang.
Kita melihat penyertaan Roh Kudus di tengah murid-murid-Nya sementara mereka menyebarluaskan kesaksian soal datangnya pemerintahan jenis yang baru ini, yang sebetulnya sudah dijanjikan kepada Abraham, di tengah mereka, di tengah orang-orang baik yang memiliki pengharapan mesianik, baik orang Yahudi maupun mereka yang sama sekali tidak mengenal Allahnya orang Yahudi, yaitu orang-orang Romawi. Bahkan terakhirnya, orang-orang Yahudi sendiri pun mengakui hal ini. Mereka mengatakan, “Dunia ini sudah ada orang-orang Yahudi 3000 tahun lebih, tapi berapa sih jumlah penganut agama Yahudi? Tidak banyak.” Lalu rabi Yahudi itu mengatakan, “Namun demikian, dunia ini selama 1500 tahun pertama orang Yahudi hadir, berapa banyak sih penganut monoteisme? Tidak banyak.” Seluruh dunia boleh dibilang semuanya bukan monoteis, mereka percaya ilah-ilah banyak. Tapi sekarang, berapa penganut monoteisme? Rabi tadi bilang, “Mayoritas.” Mayoritas orang yang percaya ada Tuhan, Tuhan-nya itu monoteis. Itu sesuatu yang kira-kira orang Yahudi ini bilang, “Itu jasanya siapa, itu karena apa??” Apakah itu karena pekerjaan orang-orang Yahudi? Jawabannya: bukan. Karena, mungkin seperti yang Yesus katakan, orang Farisi pergi sampai ke seberang lautan untuk mempertobatkan satu orang, tapi dia sendiri menghalangi orang itu untuk masuk kerajaan surga. Jadi, bukan karena pekerjaan orang-orang Yahudi sendiri, bahwa banyak bangsa dalam dunia ini percaya kepada Allah yang satu, melainkan terlebih adalah karena pekerjaan Tuhan di tengah para saksi kebangkitan Yesus, yang dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang memusuhi Yesus, Petrus, dan murid-murid Yesus yang lain. Intinya adalah: apa yang Tuhan kerjakan di sini adalah sesuatu yang NYATA, sedemikian sampai orang yang bukan Kristen pun mengakui hal itu, bahwa ada sesuatu yang terjadi di tengah-tengah kita. Dan, itu tidak dimulai dari diri kamu, bukan dimulai dari diri saya, itu dimulai dari Tuhan sendiri, di luar ekspektasi siapa pun, 2000 tahun yang lalu, menggenapi apa yang Tuhan sudah janjikan 3500 tahun yang lalu kira-kira, kepada seseorang di tanah perjanjian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading