Selamat Hari Natal. Waktu kita memaknai Kalender Gereja dengan benar, bukan secara takhayul, kita akan mendapatkan makna yang sesungguhnya dalam kehidupan kita. Di dalam konteks pelayanan Paulus, ada orang yang berpendapat hari yang satu lebih baik daripada hari yang lain, mereka memelihara hari-hari tertentu dan memperingatinya –yang kalau dalam konteks modern bisa dikatakan “Kalender Gereja”– tapi ada juga yang menganggap semua hari sama saja. Menariknya, Paulus mengatakan, “Hendaklah tiap-tiap orang yakin dengan dirinya”. Paulus tidak bilang yang merayakan hari-hari tertentu itu salah –atau yang merayakan Natal itu salah– atau yang tidak merayakannya yang salah; bagi Paulus itu adalah hal yang relatif, bukan substansial.
Dalam kaitan ini, kita mau merenungkan Kolose 2:6-9, dengan penekanan ayat 9, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan”. Ini satu tema yang diambil dari pilihan ayat-ayat yang dikhotbahkan pada Natal. Biasanya dalam Natal sering dikhotbahkan ayat-ayat dari Injil Lukas atau Matius yang memang ada narasi Natalnya, sementara Injil Yohanes sangat filosofis menariknya sampai ke penciptaan dan tidak terlalu ada cerita Natal, apalagi ayat seperti dalam Kolose ini –meskipun bukan tidak ada ayat-ayat yang berkait dengan Natal.
Kalau kita membaca profil teologi Kolose, ayat ini memang tidak bicara langsung tentang Natal dalam arti kelahiran Kristus, tapi terutama ayat 9 tadi boleh kita kaitkan dengan Natal, bahwa di dalam Kristus berdiam secara jasmaniah (bodily, sōmatikós) seluruh kepenuhan ke-Allahan. Aspek fisik, material, tubuh, ditekankan di bagian ini. Ini paradoks, dan bukan tanpa kritik; dalam hal ini, ada satu istilah sindiran orang Lutheran terhadap orang Reformed, namanya “extra calvinisticum”. Ini soal pandangan tentang dua natur Kristus yang lumayan rumit dalam perdebatan Kristologi, bahwa tubuh itu terbatas, Pribadi Kristus secara natur manusia-Nya memang terbatas (misalnya: waktu Yesus di Yerusalem, secara natur manusia Dia pasti tidak ada di Jakarta; waktu Yesus bayi, Dia terbatas sebagai bayi di Betlehem, dan tidak sekaligus ada di istananya Herodes), tetapi Kristus secara natur ilahi-Nya mahahadir, karena waktu Dia berada di dalam dunia, Dia tidak kehilangan keilahian-Nya, Dia sepenuhnya ilahi. Ini paradoks, sulit, dan bukan tanpa bahaya merenungkan hal seperti ini. Lalu dalam pemikiran sebagian orang Reformed (termasuk yang Saudara bisa baca dalam Katekismus Heidelberg), ini berarti ada yang extra, yang meluap keluar; di dalam keterbatasan secara jasmaniah, yang memang Yesus hadir hanya di situ, tapi menurut natur keilahian-Nya, yang terbatas ini tidak bisa menampung yang tidak terbatas, sehingga ada yang meluap keluar –dan inilah yang namanya pandangan ‘extra’. Orang Lutheran kemudian menyindir, ‘bagaimana sih teologi koq kayak begini, sekaligus terbatas dan tidak terbatas; kalau begitu teruskan saja jadi mati dan tidak mati, mahatahu dan tidak mahatahu, dst.’ Jadi, memang bukan tidak ada bahayanya membenturkan dua natur secara paradoks seperti ini; dan memang sandungan dalam ‘inkarnasi’ adalah seperti itu, yang kalau orang tidak bisa mengerti, maka akan masuk ke dalam kontradiksi yang tidak habis-habisnya. Namun justru itulah misteri Natal, misteri inkarnasi Kristus, yaitu bagaimana kepenuhan Allah yang sedemikian penuh dan luas dan tidak terbatas itu bisa berdiam secara jasmaniah di dalam Kristus, bayi yang terbatas itu. Bayi Yesus yang bahkan masih membutuhkan pertolongan orangtuanya, bayi yang tidak ada cerita-cerita ajaib seperti misalnya “bayi Yesus mengangkat truk” atau “bayi Yesus melakukan mujizat waktu umur 1 tahun”, bayi yang normal sebagaimana bayi pada umumnya, tapi kemudian dikatakan seluruh kepenuhan ke-Allahan berdiam secara jasmaniah di dalam Dia. Apa artinya kalimat ini?
Penulis Surat Kolose mengasumsikan bahwa jemaat di Kolose ini telah menerima Kristus Yesus, jadi bagian ini bicara kepada orang-orang percaya, bukan kepada orang-orang yang belum percaya. Ini bicara kepada orang-orang yang sudah menerima Kristus Yesus. Namun, persoalan pertama segera terjadi di sini, yaitu bisa ada gap pengertian apa artinya menerima Kristus Yesus, khususnya setelah reduksi penginjilan ala modern yang cuma mengatakan, “Terima Yesus, angkat tangan, stay where you are, saya akan mendoakan Saudara dan Saudara akan diberkati”, sudah tidak ada groaning in the outer-nya. Ravenhill bilang, inilah easy believism; “Sudah menerima Yesus?” —sudah, sudah pernah angkat tangan, Yesus sudah di dalam hati, mati pasti masuk surga karena sudah pernah gerakan angkat tangan itu. Tetapi, pengertian menerima Yesus Kristus di zamannya Paulus bukan model begini. Pendeta Stephen Tong pernah mengkhotbahkan bahwa orang sering kali salah mengerti arti ayat yang mengatakan, “Barangsiapa mengaku dengan mulut, dia diselamatkan”, dan menganggapnya tinggal ngomong saja, sebut nama Yesus, langsung diselamatkan; padahal orang pada zaman Paulus itu, waktu mengaku dengan mulutnya, kepalanya bisa melayang.
Menerima Kristus Yesus itu apa artinya? Di sini Paulus langsung menyambung, “Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.” Tanda orang yang sungguh-sungguh menerima Kristus Yesus, dia hidupnya tetap di dalam Kristus Yesus. Dalam hal ini, ternyata ada yang tidak tetap, tetapi seolah-olah seperti menerima Kristus Yesus. Ada orang yang segera percaya, dan segera murtad juga. Yohanes mengatakan, ‘ada orang yang tidak sungguh-sungguh termasuk dengan kita; kalau mereka sungguh-sungguh termasuk dengan kita maka mereka bersama dengan kita, tapi kenyataannya tidak’ –yaitu kaum secessionist itu. Jadi, siapa orang-orang yang sungguh-sungguh menerima Kristus Yesus? Yaitu orang-orang yang hidupnya tetap di dalam Dia. Istilah ‘tetap di dalam Dia’ ini adalah bahasa tentang tempat/local/spatial. Ada gambaran lokalitas di sini, dan hal ini berperang dengan gambaran yang di luar Kristus. Bukan hanya Paulus, penulis-penulis yang lain dalam Perjanjian Baru juga menulis tentang hal ini; Yohanes menggunakan gambaran seperti ini, “Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa”, ada gambaran ‘di dalam’ dan ‘di luar’. Tanda bahwa orang sungguh-sungguh menerima Kristus Yesus dalam kehidupannya, yaitu dia tetap di dalam Dia.Ini berarti juga, ada pencobaan untuk tidak selalu tetap di dalam Kristus.
Ada tafsiran menerjemahkan bagian ini sederhana saja, “Remain where you are” –tetaplah di situ, di dalam Kristus itu; “Conduct your lives as incorporated in Him” –tingkah lakumu, kehidupanmu semuanya, adalah sebagaimana kamu ada di dalam Dia, dicangkokkan di dalam Dia. Berbicara tentang ‘remain where you are’, ini seakan-akan jadi statis, tetap di situ, tidak boleh ada pergerakan, terkurung; tetapi gambarannya bukan demikian, karena kita baca di bagian selanjutnya ada aspek dinamika waktu Paulus menulis, “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia“. Jadi, waktu bicara ‘tetap di dalam Dia’, ini berarti suatu gambaran kesetiaan/covenantal faithfulness, atau meminjam bahasa doktrin Tritunggal yaitu perichoretic (‘sebagaimana Bapa di dalam Anak, Anak di dalam Bapa, demikian juga Kristus di dalam kita dan kita di dalam Kristus’), tetapi juga ada gambaran yang dinamis untuk menyatakan bahwa ayat 6 tersebut sama sekali bukan konsep ‘statis’. Waktu dikatakan ‘hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia’, ini bukan ketidakbergerakan, bukan gambaran terkurung yang tidak bisa ke mana-mana, melainkan suatu gambaran menghayati kehidupan yang tetap di dalam Kristus, karena di dalam Kristus berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan, sehingga kita tidak membutuhkan yang lain lagi. Orang yang tidak tahan berada di dalam Kristus, dia pasti tidak mengerti bahwa di dalam Kristus berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan.
Mungkin Saudara pernah melihat gambaran bumi yang dibandingkan dengan matahari skalanya, bumi kelihatan begitu kecil. Matahari ternyata juga bukan bintang yang paling besar, ada bintang yang lebih besar lagi, sehingga matahari kelihatan kerdil. Lalu berikutnya ternyata ada yang lebih besar lagi dan lebih besar lagi, sehingga yang sebelumnya kelihatan kerdil, padahal kalau dibandingkan dengan matahari maka matahari kelihatan jauh lebih kecil, lalu kalau matahari dibandingkan bumi maka bumi kelihatan kecil; lalu kalau bumi dibandingkan Saudara dan saya, kita jauh lebih kecil lagi. Perbandingannya jadi seperti tidak habis-habisnya, dan kita speechless melihat keluasan alam semesta, yang bahkan belum seluruh alam semesta. Ini baru bicara alam semesta yang luas, belum bicara ‘kepenuhan ke-Allahan’ yang pasti amat sangat jauh lebih luas daripada alam semesta, yang alam semesta ciptaan ini pasti tidak bisa banding dengan kepenuhan ke-Allahan –dan lagi, kepenuhan ke-Allahan tersebut berdiam di dalam satu Pribadi yang namanya Kristus, secara jasmaniah. Kalau kita mengerti ini, kita betul-betul tidak ada kebutuhan apapun lagi di luar Kristus, karena apa sih yang bisa lebih besar daripada kepenuhan ke-Allahan?? Betul-betul tidak ada.
Kepenuhan ke-Allahan itu sudah yang paling klimaks –dan hal itu berdiam di dalam Kristus. Tetapi orang masih saja mau berada di luar Kristus; dia cari apa sebetulnya?? Itu sebabnya Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong”. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak puas dengan Kristus. Ini orang-orang yang tidak bisa melihat dengan paradoks kepenuhan ke-Allahan di dalam keterbatasan. Buat mereka, Kristus itu kurang, harus ditambah sesuatu yang lain, harus ada plus-nya. Kadang-kadang di dalam Gereja pun bisa tidak cukup Kristus saja, harus ada plus yang lain; Gereja menganggap kalau cuma percaya Kristus saja, itu kurang unik, harus ada plus yang membedakan gereja kita dari gereja yang lain. Apa sih yang bisa lebih lagi daripada Kristus, apa?? Kalau orang Reformed mau digambarkan, kira-kira Saudara kepingin digambarkan seperti apa? “Oh, orang Reformed itu biasanya smart” –jangan-jangan inilah filsafat yang kosong, yang palsu tadi, yang secara tradisi image-nya dibikin seperti itu tapi sebagaimana dikatakan satu tafsiran: “devoid of substance”, tidak mempertum-buhkan, tidak ke mana-mana. “Oh, orang Reformed itu yang etos kerjanya bagus, tidurnya minimum”, “Oh, orang Reformed itu dalam kebaktian kalau menyanyi lagu, temponya cepat” —tapi betulkah itu gambarannya?? Substansinya ada di sanakah? Ada tradisi-tradisi yang dibangun, yang kemudian jadi semacam dekorasi sebetulnya –sedikit mirip seperti pohon Natal– kemudian kehidupan spiritualitas kita juga lebih mengikuti dekorasti itu daripada yang substansial.
Paulus mengatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia”. Ini berarti ada suatu tradisi, bukan baru kemarin dulu, ini ajaran turun-temurun, sesuatu yang sudah dibangun modelnya, polanya sudah kelihatan. Tidak ada yang salah dengan itu, kita semua ada bias-bias seperti itu berkaitan dengan latar belakang kita, keluarga kita, bahkan ras kita. Selalu akan ada bias kultur/kebudayaan, bias temperamen, bias biografi, bias kebudayaan keluarga, dst.; dan sebetulnya tidak terlalu salah. Tetapi yang jadi persoalan di sini yaitu sebagaimana dikatakan di kalimat terakhir: “tetapi tidak menurut Kristus”. Inilah yang persoalan: tidak menurut Kristus; dan Saudara tidak sadar, tidak peka, bahwa tidak menurut Kristus. Lalu kenapa bisa ada tambahannya? Kalau dalam konteks Surat Kolose, dikatakan ada orang yang beribadah seperti menyembah malaikat, memperhatikan hari-hari tertentu, dsb., rumit sekali. Ini filsafat yang kosong, yang palsu, menurut ajaran turun-temurun, menurut roh-roh dunia –seperti juga misalnya ada teori tentang dunia ini substansinya apa, lalu orang sibuk mengurusi hal-hal seperti itu, dan tidak menurut Kristus.
Intinya, Paulus mau mengingatkan untuk berhati-hati dengan kehidupan yang Kristus dirasa tidak cukup, Kristen sih Kristen, tetapi ada tambahan yang lain lagi, ada plus di belakangnya, ada keunikan yang kita musti dapatkan, dan kalau tidak dapat, jadi sepertinya identitas kita tidak terlalu jelas. Identitas?? Identitas kita dibangun di mana sebetulnya? Sekali lagi, kalau orang tanya tentang Gereja kita, Saudara ingin digambarkan seperti apa? Eberhard Busch, seorang teolog Historical, pernah menulis tentang pengakuan atau katekismus Reformed waktu dipelajari; begini: ‘Coba katakan, apa yang diajarkan teologi Reformed tentang kepercayaan?’ Lalu jawabannya, ‘Yesus Kristus adalah Tuhan, dua natur, Juruselamat, dst.’ Tapi kurang unik itu. Jadi musti ditambah apa lagi? Extra calvinisticum tadikah, yang tidak bisa diterima orang lain, baru benar-benar unik??Seakan-akan kita merasa malu kalau kita bertemu dengan Kristus yang sama yang dikenal oleh orang-orang yang lain, karena seperti harus ada sesuatu yang lebih unik lagi. Hati-hati, ya, Saudara. Kalau misalnya orang lain menggambarkan tentang apa yang dicari dalam komunitas Kristen, dan jawabannya adalah ‘kasih, damai sejahtera, sukacita’, lalu kita bilang, “Kurang dong, itu ‘kan sudah biasa, itu terlalu universal untuk Kekristenan; kita musti ada sesuatu yang lain yang lebih daripada buah Roh!”, hati-hati, inilah problem di dalam Kolose, yang seperti melihat Kristus itu tidak cukup, harus ada plus sesuatu yang lain. Mungkin masuknya tidak kentara, jadi semacam keunikan yang tidak harus keliru tapi mendistraksi kita dari Kristus, yaitu urusan identitas, urusan ‘kita musti bisa dibedakan dari yang lain’.
Saudara, kalau dalam Surat Kolose, identitas kita adalah dengan kita berakar di dalam Kristus. Ke-berakar-an ini memang ada urusannya dengan identitas; tapi tentu saja pertanyaannya: berakar di mana, identitasnya dibangun di dalam siapa? Atau pertanyaannya: identitas tersebut adalah sesuatu yang pelu kita tekankan, pamerkan, atau sekadar sesuatu yang sudah diasumsikan demikian karena kita bagaimanapun juga memang telah menerima Yesus Kristus sehingga urusan identitas juga sudah beres? Ataukah kita musti berjuang untuk identitas, alias selalu krisis identitas yang tidak pernah selesai? Omong-omong, Yesus dicobai dalam urusan identitas, ‘jikalau Engkau adalah Anak Allah, lakukan ini, ini, ini, ini’. Untung saja Yesus tidak tertarik membuktikan diri-Nya Anak Allah, jika tidak, Yesus juga krisis identitas, “Kurang ajar! Apa dikira Saya tidak bisa bikin batu jadi roti; kamu Saya jadikan roti pun bisa sekarang juga, beraninya main-main sama Saya!” Kalau Yesus terprovokasi seperti ini, bubarlah Injil, semua jadi lain ceritanya karena Yesus ternyata seseorang yang bisa digoyang-goyang identitasnya. Identitas Yesus itu sudah beres waktu Bapa mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” –selesai. Tidak ada yang perlu dibuktikan lagi. Sudah selesai. Pernyataan dari Bapa itu sudah cukup.
Berakar di dalam Dia, bukan berakar di dalam yang lain –ini metafora kehidupan. Kenapa penting untuk berakar? Berakar, bisa dijelaskan dalam berbagai nuansa; misalnya seperti pohon yang berakar, tidak gampang kena badai, tidak gampang diombang-ambingkan –ada gambaran kekuatan. Berakar, juga bisa kita bicarakan dalam gambaran yang lain, seperti dalam perumpamaan tentang penabur. Kalau kita tidak berakar di dalam Kristus, kita akan berakar di dalam yang lain –karena manusia memang perlu identitas. Identitas adalah salah satu kebutuhan yang paling dasar; entah seseorang itu krisis atau tidak krisis, dia perlu identitas. Keunikan, tentu sesuatu yang perlu. Lalu, kalau orang tidak berakar di dalam Kristus, jadi berakar di dalam yang mana? Tentu saja berakar di dalam yang lain. Orang Yahudi itu, di mana pun mereka berada, entah di Eropa, Amerika, atau di mana pun, mereka menjaga keyahudiannya, mereka amat sangat berakar di dalam keyahudiannya. Saya juga pernah dengar cerita tentang orang Chinese yang tinggal di Jepang, berdagang di sana, tapi tidak mau belajar bahasa Jepang, sehingga orang yang mau belanja pada dia yang musti belajar bahasa Chinese. Di Berlin saya kadang pergi ke kafe, bicara bahasa Jerman, lalu penjualnya jawab dengan bahasa Inggris, karena tidak mau belajar bahasa Jerman. Inilah semacam ke-berakar-an juga, tapi berakar di dalam hal yang lain; kalau di dalam Kolose, ke-berakar-an (rootedness) ini adalah di dalam Kristus. Contoh-contoh tadi tidak seberapa, yang lebih serius adalah seperti di dalam perumpamaan penabur, benih yang tidak berakar akan disapu, orang tidak mengalami pertumbuhan karena berakar di dalam yang lain, berakar di dalam kekuatiran, berakar di dalam persoalan hidup; persoalan hidup selalu lebih besar daripada Kristus. Bagi dia, di dalam Kristus dia tidak mendapatkan kepenuhan ke-Allahan, pertama-tama mungkin karena dia juga tidak tertarik dengan kepenuhan ke-Allahan itu, dia tertariknya dengan soal penyelesaian problema kehidupannya. Dan, Yesus mengatakan inilah orang yang terus terjerat dengan kekuatiran dunia serta tipu daya kekayaan, akhirnya benih itu tercekik, tidak bertumbuh.
Masih berbicara tentang akar, sepertinya susah ya, jadi manusia yang tidak berakar. Ini masalahnya bukan cuma Kekristenan superfisial, Kekristenan yang tidak berakar, tapi juga soal berakar di dalam yang lain, membangun identitas di dalam cerita yang lain, dan kita tidak puas dengan Kristus yang itu, harus ada tambahannya. Memelihara keunikan-keunikan, yang akhirnya entah sadar atau tidak sadar hal tersebut ditarik jadi semacam ke-berakar-an. Tetapi, tidak ada ke-berakar-an yang lain di dalam Alkitab selain Kristus ini saja, karena di dalam Dialah sudah ada kepenuhan ke-Allahan yang tidak bisa dibandingkan dengan yang lain, sehingga benar-benar tidak perlu ditambah dengan keunikan-keunikan lain. Solus Christus itu riil; pilihannya hanya salah satu, kita terima solus Christus itu atau tidak terima. Jangan cuma main di slogan; yang cuma main di slogan, itu Kekristenan yang tidak ada artinya. Bilangnya “Solus Christus”, tapi ternyata dalam kehidupan praktek Gereja ada banyak plus, plus, plus. Sekali lagi, berakar di dalam Kristus, seperti dikatakan dalam sebuah lagu yang sederhana, “Dapat Tuhan Yesus, dapat semuanya; semua dalam Yesus, dan Yesus semuanya”. Apakah ‘semuanya’ itu? Kepenuhan ke-Allahan. Apa lagi yang bisa lebih daripada kepenuhan ke-Allahan ini.
Kepenuhan ke-Allahan itu berdiam di dalam Kristus secara jasmaniah, di dalam bentuk tubuh (bodily form, sōmatikós). Ada penafsir mengatakan, karena ini bicara ‘tubuh’ maka dekat sekali pengertiannya dengan Gereja; ini berarti kepenuhan ke-Allahan sebagaimana yang berdiam di dalam Kristus –bayi yang kecil itu, yang terbatas itu, yang lemah dan tidak berdaya itu– secara derivatif juga bisa berdiam melalui Tubuh Kristus, yaitu Gereja, dengan segala keterbatasannya. Kepenuhan ke-Allahan ditampung di dalam satu Gereja yang terbatas ini, sebagaimana bayi Yesus yang terbatas menampung seluruh kepenuhan ke-Allahan. Lupakan soal Extra Calvinisticum tadi, entah ekstra atau tidak ekstra, kita tidak terlalu tertarik membicarakannya, tetapi tetap dalam konsep paradoks bahwa yang tidak terbatas itu ternyata bisa ditampung dan berdiam di dalam yang terbatas ini –termasuk gereja Saudara dan saya.
Pertanyaannya kembali lagi, benarkah yang jadi keunikan kita adalah kepenuhan ke-Allahan? Kalau orang masuk gedung ini, Saudara harap orang berkomentar apa? Kalau dijawab, “Wah, di gereja ini saya mencicipi kepenuhan ke-Allahan”, maka kita diberkati; tapi kalau orang masuk lalu bilang, “Mimbarnya di sini lain ya desainnya” –ininya lain, itunya lain– jadi mirip filsafat yang kosong dan palsu tadi, keunikan-keunikan yang sebetulnya tidak menurut Kristus. Saya bukan mengatakan tidak boleh lain, tapi seperti Paulus tadi katakan, “Ada orang yang percaya hari ini lebih baik daripada hari yang lain, ada yang percaya semua hari sama saja”, lalu Paulus langsung merelatifisasi, “Itu tidak penting, biarlah masing-masing orang yakin dengan dirinya saja.” Paulus tidak bilang, “Begini lho, yang lebih cocok dengan Kristologi kita adalah hari yang satu lebih penting daripada hari yang lain!”, atau, “Begini ya, yang lebih cocok dengan Kristologi kita adalah: semua hari sama saja; yang bilang satu hari lebih baik itu ngawur, tidak bisa dipertanggungjawabkan teologinya!”. Paulus sama sekali tidak mengatakan begitu, Paulus bilang, ini urusan doesn’t matter, urusan ‘gak penting; yang lebih penting adalah ini: berakar di dalam Kristus, dibangun di atas Dia. Berakar seperti metaforanya Yohanes, dan termasuk juga mendapat nutrisini karena “tinggal di dalam Aku; di luar Aku, kamu tidak bisa berbuat apa-apa” –betul-betul tidak dapat berbuat apa-apa, nothing. Orang bisa saja sangat produktif, sibuk, dsb., tetapi segala sesuatu yang dikerjakan di luar Kristus, di dalam Yohanes dibilang itu nothing. Biarpun seluruh dunia bilang luar biasa, tetap saja kalau Tuhan bilang “nothing” ya, artinya nothing.
Sementara ‘berakar’ ini pakai metafora kehidupan, dinamis, organis; istilah ‘dibangun’ memakai metafora bangunan/konstruksi. Dalam dunia kita sekarang, orang lebih tertarik yang organis, karena lebih hidup, daripada konstruksi yang mati; tapi Alkitab tidak masuk ke ranking-ranking seperti ini karena masing-masing ada keindahannya. Waktu memakai istilah ‘dibangun’ (edificatio), ini memang memakai metafora konstruksi. Meminjam perkataannya Petrus, kita ini batu-batu hidup; waktu batu-batu ini dibangun, batu yang satu musti ketemu dengan batu yang lain. Sementara dalam hal berakar, kita bisa bicara urusan pohon individual, yang memang ada tempatnya, tetapi waktu kita bicara urusan dibangun, tentu tidak ada orang bisa dibangun sendirian dengan cuma ada satu batu, bahkan sekalipun batunya besar sekali. Maksudnya apa? Waktu kita bicara tentang dibangun di atas Dia, pertama-tama tentu berarti dibangunnya di atas Dia dan bukan di atas yang lain, tapi juga bahwa dalam pembangunan yang Tuhan kerjakan itu, kita bukan satu-satunya batu, kita bertemu dengan batu-batu yang lain. Dan, di dalam pertemuan batu dengan batu, di situ ada relasi, ada kikis-mengikis. Memang di dalam metafora kebun anggur juga ada pemangkasan supaya berbuah banyak, supaya nutrisinya tidak tersedot oleh benalu-benalu; demikian juga di sini, waktu batu bertemu dengan batu, ada gesekan, ada yang musti dibelah jadi dua dan yang terpakai cuma separuh, ya sudah, tidak apa-apa. Intinya, waktu kita bicara tentang pembangunan, itu tidak mungkin tanpa kehidupan berjemaat. Saudara yang datang cuma seminggu sekali, apalagi cuma di hari Natal, spiritualitas seperti itu masalah, bagaimana mungkin bisa dibangun. Demikian juga orang yang ke gereja lalu pulang, jadi cuma seperti menonton khotbah, tapi tidak ada persekutuan, tidak ada pertemuan dengan batu-batu yang lain.
Di Jerman saya bertemu dengan seseorang, bukan orang Kristen, yang sudah terlalu kecewa dengan kehidupannya. Dia bilang, “Saya sudah tidak mau peduli dengan semuanya; saya kecewa dengan pemerintah, saya kecewa dengan dunia politik, saya kecewa dengan masyarakat, teman-teman, tetangga, dsb., sekarang filosofi hidup saya cuma satu saja: saya mengurusi diri saya dan keluarga saya. itu saja.” Orang seperti ini, bagaimana mungkin bisa dibangun; memang dia belum percaya, tapi kalau ada orang Kristen berpikir seperti ini –yang mungkin tanpa disadarinya– maka tidak ada pembangunan. Pembangunan itu mengenal diri melalui relasi, di dalam jejaring relasi dengan sesama; baru di situ kita bisa mengetahui ‘saya ini sebenarnya mulut, atau mata, atau tangan, atau kaki, atau apa’. Itu pengenalan yang bukan suatu pengenalan an sich, yang Saudara dapatkan dengan bersemedi di gua atau perpustakaan teologi atau pojok doa di rumah, dsb., lalu Saudara mendapatkan pengenalan ‘sebetulnya posisi saya di mana’. Tuhan mungkin akan tarik Saudara keluar dan dicemplungkan ke kolam komunitas Kristen dan carilah dirimu di situ, kamu sebetulnya siapa, ketemulah dengan ikan-ikan yang lain, dengan batu-batu yang lain, dan kamu akan menyadari siapa dirimu. Di dalam Tritunggal, Anak disebut Anak adalah karena relasinya dengan Bapa, demikian dikatakan Cappadocian Fathers. Saya bukan mengatakan Tritunggal mencari jati diri, tapi istilah ‘anak’ adalah istilah relasional; Yesus Kristus disebut “Sang Anak”, karena dalam relasi-Nya dengan Bapa, Dia adalah Anak; Bapa disebut “Sang Bapa” karena dalam relasinya dengan Anak, Dia adalah Bapa. Tidak masuk akal menyebut ‘bapa’ kalau tidak ada anak; juga tidak masuk akal menyebut ‘anak’ kalau tidak ada bapa. Kalau saya bilang, “Saya ini bapa”, tapi saya tidak punya anak, orang juga bingung. Istilah ‘laki-laki’ juga istilah relasional; disebut ‘laki-laki’ adalah dalam relasinya dengan perempuan, dan sebaliknya. Istilah ‘besar’ dan ‘kecil’ pun relaasional –semuanya relasional. Tetapi, kalau kita mau mengenal diri kita sendiri bukan di dalam relasi, sebaliknya di dalam ke-berbeda-an yang mencuat sendiri, jadinya gambaran apa yang kayak begini?? Kalau di dalam metafora modern mengenai tubuh, yang mencuat sendiri itu namanya sel kanker. Ginjal, lever, dan lain-lainnya, tidak perlu mencuat sendiri, tapi di dalam relasi dengan yang inilah lever disebut lever karena fungsinya. Tidak ada yang perlu mencuat, untuk apa?? Musti membenjol dulu lalu jadi unik?? Apa sebetulnya konsep kita mengenai ‘dibangun di atas Kristus’? Kristus sendiri adalah pondasi, dan pondasi adanya di bawah, tidak ada tempat untuk mencuat. Suatu bagunan, yang dikagumi adalah yang di atas, yang di luar. Orang sulit mengagumi struktur yang di dalamnya, baja-bajanya, apalagi pondasinya. Tetapi inilah metafora yang dipakai, dibangun di atas Dia, Sang Pondasi; lalu ada pertemuan batu dengan batu. Inilah mengenal diri melalui bersekutu, pastinya dengan Tuhan, tapi juga bersekutu dengan sesama. Ada relasi.
Natal juga bicara tentang relasi. Yesus membuka relasi. Tapi sayang, ada orang-orang yang menolak relasi dengan Yesus ini, dengan tetap mau berada di atas, karena mereka tidak melihat kepenuhan ke-Allahan di dalam Bayi yang kecil itu –dan memang mereka tidak pernah tertarik dengan kepenuhan ke-Allahan. Dengan demikian, relasi yang dibuka itu akhirnya ditutup sendiri oleh orang-orang seperti Herodes, seperti ahli-ahli Taurat, karena mereka tidak mau berelasi dengan Sang Bayi Yesus.
Orang yang berakar di dalam Kristus dan dibangun di atas Kristus, dia “bertambah teguh di dalam iman yang telah diajarkan kepadamu”. Saudara perhatikan, Kekristenan adalah pembelajaran terus-menerus; dan bukan tanpa tradisi. Waktu di sini dikatakan ‘bertambah teguh di dalam iman yang telah diajarkan kepadamu’, sebetulnya ini semacam narasi polemik terhadap yang dikatakan sebagai filsafat yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, yang bisa dibilang tradisi –dan Kekristenan pun ada tradisinya– untuk bertambah teguh di dalam iman. Dalam tafsiran, ada perdebatan mengenai hal ini, yaitu mengenai iman yang seperti apa. Apakah maksudnya bertambah teguh di dalam iman itu sendiri, atau apa? Singkat cerita, tafsiran yang paling meyakinkan adalah: bertambah teguh di dalam iman yang percaya sesuatu –jadi maksudnya konten imannya. Bukan bertambah teguh di dalam tindakan eksistensial ‘beriman’; kita bukan memegahkan kehebatan beriman. Mana yang lebih penting, bisanya Saudara dan saya beriman, atau yang diimani kita? Saudara beriman kepada Kristus; di sini yang lebih besar adalah Kristus yang kita imani, yang adalah Objek imannya, atau iman kita? “Lihatlah iman saya yang besar! Kesanggupan saya beriman; saya bisa percaya dan bukan tidak percaya!” –kalau begini, yang dipersaksikan sebetulnya Kristus atau imannya manusia?? Yang mana? Sebetulnya kalau kita mengerti solus Christus, tidak rumit. Waktu kita mengatakan, “Solus Christus”, itu berarti iman kita pun (sola fide) harus berada di bawahnya. Ini bukan solus Christus di satu sisi lalu sola fide di sisi yang lain, bukan ‘kalau tidak ada saya yang beriman, apa artinya Kristus yang diimani’. Bukan sejajar seperti ini, apalagi kalau iman kita yang lebih di atas dan Kristus yang dikaburkan oleh kebesaran iman kita. Yang seperti itu, apakah namanya Kekristenan? Kekristenan koq mengaburkan Kristus?? Justru waktu seseorang berakar di dalam Kristus, dibangun di atas Dia barulah dia bertambah teguh di dalam iman yang diajarkan. Waktu dikatakan tentang iman yang diajarkan, ini bicara tentang isi imannya, tentang objek imannya, yang tidak lain tidak bukan adalah kepenuhan Allah di dalam Kristus. Selalu bergerak ke arah sana.
Selanjutnya, mungkin seperti tidak terlalu penting, di sini dikatakan, “… dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Tetapi ini bukan tidak penting, sebaliknya luar biasa penting. Memang secara peletakan, kalimat ini tidak sejajar secara imperatif dengan perkataan ‘hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia’, bahkan juga dengan kalimat ‘hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu’, yang adalah hasil dari dua hal yang di atas tadi, tapi ini adalah tanda bahwa jika orang benar-benar mengerti kecukupan Kristus (sufficiency of Christ), yang di dalam-Nya berdiam seluruh kepenuhan Allah, maka dia bersyukur. Orang yang bersyukur, itu ada kaitannya dengan kecukupan Kristus. Kalau kita sulit bersykur, kalau hidup kita terus saja isinya ketidakpuasan, gerutuan, itu tanda bahwa kita tidak melihat Kristus itu menampung seluruh kepenuhan Allah, kita jadi penganut agama ‘Kristus plus’. ‘Kristus sih iya, tapi bagaimana dengan problema kehidupan saya?’ –Kristus plus yang lain. Atau, ‘Kristus lebih kinclong kalau problem saya terselesaikan’ –artinya, Kristus bukan saja plus, tapi justru lebih di bawah, sedangkan yang lebih di atas adalah ‘kepenuhan penyelesaian problem hidup saya’, tidak bicara kepenuhan ke-Allahan. Itu sebabnya Herodes, waktu melihat Kristus, dia tidak tertarik dengan kepenuhan ke-Allahan; dia tertarik dengan kebesarannya sendiri, dengan kelanggengan permainan kekuasaan yang ada pada dirinya, lalu waktu Kristus hadir sudah pasti dia terancam –karena memang yang dikejar bukan kepenuhan ke-Allahan. Herodes tidak pernah tertarik dengan kepenuhan ke-Allahan, maka Kristus harus dibunuh, sehingga dengan demikian akan melanggengkan ‘saya punya kekuasaan’ –kekuasaan saya adalah segalanya, yang harus dipertahankan. Tidak ada kepenuhan ke-Allahan di situ, itu sebabnya Kristus juga tidak penting.
Orang yang di dalam kehidupannya mendapatkan segala sesuatu –segala sesuatu secara harfiah– Saudara mendapatkan segala sesuatu itu di dalam Kristus. Kalimat ini seperti klise, tapi kita tidak mungkin over emphasized. Seperti Paulus waktu menemukan Kristus, dia mengatakan bahwa pengenalan akan Kristus lebih mulia daripada segala sesuatu, sampai-sampai yang lain terlihat seperti sampah. Pengejaran mutiara yang berharga itu, membuat mutiara-mutiara yang lain dijual semuanya demi mendapatkan mutiara yang satu ini, yang tidak bisa dibandingkan dengan mutiara-mutiara yang sudah dimiliki. Semua kelihatan pucat dan tidak menarik dibandingkan dengan kemuliaan Kristus, sehingga tidak perlu ada plus-plus yang lain –karena memang solus Christus.
Di dalam Kristus ada segala sesuatu, ada kepenuhan ke-Allahan –termasuk juga persoalan Saudara dengan happiness. Siapa sih dalam kehidupan ini yang tidak mau bahagia, memang tidak salah dan tidak perlu terlalu kritis juga dalam hal ini, namun itu pun tetap Saudara mendapatkannya di dalam Kristus. Yang bikin kita kurang bahagia, itu justru karena Kristus plus. Berhala-berhala itu tidak memberikan kebahagiaan yang sejati, malah bikin hidup miserable, karena tidak pasti banget. Kasihan sekali kehidupan yang diombang-ambingkan situasi kondisi, yang selalu berubah, tidak dibangun di dalam Kristus, tidak berakar di dalam Kristus, dan akhirnya berhala-berhala itu ngantri. Siapa yang menyediakan ruangan untuk berhala-berhala ini? Ya, kita sendiri. Ada yang pernah mengatakan seperti ini: kalau kita tidak menyembah Kristus, yang langsung menggantikan adalah berhala-berhala, karena tidak ada seorang manusia pun yang tidak menyembah, manusia selalu menyembah. Tapi pertanyaannya: menyembah apa? Yang bahaya, menyembah secara sinkretis; di satu sisi seperti ada Kristus, di sisi lain masuk filasafat kosong dan palsu, menurut ajaran turun-temurun. Masih percaya takhayul-takhayul dalam kehidupan ini, tapi kalau ditanya, dia percaya Kristus juga.
Sekali lagi, siapa sih dalam dunia ini yang tidak ada bias kebudayaan? Kita semua ada bias kebudayaan entah Saudara dari suku apapun, kita ada bias biografi, ada bias pendidikan keluarga. Kita tidak bisa menghindari hal ini, dan ini turun-temurun. Ini adalah sesuatu yang given, dan tidak bisa tidak ada. Tetapi, yang boleh diharapkan dalam Kekristenan adalah: waktu hal-hal itu tidak menurut Kristus, kita harusnya bisa mendeteksinya; harus ada spiritual discernment bahwa sesuatu ini tidak menurut Kristus, tidak cocok dengan Injil yang kita percaya, dan bukan cuma mengatakan, “Yah, tidak bisa, saya ‘kan sudah terlahir seperti ini, saya dididik dalam keluarga seperti ini, saya adalah ras ini, suku ini, kebudayaan seperti ini”, lalu ya sudah, begini saja, tinggal dicampur dengan Kristus. Kembali lagi, ini persoalan identitas, tidak berakar di dalam Kristus.
Salah satu problem dalam kitab Ester adalah hal ini, identitas. Ester di tempat kafir, dan bukan saja di tempat kafir, dia diangkat sampai jadi ratu, betapa nyaris bisa hilang identitas itu. Lalu bagaimana? Tetap mau mempertahankan identitas ‘saya ratu lho, ini posisi tinggi sekali, tidak semua orang bisa di posisi ini’, atau tetap mempertahankan ke-berakar-an Yahudinya, sebagai bangsa yang mengenal Allah, tidak peduli jadi ratu atau tukang sapu atau apapun? Inilah yang dipertaruhkan. Bersyukur akhirnya yang dipilihn Ester identitas yang benar. Tetapi cerita kitab Ester ini berulang terus sepanjang sejarah. Saudara dan saya juga lagi-lagi harus memilih, seperti Ester; mempertahankan status quo, ‘kehidupan saya sudah aman, sudah bagus, jangan terlalu diganggu-ganggu, jangan terlalu idealis, nanti bahaya; jangan suka polemik-polemik, jangan bicara yang menyinggung orang lain, apalagi oarng yang berkuasa, bahaya’, atau bagaimana? Selalu ada pertaruhan ini. Ester juga bisa seperti ini, berpikir, ‘bahaya kalau saya bertemu Ahasyweros, karena saya tidak dipanggil, lebih baik switch identitas yang mulus ini, tidak diketahui keyahudiannya lalu tiba-tiba jadi ratu; ya sudahlah, saya tidak terlalu perlu menekankan ke-berakar-an saya di dalam Yahweh’. Ini pencobaan Saudara dan saya juga.
Filsafat yang kosong ini, meski di dalam konteks Kolose adalah hal lain yang bukan seperti di zaman kita sekarang, itu selalu berulang. Di dalam tafsiran dikatakan, itu semua devoid of spiritual substance, tidak membuat kita bertumbuh di dalam Kristus. Lalu karena apa kita membuang ini? Jawabannya, karena kita sadar di dalam Kristus, di dalam Bayi Yesus yang kecil itu, berdiam secara jasmaniah –secara jasmaniah berarti terbatas– berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan. Memang misteri inkarnasi itu paradoks; dan mungkin tidak perlu juga diselesaikan dengan kalimat ‘di satu sisi terbatas, di sisi lain tidak terbatas’, yang malah mungkin bikin orang bingung. Seperti juga orang bisa bingung sekali kalau kita bilang, “Yesus itu di satu sisi mati di kayu salib, di sisi lain Dia tidak mati” –jadi kacau sekali kalimat seperti ini– tapi cukup dengan mengatakan apa yang dikatakan Alkitab, bahwa Yesus di kayu salib, mati, menurut natur manusia-Nya. Sudah, itu saja. Demikian juga waktu penulis Kolose menekankan seluruh kepenuhan ke-Allahan itu berdiam di dalam Kristus secara jasmaniah. Mungkin kalau bicara ‘secara spiritual’ pernyataan ini tidak terlalu menggigit, tapi yang ditegaskan di sini adalah secara jasmaniah; di dalam Bayi Yesus yang terbatas ini, yang manusia sejati ini, berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan. Inilah baru artinya kita bicara Kekristenan.
Dalam Persekutuan Doa, Pendeta Jethro share satu poin yang mirip, bahwa kita mengharapkan pekerjaan Allah dijalankan dengan kesempurnaan, tapi waktu kita baca silsilah Tuhan Yesus, di situ ada orang-orang kafir, ada perempuan, ada yang ‘gak jelas banget, namun mereka dipakai di dalam silsilah Yesus; malu-maluin ‘gak sih?? Tetapi, message-nya memang di situ, bahwa kalau Tuhan bekerja, Dia bisa bekerja melalui yang tidak sempurna, yang kurang, yang tidak memenuhi syarat. Bayi manusia sebenarnya tidak qualified untuk menampung seluruh kepenuhan ke-Allahan. Gereja Saudara dan saya juga tidak qualified pasti untuk menampung seluruh kepenuhan ke-Allahan. Lalu bagaimana? Ini sesuatu yang tidak mungkin sebetulnya. Tetapi, inilah berita Natal. Yang Penuh itu, di dalam segala kepenuhan-Nya, hadir secara jasmaniah, di dalam kerentanan, di dalam kerapuhan. Paulus mengatakan, kita ini seperti bejana yang bisa pecah, dan yang membuat berharga bukanlah kuatnya bejana itu, bukan kuatnya iman Saudara dan saya, yang membuat berharga adalah isi dari bejana itu –dan isinya adalah Kristus.
Kiranya kita membawa pulang berita Natal ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading