Hari ini kita akan membicarakan mengenai Saul, raja sebelum Daud, dan adalah raja pertama Israel. Bagian ini adalah salah satu kisah pertama yang mulai menceritakan kejatuhan Raja Saul. Kisahnya selanjutnya masih panjang, di akhir hidupnya Saul menjadi orang yang haus kekuasaan.
Biasanya kita dengan mudah me-label-kan Saul sebagai bad guy di Alkitab, tapi jika diperhartikan secara keseluruhan, narasi Alkitab dalam pasal-pasal di depannya (pasal 9, 10, 11) sengaja memperlihatkan bahwa Saul awalnya tidak seperti itu. Saul adalah orang yang sangat atraktif secara fisik, tapi juga punya karakter yang lumayan agung. Waktu mau diangkat jadi raja, dia sembunyi di antara barang-barang, dia tidak merasa dirinya cocok jadi raja, dia orang yang rendah hati. Waktu ada orang-orang yang meragukan dia, reaksi Saul bukan marah tapi stay cool, dia pura-pura tuli. Di pasal berikutnya ketika Saul maju perang dan menang menumpas bangsa Filistin, lalu orang-orang di sekitarnya mengatakan supaya memberi perintah untuk membasmi orang-orang yang tadinya melawan dia, respon Saul bukanlah ‘nah, kesempatan hajar mereka’, tapi dia malah berkata: “Hari ini tidak boleh lagi ada yang mati karena hari ini Tuhan telah mengaruniakan kemenangan untuk semua dari kita –termasuk mereka”. Gambaran tentang Saul dalam Alkitab di awal-awalnya adalah seorang good guy, tapi juga pada akhirnya dia jatuh begitu rusak. Pertanyaannya: mengapa? Ini yang ingin kita telaah.
Pertama-tama kita akan membahas kesalahan yang Saul lakukan dalam bagian ini. Secara singkat ceritanya adalah Allah menyuruh Saul berperang melawan Amalek. Di awal, Allah mengatakan kepada Saul bahwa ini bukan karena Amalek jahat kepada Saul, tapi ini pembalasan (tindakan keadilan) kepada mereka karena mereka begitu jahat sejak Israel keluar dari Mesir. Oleh sebab itu Allah mengatakan kepada Saul untuk menumpas mereka, jangan sisakan satu pun, baik orang maupun binatang-binatang. Respon kita dalam bagian ini mungkin berpikir, mengapa ya, Tuhan sadis seperti itu, semua musti dibantai sampai habis, bukan cuma orang laki-laki tapi juga perempuan, anak-anak, bahkan binatang? Kita musti melihat hal ini dalam konteks kultur saat itu; ayat 18-19 bisa menjelaskannya.
Ayat 18-19: “TUHAN telah menyuruh engkau pergi, dengan pesan: Pergilah, tumpaslah orang-orang berdosa itu, yakni orang Amalek, berperanglah melawan mereka sampai engkau membinasakan mereka. Mengapa engkau tidak mendengarkan suara TUHAN? Mengapa engkau mengambil jarahan dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN?" Pada waktu itu, harta kekayaan suatu bangsa bukanlah emas yang disimpan di bank sentral –zaman itu tidak ada– harta mereka adalah orang-orangnya dan ternak mereka. Ternak menjadi mata uang pada zaman itu. Oleh sebab itu kalau seseorang menyerang suatu bangsa kemudian menyimpan sebagian ternak-ternaknya, itu bukan berarti peduli dengan animal rights tapi artinya menjarah dan merampok bangsa tersebut. Dalam konteks kultur seperti ini, maka yang Allah katakan kepada Saul maksudnya adalah: pertempuran ini untuk menjalankan keadilan, bukan untuk jadi bagian agenda imperialisme Israel. Allah Alkitab bukan Allah yang anti pertempuran, tapi Allah tidak mau Saul menggunakan pertempuran seperti halnya Amalek atau bangsa-bangsa lain melakukan perang untuk profit, untuk mendapatkan budak-budak, untuk meraup keuntungan dengan menjarah. Allah tidak akan mengizinkan Saul menista tindakan keadilan ini dengan memperkaya diri satu sen pun, sebagaimana cara Amalek dan juga filosofi dunia. Jadi di balik perintah yang terkesan sadis, sebenarnya adalah tindakan kebijaksanaan Tuhan yang sangat berbeda dari dunia.
Di sini kita jadi mengerti alasannya Allah marah sekali di bagian ini, yaitu karena ini satu dosa besar. Dan ini persis menggenapi perkataan yang Allah pernah katakan kepada Israel: “Waktu kamu mendapat raja, kamu akan jadi seperti bangsa-bangsa lain”. Mundur sedikit ke pasal-pasal yang awal, waktu Samuel dirongrong orang Israel yang meminta raja, Tuhan sudah meperingatkan mereka akan hal ini melalui Samuel. Tuhan waktu itu mengatakan: “Kalau kamu punya raja, kamu akan jadi seperti bangsa-bangsa lain, kamu akan menggunakan kuasa untuk meraup kekuasaan dan bukan untuk keadilan, kamu akan menggunakan kuasa untuk menggendutkan diri dan demi agenda imperialisme, dan bukan untuk menjalankan keadilan di atas dunia”. Dan ternyata memang terbukti. Ironisnya, respon bangsa Israel waktu itu mengatakan: “Tidak! Kami tetap mau raja, karena kami ingin jadi seperti bangsa-bangsa lain”. Mereka mengatakan itu dengan gamblang, dan itulah yang mereka dapatkan –Saul terbukti menjadi seperti itu– maka Allah mengatakan: “Aku menolak dia sebagai raja”. Jadi itulah dosa dalam bagian ini.
Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana Saul –the good guy– bisa jadi seperti ini? Tentu ada banyak jawaban, tapi salah satu jawaban yang ditekankan sekali dalam bagian ini adalah bahwa Saul menjadi begitu rusak dikarenakan dosa menipu diri (self deception). Ayat 19-20 menghadirkan hal ini. “Mengapa engkau tidak mendengarkan suara TUHAN? Mengapa engkau mengambil jarahan dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN?" (ayat 19) Lalu kata Saul kepada Samuel: "Aku memang mendengarkan suara TUHAN dan mengikuti jalan yang telah disuruh TUHAN kepadaku dan aku membawa Agag, … “ (ayat 20). Kita perhatikan kata “mendengarkan” di bagian ini. Terjemahan bahasa Indonesia memakai kata “mendengarkan”; terjemahan yang sangat baik karena kata aslinya “shema” secara literal memang bisa diterjemahkan “mendengarkan”. Dalam bahasa Inggris, itu diterjemahkan sebagai “obey”; “Why did you not obey the voice of the Lord?”, lalu jawab Saul: “But I did obey the voice of the Lord”. Perlu kita ketahui, dalam bahasa Ibrani tidak ada kata “taat”; pengertian untuk “taat” dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan “mendengar”, tidak bisa dipisah, yaitu “shema”. Dari sini, secara narasi kita melihat satu kontras; waktu Samuel datang, Saul langsung mengatakan, “aku telah menjalankan perintah Tuhan (aku telah mendengar perintah Tuhan)”, lalu Samuel membalas, “jadi apa yang aku dengar? suara kambing, domba, ternak, dll.” Samuel mengatakan, “Mengapa kamu tidak mendengar firman Tuhan?” Lalu Saul mengatakan, “Aku dengar”. Dan Samuel membalas, “Memang kamu mendengar, tapi kamu tidak menyimak, tidak taat. Mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan; memperhatikan lebih baik daripada lemak domba-domba jantan. “ Teks ini sedang menyatakan bahwa Saul sebenarnya tidak mendengar, tapi mengaku mendengar; atau dia memang mendengar, tapi tidak taat (tidak mendengar), dan tetap mengaku dirinya taat. Inilah yang disebut menipu diri.
Hati manusia punya kemampuan luar biasa untuk menekan atau menyembunyikan kebenaran dari dirinya sendiri, ketika kita merasa tidak sanggup menghadapi kebenaran tersebut. Kita mengetahui ada yang salah, tapi di saat yang sama kita menolak untuk menyadari hal tersebut. Inilah menipu diri, satu dosa yang sangat penting kita bahas. Mengapa? Bukankah masih mending menipu diri dibandingkan menipu orang lain atau membunuh orang lain, memperkosa orang lain, dsb. ?? Memang, menipu diri bukan dosa yang paling keji, tapi dosa inilah yang membuat kita mampu melakukan dosa-dosa yang lain yang terkeji itu. Ingat konteks cerita di bagian ini, Saul tadinya seorang good guy, bukan orang yang jahat sejak semulanya. Tapi, orang yang begitu luhur karakternya ini ternyata bisa melakukan hal-hal yang keji, mengapa? Karena dosa menipu diri.
Kita coba melihat mekanisme dosa ini bekerja. Ayat 12-13 Lalu Samuel bangun pagi-pagi untuk bertemu dengan Saul, tetapi diberitahukan kepada Samuel, demikian: "Saul telah ke Karmel tadi dan telah didirikannya baginya suatu tanda peringatan; kemudian ia balik dan mengambil jurusan ke Gilgal." Ketika Samuel sampai kepada Saul, berkatalah Saul kepadanya: "Diberkatilah kiranya engkau oleh TUHAN; aku telah melaksanakan firman TUHAN." Perhatikan gaya narasinya; waktu pagi-pagi baru bertemu dan Samuel belum juga bicara apapun, Saul langsung mengatakan “aku telah menjalankan perintah Tuhan”. Di sini mungkin narasinya mau menyatakan alasan Saul dengan segera mengatakan “aku telah menjalankan perintah Tuhan”, adalah karena jauh di dalam lubuk hatinya dia tidak melakukan perintah Tuhan. Di sisi lain, dia tidak benar-benar sadar juga akan hal ini; dia menolak untuk menyadarinya. Dia menyembunyikan hal ini bagi dirinya sendiri.
Kita coba kontekstualisasi hal ini dengan 3 contoh berikut. Contoh pertama: Waktu saya masih tinggal di asrama STT di Sunter, di hari Minggu beberapa mahasiswa yang punya mobil harus bersedia ditumpangi mobilnya untuk menuju RMCI –termasuk saya. Dan saya paling benci kalau di dalam mobil ada yang berkomentar mengenai mobil saya ‘mobil lu ada bunyi apa ya’, dsb., jadi biasanya saya jawab ‘gak ada apa-apalah’ lalu putar volume radio lebih keras supaya tidak kedengaran. Contoh kedua: Seorang ayah punya anak tunggal, istrinya sudah meninggal. Anaknya ini jago Matematika, juara Matematika di semua sekolah yang dia masuki. Anak ini memang pindah-pindah sekolah karena di setiap sekolah dia juara Matematika tapi dia juga dituduh mencuri barang sesama murid, bahkan barangnya guru. Setiap kali sekolah melaporkan tentang anaknya, ayah ini marah, “Tidak mungkin anak saya seperti itu!”, lalu dia pindahkan anaknya ke sekolah lain. Begitu seterusnya. Tapi di sisi lain, waktu di rumah dia kunci semua lemari. Contoh ketiga, sebuah kisah nyata. Ada satu kota di Jerman, namanya Ohrdruf. Sedikit di luar kota tersebut, ada kamp konsentrasi di zaman PD II yang pertama kalinya ditemukan, oleh tentara sekutu (Amerika). Waktu itu Jerman sudah kalah dan tercerai-berai, dan tentara-tentara Jerman yang menjaga kamp tersebut sedang buru-buru menghilangkan bukti. Mereka menumpuk mayat-mayat orang Yahudi tersebut dan mau dibakar. Selagi dibakar, datanglah tentara Amerika dan melihat itu semua. Berita itu begitu heboh sampai-sampai Jendral Eisenhower datang bersama dengan Jendral George Patton. George Patton adalah seorang jendral yang gagah berani, nickname-nya “blood and guts”, tapi orang ini sampai muntah melihat itu semua. George Patton pergi ke kota Ohrdruf, mewawancarai orang-orang Ohrdruf, mulai dari orang biasa sampai walikotanya, dan mereka semua mengaku tidak tahu apa-apa mengenai kamp konsentrasi di Ohrdruf –sesuatu yang tidak masuk akal. Tapi George Patton tidak peduli, dia memerintahkan semua warga kota Ohrdruf untuk besoknya pergi ke kamp konsentrasi –entah dia tahu atau tidak tahu mengenai adanya kamp konsentrasi di sana– untuk menggali kubur bagi setiap mayat yang ada di sana. Mereka lalu pergi ke sana, mereka begitu syok, dan mereka menggali kubur sampai malam, kemudian istirahat, dan harus kembali lagi esok harinya karena begitu banyak mayat yang harus dikubur. Tapi pagi harinya ditemukan bahwa wali kota beserta istrinya sudah mati gantung diri. Dalam suicide note yang ditemukan, tertulis: “We really didn’t know, but we knew” (kami benar-benar tidak tahu, tapi kami sudah tahu).
Apa inti dari 3 cerita ini? Yaitu bahwa mekanisme yang sama, yang membuat orang-orang warga kota Ohrdruf ambil bagian dalam holocaust –meski secara pasif– adalah mekanisme yang juga menggerakkan saya untuk kesal ketika orang mengomentari mobil saya, mekanisme yang juga membuat kita tidak mau ke dokter meski sudah tahu ada yang salah pada tubuh kita. Inilah kapasitas manusia yang luar biasa untuk menyembunyikan dari diri kita kebenaran yang menyakitkan, yang kita tidak rela dan tidak mau hadapi. Dan walaupun pada dirinya sendiri dosa penipuan diri ini tidak begitu keji, tapi dosa ini menjadi dasar orang melakukan dosa-dosa lain yang paling keji.
Ada banyak fenomena cara kita menipu diri; dalam bagian Alkitab ini kita bisa melihat beberapa. Di ayat 14 Samuel berkata: "Kalau begitu apakah bunyi kambing domba, yang sampai ke telingaku, dan bunyi lembu-lembu yang kudengar itu?" lalu ayat 15a jawab Saul: "Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek …”. Terjemahan bahasa Indonesia di bagian ini agak kurang tepat karena di bagian ini sebenarnya ada kata ganti orang ketiga yang sengaja ambigu; beberapa terjemahan bahasa Inggris menerjemahkan dengan “they” (“mereka yang bawa”), ada juga yang menerjemahkan dengan “the soldiers” (“tentara-tentara itu yang membawa”). Kata aslinya sebenarnya kata ganti ketiga yang ambigu, plural; seakan-akan Saul mengatakan “ya memang ada yang bawa, entah siapa”. Inilah mekanisme yang pertama, yaitu kambing hitam. Ini juga yang sering kita lakukan. Waktu orang tanya, “Mobil lu kenapa, Jet, bunyi kayak gini?”, kita jawab, “Itu perasaan lu doang, lu emang negatif, cuma jelek-jeleknya yang lu liat” –mengalihkan perhatian. Atau seperti ayah yang tadi, “Anakku dizolimi pasti karena mereka itu iri karena anakku jago Matematika, juara terus”. Memang benar mungkin saja anak-anak lain iri terhadap dia, tapi itu bukan berarti tidak ada kemungkinan anak ini kleptomania. Atau yang paling sering dilakukan orang Timur, “Memang kritiknya benar, tapi caranya itu”; itu sebenarnya misdirection seperti yang sering dilakukan dalam trik tukang sulap.
Di ayat 15b kita melihat fenomena yang kedua. Saul mengatakan: “… sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas." Dengan kata lain, Saul mengatakan: “Okelah Samuel, itu benar, tapi habis ini kita mau bikin kebaktian besar, ini semua untuk Tuhan”; berlindung di balik religiusitas atau moralitas. Itu sebabnya di dalam Kekristenan, Alkitab menyerang secara setara tindakan-tindakan moral religius dan tindakan-tindakan yang amoral; bahkan mungkin tindakan moral religius lebih banyak diserang karena musuh terbesar Tuhan Yesus adalah orang Farisi, bukan pemungut cukai dan pelacur. Tapi masih banyak orang Kristen yang mengatakan “saya jadi orang Kristen, artinya saya datang ke Gereja, melakukan tindakan-tindakan moral, jadi orang baik”, dsb. Jika itu esensi menjadi orang Kristen, berarti Saudara tidak mengerti Injil, tidak mengerti Alkitab, karena tindakan religius moral seringkali dipakai sebagai tipuan untuk menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya begitu keji –penipuan diri.
Saya pernah dikirimi video melalui WA, dari seorang hamba Tuhan yang saya hormati. Judul videonya provokatif sekali, “Why I Ask God for Riches?” (Mengapa Saya Minta kepada Tuhan Kekayaan). Saya pikir, kelihatannya menarik, dan kalau yang kirim hamba Tuhan itu, pastinya sesuatu yang benar. Video itu mengatakan, “mengapa saya minta kepada Tuhan kekayaan; yaitu supaya saya bisa memberi”. Mendengar itu, saya ada semacam perasaan lega, ‘oh begitu ya, boleh juga ya’; dan saya tidak sadar kalimat seperti itu sebenarnya berbahaya sekali, sampai hari ini waktu mempersiapkan bagian ini. Kita sering juga mengatakan seperti itu. Mengapa saya minta kesembuhan pada Tuhan? Supaya saya bisa melayani. Mengapa saya minta kekayaan? Supaya saya bisa memberi kepada orang lain. Dan seterusnya. Memang tidak harus salah, tapi berbahaya sekali keluar dari mulut manusia yang punya kapasitas begitu tinggi untuk menipu diri. Waktu mendengar pernyataan dari video itu, jujur saja saya tidak terlalu ada keinginan untuk menyandingkan dengan argumen-argumen lain, saya cuma merasa itu bagus dan lega. Itulah yang seringkali terjadi di dalam diri kita. Mungkin ‘saya memang pengusaha, tapi saya tidak kotor-kotor banget bisnisnya, ini Indonesia tidak bisalah bersih-bersih sekali, paling tidak saya tidak seperti mereka yang menipu rakyat milyaran rupiah’. Lalu kalau Saudara tanya orang yang melakukan itu, mereka pasti akan jawab yang lain, ‘memang saya ambil uang banyak tapi saya tidak bunuh-bunuh orang seperti mafia’. Lalu kalau saudara tanya ke mafia, mereka akan bilang ‘saya memang bunuh orang, tapi saya bunuh yang bejat, saya tidak seperti Hitler’. Dan kalau tanya Hitler, pastinya dia juga akan mengatakan sesuatu yang lain lagi. Di dalam dunia ini tidak ada orang yang jahat dan mengaku dirinya sumber evil tersebut.
Banyak orang Kristen mengkritisi film zaman sekarang yang Post Modern itu tidak bagus karena mengaburkan antara yang good dan evil. Misalnya, peran-peran protagonis dalam film-film hari ini tidaklah sempurna, mereka ada kejelekannya meskipun mereka hero-nya. Sebaliknya, penjahatnya justru sekarang keren, mereka bisa mempertanggung-jawabkan posisinya. Saya membaca banyak wawancara dengan aktor-aktor yang memerankan tokoh penjahat; mereka ini mengatakan: “Saya tidak memerankan dia sebagai penjahat, saya memerankan dia sebagai seorang pahlawan, hanya sudut pandangnya saja yang beda dengan tokoh utama. Itu saja. Tapi sebenarnya dia bukan jahat, ada logikanya dia melakukan ini dan itu. “ Bagi saya, saya lebih suka film Post Modern seperti ini, karena membongkar penipuan diri kita bahwa ada ‘baik’ dan ‘jahat’ di dalam takaran manusia. Tidak ada seorang pun yang jahat dan merasa dirinya jahat; semua orang jahat merasa dirinya cukup baik, menipu dirinya dengan mengatakan ‘saya tidak seperti yang lain, lihatlah kebaikan yang aku lakukan’ –berlindung di balik moralitas. Dan itulah yang menjadikan orang-orang seperti ini bisa melakukan evil yang begitu besar.
Mengapa bisa jadi seperti ini? Mekanisme apa yang mendorong terjadinya hal ini? Kalau kita mau mencari solusinya, tentu kita harus tahu apa yang menyebabkannya. Coba perhatikan, ada hal-hal dalam hidup kita yang kita tahu benar hal itu cukup memalukan, tapi kita merasa tidak masalah untuk mengakuinya; tidak dalam semua hal kita harus menipu diri. Tapi mengapa ada beberapa hal yang kita tidak mau hadapi, yaitu kebenaran-kebenaran yang kita harus sembunyikan, berapapun harganya? Apa yang mendorong itu? Kita bisa melihat alasannya di dalam cerita Saul tadi, yaitu ayat 17 dan 23.
Ayat 17 Sesudah itu berkatalah Samuel: "Bukankah engkau, walaupun engkau kecil pada pemandanganmu sendiri, telah menjadi kepala atas suku-suku Israel? Dan bukankah TUHAN telah mengurapi engkau menjadi raja atas Israel?” Ayat 23 “Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. “ Mengapa di sini Samuel menghubungkan antara sifat minder (“karena engkau merasa dirimu kecil pada pemandanganmu sendiri”), dengan menyembah berhala? Sederhana. Alasan Saul merasa perlu menjarah Amalek, merasa perlu membiarkan Agag (raja Amalek) hidup, karena jika seseorang mempunyai tawanan seorang raja maka itu berarti dirinya adalah ‘raja atas raja/ king of kings’, bukan sekedar raja saja. Alasan Saul harus membuat monumen kehormatannya sendiri adalah karena Saul tidak mau melihat dirinya melalui kacamata Tuhan. Samuel mengatakan ‘engkau melihat dirimu kecil, dan memang kamu kecil tapi Tuhan telah mengangkat mu menjadi raja –mengangkatmu yang kecil itu menjadi raja yang begitu besar’, tapi Saul tidak mau melihat itu, dia mau melihat menurut pandangannya sendiri. Alasan Saul mencari semua yang disebutkan tadi adalah karena dia masih melihat dirinya kecil. Dan Samuel menghubungkan ini dengan penyembahan berhala. Itu berarti bahwa Saul –melalui mencari semua kuasa itu, melalui semua jarahan itu, melalui status ‘king of kings’ itu– baru bisa membuat dirinya merasa besar, menanggulangi rasa mindernya, dan membuat dia tahu dirinya sudah ‘jadi orang’; dan bukan melalui Tuhan. Inilah sebabnya Saul jatuh ke dalam penipuan diri; demikian juga Saudara dan saya.
Kalau kasih Allah, pengakuan Allah, pengorbanan Allah yang sudah Dia berikan bagi kita –terlebih lagi melalui diri Yesus Kristus– adalah cara Saudara menganggap diri berharga, tempat Saudara menggantungkan harga diri Saudara, maka apapun kabar buruk yang Saudara alami, tidak akan ada masalah, karena Allah menjadi dasar tumpuan hidupmu dan Dia tidak pernah berubah. Tapi kalau cara kita mencari dan menumpuk harga diri kita –monumen kita– dengan anak kita yang juara Matematika itu, peninggalan istri yang sangat kita cintai itu, anak yang sangat kita banggakan itu, lalu kita bergantung pada anak ini, maka jika ada satu informasi yang menyerang dan mau menggoyang tumpuan ini, Saudara tidak akan bisa menerima itu karena itulah tumpuan hidup Saudara. Kalau ini hilang, mau berdiri di atas apa?? Penipuan diri, itulah akarnya.
Hal ini adalah sesuatu yang perlu Saudara telaah dalam kehidupanmu yang sekecil-kecilnya. Contohnya, para pria biasanya tidak suka kalau ada orang yang mengomentari mobilnya ‘kenapa sih mobilnya ada suara-suara begitu’, karena ada tumpuan dirimu di situ, yaitu karena para pria lahir dalam satu kultur yang punya ekspektasi bahwa pria pasti mengerti soal mesin. Waktu di SMP/ SMA, biasanya ada pembagian mata pelajaran Elektro, Tata Boga, Jasa Niaga; dan semua cowok memilih Elektro. Lalu ketika kelasnya tidak cukup, maka ada beberapa cowok yang dikorbankan masuk ke Tata Boga (masak-memasak) atau Jasa Niaga; dan mereka langsung tertusuk harga dirinya. Itu terjadi karena adanya ekspektasi kultural yang tidak sehat. Itu juga mungkin yang menjadi dasar waktu kita tidak mau menghadapi adanya bunyi-bunyi di mobil kita tadi; kita akan mau, kalau kita tahu caranya –buka kap mobil, utak-atik, menemukan kabel yang ini atau itu yang bermasalah lalu bisa membetulkannya. Tapi waktu kita tidak tahu caranya, kita jadi tidak mau menghadapi itu karena kita tidak mau membongkar diri kita yang ‘gak ngerti mesin’ itu di hadapan orang lain, bagi kita harga diri sebagai cowok adalah dari mengerti hal-hal seperti ini. Ini hal yang begitu kecil, tapi betapa itu telah merasuki hidup kita.
Oleh sebab itu pertanyaannya adalah: apa good news dalam hidupmu? Apa Injil/ berita baik itu dalam hidupmu? Apa berita baik itu, yang di situ engkau menggantungkan dirimu karena engkau tidak perlu memilih sesuatu yang salah, dan engkau cuma perlu memilih yang benar? Saudara ingat perintah pertama, “jangan ada padamu allah lain”. Mengapa kalimatnya negatif seperti itu? Mengapa tidak “sembahlah Allah yang ini” saja? Bukankah itu lebih jelas, lebih afirmatif? Para komentator mengatakan, itu adalah cara Alkitab, cara Tuhan, menyatakan dalam waktu yang sangat singkat, dengan kalimat yang sangat singkat, bahwa manusia itu pasti mempunyai allah, manusia tidak harus memilih untuk menyembah suatu ilah atau dewa dalam hidupnya baru kemudian dia menyembah ilah itu; Saudara hanya perlu untuk tidak memilih Allah yang benar dan Saudara pasti akan menyembah sesuatu yang lain.
Apa good news dalam hidup kita? Hal yang menjadi tumpuan hidup kita, yang di situ kita menggantungkan ‘inilah diri saya, inilah identitas saya, inilah siapa saya’, itu jugalah yang menjadikan Saudara menipu diri kalau hal-hal itu diserang. Lalu apa solusinya? Bukan suatu filsafat, atau etika, sistem hidup, tapi solusinya adalah Saul mengerti betapa Allah mencintai dia, betapa mata Allah kepada dirinya adalah yang paling penting; pengenalan akan Allah yang paling penting. Saul mengalami insecurity karena dia tidak sadar betapa Allah menghargai dirinya, betapa Allah mengangkat dirinya dan mencintai dirinya. Saul, engkau kecil, dalam pemandanganmu pun engkau kecil, tapi Aku telah mengangkat engkau sebagai kepala orang Israel; engkau tidak sadar akan hal ini, engkau masih mencari di tempat lain, engkau masih mencari dari hal-hal yang akan sirna dan engkau tidak sadar. Inilah problem Saul, dan ini problem kita juga. Tapi, Saudara jangan mencibir Saul, karena dia tidak punya sumber yang sama seperti kita, kita punya Kitab Suci dan kelengkapannya sehingga kita harusnya lebih tahu daripada dia.
Dalam Ibrani 10: 5 dikatakan: ‘Karena itu ketika Ia (maksudnya Kristus) masuk ke dunia, Ia berkata: "Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki–tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku–.’ Perhatikan, kalimat ini mirip sekali dengan perkataan Samuel tadi: "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN?” Yang dituntut Tuhan bukanlah korban, bukan persembahan, tapi ketaatan. Dan kita tidak bisa taat, kita tidak mungkin taat. Tapi Kristus itu taat, saking taatnya, kekudusan-Nya bukan cuma memampukan Dia untuk taat tapi memampukan ketaatan-Nya itu menguduskan kita. Bagaimana caranya? Dengan cara yang sama sekali terbalik daripada Saul. Saul memandang dirinya kecil; Allah telah memanggil dia menjadi besar tapi dia tidak mau melihat itu. Kristus adalah besar, setara dengan Allah Bapa (Filipi 2), tapi Dia menjadikan diri-Nya kecil, Dia mengosongkan diri-Nya. Saul, orang yang tidak ada apa-apanya, dijadikan raja; dan dia tetap tidak mau puas, dia mau menjadi raja atas segala raja. Tapi Kristus yang memang Raja atas segala raja, rela menjadikan diri-Nya masuk ke dalam pengadilan manusia. Ini caranya.
Oleh karena itu, kita yang kecil, sungguh bisa menjadi besar di mata Tuhan dan di hati Tuhan, dan bukan cuma itu, kita dipanggil untuk menjadi raja di hadapan Tuhan. Wahyu 1:5 dan 2 Kor 1 dikatakan bahwa setiap orang percaya adalah raja, orang yang diurapi Tuhan. Mungkin Saudara berpikir kemuliaan seorang raja itu besar, kemuliaan presiden Amerika itu besar, tapi biyunan tahun dari sekarang kita akan memimpin dan memerintah bersama-sama dengan Kristus. Ketika itu, orang sudah tidak ingat kekaisaran Roma, orang sudah lupa presiden Amerika. Inilah satu-satunya mekanisme yang bisa menghancurkan penipuan diri dalam hidup kita. Problem kita adalah: kita tidak sadar, tidak melihat, bahwa Raja segala raja itu bukan meraup kekuasaan, melainkan menyerahkan kekuasaan; Raja segala raja itu bukan mengambil nyawa tapi malah menyerahkan nyawa, supaya kita yang lemah dan kecil bisa sungguh menjadi rajani yang sejati, supaya kita yang mati bisa sungguh-sungguh hidup di dalam Dia. Inilah satu-satunya kemungkinan Saudara bisa lepas.
Tapi tidak berhenti di sini, karena hubungan kita dengan Tuhan bukanlah cuma antara kita dengan Kristus, Sang Kepala, tapi juga dengan tubuh Kristus. Ini solusi yang kedua, tapi tidak terpisah dari yang pertama. Saudara mungkin senang datang ke gereja, senang dengar kotbah, senang diperlengkapi dengan Firman tuhan, tapi mungkin Saudara tidak suka membuka hidupmu kepada orang lain. Saudara mungkin tidak senang dikritik orang lain, Saudara tidak mau membuka dirimu ke dalam relasi yang mendalam dengan orang-orang lain di gereja ini. Inilah perlunya KTB. Kalau Saudara ke gereja tapi Saudara tidak punya persekutuan yang erat itu dengan sesama tubuh Kristus –tidak harus KTB bentuknya– berarti saudara belum benar-benar bergereja. Kalau Saudara tidak mau dirimu dilihat orang lain, tidak mau mempertanggung-jawabkan hidupmu kepada orang-orang lain yang sama terbatasnya dengan dirimu, cuma mau mendengar kotbah, cuma mau diperlengkapi, maka itu adalah resep untuk jatuh ke dalam penipuan diri. Mengapa? Karena kalau masalahnya adalah ‘penipuan diri’, maka antidot-nya adalah ‘menemukan seseorang yang bukan dirimu’. Tapi ini seringkali kita tidak mau lakukan.
Contoh yang sederhana, kalau Saudara hanya bersekutu dalam level yang permukaan, orang tentu tidak bisa kritik Saudara. Misalnya ada orang yang bicara topik apapun, selalu ujungnya menunjuk kepada diri. Kalau Saudara bertemu dengan dia sekali-sekali saja, memang wajar dia bicara seperti itu, dan mana bisa kita kritik. Tapi kalau Saudara bertemu dengan orang seperti ini di KTB, berkali-kali dan setiap minggu mendengar dia bicara selalu kembali lagi dan kembali lagi kepada dirinya, dan Saudara tidak sendiri tapi ada orang-orang lain juga, maka baru Saudara bisa mengatakan, “Sorry, gua mau ngomong, lu ini ngomong apapun topiknya, balik ke diri lu lagi”, dst. dan di situ baru ada kemungkinan bertobat, menyadari, dan lepas dari penipuan diri. Kalau Saudara tidak pernah ada hubungan seperti ini, bagaimana caranya lepas dari penipuan diri?
Kita seringkali tidak mau masuk ke dalam hubungan seperti ini karena kita takut terluka. Kita takut dikorek-korek, kita takut berhadapan dengan orang-orang yang hobi menegur, yang monumennya adalah bisa menyatakan kesalahan orang lain. Memang di dalam Gereja pasti ada orang-orang seperti itu, Gereja tidak sempurna, tapi di dalam Gerejalah ada kemungkinan untuk orang-orang seperti ini bisa bertobat. Mengapa? Kita mengejar orang untuk bertobat, kita mengonfrontasi dosa seseorang, adalah karena kita ingin mereka sukacita.
Tubuh Kristus dan Kristus sang Kepala, tidak bisa dipisahkan. Kalau Saudara ditegur, dan memang sakit, Saudara akan berduka. Tapi hanya dalam Kristus, ketika Saudara sadar bahwa yang penting bukan bagaimana orang melihat Saudara tapi bagaimana Tuhan melihat Saudara, maka Saudara ingat satu hal: memang benar saya begitu hancur, itu sebabnya Tuhan harus turun dan mati bagi saya; Tuhan sebegitu mencintai saya, Dia mau turun dan mati bagi saya. Di dalam tubuh Kristus, ketika ada pertobatan, ada pengakuan dosa, memang ada kedukaan; tapi kedukaan ini langsung berubah menjadi sukacita karena semakin Saudara menyadari dosa-dosamu yang engkau tidak sadar, semakin engkau sadar Tuhan sudah menyelamatkanmu, selagi Dia sadar dosa-dosamu, yang engkau tidak sadar itu. Dan itu akan membuatmu sukacita. Itu akan membuatmu waktu melihat orang lain seperti ini, waktu engkau mengejar orang mengakui dosanya, ada semacam ketegasan karena Saudara mau dia sadar namun juga ada kelembutan karena tujuannya bukanlah untuk menyakiti melainkan membuat dia mengalami sukacita yang sama seperti yang Saudara sudah lebih dulu alami. Ini cuma mungkin di dalam tubuh Kristus.
Gereja tidak sempurna, tapi satu-satunya kemungkinan untuk Saudara mendapatkan hal ini, hanya dalam tubuh Kristus. Mari Saudara merenungkan hal ini; kita tidak dipanggil sendirian, kita tidak diciptakan sendirian, kita tidak diselamatkan sendirian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading