Hari ini kita mau bicara mengenai pengendalian diri (self-control); kita membaca dari 1 Petrus 1:13-16. Ini ayat yang cukup terkenal, yang bicara mengenai pengudusan.
Waktu menyelidiki ayat-ayat ini biasanya orang berusaha menggali pengudusan kita datangnya dari mana dan terhadap hal-hal apa saja. Kita yang dalam tradisi reformed, mungkin langsung peka dengan ayat 13 kalimat klausa pertama, “Sebab itu siapkanlah akal budimu”, bahwa inilah yang menyebabkan kita bisa masuk ke dalam pengudusan Tuhan, bahwa Petrus memanggil kita untuk tidak jadi orang yang cuma mau dikuduskan dan dikuduskan tanpa ada faktor otak/pikiran/akal budi. Ini satu hal yang kita bisa bicarakan sedikit sebelum masuk ke tema yang lebih sentral, bahwa Kekristenan memang bukan cuma urusan iman/kepercayaan atau hati/emosi, tapi juga peran otak/pikiran sangat penting. Saudara perhatikan misalnya di Matius 6 waktu Tuhan Yesus bicara mengenai kekuatiran, solusinya adalah dengan berpikir; ‘hai kamu orang-orang yang kuatir, yang kurang percaya, pikirkan burung-burung di langit, pikirkan rumput-rumput di ladang, Allah memelihara mereka; jadi kalau Allah memelihara bahkan mereka, dan kamu lebih berharga daripada mereka, bukankah berarti Ia akan terlebih lagi memelihara kamu’. Ini silogisme dasar. Premisnya jelas: Allah memelihara mereka, kamu lebih berharga dari pada mereka; maka berarti: kamu akan lebih diperlihara lagi daripada mereka. Di situ pada dasarnya Tuhan Yesus mengatakan: ‘kamu kurang iman, justru karena kamu tidak berpikir; maka sekarang berpikirlah’. Ini iman dalam Kekristenan. Dalam Kekristenan, yang Alkitab sebut dengan ‘iman’, itu bukanlah tanpa akal budi –hal ini tentu kita sudah familier– tapi di sini Petrus cukup seimbang, bahwa pengudusan itu juga bukan cuma urusan otak. Inilah yang mau kita jadikan fokus pembicaraan hari ini.
Kembali ke ayat 13, setelah bicara mengenai menyiapkan akal budi, selanjutnya muncul istilah kedua yang juga penting untuk kekudusan, yaitu ‘waspadalah’. Sebenarnya ini salah terjemahan, bahkan bisa dibilang sangat tidak tepat, karena dalam bahasa Inggrisnya Petrus mengatakan, “be sober” —be self controlled. Istilah aslinya dalam bahasa Yunani yaitu nepho, yang artinya bukan cuma aware dalam arti waspada, tapi aware dalam arti tidak mabuk, sober, benar-benar peka, benar-benar tidak terpengaruh kemabukan. Ini tentu bukan berarti orang yang kudus adalah orang yang tidak pakai narkoba atau tidak minum bir, dsb. –tentu tidak sedangkal itu– tapi bahwa menjadi orang yang sober, aware, sadar, berarti menjadi orang yang tidak terbawa arus, menjadi orang yang bebas dari pengaruh substansi asing. Problem orang mabuk, itu sebenarnya apa? Problem orang mabuk, bukanlah bahwa dia menjadi bodoh, melainkan bahwa dia berada di bawah pengaruh (under influence). Orang mabuk tidak bisa berjalan lurus, tidak bisa mengambil keputusan yang baik, karena ada pengaruh substansi asing dalam dirinya. Dia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, dia tidak mengontrol dirinya sendiri, ada suatu pengaruh substansi asing dalam hidupnya yang membelokkan dia, ada pengaruh dari luar. Dengan demikian berarti orang yang sober, aware, sadar, adalah orang yang tidak terpengaruh substansi asing tersebut. Ini satu hal yang juga merupakan elemen dari bagaimana hidup kita dikuduskan, bahwa bukan cuma urusan otak tapi juga masalah kehendak, bahwa bukan cuma bagaimana kita membereskan apa yang kita pikir, tapi juga bagaimana kita mengontrol hidup kita, diri kita, kehendak kita, hasrat kita, dst. Itu sebabnya kita akan mencoba membahas hal ini.
Kita akan melihat beberapa bagian dalam kitab Amsal yang berkenaan dengan masalah pengendalian diri. Yang pertama, bagian-bagian yang harusnya membuat kita menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri; ini hal pertama yang perlu kita bereskan. Yang kedua, solusinya bagaimana. Kita akan melihat 2 bagian kitab Amsal:
- Amsal 23:19-21, “Hai anakku, dengarkanlah, dan jadilah bijak, tujukanlah hatimu ke jalan yang benar. Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging. Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping.”
- Amsal 25:28, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.”
Saudara, apa problem dari self control? Kalau melihat dari Amsal 23, problem orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri, sering kali terjadi ketika kita terlalu lahap. Dikatakan di bagian ini ada orang-orang yang peminum anggur, pelahap daging, dsb., dan itu membuat orang jadi miskin, jadi berpakaian compang-camping. Kenapa ini jadi problem? Ini problem, karena seseorang itu terlalu banyak yang masuk –terlalu lahap– sampai-sampai tidak ada ruang untuk apapun yang lain. Kalau kita makan kebanyakan atau minum kebanyakan, kita jadi begah/kembung, tidak ada ruang lagi untuk apapun lainnya. Ini bukan cuma ruang dalam arti perut Saudara sudah tidak ada ruang, tapi hidup Saudara pun juga tidak ada ruang untuk apapun yang lain selain tidur. Misalnya Saudara habis pesta besar, kekenyangan, super begah, lalu ada pembunuh masuk, tamatlah riwayatmu, Saudara tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa membela diri. Itu sebabnya di bagian ini ada referensi orang yang jadi miskin dan berpakaian compang-camping, karena mereka memang jadi tidak bisa ngapa-ngapain berhubung mereka makan dan minum kebanyakan. Kita tahu ini benar, karena orang yang hidupnya seperti itu, dia tidak ada ruang untuk fokus kepada hal-hal yang penting. Terlalu suka makan atau terlalu suka minum mempengaruhi fokusnya untuk kerja cari uang, akhirnya tidak bisa kerja cari uang, tidak bisa mempertahankan hubungan keluarga dengan baik, tidak bisa fokus, dan akhirnya hidup jadi hancur berantakan. Ini gambaran pertama yang kita lihat dalam Amsal mengenai orang yang tidak bisa mengendalikan diri, yaitu karena orang ini tidak ada ruang bagi hal-hal yang lebih penting, cuma ada ruang untuk apa yang dia mau.
Gambaran ini makin jelas waktu kita masuk ke Amsal 25, orang yang tidak bisa mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya. Sebelum melihat urusan ‘tembok roboh’, kita melihat dulu bahwa gambaran orang yang tidak bisa mengendalikan diri, istilah dalam bahasa aslinya secara harfiah adalah orang yang tidak bisa mengatur/mengendalikan rohnya; dan ‘roh’ di dalam bahasa Ibrani adalah ruah, kata yang sama yang dipakai untuk ‘angin’ dan juga untuk ‘roh manusia’. Angin itu mendorong dan meniup, maka roh adalah yang mendorong manusia ke arah tertentu. Istilah ‘hati’ dalam bahasa Alkitab bukan cuma urusan emosi, hati adalah pusat (center) dari hidup manusia, sedangkan ‘roh’ dalam bahasa Alkitab lebih ke arah spirit, kehendak, hasrat. Orang yang tidak bisa mengendalikan hasratnya, kata Alkitab pada dasarnya seperti kota yang roboh temboknya. Kita perlu menjelaskan bagian ini, karena kota zaman sekarang memang tidak ada temboknya, sehingga kita bisa tidak mengerti maksudnya apa.
Saudara, pada zaman tersebut, tembok sebuah kota luar biasa penting. Kita bisa membaca hal ini misalnya dalam kasus Nehemia. Nehemia satu kali menanyakan kepada orang-orang yang datang ke benteng Susan, tempat dia berada di tengah-tengah orang Media Persia: “Bagaimana keadaan Yerusalem?” Dikatakan bahwa tembok Yerusalem telah terbongkar, pintu-pintu gerbangnya telah habis terbakar; lalu Nehemia mengatakan, “Setelah aku mendengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari”. Lucu ya. Kenapa reaksinya begitu ekstrim, mendengar tembok Yerusalem yang runtuh lalu responsnya duduk menangis tersedu-sedu dan berkabung beberapa hari? Karena pada zaman itu, kota yang tidak bertembok berarti sebuah bencana yang tinggal tunggu waktu, atau bencana yang sudah terjadi.
Tembok dalam sebuah kota pada zaman itu sangat penting; pertama, karena tembok memungkinkan adanya kegiatan jual-beli. Kalau sebuah kota tidak ada tembok, maka setiap kali panen, para perampok dan bahkan juga tentara negeri asing akan datang dan mengambil semua hasil panen. Tembok memberikan keselamatan dari semua hal tersebut bagi rakyatnya, dan dengan demikian baru bisa ada kegiatan ekonomi jual-beli. Pasar, baru bisa terjadi ketika seseorang punya lebih dari yang dia butuhkan; kalau Saudara cuma punya sedikit, yang cuma cukup buat keluarga Saudara, tentu Saudara tidak akan menjualnya. Saudara perlu punya lebih, baru Saudara bisa menjual, baru bisa ada kegiatan jual-beli. Sekarang bayangkan kalau tidak ada tembok; orang zaman itu bisa punya lebih, tapi mereka tidak akan merasa ini lebih, mereka merasa ‘saya musti hitung berapa banyak bagian yang bakal dirampok orang, berapa banyak bagian yang bisa saya sembunyikan, yang hanya cukup bagi keluarga saya, atau mungkin bahkan kurang, maka saya tidak akan jual’. Kota yang tidak ada temboknya, berarti tidak bisa ada ekonomi pasar, tidak bisa jual-beli. Ini satu hal yang menarik, karena kita melihat gambaran ini mirip dengan gambaran tadi. Tadi kita melihat bahwa orang yang mabuk, dia cuma ada ruang untuk satu hal saja, tidak ada ruang untuk hal yang lain; orang yang pelahap, begah, kembung, dia sudah tidak ada ruang untuk hal yang lain, hanya ada ruang untuk satu hal saja –dan itulah orang yang tidak bisa mengendalikan diri, dalam bahasa Alkitab. Sekarang Saudara lihat kemiripannya: kota yang tidak bertembok, juga sama, karena kota yang tidak bertembok tidak bisa jual-beli, tidak bisa ada kegiatan pasar, tidak bisa menjual bagi orang lain, tidak bisa tukar-menukar barang, karena tidak ada ruang untuk itu, hanya bisa fokus pada satu hal saja, survival. Itu sebabnya tembok sangat diperlukan.
Di satu sisi, tembok melindungi kita dari yang di luar; tapi yang kedua, tembok juga melindungi kita dari yang di dalam. Saudara pernah tidak bercanda dengan teman soal pekerjaan, lalu bilang, ‘kerjaan lu itu ya, kalau zaman perang ‘gak bakalan laku’. Contohnya, istri saya seorang dokter, berarti itu pekerjaan yang akan bertahan seumur hidup, baik di masa damai maupun masa perang, pasti dicari; dan saya, pendeta, untungnya juga demikian, dalam masa damai dicari, dalam masa perang juga pasti lebih banyak dicari lagi. Tapi ada satu jenis pekerjaan yang akan langsung pengangguran pada zaman perang, yaitu pekerjaan hakim dan pengacara. Kalau misalnya kota tidak bertembok, sehingga tidak ada rasa aman, tidak ada rasa kecukupan, tidak ada ruang untuk bisa melakukan banyak aktifitas yang lain, tidak ada jual-beli, maka juga tidak akan ada sistem hukum dan pengadilan dalam kota tersebut. Saudara bayangkan misalnya sebuah kota selalu terancam, orang-orang di situ hanya memikirkan urusan survival, tidak bisa memikirkan hal yang lain, maka tidak akan ada keadilan di sana. Kalau Saudara konflik antara rakyat dalam kota seperti ini, hal itu tidak akan dibawa ke meja hijau, Saudara akan main hakim sendiri, karena Saudara tidak ada ruang dan waktu membawa kasus ini ke hadapan orang lain untuk menyelesaikannya dengan beradab, dengan konsultasi pada orang-orang yang lain, dengan melihat bagaimana hukumnya, dsb. Kalau tidak ada tembok, tidak ada waktu untuk hal-hal yang begini. Itu sebabnya tembok melindungi orang terhadap ancaman dari luar, maupun juga terhadap ancaman dari dalam. Waktu ada rasa aman yang diberikan oleh tembok, barulah bisa ada pasar, barulah bisa ada keadailan.
Kembali ke soal pengendalian diri, apa maksudnya gambaran seperti ini? Saudara lihat, keinginan untuk bertahan hidup (survive), itu bukan suatu hal yang masalah, tapi ketika keinginan untuk bertahan hidup itu tidak dibatasi tembok, yang terjadi adalah semua hal lain di dalam kota tersebut pun hilang. Tidak ada ruang untuk jual-beli, tidak ada ruang untuk keadilan, dan survival menjadi satu hal yang paling penting. Survival sebenarnya bukan satu hal yang salah, survival tidak masalah pada dirinya sendiri, semua orang ingin survive; tapi ketika survival menjadi satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang paling penting, maka yang terjadi adalah tidak bisa ada kemanusiaan, tidak bisa ada budaya, tidak bisa ada peradaban.
Contoh yang paling bagus mengenal hal ini yaitu film zombi. Film zombi yang bagus, bukan fokus pada zombinya; zombinya sendiri sebenarnya tidak terlalu menarik, tapi yang menarik adalah ketika kita difokuskan pada manusia-manusia yang tersisa. Biasanya film zombi seperti itu; mula-mula ada virusnya lalu mayoritas manusia jadi zombi, dan tersisa hanya segelintir manusia, dan filmnya kemudian fokus pada segelintir manusia ini, bukan ke zombi-zombinya. Dalam hal ini yang paling penting dan lebih menarik adalah kita memperhatikan orang di zaman zombie apocalypse tersebut hidupnya kayak apa. Mereka cuma segelintir manusia, jumlahnya kalah jauh dari zombi-zombi, dan mereka tetap harus cari makan, harus survive, mereka mungkin juga harus menghadapi sekelompok manusia lain yang bisa saja menjahati mereka. Lalu biasanya apa yang terjadi dalam keadaan seperti itu? Itu sebabnya dalam film zombi biasanya pertanyaannya jatuh pada satu hal: seberapa jauh kamu –tokoh utamanya atau kelompok utamanya– demi mempertahankan hidupmu, demi survival, mau membuang kemanusiaanmu. Ini satu hal yang selalu muncul jadi fokus dalam film zombi. Misalnya kalau kehabisan makanan tapi tidak bisa keluar karena dikepung zombi-zombi, sementara juga harus bertahan hidup, harus survive –dan inilah yang jadi satu-satunya fokus; makin hari, makin kelaparan, makin terfokus ke hal ini. Lalu akhirnya apa yang terjadi, kanibalisme, korbankan yang paling lemah dan paling gendut. Inilah dilema dalam film zombi atau pun narasi-narasi survival; dalam keadaan seperti ini, siapa yang survive? Saudara lihat, ada sekelompok manusia yang demi survival, memilih untuk membuang kemanusiaan mereka, mereka jadi kanibal; di sisi lain, ada korban yang mati. Pertanyaannya: yang mana yang survive? Siapa yang benar-benar survive? Kita mungkin bilang tentu saja yang kanibal yang survive, mereka bertahan hidup lebih lama dibandingkan manusia yang mereka makan. Itu benar; tapi kemanusaian mereka tidak survive. Sedangkan orang-orang yang mati, yang jadi korban, mereka dimakan kanibal, mereka tidak survive tubuhnya, hidupnya, nafasnya, tapi mereka mati dengan kemanusiaan yang tetap utuh. Jadi pertanyaannya, siapa yang survive di sini; dan debatnya panjang –maka film zombi seperti ini laku. Tapi inilah gambaran yang persis seperti yang kita bicarakan di sini; orang yang tidak bisa mengendalikan diri adalah orang yang di dalam hidupnya tidak ada ruang untuk hal penting yang lain, hanya ada ruang untuk satu hal, dan satu hal ini mendominasi hidupnya.
Dalam hal orang yang tidak bisa mengendalikan diri, gambaran Alkitab sangat bijak memberikan metafornya, yaitu kota yang tidak bertembok. Ini bukan cuma urusan orang yang narkoba-an, atau orang yang mabuk-mabukan, mereka ini orang-orang yang mempunyai sesuatu yang mungkin baik dalam hidupnya –nafas, hidup—tapi ketika hasrat-hasrat akan hal baik ini jadi lepas kontrol, mendominasi hidup, menjadi cara utama menangani semua masalah kehidupan secara kebablasan, akhirnya membuat hal-hal yang lain tidak ada ruang dalam hidupnya. Inilah orang yang tidak bisa mengendalikan diri. Minum bir atau anggur itu hal yang baik, dan memang enak. Omong-omong di dalam Alkitab tidak ada larangan untuk minum bir atau anggur, larangannya adalah mabuk; Paulus malah pernah suruh Timotius untuk jangan minum air saja, tapi minum anggur juga. Lalu, ketika apa bir dan anggur menjadi problem? Ketika bir dan anggur mendominasi hidup seseorang, menjadi cara utamanya untuk menangani masalah-masalah hidup yang lain, dan akhirnya membuat hal-hal penting yang lain jadi tidak ada ruang lagi dalam hidupnya. Itulah orang yang tidak bisa mengendalikan diri, seperti kota yang temboknya roboh. Bagus ya, gambaran Alkitab.
Sejauh ini kita sudah melihat itulah orang yang tidak bisa mengendalikan diri, atau bisa dibilang ‘yang bukan pengendalian diri’, dan kita jadi lebih bisa mengerti yang namanya orang kebablasan atau lepas kontrol. Sekarang pertanyaannya: yang positifnya bagaimana, apa yang namanya ‘pengendalian diri’? Kalau gambaran ‘tidak bisa mengendalikan diri’ adalah sebagaimana kita katakan tadi, maka berarti pengendalian diri bukan sekadar kemampuan untuk disiplin, bukan sekadar sifat bisa komitmen, tapi lebih dalam daripada itu. Pengendalian diri menurut Alkitab, adalah kemampuan untuk mengenali dan memilih hal-hal yang lebih penting, yang lebih bermakna, dan bukan hal-hal yang lebih mendesak. Bagi yang tidak bisa mengendalikan diri, selalu hal-hal mendesak yang menang, sedangkan yang penting dan bermakna, tidak ada ruang; tapi orang yang mengendalikan diri, berarti dia bisa memilih yang penting, yang bermakna, meskipun ada hal-hal lain yang lebih mendesak.
Lalu kenapa kita perlu membahas semua ini? Karena ini penting untuk kita mulai lebih menyadari bahwa hal ini bukan problem sebagian kecil orang saja yang kita labelkan sebagai orang-orang yang tidak ada penguasaan diri; kalau kita melihat Alkitab membingkai masalah pengendalian diri seperti ini, maka Saudara dan saya mulai sadar, ini problem kita semua. Siapa di antara kita yang dalam keadaan genting dan mendesak, cenderungnya memilih hal-hal yang penting dan yang baik dan yang bermakna?? Semua dari kita, dalam keadaan mendesak, dalam keadaan genting, tidak ada ruang untuk hal yang lain –dan ini adalah yang Alkitab sebut ‘tidak bisa mengendalikan diri’. Tidak bisa mengendalikan diri bukanlah cuma urusan foya-foya atau tidak bisa menabung atau mabuk-mabukan, dsb., karena kalau cuma itu permasalahannya, Petrus tidak perlu mengatakan ‘kamu yang mau dikuduskan Tuhan, harus bisa sober, aware, sadar sepenuhnya, di dalam Tuhan’; dan Petrus mengatakan ini kepada semua orang, karena ini adalah problem semua orang.
Beberapa contoh di mana kita tidak bisa mengendalikan diri; misalnya soal selera. Dalam keadaan lapar, Saudara dipenuhi dengan kehendak dan hasrat untuk makan; dan ini kadang-kadang bisa membuat Saudara makan makanan-makanan yang merugikan kesehatan. Saudara tahu koq, mempertahankan kesehatan itu penting, bermakna; Saudara tahu bahwa menjaga tubuh yang sehat adalah lebih penting, lebih meaningful, daripada memuaskan rasa lapar. Tapi kalau sudah lapar banget, apa yang akan kita lakukan, apa yang akan kita pilih??
Sekarang Saudara mulai melihat bahwa urusan kayak begini benar-benar sangat gampang menjangkiti kita, lebih lagi kalau Saudara menyadari masalah selera bukanlah cuma urusan makanan. Paling gampang kita di sini bicara dalam urusan musik. Pak Billy berkali-kali mencetuskan istilah ‘pertobatan selera’ atau ‘pengudusan selera’, karena inilah yang sering kali kita tidak sadar. Kita pikir kalau selera makan diberesin, semua orang sudah tahu, tapi kalau selera musik, itu lain cerita. Kalau GRII mengatakan ada musik yang benar dan salah, banyak orang bisa tidak terima, dan mulai mengatakan, “Musik ‘kan masalah selera, musik tidak ada benar salahnya”. Tapi Saudara, kita bisa melihat dengan jelas bahwa musik bukan cuma urusan selera doang, meski memang ada urusan seleranya. Musik bukan cuma ‘pokoknya musiknya sendiri netral, bisa ke kiri, bisa ke kanan, tergantung lu memakainya bagaimana, tergantung lu seleranya bagaimana; ada musik kayak begini yang orang suka, tapi musik yang sama bisa juga orang yang lain tidak suka, ada musik yang orang rasa enak, dan musik yang sama bisa juga orang rasa ‘gak enak; cuma masalah selera kan??’ Tidak demikian, Saudara. Musik itu subjektif atau objektif? Mungkin ada yang jawab, “Subjektif-lah; Bapak suka musik klasik, saya tidak suka. Bapak benci musik metal, saya suka. Jadi subjektif dong, bukan karena musiknya.” Memang, kalau Saudara melihat dari segi tersebut, Saudara bisa melihatnya musik itu subjektif. Tapi paling gampang kalau kita pakai contoh melodi singkat. Misalnya Saudara dengar suatu melodi singkat, dan banyak orang bisa punya banyak pendapat; Saudara bisa bilang melodi yang Saudara dengar itu artinya ‘benar’, artinya ‘bangun’, artinya ‘maju’, artinya ‘oke’, dsb., tapi apa mungkin orang yang mendengar melodi yang sama itu lalu bilang ‘aduh, gua sedih banget dengarnya, itu membuat trenyuh hatiku, sakit hatiku mendengarnya, ‘gak tahan, sedih banget meodinya’ ? Tentu tidak. Jadi memang bisa ada beberapa pendapat yang berbeda, orang yang satu dan orang yang lain bisa melihatnya berlainan, tapi kenapa orang-orang yang berlainan itu tidak pernah ada yang mengatakan ‘ini sedih banget’ ? Misalnya melodi yang lain lagi, Saudara bisa mengatakan itu artinya ‘sedih’, atau ‘mati’, atau ‘salah’, atau ‘gagal’, dan banyak lainnya yang Saudara bisa katakan; tapi lucunya, semua yang Saudara katakan itu adalah arti-arti dalam sudut yang sebelah sini, Saudara tidak mengatakan, “Pak, itu melodi enak banget, membuat hangat dan sukacita”, Saudara tidak pernah mengatakan itu melodi yang menandakan ‘oke’, ‘positif’, ‘kesenangan’, dsb. Jadi, musik itu subjektif atau objektif? Ternyata tidak sesimpel itu. Memang benar ada sisi ‘selera’-nya, ada sisi ‘subjektif’-nya, tapi musik juga tetap ada dirinya sendiri yang objektif, yang duren ya duren, yang Saudara bilang ‘mangga’ atau ‘jeruk’ pun tetap duren. Itu sebabnya tidak bisa di dalam gereja Saudara mengatakan, “O, pokoknya pakai musik yang sesuai selera kita saja, karena musik itu semuanya oke, netral, tidak ada masalah”. Tidak bisa demikian. Ada sifat objektif tertentu di dalam musik; ada masalah tertentu, kalau Saudara dengar musik A atau musik B. Tapi –kembali ke dalam diskusi kita– kalau pun musik itu 100% masalah selera, apakah berarti tetap tidak masalah musik apapun yang Saudara dengar dan pakai di gereja, dan yang Saudara pakai dalam kehidupan Saudara? Tentu tidak. Kenapa demikian? Karena seseorang yang diabetes bisa punya selera sangat tinggi terhadap gula, seseorang yang kolesterolnya tinggi bisa punya selera sangat tinggi akan daging babi yang berlemak itu, namun lucunya, dunia pun sadar bahwa yang namanya selera tidak bisa dibiarkan bebas berkeliaran, dunia pun sadar bahwa selera harus dikontrol –tetapi di gereja sering kali orang malah menomorsatukan selera. Khotbahnya jangan kayak begini dong, khotbahnya jangan kayak begitu dong, yang mendarat dong, yang banyak contoh dong, yang aplikatif dong, yang relevan dong –selera jadi nomor satu; termasuk dalam hal musik juga sama.
Saudara lihat, dalam kehidupan Kristen, yang harus dikuduskan jadinya apa? Bukan cuma hati kita atau otak kita, tapi juga selera kita, kehendak kita, hasrat kita, apa yang kita inginkan. Ini semua masuk dalam rubrik ‘pengendalian diri’; itu sebabnya ini adalah masalah semua orang. Semua orang perlu belajar ini. Kita bicara sampai sejauh ini karena Saudara dan saya sering kali tidak merasa penguasaan diri itu problem diri kita, sering kali kita melihat ini masalahnya orang lain; itu lho, orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri, orang-orang yang kecanduan alkohol, narkoba, seks, judi, dsb.; kalau saya sih, ‘gak sampai segitu. Tapi Saudara lihat, ini adalah masalah Saudara dan saya, kita semuanya. Ada banyak kecanduan-kecanduan lain yang mungkin kita terjangkit dan kita tidak sadar. Kita mungkin bisa kontrol nafsu makan, bisa kontrol nafsu seks, tapi mungkin tidak bisa mengontrol lidah. Orang seperti ini bisa kebablasan dalam mengecam atau mengkritik, sehingga relasi dalam hidupnya bisa hancur. Bisa saja itu relasi dalam pernikahan, tidak bisa mengontrol lidah akhirnya pernikahan hancur. Bisa juga relasi dia dalam bergereja, terus mengkritik kurang ini kurang itu, akhirnya kehidupan bergereja dia hancur. Ini problem yang persis sama, yaitu kecanduan. Dia lebih mementingkan lidahnya dibandingkan jemaat Tuhan, dia lebih mementingkan lidahnya dibandingkan istrinya, dia lebih mementingkan lidahnya dibandingkan anak-anaknya. Ini artinya tidak bisa mengontrol diri, satu hal mendominasi semua yang lain. ‘Saya mau pakai musik yang ini, pokoknya yang penting selera-ku; tidak ada ruang buat semua yang lain, tidak ada ruang untuk berpikir mengenai musik, tidak ada ruang untuk mikirin apa yang bagus, pokoknya selera-ku yang nomor satu’ —inilah problem yang sama dengan problem kecanduan narkoba. Problem tidak ada pengendalian diri. Orang yang tidak bisa mengendalikan lidah, biasanya apa yang terjadi? Kalau Saudara bicara dengan orang yang tidak bisa mengendalikan lidah, dia tetap ada justifikasinya ada pembenaran diri-nya. Dia mengatakan, “Ini kekacauan dan kejelekan yang orang lain ‘gak lihat; dan kalau orang lain lihat pun, ‘gak mau ngomong, maka saya harus angkat bicara, ini mendesak”. Saudara lihat, yang mendesak, yang dipilih; yang mendesak, yang mendominasi. Bukan memikirkan orang lain, tidak ada ruang bagi yang lain. Yang lebih konyol kalau yang mendesak itu ternyata sebenarnya bukan mendesak, tapi cuma mendesak buat dia. Saya pakai contoh begini, untuk kita refleksi diri.
Contoh yang lain, pergumulan banyak pria dalam hal kemampuan untuk bisa provide bagi keluarga. Misalnya dalam sebuah keluarga, si pria merasa ada banyak kebutuhan, dan dia kurang bisa mengisi kebutuhan tersebut. Aklhirnya dalam kerja dan bisnis mulai cari short cut, mulai ambil proyek-proyek yang resiko tinggi, high risk high reward. Lalu satu kali dengan pakai yang high-risk kayak begini, dia untung besar. Lumayan. Dua kali coba, untung besar lagi. Ketiga kali, rugi habis-habisan. Setelah itu, orang seperti apakah akan kapok? Sering kali tidak. Yang sering kita temukan, setelah itu mereka malah akan ambil proyek keempat yang high-risk lagi. Kenapa? Karena dia merasa terdesak; dan itulah yang paling penting buat dia, yang mendominasi segala sesuatu. Kalau ditanya, “Kenapa masih ambil proyek high-risk?” Jawabnya, “Karena orangtua saya sudah pensiun, tidak ada income, mereka bergantung pada saya; karena anak-anak saya masih kecil, mereka harus sekolah, mereka bergantung pada saya; karena saudara-saudara saya masih kuliah, mereka bergantung pada saya –ada banyak kebutuhan yang mendesak! Tidak bisa tidak saya harus ambil proyek yang high-risk ini lagi.” Sementara kalau Saudara tanya orangtuanya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, mungkin mereka akan mengatakan, “Kami tidak sebegitu kekurangannya, kami bisa koq hidup lebih hemat, kami malah concern pada dia yang akhirnya banyak ambil resiko kayak begini.”
Saudara, kalau dari luar kita melihat yang seperti ini, kita bisa dengan gampang mengatakan ini orang yang ngawur, tidak bisa mengendalikan diri; tapi sekali lagi, poin yang kita bicarakan adalah: ketika kita sendiri mengalami hal seperti itu, ketika kita sendiri yang dalam keadaan terdesak seperti itu, apa yang akan kita pilih, apa yang akan kita lakukan? Inilah kecanduan, tidak ada kontrol diri; kenapa? Karena selalu memilih apa yang mendesak, dibandingkan apa yang meaningful, yang benar, yang baik.
Saudara, inilah tragedinya kecanduan (adiction). Menurut Neil Platinga, orang yang kecanduan dimulai karena dia menggunakan sesuatu untuk menghilangkan stres, atau pain, atau untuk mengisi suatu kebutuhan –sesuatu yang mendesak. Ada sesuatu yang mendesak, lalu dia menggunakan candu untuk menghadapi hal tersebut. Tapi waktu dia menggunakan candu, candu itu sendiri juga mendatangkan stres. Jadi awalnya stres –ada kebutuhan yang mendesak maka stress– lalu mengambil candu untuk mengobati stres; tapi candu itu sendiri menghasilkan stres tambahan, maka untuk menghadapi stres yang baru ini, ambil candu lagi lebih banyak untuk menghadapi stres yang tambahan, dan ini menghasilkan candu tambahan lagi, dan seterusnya seperti itu. Inilah pola orang yang kecanduan. Dan, ini bukan cuma muncul dalam narkoba; ini muncul di semua tempat, di banyak tempat, salah satunya yang paling gampang adalah dalam urusan cari duit. Seorang ayah bisa bekerja keras untuk cari uang; tapi kenapa dia merasa perlu cari uang sedemikian sampai melupakan relasi dalam keluarga, sampai dia mengorbankan banyak hal yang lebih meaningful? Karena dia stres dengan kebutuhan yang mendesak ini; dan uang memberikan rasa aman, memberikan signifikansi, itu sebabnya dia cari uang lebih. Tapi ketika cari uang lebih, itu membuat dia mulai mengabaikan keluarganya; dan hal ini bikin stres tambahan. Lalu ketika keluarga mulai berantakan, itu membuat si ayah ini merasa tidak berharga, merasa gagal; makin dia merasa tidak berharga, maka makin keras dia mencari uang, untuk menambal stres yang ini –dan ini makin mengakibatkan keluarganya tambah rusak lagi.
Itu sebabnya yang penting adalah akar dari segala kecanduan, dan tidak pernah soal candunya. Orang Kristen seringkali baper dalam urusan-urusan kecanduan kayak begini, freak out-nya soal hal-hal yang ‘gak penting. Kalau urusan kecanduan pornografi, maka pornografi yang diserang –meski memang pornografi musti diserang, tapi bukan itu yang paling penting. Kalau melihat di WhatsApp ada emoji-emoji berbau LGBT, WhatsApp-nya yang diserang. Kalau orang kecanduan game, game-nya yang diserang. Belum lama ini seorang hamba Tuhan posting di grup WA hamba Tuhan: “New idolatery in church: gowes” –saya merasa agak tertusuk; tapi kalau kita mau merespons, pertanyaannya adalah: apakah benar kita harus fokus ke candu-nya? Saudara lihat, yang jadi problem di sini bukanlah soal ‘apa’ candunya; problem kecanduan jauh lebih dalam daripada itu.
Kecanduan, kata Platinga, pada dasarnya dorongan utamanya bukan candu itu sendiri, candunya itu cuma alat, candunya itu cuma obat yang dipakai –tentu saja secara tidak tepat– untuk menghadapi suatu kekosongan, suatu desakan; dan ini yang lebih penting. Inilah hasrat yang misterius yang sangat tua, yang ada di dalam hati manusia ini, suatu kerinduan untuk mendapatkan something yang good, yang biasanya oleh orang-orang percaya dinamakan sebagai ‘allah’. Kecanduan hanya memakai hasrat rohani ini, lalu mengarahkannya kepada objek-objek yang bisa mengisi tapi juga bisa menguras. Itulah namanya kecanduan. Dengan demikian, orang yang tidak bisa menguasai diri, tidak bisa mengontrol diri, problem utamanya memang benar adalah berhala (idolatery); tapi dalam hal ini Saudara jangan fokus pada apa idol-nya, Saudara musti masuk ke dalam problem utamanya yang membuat Saudara menjadikan sesuatu yang bukan Tuhan masuk ke tempat Tuhan.
Waktu Saudara stres akan sesuatu, Saudara rasa mendesak dalam hal kebutuhan sesuatu, apa sebenarnya kebutuhan ini? Kebutuhan Saudara untuk merasa signifikan, kebutuhan Saudara untuk merasa dicintai, kebutuhan Saudara untuk merasa ada dampak di dunia ini, itu semua ujungnya ke mana? Itu semua berujung pada hal ini: karena kita kehilangan kemuliaan yang Tuhan berikan kepada kita sebagai gambar rupa Allah, lalu kita berusaha mengisinya dengan something else yang bukan Tuhan, dan ujungnya semua itu pada dasarnya akan memberi makin sedikit, makin sedikit, dan makin sedikit, dan makin memperbudak kita. Ini sebabnya waktu Tuhan Yesus mengatakan diri-Nya adalah Roti Hidup, gambaran tersebut tidak bisa lebih tepat lagi, karena Dia satu-satunya roti yang menghidupkan, dan bukan candu yang mematikan.
Saudara lihat sekarang, menurut gambaran Alkitab pengendalian diri bukan cuma urusan Saudara mabuk-mabukan dsb., karena kalau cuma memikirkan itu, ujungnya Saudara cuma terfokus pada ‘apa’ candunya. Saudara harus masuk lebih dalam; apakah yang lebih dalam itu? Yaitu ketika Saudara hanya fokus pada ‘apa yang mendesak’, dan mengorbankan ‘apa yang bermakna’. Ini bisa terjadi karena waktu Saudara terdesak oleh semua itu, pada dasarnya Saudara sedang didesak oleh kebutuhan untuk mendapatkan satu hal yang ultimat itu, yang kalau Saudara tidak mendapatkannya maka Saudara sudah pasti akan isi dengan hal yang lain.
Lalu solusinya apa? Solusinya –secara negatif lebih dulu– salah satunya adalah ketika Tuhan mengirimkan penderitaan ke dalam hidup Saudara. Ini sepertinya gila; ‘apa solusi bagi orang yang tidak bisa menguasai diri’, lalu jawabannya ‘ketika Tuhan mengirimkan penderitaan’. Siapa yang mau mendengar yang kayak begini. Tapi, apakah itu penderitaan? Penderitaan pada dasarnya adalah: ketika berhala kita sekarat, dan tidak bisa lagi memberikan kepada kita rasa aman yang selama ini. Ketika listrik mati, baru sadar kita bergantung pada listrik. Uang habis, maka kita baru sadar selama ini bergantung pada uang; dan uang tidak bisa memberikan apa yang kita perlukan. Pasangan, pekerjaan, kecantikan yang pudar, bisnis yang terpuruk, itu semua diberikan bukan untuk membuat Saudara menderita; Tuhan sering kali membiarkan –atau mengizinkan– penderitaan masuk ke dalam hidup kita supaya kita sadar, apa candu kita. Gampangnya begini, kalau Saudara punya anak, dan anak ini kecanduan narkoba, apa yang akan Saudara lakukan sebagai seorang ayah? ‘Ya, pokoknya anakku jangan menderita, jadi ya, sudahlah, teruskan saja konsumsi obat-obatan itu’, atau Saudara pilih untuk menyetop dan menghentikan sebisa mungkin meskipun tidak bisa langsung, meskipun itu akan membuat dia sakaw dan menyakiti dia habis-habisan? Namun di sini Saudara lihat, seorang ayah tidak membawa penderitaan itu ke dalam hidup anaknya demi membuat anaknya jadi menderita; hal tersebut ada, supaya anaknya menjadi sembuh. Ada kalanya, Allah kita melakukan solusi-Nya seperti itu. Inilah sebabnya kita perlu bersyukur dalam segala hal –sebagaimana Paulus katakan– termasuk momen-momen ketika Tuhan mengirimkan bisnis yang terpuruk, momen-momen ketika Tuhan membuat pernikahan kita jadi retak. Itulah momen-momen yang sering kali perlu kita syukuri, karena itulah momen-momen kita menyadari berhala yang kita sembah selama ini sekarat, tidak bisa ngefek, dan kita perlu menggantinya kalau mau survive.
Saudara, inilah bedanya Allah Kekristenan dengan allah-allah yang lain; Allah Alkitab bukan cuma Allah yang sekedar baik dalam arti kind, Allah kita itu loving, kasih, dan bukan sekedar kindness. Apa bedanya? C.S. Lewis pernah membicarakan hal ini, tentang bedanya kindness tok dengan kasih (love). Kalau Allah yang baik tok, kindness tok, berarti ujungnya supaya orang tidak menderita, tidak tersakiti; tapi C.S. Lewis mengatakan, Allah kita itu loving, berarti sebagai yang mencintai, Dia siap untuk menyakiti. Orang yang mencintai, siap membawa penderitaan bagi orang yang dicintainya, supaya ujungnya bisa mendatangkan kebaikan bagi orang tersebut. Itulah Allah kita. Itulah solusi yang pertama. Ketika ada penderitaan dalam hidup kita, kita perlu coba menyadari hal ini. Memang tidak tentu semua penderitaan demikian, kita tahu itu dalam kitab Ayub, tapi sering kali cara Allah bekerja adalah lewat hal-hal seperti itu.
Yang kedua, solusi dari kecanduan atau ketidaksanggupan kita mengendalikan diri, kita temukan dalam bagian Amsal yang lain, yaitu Amsal 18:10, “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat.”Ini menarik, waktu kita berlari ke Nama Tuhan, maksudnya apa? Saudara, Nama Tuhan bukanlah cuma urusan kita mempelajari Dia secara objektif, dalam arti kita mempelajari atribut-atribut-Nya; berlari ke Nama Tuhan, itu berarti punya relasi personal dengan Dia, bukan cuma mengetahui Dia itu apa melainkan Dia itu siapa. Dan, bentuk relasi personal yang paling tinggi adalah bentuk relasi ‘kasih’. Inilah kuncinya self-control.
Saudara mungkin mengatakan, “Oke, saya menyadari sekarang, Pak, saya ‘gak ada self-control, tapi bagaimana saya bisa punya self-control?” Jawabannya: self-control pertama-tama datang dari sesuatu yang paling Saudara kasihi. Ini satu hal yang kita perlu bereskan. Banyak orang Kristen pikir ‘saya ada problem penguasaan diri’, jadi solusinya ‘saya musti menguasai diri saya’; problemnya ‘saya tidak bisa menguasai diri’, jadi solusinya ‘saya harus disiplin, saya harus berusaha mengontrol diri saya, saya harus mengontrol ketidakkontrolan diri saya’. Bagaimana caranya Saudara?? Ini sesuatu yang tidak mungkin; ini sirkular banget. Itu sebabnya Saudara lihat, kunci dari self-control adalah dari relasi kasih.
Saudara masih ingat model dari Jonathan Edwards mengenai kehendak manusia? Orang pada hari ini percaya dan punya banyak konsep mengenai kehendak manusia; salah satunya bahwa antara kehendak dan emosi dan rasio bisa fragmentasi, Saudara bisa melakukan apa yang Saudara tahu tidak benar, Saudara bisa merasakan apa yang Saudara tahu tidak benar, Saudara bisa tidak melakukan apa yang Saudara tahu benar, dsb. –rasio, emosi, kehendak dilihat sebagai fragmentasi. Omong-omong, antara rasio dan emosi, kita tahu sangat berhubungan, tdiak terlepas seperti itu, misalnya kalau Saudara dilempari kecoa bohongan, Saudara akan teriak, kaget dan takut –ini emosi. Kenapa Saudara takut? Kalau Saudara melemparkan kepada bayi yang baru lahir seekor kecoa bohongan, dia tidak bakal takut, karena dia tidak mengerti itu apa. Saudara baru bisa takut akan sesuatu, ketika Saudara mengerti –rasional–sesuatu ini apa, dan sesuatu ini berbahaya. Ketika dilempari itu, Saudara pikir ini kecoa beneran yang akan mendatangkan resiko bagi Saudara, resiko penyakit, resiko bakteri, dsb., dan menjijikkan karena mungkin datang dari sampah. Jadi saudara lihat, alasannya Saudara takut adalah karena Saudara punya konsep akan barang tersebut; rasio dan emosi tidak sebegitu terpisahnya. Ini salah satu hal yang bisa kita lihat bahwa antara hati/emosi dan kehendak dan rasio sebenarnya tidak terpecah-pecah seperti itu. Waktu kita bilang, “saya sebenarnya kepinginnya begini, tapi saya melakukannya begitu”, sebenarnya tidak demikian, karena antara hatimu dan kehendakmu juga sangat erat hubungannya.
Semua orang sebenarnya memang sedang melakukan apa yang mereka kepingin lakukan. Satu contoh, misalnya Saudara dirampok, disuruh menyerahkan dompet; lalu dalam hal ini Saudara mengatakan, “Saya menyerahkan dompet, padahal saya tidak mau, padahal saya tahu menyerahkan dompet ini salah, tapi karena saya ditodong maka saya menyerahkan dompet; jadi terbukti ‘kan antara hati saya dan kehendak saya terpisah, antara otak saya dan kehendak saya terpisah”. Tapi Jonathan Edwards akan mengatakan tidak demikian; kamu menyerahkan dompet, exactly karena kamu ingin menyerahkan dompet. Saudara bilang, “O, tidak koq, saya tidak ingin menyerahkan dompet, saya sayang banget sama dompet itu; bagaimana bisa bilang saya ingin menyerahkan dompet??” Tetap saja di sini Edwards akan mengatakan kamu memang mau menyerahkan dompet. Memang sih, kamu tidak rela-rela banget menyerahkan dompet itu, tapi yang pasti, kamu lebih ingin hidup, kamu lebih ingin survive, kamu lebih ingin lepas dari perampokan ini, kamu lebih ingin selamat daripada ditusuk –itu sebabnya kamu menyerahkan dompet. Kamu lebih ingin hidup daripada dompet, itu sebabnya kamu menyerahkan dompet. Jadi sebenarnya, Edwards mengatakan, kamu memang ingin menyerahkan dompet, kamu melakukan apa yang kamu mau, kamu melakukan itu bukan karena kamu tidak mau, bukan karena kamu dipaksa, kamu memberikannya karena kamu mengejar hal yang lain yang lebih berharga. Jadi Saudara lihat, antara hati dan kehendak sebenarnya tidak ada pertentangan, kalau menurut Jonathan Edwards. Dengan demikian, inilah kunci dari self-control: kalau Saudara mau mengontrol kehendak Saudara, hati Saudara-lah kuncinya.
Kita melihat contoh di dalam Alkitab, misalnya Kejadian 29. Yakub mencintai Rahel setengah mati sampai dia kerja selama 7 tahun dikali dua; dan menarik sekali di situ Alkitab memberi komentar: ‘Jadi bekerjalah Yakub tujuh tahun lamanya untuk mendapat Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja —karena apa— karena cintanya kepada Rahel’. Inilah self-control. Inilah kuncinya self-control: self-control itu tidak terasa seperti self-control. Self-control itu bukan seperti misalnya ‘2 tahun Yakub bekerja, membanting tulang, capek sekali, tapi tetap berkomitmen, berjuang mati-matian, disiplin’; Tidak demikian, yang seperti itu bukan self-control. Self-control, itu tidak terasa seperti self-control. Self-control itu melakukan yang 7 tahun tapi terasanya seperti beberapa hari saja; karena apa? Karena cintanya, karena hatinya. Ada sesuatu yang lebih tinggi daripada kehendak, ada sesuatu yang menguasai kehendak, ada sesuatu yang mendominasi kehendak kita, sehingga kita mau mengerjakan ini. Self-control, itu tidak pernah merupakan hasil dari Saudara berusaha mengontrol diri Saudara sendiri. Self-control, itu selalu adalah hasil dari cinta, dari kasih Saudara terhadap sesuatu.
Kita tahu ini koq, bahwa tidak ada gunanya bicara kepada seseorang anak yang malas, “Jangan malas!” Itu tidak ada gunanya, dan tidak bisa; yang Saudara harus lakukan adalah mengontrol hatinya pakai hal yang lain. Misalnya, cara negatif yang sering kali kita lakukan karena sudah tidak ada cara lain, yaitu dengan pakai rasa takut. “Kalau lu malas terus, uang jajan berhenti. Kalau lu malas terus, tidak ada gadget. Kalau lu malas terus, HP saya sita.” Lalu di sini si anak langsung, “Oh, oke-oke, ampun, Pa, mau rajin.” Kenapa di sini kehendaknya bisa tersalurkan ke ‘rajin’ begitu? Karena ada sesuatu yang mengontrol kehendaknya, yaitu hatinya, apa yang dia cintai, apa yang jadi tumpuan hidupnya, apa yang dia kejar. Ini cara negatifnya, dan tidak terlalu efektif karena ujungnya bicara mengenai rasa takut; dan rasa takut tidak membawa kepada self-control yang asli karena rasa takut ujungnya self-centered.
Lalu apa bentuk positifnya? Bentuk positifnya bukan dengan disiplin, bukan dengan mengatakan “pokoknya kontrol dirimu”, bukan juga dengan mengancam, tapi lewat kasih yang dinyatakan. Kenapa kita bisa mengontrol diri kita dalam Yesus? Karena Tuhan telah menyatakan diri-Nya, kasih-Nya, lewat Yesus Kritus yang lahir, mati, dan bangkit. Kenapa kita bisa berlari ke Nama Allah sebagai menara yang kuat, sebagai kota benteng? Karena Saudara melihat apa yang telah dinyatakan di dalam Alkitab mengenai Allahmu itu.
Waktu dikatakan ‘kita berlari ke menara Allah, masuk ke kota benteng, menjadi aman, selamat’, sebagaimana dikatakan dalam Perjanjian Lama, kenapa kita bisa melakukan itu? Karena kita tahu jawabannya di Perjanjian Baru; bahwa waktu Saudara masuk ke dalam menara Allah yang kuat, itu adalah kuat justru karena ketika Yesus Kristus mati di salib, Dia dibawa keluar dari menara, Dia dibawa keluar dari tembok, Dia digiring keluar dari kota, Dia dikucilkan, Dia dibuang dari keamanan, dan itu sebabnya kita bisa selamat, kita bisa aman. Tapi satu hal yang kita sering kali belum peka, waktu Tuhan Yesus memberi diri-Nya dibuang keluar seperti ini, itu merupakan sesuatu yang sangat butuh penguasaan diri.
Saudara, kenapa ada kisah ‘taman Getsemani’; apa poinnya? Taman Getsemani itu gelap. Dalam momen Tuhan Yesus berdoa, waktu itu prajurit-prajurit belum datang menangkap Dia. Tuhan Yesus berdoa, dan suruh murid-murid-Nya berjaga-jaga dengan Dia, namun murid-murid-Nya ketiduran terus; dan Tuhan Yesus langsung mengatakan, “Tolong, dong, berjaga-jaga dengan Aku.” Di sini ada seorang komentator mengatakan hal yang menarik, mungkin Tuhan Yesus sebenarnya bukan hanya menyuruh murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dengan Dia, tapi menyuruh murid-muridnya untuk berjaga-jaga menjaga Dia. Apa maksudnya? Karena ini kesempatan untuk kabur. Saudara, dalam hal ini kita musti mengertinya Tuhan Yesus itu 100% manusia, tidak kurang dari itu. Dia tahu apa yang akan terjadi pada-Nya, dan Dia tahu ini momen untuk Dia bisa kabur. Keadaan di situ gelap, tidak ada orang, lagipula murid-murid-Nya yang disuruh menjaga Dia tidur semua, sehingga kalau Dia mau, Dia bisa kabur. Ini salah satu poin dari kisah ‘taman Getsemani’. Waktu Tuhan Yesus naik ke atas kayu salib dan sudah pasti mati, sebenarnya bisa dibilang ‘gak sulit-sulit banget untuk Tuhan Yesus bertahan terus di atas kayu salib, karena sudah nothing to loose. Tapi, ujian terhadap penguasaan diri dalam hidup Yesus Kristus yang paling tinggi, bukanlah ketika menghadapi massa yang berteriak-teriak minta darah-Nya, tapi justru ketika Yesus sendirian, tidak ada yang menjaga Dia, tidak ada yang akan tahu kalau Dia kabur. Itulah momen di mana penguasaan diri paling besar diperlukan. Kapan kita paling bergumul dalam hal penguasaan diri? Yaitu momen-momen di mana kita sendiri, dan tidak ada yang melihat. Tapi kita melihat dalam kehidupan Tuhan Yesus, Dia bertahan. Self-control. Pertanyaannya, kenapa bisa?
Kenapa Tuhan Yesus bisa bertahan memikul salib? Kenapa Tuhan Yesus bisa bertahan di taman Getsemani? Jawabannya ada di Ibrani 12:2, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Tuhan Yesus bertahan memikul salib, karena Dia bertahan ganti sukacita yang disediakan bagi Dia –sukacita. Ada sesuatu yang Tuhan Yesus inginkan, sehingga Dia bertahan di kayu salib. Ini kunci self-control; ada sesuatu yang Dia kasihi begitu rupa sehingga Dia bertahan di atas kayu salib. Apakah itu? Yang pertama, sudah pasti Allah Bapa. Tapi bukan cuma Allah Bapa –Dia sudah punya Bapa dari dulu– ada sesuatu yang Dia inginkan, yang Dia hanya bisa dapatkan kalau Dia bertahan di taman Getsemani, kalau Dia bertahan di kayu salib. Hadiah apa yang cukup menarik untuk menggerakkan Seorang Putra Mahkota yang punya segalanya, sehingga Dia bisa mengendalikan diri-Nya begitu rupa? Apa yang Dia tidak punya sebalum salib, yang Dia hanya bisa dapatkan lewat salib? Saudara dan saya.
Saudara, alasannya Tuhan Yesus memiliki self-control, adalah karena kitalah, Saudara dan sayalah, “rahel”-Nya. Seberapa Saudara mengerti hal ini, seberapa Saudara melihat hal ini, seberapa Saudara mengingat hal ini dalam hidupmu, seberapa sering engkau berlari kepada nama Tuhan yaitu dengan mengingat hal ini, sejauh itulah Saudara bisa punya self-control di hadapan Tuhan. Tuhan sendiri pakai pola seperti ini. Bukan dengan mengatakan pada diri ‘aku musti kuat, aku musti kuat’, tapi karena ganti sukacita yang disediakan bagi Dia. Sama juga dengan kita, inilah sumber pengendalian diri yang sejati: ketika Saudara melihat bahwa Allahmu telah menjadikanmu “rahel”-Nya, itulah yang akan menggerakkanmu sedikit demi sedikit, tidak instan, untuk menjadikan Dia “rahel”-mu. Dan, ketika Dia menjadi “rahel”-mu, ketika Dia menjadi hal yang paling utama dalam hidupmu, dalam hatimu, itulah kunci self-control, itulah kasih yang akan mengontrol dan memperbarui kehendak kita. Tidak ada jalan lain selain itu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading