Dalam menjalani hidup ini, kita tahu kehidupan itu sendiri mengandung satu persoalan yang kita tidak ada jawabannya. Persoalan yang karena kita tidak ada jawabannya, kita sering kali melupakannya. Persoalan apa itu? Persoalan itu boleh diringkas dalam 4 butir. Yang pertama, kita tahu bahwa kesudahannya adalah kita mati, tidak hidup lagi. Yang kedua, kita tahu bahwa kita menyadari hal tersebut; kalau kita akan mati tapi kita tidak menyadari dan tidak kepikiran, itu tidak jadi permasalahan. Yang ketiga, kita tahu bahwa kita tidak tahu setelah mati lalu apa. Kita mungkin percaya sesuatu, tapi itu bukan pengetahuan; kita tidak tahu apa yang akan terjadi di balik kematian. Yesus tentu tahu, tapi kita bukan Yesus, kita adalah murid-murid Yesus. Yang keempat, kita belum mati. Kita masih hidup, masih ada waktu yang panjang dan tak menentu; mulainya tepat waktu, berakhirnya entah. Kita ini masih hidup –entah pendek, entah panjang– sebelum akhirnya mengalami sesuatu, dan itu sudah pasti menerbitkan anxiety (kekhawatiran). Kekhawatiran adalah ketika kita tidak pasti apakah yang akan datang itu, kapankah dia datang, seperti apa merasakannya ketika dia datang.
Ernest Becker pernah mengatakan dalam bukunya “Denial of Death”, bahwa persoalan ini khas manusia; anjing tidak mengalami, monyet, burung, ikan, tidak mengalami. Itu sebabnya kita kadang- kadang melihat hewan-hewan, yang menurut Arthur Schopenhauer seharusnya penuh penderitaan, mereka itu dilanda ketakutan; kita mungkin membayang-kan kelinci dilanda ketakutan karena sewaktu-waktu dia bisa disergap anjing liar atau serigala lalu dikunyah-kunyah dan dimakan. Tentu mengerikan hidup sebagai kelinci, tapi hidup sebagai serigala atau singa pun mengerikan karena suatu hari pasti menua. Singa tidak bisa makan rumput, dia harus membunuh, dan itu tidak mudah karena kelinci tidak menyerahkan dirinya untuk dibunuh dan dimakan, maka singa harus berburu; dan kalau sudah tua sulit berburu, belum lagi bicara kompetisi karena singa-singa muda akan terlebih dahulu menghabisi kelinci-kelinci, kalau bukan menghabisi dia sendiri. Jadi itu suatu keadaan hidup yang berat yang dialami binatang-binatang, tapi mereka sepertinya hidup tanpa kekuatiran. Kuda-kuda tidak berpikir, ‘suatu hari saya tidak kuat narik delman lagi, jadi sate, saya’. Demikian juga burung-burung dan ikan-ikan. Mereka hidup, mereka hidup; mereka mati, mereka mati; dan di antara-nya mereka tidak peduli. Tapi manusia berbeda.
Manusia cukup pandai –kata Becker– untuk menyadari bahwa dia akan mati. Namun manusia tidak tahu jawaban yang bisa menyebabkan dia hidup dengan tenang, sebab ibu kehidupan (mother nature) itu mulutnya dan cakarnya penuh dengan darah, darah anak-anaknya sendiri; sebab ibu alam, ibu bumi yang melahirkan kita –karena dari tanah kita berasal– yang membuat kita ada, hidup, dan bergerak (tentu dalam pengertian worldview naturalistik), adalah juga ibu alam yang mengunyah-ngunyah kita nanti dalam rupa hewan-hewan yang akan mencerna kita setelah kita mati. Kita semua akan jadi makanan cacing; dan cacing akan mengubah kita jadi kotoran cacing, untuk kemudian nutrisinya diserap kembali oleh tumbuh-tumbuhan, dan kembali tumbuh-tumbuhan dimakan oleh hewan-hewan pemakan daun, dan seterusnya. Alam yang sama, yang membuat kita hidup, adalah alam yang sama yang membuat kita mati, dan mencerna kita setelah kita mati. Itulah kesudahan segala yang hidup, kesudahan setiap manusia.
Pikiran semacam itu meneror kita sehingga kita tidak bisa berfungsi –kata Becker– kalau kita mengingat-ingat terus akan kebenaran ini, fakta ini. Itu sebabnya kita menciptakan kebudayaan, kita menciptakan peradaban, kita menciptakan proyek-proyek yang membuat kita cukup sibuk dengan hal-hal yang kita anggap berarti,sehingga kita jarang-jarang mengingat kenyataan hidup tadi, jarang-jarang mengingat umur kita, tahu-tahu sudah tua, tahu-tahu sudah mati. Kesudahannya tidak jelas kapan, itu tidak masalah karena kita jarang mengingat-ingatnya. Saudara pasti pernah mengalami duduk menanti sesuatu yang tidak jelas kapan kesudahannya, dan waktu terasa sangat menyiksa kalau kita terus-menerus lihat jam; tapi kalau kita membiarkan diri hanyut dalam peristiwa yang sedang berlangsung, tahu-tahu satu jam sudah berlalu, tiga jam sudah berlalu. Hewan bisa melakukannya; atau lebih tepat, hewan tak bisa melakukan seperti kita, yakni mengkhawatirkan akhir-nya. Tapi manusia diciptakan demikian oleh Tuhan. Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Di sekeliling kita, orang modern, ada banyak tawaran solusi. Tawaran solusi dalam konteks kitab Pengkhotbah tentu ada beberapa yang akan berbeda dengan yang di sekeliling kita, tapi saya akan sebutkan lebih dahulu tawaran solusi yang di sekeliling kita. Tawaran solusi yang pertama menawarkan butir ke-5 dari keempat problem di awal tadi, yaitu: kita tidak menerima keempat kenyataan tersebut; kita tidak menerima bahwa kita akan mati, kita tidak menerima bahwa kita menyadari akan mati dan itu menyebabkan kita khawatir, kita tidak menerima bahwa kita tidak tahu, kita tidak menerima bahwa kita belum mati tapi masih hidup. Kita tidak menerima itu, maka jadi persoalan; dengan demikian solusi yang diberikan adalah: kamu harus belajar menerima. Stoik, Budhisme, dan mungkin macam-macam spiritualitas timur yang lain, menyajikan solusi seperti itu, yang pada dasarnya adalah: lihatlah kepada kenyataan hidup, mata dengan mata, muka dengan muka, hadapi itu dengan berani, songsonglah kematianmu dengan berani, terimalah itu, maka itu tidak jadi persoalan lagi. Itu sebabnya orang Stoik melatih dirinya, orang-orang Budhis bermeditasi melatih batinnya, untuk dengan heroik menyongsong kematian. Ini solusi yang kita miliki dalam konteks kehidupan kita. “Tapi, Pak, Stoikisme itu kan sesuatu yang sudah berlalu, itu malah sebelum abad pertama”. Memang benar, tapi ada kebangkitan stoikisme sekarang, khususnya di era pandemi. Kalau Saudara lihat angka-angka penjualan buku, podcast, dan segala macam produk media mengenai stoikisme –khususnya yang didangkalkan dan dikaitkan dengan self-help— itu mengalami kenaikan yang luar biasa pesat dalam masa-masa pandemi. Ada puluhan persen kenaikan penjualan buku Marcus Aurelius, “Meditasi”, dalam dua tahun terakhir; dan ratusan persen versi e-book dari tulisan-tulisan Epictetus.
Stoikisme sedang naik daun; dan saya kira spiritualitas Timur –barangkali dari Budhisme–yang menyongsong kefanaan hidup dengan gagah berani, dengan tenang, dengan sikap aphateia, juga merupakan sesuatu yang sudah cukup lama bersama dengan kita. Tapi hari ini kita akan melihat solusi yang ditawarkan, atau lebih tepatnya pengharapan yang ditawarkan –karena ‘solusi’ berarti kita sendiri yang menyediakan, sementara ‘pengharapan’ berarti pihak lain yang menyediakan– pengharapan yang diberikan, penghiburan yang diberikan. Saudara perhatikan di sini bahasa yang dipakai umat Tuhan berbeda dari orang yang lain; kita mengatakan ‘penghiburan’, ‘pengharapan’, sementara orang yang lain mengajukan ‘solusi’. Perbedaan antara pengharapan/penghiburan dengan solusi yaitu: penghiburan butuh ‘yang menghibur’, dan itu bukan kita sendiri; ‘menghibur diri sendiri’ terdengar menyedihkan sekali seperti juga ‘memuji diri sendiri’. Jadi, penghiburan yang kita miliki, tentu berasal dari Yang Menghibur, yang bukan diri kita; dalam bahasa penulis Katekismus Heidelberg, penghiburan kita dalam kehidupan dan dalam kematian, yaitu dalam tubuh dan dalam jiwa, kita adalah milik Tuhan, tidak ada yang bisa mengubahnya. Atau, seperti bahasa dari penulis 1 Petrus 3:15, kita ini orang yang punya pengharapan, dan kita musti siap sedia dalam segala waktu untuk menguduskan Kristus dalam hati kita, memberikan pertanggung-jawaban kepada orang-orang yang meminta pertanggungjawaban mengenai pengharapan kita. Kita adalah orang-orang yang punya pengharapan, kita adalah orang-orang yang dihiburkan –walaupun kita barangkali tidak punya solusi apa-apa.
Apa sih pengharapan kita, serta penghiburan kita? Kita tilik hari ini dari Pengkhotbah. Sebelumnya saya jelaskan dulu latar belakang seluruh kitab Pengkhotbah. Pengkhotbah, atau Kohelet dalam bahasa Ibrani, bisa diartikan dalam 2 cara. Dalam berbagai terjemahan Alkitab, bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, ada 2 aliran penerjemahan ini, yaitu yang menerjemahkan Kohelet sebagai Pengkhotbah, orang-orang yang mengulang bahan yang sudah diterima secara common sense dalam suatu komunitas untuk kemudian lebih tertancap –ini bahasa yang sama yang nanti dipakai di pasal 12– seperti paku-paku dalam batin si pendengar; atau bisa juga Kohelet diartikan sebagai Pemikir. Pemikir bukan menancapkan paku, pemikir mencabut paku. Pemikir bukan membuat stabil atau membuat jadi lebih yakin/pasti, pemikir membuat jadi relatif dengan menyajikan alternatif, dengan membukakan kemungkinan-kemungkinan tafsir yang lain. Kohelet bisa diartikan dalam dua kemungkinan ini; pagi ini saya akan lebih mengeksplorasi kemungkinan yang kedua, dan saya memberikan beberapa argumentasinya.
Yang pertama, kita melihat struktur dalam Pengkhotbah pasal 12:9-11 ada penyebutan Pengkhotbah sebagai orang ketiga, ‘si Pengkhotbah ini begini begitu, begini begitu’; tapi di ayat 12 sampai terakhir ada shifting, ada penyebutan kepada pembaca secara langsung sehingga mengasumsikan yang berbicara adalah si Kohelet sendiri, bukan orang lain yang berbicara mengenai si Kohelet. Itu semua menandai bahwa di dalam kitab ini ada multiplisitas, ada banyak suara yang berbicara. Dengan kata lain, ada indikasi yang sangat jelas bahwa kitab Kohelet ini bukan ditulis oleh 1 orang; kemungkinan bahannya sebagian besar ditulis oleh 1 orang, tapi kemudian ada orang-orang lain yang juga ikut menulis, yang menambahkan catatan pinggir –soalnya Kohelet ini kitab yang isinya banyak kontroversi.
Kalau dibandingkan dengan teologi konservatif yang dianut oleh orang-orang yang menulis misalnya Taurat, atau Amsal, atau kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain, Saudara akan melihat beberapa perbedaan dari yang Kohelet tulis. Misalnya, Kohelet bersikap lebih pesimistis; Kohelet menyajikan satu gambaran, atau satu dunia, yang tidak tentu orang saleh akan mengalami nasib baik, tidak tentu orang fasik akan mengalami nasib lebih buruk. Kohelet menyajikan satu gambaran yang lebih gelap, kehidupan sepertinya serba tidak menentu, kamu tidak tahu bagaimana harus menarik dan bagaimana harus mendorong, kamu tidak tahu bagaimana cara kerjanya mesin yang namanya kehidupan ini. Itulah gambaran kehidupan yang disajikan kitab Kohelet; dan itu semua gambaran yang sepertinya berlawanan, khususnya sebagaimana orang sering kontraskan dengan kitab Amsal. Dalam kitab Amsal
sangat jelas kita dianjurkan apa dan diberikan apa, ‘kalau kamu lakukan itu, maka akan terjadi ini’; sedangkan dalam kitab Kohelet sepertinya ada banyak ucapan-ucapan yang diutarakan untuk menggoyahkan hal itu. Jadi Kohelet ini adalah sebuah kitab yang bukan hanya menancapkan paku, tapi menggoyahkan paku yang sudah ada. Lalu bagaimana memahami pasal 12:9-11 lalu ayat 12 dst.? Kita bisa memahaminya seperti ini: ada pihak-pihak yang menganggap kitab Kohelet punya isi terlampau radikal sehingga mereka rasa perlu jadi pembela kitab ini, dengan cara melembutkan sedikit atau memberikan konteks ‘Kohelet ini sebetulnya maksudnya apa sih’ (pasal 12: 9-11), yang kelihatannya ditulis oleh murid-murid Kohelet.
Dan, kita bisa melihat juga dalam pasal 12:12 dst. sebagai tulisan redaktur yang lebih konservatif, yang berusaha untuk menum-pulkan hal-hal yang dianggap terlalu tajam dalam kitab Kohelet ini, berusaha untuk di-konservatif-kan lagi. Kita lihat ini dalam ucapannya di ayat 12-14, “membuat banyak buku tak akan ada akhirnya, dan banyak belajar melelahkan badan”. Tentu ini artinya bukan tidak usah banyak baca buku, atau baca buku sih boleh, tapi jangan terlalu banyak, segala sesuatu yang ekses tidak bagus –kebanyakan makan tidak bagus, kekurangan makan juga tidak bagus, terlalu sedikit olah raga tidak bagus, terlalu banyak olah raga juga tidak bagus, kira-kira seperti itu. Ayat 12-14 bukan sekadar mau mengatakan ‘orang jangan terlalu intelektual’, tapi mau mengkritik apa yang sudah Kohelet lakukan dalam pasal 1 sampai dengan pasal 12 awal, bahwa ini semua adalah polemik, dan polemik tidak akan ada habisnya, tapi ingatlah yang paling penting. Yang paling penting adalah sikap takut akan Allah, berpegang pada perintah-Nya –dan tentu kita sudah tahu apa itu perintah Tuhan– sehingga ketika kamu baca dalam buku ini ada banyak yang kamu mengalami kegoyahan dalam imanmu, yang jadi tidak stabil, karena sepertinya ini koq relatif dan itu koq relatif juga, maka ingatlah perintah-Nya sebenarnya tidak begitu sulit dan kamu sudah tahu dalam hatimu, berpeganglah pada perintah itu, itulah kewajiban setiap orang. Dan, yang penting ingat ini deh: Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala yang tersembunyi –termasuk motif-motif dari penulis kitab Kohelet sendiri. Inilah pasal 12:12-14, yang merelatifkan lagi ayat 9-11. Ayat 9-11 adalah orang yang pro kepada Kohelet, dia mewakili gurunya berbicara kepada orang yang konservatif, dengan mengatakan, “Pengkhotbah itu berhikmat, mengajarkan kepada umat pengetahuan, menimbang, menguji, menyusun banyak amsal. Pengkhotbah berusaha mendapat kata-kata yang menyenangkan, menulis kata-kata kebenaran secara jujur” –’jujur’ ini penting. Jadi dia mau bilang ‘kejujuran, kebenaran, itu sulit diterima, sulit ditelan, tapi itu penting, telanlah itu, toh penulisnya sudah berusaha menuliskan kata-kata yang paling sesuai meski mungkin dalam beberapa hal dia kurang berhasil membuat obatnya tidak terlalu pahit, tapi telan saja, itu obat’. Selanjutnya, “Kata-kata orang berhikmat seperti kusa dan kumpulan-kumpulannya seperti paku-paku yang tertancap, diberikan oleh satu gembala“; maksudnya, walaupun suara-suara itu terdengar minor nadanya, sebagaimana yang ditulis si Kohelet, tapi yang memberikan itu Tuhan juga, Tuhan yang satu itu, jadi ya sudahlah, luaskanlah hatimu. Dalam hal ini, saya kira tradisi rabbinic memberikan kepada kita kesaksian bahwa orang-orang Yahudi menuruti nasehat murid-murid Kohelet ini, mereka punya hati yang cukup luas untuk menampung ragam tafsir yang kadang-kadang saling berlawanan; ada ekumenisme tafsir, dalam beberapa tradisi rabbinic. Jadi, kita melihat keseluruhan Kohelet ini pertama-tama sebagai satu persekutuan dalam perbedaan, yang masing-masing tidak jadi terlalu tumpul atau terlalu muted juga suaranya dalam mereka mengutarakan perbedaan tersebut; mereka mengutarakan sikap-sikap mereka yang secara distinctive berbeda, tapi di sisi lain mereka tidak merusakkan persekutuannya. Ini suatusikap persaudaraan di dalam perbedaan –juga dalam satu kitab ini.
Sekarang saya masuk ke bagian-bagiannya secara lebih detail. Dalam pasal 11:9-10 kita melihat adanasehat bagi pemuda, orang-orang yang hidupnya sepertinya masih dalam tahapan fajar, belum siang hari, belum senja kala, orang-orang yang masih mengatakan, “Besok …, kapan giliran saya …”, sementara orang yang lebih tua bicaranya, “Dulu …”. Nasehatnya bagi para pemuda seperti itu, Pengkhotbah mengatakan pada bagian yang pertama: turuti keinginan hatimu, turuti pandangan matamu, bersukarialah, biarkan hatimu bersukaria dalam kemudaanmu, nikmati masa mudamu. Ini seperti sama dengan nasehat YOLO, kamu hidup hanya satu kali saja, jadi apa yang kamu ingin coba, ya, coba saja, ‘kan hidup hanya satu kali; perluas pengalaman kamu, hiduplah sehidup-hidupnya, hisaplah habis-habis tulang sum-sum dari kehidupan –sebagaimana beberapa penyair Romantik mengatakan. Tetapi Pengkhotbah segera menambahi dengan suara counter–balance-nya; dia mengatakan, “Tetapi karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!”
Perkataan ‘tetapi karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan’ ini artinya apa? Apakah artinya ‘jangan lakukan!’? Jadi jangan membiarkan hatimu bersuka dalam masa mudamu, jangan bersukaria dalam kemudaanmu, jangan menuruti keinginan hatimu, jangan menuruti keinginan hatimu, karena Allah justru akan mengadili engkau karena hal itu? Jadi kalimat tadi hanya satu ungkapan retoris? Saya kira, saya tidak bisa menerima tafsiran seperti ini, karena pengadilan Allah itu berlaku bagi hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk. Pengadilan Allah adalah afirmasi bagi hal-hal yang baik yang kita kerjakan, dan invalidasi bagi hal-hal yang buruk yang kita kerjakan; jadi yang diadili Allah bukan hanya hal-hal yang buruk saja. Kita sering memakai istilah ‘penghakiman/ pengadilan’ untuk hal-hal yang buruk; lu jangan hakimi gue, dong; lu jangan terlalu menghakimi! Menghakimi, sepertinya hanya diartikan sebagai invalidasi; kalau kamu menghakimi, artinya kamu ‘gak setuju. Tapi saya kira itu kurang tepat, karena kita tahu seorang hakim tidak hanya ketuk palu, “Bersalah!” lalu mengucapkan hukumannya berapa lama, hakim juga bisa membebaskan, ketuk palu, “Tidak bersalah!” dan orang tersebut dibebaskan dari segala tuntutan. Istilah ‘hakim’, kata dasarnya adalah chrito dalam bahasa Yunani, artinya ‘aku menghakimi’; dan ini bisa berarti ‘aku menghakimi dan mendapatinya kurang, buruk’, atau ‘aku menghakimi dan mendapatinya baik’. Istilah ‘kritik’ bisa 2 arti, seperti misalnya Immanuel Kant menulis Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judgment, kritik di sini bukan berarti dia mengkritik pure reason dalam arti dia menghakimi, menganggap itu buruk, tidak usah terlalu rasional, dsb.; kritik di sini maksudnya deskripsi, elaborasi, klarifikasi, penjelasan. Jadi, waktu dikatakan Tuhan menghakimi, “Allah akan membawa engkau ke pengadilan”, itu bukan berarti bahwa membiarkan hati bersukaria dalam masa muda, menuruti keinginan hati dan pandangan mata, adalah sesuatu yang otomatis buruk, melainkan bahwa itu adalah sesuatu yang bisa buruk. Dan, sesuatu yang bisa buruk, itu bisa baik juga.
Kita ini, kalau bicara mengenai hal-hal yang ada hubungannya dengan Allah dan penghakiman, sering kali memahaminya sebagai sesuatu yang memadamkan spontanitas dan sukacita. “Tempat pengadilan bukanlah tempat happy-happy” –biasa orang mengatakan begitu, bahwa itu tempat serius, stress– dan saya kira mungkin demikian. Tetapi, Allah di sini bukan hendak memadamkan sukacita kita. Kohelet bukan sedang menganjurkan supaya kita selalu hidup dengan sikap tidak spontan, selalu hidup dengan bayang-bayang golok di atas kepala kita, Tidak demikian. Ini adalah anjuran untuk, di satu sisi kita menghidupi hidup sepenuh-penuhnya, tapi di sisi lain mengingat Siapakah yang memberi hidup itu, Siapakah yang di hadapan-Nya kita hidup, dan Siapakah yang membuat hidup itu bernilai. Itulah yang ingin diingatkan Kohelet. Dan, saya kira hidup di hadapan wajah Allah tidak harus suatu hidup yang somber, yang seperti dirundung kelabu –tidak harus seperti itu. Hanya bisa seperti itu, jika kita menganggap Allah adalah Allah yang somber juga, Allah yang barangkali dilanda iri hati, Allah yang tidak bisa lihat kita senang –dan ini bukan dari Alkitab, jelas bukan dari kitab Kohelet.
Beberapa di antara kita mungkin terbiasa punya gambaran Allah yang ‘gak suka lihat orang senang. Yang seperti ini, bukan hanya kita yang memiliki, ini dimiliki juga oleh orang-orang Yunani. Orang Yunani punya ungkapan “para dewa iri terhadap Raja Croesus” karena Raja Croesus terlalu kaya, dan lebih kaya daripada para dewa. Para dewa iri terhadap dia maka para dewa membuat hidup si raja sengsara. Ini kecemburuan dari yang di atas, kecemburuan ilahi. Itu sebabnya ada ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris “Don’t jinx yourself”; misalnya kita mengatakan, “Wah, HP saya ini lumayan juga harganya murah tapi sudah 7 tahun ‘gak rusak-rusak”, lalu besoknya rusak, itulah karena kamu jinx yourself, mengundang kecemburuan dari yang di atas yang lebih powerful, jadi jangan melakukan itu. Itu tentu gambaran yang keliru, Allah kita tidak seperti itu.
Allah kita tidak seperti itu karena Dia tidak butuh apa-apa, karena Dia pencipta semuanya. Dalam Teisme klasik, kita tahu bahwa kita percaya pada Bapa, Pencipta langit dan bumi, yang tidak perlu menciptakan langit dan bumi. Berbeda dengan Marduk; Marduk perlu menciptakan langit dan bumi, perlu menciptakan anak-anak manusia, karena kalau tidak ada anak-anak manusia, nanti dia sendiri yang harus kerja, dia yang harus mencukupkan segala kebutuhannya, itu sebabnya dia bikin manusia jadi budak dia. Tetapi Allah tidak butuh kita jadi budak-Nya. Allah bisa tanpa kita, kita yang tidak bisa tanpa Tuhan; namun kita diinginkan keberadaannya oleh Tuhan. Ironisnya, kita ini seringkali punya sikap kita perlu bikin diri kita diperlukan, diperlukan oleh dunia ini, diperlukan oleh Tuhan –‘kalau ‘gak ada gua, habis lu, repot lu’– baru kita merasa lebih secure karena seakan-akan kita diinginkan. ‘Saya diinginkan karena saya diperlukan’, itu semua berawal dari gambaran mengenai Allah yang keliru, alias penyembahan berhala, alias teologi yang salah, yang menganggap Allah adalah Allah yang membutuhkan sehingga barangkali itu sebabnya Dia mengasihi kita. Tetapi kebalikannyalah yang benar, yaitu Allah tidak membutuhkan namun Dia menginginkan kita ada, Dia mengasihi kita. Itu sebabnya Allah tidak pernah cemburu per se karena kita bersukacita, karena kita punya kemandirian secara relatif, karena kita punya spontanitas, punya inisiatif. Allah tidak merasa insecure, Allah tidak merasa terancam, Allah tidak merasa tidak senang. Itu hanyalah khayalan kita yang bengkok karena kita menyembah allah yang salah, kita barangkali juga menjadi tuan yang salah karena kita beranggapan Allah seperti itu. Tentu tidak secara formal kita tulis buku systematic theology-nya, tapi dalam practical living, dalam practical theology, dalam lived religion dan bukan dalam confessed religion kita, kita melakukan ini. Di situlah Pengkhotbah mengajarkan murid-muridnya untuk merelatifkan gambaran Allah yang somber itu. Dia mengatakan, Allah adalah Allah yang memberikan kepadamu masa muda, Allah yang –dalam bagian-bagian sebelumnya– memberikan hujan kepada bumi walaupun penuh dengat ketidakpastian, Allah yang merajut tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang sedang mengandung walaupun tidak jelas akan jadi apa anak itu. Pekerjaan Allah tak terselami. Allah yang itu, adalah Allah yang memberikan juga kemudaanmu. Dan Allah yang memberikan kemudaanmu itu, menginginkan kamu untuk bersukaria dalam kemudaanmu, bersuka pada masa mudamu, menuruti inisiatif dan gerakan hatimu dan pandangan matamu, sambil mengingat Siapa yang memberi, sambil mengingat di hadapan Siapa kamu hidup-bergerak-ada, dan apa makna dari semuanya.
Allah yang seperti itu membuat Kohelet bisa menasehatkan, “Buanglah kesedihan dari hatimu”. Kesedihan ini bukan kesedihan karena ada yang mati misalnya, atau karena bisnis merugi, melainkan kesedihan global (global sadness), seperti kesedihannya Lisa Simpson dalam film kartun The Simpsons. Lisa Simpson suatu hari gloomy, lalu waktu ditanya oleh papanya, Bart, dan mamanya, “Kenapa sih lu?”, dia hanya mendesah, ‘gak jelas, dan sampai akhir film pun memang ‘gak jelas kenapa. Saya kira sudah jelas di-indikasikan dalam episode tersebut bahwa Lisa Simpson hanya terjaga ke dalam situasi hidup manusia, yang pasti mati, sadar akan mati, tidak tahu mati bagaimana, tapi belum mati –dan bunuh diri, malas juga –jadi ya, begitu deh; dia mengalami angst, dalam bahasa orang-orang eksistensialis.
Kohelet mengatakan, “Buanglah angst itu dari hatimu, jauhkan penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan”. Istilah ‘kesia-siaan’ (hebel) ini adalah istilah kunci, muncul berkali-kali dalam kitab Kohelet, sehingga sudah jelas ini istilah yang penting. Hebel, artinya bukan kosong dari makna, bukan sesuatu yang tidak ada artinya. Kesia-siaan adalah sesuatu yang antara ada dan tiada, sesuatu yang berlalu; barangkali kita bisa wakili dengan istilah ‘kefanaan’ (transitoriness), sesuatu yang hari ini ada, besok tidak ada lagi. Mungkin ini sama dengan yang kita baca dalam kitab Yakobus, ‘seperti uap’ atau ‘seperti bunga’. Uap dan bunga dipakai penulis kitab Yakobus mewaili hidup manusia; hidupmu seperti uap, tapi hidupmu juga seperti bunga. Uap dan bunga adalah sesuatu yang ada sebentar, lalu tidak ada lagi. Saudara kalau tiup kacamata Saudara yang dingin, ada uap yang kelihatan sebentar tapi lalu tidak kelihatan lagi. Kalau Saudara melihat bunga, itu sesuatu yang indah, bahkan bunga di tepi got saja indah, tapi indahnya cuma sebentar, setelah itu tidak indah lagi. Bunga-bunga yang mahal yang kadang-kadang Saudara berikan ke orang, akan jadi sampah dalam beberapa hari kemudian. Itulah sesuatu yang jadi gambaran dari kemudaan kita, fajar hidup kita –kehidupan kita secara umum–bahwa kehidupan adalah sesuatu yang berlalu, fana.
Apakah hebel ini buruk, seperti tokoh Habel itu artinya buruk? Tidak. Kita tahu tokoh Habel bukan buruk hidupnya, hanya pendek saja hidupnya; yang buruk hidupnya adalah Kain, meski jauh lebih panjang daripada Habel. Habel itu hidupnya pendek, berlalu, seperti tidak mencapai apa-apa, tapi indah ketika dia ada, seperti bunga. Bukankah ini mewakili karakter dari Allah kita? Allah menciptakan banyak hal yang seperti itu, fana, sebentar saja adanya. Tapi ketika dia ada, indah lho. Seperti musik barangkali; musik itu sebntar saja ada, tapi ketika dia ada, dia indah. Atau mungkin seperti makanan; makanan itu enak ketika dimakan, tapi setelah makan barangkali kekenyangan, barangkali merasa bersalah, barangkali merasa bokek, dst. Jadi makanan itu indahnya sementara, tapi Saudara makan juga, menikmati juga, bersyukur juga, walaupun enaknya hanya waktu dimakan, dan kadang-kadang sebentar setelahnya, sementara besoknya sudah tinggal kenangan. Kehidupan juga seperti itu. Orang-orang dalam dunia ini mana yang lebih banyak, orang-orang yang pernah lahir atau orang-orang yang masih hidup? Tentu berlipat-lipat kali lebih banyak orang yang pernah lahir; diperkirakan lebih dari 60 milyar manusia pernah lahir, tapi hanya 8 milyar yang sekarang ini masih hidup.
Orang yang sudah mati, sudah jadi bangkai, sudah dikubur, sudah jadi makanan cacing, sudah jadi tahinya cacing, itu lebih banyak jumlahnya daripada orang-orang yang sekarang ini, masih ada, hidup dan bergerak, masih bernafas seperti Saudara dan saya. Lalu, apakah hal itu akan membawa kita kepada kekhawatiran (anxiety) seperti Ernest Becker katakan, kalau kita sadar maka kita anxious, maka obatnya adalah jangan terlalu sadar?? Itu sebabnya ada beberapa orang yang membiasakan diri hidup tidak terlalu sadar, baik secara fisik dibikin tidak terlalu sadar dengan pakai alkohol; atau dengan menyibukkan diri supaya teralihkan perhatiannya jadi tidak terlalu sadar akan kefanaan hidup. Kerja, kerja, dan kerja, berprestasi, berprestasi, dan berprestasi, atau bersenang-senang, bersenang-senang, dan bersenang-senang, jadi tidak terlalu sadar akan kefanaan?? Apakah itu solusi yang diberikan Pengkhotbah? Bukan. Tapi apakah kemudian solusi yang diberikan Pengkhotbah seperti ini: “Ya, sudahlah, itulah kehidupan, kamu ‘gak bisa ubah, koq”; kamu pasti mati, kamu sadar akan mati, kamu tidak tahu bagaimana mati itu, kamu belum mati, ya sudah, terima saja —faktor yang kelima, solusi Stoikisme, ‘terima saja, habis mau bagaimana lagi’– apakah ini solusinya?? Bukan. Pengkhotbah mengatakan, hidup itu, walaupun sebentar seperti uap dan bunga, ketika dia ada, dia indah. Bukankah itu alasan untuk mensyukurinya?
Saya sering kali mempertanyakan kehidupan, sejak saya masih kecil. Saya misalnya bertanya-tanya buat apa kita mandi, karena besoknya kotor lagi, perlu mandi lagi; buat apa kita membereskan rumah, buat apa kita membersihkan sesuatu, buat apa kita menghadirkan sesuatu, karena besoknya toh hancur lagi. Kalau kita melihat puing-puing bangunan, dulunya itu bangunan yang hebat, bagus, dirancang dengan hati-hati, lalu setelah sekian ratus atau sekian ribu tahun jadi puing juga, jadi buat apa dulunya dibikin dengan susah payah?? Kalau Saudara lihat piramida, luarnya seperti jelek-jelek tapi dulunya tidak begitu, dulunya mulus, ada lapisan batunya, dsb.; lalu, kalau orang yang bikin itu tahu sekarang jadi begini, mereka akan bikin atau tidak? Saya akan jawab: mereka tetap bikin. Tapi alasannya apa? Alasannya biasanya ini: dulu waktu bikin, tidak tahu, dan tidak terlalu mau pikir akan jadi apa. Waktu Saudara melahirkan anak, Saudara ‘kan tidak pikir sambil gendong-gendong, “Aduh, lucu bayi saya, besok jadi bangkai; saya ‘gak tahu besok kamu jadi insinyur apa jadi dokter, tapi saya tahu kamu akan jadi bangkai”; tidak begitu ‘kan?? Saudara tahunya ‘hari ini kamu hidup, besok saya ‘gak mau pikir’. Namun Pengkhotbah menganjurkan kita untuk pikir juga, menyadari dan menyerapnya dan mengamininya, bahwa dia akan jadi bangkai –memang kita akan jadi bangkai– tapi sewaktu kita hidup, kita bisa menjadi indah, seperti bunga.
Bunga akan jadi sampah, tapi ketika dia hidup, dia indah. Namun barangkali ketika kita hidup juga tidak indah, dan alasannya sering kali bahkan tidak perlu Alkitab untuk menyatakannya, Ernest Becker saja tahu, yaitu karena kita ingin tidak mati, kita tidak mau menerima kenyataan bahwa kita hanya sementara; bahasa dari orang-orang Judeo-Christian adalah ‘karena kita mau jadi allah’, kita mau jadi immortal. Orang Romawi mencoba jadi immortal dengan membangun proyek-proyek raksasa, dengan melakukan tindakan-tindakan heroik. Atau, beberapa orang secara literal berusaha menciptakan obat untuk membuat manusia tidak harus menua, tidak harus mati –dan tidak pernah berhasil. Orang Romawi dengan segara heroisme mereka, dengan segala proyek-proyek raksasa mereka, toh dilupakan, siapa sih yang mengingat?? Yang ingat hanya anak sekolah, itu pun dipaksa oleh guru sejarah.
Jadi, apakah seseorang akan sukses jadi immortal, kelihatannya peluangnya kecil; orang paling sukses pun pada akhirnya hanya namanya tercetak di buku sejarah. Ini sesuatu yang saya kira jauh di dasar hati kita, kita tahu betapa sia-sianya. Jadi, marilah kita embracing reality. Apa realitasnya? Realitasnya adalah bahwa hidup kita memang seperti uap, memang seperti bunga, tetapi asalnya dari Tuhan. Dan isinya banyak; selain penderitaan, selain rasa frustrasi karena keadilan yang tidak terpuaskan seperti dalam pasal 2 dst., banyak kejahatan dalam dunia, –dan tentu saja problem of evil menghalangi banyak orang untuk hidup dengan kesadaran bahwa Tuhan itu ada– hidup manusia ‘kan isinya bukan melulu itu.
Kalau kita mau jujur, hidup manusia bukan isinya hantu kematian, ataupun perasaan tidak puas karena hidup tidak adil, atau kemarahan, dst., dst. –penderitaan secara umum– bukan hanya itu isinya; isinya juga ada kenikmatan. Kenikmatan yang juga kita bisa jumpai dalam hal-hal kecil, hal-hal sederhana, seperti di sini dikatakan ‘makan dan minum’, yang juga sebetulnya sementara, karena pasal 12:1 Pengkhotbah mengatakan akan ada hari-hari malang di mana engkau akan mengatakan, “Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!” Dan, tak ada kesenangan ini ada alasannya, yaitu apa? Yaitu: “matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan” (ayat 2), ini menandai hidup yang menjadi kelabu. Mengapa kelabu? Karena “penjaga-penjaga rumah gemetar” (ayat 3); ini menyatakan lengan-lengan kita, badan kita, orang kalau sudah tua gemetar, apalagi kalau parkinson. Selanjutnya, “orang-orang kuat membungkuk”, maksudnya badan yang jadi bungkuk karena orang tua kepadatan tulangnya berkurang, kekuatannya berkurang, jadi bungkuk. “Perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya”, maksudnya gigi berkurang, dan kalau gigi berkurang makan pun kurang nikmat walaupun makanannya nikmat; kalau kamu tua, lebih sering makannya tidak nikmat, makan pakai gigi palsu tidak nikmat, kalau tidak pakai gigi palsu tidak bisa makan, jadi serba ‘gak nikmat deh, maka sebelum hari itu datang, nikmati –kira-kira begitu. “Yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur”, maksudnya pengalaman kesadaran kita melihat dari jendela tubuh kita, yaitu mata, menjadi kabur –mata yang jadi kabur. Ayat 4, “Pintu-pintu di tepi jalan tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah”, ini menandai kesadaran yang meredup waktu orang menjadi tua, kuping makin budek; “dan suara menjadi seperti kicauan burung”, suara kita juga jadi parau waktu kita menjadi tua, juga jadi tidak berarti, tidak koheren logikanya, dst. Selanjutnya, orang waktu tua kadang-kadang jadi serba takut, jadi bertambah anxiety-nya, dst. (ayat 5); “belalang menyeret dirinya dengan susah payah”, berjalan saja susah; “nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi”, makan ‘gak nafsu, hal-hal lain juga sering kali ‘gak nafsu, hidup ‘gak nafsu kalau sudah tua –dan akhirnya toh mati. Ayat 6, “Rantai perak diputuskan, pelita emas dipecahkan, tempayan dihancurkan, dst.”, ini menandai kematian, mungkin seperti memecahkan semangka dalam tradisi kita. Ayat 7, “dan debu kembali menjadi tanah seperti semula”, dari creation jadi de-creation, dari order menjadi chaos kembaliatau non-order, “dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.”
Ayat 8, “Kesia-siaan atas kesia-siaan” –kuadrat kesia-siaannya– penuh dengan kefanaan, segala sesuatu fana. Ini mengakhiri perkataan langsung dari Kohelet sendiri, lalu sisanya adalah murid-muridnya dan kemungkinan redaktur. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Kohelet menyajikan suatu pengharapan. Pengharapan lewat sesuatu yang sepertinya separuh dia menerima solusi orang Stoik yaitu ‘diterima saja, toh kamu tidak bisa ubah’, amor fati, cintailah takdirmu, cintailah nasibmu, cintailah yang kamu tak bisa ubah; tapi lebih dari itu, karena sikap amor fati ini barangkali menyisakan sikap yang kurang bersyukur juga. Ini seperti anak kecil yang bilang, “ya udahlah”. Orangtuanya bilang, “Dimakan ya makanannya, adanya cuma itu”, lalu dia bilang, “Ya udahlah” dan dia makan. Taat sepertinya, tapi taatnya mengandung sikap kurang menghargai juga, mengandung suatu sikap pemberontakan juga, ‘habis bagaimana lagi, yang Tuhan ‘kan Elu, gua ‘kan cuma makhluk saja, ya, udahlah, nurut sama Tuhan, habis gimana lagi’. Sikap ini seperti saleh, seperti realitis, seperti keren juga, tapi itu kurang ajar juga, itu adalah sikap tidak bersyukur, sikap sinis pada Tuhan. Saya kira, itu bukan solusi dari Pengkhotbah. Solusi Pengkhotbah di sini adalah: terimalah kenyataan itu, sebab walaupun kamu tak mengerti sepenuhnya, kenyataan itu adalah kenyataan yang indah.
Tuhan menciptakan kita seperti ini, masih ada teka-teki yang tak terjawab kenapa kita merindukan kehidupan padahal kita akan mati, kenapa kita merindukan hidup terus yang benar-benar hidup dan bukan menjadi tua dan sekadar menunggu mati tapi jadi muda terus. Itu memang tidak ada jawabannya barangkali, tapi “ya, sudah”, Pengkhotbah bilang, kita percaya kepada Allah yang memberi, kita percaya kepada Allah yang bijak, kita percaya kepada Allah yang punya jawabannya walaupun Dia tidak beritahu kita; kita percaya pada kebaikan-Nya. Itulah solusi Pengkhotbah; dan Pengkhotbah tentu saja belum melihat Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, karena Pengkhotbah hidup pada era akhir Perjanjian Lama, Pengkhotbah ini orang yang menulis dalam tradisi setelah Pembuangan tapi sebelum Tuhan Yesus berinkarnasi.
Kita, sebagai orang-orang Kristen yang membaca kitab Pengkhotbah, saya kira bisa lebih menghargai hal ini daripada sebagai orang-orang Yahudi atau sebagai orang-orang Perjanjian Lama, karena kita sudah melihat “solusi” penghiburan yang diberikan oleh Tuhan atas problem dasar dari hidup manusia bahwa manusia pasti akan mati, manusia sadar akan mati, dia tidak tahu mati itu seperti apa, dan dia belum mati. Kita tahu bahwa dalam Yesus ada penghiburan ini: bahwa kita akan dibangkitkan, bahwa di dalam kebangkitan itu kita tidak akan dihukum tapi kita akan bersekutu bersama dengan Tuhan. Kita akan dibangkitkan bukan hanya dalam keadaan yang tidak bisa mati, tapi di dalam kehidupan yang bermakna. Kita dibangkitkan di dalam persekutuan dengan Allah, berpartisipasi di dalam riwayat Tuhan. Itu masa depan kita.
Melalui kebangkitan Yesus kita melihat Allah sendiri memberikan pesan –yang sudah sempat Dia bocorkan sedikit kepada Kohelet—yaitu hidup manusia harus diterima bahwa dia fana; tetapi potongan teka-teki yang belum sempat Kohelet lihat adalah ini: bahwa hidup itu dimaksudkan untuk suatu kelanjutan, yang kita memang tidak tahu tapi kita sudah lihat cicipannya dalam Yesus, yaitu kehidupan dalam tubuh kebangkitan. Dan, kehidupan dalam tubuh kebangkitan itu harusnya menjadi satu orientasi untuk kita menghidupi hidup kita dalam bentuknya yang sekarang.
Kehidupan dalam tubuh kebangkitan bukanlah hidup sebagai bukan manusia, itu adalah hidup sebagai manusia; itu bukanlah hidup yang tak terbatas, itu adalah hidup yang terbatas, kita tidak menjadi Tuhan waktu itu. Tetapi itu adalah hidup yang tidak berkesudahan, itu adalah hidup yang tidak mati lagi. Itu adalah hidup di dalam bukan lagi permusuhan/persaingan, tapi dalam persekutuan; kita ada connection, ada kekerabatan, ada silaturahmi, dengan orang-orang lain dan dengan Tuhan sendiri. Dan, itu adalah sesuatu yang saya kira menggema dalam kerinduan kita yang paling dalam. Kita ini, dalam dasar hati kita yang paling dalam, bukan ingin hidup selamanya saja sih, karena pada kenyataannya dalam hidup ini beberapa orang kepingin mati. Ini menyatakan bahwa kerinduan kita yang paling dasar bukanlah hidup selamanya, tapi hidup yang berarti. Salah satu hal yang membuat hidup berarti adalah koneksi, persekutuan –kamu berarti bagi seseorang dan seseorang berarti bagi kamu, kamu mengerti hidup seseorang dan orang mengerti hidup kamu, isi hati kamu dia mengerti dan kamu juga mengerti isi hati mereka/dia. Ada companionship dalam perjalanan di bawah matahari, itu kerinduan kita yang paling dalam. Dan kerinduan tersebut bukankah memang Kohelet tidak memberikan solusi, tidak memberikan penghiburan, tetapi Yesus memberikan kepada kita, umat-Nya.
Saya berharap paparan ini membuat kita lebih jelas apa yang kita bisa harapkan di dalam Yesus, apa yang kita miliki di dalam Yesus, yang menjadi sumber ucapan syukur kita pada hari ini. Ketika kita berjalan di bawah matahari dengan pengertian bahwa kita pasti mati, dengan kesadaran akan hal itu, tapi juga kesadaran bahwa kita tidak tahu dengan persis dan kita tidak bisa kendalikan akan jadi apa pengalamannya. Pengalamannya kita tidak bisa pilih, tidak bisa booking dulu di depan; kalau naik pesawat kadang-kadang bisa booking dulu di depan, mau duduk di mana, makan apa, mau tempat duduk yang kayak apa, bahkan nonton film mana saja —user experience-nya bisa ditentukan/dipilih– tapi kita tidak bisa pilih setelah kita berhenti bernafas nanti user experience-nya akan apa. Ada pengharapan bagi kita yang seperti ini. Ada pengharapan bagi keadaan hidup manusia yang seperti ini, sehingga kita menjalani hidup dengan bukan hanya gloomy, lalu sok realistis, tapi dengan ucapan syukur, menjalani hidup dengan ucapan syukur; dan itu adalah menjalani hidup yang sehidup-hidupnya, menjalani hidup dengan seantusias-antusiasnya. Sebab apa? Sebab kita akan dibangkitkan. Kita bukan orang-orang yang menuju kepada kematian saja –meski memang kita menuju kematian– kita bukan orang-orang yang harus mengingat eksistensi kita adalah eksistensi menuju kematian, tapi kita adalah orang-orang yang punya dasar untuk berharap ini: eksistensi kita adalah eksistensi yang menuju kebangkitan, karena kematian bukanlah akhirnya, kehidupan setelah mati juga bukan akhirnya. Pengharapan kita adalah tertuju pada kebangkitan; bukan kehidupan setelah mati, bukan kematian itu sendiri, tetapi pada kebangkitan. Kiranya ini lebih membuat kita besyukur.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading