Selamat Tahun Baru. Tadi pagi saya mengutip perkataan Paulus, “untuk sebagian orang, hari yang satu lebih penting daripada hari yang lain; untuk orang yang lain, semua hari sama saja”, tapi kemudian Paulus mengatakan, “hendaklah masing-masing yakin di dalam dirinya”. Jadi tadi pagi kita khotbah melanjutkan eksposisi Kidung Agung –jadi kita mengambil aliran semua hari sama saja— tapi Kebaktian II ini, kita mengambil aliran hari yang satu lebih baik daripada hari yang lain, maka kita akan merenungkan bagian Firman Tuhan yang ada kaitan dengan Tahun Baru.
Khotbah ini mengikuti Kalender Gereja di Jerman; salah satu ayat yang diusulkan untuk perenungan Tahun Baru, yaitu dari Ayub 42:1-6, dan khususnya ayat 5: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”
Kita akan langsung merenungkan mulai ayat 5, karena ayat 5-6 ini padat sekali. Saya berasumsi kita semua sudah mengetahui cerita tentang Ayub, kita juga sudah pernah mengkhotbahkan bagian-bagian yang lain, dan juga sudah pernah introduksi tentang kitab Ayub di PA. Kitab Ayub ini ada 42 pasal, dan bagian ini adalah pasal yang terakhir. Di sini LAI memberi judul: Ayub mencabut perkataannya dan menyesalkan diri; lalu dalam ayat 6 dikatakan: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Tapi penerjemahan tersebut bukan tanpa perdebatan; dan nanti kita akan melihatnya dalam pembahasan ayat 6.
Ayat 2, waktu Ayub mengatakan, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal”, biasanya di dalam pemahaman populer Saudara merasa ini adalah satu ayat yang merupakan penghiburan besar, bahwa tidak ada rencana Tuhan yang gagal, rencana Tuhan pasti akan terjadi, dan kita menghayati dengan pandangan positif, dsb. Memang rencana Allah pasti selalu positif, tapi kalau Saudara membaca konteks aslinya, pasal 42:2, waktu dikatakan “tidak ada rencana-Mu yang gagal”,ini sebetulnya kalimat yang diucapkan Ayub dalam keadaan Tuhan sudah membungkam dia, ini end of discussion, perkara ini sudah selesai. Di dalam konteks itulah, Ayub mengatakan “tidak ada rencana-Mu yang gagal”; siapa sih, yang sanggup berdebat dengan Tuhan, Tuhan pasti selalu menang, rencana-Nya tidak mungkin ada yang gagal. Dan dalam keadaan ini jugalah, di ayat 6 Ayub mengatakan, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Di dalam konteks Ayub yang mencabut perkataannya dengan penyesalannya inilah, Ayub mengatakan “tidak ada rencana-Mu yang gagal”.
Kita seringkali mengerti ketidakgagalan rencana Tuhan untuk sesuatu hal yang bagi kita menyenangkan; tapi kalau Saudara membaca dalam konteks ini, tidak ada rencana Tuhan yang gagal itu maksudnya adalah Ayub dibungkam. Sudah tidak usah debat lagi dengan Tuhan; pertanyaanmu tentang keadilan Tuhan itu sebetulnya tidak perlu dijawab, itu pertanyaan terlalu sepele, terlalu kecil, dibandingkan dengan the grand scheme of the universe maka pertanyaan itu almost nothing. Siapkah kita mendengar kalimat seperti ini? Bahwa penderitaan Saudara atau pergumulan Saudara –yang menurut Saudara penting dan harus dijawab– ternyata setelah God’s speech, itu menyatakan bahwa pertanyaanmu itu ‘gak penting-penting banget, persoalanmu itu ‘gak penting-penting banget, di dunia ini masih ada hal-hal yang indah dan tetap berjalan; yang sulit, gagal, dan berantakan itu ‘kan hidupmu, tapi dunia tidak gagal seperti hidupmu, burung masih tetap berkicau, matahari masih tetap bersinar, dan itu tidak tergantung kamu sakit atau tidak sakit, kamu ada kerjaan atau tidak ada kerjaan. Tidak enak mendengar kalimat seperti ini, tapi inilah memang message-nya. Dan inilah yang dimaksud Ayub waktu dia mengatakan, “tidak ada rencana-Mu yang gagal —keinginan saya untuk mendapatkan jawaban daripada-Mu boleh saja gagal, kayaknya Engkau juga tidak menjawab pertanyaanku, Tuhan, tapi tetap rencana-Mu memang tidak ada yang gagal”.
Selanjutnya di ayat 3, “Firman-Mu: “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita (yang saya tanya, yang saya bersikeras ingin Engkau jawab, itu semua saya katakan tanpa pengertian) tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui”. Ayub mengatakan hal-hal yang sebetulnya dia tidak terlalu mengerti, jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Dia pikir dia sudah mengetahui, tapi sebetulnya dia tidak mengetahui banyak hal di dalam kehidupan ini. Hal itu terlalu ajaib bagi dia, hal itu tidak diketahuinya, tapi dia telah menceritakannya juga tanpa pengertian itu.
Ayat 4: “Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.” Ayub sebetulnya mau berperkara dengan Allah, dia mau menanyai Allah, dia mau mengadili Allah di dalam kitab Ayub ini; tapi kemudian di pasal 42 ayat 4 ini, Allah sebetulnya yang menanyai Ayub dan Ayub yang harus memberi jawab, bukan Allah yang harus memberi jawab kepada Ayub tapi Ayub yang harus memberi jawab terhadap pertanyaan Allah. Maka kemudian di ayat 5 keluarlah perkataan ini: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”
Ayat 5 ini, kadang orang menafsir sebagai gambaran kontras antara mendengar dan memandang, antara telinga dan mata; tapi tafsiran ini sebetulnya kurang bisa diterima. Di sini kita tidak sedang membandingkan antara budaya mendengar ala Ibrani yang ternyata dikalahkan dengan budaya melihat ala Yunani, misalnya; atau kalau di dalam denominasi Kristen, mungkin budaya mendengar ala Protestan ternyata harus dikalahkan dengan budaya melihat ala Eastern Orthodox dan Roma Katolik dengan banyaknya ikon, dsb. Pastinya, bagian ini tidak membicarakan hal tersebut. Dari pembacaan sepintas, bisa jadi seolah-olah kita melihat kontras seperti itu, tapi sebetulnya yang dibicarakan bukanlah kontras antara mendengar versus memandang, telinga versus mata, karena setelah pembicaraan ini pun sebetulnya Ayub tidak betul-betul melihat Allah, tapi dia mendengar perkataan Allah –ini bukan penglihatan, tapi pendengaran juga sebetulnya. Jadi, kontras di sini tentang apa? Sebetulnya kalimat tersebut bisa diartikan bahwa perjumpaan Ayub dengan Allah ini menjadi lebih otentik, lebih dekat, lebih intim –waktu di bagian ini dikatakan, “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Dan saya percaya, ayat inilah yang seharusnya menjadi satu pengharapan kita di tahun yang baru, bahwa bukan dari kata orang saja kita mendengar tentang Tuhan, tapi mata kita sendiri memandang Tuhan.
Hari ini adalah kedua terakhir saya khotbah di GRII Kelapa Gading secara fisik, setelah itu Pak Jethro akan lebih banyak khotbah di sini dan terlibat dalam kepemimpinan Gereja, penggembalaan dsb. Hamba Tuhan berganti terus, ada kedaluwarsanya –berharap bukan karena busuk tapi karena waktunya Tuhan sudah tiba. Saya di sini dengan tulus berharap, waktu Saudara mendengar Firman Tuhan, Saudara bukan mendengar “kata orang”. Katanya pendeta ini …, tapi kalau katanya pendeta itu, saya kurang bisa dengar, karena katanya pendeta ini lebih bisa masuk bagi saya daripada katanya pendeta itu; katanya pendeta ini lebih bisa membawa saya kepada keindahan kelimpahan Firman Tuhan, tapi kalau pendeta itu …, dst., dst. Kalau seperti itu, berarti kita belum memandang Tuhan, kita masih melihat seputar ‘kata pendeta’, ‘kata hamba Tuhan’, tapi kita sendiri sepertinya tidak bertumbuh di dalam pengenalan akan Firman Tuhan yang selalu limpah, Firman Tuhan yang tidak berubah kelimpahan dan keindahanya, tanpa memandang siapa yang menguraikan/ menceritakannya. Namun, kalau Saudara tidak menggali sendiri, Saudara akan sangat bergantung pada ‘kata orang’, termasuk katanya pendeta ini atau pendeta itu; Saudara baru bisa melihat kemuliaan Tuhan waktu pendeta ini yang membicarakan, sementara kalau pendeta itu, jadi seperti kurang bisa melihat, dsb. Jika demikian, berarti kita tidak bisa menggali sendiri, kita tidak bisa melihat sendiri.
Tentu saja di dalam kehidupan ini ada fase ketika kita musti dibimbing oleh orangtua, fase ketika orangtua kita musti bilang, “Stop! berhenti, ke kanan, … stop, sekarang ke kiri”, dsb. Atau misalnya orangtua kita musti bilang, “Sekarang tidur! pejamkan mata, sudah tidak usah jelalatan matamu, tutup”. Memang ada fase-fase itu, tapi jadi tidak lucu kalau terus-menerus sampai umur 23, 24, 37, masih saja harus dibilangin, “Tidur!”, “Lihat, ini Ayub 42, ayo lihat, buka matamu!”, dst. Ada yang salah, kalau terjadi seperti itu. Kalau Saudara masih baru, memang betul ada waktunya seperti itu, tetapi kalau kita bertumbuh, seharusnya kita bukan hanya dari kata orang saja mendengar tentang Tuhan, tapi sekarang mata kita sendiri memandang Tuhan. Jadi ini bicara mengenai pertumbuhan orang yang mempunyai perjumpaan dengan Tuhan yang otentik, yang semakin dekat dengan Tuhan sendiri; dan itulah yang dialami oleh Ayub.
J.I. Packer di dalam buku “Knowing God” (Mengenal Allah), dia membedakan antara knowing about God dan knowing God, bahwa ada perbedaan antara mengetahui tentang Allah dan mengenal Allah. Tetapi Clines, salah seorang penafsir kitab Ayub, mengatakan, bahkan di sini pun sebetulnya Ayub bukan sedang mengatakan bahwa sebelumnya Ayub somehow cuma mendengar tentang Yahweh/Tuhan, lalu dikontraskan dengan sekarang Ayub melihat Dia secara langsung (seeing Him directly), karena bagian tersebut di dalam bahasa aslinya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kira-kira artinya ‘I heard You with the hearing of the ears’ (aku mendengar engkau dengan pendengaran telingaku). Memang agak susah menerjemahkan kalimat ini dengan sekedar ‘mendengar tentang’; ini bukan ‘mendengar tentang’, ini pendengaran yang lumayan personal, ini lebih dari ‘mendengar tentang’. Kontras antara ayat 5a dan 5b ini bukanlah urusan mendengar versus memandang, telinga versus mata, mendengar tentang versus memandang secara langsung –bukan tentang itu– tapi lebih kepada gambaran pertumbuhan seorang Kristen yang sehat, kalau dikontekstualisasikan terhadap kehidupan Saudara dan saya. Ada pertumbuhan, seseorang yang tadinya pengenalan akan Tuhan-nya dia terima dari pemberitaan Firman oleh hamba Tuhan, atau dari membaca buku saat teduh, ataupun membaca buku-buku teologi –tidak ada yang salah dengan itu– yang kemudian tantangannya adalah: apakah kita dengan mata kita sendiri memandang Tuhan. Bukan cuma puas hanya dengan pemberitaan second source, tetapi masuk dan mengejar pengalaman first source, pengalaman tangan pertama, dan bukan tanpa pengalaman pribadi memandang Tuhan.
Apa artinya memandang Tuhan? Bicara mengenai memandang Tuhan, berbagai tradisi mungkin menjelaskan secara berbeda-beda. Dalam denominasi kita misalnya bisa dikaitkan dengan visi gerakan. Atau bagi denominasi lain, dalam tradisi yang sangat menekankan mysticism, mungkin akan mengartikannya sebagai suatu pengalaman mystical ecstasy, suatu pengalaman heavenly bliss yang jarang sekali. Denominasi yang lain lagi mungkin menafsir berbeda lagi, misalnya bahwa ini maksudnya orang tersebut memandang Tuhan dalam arti mendapat penampakan yang sangat khusus. Jadi, Saudara lihat ada bias denominasi yang kental di sini, tidak terkecuali denominasi kita, mungkin kita akan mengartikan ini sesuai dengan bahasa kita sendiri. Saya pikir, kita perlu mengerti hal ini secara biblical theology di dalam kitab Ayub sendiri, apa yang dimaksud Ayub waktu dia mengatakan “sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Tadi kita sudah mengatakan ini relasi yang semakin dekat, yang makin otentik; tapi apa sebetulnya artinya? Hal ini tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan kitab Ayub, tidak bisa dipisahkan dari perkataan Allah sebelumnya itu, dan juga tidak bisa dipisahkan dari ayat 6.
Kalau kita melihat pasal 19, kita membaca bahwa Ayub mengharapkan dirinya boleh melihat Allah. Ayub 19:26-27, “Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.” Ayat 26 ini pun, saya pikir sangat sarat dengan tafsiran ‘sesuai apa yang kita harapkan’, kalau kita tidak membaca ayat 27, dan cuma membaca ayat 26 saja. Saudara tentu akrab dengan ayat ini, “juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah”, dan biasa menafsirkan ini sebagai eschatological resurrection, pengharapan orang bahwa meskipun mati tapi dia akan melihat Allah, tentang visio Dei, heavenly bliss –ke arah sana kita menafsirnya. Tapi sebetulnya bukan itu konteksnya; ayat 26-27 tidak membicarakan hal itu. Kita membaca ayat 27: “yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku”. Ayat 26 mengatakan tentang Ayub akan melihat Allah, dan di dalam pengharapannya untuk melihat Allah –tentu saja kalau Ayub melihat Allah, Allah juga akan melihat dia—dia sangat yakin bahwa waktu dia melihat Allah dan Allah melihat dirinya, dia akan melihat Allah yang pasti akan memihak kepadanya, Allah akan vindicate, Allah akan membenarkan dirinya. Ayub mengatakan, “mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu”; maksudnya: aku rindu Allah memperlihatkan diri-Nya supaya aku bisa melihat, dan Allah kemudian membela perkaraku. Kenyataannya, TIDAK TERJADI. Memang betul Ayub akhirnya melihat Allah, dia sendiri mengatakan “aku melihat Engkau”, tapi vindication itu tidak terjadi.
Di ayat 26, Ayub bahkan yakin Tuhan akan melakukan post-mortem vindication, dia mengatakan, “katakanlah aku mati dengan nama yang rusak, dengan dianggap orang fasik, tapi Tuhan akan membenarkan perkaraku, mungkin setelah aku mati nanti, namaku akan dikembalikan reputasinya” –karena Ayub sudah dituduh oleh teman-temannya, penghibur-penghibur sialan itu; “sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, dan Allah pasti akan membenarkan aku” –saya di dunia sudah terlalu banyak difitnah, disalah mengerti, nanti meskipun aku mati, Tuhan pasti akan membenarkan aku.Kenyataannya: TIDAK. Betapa tidak sesuai harapan, gambaran seperti ini.
Tahun baru, Saudara mengharapkan apa? Supaya reputasi kita lebih baik? Supaya orang lebih mengerti siapa kita, dan tidak salah mengerti kita? Ayub sudah pernah menjalani pengharapan seperti itu, tapi hasilnya adalah: Tuhan tidak melakukan itu. Tuhan TIDAK melakukan vindication. Ini berakhir dengan tidak terduga. Di mana Dia, Sang Vindicator itu, yang akan mengerti saya, yang akan memihak kepada saya, yang akan membenarkan saya? Tidak ada di sini, tidak muncul ternyata. Jangan-jangan benar apa yang selama ini dikuatirkan oleh Ayub, seperti yang kita baca di pasal 9 ayat 12 dst., bahwa Tuhan itu koq lebih mirip satu kekuatan yang suka mem-bully manusia tidak habis-habisnya, lagipula Tuhan tidak bisa diperkarakan, Tuhan itu berdaulat. Bagaimana ini??
Kalau Saudara membaca dalam bagian awal, sebetulnya yang bisa menerima kedaulatan Tuhan, termasuk hal-hal yang buruk, adalah Ayub sendiri, sementara istrinya tidak bisa menerima. Istrinya itu seperti sebagian denominasi di zaman kita sekarang, yang mengatakan bahwa hal-hal yang baik adalah dari Tuhan, sedangkan hal-hal yang buruk dari setan; kekayaan dan kesehatan dari Tuhan, sedangkan kemiskinan dan sakit-penyakit dari setan. Teologi istri Ayub adalah: pengalaman evil bukan dari Tuhan. Dalam hal ini Ayub berkata kepada istrinya itu, “Kamu bicara seperti perempuan gila –perempuan disintegrated, fragmented, terkeping-keping”. Apa artinya? Kalau kita mengatakan yang baik dari Tuhan, yang tidak baik bukan dari Tuhan, ini artinya disintegrated. Lawan katanya adalah integrated, bahwa yang baik maupun yang buruk, dua-duanya dari tangan Tuhan. Memang susah menerima hal ini.
Di pasal-pasal awal sebetulnya Ayub sudah beres dalam hal ini, dia ada pengakuan kedaulatan Allah, bukan hanya mengenai hal-hal yang baik tapi yang buruk juga. Ayub beres dalam hal ini, sementara istrinya tidak. Namun, di dalam ke-beres-an Ayub pun, masih ada hal-hal yang Ayub perlu dikoreksi; Ayub memang mengakui Allah berdaulat –bahwa semua kebangkrutannya, kematian anak-anaknya, istrinya yang tidak mengerti, dsb., terjadi di dalam kedaulatan Allah– tetapi, waktu Allah muncul dan aku melihat Dia, Dia pasti akan memihak kepadaku, Dia akan vindicate me, Dia akan membela perkaraku, itu pasti! Kenyataannya, tidak juga; Tuhan malah membicarakan hal-hal yang lain, yang seperti tidak relevan. Tuhan membicarakan tentang alam semesta, kuda nil, buaya, tentang bagaimana menciptakan dunia, dsb., seakan-akan Tuhan tidak peduli sama sekali dengan penderitaan Ayub, tidak peduli dengan pertanyaan Ayub akan keadilan, dan justice diabaikan begitu saja.
Ayub sebetulnya bukan orang Israel; dan pertanyaan tentang keadilan Tuhan, biasanya tipikal pertanyaan orang Israel, karena mereka mengenal Allah yang adalah keadilan. Tetapi di sini, Ayub bukanlah orang Israel, lagipula di pasal-pasal awal dikatakan kesalehannya melampaui para patriark Israel; ada 4 atribut positif yang disebutkan mengenai Ayub, sementara dalam Perjanjian Lama, tentang Abraham disebutkan 2 atribut positifnya, demikian juga tentang Musa, Yakub, seolah-olah di sini mau mengatakan, bahwa Ayub yang bukan orang Israel ini lebih saleh daripada orang Israel. Barangkali, karena itu juga dia boleh bertanya tentang keadilan Allah meskipun dia bukan orang Israel, karena kesalehannya tidak kalah dengan orang Israel yang paling saleh pun; bahkan terhadap bapa-bapa leluhur pun, dia melampauinya. Tidak pernah di dalam Alkitab ada penyebutan 4 atribut postif atas seseorang seperti atas Ayub ini, yang ada paling banyak cuma 2 atribut positif, tetapi Ayub memborong semuanya, sehingga mungkin karena itulah, ia boleh mempertanyakan keadilan Allah. Namun ternyata, jawabannya juga tidak ada; dan ini bukan karena dia ‘bukan orang Israel’, melainkan karena Tuhan memang tidak bisa dipojokkan seperti itu. Dalam kehidupan kita, waktu kita belajar mengenal Tuhan, banyak hal yang kita perlu unlearn. Salah satu proses yang penting di dalam belajar (learning) adalah unlearning, pembongkaran konsep yang salah; dan hal ini sesuatu yang terus-menerus.
Saya kadang-kadang agak jengkel dengan orang yang tanya sesuatu, tapi sebetulnya dia tidak betul-betul bertanya, dia cuma mau mendapatkan stempelnya hamba Tuhan; dia bikin statement lebih dulu, begini, begini, begini, lalu dia menantikan jawaban hamba Tuhan, tapi waktu jawabannya hamba Tuhan lain, dia tidak puas. Inilah orang yang tidak mau dengar jawaban yang berbeda dari apa yang selama ini dia bayangkan; kalau begitu, ngapain tanya?? Tanya ke hamba Tuhan A, dan ternyata jawabannya tidak seperti yang diharapkan, maka dia tanya ke hamba Tuhan yang lain, lalu kalau masih tidak sesuai harapannya, dia tanya lagi ke yang lain, dst., jadi sebetulnya dia bukan mau rendah hati bertanya tapi mau mengajar. Ada orang-orang yang tidak jujur di dalam pengenalannya akan Tuhan, keras kepala, dan sudah punya pikirannya sendiri. Dia cuma mau orang lain yang belajar pada dia, tapi dia sendiri tidak mau dikoreksi pengertiannya.
Kalau Saudara melihat kitab Ayub, ini koreksi yang tidak habis-habisnya di dalam diri Ayub, yang bahkan sudah mengerti sebetulnya. Dibandingkan istrinya, Ayub lebih mengerti kedaulatan Allah, lebih bisa menerima. Tapi, orang yang sudah mengerti dan menerima kedaulatan Allah ini pun, ternyata sebetulnya tidak mengerti; dan ini diakuinya dalam pasal 42, “tanpa pengertian, aku telah bercerita”. Orang yang sangat mengerti, sangat saleh –dengan 4 atribut positif– ini pun ternyata tidak mengerti. Apa yang dia tidak mengerti? Yaitu bahwa Tuhan menolak pengharapannya bahwa dirinya harus di-vindicate, bahwa dia adalah benar; itu bukan concern-nya Tuhan. Menyakitkan ya, gambaran kayak begini. Kalau di dalam kehidupan, kita tidak bisa lepas dari hal ini, saya pikir kita belum belajar dari kitab Ayub –maksudnya di sini Saudara benar, bukan salah, karena kalau salah, ya, tidak ada yang perlu dibenarkan, memang salah. Kalau Saudara ada benarnya dan ada salahnya –tetap ada salahnya– dan tidak mendapatkan pembelaan, it’s just correct juga karena memang ada salahnya; tapi ada juga orang yang sudah ada salahnya, tetap minta dibenarkan.
Ayub ini tidak ada salahnya; saya bukan mengatakan Ayub tidak berdosa, bukan itu poinnya, tapi bahwa di dalam semua persoalan ini, di dalam semua penderitaan yang dia alami, dia sebetulnya tidak ada salahnya. Ayub sendiri mengatakan, ‘saya ini pagi-pagi mendoakan anak-anak, supaya kalau mereka melanggar, maka ada pengampunan dari Tuhan’, dan dia mempersembahkan korban; yang dia lakukan ini melampaui tuntutan Taurat. Dalam Taurat, kalau orang bersalah, baru kemudian dia berdoa minta pengampunan, dan mempersem-bahkan korban; tapi yang dilakukan Ayub, belum sempat bikin salah, Ayub sudah mempersembahkan korban lebih dulu, sebelum anaknya berdosa, Ayub sudah berdoa lebih dahulu, ‘kalau anakku sampai berdosa, Tuhan, tolong ampuni mereka’. Mana ada kesalehan seperti ini di Israel; tuntutan Taurat pun dilampaui Ayub dalam hal kesalehannya. Kurang apa?? Jadi Ayub ini tidak salah kalau minta vindication, bahkan normal sekali, tapi Tuhan tidak tertarik dengan bagian itu. Kalau Tuhan tidak tertarik, saya pikir kita juga musti belajar supaya tidak tertarik.
Strahan mengomentari bagian itu demikian: “From the dark and narrow field of personal experience he is led into a vast cosmos which is luminous with God … He is content to take his place in the great scheme of things. … He is at once satisfied and awed into silence … [T]here is a singular blending af rapture and pain, – the rapture of the consciousness of God, the pain of self-knowledge”. Kita, orang Reformed, akrab dengan yang dikatakan Calvin tentang pengenalan akan Allah dan pengenalan diri, tapi yang mungkin kita kurang akrab adalah: mengenal diri itu menyakitkan. Mengenal Allah yang mahabesar, mahamulia, mahakudus, dsb., kita mungkin semua setuju, tapi bersamaan dengan itu, apa? Bersamaan dengan itu, “lu itu ‘gak penting-penting banget sih”. Tidak enak dengar kalimat seperti ini, “Allah itu mahamulia, mahabesar, tapi elu —dan penderitaan elu—‘gak penting-penting banget, sih”, tapi kalau kita tidak mengerti bagian ini, kita akan terus di situ saja, di pasal-pasal ketika Ayub masih berperkara dengan Tuhan, kita ‘gak nyampe-nyampe ke pasal 42. Atau kalau pakai bahasa kitab Ayub, “hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau” dan kita masih di situ terus, tidak ada bagian “sekarang mataku sendiri memandang Engkau” sampai kapan pun.
Apa artinya memandang Tuhan? Artinya: saya sekarang memandang Tuhan, dan Tuhan memandang kepadaku, dan ternyata, Tuhan yang saya pandang itu, tidak membela perkaraku. Inilah Tuhan yang kupandang; bukankah menyakitkan? Jadi faktanya apa, sih? Faktanya: Tuhan memperkenalkan kepada saya kuda nil, budaya, bulan, bintang, dsb., dan bilang, “Lihatlah Ayub, semuanya baik-baik saja”; jadi, saya dan penderitaan saya, kemiskinan saya, penyakit saya, bagaimana Tuhan?? —dan tidak ada jawaban bagian itu. Ayub musti melihat bahwa memang tidak ada jawaban. Itulah artinya pain of self knowledge. Tapi pain of self knowledge ini betul-betul membebaskan. Kalau Saudara tidak mau percaya bahwa ini membebaskan, ya, sudah, kita akan tanya-tanya terus dan sakit hati seumur hidup. Seumur hidup akan mengasihani diri sendiri, seumur hidup akan tanya terus “Di mana keadilan Tuhan, keadilan-Mu di mana? Di mana? Di mana?” Terus-menerus tanya seperti itu. Dalam hal ini Ayub berhenti; pertanyaan intelektualnya tidak diselesaikan. Namun seperti dikatakan penafsir yang lain, Rowley, intellectual problem-nya itu tidak diselesaikan karena dia sudah melampauinya –melampaui pertanyaan intelektual itu. Bisakah kita melampaui pertanyaan intelektual itu, bersama dengan Tuhan, waktu kita melihat Tuhan?
Waktu Tuhan memperlihatkan diri-Nya dengan ciptaan-Nya, di mana Tuhan begitu terang-benderang, di situ Tuhan sedang menjungkir-balikkan semuanya, mengubah hal-hal yang dianggap berharga dalam kehidupan, mengubah prioritas-prioritas. Prioritas kehidupan kita –kesehatan kita, kemapanan kita, reputasi kita, bahwa orang mengerti kita, dsb.– itu semua prioritas sampah, itu bukan priorotasnya Tuhan. Saya bukan mengatakan Tuhan tidak peduli sama sekali, bukan itu poinnya; tapi kalau prioritas kita, orang Kristen, adalah yang itu-itu terus –kesehatan, kemapanan, bahwa orang senang sama saya dan tidak memfitnah saya– itu prioritas apa sih sebenarnya??
Tuhan tidak menjelaskan kepada Ayub, “Ayub, ini ada kuda nil; kamu difitnah, ya, tapi kuda nil tidak saling memfitnah” –yang seperti ini tidak ada. Tidak ada cerita kuda nil yang tidak saling memfitnah; kalau ada, itu betul-betul menjawab pertanyaannya Ayub, solving intellectual problem. Tapi bukan itu yang dikatakan Tuhan. Bagian itu tidak disentuh waktu Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya dalam ciptaan-Nya. Bagian yang Ayub disalah mengerti itu, tidak disentuh dan tidak digubris sama sekali. Di dalam God’s speech, Saudara tidak akan menemukan adanya kata ‘keadilan’ (justice), misalnya, “Ini lho, Ayub, Saya ini Allah yang adil, buktinya ada ini, ini, ini, begini, begini begini, … jadi jangan pernah meragukan keadilan Saya” —tidak ada yang seperti itu. Urusan itu tidak dijawab oleh Tuhan. Sebaliknya, seperti dikatakan satu tafsiran yang lain, yang ada adalah pelajaran astronomi (tentang bintang, bulan, dsb.) dan zoologi (tentang binatang) –sangat tidak berhubungan dengan pergumulan Ayub, tetapi inilah pembebasan yang sesungguhnya.
Waktu kita menderita, yang jadi persoalan adalah: kita tergoda untuk menjadikan diri pusat alam semesta, padahal sebetulnya tidak. Waktu menderita, kita ada bakat narsisistik. Waktu tidak menderita, kita bisa murah hati, bisa mengedepankan orang lain, bisa membagi-bagi, bisa memberkati orang lain. Tapi waktu menderita, kita mau menggantikan posisi Tuhan, seakan-akan pusat alam semesta itu ‘saya’, saya yang menderita, burung jangan berkicau hari ini, kalau bisa mendung saja, karena saya lagi patah hati. Memangnya lu siapa?? Yang patah hati ‘kan kamu, tapi hari ini di seluruh dunia mungkin ada 70 orang yang sedang menikah, apa jadi harus mendung juga karena kamu patah hati, memangnya kamu siapa?? Inilah the pain of self knowledge; mengenal diri seperti ini, sakit rasanya, karena kita tidak suka kalau diri kita tidak disembah, kita tidak suka kalau diri kita bukan di pusat dan bukan pusat perhatian. Kalau kita tidak dianggap signifikan, itu sakit sekali rasanya. Tetapi, kita mau bebas, atau mau terus berada dalam penjara ini?
Ayat 6a: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku”. Ayat ini dalam terjemahan bahasa Inggris (ESV): “Therefore I despise myself” –mirip sekali dengan terjemahan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia ‘aku mencabut perkataanku’; dalam ESV ‘I despise myself’ artinya ‘aku menolak/merendahkan/membuang diriku sendiri’. Memang boleh juga terjemahan seperti ini, tapi Clines cenderung memakai terjemahan yang lain; perkataan tersebut di dalam bahasa aslinya kalau diterjemahkan harfiahnya adalah flow, melt, leleh, mencair –maksudnya, Ayub submit. Orang yang terus-menerus mempertanyakan keadilan Tuhan, artinya dia belum bisa submit. Orang yang terus saja merasa dirinya penting dan harus diperhitungkan penderitaannya, sakit-penyakitnya, dsb., artinya dia belum submit, dia mau kalau bisa Tuhan yang submit kepada dia dan menjawab, “Ini orang benar, hai seluruh dunia! Perhatikanlah, Ayub ini adalah orang benar!” Tapi masalahnya, Tuhan tidak jawab itu. Bukan Tuhan yang flowing/ melting/ submitting, tapi Ayub yang submit –atau dalam terjemahan lain, “I yield” (aku berserah, surrender). Maksudnya, sudahlah tidak usah diteruskan lagi, berperkara dengan Allah seperti ini unending, dan siapa sih, yang bisa menang dalam perdebatan dengan Allah.
Di dalam budaya Israel, sebetulnya berdebat (argue) dengan Tuhan itu biasa sekali. Saudara perhatikan saja, dalam Mazmur banyak sekali ratapan; dalam hal ini kita perlu unlearn, mundur untuk kemudian maju lagi. Kita di dalam Reformed tentu sangat mengerti mengenai ketundukan (submission), ketaatan (obedience), tapi yang mengkuatirkan adalah: submission dan obedience yang bukan tanpa ratapan, bukan tanpa pertanyaan, bukan tanpa berperkara dengan Allah. Kelihatannya tunduk, taat, submit, tapi ini submit yang bahaya, submit yang buta, karena tidak pernah ada pertanyaan, tidak pernah ada berperkara dengan Allah.
Contoh sederhana: anak kecil yang mulai belajar piano, dia mainnya ‘gak mikir, dan belepotan tidak keruan. Mozart, kalau main piano juga ‘gak mikir; tapi Mozart yang ‘gak mikir, dibandingkan anak kecil yang ‘gak mikir, itu lain banget. Yang di tengah-tengah adalah orang yang main piano dengan mikir, mungkin seperti Saudara dan saya; kita main piano sambil agak mikir-mikir sedikit, kita pakai otak, lumayanlah, tidak seperti anak kecil yang ‘gak mikir, asal pencet sana-sini bahkan kakinya pun bisa ikut main, ‘gak mikir sama sekali, ‘gak pakai otak. Tetapi Mozart, dia sudah “tidak pakai otak” mainnya, dia main begitu saja, sudah ‘gak mikir –dan jadi. Dia kalau menggubah lagu kayaknya ‘gak mikir sampai bagaimana, tapi jadinya lagu bagus; sedangkan kita, kalau mau mengarang lagu yang bagus, musti benar-benar mikir. Jadi, tahap pertama ‘gak mikir, tahap selanjutnya mikir –dan ini lebih baik daripada tidak mikir– lalu selanjutnya yang melampaui lagi, yaitu ‘gak mikir tapi ‘gak mikir yang sudah melalui mikir, yang karena sudah sangat ahli akhirnya jadi ‘gak mikir.
Kembali ke pembicaraan kita tadi. Submit yang pertama adalah submit yang tidak pernah ada pertanyaan kepada Tuhan. Ini submit yang bahaya, submit yang mekanis, yang seperti robot tinggal di-sinkronisasi pakai kabel. Bukan submission yang semacam itu harusnya. Level yang kedua, submit yang ada ratapan-ratapan, ada pertanyaan, ada seperti Ayub yang mau berperkara dengan Allah. Ini sebetulnya kebudayaan orang Israel, yang mempertanyakan Allah ini bagaimana, kenapa kita musti menderita seperti ini, bukankah yang salah adalah orangtua kita tapi kenapa saya yang giginya ngilu, siapa yang makan manisan di sini. Budaya Israel penuh sekali dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Dan di sini muncul Ayub, yang bukan orang Israel, yang justru masuk ke level ketiga. Ironis memang. Ini seperti agak mempermalukan orang Israel, tapi orang Israel harus belajar. Di bagian ini sudah ada reversal motif, belajar submit, tapi bukan submit yang level 1 melainkan level 3. Kita rindu, di dalam kehidupan ini kita bukan jadi orang model submit yang tidak terproses, yang tidak teruji, yang tidak pernah ada pertanyaan; yang hamba Tuhan bicaraapapun langsung ‘iya, kayaknya dia benar’; atau kalau hamba Tuhan A bicara, langsung anggap selalu benar, tapi kalau hamba Tuhan B yang bicara, harus selalu ditanggapi dengan kritis. Ngawur orang yang prejudice seperti ini. Yang seperti ini, berarti submission-nya tidak teruji.
Kita perlu submission yang teruji, yang melalui level 2 tadi; dan Ayub sebetulnya diajak Tuhan ke arah sana. Setelah dia berperkara dengan Tuhan, ternyata tidak ada jawaban. Tapi setidaknya dia sudah mencoba, dia sudah mengatakan isi hatinya, dia sudah berelasi dengan Allah, meski pada akhirnya dia musti menyerah, musti mengakui bahwa dirinya kalah di dalam urusan pengadilan ini. Submit-nya Ayub ini mengakhiri tuntutan hukum (legal claim) Ayub untuk yang namanya ‘keadilan’, sudahlah tidak usah diteruskan lagi. Maksudnya, Ayub tidak berniat meneruskan lagi, ‘sudahlah saya tidak usah tanya lagi, ‘gak bakal menang soalnya, lebih baik submit’; atau di dalam bahasa Indonesia, ‘mencabut perkataanku’ –oleh sebab itu aku menyerah.
Ayat 6b: “… dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Di bagian ini, bahasa aslinya pakai istilah nacham, yang memang seringkali diterjemahkan dengan ‘menyesal’ atau ‘sorry’, bahkan juga ‘repent’ (bertobat). Ini adalah terjemahan yang paling umum/tradisional. Tapi sebetulnya ada terjemahan yang lain, yaitu ‘memberi diri dihibur’. Di dalam Perjanjian Lama ada contoh-contoh seperti ini, misalnya Kejadian 38:12, ‘Setelah beberapa lama matilah anak Syua, isteri Yehuda. Habis berkabung pergilah Yehuda ke Timna, kepada orang-orang yang menggunting bulu domba-dombanya, bersama dengan Hira, sahabatnya, orang Adulam itu.’ Di sini ada kalimat ‘habis berkabung’, artinya mengakhiri perkabungan, memberi diri dihibur, menyatakan bahwa masa perkabungan sudah selesai; di sini juga bisa memakai kata nacham. Maksudnya, sudah ada kairos itu, sudah pernah ada time for griefing, untuk segala sesuatu ada masanya, ada periode untuk berduka, tapi sekarang sudah selesai dan sudah cukup, let’s go back to normal life –atau bahasa kita sekarang, let’s move on.
Kita musti move on, jangan terus berkabung, menyesali kenapa saya lahir di keluarga ini dan itu, kenapa saya sakit, kenapa saya sakitnya lama, kenapa saya pekerjaannya begini terus, dst. Let’s move on! Berilah dirimu dihibur! Jangan terus mempersoalkan hal tersebut, jadi tidak maju-maju yang kayak begini. ‘Kenapa orang ngerasani saya, kenapa saya sering di-bully, kenapa orang selalu salah mengerti saya, kenapa, kenapa, dan kenapa … dan mana itu Tuhan yang mau menyatakan keadilan-Nya?? Ayo, Tuhan, muncul dong, koq tidak membela perkara saya??’ Periode itu sudah cukup, let’s move on! Itu tahun lalu, sudah lewat; ini tahun baru, kita move on, kita melanjutkan hidup normal. Lalu apa artinya?
Yang menyakitkan di sini adalah: ‘persoalan saya belum terjawab, keadilan belum dinyatakan sebetulnya, dan Tuhan malah membicarakan yang bukan-bukan menurut saya’. Tapi Ayub kemudian move on; atau dalam bahasa Indonesia, nacham yang diterjemahkan dengan ‘menyesal’, namun yang lebih tepat sebetulnya: “dengan memberi diri dihibur, aku duduk dalam debu dan abu”. Jadi, hidup ini harus bergerak ke depan. Kita musti membuka lembaran baru. Apa artinya membuka lembaran baru? Artinya, problem yang belum terselesaikan (unresolved problem) itu sudah tahun lalu, Saudara jangan tidak terima kalau masih ada yang belum terselesaikan, ‘nama saya masih rusak, orang masih salah mengerti saya, pekerjaan saya masih belum beres, saya masih sakit dan belum sembuh’ –terus-menerus di situ. Kalau seperti itu, ya, ‘gak move on, masih di tahun yang lama, tidak memberi diri dihibur oleh Tuhan. Memang tidak gampang menerima penghiburan ini.
Mungkin di dalam pikiran kita, yang namanya penghiburan di tahun baru adalah ‘saya tidak ada pekerjaan, sekarang ada pekerjaan’, tapi bukan itu yang dikatakan di sini. Atau kalau dalam versinya Ayub, yang namanya penghiburan adalah: ‘kalau Tuhan menghibur saya, ya, kasih tahu dong teman-teman saya itu ngawur, penghibur-penghibur sialan; saya bukan orang bersalah sebetulnya, saya bukan orang berdosa seperti yang mereka pikir, mereka ini memfitnah!’ –itulah mungkin penghiburan yang Ayub bayangkan, bahwa Tuhan muncul sebagai yang membenarkan dirinya seperti itu. Tapi ternyata tidak! Tidak ada kalimat seperti itu dari Tuhan, dan Ayub musti move on! Bukankah ini sulit? Inilah pain of self knowledge, yang memang menyakitkan, tapi tetap membebaskan.Tentu saja kita tidak bisa berhenti di sini, masih ada ayat-ayat selanjutnya, yang bisa kita bahas. Namun setidaknya di bagian ini, dalam keadaan problemnya yang tidak terjawab dan tidak terpecahkan, Ayub tetap belajar memberi dirinya dihibur.
Terjemahan bahasa Indonesia di bagian ini rumit, “dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu“; saya bandingkan dengan terjemahan ESV: “therefore I despise myself, and repent in dust and ashes.” Clines mengusulkan terjemahan memakai ‘for’: ‘I am consoled for dust and ashes’ (saya memberi diri dihibur for dust and ashes). Apa maksudnya ‘debu dan abu’ (dust and ashes) di sini? Debu dan abu adalah lamentasinya Ayub. Maksudnya, waktu di sini dikatakan ‘saya memberi diri dihibur’, itu adalah dihibur untuk masa dukacita yang sudah lewat itu; tadinya meratap, tadinya berkabung, sekarang sudah dihibur. Alasan yang membuat dia tadinya berkabung, sekarang sudah diatasi dengan Tuhan menghibur dia, dan dia menerima penghiburan itu.
Apa pesan dari bagian ini? Di dalam tahun yang baru, mungkin persoalan kehidupan kita masih persoalan yang lama, dan tidak ada situasi baru. Saudara yang sakit, mungkin masih sakit –meski ini tidak mutlak. Saudara yang bergumul dengan pekerjaan, mungkin juga masih akan bergumul. Tapi kita musti memberi diri kita dihibur oleh Tuhan, dan bergerak ke depan. Ayub sendiri mengalami itu. Dan, bagi Ayub, pembaruannya bukanlah dalam arti dia kemudian dibenarkan oleh Tuhan; setidaknya, tidak ada vindication di bagian ini, Tuhan yang muncul ternyata bukan untuk membenarkan dia, dan Ayub harus puas dengan itu. Kalau mau bilang tidak puas, ya, ada tidak puasnya, tapi dia musti belajar untuk puas dengan jawaban Tuhan. Isu keadilan yang dia sangat peduli dan sangat mengharapkannya, ternyata oleh Tuhan di-marjinalisasi, dipinggirkan, itu ‘gak penting-penting banget, apalagi keadilan tentang kehidupanmu, itu ‘gak penting-penting banget.
Kalau kita melihat dari perspektif Kristologi, bukan cuma Ayub, tapi Kristus sendiri mengalami itu. Mana ada Bapa yang vindicate Anak yang naik ke atas kayu salib? Itu ‘gak penting-penting banget. Ini Anak Allah sendiri, Sang Logos, Pribadi Kedua, tapi sama juga, ‘gak penting-penting banget keadilan itu. Kalau bagi Kristus saja, keadilan ‘gak penting-penting banget, Dia diperlakukan tidak adil dan terseret pada ketidakadilan bahkan sampai mati akhirnya, lalu apakah untuk Saudara dan saya jadi musti penting?? Apa Saudara tidak sungkan dengan Kristus? Atau saya tanya dengan kalimat lebih tajam: Saudara mengikut Kristus atau mengikut siapa??
Kalau kita mengikut Kristus, bagi Kristus keadilan ini ‘gak penting-penting banget, bagi Bapa juga ‘gak penting-penting banget. Bagi Kristus, Dia tidak mementingkan itu, karena Dia bukan hadir di dalam dunia untuk itu. Dia datang ke dalam dunia bukan untuk mencari keadilan bagi diri-Nya sendiri; kalau Dia datang untuk itu, ya, cerita Injil bukan seperti yang ada pada kita sekarang, bukan itu ceritanya, tapi ceritanya setiap orang yang melawan Kristus langsung gosong kena sambar kilat atau apapun. Jadi berubah total cerita Injilnya. Tapi nyatanya tidak; cerita Injil yang kita percaya bukan seperti itu. Cerita Injil yang kita percaya adalah marjinalisasi issue of justice di dalam kehidupan Yesus Kristus.
Kalimat ini bahaya sekali, jangan di salah mengerti, ‘kalau begitu kita tidak usah berjuang untuk keadilan; kalau begitu semakin orang diperlakukan tidak adil, semakin dekat dengan Kristus dong, orang itu’. Saya tidak mengatakan kalimat itu; yang saya katakan, kalau hal itu berkaitan dengan diri kita sendiri, diri Saudara sendiri, penyakitmu, kebangkrutanmu, keadaanmu, dsb., kitab Ayub tidak tertarik untuk menyelesaikan itu. Yang kitab Ayub tertarik adalah menyatakan kemuliaan Tuhan, the grand design. Ayub ditenggelamkan di dalam keajaiban-keajaiban yang melampauinya itu, yang kalau mau dibilang natural, memang natural karena itu adalah dunia ciptaan; tapi juga supranatural, karena hal-hal tersebut –ciptaan yang ada kemuliaan Tuhan-nya itu– biasanya tidak dilihat oleh mata manusia. Itulah yang dinyatakan dalam kitab Ayub, marjinalisasi issue of justice.
Di dalam kasus Ayub, dia belajar untuk melihat bahwa penderitaannya, kebangkrutannya, bahkan kematian anak-anaknya –dan bukan cuma satu dua orang yang mati– serta ketidakmengertian istrinya, itu tidak berarti apa-apa (amounts to nothing). Mengutip Clines, dia mengatakan: “Given the cosmic scope of the grand design, Job’s case amounts to nothing”. Persoalan Saudara dan saya itu amounts to nothing, given the cosmic scope of the grand design. Itulah yang dipandang oleh Ayub; “sekarang mataku sendiri memandang Engkau”. Bukankah ini visi Kerajaan Allah? Visi Kerajaan Allah adalah: your case amounts to nothing. Inilah the pain of self knowledge.
Kita tidak biasa dengan model seperti ini, karena di dalam dunia modern, apalagi di dalam lagu-lagu kontemporer biasa dikatakan “you are loved so dearly …”. Mungkin okelah, kalimat teologisnya bisa sedemikian rupa sehingga tidak harus jadi salah, “Even you are alone in this world, Jesus will still die for you on the cross …” –betapa menyentuh, betapa sentimental– “Above all, He thinks of you, you and your salvation above all … “. Kalimat-kalimat seperti ini, tanpa tidak sadar akan memelihara sikap narsisistik, ‘saya ini penting, saya signifikan, saya bernilai’ dsb. Tapi di dalam kitab Ayub, yang kita baca adalah ‘lu ‘gak penting-penting banget’ –atau kalau mau pakai istilah lain: ‘masih banyak gantinya’. Sakit mendengar ‘kamu itu bisa tergantikan’.
Saudara disposable, saya juga disposable –karena itu boleh diganti dengan Pak Jethro, tapi Pak Jethro pun disposable— semua disposable, tidak ada yang tidak disposable, ‘lu itu bukan apa-apa’. Dan, message ini membebaskan; membebaskan kalau Saudara menggantikannya dengan the cosmic scope of the grand design, bukan dengan nothingness. Kalau menggantikannya dengan nothingness, maka ‘jadi saya ‘gak berharga, dong … ‘gak berharga… ‘gak berharga …,’ dan akhirnya bunuh diri. Bukan demikian. Bukan jadi hancur-hancuran harga dirinya, bukan ke sana arahnya. Ayub pun bukan ke sana. Ayub juga tidak menggantikan dengan ‘berharga, koq’; tetap memang tidak berharga, yang berharga adalah the cosmic scope of the grand design, yang di dalamnya kamu memang termasuk, dan karena itu kamu berharga. Tetapi kamu berharga adalah karena ada the cosmic scope of the grand design ini, bukan karena dirimu sendiri yang secara individu amat sangat penting dan signifikan. Sama sekali bukan karena itu.
Marjinalisasi itu penting sekali. Tanpa mengerti hal ini, kita tidak bisa mengerti pemuridan yang dikerjakan di dalam kita. Selama Saudara dan saya masih berpikir kita ini penting banget –ataupun agak penting– selama itu kayaknya pekerjaan Kerajaan Allah sulit untuk dinyatakan dalam kehidupan Saudara dan saya. Tetapi berbahagia dan bersyukur kalau kita bisa menjadi seperti Kristus, yang keadilannya juga tidak digubris oleh Allah Bapa, yang dibiarkan mati di atas kayu salib, seolah juga “’gak penting-penting banget”. Bukan Kristus yang tidak penting, bukan pengorbanan-Nya yang tidak penting, melainkan isu keadilan untuk Kristus yang diperlakukan seperti itu, ‘gak penting-penting banget. Mengapa? Karena ada visi yang lain yang jauh lebih besar daripada itu. Ini bukan urusan bagaimana Kristus di-vindicate oleh Bapa, ini tidak lebih penting daripada rencana keselamatan yang adalah grand design-nya. Menarik banyak orang untuk percaya dan dimenangkan di dalam Kristus dan oleh Kristus, inilah grand design-nya. Sedangkan Kristus yang difitnah, diludahi, ditampar, ditelanjangi, disalibkan –tindakan yang amat sangat tidak adil ini– itu ‘gak penting-penting banget untuk dibereskan. Bukankah tidak ada pembalasan, bahkan juga setelah peristiwa kebangkitan? Bukankah tidak diselesaikan isu justice itu oleh Bapa? Sudah 2000 tahun, dan Yesus masih saja dianggap seperti orang gila-lah, dianggap seperti penipu-lah, dan tidak ada suara dari surga yang menyatakan vindication, “sebetulnya bukan itu!”
Berbahagialah Saudara dan saya yang mendapat kasih karunia untuk melihat bahwa sebetulnya bukan itu, sebetulnya bukan Yesus mati karena Dia orang fasik. Cuma segelintir orang yang bisa melihat itu. Alangkah indahnya kalau di tahun yang baru ini kita juga bisa menjadi seperti Kristus –“sekarang mataku sendiri memandang Engkau”.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading