Ini adalah bagian terakhir, dan merupakan eskalasi dari pembicaraan Tuhan Yesus dengan orang-orang Yahudi, sebagaimana kita lihat di ayat terakhir yaitu ayat 59 mereka mengambil batu untuk melempari Yesus. Namun sebelumnya, kita membaca kesulitan-kesulitan orang Yahudi ketika mendengarkan perkataan-perkataan Yesus Kristus. Yesus di situ mengatakan kalimat, yang boleh dibilang teguran paling keras yang pernah diberikan-Nya, Dia mengatakan: “bapamu itu Iblis”. Mendengar kalimat seperti ini, mereka bukan saja tidak bertobat atau introspeksi, tapi malah tetap seperti tidak mengerti yang dikatakan Yesus Kristus, dan ini sekali lagi membuktikan bahwa orang yang belum mengalami kelahiran kembali memang betul-betul mati, tidak bisa mendengar suara Tuhan. Kecuali ada kelahiran kembali (spiritual regeneration) yang diberikan Tuhan semata-mata oleh anugerah-Nya, barulah orang bisa berespons dengan benar terhadap perkataan Tuhan.
Di ayat 48, Yesus dituduh sebagai orang Samaria dan kerasukan setan. Yesus orang Yahudi, tapi Dia banyak mengkritik orang Yahudi, dan seringkali Yesus seolah lebih memihak kepada orang-orang Samaria. Mungkin itu salah satu sebab mereka berpikir, ‘Yesus ini bukan orang Yahudi sepertinya, bolak-balik kita yang salah’. Kita juga membaca dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, di situ justru orang Samarialah yang jadi hero-nya. Oleh sebab itulah Yesus sepertinya tidak sesuai dengan selera pendengar-Nya pada waktu itu, sehingga Dia dikatakan orang Samaria. Memang waktu kita mendengar kritik atau teguran, perlu kedewasaan. Orang yang tidak bertumbuh, yang masih kekanak-kanakan, waktu mendengar kritik dia merasa seperti dibenci dan dijatuhkan. Tapi kalau kita dewasa, kita mengerti kalimat firman Tuhan yang mengatakan, “Barangsiapa Kukasihi, dia Kutegur dan Kuhajar”. Memang ada orang yang mengkritik dari perspektif kebencian, karena iri hati, dan sengaja mau menjatuhkan, tapi tidak semua orang memberikan kritik di dalam pengertian seperti itu. Ada orang mengkritik karena cinta, seperti Tuhan waktu menegur kita karena Dia mengasihi kita.
Selain alasan-alasan praktis ini, mungkin ada alasan yang lebih mendasar yang membuat Yesus disebut orang Samaria. Orang Samaria itu punya reputasi sebagai orang yang mendirikan tempat ibadah sendiri, anti terhadap Yerusalem, yang dalam Perjanjian Lama disebut dengan istilah “the sin of Jerobeam” (“dosa Yerobeam” yaitu mendirikan tempat ibadah sendiri). Orang Samaria itu bukannya bergumul bersama-sama dan beribadah bersama-sama di Yerusalem, mereka malah mendirikan tempat ibadah sendiri, kemudian merelativisasi Yerusalem, dan mengatakan bahwa tempat ibadah yang mereka dirikan juga ditetapkan oleh Tuhan, padahal Tuhan tidak pernah memerintahkan hal itu. Dan dalam hal ini, Yesus punya reputasi merelativisasi Yerusalem. Memang dalam bagian ini belum dikatakan, tapi kalau kita baca keseluruhan Injil, Yesus pernah mengatakan “Rombak Bait Allah ini, dalam 3 hari Aku akan membangunnya kembali”. Itu adalah kalimat fatal luar biasa kalau didengar orang-orang Yahudi. Bait Allah dan Yerusalem adalah tempat suci dan kota suci, tapi Yesus seperti begitu kritis, padahal ini tempat kehadiran Allah yang mereka sudah junjung tinggi dan pertahankan dari dulu, tidak seperti orang Samaria yang menghina dan tidak mempedulikan.
Kekristenan bukan urusan tempat. Dalam pemahaman spiritualitas Reformed, kalau Saudara ada kesempatan pergi ke Yerusalem, boleh saja pergi, tapi tidak pergi pun tidak jadi masalah. Tidak perlu juga baptis ulang di sana, atau minum air dari sana, minum anggur dari sana. Itu semua tidak mutlak karena kita percaya Tuhan mengatakan, “Akan tiba saatnya orang tidak mengatakan, beribadah kepada Tuhan harus di gunung ini atau gunung itu, tetapi orang akan menyembah Tuhan di dalam Roh dan kebenaran.”
Kalau kita membaca tafsiran, Samaria terkenal juga sebagai daerah yang dari sana sering muncul orang dengan klaim bukan-bukan. Misalnya, dalam sejarah ada seorang bernama Dositheus, yang mengatakan bahwa dirinya “Anak Allah”; ini seperti cocok dengan profil Yesus yang mengaku ini dan itu. Yesus ini sepertinya orang Samaria, karena orang Yahudi sama sekali tidak mungkin mengatakan kalimat seperti itu –itu kalimat kurang ajar, kalimat hujatan—sedangkan kalau orang Samaria yang mengatakan, memang sudah biasa.
Apapun alasannya, Yesus kemudian menjawab (ayat 49-50): "Aku tidak kerasukan setan, tetapi Aku menghormati Bapa-Ku dan kamu tidak menghormati Aku. Tetapi Aku tidak mencari hormat bagi-Ku: ada Satu yang mencarinya dan Dia juga yang menghakimi.” Bagian ini mengingatkan kita pada tradisi Perjanjian Lama, bahwa orang benar menyerahkan penghakiman kepada Allah yang menghakimi dengan adil.
Orang Injili, mungkin karena dalam masa yang lampau seringkali berpolemik dengan orang-orang Liberal, jadi sangat menekankan keilahian Yesus. Memang betul kita musti menekankan keilahian Yesus, karena Yesus betul-betul mempunyai sifat ilahi, Dia adalah Allah. Tetapi, jangan sampai polemik dengan orang Liberal ini membuat kita seolah-olah menganggap para pendengar semuanya liberal, sehingga kita terus menekankan keilahian Yesus. Waktu bicara dengan orang Liberal, kita perlu menekankan keilahian Yesus; waktu bicara dengan orang Injili, kita juga perlu menekankan kemanusiaan Kristus. Waktu Yohanes, Matius, Markus, dan Lukas menulis, di situ banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan Yesus sebagai manusia sejati. Jadi, kalau kita terus-menerus menekankan keilahian-Nya, kita kehilangan perspektif kemanusiaan Kristus, dan saya kuatir Kristologi kita jadi berat sebelah; kita dengan berat sebelah membicarakan natur ilahi-Nya tapi tidak cukup waktu membicarakan natur kemanusiaan-Nya. Alkitab mengatakan, Yesus itu ber-inkarnasi, dan ber-inkarnasi artinya menjadi manusia. Keunikan iman yang kita percaya adalah Allah itu menjadi manusia; menjadi manusia berarti menjadi manusia. Itu berarti kita musti menekankan perspektif kemanusiaan-Nya juga selain perspektif keilahian-Nya.
Kalau Saudara baca bagian ini (ayat 49-50) dari perspektif Perjanjian Lama, Yesus menempatkan diri-Nya sebagai manusia, dan Dia memang manusia. Setting-nya seperti dalam pengadilan, ada terdakwa –dalam hal ini Yesus—ada yang mendakwa, yaitu orang-orang Yahudi. Lalu siapa hakimnya? Kalau Saudara membacanya dalam tradisi Perjanjian Lama, di sini orang-orang benar menyerahkan penghakimannya kepada Allah, mereka bukan main hakim sendiri, mereka bukan jadi pembela bagi dirinya sendiri.
Dalam Injil Yohanes, Roh Kudus disebut penghibur/ pembela, maka kita orang Kristen tidak membela diri kita sendiri karena ada Roh Kudus. Orang Kristen yang terus-menerus membela diri sendiri, jadi seperti tidak percaya Roh Kudus, dia seperti mengambil peran Roh Kudus. Setiap Minggu kita mengatakan “aku percaya kepada Roh Kudus”, saya percaya salah satu penghayatannya adalah berhenti membela diri sendiri karena Roh Kudus adalah Sang Pembela.
Dengan logika yang sama, di sini Yesus bilang “Aku tidak mencari hormat bagi-Ku”, Yesus tidak mencari hormat bagi diri-Nya sendiri karena ada satu yang lain yang mencarinya, yaitu Bapa. Orang Kristen yang bertumbuh, dia tidak mencari hormat bagi dirinya sendiri, karena hal itu sebenarnya menggeser posisi Bapa, seperti juga orang yang sibuk membela dirinya sendiri berarti menggeser posisi Roh Kudus. Kalau kita adalah orang Kristen yang bertumbuh makin lama makin menyerupai Kristus, kita tidak mencari hormat bagi diri sendiri, bukan karena hormat itu tidak penting tapi karena sudah ada yang mencarinya, yaitu Bapa. Bapa-lah yang mencari hormat. Dalam hal ini, Saudara jangan lagi-lagi tafsir ‘tentu saja Dia Anak Tunggal Allah, pasti dihormati Bapa’; dalam Alkitab ada ayat yang Yesus mengatakan, “Barangsiapa melayani Aku, dia dihormati Bapa-Ku”. Bapa bukan cuma menghormati Anak Tunggal Allah, Bapa itu menghormati manusia yang melayani Anak –Allah menghormati manusia. Jadi ayat ini bukan secara eksklusif hanya untuk Yesus, Anak Allah yang tunggal, yang kehormatan-Nya dicari oleh Bapa-Nya, tapi juga berlaku untuk Saudara dan saya, bahwa kita tidak perlu mencari hormat bagi diri kita sendiri sebagaimana juga Yesus Manusia Sejati itu karena Bapa mencari hormat bagi kita. Orang-orang Kristen yang bertumbuh, tidak sibuk mencari hormat bagi dirinya sendiri. Gereja yang bertumbuh, tidak sibuk mencari hormat bagi dirinya sendiri, tapi membiarkan Bapa yang menilai, menghakimi, menghormati, atau juga menegur, mengkritik, dst. Fokusnya ada pada Bapa.
Ayat 51, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya." Dalam diskursus bagian ini, di sini Yesus membuka satu pembicaraan yang baru, tentang hidup yang kekal. Saya pernah bicara dalam SPIK tentang mengapa kita orang Kristen mengalami kematian juga; Alkitab bilang ‘upah dosa adalah maut’ tapi bukankah Yesus di atas kayu salib sudah menebus kita dari dosa kita, dosa kita sudah dihapus oleh Yesus Kristus, lalu mengapa kita musti mati juga. Demikian juga kalimat di sini mengatakan “tidak akan mengalami maut”, lalu argumentasi mereka “Abraham mati, nabi-nabi mati”; jadi bagaimana? Jawabannya adalah: kita tetap mati, karena waktu orang percaya mati, kita bukan mati sebagai upah dosa melainkan mati seperti Kristus. Yesus itu mati waktu taat menjalankan kehendak Bapa, Dia menyangkal diri, Dia tekun memikul salib, dan akhirnya mati. Maka kita juga dipanggil mengikuti Kristus, kita menyangkal diri, kita memikul salib, kemudian kita mati bersama dengan Kristus. Harap Saudara mati bukan karena kolesterol, bukan karena tidak jaga makan, kurang oleh raga atau tidur tidak cukup, dst., itu kematian yang tidak mempermuliakan Tuhan. Saya bukan mengatakan bahwa orang Kristen tidak boleh sakit, tapi ada penderitaan yang karena nama Tuhan, dan ada penderitaan yang karena dosa sendiri. Ada kematian yang karena setia memikul salib yang dipercayakan Tuhan dalam kehidupannya, ada kematian yang karena kecerobohan sendiri sehingga sulit kalau mau dikatakan persekutuan dalam penderitaan Kristus. Kematian yang seperti ini jadi seperti kematian upah dosa. Kita orang Kristen bukan dipanggil keluar lalu tidak mengalami kematian secara fisik lagi, tetapi mengubah perspektif kematian fisik jadi kematian yang mempermuliakan Tuhan seperti kematian Kristus. Waktu kita mati karena taat kepada kehendak Tuhan, karena memikul salib dengan setia, di situ Tuhan dipermuliakan, di situ kita mengalami persekutuan dengan Kristus, menjadi serupa dengan Kristus di dalam kematian-Nya.
Waktu Yesus mengatakan “Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya", maksudnya spiritual realm, tapi orang-orang ini mengatakan, “Nah, benar ‘kan Kamu kerasukan setan; Abraham mati, nabi-nabi mati, tapi Kamu bilang ‘menuruti firman, tidak akan mengalami maut selama-lamanya’, ini Orang bukan gila lagi, tapi kerasukan setan” (ayat 52). Kesulitan tidak mengerti seperti ini, apa sebabnya? Ini bukan karena mereka kurang pintar atau IQ-nya cuma 53, ini bukan karena mereka kurang rumit pikirannya, sama sekali tidak ada urusannya dengan kecerdasan. Ini adalah orang-orang yang proto-sekuler karena cuma melihat dunia yang kelihatan saja. Jangankan mereka, Nikodemus pengajar Israel, waktu Yesus bicara tentang kelahiran kembali, dia menanggapi dengan, “Masakan orang musti masuk kembali ke rahim ibunya lalu keluar lagi?” Dia pengajar Israel, tapi tidak memahami hal rohani. Waktu Yesus bicara dengan perempuan Samaria, “Akulah air hidup”, dia menanggapi, “Berilah saya air itu supaya saya tidak usah ke sumur ini lagi” –lagi-lagi tidak mengerti. Prinsip seperti itu di dalam kitab Yohanes diulang-ulang; dan sekali lagi di bagian ini, Yesus bicara tentang kehidupan rohani, mereka bicara kehidupan dalam pengertian yang kelihatan. Yesus bicara dunia rohani, mereka terus bicara dalam perspektif dunia yang kelihatan –Abraham mati, nabi-nabi mati. ‘Gak nyambung. Mereka tidak pernah bisa melihat dunia yang tidak kelihatan yang dilihat oleh Tuhan, mengenai apa sebetulnya kehidupan di dalam pengertian rohani dan kematian rohani itu.
Dalam Teologi Reformed, kita menekankan bahwa manusia setelah jatuh dalam dosa, dia bukannya sakit tapi mati. Namun banyak orang tidak sadar kalau dirinya mati. Apa bedanya orang mati dengan orang hidup dalam perspektif firman Tuhan? Sebenarnya sederhana, Saudara bisa cek kehidupan Saudara itu mengarah pada kematian atau kehidupan, dari hal ini: orang hidup, dia mendengar firman; sedangkan orang mati mendengar tapi tidak mendengar, melihat tapi tidak melihat. Saudara bisa melihat orang berkotbah di mimbar ini, tapi Saudara mungkin cuma lihat dialek Jawa Timur saya, Saudara tidak mendengar firman Tuhan-nya bicara apa, Saudara memperhatikan yang bukan-bukan, mungkin Saudara perhatikan saya hari ini tidak pakai dasi, ada yang agak miring sedikit posisinya, dsb. Betul bahwa Saudara melihat, tapi Saudara tidak melihat apa-apa sebenarnya; itulah yang dikatakan Yesus “melihat tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak mendengar”. Kita tentu saja mendengar karena kita punya telinga jasmani, tapi juga sebenarnya tidak mendengar apa-apa.
Orang-orang yang cuma melihat di dalam dunia yang kelihatan, dia tidak bisa masuk ke dalam dunia yang tidak kelihatan. Mengapa? Alkitab mengatakan, karena mereka tidak percaya. Ini bukan urusan IQ; kalau urusan IQ, jadinya elitisme. Yesus benci elitisme. Kebanggaan orang-orang tertentu karena punya IQ-lah, punya Taurat-lah, punya ini dan itu, Yesus paling benci orang-orang seperti itu. Itu bukan spiritualitas yang baik, melainkan spiritualitas yang sama sekali keliru. Di bagian ini, mereka tidak bisa percaya karena mereka degil hatinya, karena mereka tidak ada kerendahan hati untuk diajar; dan kalau kita baca dalam kalimat berikutnya, itu karena mereka bohong, tidak jujur.
Lalu ayat 53, mereka mengatakan, “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kita Abraham, yang telah mati! Nabi-nabipun telah mati; dengan siapakah Engkau samakan diri-Mu?" Atau terjemahan yang agak bebas ‘Lu pikir Lu itu siapa; Abraham saja mati, nabi-nabi mati, Lu bicara yang mendengar firman akan hidup selama-lamanya??’, dan nanti waktu mereka menyaksikan Yesus tergantung di atas kayu salib, kita bisa bayangkan mereka akan berpikir, ‘Ya ampun! Dia sendiri juga mati akhirnya; Dia yang menawarkan kalau mendengar firman akan hidup selama-lamanya, Dia sendiri juga mati! Masih mending Abraham dan nabi-nabi yang matinya ‘gak terkutuk, tapi Dia ini matinya terkutuk di atas kayu salib pula. Yang menjanjikan hidup selama-lamanya, Dia sendiri juga mati di atas kayu salib, banyolan model apa ini??’
Mereka tidak mengerti yang dikatakan Yesus tentang hidup selama-lamanya, tentang tidak mengalami maut selama-lamanya, karena mata mereka cuma bisa melihat dunia yang kelihatan. Ini proto-sekuler, bukan dari Enlightenment; ini dari dulu sudah ada. Apa itu sekuler? Yaitu orang yang cuma melihat dunia yang kelihatan. Buat dia, yang sungguh-sungguh riil hanyalah yang kelihatan (visible); sedangkan yang tidak kelihatan (invisible) bagi dia itu hanyalah sesuatu yang dikonstruksi oleh manusia (social construct), bagi dia ide tentang Allah, agama, dsb. itu diciptakan oleh manusia untuk menakut-nakuti masyarakat. Kita mengikut Tuhan bukan driven by fear. Kita percaya kepada Yesus bukan karena takut api neraka atau siksaan neraka; itu bukan ajaran Alkitab. Kita mengikut Tuhan bukan karena takut melainkan karena cinta; ‘takut’ itu bentur dengan ‘cinta’.
Waktu mereka mengatakan kalimat di ayat 53 ini, kita teringat perkataan perempuan Samaria dalam Yohanes 4, “Adakah Engkau lebih besar daripada Yakub yang membangun sumur ini?” Kalimatnya mirip –“adakah Engkau lebih besar daripada bapa kita Abraham?” Kebesaran manusia akhirnya menghalangi kita untuk melihat kebesaran kemuliaan Tuhan. Alangkah celakanya. Bukan hal baru, bahwa orang berdebat dalam teologi, lalu dalam perdebatannya dia mengeluarkan tokoh, tokoh, tokoh, tokoh, … dan tokoh, sampai-sampai orang tidak melihat Kristus, tidak ada Kristus di sana, yang ada hanyalah tokoh, tokoh, tokoh, tokoh, dan tokoh. Hal seperti ini sudah dari dulu, tentang Abraham-lah, Musa-lah, Yakub-lah, dsb., yang pastinya bolak-balik orang-orang itu juga, tidak mungkin tiba-tiba menyebut Naaman. Kebesaran orang-orang ini menghalangi orang melihat kemuliaan Kristus. Yang salah jelas bukan orang-orang itu; Abraham atau Musa tidak ada persoalan tapi yang persoalan adalah orang yang melihat mereka, karena orang-orang ini tidak dewasa.
Orang yang tidak dewasa selalu melihat kebesaran manusia. Orang yang terlalu banyak kecewa dengan manusia, itu berarti Tuhanmu di mana? Masakan luka kekecewaan yang disebabkan orang lain itu, lebih besar dan lebih terasa daripada penghiburan Tuhanmu? Masakan Tuhanmu yang menopang dan memelihara engkau itu, lebih kecil daripada luka yang ditimbulkan sesamamu? Jika demikian, sebetulnya matamu melihat apa dalam kehidupan ini, melihat orang yang terus melukai dan menyakiti kamu, atau melihat Tuhan? Bahkan –saya musti hati-hati mengatakan ini—orang yang kecewa kepada Tuhan, bisa dikatakan imannya sedikit lebih baik daripada orang yang kecewa kepada manusia, karena kecewa kepada Tuhan itu setidaknya dia melihat Tuhan meski mungkin salah mengerti Tuhan lalu kecewa, sedangkan orang yang terus-menerus kecewanya kepada manusia, Tuhannya di mana sebetulnya? Orang yang terus-menerus kagum kepada manusia, juga di mana Tuhannya? Baik kecewa ataupun kagum, baik tertusuk ataupun menghormati, kategorinya mungkin seperti berlawanan tapi sebenarnya sama, yaitu terlalu banyak melihat manusia. Kalau orang terlalu banyak melihat manusia, mereka inilah gambaran yang kekanak-kanakan. Orang-orang Yahudi ini kanak-kanak karena mereka terus-menerus melihat kebesaran Abraham, nabi-nabi, Yakub, Musa, dsb. tapi tidak bisa melihat kebesaran Tuhan. Sedemikian besarnya orang-orang yang mereka banggakan ini, sampai mereka sendiri lupa bahwa seharusnya mereka melihat Tuhan.
Ayat 54 Dia menjawab: "Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya.” Jawaban Yesus ini sangat menarik, seperti ‘gak nyambung. Tapi sebetulnya tidak ada kalimat yang ‘gak nyambung; kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan tahu kaitannya di mana. Tadi orang-orang ini tanya ‘adakah Engkau lebih besar daripada Abraham yang telah mati?’, lalu seandainya Yesus jawab ‘iya, Saya lebih besar daripada bapa Abraham, Saya Anak Allah koq’, maka jadi nyambung lalu makin panas, dua-duanya jadi panas. Alternatif lain misalnya mereka bilang ‘hai Yesus, Kamu mempermuliakan diri sendiri, itu ‘gak bener’, lalu Yesus jawab kalimat yang tadi ‘jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya’, maka jadi nyambung juga. Jadi kalimatnya nyambung kalau seperti model alternatif pertama atau alternatif kedua, tapi di bagian ini mereka tanya “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kita Abraham, yang telah mati! Nabi-nabipun telah mati; dengan siapakah Engkau samakan diri-Mu?" lalu Yesus jawab, “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya”; sambungannya di mana? Sambungannya yaitu di dalam pencobaan untuk masuk ke dalam kompetisi dengan Abraham; ada pencobaan untuk Yesus menanggapi secara kompetitif waktu Dia ditantang dengan kalimat seperti tadi itu.
Saya pernah share tentang Spurgeon atau Martyn Lloyd-Jones, –atau keduanya (saya agak lupa)—yang pernah berkotbah di univeritas-universitas penting seperti Oxford atau Cambridge, lalu ada orang tanya, “Bagaimana perasaanmu berkotbah di sini?” karena yang bersekolah di sana adalah orang-orang sangat elit. Hamba Tuhan ini menjawab, “Mereka cuma orang berdosa yang perlu ditegur dosanya.” Di sini sebenarnya bisa saja Lloyd-Jones bilang, ‘memangnya kenapa dengan Oxford dan Cambridge?? saya juga anggota royal society’ –menanggapi dengan spirit kompetisi– tapi tidak ada poinnya jawaban seperti ini, jadi kanak-kanak. Hamba Tuhan yang sejati menjawab ‘mereka ini orang berdosa yang perlu ditegur dosanya, tidak peduli lulusan mana’, jadi tidak ada urusannya dengan elitisme sama sekali.
Kembali kepada bagian ini, Yesus menjawab, “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya.” Yesus bergeming, Dia sama sekali tidak menanggapi pencobaan untuk masuk ke dalam spirit kompetisi ini karena memang bukan di situ persoalannya. Sama seperti Yesus tidak mencari kehormatan bagi diri-Nya sendiri karena kehormatan itu dikejar dan diberikan oleh Bapa, demikian juga Dia tidak mencari kemuliaan-Nya sendiri karena Bapa yang mempermuliakan Anak. Yang mempermuliakan Anak adalah Bapa. Yang mempermuliakan kita –Gereja/ orang-orang Krsiten—bukanlah kita sendiri, melainkan Tuhan. Orang Kristen itu pasif dipermuliakan oleh Bapa, bukan mempermuliakan dirinya sendiri. Baik kita sebagai pribadi, kita sebagai komunitas gereja, kita sebagai gerakan, maupun kita sebagai bangsa, hal ini benar untuk setiap aspek dalam kehidupan karena Kristus mengundang kita untuk masuk ke dalam kehidupan yang seperti ini.
Selanjutnya, “Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta sama seperti kamu” (ayat 54-55). Yesus sebagai Anak, Dia mengenal Bapa; kalau Dia mengatakan bahwa Dia tidak mengenal Bapa, maka Dia pendusta; kalau Yesus pendusta, maka Dia sama seperti mereka. Yesus mau mengatakan apa di sini? Yesus mau mengatakan: “kamu tidak mengerti, itu sebetulnya karena kamu berdusta, karena kamu tidak jujur kepada Allah, tidak jujur dengan dirimu sendiri, tidak jujur terhadap Taurat; kamu tidak jujur maka kamu tidak bisa mengenal Allah” –sama sekali tidak ada urusannya dengan IQ. Saudara jangan ditipu dengan gambaran yang menyesatkan ‘saya ini IQ-nya pas-pasan makanya tidak bisa mengerti Alkitab’, itu tidak ada urusannya dengan kecerdasan, dsb. sama sekali. Kalau menurut Alkitab, mengapa orang tidak bisa mengerti, yaitu karena dia berdusta. Yesus mengatakan, “bapamu adalah Iblis, dia bapa segala dusta, maka anak-anaknya juga adalah pendusta” –mengapa kamu tidak pernah bisa menerima firman Tuhan? karena kamu pembohong, kamu tidak jujur dengan dirimu sendiri.
Seringkali dalam seminar orang bertanya seperti ini: dari mana saya tahu porsi saya sampai mana, siapa yang sebetulnya musti saya layani, musti saya tolong, musti saya doakan, karena saya tidak mungkin dong menolong seluruh dunia; berapa saya musti kasih persembahan, kalau saya dagang jual segini segitu apakah itu termasuk dosa serakah atau masih bisa dibenarkan, tahu dari mana? Memang betul tidak mungkin kita menolong seluruh dunia, Yesus pun waktu di dunia tidak menolong seluruh dunia. Jawaban pertanyaan-pertanyaan seperti itu sebenarnya sederhana: kalau kita jujur, kita tahu. Karena waktu kita jujur, hati nurani kita akan dibuat peka oleh Roh Kudus; tapi kalau kita banyak tidak jujurnya, mau kita diskusi teologi atau apapun, kita tidak akan tahu, bukan karena ‘gak nyampe tapi karena pendusta. Pendusta itu tidak bisa menerima kebenaran, dia selalu menghindari kebenaran. Tetapi, orang-orang yang Bapanya adalah Allah sumber segala kebenaran, bukannya bapa segala dusta seperti Iblis, dia menyukai kebenaran. Kebenaran apa? Yaitu kebenaran bahwa ketika revelation itu diberikan kepada kita, kita didapati sebagai orang-orang yang miskin, buta, dan telanjang. Inilah kebenarannya. Ternyata kita ini adalah orang-orang yang luput tidak mencapai standar, inilah kebenarannya, baik kita mau menerimanya ataupun kita menghias diri dengan berbagai macam alasan teologis lalu akhirnya kita makin lama makin tidak mengenal Tuhan.
Ayat 55 Yesus mengatakan, “Jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia –yaitu Bapa—maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu tetapi Aku mengenal Dia dan menuruti firman-Nya.” Mengapa mereka tidak mengenal Allah yang sejati? Taurat sudah diberikan kepada mereka, mereka lebih dari bangsa-bangsa lain, jadi kalau mau bicara tentang fasilitas, mereka kurang apa? Ternyata bukan fasilitas itu, tetapi kejujuran atau ketidak-jujuran. Waktu kita jujur, kita mengenal Allah. Waktu tidak jujur, mau ada Taurat-lah, mau ada sebanyak apapun nabi-nabi datang, mau ada Anak Allah Sang Mesias datang di tengah-tengah mereka, tetap saja tidak bisa mengerti, tidak mau mengerti, mendengar tapi tidak mendengar, melihat tapi tidak melihat. Inilah problem dalam Kekristenan, waktu kita tidak jujur melihat diri kita sendiri sebagaimana Tuhan melihat kita. Kita tidak jujur melihat diri dengan segala kelemahannya, kita tidak senang dengan itu, kita lebih suka dengan profil yang selalu di atas karena kita mencari hormat bagi diri sendiri, mempermuliakan diri sendiri. Tetapi kalau kita jujur, perjumpaan dengan Yesus Kristus yang menyatakan diri-Nya “Akulah Dia” (Ego Eimi/ I am) ini, bukan cuma memperkenalkan Yesus saja tapi juga membuka pengenalan kita tentang diri kita sendiri.
Waktu kita membaca kalimat berikutnya, “Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita" (ayat 56), yang dikatakan Yesus ini bukan sesuatu yang baru dalam pengharapan atau pengajaran Yudaisme, bahwa Abraham akan melihat hari-hari Sang Mesias (tafsiran dalam WBC termasuk salah satu yang membahas bagian ini secara detail). Jadi kalimat Yesus ini –bahwa Abraham akan melihat hari Sang Mesias dan bersukacita– bukan kalimat yang ofensif untuk mereka; yang menjadi masalah adalah karena Yesus menempatkan diri-Nya di situ, Dia mengatakan “hari-Ku”. Seandainya bagian ini diganti dengan “melihat hari Mesias yang dijanjikan Allah”, mungkin tidak terlalu ada persoalan.
Maka kemudian di ayat 57, orang-orang Yahudi mengatakan: "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?" Ireneus, seorang bapak Gereja yang sangat dihormati, menafsir bagian ini –satu tafsiran yang terkenal–, bahwa Yesus mati waktu umur-Nya 50 tahun lebih. Mungkin dia berasumsi waktu dikatakan “umur-Mu belum sampai lima puluh tahun”, berarti kira-kira 49 tahun, lalu kalau ditambah 3 tahun pelayanan-Nya jadi kira-kita 52 tahun waktu Dia mati di atas kayu salib. Kita tidak mendukung tafsiran ini, tapi ini penafsiran yang menarik. Istilah 50 tahun dalam bagian ini, maksudnya apa? Kalau dalam kebudayaan atau iman orang Yahudi, istilah 50 tahun maksudnya orang yang sudah dianggap senior. Jadi mereka seakan mengatakan, ‘Kamu belum masuk usia senior –belum 50 tahun—tapi Kamu bilang sudah melihat Abraham, bahwa Abraham bersukacita melihat hari-Mu; bukankah Lu ini anaknya Yusuf tukang kayu itu atau yang lebih pastinya anak Maria??’ Ini seperti kalau kita bertemu orang lalu dia bilang ‘saya ini dari zamannya Johannes Sebastian Bach’, maka Saudara mulai rasa dia orang gila atau kerasukan setan, lalu kalau Saudara tanya ‘dari mana asalmu’, dia jawab ‘Transylvania’ sehingga bikin bulu kuduk tambah berdiri, ini ketemu siapa sebetulnya?? Itulah yang mereka rasakan, Yesus ini kerasukan setan, dari mana sih Orang ini, bukankah kita tahu asalnya dari mana, tapi koq Dia bilang kalimat seperti ini, seolah-olah kita ‘gak tahu Dia datang dari mana. Tetapi Yesus sudah pernah mengatakan, “kamu tidak tahu Saya dari mana, Saya dari atas, kamu dari bawah”, dan tetap mereka tidak mengerti, sehingga di bagian ini pun mereka juga tetap tidak mengerti.
Lalu di ayat 58 Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." Ini ayat yang penting, dalam bahasa Inggris kalimatnya adalah: “Truly, truly, I say to you, before Abraham was, I am”. Ini kalimat dalam bahasa aslinya adalah “sebelum Abraham ada, Ego eimi (I am)”. Kalau kita membaca Perjanjian Lama, kalimat pertama yang kita teringat tentang hal ini adalah “I am who I am” (Ego eimi) yang ada dalam Keluaran 3:14 ini: Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU ." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu". Jadi Ego eimi itu adalah Allah. Maka waktu orang Yahudi mendengar kalimat ini diucapkan oleh Yesus, mereka mengerti, dan bagi mereka itu penghujatan. Tapi saya perlu menjelaskan –ini sedikit rumit– bahwa sebetulnya Yesus bukan mau bicara hal ini. Kalau Saudara baca dalam konteks Keluaran 3:14, atau Yesaya 43, Yesaya 46, istilah “I am” yang diperkenalkan oleh Tuhan itu berkaitan dengan rencana keselamatan, bukan mau menunjukkan natur metafisik Allah, tidak bicara soal the being of God. Keluaran 3:14 dalam bahasa aslinya (Ibrani) adalah “Ehyeh Asher Ehyeh”, tapi diterjemahkan dalam Septuaginta (bahasa Yunani) sebagai: “Ego eimi ho on” –I am the being. Jadi terjemahan Septuaginta ini sangat filosofis, yang sangat cocok kalau pembacanya adalah orang-orang yang sangat mengerti Platonism, Neoplatonism, Aristotlelianism, dsb. Tapi sebenarnya dalam bahasa Ibraninya bukan mau mengatakan “I am the being”, ini tidak sedang membicarakan keberadaannya Allah, karena dalam Keluaran 3:14 kalimat ini diperkenalkan Yahweh kepada Musa, dan setelah itu Musa diutus untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir; jadi sebenarnya “I am” dalam pengertian itu.
Untuk menjelaskan pengertian “I am” menurut terang Perjanjian Lama, variasi yang lain dapat dilihat dalam Yesaya 43:11-12 “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku. Akulah yang memberitahukan, menyelamatkan dan mengabarkan, dan bukannya allah asing yang ada di antaramu. Kamulah saksi-saksi-Ku”. Di sini perkataan “I am” dalam kaitannya dengan juruselamat. Dalam Yesaya 46:4 “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia” –dalam bahasa Inggris “sampai masa tuamu, I am He”—“dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu . Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” Jadi tradisi “I am” dalam Perjanjian Lama maksudnya adalah penyataan dari Yahweh yang mau menyelamatkan, menggendong, memelihara, memimpin, menuntun, melindungi Israel. Arahnya lebih ke situ, daripada pemberitahuan tentang ‘Saya ini secara ontologis adalah dasar dari keberadaan (the ground of being) yang daripadanya semua keberadaan (being) berasal, dan Saya dengan engkau ada perbedaan kualitatif (qualitative difference) karena Saya pencipta sedangkan kamu ciptaan’, karena memang tidak membicarakan hal ini sebetulnya. Di dalam Perjanjian Lama pengertian “I am” adalah soteriologis, dan bersamaan dengan aspek-aspek yang lain, yaitu Allah yang memelihara, menggendong, menolong umat-Nya, yang tidak berubah kasih setia-Nya, yang memberikan janji kepada umat-Nya; itulah spectrum of meaning dari istilah “I am”.
Jadi waktu Yesus mengatakan “Sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku ada”, maksudnya Yesus memperkenalkan diri “Ego eimi”, kendati dalam kitab Yohanes ada 7 Ego eimi, dan di situ yang diperlihatkan oleh Yesus juga sama yaitu berita keselamatan. I am the door, I am the great shepherd, I am the bread of life, I am …, I am …, itu semua kaitannya adalah mau memberkati Israel, tapi Israel salah baca, mereka membacanya ini penghujatan karena yang boleh mengatakan “I am” cuma Yahweh, lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia (ayat 59). Memang betul bahwa Yesus ini Pribadi Kedua dari Tritunggal, tapi di sini maksud penyataan-Nya bukan ke arah sana sebetulnya.
Dalam hal ini, orang Injili suka sekali menekankan perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia, yang secara credo pasti kita terima, tapi waktu kita membaca dalam konteks yang diperkenalkan Yesus, waktu Dia bicara “Ego eimi”, bukan itu maksud sebetulnya. Kalau mau bicara secara aspek transendensi atau imanensi, yang mau diperkenalkan Yesus di sini sebetulnya aspek imanensi –“Aku adalah Allah yang mau memelihara engkau, tapi kamu menolak Aku, kamu tidak menerima firman-Ku”. Kemudian Yesus malah mau dilempari dengan batu, karena mereka merasa ‘ini orang sudah ‘gak jelas bapanya siapa, ngaku-ngaku Anak Allah, lalu bilang sebelum Abraham diri-Nya pre-exist pula’, dan seterusnya. Memang the idea of pre-existence itu betul dan termasuk di dalam “I am” ini, yaitu The Pre-existence Logos, tapi bukan dalam pengertian pameran bahwa Yesus di sini seolah mau mengatakan ‘Aku Anak Allah, lihatlah Aku punya keilahian, kamu tidak punya’; bukan itu yang mau dikatakan Yesus. Di sini Yesus menyatakan diri-Nya sebagai manusia, membawa revelasi Allah yang dinyatakan dalam diri-Nya, namun orang Israel menanggapi dengan sikap yang keliru –dan mungkin bukan cuma orang Israel, tapi kita, orang Injili, juga.
Penjelasan ini bukan mau menyangkal keilahian Kristus; Yesus sudah pasti ilahi. Tapi yang dijelaskan di sini adalah bahwa bagian ini membicarakan tentang Allah yang mau menolong Israel, bukan membicarakan qualitative difference antara ‘kamu’ yang cuma ciptaan dengan ‘Saya’ yang adalah pencipta; itu bukan maksud utama dari ayat ini. Kalau kita bicara tentang “Ego eimi”, baik dalam Injil Yohanes maupun dalam Perjanjian Lama, “Ego eimi” itu diperkenalkan kepada Israel dalam perspektif ‘Yahweh yang mau memperkenalkan kasih setia-Nya’, tapi Israel menolak, Israel tidak bisa terima revelation ini. Mereka lebih suka berada di dalam kegelapan, di dalam penipuan, di dalam pengenalan diri yang keliru, dan karena itu juga pengenalan akan Allah yang keliru.
Terakhir, kalau tetap mau melihat kebesaran Abraham, waktu kita melihat kehidupan Abraham dan kita boleh pilih salah satu yang paling puncak dalam kehidupannya, itu adalah waktu dia mengorbankan Ishak. Paulus mencatat, Tuhan memperhitungkan ketaatan Abraham itu sebagai kebenaran. Abraham mempersembahkan Ishak, yang kemudian digantikan dengan domba, domba itu sebetulnya menunjuk kepada Kristus; jadi Abraham sendiri center-nya menunjuk kepada Kristus meskipun pengertian Kristologi-nya Abraham belum sejelas Saudara dan saya. Iman Abraham menunjuk kepada Kristus, yang dilihat Abraham adalah Kristus, tetapi orang-orang Israel ini yang katanya keturunan Abraham dan mengerti Abraham, mereka tidak melihat Kristus sebagaimana Abraham melihat Kristus.
Waktu Abraham mengorbankan Ishak, di situ dia sangat privilege untuk mengerti hati Bapa yang mengorbankan Anak-Nya yang tunggal. Tapi kita tahu, dalam cerita itu Abraham bukan mengorbankan Ishak karena diganti oleh Tuhan dengan domba; domba itu kemudian menujuk kepada Kristus. Saya percaya, dalam kehidupan ini bukan kita yang berkorban bagi Tuhan, melainkan Tuhan yang berkorban bagi kita; seperti Perjamuan Kudus ini adalah korban yang diberikan Tuhan kepada kita, bukan kita yang mempersembahkan kepada Tuhan. Waktu Saudara dan saya melayani Tuhan, bukan kita yang korban tapi Tuhan yang sedang korban. Tuhan korban mempercayakan kepada orang-orang yang bisa salah, yang sebenarnya tidak dapat dipercaya, yang tidak excellent, yang banyak kelemahan, dan Tuhan tetap mempercayakan kepada kita. Maka apa arti pengikutan kepada Tuhan itu? Kalau kita melihat dalam cerita ini, orang-orang Israel memperbandingkan Yesus dengan Abraham, tapi Yesus mengatakan bahwa Abraham pun sebetulnya menunjuk kepada Kristus, The Pre-existence Logos –“sebelum Abraham jadi, Aku telah ada”. Saudara dan saya diundang untuk masuk ke dalam cerita ini, yang juga dihidupi Abraham tanpa dia tahu dengan terlalu jelas, yaitu menyaksikan bagaimana Tuhan memberi diri-Nya kepada dia, kepada Saudara dan saya. Kita merayakannya dalam Perjamuan Kudus, supaya kita juga bisa memberikan diri kita kepada Tuhan, sama seperti Tuhan sudah memberi diri-Nya untuk kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading