Kisah 1 Samuel 11 ini ceritanya sangat jelas, orang Yabesh-Gilead dari suku Benyamin diserang Raja Nahas, mereka menyerah, mereka minta pertolongan, dan Saul merespons mereka. Saul kemudian memimpin orang Israel mengalahkan orang Amon dan Raja Nahas. Di bagian terakhir, Saul sendiri sekali lagi divalidasi/dikonfirmasi statusnya sebagai raja Israel. Jadi ceritanya cukup kelas, namun menariknya kalau kita perhatikan lebih teliti seluruh pasal 11 ini sebenarnya merupakan suatu hyperlink ke kitab Hakim-hakim. Kita akan melihat hal ini lebih detail lagi dalam setiap bagiannya, bagaimana penulis Alktab membawa kita dari bagian ini kembali ke kitab Hakim-hakim.
Sebelum masuk ke detail ayat-ayatnya, kita juga bisa merenungkan sedikit tentang fungsi cerita ini dalam konteks kitab 1 Samuel. Tema yang mau ditonjolkan dalam cerita ini sangat jelas, yaitu kehebatan dan kemampuan Saul, dan juga status Saul sebagai raja; dalam hal ini kita mau merenungkan fungsi cerita ini dalam kitab 1 Samuel, kenapa harus menyatakan kehebatannya Saul dan kenapa harus memvalidasi status Saul sebagai raja Israel. Ada 2 hal yang bisa kita renungkan mengenai hal ini.
Pertama, cerita ini mau memperlihatkan bahwa Saul sungguh-sungguh baik dan mampu; dan inilah sungguh-sungguh kualitas yang dibutuhkan dari seorang pemimpin. Di pasal 10, Alkitab begitu positif menggambarkan Saul sebagai orang yang baik, orang yang rendah hati; dan itu digambarkan dengan benar-benar tulus, berbeda dengan yang seringkali kita bayangkan mengenai Saul. Kita tahu apa yang selanjutnya terjadi pada Saul, dan kita mungkin pikir Saul memang dari awalnya munafik, pura-pura, dsb., tetapi tidak ada indikasi sama sekali yang seperti itu di dalam Alkitab. Alkitab dalam 1 Samuel, sangat positif menggambarkan pribadi/karakter seorang Saul. Tetapi ketika dia dipilih dan dikonfirmasi di depan umum sebagai raja, ada orang-orang –yang disebut orang-orang dursila– menolak dia, mereka tidak percaya Saul mampu. Pastinya, ketika Alkitab mengatakan mereka ini orang-orang dursila, berarti mereka ini orang-orang yang menolak Tuhan; namun, concern mereka dalam hal ini tetap sah, bahwa Saul baik, itu oke, tetapi apakah dia sungguh-sungguh mampu sebagai raja. Seorang pemimpin perlu dua hal ini: apakah dia mampu, dan apakah dia baik; dan kita tidak boleh hanya memilih satu aspek saja.
Di dalam Pribadi Kristus, Dia adalah Raja dan pemimpin kita. Kita juga bisa melihat Kristus baik, dan Kristus mampu; He is both good and powerful. Tidak ada gunanya kalau Yesus hanya salah satu saja. Tidak ada gunanya kalau Yesus hanya baik. Kalau Dia hanya baik tapi Dia tidak mampu, maka paling mentok Dia adalah guru moral kita saja, guru moral yang bisa memberikan kita ajaran; guru moral yang bisa memberikan kita penghiburan dalam kesengsaraan karena Dia sengsara demi kebenaran –dan kita sendiri juga sengsara dalam kebenaran– sehingga kita mendapat penghiburan sementara, tetapi pada akhirnya Dia juga ditelan oleh maut/kematian, jadi apa gunanya?? Sebaliknya pun sama; kalau Yesus hanya mampu tapi Dia tidak baik, apa gunanya?? Kalau Dia mampu mengalahkan setan, mengalahkan dunia, mengalahkan kematian, tapi Dia tidak baik, Dia tidak mau menggantikan kita menebus dosa-dosa kita, apa gunanya? Kita tahu Yesus mampu mengalahkan dunia ini, tapi kalau Dia tidak menebus kita, kalau Dia tidak mengampuni kita –kalau Dia tidak baik– buat apa? Di dalam Pribadi Kristus, kita sungguh-sungguh memiliki Raja, pemimpin, yang sungguh-sungguh baik dan mampu. Dia mampu mengalahkan dunia ini, dan Dia mau menyerahkan diri-Nya menggantikan kita untuk menanggung dosa-dosa kita.
Di dalam Gereja, kita juga perlu pemimpin-pemimpin yang mampu dan baik; bukan cuma satu pemimpin, tapi pemimpin-pemimpin –termasuk penatua, diaken, pengurus, orang-orang yang memimpin dalam Gereja. Pemimpin-pemimpin di dalam Gereja harus ada dua kualitas ini, harus baik dan mampu. Mampu untuk memimpin, mampu untuk mengajar. Paulus mengatakan, penatua harus mampu dan bisa mengajar, penatua harus sanggup untuk menasehati. Tidak ada gunanya kalau kita angkat orang jadi pemimpin tapi dia tidak mampu untuk memimpin, dia tidak mampu untuk mengajar/mengerti firman Tuhan dan membawa orang kepada Alkitab –walaupun dia baik. Sebaliknya pun sama, tidak ada gunanya kalau kita angkat orang jadi pemimpin –pengurus, diaken, penatua– kalau dia ada kemampuan tadi tapi dia tidak mau mengorbankan diri, kalau dia tidak baik. Yesus berkata, barangsiapa mau menjadi yang pertama, yang paling besar, dia harus menjadi hamba bagi semua. Itu hal perrtama yang bisa kita lihat di bagian ini, bahwa seorang pemimpin harus baik dan mampu, good and powerful –dan Saul ini both good and powerful.
Yang kedua, keputusan untuk memilih Saul sebagai raja, bukanlah sesuatu hal yang dipaksakan Tuhan atas orang Israel. Kita tahu, Tuhan yang memilih Saul, Tuhan yang mengonfirmasi Saul, tapi tidak berhenti di situ saja; kalau hanya berhenti di situ, seakan-akan Tuhan itu diktator, dan sangat gampang bagi orang-orang Israel khususnya ketika mereka mengalami hal-hal berikutnya sehubungan dengan Saul, untuk mereka mengatakan bahwa pilihan ‘Saul sebagai raja’ adalah salahnya Tuhan. Melalui cerita bagian ini, Alkitab mau mengingatkan dan menekankan kepada orang Israel, jangan kira pemilihan raja ini merupakan suatu hal yang dipaksakan Tuhan, karena di bagian ini memang kamu sendirilah yang memilih dia, kamu sendiri yang merayakan dia, kamu sendiri yang sangat senang menyambut dia dan memperbaharui jabatan dia di hadapan Tuhan; jadi ketika kamu nanti melihat apa yang terjadi dengan Saul selanjutnya, jangan kamu langsung menyalahkan Tuhan. Hal ini penting, kenapa? Karena kita tahu, sebagai manusia kita sangat gampang tergoda untuk menyalahkan Tuhan dalam hal apapun. Inilah cerita Alkitab yang diulang-ulang terus-menerus. Adam dan Hawa, ketika mereka berdosa, apakah mereka langsung mengatakan, “O, Tuhan, saya salah, saya sudah melanggar perintah-Mu” ? Tidak ada cerita seperti itu; yang ada, ketika Adam dan Hawa berdosa, mereka langsung mengatakan, “Tuhan, it’s Your fault!” Hawa mengatakan, “Ular ini, kenapa Kamu masukkan ke taman? Ini salah-Mu!” Adam mengatakan, “Perempuan ini, kenapa Kamu taruh dia di sampingku? It’s Your fault!” Orang-orang Israel juga sama. Mereka berseru, “Tuhan tolong! Keluarkan kami dari Mesir, kami diperbudak!” Setelah mereka keluar, dan hidup sedikit tidak nyaman, mereka salahkan siapa? Mereka bilang, “Tuhan, kenapa kami Kaubawa keluar?? Biarkan kami mati saja di sana; it’s Your fault!” Terus-menerus salahkanTuhan. Tapi di bagian ini Alkitab sekali lagi mau menekankan kepada orang Israel, bahwa apa yang terjadi pada Saul, itu bukan salah Tuhan, karena kamu sendiri juga merayakan dia.
Dari hal ini kita juga bisa introspeksi, di dalam kehidupan kita, dalam situas-situasi yang kita alami yang negatif/buruk, mungkin kita tergoda untuk menyalahkan Tuhan, tapi baiklah kita mundur satu langkah, kita pikirkan kembali, benarkah ini salah Tuhan atau salah kita. Ketika kita dalam keadaan ekonomi seret, banyak utang, dsb., kita langsung mengatakan, “Tuhan, kenapa Kamu bikin saya hidupnya begini?? Kalau tahu begini, saya harusnya tidak usah usaha ini”. Tetapi, sebelum kita salahkan Tuhan, baiklah kita pikir ulang, bahwa kita ada utang sekian banyak, itu memang gara-gara Tuhan atau karena kita sendiri tidak bertanggung jawab, kita berfoya-foya? Ketika kita masih saja jomblo, tidak ada pasangan hidup, kita langsung bilang, “O Tuhan, ini salah-Mu! Kenapa Kamu memberikan saya hidup di dalam dunia sendirian, tidak ada pasangannya?? Bukankah manusia dipanggil untuk berdua, tidak baik kalau manusia sendirian, tapi kenapa saya sendirian??” Tetapi, sebelum kita menyalahkan Tuhan, mungkin kita harus mundur selangkah, mungkin kita jomblo gara-gara diri kita sendiri, gara-gara karakter kita, dsb. Intinya, inilah fungsi yang kedua, bahwa dalam hal pilihan Saul sebagai raja, itu adalah juga pilihan rakyat, dan bukan semata-mata Tuhan paksakan atas orang Israel.
Sekarang kita masuk ke dalam ceritanya. Di bagian introduksi, ayat 1-3, cerita ini langsung membawa kita mengingat apa yang terjadi di dalam kitab Hakim-hakim. Siklusnya sama; orang Israel tertindas, orang Israel tidak berdaya, orang Israel teriak minta pertolongan, lalu Tuhan membangkitkan seorang hakim, Roh Kudus turun atas dia, dan dia memimpin orang Israel mengalahkan musuh. Jadi, penulis Alkitab di bagian ini memakai format kitab Hakim-hakim untuk memulai ceritanya, supaya kita bisa melihat bahwa Saul juga mirip seorang hakim. Ini bukan cuma untuk menekankan bahwa Saul berkuasa, tapi juga bahwa apa yang terjadi pada Saul di sini adalah meneruskan pekerjaan Tuhan yang terjadi sejak zaman hakim-hakim (a continuation of God’s work), yaitu mereka jatuh, mereka berdosa, mereka berteriak, lalu mereka diselamatkan. Begitu berputar-putar dan berputar-putar terus, lalu sekarang di dalam pribadi Saul hal tersebut sekali lagi terjadi. Ini adalah kelanjutan pekerjaan Tuhan. Kenapa ini penting? Karena ini memperlihatkan kepada kita bahwa Tuhan sungguh-sungguh setia, dan Tuhan penuh dengan belas kasihan.
Perbedaan antara cerita di bagian ini dengan cerita dalam kitab Hakim-hakim, yaitu bahwa dalam kitab Hakim-hakim ketika mereka berdosa dan tertindas, setidaknya mereka tetap berteriak kepada Tuhan, sedangkan di dalam kitab 1 Samuel, mereka bukan berteriak kepada Tuhan tapi mereka justru menolak Tuhan. Ketika mereka minta raja, pada saat itu berarti mereka menolak Tuhan sebagai Raja mereka; dan ketika mereka menolak Tuhan sebagai Raja mereka, Tuhan tetap mengampuni mereka, Tuhan tetap berbelaskasihan kepada mereka, Tuhan membangkitkan seorang raja yang baik dan yang mampu untuk memimpin mereka. Di sini kita sungguh-sungguh melihat belas kasihan dan kesetiaan Tuhan. Di dalam Kristus kita juga mengalami belas kasihan serta kesetiaan yang sama, bahkan lebih lagi. Di dalam kehidupan ini kita berdosa, kita mengeraskan hati, kita jelas-jelas melawan Tuhan, namun di dalam Kristus Dia terus terus menjadi Raja kita dan Gembala kita, mengampuni dosa-dosa kita.
Selanjutnya, ayat 3b-4, ketika orang-orang Israel diancam oleh Raja Nahas, orang Amon –belum dipukul, belum dihajar, belum ditindas–mereka begitu gampangnya menyerah. Dalam hal ini, kita sebagai pembaca Alkitab bisa sangat gampang menghakimi mereka, “O, orang-orang Yabesh-Gilead ini tidak beriman, tidak belajar bersandar kepada Tuhan, belum apa-apa sudah langsung menyerah, mana imannya??” Kita langsung bilang bahwa sebagai orang Kristen kita perlu bersandar, kuasa Tuhan itu besar, dsb., tetapi ketika membaca bagian ini kita sering kali lupa siapa orang-orang Yabesh-Gilead ini. Kalau kembali ke kitab Hakim-hakim, kita akan tahu bahwa orang-orang Yabesh-Gilead adalah penduduk yang hampir dipunahkan seluruhnya dalam kejadian perang saudara (Hakim-hakim pasal 19-21), ketika gundik seorang Lewi diperkosa oleh orang-orang Benyamin sampai mati. Di situ Alkitab mau menyatakan kepada kita, bahwa di dalam kejadian tersebut orang-orang Benyamin sudah seperti Sodom dan Gomora, mereka awalnya minta si orang Lewi, tapi tidak diberikan, lalu diberikan gundiknya, dan gundik itu diperkosa sampai mati. Orang Lewi itu kemudian mengambil mayat gundiknya, memotongnya jadi 12 bagian, dan mengirimkannya kepada seluruh orang Israel. Orang Israel kemudian berkumpul dan menghajar suku Benyamin. Dan ketika mereka sedang berduka itu, mereka tanya, “Siapa yang tidak hadir?” –dan orang-orang Yabesh-Gilead inilah yang tidak hadir. Orang Israel begitu marah dan menghajar orang-orang Yabesh-Gilead sampai semuanya hancur, hanya sisa 400 perempuan perawan, yang kemudian diberikan kepada laki-laki yang masih hidup dari suku Benyamin. Intinya, dalam kisah 1 Samuel ini orang-orang orang-orang Yabesh-Gilead tidak ada apa-apanya, maka tidak heran ketika diancam oleh Raja Nahas, mereka langsung menyerah. Mereka bukan tidak ada iman, tapi mereka tidak mampu –mereka tahu mereka tidak mampu. Mereka baru saja melewati perang saudara, baru saja semua laki-lakinya dan semua hartanya dihancurkan, lalu sekarang mau melawan Raja Nahas?? Mana bisa. Jadi, sangat normal sebetulnya bahwa mereka langsung menyerah.
Dalam Injil Lukas pasal 14 ada satu kalimat yang Yesus katakan, ‘raja manakah yang pergi berperang, dan tidak mempertimbangkan prajuritnya serta musuhnya’. Ayat ini memang tujuan utamanya tentang pemuridan, bahwa kita harus tahu apa harga sebagai seorang murid; tapi, di saat yang sama, dari ayat ini kita juga bisa melihat ada hikmat untuk kita sadar akan porsi kita. Kita mengenali bagian porsi kita, itu bukan berarti kita minder; sebaliknya, kalau kita melampaui porsi kita, itu juga bisa jadi tanda kita tidak beriman, itu bisa jadi tanda kita mencobai Tuhan. Kita tidak bisa bilang bahwa mengatakan “O, kita bersandar, bersandar pada Tuhan”, itu pasti iman; tidak tentu demikian, itu bisa juga mencobai Tuhan –dengan melampaui porsi yang mungkin Tuhan bukan mau kita lakukan. Kembali ke bagian ini, kita bisa mengerti kenapa orang-orang Yabesh-Gilead begitu cepat menyerah.
Lalu ketika kabar ini datang kepada Saul, di ayat 6 dikatakan bahwa berkuasalah Roh Allah di atas Saul. Menariknya, ketika Roh Allah ini berkuasa atas Saul, menyala- nyalalah amarahnya –ada kaitan antara Roh Kudus yang berkuasa atas seseorang, dan kemarahan. Kita yang di dalam tradisi Gereja Reformed mungkin rasa terhibur membaca ayat ini, karena orang Reformed terkenal marah-marah; dan kita anggap ini dukungan Alkitabnya, bahwa orang yang dipenuhi Roh Kudus, Roh Allah berkuasa atasnya, dia marah. Kita juga ingat Pak Tong pernah bicara tentang holy anger (kemarahan yang kudus); dan itu pasti ada tempatnya. Tentu kemarahan pasti ada tempatnya, karena kemarahan dan kasih tidak bisa dipisahkan. Kalau kita bilang bahwa kita mengasihi anak-anak, tapi kita tidak pernah marah kepada predator anak-anak, itu hanya membuktikan kita tidak mengasihi anak-anak, kita tidak peduli. Jadi pasti ada tempatnya untuk kemarahan, tapi jangan terlalu cepat membenarkan kemarahan kita dan mengatakan kemarahan kita itu pasti kepenuhan Roh Kudus, karena kalau kita lihat di Perjanjian Baru, di dalam kitab Galatia pasal 5 mengenai buah-buah Roh Kudus, di situ tidak ada kemarahan, adanya self-control. Kelemahlembutan, kesetiaan, kebaikan, itu semua ada. Kedamaian, kesabaran, itu semua ada. Kasih, sukacita, itu semua ada. Tapi dalam buah-buah Roh Kudus di kitab Galatia tidak ada kemarahan. Kalau kita mau bicara kaitan Roh Kudus dan kemarahan, coba kita kembali ke kitab Hakim-hakim pasal 14, cerita Simson; di dalam cerita tersebut, ketika Simson ditipu oleh istri Filistinnya untuk memperoleh jawaban teka-tekinya, di sana ditulis bahwa Roh Allah berkuasa di atas Simson, dan dia marah. Yang saya mau tanya, ketika Roh Allah berkuasa atas Simson, yang ditipu oleh istrinya sendiri, yang akhirnya tidak bisa menang, yang Alkitab mengatakan dia kemudian marah, apakah itu sungguh-sungguh kemarahan yang kudus, apakah itu sungguh-sungguh kemarahan dari Tuhan? Tanda tanya. Apa benar itu kemarahan dari Tuhan, dan bukan gara-gara dia merasa ditipu, merasa kayak orang bodoh sampai ditipu istrinya sendiri dan tidak bisa menang?? Semuanya itu tidak langsung, tidak secara direct dijelaskan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Simson dipenuhi Roh Kudus maka kemarahan dia pasti kemarahan yang dari Tuhan. Tunggu dulu. Bisa jadi Simson marah gara-gara dia sendiri secara pribadi marah –dan dia tetap dipenuhi Roh Kudus. Simson memang figur yang sangat unik dalam kitab Hakim-hakim, tapi hari ini kita tidak membahas itu, saya hanya mau menekankan bahwa relasi antara Roh Kudus dan kemarahan, itu relasi yang tidak terlalu direct/straightforward. Bahkan ketika kita marah terhadap hal-hal yang mempermalukan Tuhan, menghujat Tuhan, misalnya terhadap ajaran-ajaran radikal gereja tertentu yang menghina Injil, kemarahan kita mungkin tidak murni juga, kemarahan kita bisa jadi juga tercampur dengan pengalaman kita yang pernah kecewa dalam gereja tersebut, dst., yang mengakibatkan kita sangat marah kepada mereka. Jadi, di bagian ini memang Roh Allah berkuasa, dan Saul marah, tapi ini tidak terlalu jelas untuk kita bisa langsung mengatakan ini relasi yang pasti 100% klop.
Selanjutnya, di ayat 7 dikatakan bahwa kemudian diambilnya seekor lembu, dipotong-potongnya, dan dibagikan ke seluruh Israel. Ini mirip dengan yang dilakukan orang Lewi dalam hal gundiknya, ia membagikan mayat gundiknya itu menjadi 12 bagian dan dikirim kepada seluruh orang Israel. Tapi ayat 7 ini yang saya mau tekankan adalah bagian terakhirnya, dikatakan bahwa setelah potongan lembu itu semua dibagikan dan Saul menurunkan penghakiman, maka Tuhan mendatangkan ketakutan kepada bangsa itu sehingga mereka maju serentak, they came together as one. Dalam khotbah Pentakosta yang lalu, saya mengatakan bahwa pekerjaan Roh Kudus yang paling utama adalah menyatukan –menyatukan orang berdosa dengan Tuhan, menyatukan orang dengan orang. Dalam kitab Hakim-hakim, sebelum Roh Kudus memberi kekuatan untuk memimpin orang Israel pergi perang, pekerjaan Roh Kudus yang terlebih dahulu terjadi adalah menyatukan orang-orang Israel yang berkeping-keping. Pekerjaan menyatukan, itu pekerjaan Roh Kudus. Di dalam bagian ini, ketika orang Israel bersatu, itu pekerjaan Roh Kudus. Yang menarik, mereka bersatu melalui ketakutan –ketakutan yang dihadirkan oleh Allah. Ketakutan apa? Pastinya ketakutan penghukuman. Ketakutan penghukuman, itulah yang dikerjakan oleh Allah, yang menyatukan mereka menjadi satu.
Kita di dalam Kekristenan berulang kali mengatakan bahwa takut akan Allah, itu bukan takut atas penghukuman; kita percaya/ menyembah Allah, dasarnya bukan karena ketakutan. Dalam surat Yohanes dikatakan, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan”. Paulus di dalam Roma 8 mengatakan, “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi —takut penghukuman–, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.” Kita menerima Kristus bukan gara-gara kita takut atas penghukuman, kita menerima Kristus karena kita dengan iman menerima apa yang Yesus sudah lakukan bagi kita, kasih Dia kepada kita, dan kita mengasihi Dia. Keselamatan bukan didasarkan oleh takut penghukuman –ini pasti, mutlak– tetapi, bagaimanapun juga Alkitab juga mengatakan Tuhan mendatangkan ketakutan penghakiman –secara khusus di bagian ini. Artinya, ketakutan atas penghukuman, itu tetap ada bagiannya dalam kerohanian kita. Takut atas penghukuman Tuhan, itu tidak bisa kita abaikan dan kita buang begitu saja, “O, yang penting kita sabar, kita mengasihi, Tuhan mengampuni, jangan ngomong tentang penghukuman, jangan ngomong neraka, dalam kasih tidak ada ketakutan”. Di bagian ini, pekerjaan Roh Kudus itu menghadirkan ketakutan atas penghukuman. Hal tersebut ada tempatnya. Kita juga ingat khotbahnya Jonathan Edwards yang sangat terkenal itu, “Sinners in the Hands of Angry God” (“Orang Berdosa di dalam Tangan Tuhan yang Murka”). Dalam khotbah tersebut Edwards bicara tentang penghakiman, tentang penghukuman neraka, dan bagaimana orang-orang yang mendengarnya ketakutan, sehingga bahkan sebelum Edwards selesai berkhotbah mereka sudah maju, bertobat, dan menerima anugerah keselamatan di dalam Yesus Kristus. Poinnya, kita harus mengakui ada tempatnya untuk takut atas penghukuman/neraka.
Ketakutan atas penghukuman, atas neraka, itu bukan sesuatu hal yang tabu yang kita sama sekali tidak boleh ucapkan. Namun yang penting, ketika kita bicara tentang penghukuman, ketika kita menurunkan penghakiman kepada orang-orang lain, ketika kita mengatakan, “Kalau kamu berdosa terus, Tuhan akan menghukum kamu, kamu bisa dihukum ke neraka”, dst., apakah kita sendiri rela berkorban atau menanggung penghukuman bagi orang-orang yang kita hakimi, atau tidak. Ini penting. Ketika Musa menurunkan penghakiman bagi orang-orang Israel yang menghujat Allah dengan mendirikan lembu emas, Musa berkata kepada Tuhan, “Tuhan, kalau bisa namaku yang dicoret.” Betul Musa menghakimi mereka, “Kamu berdosa, kamu patut dihukum”, tapi dia berkata kepada Tuhan, kalau bisa namanya sendiri yang dicoret. Paulus, ketika dia menurunkan penghakiman/penghukuman bagi orang-orang Yahudi yang membunuh Yesus, menghujat Yesus, Paulus bilang kepada Tuhan, “Tuhan, kalau bisa namaku yang dicoret dari buku kehidupan, bukan mereka”; namun di sisi lain dia tetap menurunkan penghukuman, “Kamu harus takut akan Tuhan, penghukuman Tuhan ada bagi kamu kalau kamu terus-menerus berdosa.”
Dan, kita tahu di dalam Alkitab, pribadi yang paling banyak bicara tentang neraka adalah Yesus, tapi Dia sendiri mengalami neraka. Dia bukan bilang ‘kamu celaka, kamu akan masuk neraka, kamu akan dihukum’, tapi Dia tidak ngapa-ngapain. Dia mengatakan, “Celakalah kamu, kamu akan dihukum …”, dst., tapi Dia sendiri mengalami neraka. Itulah sebabnya orang-orang yang menekankan hukuman Tuhan –seperti kalau di Barat banyak street preachers yang bawa papan bertuliskan “Sinners burn in hell”, dst.– memang itu ada tempatnya; tapi yang penting, kita yang angkat papan itu mau atau tidak dibakar di neraka oleh sebab mereka? Ini penting. Jangan kita cuma bilang, “Kamu patut dihukum, kamu patut dibuang”, tetapi tentang diri kita, “O, saya tidaklah, saya very good, grade A, masuk surga”. Kita harus berani bicara tentang penghukuman Allah, murka Allah, tapi ketika kita menyatakan hal itu, kita sendiri harus mau berkorban untuk orang-orang yang kita hakimi itu. Di sisi lain juga sama, kalau kita tidak berani menyatakan penghukuman/ penghakiman Tuhan, itu juga bisa membuktikan kita mungkin tidak mengasihi mereka; “Ya Tuhan, saya tidak maulah mati bagi mereka, saya tidak mau berkorban bagi orang-orang ini; jadi karena saya sendiri tidak mau, saya tidak cukup kasih, ya sudah, saya juga tidak mau menyatakan penghukuman bagi mereka –it’s a fair game.” Tetapi Alkitab bukan demikian. Orang-orang yang dipakai Tuhan, mereka berani menyatakan penghakiman; dan orang-orang yang dipakai Tuhan untuk menyatakan penghakiman ini juga berani berkorban bagi orang-orang yang mereka hakimi itu.Saya teringat ketika Dr. Richard Pratt mengajar di kelas, dia pernah bilang kepada kami, “Kalian, murid-murid di sini, siapapun yang bilang pada saya, kamu mau lompat dari gedung ini, saya akan lompat bersama-sama dengan kamu”. Saya dalam hati ada sedikit perasaan, “Ah, omong kosong”. Saya tidak tahu seberapa serius dia mengatakan itu, tapi kalau itu memang tulus, saya sendiri tidak mampu, namun saya ingin menuju ke sana, bisa sungguh-sungguh mengasihi orang-orang yang kita hakimi. Ketika kita menurunkan penghakiman, penghukuman, takut akan penghukuman Tuhan, kita benar-benar juga mau berkorban.
Selanjutnya, ayat 9-11, Saul mengumpul-kan mereka dan pergi menyerang orang-orang Amon. Kita perhatikan di bagian ini, yang Saul lakukan mirip sekali dengan yang Gideon lakukan, orang-orang Israel dibagi-bagi lalu orang Amon dikepung, diserang. Poinnya sederhana, Alkitab mau kita melihat bahwa Saul adalah the geater judge, he is the judge king. Saul bukan sekadar hakim, tapi dia adalah hakim raja. Kemenangan yang dibawa seorang hakim adalah kemenangan lokal; itu sebabnya hakim-hakim dalam kitab Hakim-hakim sequence-nya overlapping, tidak berurutan, karena mereka bisa jadi hidup di zaman yang sama lalu kemenangan yang mereka peroleh adalah kemenangan lokal, sedangkan yang Saul lalukan adalah kemenangan nasional. Saul adalah hakim yang lebih besar, melampaui hakim-hakim sebelum dia, dia adalah hakim raja.
Kita langsung melihat bagian yang terakhir. Setelah mereka menang, Saul divalidasi lagi, dikonfirmasi lagi sebagai raja. Ayat 12, setelah Saul memperoleh kemenangan, apa respons pertama dari orang-orang Israel? Hal pertama yang mereka katakan adalah mau balas dendam. Di waktu sebelumnya, ada orang-orang yang menghina Saul, dan orang-orang yang ikut Saul hanya bisa pulang saja, mau bagaimana lagi, memang Saul belum membuktikan diri. Kita tahu dia baik, dia rendah hati, tapi belum membuktikan kuasanya, jadi kalau dihina, ya sudah. Dunia memang seperti itu, kalau kita sedang lemah, miskin, dan kita dihina, ya, kita simpan dalam hati saja, jangan dilupakan, pakai hal itu sebagai motivasi. Lalu ketika sudah sukes, balas dendam, show the world, show them who is the winner! Saya sekarang sudah sukses, saya sekarang sudah mapan, saya sekarang sudah maju; dulu kamu hina saya, sekarang waktunya saya hina kamu! Dulu orang-orang itu menghina Saul, sekarang waktunya hajar mereka habis-habisan; dulu Saul belum membuktikan kuasanya, tapi sekarang Saul sudah mengalahkan orang Amon, Raja Nahas, jadi sekarang waktunya balas dendam. Tetapi, Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kalau kita sudah sukses, sudah diberkati, dan kita maunya balas dendam, menonjolkan diri kita, artinya kita benar-benar tidak tahu apa itu anugerah. Kalau kita sungguh-sungguh sadar akan anugerah, di saat kita lemah, yang menopang kita adalah anugerah; di saat kita sukses, diberkati, naik, maju, itu juga anugerah. Fakta bahwa orang yang sudah diberkati tapi mau balas dendam, mau menonjolkan diri, mau menunjukkan superioritasnya, ‘kamu dulu menghina saya, sekarang saya superior’, itu hanya menunjukkan mereka sungguh-sungguh percaya bahwa apa yang mereka raih adalah hasil tangan mereka sendiri, bukan anugerah. Paulus bilang, kalau kamu sungguh-sungguh menerima, apa sih yang kamu sombongkan?? Kita hanya bisa menyombongkan kalau kita sungguh-sungguh percaya yang kita raih adalah dari tenaga kita, our own effort. Spirit OKB, tiba-tiba kaya lalu hina yang lain, ‘look at me, what I have done!’ Tetapi itu pasti bukan narasi Injil, itu narasi dunia.
Di bagian ini, Saul sungguh-sungguh sadar apa artinya anugerah, maka dia mengatakan, “Stop, hari ini seorang pun tidak boleh dibunuh, sebab pada hari ini TUHAN telah mewujudkan keselamatan kepada Israel”. Saul sungguh-sungguh sadar, dia ada kerendahan hati untuk menerima siapa dirinya. Ketika di bagian sebelumnya dia dihampiri Samuel, “Kamu akan jadi raja”, dan Saul mengatakan, “Siapakah diri saya, saya suku paling kecil keluarga paling kecil, orang yang tidak berguna”, itu bukan perkataan munafik, itu tulus; dan di bagian ini hal tersebut dibuktikan. Dia ada kerendahan hati untuk sadar bahwa dia begitu tidak layak, bahwa kemenangan yang diperolehnya pada hari itu datang dari Tuhan, bukan dari dirinya.Itu sebabnya dia tidak mengizinkan orang-orangnya membunuh mereka yang sebelumnya menolak dia.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kalau kita cukup rendah hati, dan cukup berani untuk menerima siapa diri kita, maka kita sungguh-sungguh bisa mengakui bahwa segala sesuatu yang baik yang kita terima, itu benar-benar anugerah, sola gratia. Butuh kerendahan hati, butuh keberanian, untuk menerima bahwa kita orang berdosa. Dan ketika kita sadar kita adalah orang berdosa, kita benar-benar hancur di mata Tuhan, baru kita bisa melihat segala sesuatu adalah anugerah. Khususnya ketika kita menerima siapa diri kita dan kita melihat kepada Yesus yang disalibkan, kita sekali lagi bisa mengatakan, “Ya, Tuhan, segala sesuatu itu anugerah; karena seharusnya bukan saya yang melihat Engkau disalibkan, tapi Engkau yang melihat saya disalibkan.” Tetapi, bukan itu yang terjadi; yang terjadi adalah kita yang melihat Dia disalibkan, Dia yang menggantikan kita, kita yang justru terima berkat, bisa berada di Gereja, bersekutu, kita yang justru memperoleh hidup yang kekal, mengenal Dia, mengalami terus pimpinan dan topangan Dia. Dalam hal ini, kita sungguh bisa mengatakan, “It’s all by grace alone, sola gratia”.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading