Tema hari ini ada kaitan dengan Perjamuan Kudus, kita akan merenungkan dari Perjanjian Lama yaitu dari kitab Keluaran. Dalam beberapa Renungan Malam, kita sudah membahas hal yang berkaitan dengan Perjamuan Kudus, mulai dari Yohanes 6, lalu juga dari perspektif cerita Elia diberi makan seorang janda di 1 Raja-raja 17, dan hari ini kita melihat dari perspektif yang lain lagi, yang semuanya bisa dikaitkan dengan Perjamuan Kudus, yaitu dari peristiwa turunnya manna. Sebagaimana sudah sering kita katakan, kita bisa mengerti ayat-ayat Perjanjian Lama dengan lebih baik waktu kita membaca Perjanjian Baru, karena Perjanjian Baru menggenapkan apa yang sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama; sebaliknya, waktu kita membaca Perjanjian Baru, kita bisa memahami teloginya dengan lebih kaya ketika kita membacanya dari perpsektif Perjanjian Lama. Dan, salah satunya adalah membaca teologi Perjamuan Kudus, termasuk Yohanes 6 yang terkenal itu, dari perspektif Keluaran 16 karena di sini bicara tentang manna, tentang roti.
Kalau Saudara membuka kembali Yohanes 6, ada kemiripan dengan bagian yang kita baca hari ini, karena di situ mereka juga bersungut-sungut (grumble); dan ternyata bersungut-sungut bukanlah hal baru karena dalam Keluaran 6 di padang gurun pun mereka bersungut-sungut. Ayat 2: ‘Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun.’
Kita tertarik dengan bagaimana Tuhan merespons sungut-sungut ini. Bersungut-sungut itu suatu kejahatan, kalau menurut Alkitab. Bersungut-sungut, di dalam bahasa Alkitab dibedakan dari ‘meratap’, bahkan mengeluh; mengeluh tidak harus berarti dosa, sedangkan bersungut-sungut adalah dosa, ketidakpuasan kepada Tuhan, juga ada nuansa menuduh, tidak bersyukur, dan ada nuansa menyalahkan juga. Kalau Saudara membaca di bagian ini, kalimatnya sinis; mereka mengatakan, “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang!” Ini pun ada kemiripan dengan Yohanes 6, yaitu orang cuma pikir kebutuhan fisik saja, kekenyangan perutnya saja, kenikmatan lidahnya saja; yang penting kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang, mati oleh tangan Tuhan pun tidak apa-apa.
Istilah ‘mati oleh tangan Tuhan’ ini, kalau dalam konteks Keluaran maksudnya mati bareng orang Mesir yang kena tulah itu, atau sekalian ikut ditenggelamkan di laut bersama dengan orang-orang Mesir. Konyol sekali kalimat seperti ini. Okelah misalnya itu cuma kalimat hiperbola, tapi tetap saja kalimat hiperbola yang ngawur; bukan karena hiperbola lalu dibenarkan untuk bicara sembarangan. Kalimat ini sarkastik, ini mengatakan, ‘kita oke saja mati bersama dengan Firaun ditenggelamkan di laut, asal matinya kenyang’. Bukankah konyol mengatakan seperti itu?? Dan, ini seringkali merupakan keadaan banyak orang, termasuk Saudara dan saya. Kita ini lebih peka terhadap urusan jasmani. Kita bisa dengan gampang mengorbankan pemeliharaan Tuhan, perkenanan Tuhan, dsb., karena buat kita hal-hal itu seperti abstrak, yang penting adalah kuali berisi daging, roti, makan sampai kenyang. Sikap ini mendukakan Tuhan, karena ini seperti sikap orang yang tidak mengenal Tuhan. Dalam Yohanes 6 pun mirip; Yesus bilang, “Akulah Roti Hidup”, dan mereka tidak tertarik juga, mereka tertariknya menjadikan Yesus raja roti. Kenapa demikian? Karena mereka kenyang –mirip dengan cerita Keluaran 16. Dari Keluaran 16 sampai Yohanes 6, sudah begitu banyak tahun bedanya, dan tetap tidak ada perkembangan. Termasuk juga sampai zaman Saudara dan saya hari ini tidak ada perkembangan juga tampaknya, orang masih saja seperti itu; yang penting kuali berisi daging dan roti, makan sampai kenyang, apa sih artinya kita tidak mati, apa sih artinya pemeliharaan Tuhan, apa sih artinya Tuhan memimpin keluar, dsb., itu abstrak, tapi yang konkret adalah: dapur saya ngebul, anak bisa sekolah, semua sehat, dsb. Ini seperti orang yang tidak mengenal Tuhan, karena orang yang tidak mengenal Tuhan pun begitu, pikirannya sama, tidak ada sense rohani. Hal seperti ini juga tidak jauh berbeda dari Esau. Esau bisa dengan gampang bilang, ‘apa sih artinya hak kesulungan itu, saya sekarang sudah mau mati kelaparan begini; sudahlah, beri saya sup yang merah-merah itu untuk saya makan’. Mirip sekali.
Ini seperti pola yang terus-menerus diulang, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sampai sekarang pun, meski kita sudah mendapatkan pengajaran sejak kapan-kapan, bukan berarti hal ini sudah tidak relevan lagi. Sekali lagi, mereka ini berkata ‘lebih baik mati oleh tangan Tuhan, kena tulah dan mati bersama dengan orang-orang Mesir itu tidak apa-apa, tidak usahlah Tuhan membedakan kita dengan orang Mesir itu, tapi kita matinya dalam keadaan duduk menghadapi kuali berisi daging, makan roti sampai kenyang’. Inikah gambaran umat Allah? Apakah seperti ini gambaran jemaat? Ditambah lagi dengan kalimat: “Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.”
Dalam kalimat yang kedua ini sebenarnya ada semacam logikanya. Maksudnya begini, memang agak lucu kalau seandainya Tuhan mengeluarkan mereka, hanya untuk tunda beberapa waktu sebelum akhirnya dibunuh juga di padang gurun. Kalimat kedua ini lebih ada masuk akalnya, seakan-akan sudah diselamatkan dengan susah payah, going all the trouble, lalu akhirnya dibinasakan juga, kalau begitu kenapa tidak dibinasakan waktu itu saja sekalian, jadi lebih praktis, lebih ringkas, daripada sudah jalan putar-putar begini lalu akhirnya dibinasakan juga. Tapi kita tahu kalimat ini salah. Ini kalimat yang keliru, karena Tuhan tidak berniat membinasakan mereka di padang gurun. Lalu kenapa mereka mengatakan kalimat ini, kalau pun seandainya kalimat ini benar dan ada poinnya? Karena mereka tidak percaya. Mereka tidak percaya pemeliharaan Tuhan. Mereka tidak percaya kepada Tuhan. Mereka tidak sabar. Dalam pikiran mereka, kelimpahan makanan di tanah Mesir sepertinya lebih menarik daripada mereka bisa beribadah kepada Tuhan. Sekali lagi, kuali yang berisi daging dan makan roti sampai kenyang, bagi mereka kayaknya lebih menarik daripada bisa beribadah kepada Tuhan.
Banyak orang melihat Kekristenan seperti ‘spiritual add on’. Kalau Saudara makan di restoran, biasanya ada menu ‘add on’, makanan yang boleh ada dan boleh tidak ada, bukan main course-nya, misalnya mau diberi tambahan topping apa dsb., yang tanpa topping pun sudah oke juga. Dalam hal ini, Kekristenan jadi seperti topping di atas itu, spiritual add on —tetap ke gereja sih tapi hanya jadi spiritual add on, yang lebih penting kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang. Akhirnya tidak jauh berbeda keadaan kita dengan keadaan mereka, dengan keadaan orang-orang pada zaman Yesus yang dicatat dalam Yohanes 6, bahkan dengan keadaan Esau.
Selanjutnya waktu Tuhan menjawab mereka, kalau kita melihat sedikit lebih detail, ada tafsiran yang mengatakan seperti ini: ‘God wasted no time in manifesting Himself’. Di ayat 10 dikatakan: ‘Dan sedang Harun berbicara kepada segenap jemaah Israel, mereka memalingkan mukanya ke arah padang gurun —maka tampaklah kemuliaan TUHAN dalam awan’; di sini Harun belum selesai bicara, namun Tuhan seperti menginterupsi, God wasted no time. Ada beberapa message minor yang bisa kita tarik dalam hal ini, bahwa munculnya Tuhan bukanlah karena di-inisiasi oleh Harun. Tuhan itu berdaulat, Dia tidak harus menunggu Harun selesai bicara baru giliran Dia muncul. Tuhan tidak perlu tunggu giliran setelah Saudara dan saya; memangnya siapa kita ini sampai Tuhan bicaranya musti tunggu giliran dari kita?? Kita mungkin perlu tunggu giliran setelah orang lain bicara, tapi Tuhan tidak demikian. Tuhan itu berdaulat, Dia muncul kapan saja Dia mau muncul; dan kalau Dia muncul, berharap Dia muncul dalam belas kasihan-Nya, bukan di dalam murka.
Kita membaca di bagian ini, Tuhan menginterupsi; sementara Harun masih berbicara dan memberikan instruksi kepada mereka, Tuhan menampakkan diri –sebagaimana dikatakan di ayat 10, orang Israel memalingkan mukanya ke padang gurun dan tampaklah di situ kemuliaan Tuhan dalam awan. Tuhan menyelesaikan persoalan ini bukan dengan instruksi Harun, melainkan dengan diri-Nya sendiri, dengan kemuliaan-Nya. Sekali lagi, persoalan orang Israel tidak bisa diselesaikan dengan instruksi manusia, sebaliknya yang dinyatakan di sini adalah kemuliaan Tuhan. Saudara boleh saja ikut kebaktian, ikut PA, saat teduh pribadi, berdoa, dsb., tapi kalau kita hanya berurusan dengan instruksi-instruksi yang dikatakan orang lain, mungkin kita tidak akan bertumbuh; yang membereskan kedegilan hati Saudara dan saya, adalah penampakan kemuliaan Tuhan. Termasuk waktu Saudara mendengarkan khotbah, termasuk waktu Saudara Perjamuan Kudus, termasuk waktu Saudara berdoa secara pribadi, membaca Firman secara pribadi, dst., dst., kalau kita tidak melihat kemuliaan Tuhan, ya sudah, berarti kita sekadar berurusan dengan instruksi manusia. Instruksi manusia itu boleh di-relativisasi, ‘itu ‘kan menurut lu; ‘kan lu yang ngomong, kalau saya sih pandangannya lain, saya ada different opinion’, dan terus-menerus different opinion. Bagaimana mau bertumbuh kalau seperti itu, selalu ada different opinion?? Memang yang berkata-kata mengatakan Firman Tuhan itu adalah manusia berdosa, tapi kalau orang tidak berjumpa dengan kemuliaan Tuhan, apa sih artinya instruksi dari manusia –apa artinya intsruksi dari Harun??
Lalu apa yang dikatakan Harun? Ayat 9: Kata Musa kepada Harun: “Katakanlah kepada segenap jemaah Israel: Marilah dekat ke hadapan TUHAN, sebab Ia telah mendengar sungut-sungutmu”; setelah itu Harun berbicara kepada segenap jemaah Israel. Di sini kita tidak tahu pasti apa kalimat yang dikatakan Harun, bisa jadi hanya disuruh mendekat saja; dalam hal ini penulis Keluaran tidak digerakkan Roh Kudus untuk mencatat perkataannya Harun, artinya itu tidak penting. Yang dikatakan Musa, bukan sekadar instruksi manusia; dia berkata kepada Harun supaya orang Israel dekat kepada Tuhan, karena Tuhan mendengar sungut-sungut mereka.
Saudara lihat di sini kesabaran Tuhan yang luar biasa serta kelemahlembutan-Nya. Sekali lagi, di dalam bahasa Alkitab, bersungut-sungut itu suatu dosa, sesuatu yang mendukakan hati Tuhan, sesuatu yang sebetulnya boleh dihadapi Tuhan dengan murka –berbeda dari lamentasi/ratapan– namun di sini Tuhan mendengar sungut-sungut mereka dan Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Di sini Saudara melihat memang betul ‘slow to anger’ adalah atribut Tuhan. Allah itu murkanya lambat; kalau Allah sudah betul-betul marah, itu berarti sudah di batas akhir sekali. Saudara dan saya ini lebih gampang marah daripada Allah; Allah itu marahnya seperti terlambat sekali menurut perspektif kita. Kadang-kadang kita ini marahnya unreasonable di dalam waktu yang salah, karena kita tidak ada cukup kesabaran, tidak ada long suffering, akhirnya kita jadi orang yang gampang sekali marah. Tapi Tuhan tidak demikian. Itu sebabnya sering kali kita melihat Tuhan seperti lambat dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan; kita merasa kenapa orang yang jahat/fasik tidak segera dimurkai, kita merasa Tuhan terlalu lambat. Tetapi bukannya Tuhan terlalu lambat, Tuhan itu slow to anger; dan Dia slow to anger bukan hanya terhadap orang-orang lain yang menurut kita jahat, tapi juga terhadap Saudara dan saya. Itu sebabnya jangan take it for granted kesabaran Tuhan ini.
Selanjutnya ayat 11-12, Tuhan berkata kepada Musa bahwa Dia sudah mendengar sungut-sungut orang Israel, dan Dia minta Musa mengatakan kepada orang Israel bahwa pada waktu senja mereka akan makan daging, dan pada waktu pagi mereka akan kenyang makan roti. Dan, perhatikan kalimat berikutnya: “… maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, Allahmu.” Sederhana prinsip ini; mereka bersungut-sungut, mereka ingin makan daging karena sudah lama tidak makan daging, Tuhan mendengar sungut-sungut mereka, dan Tuhan mengabulkan, Tuhan memberikan kepada mereka daging dan roti, tetapi sebagaimana dikatakan dalam kalimat terakhirnya, itu adalah supaya mereka mengetahui bahwa TUHAN adalah Allah mereka.Jadi ujungnya atau goal-nya adalah pengenalan akan Tuhan. Kalau ini tidak terjadi dalam kehidupan Saudara dan saya, itu benar-benar masalah. Perut kita boleh saja kenyang, pergumulan kita boleh saja dijawab, dan bahkan solusinya pun dari Tuhan, tetapi kalau itu tidak membawa kita kepada pengenalan akan Tuhan lebih dalam, berarti ada yang keliru.
Persis seperti inilah yang terjadi dalam Yohanes 6; mereka dikenyangkan, mereka tahu Yesus yang itu adalah orang luar biasa, bisa melakukan mujizat sedemikian yang bikin mereka semua kenyang, tapi waktu Yesus memberikan self-disclosure “I am the bread of life’ –Akulah Roti Hidup– yang berarti mereka diajak masuk ke dalam pengenalan, mereka menolak. Mereka tidak tertarik dengan pengenalan itu, mereka tertarik dengan kenyang makan roti. Mereka tertarik kalau dalam kehidupan ada persoalan lalu ada solusinya, ‘hidup saya susah, saya sakit, dagang kurang lancar, ada Covid, lalu bagaimana solusinya’, tapi setelah disembuhkan, setelah diberkati, setelah diberikan lebih, dsb., mereka tidak tertarik untuk mengenal Tuhan lebih dalam. Inilah kehidupan manusai yang berdosa. Yohanes mengatakan, hidup kekal adalah mengenal Allah. Hidup kekal bukanlah hidup yang sepanjang-panjangnya; itu bukan definisi hidup kekal yang paling penting menurut Yohanes. Memang betul ada istilah ‘everlasting’, konsep itu termasuk, tapi bukan itu yang utama; yang utama adalah mengenal Allah. Mengenal Bapa yang mengutus Anak dan mengenal Anak yang diutus Bapa, menurut Yohanes itulah hidup kekal. Mengenal Allah Tritunggal itulah hidup kekal. Apa artinya kalau kita hidupnya panjang, kuali selalu berisi daging dan roti selalu berkelimpahan, tapi kita tidak mengenal Allah, tidak mengetahui bahwa Dialah Tuhan, Allah kita.
Kita membaca dalam bagian berikutnya, mereka mendapatkan yang mereka minta. Ayat 14-15: ‘Pada waktu petang datanglah berduyun-duyun burung puyuh yang menutupi perkemahan itu’ —Tuhan mendatangkan berduyun-duyun burung puyuh sampai menutupi perkemahan, artinya banyak– ‘dan pada waktu pagi terletaklah embun sekeliling perkemahan itu. Ketika embun itu telah menguap, tampaklah pada permukaan padang gurun sesuatu yang halus, sesuatu yang seperti sisik, halus seperti embun beku di bumi’. Di sini bukan berarti manna turun pada saat itu juga, bisa jadi sebelumnya –dan ini tidak terlalu penting– tapi yang pasti setelah embun itu menguap, baru tampak di padang gurun itu sesuatu yang halus seperti sisik, halus seperti embun beku.
Di bagian ini mungkin kita tergoda untuk cari penjelasan, manna itu kira-kira apa –dan Saudara bisa menemukan penjelasan semacam itu juga di tafsiran– tapi kalau Saudara sudah rutin mengikuti khotbah di sini, kita selalu mengingatkan untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan ‘gak penting. Penjelasan natural, sangat mungkin ini adalah eksudat yang dikeluarkan oleh kutu yang berada di pohon-pohon tamariska, yang cukup banyak di padang gurun Sinai. Tapi tidak terlalu penting ‘kan kalimat ini? Tidak usah dibicarakan pun tidak apa-apa karena memang tidak penting; dan bahwa ini benar-benar tidak penting, kenyataannya Alkitab tidak menjelaskan juga. Itu sebabnya tidak usah tanya-tanya yang ‘gak penting. Kita jadi kehilangan poinnya waktu kita mulai cari tahu, ‘ini sebetulnya apa sih?’ Alkitab tidak menjelaskan, berarti kita tidak perlu tahu. Perhatikan, yang kita perlu tahu adalah: orang Israel tidak tahu ini apa. Bagian ini penting; mereka tidak tahu, sama seperti Saudara dan saya. Lalu bagaimana? Karena tidak tahu, maka bertanya, “Apakah ini?” –ini kalimat penting.
Kalimat ‘apakah ini’, lebih penting daripada mengetahui penjelasan natural seperti disebutkan tadi; dan di dalam bahasa Ibrani, kalimat ‘apakah ini’ istilahnya adalah man hu, yang kalau dipendekkan jadi man. Jadi, istilah ‘manna’ adalah dari kalimat ‘apakah ini’, dari ketidakmengertian, dari sikap bertanya. Namun yang menarik, penjelasannya bukanlah penjelasan natural seperti yang kita, orang modern, ingin tahu; tidak ada jawaban ilmiah di sini, dan itu tidak penting. Saya bukan mengatakan sains tidak penting, bukan itu poin saya, tapi kalau kita mengejar itu terus-menerus, akhirnya kita tidak mendapatkan berkat firman Tuhan, karena Tuhan tidak tertarik memberitahukan hal itu. Bukan Tuhan tidak tahu, tentu saja Tuhan tahu dan Tuhan bisa saja memberitahu manna ini sebetulnya apa, jenis binatangnya termasuk klasifikasi apa, ordo apa, genus apa, dsb., tapi itu tidak penting. Dikatakan selanjutnya, Musa menjawab: “Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu.”
Mereka tadi bertanya, ‘apakah ini’, dan kita bisa pakai penjelasan natural, “Begini lho, ada semacam kutu, yang ada di sekitar pohon-pohon tamariska, karena di padang gurun Sinai ini banyak pohon tamariska; lalu kutunya itu bisa mengeluarkan cairan, dan cairan ini sebetulnya adalah …”. Tapi bukan itu penjelasannya. Musa tidak tertarik dan tidak digerakkan Tuhan untuk menjawab seperti itu; yang digerakkan adalah jawaban “ini adalah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu”. Saudara bisa menangkap tidak poinnya apa? Barang ini apa, kita bisa jelaskan secara ilmiah, boleh saja Saudara mengobservasi seperti itu; tapi yang mau dikatakan oleh Musa, yang Tuhan perintahkan Musa untuk mengatakan adalah mengenai bagaimana mereka melihat manna ini sebagai pemberian Tuhan. Barang-barang natural, yang bisa dijelaskan secara natural, itu dijelaskan sebagai pemberian Tuhan. Lalu boleh atau tidak menyelidiki misalnya secara ilmiah seperti tadi? Boleh saja, tapi itu bukan urusannya kitab Keluaran, Saudara belajar sendiri di bagian lain karena Alkitab memang tidak meng-cover semuanya; tidak mungkin Alkitab meng-cover ilmu Kimia, Biologi, dsb. Alkitab mengurusi satu hal yang kita tidak boleh luput, yaitu: melihat hal-hal natural di sekeliling kita sebagai pemberian Tuhan. Jadi, waktu berurusan dengan natur, tidak pernah lepas dari sikap beribadah dan bersyukur kepada Tuhan. Dan, ini menjawab sungut-sungutnya orang Israel itu.
Mereka ini bersungut-sungut, lalu apa Saudara pikir orang yang bersungut-sungut bisa diberi penjelasan jenis kutu di pohon tamariska?? Ya, tetap bersungut-sungut, karena apa hubungannya bersungut-sungut dengan kutu pohon tamariska?? Bagaimana bisa kutu pohon tamariska menyelasaikan sungut-sungut? Tidak akan menyelesaikan. Tetapi kalimat ini menyelesaikan, “Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu”. ‘Hai kamu yang bersungut-sungut, ini roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu, berhentilah bersungut-sungut’, kalimat ini nyambung dengan sungut-sungut mereka. Israel diajak untuk merelasikan apa yang ada di sekitar mereka, yang mereka tidak tahu, yang mereka tidak mengerti, dengan sikap ucapan syukur, melihat Tuhan yang memberi, yang menyediakan, yang bukan tidak tahu kebutuhan mereka.
Waktu kita membaca Yohanes 6, ketika Yesus mengatakan “Akulah roti hidup”, mereka tidak mengerti juga apa sih artinya ‘Akulah roti hidup’ ini, danseharusnya mereka bisa menggali lebih dalam seperti Keluaran 16, tapi mereka bahkan tidak tanya ‘man’, tidak ada pertanyaan itu. Mereka ingat cerita Keluaran, tapi mereka tidak menghayatinya. Kalau mereka ingat cerita Keluaran, dan mereka tidak mengerti waktu Yesus mengatakan kalimat tadi, seharusnya mereka tanya ‘maksudnya apa’, lalu dengan rendah hati mau belajar, dan Tuhan memberikan jawaban bahwa Yesus adalah Roti yang diberikan Bapa dari surga. Tapi mereka tidak tanya. Mereka sok tahu, ‘Sudahlah, apa ini roti hidup, kanibalisme atau apa, begini sajalah, Kamu jadi raja, kita siap jadi pendukung-Mu’ –5000 orang laki-laki pada saat itu luar biasa, lumayan bisa menggoncang. Tapi mereka tidak ada pertanyaan, mereka menyingkirkan begitu saja perkataan Tuhan Yesus Kristus, mereka langsung menghakimi, “Perkataan ini keras, siapa yang bisa mendengarkan?”, mereka tidak menggali lebih lanjut. Di dalam hal ini, mereka tidak mengerti Keluaran 16. Kalau saya boleh antisipasi bagian akhirnya, Keluaran 16 somehow gambarannya lebih positif daripada Yohanes 6, respons mereka dalam Keluaran 16 lebih baik daripada respons yang dicatat dalam Yohanes 6 –dan ini ironis sekali. Dalam Yohanes 6, mereka mempunya ahli-ahli Taurat, pengajar-pengajar, orang-orang Farisi, dan juga ada Yesus Kristus yang hidup sezaman dengan mereka, tapi respons mereka berbeda.
Kembali ke Keluaran, Musa menjawab mereka: “Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu. Beginilah perintah TUHAN: Pungutlah itu, tiap-tiap orang menurut keperluannya; masing-masing kamu boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang, menurut jumlah jiwa” (ayat 15b-16).Ayat 16 ini ada beberapa hal yang kita bisa gali.
Betul bahwa roti itu diberikan Tuhan, tapi ada bagian kita juga, ada tanggung jawab kita, ada partisipasi kita, untuk memungut. Bahkan di sini ada aturannya; bukan karena Tuhan memberikan, lalu kita boleh jadi liar dan rakus, ‘karena Tuhan sudah memberkati, sekarang kamu boleh mengumbar nafsumu seluas-luasnya, terserah kamu, toh Tuhan sudah memberikannya kepadamu’ –dan memang nantinya ada cerita seperti ini, ketika mereka rakus makan daging lalu akhirnya Tuhan murka. Tapi itu urusan lain, kita tidak membaca bagian itu di sini; di dalam bagian ini gambarannya positif, Tuhan memberikan roti, dan ada aturan, ‘masing-masing segomer seorang, menurut jumlah jiwa’. Jadi, baik orang dewasa ataupun anak-anak, segomer seorang. Ini menarik, Saudara bisa bayangkan rekonstruksi sederhana, anak kecil makannya pasti lebih sedikit daripada orang dewasa, jadi setelah dibagi-bagi, bisa jadi orang dewasanya makan lebih daripada segomer, anak kecilnya kurang dari segomer, dan tidak apa-apa juga, itu pengaturan Tuhan. Tuhan itu tidak kaku-kaku banget; adalah salah kalau kita menggambarkan ketika Tuhan memberikan peraturan lalu jadi ultra legalistik. Dikatakan di sini ‘mengambil untuk seisi kemahnya’, yang dipentingkan adalah rumah tangga ini, satu kemah adalah satu keluarga, dan satu orang pokoknya satu gomer; kalau ada 5 orang, tidak peduli misalnya 3 anak-anak dan 2 dewasa, atau 1 anak-anak dan 4 dewasa, pokoknya segomer seorang, silakan atur sendiri. Di dalam bagian ini kita melihat ada pengaturan, mereka mengambil tiap-tiap orang menurut keperluannya.
Ayat berikutnya dikatakan (ayat 17), ‘Demikianlah diperbuat orang Israel; mereka mengumpulkan, ada yang banyak, ada yang sedikit.’ Di bagian ini mereka taat. Waktu dikatakan ‘mereka mengumpulkan, ada yang banyak, ada yang sedikit’, jangan ditafsir salah; ini maksudnya ada yang seisi rumahnya banyak maka mereka mengambil banyak, ada yang seisi rumahnya sedikit maka mereka mengambil sedikit. Jadi jangan ditafsir ada yang rakus, ada yang sederhana, dsb.; bukan itu maksudnya.
Selanjutnya dikatakan (ayat 18): ‘Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.’ Bagian ini kalau kita tidak membacanya dari ayat 17, kita bisa merasa ini mujizat apa lagi, seakan-akan mereka yang ambil banyak lalu tiba-tiba berkurang jadi takaran yang sekian, sedangkan mereka yang ambil sedikit lalu tiba-tiba bertambah jadi takaran yang sama. Bukan itu ceritanya. Waktu dikatakan‘orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan’, maksudnya mereka mengikuti peraturan dari Tuhan, satu orang satu gomer. Jadi misalnya seisi kemah ada 15 orang, mereka mengambil cukup banyak, 15 gomer; tapi yang satu kemah cuma 5 orang, mereka mengambil sedikit, hanya 5 gomer. Dengan demikian yang mengambil banyak tidak kelebihan –karena 1 gomer satu orang– yang mengambil sedikit juga tidak kekurangan. Semuanya tepat, itu maksudnya. Dikatakan ‘Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.’ Saudara perhatikan, sampai di bagian ini kita melihat orang Israel taat, tidak menjadi rakus, tidak jadi orang yang tidak mendengarkan peraturan Tuhan; ayat 17 tadi dikatakan, ‘Demikianlah diperbuat orang Israel’.
Kita tahu dalam cerita Keluaran 16 manna ini tidak bisa dikumpulkan terlalu banyak, juga tidak bisa dimakan terlalu banyak –satu orang segomer plus minus (karena ada anak-anak). Ini bukan berarti lalu satu orang bisa sampai 4 gomer, karena itu over eating namanya –itu sebabnya Tuhan memberikan suatu pengaturan. Prinsip apa yang diberikan di sini? Kita pernah menjelaskan bahwa di dalam Perjamuan Kudus, khususnya Perjamuan Kudus modern, rotinya kecil, sehingga Saudara tidak mungkin bisa rakus. Mungkin ini tidak disengaja, mungkin alasannya praktis, tapi ada keindahannya, bahwa anggurnya dan rotinya cuma secuil itu saja. Ini mirip dengan pengaturan dalam Keluaran, bahwa ini ‘cukup’, tidak mungkin orang sampai bisa over eating Perjamuan Kudus –dan bukan tempatnya juga. Poin apa yang mau diajarkan Tuhan? Yaitu bahwa dalam kehidupan ini Saudara jangan over eating, over sleeping, over shoping, over talking, over …, over …, over…, karena itu akan mengaburkan pengenalan kita akan Tuhan. Orang yang makan terlalu banyak, selera rohani-nya (spiritual appetite) jadi tidak tajam –karena makan terlalu banyak. Orang yang tidur terlalu banyak juga sama. Orang yang bicara terlalu banyak, sama juga, dia tidak peka mendengar suara Tuhan karena dia bicara terlalu banyak; bicara terlalu banyak sampai tidak bisa mendengar, bukan cuma tidak bisa mendengar orang lain tapi tidak bisa mendengar Tuhan berbicara juga.
Tuhan itu memberikan kepada kita suatu kehidupan yang moderate. Hidup moderate ini bukan secara unik hanya dalam Kekristenan, di dalam agama lain pun saya percaya mengajarkan hidup yang moderate. Yang unik dalam Kristen adalah: alasannya kita hidup moderate adalah kerena kalau kita tidak moderate, pengenalan kita akan Allah Tritunggal terganggu. Jadi, moderate bukanlah tujuan itu sendiri; kalau Saudara hidup moderate cuma demi moderate itu sendiri, jadi tidak jauh beda dengan orang-orang lain, dan tidak harus percaya Allah Tritunggal untuk bisa seperti itu. Tetapi, yang membedakan adalah ‘mengapa hidup moderate’, yaitu karena dengan hidup moderate kita bisa mengenal Tuhan lebih baik. Mengapa moderate eating, yaitu supaya kita punya selera rohani tajam. Lihatlah Esau, dia adalah orang yang selera rohaninya rusak, dia tidak peduli dengan berkat kesulungan; mengapa? Ya, karena bagi dia yang penting adalah makan secara jasmani, dan hanya itu. Itu sebabnya Tuhan mengatur dan menjaga sikap hati orang Israel; bukan karena Tuhan tidak murah hati, bukan karena Tuhan pelit, bukan karena Tuhan tidak senang umat-Nya sendiri bahagia, bukan itu, tapi karena segala sesuatu ada takarannya. Di dalam takaran yang pas, kita bisa mengikut Tuhan dengan lebih baik.
Kita melanjutkan ayat 19-20. Setelah dikatakan bahwa tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya (ayat 18), lalu ayat 19: ‘Musa berkata kepada mereka: “Seorang pun tidak boleh meninggalkan dari padanya sampai pagi.”’ Lalu di sini mulai ada gambaran yang negatif; ayat 20: ‘Tetapi ada yang tidak mendengarkan Musa dan meninggalkan dari padanya sampai pagi, lalu berulat dan berbau busuk. Maka Musa menjadi marah kepada mereka’ –karena mereka tidak taat dalam hal ini.
Tuhan itu mengatur pemberian-Nya, manna dan hal-hal natural yang disediakan dalam kehidupan Saudara dan saya, supaya kita tidak kejangkitan penyakit. Ini adalah di dalam pengaturan dan cinta kasih Tuhan. Sekali lagi, bukan karena Tuhan pelit, atau Tuhan menahan berkat-Nya dan memberi secara pas-pasan, dsb., tapi Tuhan memberikan kepada kita takaran yang Dia sudah ukur dengan pas untuk menjaga iman Saudara dan saya. Tidak semua orang cocok diberi kuasa; ada orang yang diberi kuasa, langsung kolaps. Tidak semua orang cocok diberi kesehatan –ini kalimat yang sulit. Tidak semua orang cocok diberi kekayaan sampai batas tertentu karena tidak tentu cocok, malah mungkin akan hancur. Tuhan tahu takarannya kita, Tuhan memberikan menurut takaran itu untuk mencegah supaya kita tidak kejangkitan penyakit –dan terutama penyakit rohani. Memang di bagian yang kita baca ini penyakit jasmani –ada ulat dan berbau busuk. Tidak ada gunanya meninggalkan manna itu sampai pagi karena sayang, karena hari ini tidak habis lalu disimpan untuk besok dihangatkan lagi, dsb., karena Tuhan itu memelihara kita hari demi hari, selalu baru setiap pagi. Tetapi seandainya jemaat Israel waktu itu bisa menyimpan manna, mereka akhirnya bisa jadi kurang bergantung kepada Tuhan. Mereka dididik Tuhan untuk belajar percaya pada pemeliharaan Tuhan hari demi hari.
Kita ingat Doa Bapa Kami, “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Bahasa Indonesia di sini pakai istilah ‘yang secukupnya’, tapi terjemahan bahasa lain yang lebih dekat dengan aslinya mengatakan, “Berikanlah kepada kami hari ini roti hari ini –makanan kami hari ini” (terj. Bahasa Inggris: “Give us this day our daily bread”). Setiap hari bergantung kepada Tuhan ini, sangat dekat dengan teologi manna; maksudnya, kita bisa mengerti Doa Bapa Kami dari cerita manna yang ada di dalam Keluaran pasal 16, karena Tuhan mendidik mereka untuk bergantung kepada-Nya, untuk percaya dan bersyukur atas pemeliharaan Tuhan hari demi hari yang selalu cukup.
Adalah menarik kalau kita membaca hal ini dari bagian lain; Keluaran 12:10 (tentang perayaan Paskah), dikatakan:“Janganlah kamu tinggalkan apa-apa dari daging itu sampai pagi; apa yang tinggal sampai pagi kamu bakarlah habis dengan api.” Di sini orang tidak dipaksa untuk menghabiskan, kalau sampai tidak habis maka besoknya harus dibakar, jangan dihangatkan lagi dsb. Jadi ternyata peraturan seperti ini sudah ada di dalam perayaan Paskah mengenai konsumsi makanan, yaitu bahwa yang lebih/tersisa pada hari itu, besoknya tidak boleh disentuh/dimakan. Apa yang Tuhan mau kita belajar dari bagian ini? Ini: ‘kalau besok masih ada, berarti saya tidak usah keluar lagi dong’, dan akhirnya mereka tidak menjalankan tanggung jawab hari itu, mereka tidak usah melakukan kewajiban mengumpulkan manna hari itu, karena yang kemarin masih sisa. Jadi, sudah tidak bergantung kepada Tuhan, mereka juga tidak lagi bekerja mengumpulkan. Inilah penghayatan akan anugerah Tuhan yang keliru. Ada anugerah Tuhan, ada berkat Tuhan, Tuhan menyediakan, tapi akhirnya malah menjadikan kita malas, menjadikan kita kehilangan sukacita di dalam kita bekerja, di dalam kita merespons undangan Tuhan untuk juga berbagian di dalam pekerjaan Tuhan. Itu sebabnya kita kritis akan orang yang berpikir kalau dia sudah ada financial freedom maka dia tidak usah lagi bekerja, dsb.; yang seperti itu, kurang mengerti konsep anugerah Tuhan. Orang seperti itu, tidak mendapatkan arti di dalam pekerjaan. Bagi dia, pekerjaan adalah siksaan, yang kalau bisa dia tidak usah lakukan. Dia tidak mendapatkan makna di dalam pekerjaannya, lalu kalau bisa ada robot yang melakukan segala sesuatu sehingga dia bisa tidur panjang, dsb. Sayang sekali.
Sekali lagi, over sleeping, over eating, over nganggur, dsb., itu menghalangi dan merusak pengenalan kita akan Tuhan. Dalam hal ini, orang Israel diminta agar kalau pun lebih, tidak habis, ya sudahlah, lagipula besoknya tidak bisa dimakan dan tidak perlu dimakan. Mengapa? Karena ada berkat Tuhan yang baru, yang segar, yang Tuhan akan sediakan lagi. Jadi, untuk apa disimpan seperti itu, kita akhirnya tidak mengalami bagaimana Tuhan mencukupkan kita dengan berkat yang fresh setiap hari, sehingga akibatnya kekaguman kita, sikap kita beribadah, dsb., semuanya jadi terganggu –karena kita tidak mengalami perjumpaan yang segar dengan Tuhan yang memelihara hari demi hari itu.
Saudara, kalau kita ditolong setiap hari, dibandingkan dengan ditolong 7 hari sekali, tentu ucapan syukurnya pasti beda. Kalau ditolong 7 hari sekali, waktu hari itu ditolong Saudara sangat bersyukur, lalu hari kedua agak kendur sedikit, hari ketiga lebih kendur lagi, begitu seterusnya makin lama makin kendur dan perlu semacam kebangunan rohani lagi. Itu spiritual kejutan namanya, entah 7 hari sekali, atau satu tahun sekali, atau lainnya. Tapi itu bukan pola Alkitab. Di dalam bagian ini bukan mau menggambarkan spiritualitas kejutan –terutama dalam urusan manna– melainkan Tuhan mau melatih mereka untuk bersyukur setiap hari. Setiap hari seharusnya ada ucapan syukur. Ini melatih mereka untuk keluar dari sungut-sungutnya. Bersungut-sungut sudah seperti jadi karakter mereka, maka ini harus diselesaikan dengan habit ucapan syukur. Itu sebabnya penyediaan setiap hari akan membuat orang Israel boleh bersyukur setiap hari juga. Seandainya mereka bisa mengumpulkan manna, dan manna itu tahan sampai besoknya atau sampai beberapa hari, akhirnya mereka bisa merasa ‘Tuhan itu memelihara, Tuhan itu memberikan berkat, tanpa saya harus melakukan pekerjaan mengumpulkan’.
Hal ini juga terjadi dalam kehidupan kita; kita minta Tuhan memberkati kita, kita minta Gereja berkembang, tapi apa yang kita lakukan sebagai bagian kita? Apakah kita bertekun di dlam doa? Apakah kita terus-menerus bertumbuh dalam perenungan firman Tuhan? Ada bagian yang tidak mungkin dirampas oleh Tuhan, yang ada di dalam tangan Saudara dan saya untuk dikerjakan, dan bagian itu harus kita kerjakan; karena kalau kita tidak kerjakan, bahkan berkat Tuhan asli pun, akan menjadi busuk. Dikatakan tadi, manna itu berulat, menjadi busuk. Heran ya, ini berkat Tuhan, tapi kenapa menjadi busuk? Kita pikir, kalau berkat Tuhan harusnya tahan lama; atau Tuhan sebetulnya tidak rela memberikan?? Tuhan bukan tidak rela; Tuhan memberikan untuk dinikmati dalam jangka waktu satu hari itu. Kalau Saudara mengerti ini, Saudara mengerti Matius 6 ketika dikatakan, “Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Saudara mengerti kenapa bunga bakung itu indah, sebagaimana dikatakan dalam Matius 6? Teologi yang terkandung di sana sangat banyak bergantung dari Keluaran 16, dari teologi manna ini. Dan, teologi manna ini sifatnya paradigmatis dalam kehidupan Saudara dan saya; Tuhan menyediakan kepada kita berkat-Nya, diri-Nya sendiri.
Waktu kita Perjamuan Kudus, ini bukan tentang roti dan anggur yang adalah lambang, tapi terutama yang ditunjuk oleh lambang itu sendiri, yaitu daging Kristus dan darah Kristus. Ini diberikan kepada Saudara dan saya, supaya kita lebih bergantung kepada Dia, kita menjalankan bagian kita, dan kita mengerjakan tanggung jawab porsi yang Tuhan percayakan.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk terus bertumbuh di dalam kebenaran Firman Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading