Tema kotbah Natal tahun ini adalah “Roh Tuhan Ada pada-Ku”, diambil dari Yesaya 11: 1-3a.
Kalau membaca ayat 2 –judul kita hari ini– mungkin kita tidak begitu melihat kaitannya dengan Natal. Ayat ini juga dikutip di dalam Injil; dan dalam studi Alkitab biasanya dikaitkan dengan peristiwa Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, ketika langit terbuka dan Roh Allah turun –Roh Tuhan ada pada-Nya. Meski demikian, kita mau mengaitkan bagian ini dengan peristiwa Natal, karena ayat pertama memang bicara tentang Natal. Dikatakan di ayat 1: ‘Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah.’
Istilah-istilah dalam ayat ini, seperti ‘tunas’, ‘tunggul, ‘taruk’, pangkal’, adalah istilah-istilah yang jarang kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah-istilah ini agak ambigu; misalnya istilah ‘tunas’, di satu sisi menunjukkan sesuatu yang seperti sudah mati, tidak ada lagi kejayaannya, tapi di sisi lain masih ada suatu vitalitas tersembunyi yang orang tidak melihatnya –dan inilah Natal. Natal berada dalam satu peristiwa di mana orang seperti sudah capek berharap akan kerajaan Daud (Davidic kingdom), sementara sebagian lainnya tetap berharap, namun berharapnya secara keliru/salah. Sebagian orang seperti sudah terbiasa dengan ‘kayaknya Tuhan memang tidak mau bicara lagi dengan kita, kayaknya Tuhan sudah tidak senang dengan kita, ya sudah, memang begini, terima saja’.
Beberapa waktu lalu di Persekutuan Doa, kita membahas tentang janji Tuhan kepada Abraham dan Sara, yaitu akan memberikan anak. Di situ kita melihat kehidupan Abraham dan Sara, ketika diberikan janji tersebut, mereka bukan menanggapi dengan excited, dengan ucapan syukur dan terharu, tapi dengan tertawa –maksudnya tertawa sinis. Sara bukan sedang tergelitik lalu jadi tertawa, waktu itu juga tidak ada yang lucu sehingga dia tertawa; tapi Sara tertawa, sampai dia sendiri takut karena ketahuan Tuhan bahwa dia tertawa. Dalam gambaran ini, yang paling berbahaya adalah Abraham dan Sara mulai berdamai dengan kemandulan, ‘ya, memang kayaknya begini’. Orang menikah, tentu berharap punya anak. Tahun pertama berharap, tahun kedua berharap, tahun ketiga berharap, berharap dan terus berharap, mungkin sampai 5 tahun, 7 tahun, lalu entah sampai tahun ke berapa masih berharap. Ada orang berharap terus sampai 20 tahun –luar biasa pengharapannya—tapi ada juga yang sampai tahun ke berapa sudah terbiasa, ‘kayaknya kita memang ‘gak ada anak, ya sudah, terima saja, memang begini’.
Inilah persoalan di dalam kehidupan manusia, ketika manusia mulai terbiasa (comes to terms) dengan keadaan yang sebetulnya abnormal itu. Seperti keadaan kita sekarang ini yang abnormal [keadaan dalam pandemi Covid-19], tapi kita mulai terbiasa. Kita mulai berdamai dengan keadaan ini; bukan berdamai dengan Covid-nya, tapi berdamai dengan keadaan yang abnormal ini, terbiasa dengan keadaan ini, lalu ‘ya, sudah, Gereja ya, memang begini, saya datang kebaktian dua bulan sekali; sudah bagus saya datang dua bulan sekali, bukan 13 tahun sekali’. Kita mulai terbiasa dengan keadaan ini. ‘Saya tidak bertemu dengan orang, ya, wajarlah’. Lalu bagaimana dengan tubuh Kristus? ‘Apa itu tubuh Kristus, kita perlu re-definisi arti tubuh Kristus, ‘gak ketemu orang ya, ‘gak apa, ‘kan mystical body of Christ, invisible Chrurch’, dsb. dsb. Kita pakai penejalasn-penjelasan teologis yang makin lama makin jauh, makin jauh, dan makin jauh dari Kekristenan yang sejati.
Saudara, apakah Gereja mula-mula keadaannya jauh lebih baik daripada kita? Tidak. Bukan jauh lebih baik, melainkan jauh lebih buruk. Mereka bukan dalam keadaan pandemi, mereka dalam penganiayaan! Saudara dan saya tidak ada yang sedang dianiaya, yang kita alami ini “cuma” pandemi saja, sedangkan mereka dalam penganiayaan, lebih sulit daripada kita. Namun mereka tetap bisa menghayati apa artinya kehidupan Kristen yang sesungguhnya, yang normal. Lalu ketika kita –orang-orang yang abnormal—melihat mereka yang normal, kita melihatnya sebagai komunitas yang luar biasa! Tapi sebetulnya tidak ada yang luar biasa; yang biasa-biasa saja adalah mereka, sedangkan Saudara dan saya, kita inilah yang di bawah standar. Misalnya ada orang berjalan, tentu Saudara tidak tepuk tangan ‘wah, luar biasa ya, bisa jalan!’; tidak ada yang luar biasa di situ, dia cuma berjalan, bukan akrobat. Tetapi kalau Saudara dan saya kakinya tidak bisa jalan, maka dari perspektif kita –orang yang tidak bisa jalan, tidak mau jalan, atau malas jalan, atau apapun alasan lainnya—orang yang berjalan biasa jadi seperti luar biasa, padahal biasa-biasa saja. Persoalan inilah yang menjadi kesulitan dalam kehidupan Kristen.
Israel, Abraham, Sara, seperti mulai terbiasa dengan keadaan yang tidak ada pertumbuhan lagi, yang mandul, yang tidak berbuah, dsb., lalu mulai menganggap perlu redefinisi dan redefinisi. Tetapi kalau kita membaca di bagian ini, Natal bukanlah itu. Tetap konsisten, tidak ada perubahan. Termasuk juga janji Tuhan kepada Abraham dan Sara, juga dalam pola yang sama (Kejadian 18); meski mereka sinis, menertawakan, tidak siap, tidak bersyukur, dan sebetulnya bisa dibilang agak kurang ajar –tapi Tuhan tetap jalan. Di bagian ini, di satu sisi ada pertanyaan “adakah sesuatu yang mustahil untuk Tuhan?” (Kejadian 18:14); ini kalimat dengan tanda tanya, mengapa? Karena ini bukan tanpa iman kita, karena di sini Saudara dan saya musti menjawab “ya” atau “tidak”; dan bukan menjawab secara teoritis tetapi betul-betul dari hati yang beriman. Di sisi lain, Tuhan juga tahu sebetulnya Abrahan dan Sara tidak siap. Lalu bagaimana? Tunggu sampai mereka siap? Atau rencana Tuhan gagal, lalu musti pencet tombol ‘reset’, ‘sudahlah, percuma, ini orang kayaknya ‘ga bisa jadi teladan, kita ganti orang saja; katanya ‘bapa orang beriman’ ternyata ‘gak beriman, mending cari oorang lain yang lebih qualified’? Tidak. Berita Natal bukan itu. Banyak ketidaksiapan dalam kehidupan kita tapi Tuhan mengunjungi kita, dan itu seharusnya mengubah kehidupan kita.
Kembali ke kitab Yesaya yang kita baca; dalam tradisi penafsiran, khususnya dalam Medieval theology, mereka memberikan judul bagian ini “The Seven Gifts of The Holy Spirit” –ada tujuh. Di sini mungkin hitungannya sedikit agak dipaksakan, karena di bagian ini sebenarnya bicara tentang dua-dua-dua-satu. Kalau pun mau dihitung, sebetulnya yang dikatakan di ayat 2 ‘roh hikmat dan pengertian’ maksudnya bukan roh hikmat dan roh pengertian melainkan ‘roh hikmat-dan-pengertian’ –jadi ini satu, yang pertama; selanjutnya, ‘roh nasehat dan keperkasaan’ juga maksudnya menjadi satu –ini yang kedua; lalu ‘roh pengenalan dan takut akan Tuhan’ –ini yang ketiga; dan terakhir ‘kesenangannya ialah takut akan Tuhan’. Dalam tradisi Latin, ‘takut akan Tuhan’ yang disebutkan pertama biasanya diterjemahkan dengan pietas (piety/kesalehan); kemudian barulah ‘takut akan Tuhan’ yang kedua bicara tentang timor Dei (fear of The Lord). Jadi mereka agak membedakan antara ‘takut akan Tuhan’ yang pertama dengan ‘takut akan Tuhan’ yang kedua, sehingga semuanya ada tujuh. Di sini kita tidak tertarik dengan angkanya, tapi lebih tertarik dengan apa sebetunya pengertiannya.
Meski bagian ini seperti lebih cocok dalam pembicaraan tentang doktrin Roh Kudus –seven gifts of The Holy Spirit— tapi sebagaimana kita tahu, kita tidak bisa membicarakan Roh Kudus tanpa membicarakan Pribadi Kedua; lagipula waktu membaca ayat 1, kita mau mengaitkan ini dengan Natal. Dalam tafsiran-tafsiran, sejauh yang saya baca, biasanya tidak ada yang mengaitkan ayat 2 dan 3 dengan Natal, meski ayat 1-nya bisa dikaitkan dengan Natal. Tetapi saya pikir, merupakan satu perspektif yang baik waktu kita mencoba merenungkan Natal dari perspektif “seven gifts of The Spirit” ini, karena ayat 1 memungkinkan kita melakukan eksegese tersebut.
Yang pertama, roh hikmat (wisdom).
Apakah heavenly wisdom itu? Kalau kita mau tahu artinya heavenly wisdom, lihatlah Natal, karena di situ bijaksana Allah dinyatakan, yang –sebagaimana kita sering menyaksikannya—bentur dengan bijaksana dunia.
Kita yang sudah punya anak tentu tahu waktu mau punya anak perlu mempersiapkan apa, mengundang siapa, mengumumkan kepada siapa, kasih suvenir apa untuk memperingati usia 1 bulannya, dsb. Tapi apa yang kita baca dalam cerita Natal? Itu semua tidak ada; untuk menyatakan Natal di dalam bijaksana yang sama sekali berbeda dari bijaksana Saudara dan saya. Natal tidak dinyatakan kepada para pembesar, Natal tidak dinyatakan kepada orang-orang yang penting, Natal tidak dinyatakan kepada ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala. Bukan karena mereka tidak mengerti –mereka sebetulnya mengerti—tapi justru mereka adalah orang-orang yang kepadanya tidak dinyatakan secara khusus; sebaliknya Natal dinyatakan kepada para gembala. Mengapa para gembala? Saya percaya, gembala menggambarkan kelompok orang-orang yang miskin, marjinal, terpinggir, dsb.
Di sini kita tidak perlu pakai tafsiran sosiologis; kadang-kadang ada yang menafsir secara sosiologis –dan bukannya secara teologis– mengatakan bahwa “gembala” menyatakan kemenangan kelompok peternak dibandingkan kelompok agraris, sebagaimana juga Habel, dan bukan Kain, karena bangsa Israel peternak bukan agraris. Tafsirannya menarik-menarik saja. Tapi banyak orang menafsir dari perspektif yang bukan-bukan –perspektif sosiologis-lah, perspektif ekonomi-lah, perspektif politik-lah, perspektif estetik-lah, perspektif ini dan itu– bahkan juga termasuk perspektif biblical theology atau perspektif Taurat –Taurat ala para ahli Taurat dan iman-iman kepala. Mereka ini juga punya tafsirannya sendiri. Di mana Dia akan lahir? “O, kita tahu jawabannya, di Betlehem, ‘kan”. Betul sekali, di Betlehem. Ini jawaban yang benar, tapi sama sekali tidak tertarik, sama sekati tidak terlibat, tidak ada partisipasi, hanya menonton dari luar. Perspektifnya mungkin juga perspektif teologis, tapi teologis yang keliru.
Jadi, apa yang kita lihat di sini, waktu dikatakan “roh hikmat”? Bahwa Natal menyatakan bagaimana hikmat Ilahi diberitakan. Kalau kita mau melihat hikmat Tuhan dinyatakan, mari kita berlutut di palungan itu lalu melihat dengan mata iman apa yang ada di sana. Itulah hikmat Ilahi.
Dalam Natal orang suka mencari suasana; kita datang ke kebaktian Natal, salah satunya juga mengharapkan suasana yang berbeda. Tapi tahun ini agak berbeda, pohon Natal kita juga sangat konvensional dan tradisional dibandingkan yang biasanya gereja kita buat; mengapa? Ya, karena tahun ini tidak konvensional dan tidak tradisional; di dalam tahun seperti ini banyak hal yang tidak bisa seperti normalnya, tidak ada suasana. Beberapa waktu lalu saya sempat datang menyaksikan rekaman konser Natal; lagu-lagunya joyful tapi kita tidak boleh tepuk tangan. Kita maunya tepuk tangan tapi tidak boleh tepuk tangan, jadi susah. Namun setelah dipikir-pikir lagi, dengan tidak tepuk tangan, menontonnya jadi lebih khidmat, seperti berada di palungan; dan mungkin inilah yang lebih benar. Kalau Saudara membesuk orang melahirkan anak, apa Saudara bertepuk tangan lihat bayinya “lucu ya”, dsb.? Tentu tidak. Saudara juga tidak bertepuk tangan untuk ibunya, “hebat ya, kamu bisa melahirkan; ‘gak caesar”, dsb. Dalam Natal, suasana atau tepuk tangan seperti di konser memang tidak ada; yang ada adalah suasana khidmat. Namun entah mengapa, dalam Natal seringkali orang mencari suasana-suasana, yang akhirnya bukan seperti di palungan lagi, tapi entah di mana. Mungkin lebih mirip di bar, lebih mirip di tempat-tempat pestanya orang berdosa, bukan di palungan lagi. Sudah bergeser dan bergeser –dan kita tidak sadar ini sudah bergeser.
Di Jerman beberapa bulan lalu sedang ada perdebatan mengenai “Chistmas market” yang biasanya memang diadakan tiap tahun, tapi kali ini dibatasi. Mereka berdebat mendiskusikan hal tersebut, seakan-akan kalau tidak ada “Chistmas market”, perenungan Natal jadi tidak bisa jalan. Tetapi, kalau kita merenungkan apa yang terjadi di palungan, sebetulnya tidak ada hingar-bingar itu. Kalau bicara soal hingar-bingar, waktu malaikat menyanyi itu bahkan lebih hingar-bingar, lebih ada semarak, yang kemudian jadi seperti antiklimaks waktu datang ke bayi Yesus. Tidak ada malaikat lagi di sana; yang ada cuma bayi Yesus. Dan bayi Yesus itu bukan seperti yang di dalam lukisannya Rembrandt atau Caravaggio, yang ada aura atau semacam sinar yang keluar –dan saya percaya, Rembrandt juga tidak menggambar itu; yang digambar Rembrandt adalah sinar yang tidak kelihatan, yang ditunjukkan kepada kita, supaya dengan mata iman kita bisa melihat sinar yang tidak kelihatan itu, karena kita ini cuma melihat apa yang kelihatan tapi tidak bisa melihat yang tidak kelihatan, lalu begitu Natal tidak ada suasana, kita mulai terganggu, dsb. Mungkin justru dalam saat seperti ini, perenungan kita lebih benar, sedikit lebih mirip dengan peristiwa di palungan itu. Ini hikmat yang bukan ada pada manusia, ini hikmat Ilahi.
Di sisi lain, ketika kita bicara tentang suasana, mungkin maksudnya bukan suasana yang kita cari. Mungkin yang kita ingin adalah di dalam kebaktian, di dalam situasi tertentu, kita bukan cuma dapat penjelasan-penjelasan informatif tapi hati kita bisa tersentuh. Dan, ini betul, karena berbicara secara antopologis, kita ini manusia yang bukan cuma rasio, bukan cuma intelek. Natal tidak bisa direduksi jadi penjelasan-penjelasan proposisional seperti itu, dengan definisi-definisi; tidak bisa seperti itu, itu sepertinya bukan Natal, dan kita merindukan sesuatu yang lain. Termasuk juga waktu kita pasang pohon natal di gereja, atau kita pasang semacam palungan di rumah, di situ kita –bicara secara positif—mungkin juga bukan sedang cari suasana melainkan ingin seluruh keberadaan kita ikut masuk kedalam penghayatan Natal. Itu sesuatu yang baik sebetulnya; sayangnya, kita hanya mencarinya pada waktu Natal. Bagi kita, kalender-kalender tertentu –Natal, Jumat Agung, ulang tahun kita, ulang tahun pernikahan, ulang tahun anak, dsb. yang bisa panjang sekali daftarnya—kita mengharapkan titik-titik tertentu itu begitu emosional dalam kehidupan kita. Bernard de Clairvaux pernah mengomentari tentang heavenly wisdom, dia mengatakan, kalau kita bicara tentang hikmat yang dari Tuhan, itu menyentuh dua-duanya, baik intelek maupun juga afeksi; itu membuka pikiran, tapi juga membangkitkan ketertarikan tertentu kepada yang Ilahi (certain attraction to the Divine). Mungkin inilah yang kita cari dalam Natal, attraction to the Divine, tapi objeknya bergeser, mungkin jadi bukan ketertarikan kepada yang Ilahi melainkan kepada yang lain, yang akhirnya jadi berhala.
Bagaimanapun, kebutuhan hidup memang perlu ada ketertarikan; itu bukan sesuatu yang salah. Hanya saja kita tidak mau mereduksinya cuma di dalam peristiwa Natal. Betapa sayang kalau dalam kebaktian, hati kita tersentuh cuma setahun sekali atau dua kali, lalu di Minggu-minggu biasa kita ya, terima saja, kita terbiasa, kita berdamai saja dengan rutinitas. Kita berdamai dengan keadaan yang tidak bisa datang ke gereja; tetapi waktu hari Natal, ‘tidak bisa berdamai seperti itu, saya perlu disentuh pada hari Natal, harus ada sentuhan di dalam hari Natal, sementara di Minggu-minggu biasa tidak ada sentuhan, ya, itu wajar, Tuhan pasti mengerti.’ Ada yang salah dengan Kekristenan di sini.
Itu sebabnya ada kesulitan di dalam Natal, yang bahkan dibandingkan dengan Paskah atau Jumat Agung, yaitu kita bisa menyanyikan lagu penderitaan –lagu Jumat Agung– kapan saja sepanjang tahun, tapi kita tidak nyanyi lagu Natal sepanjang tahun. Kalau di bulan Juni Saudara nyanyi lagu “O come, O come, Emmanuel”, tidak cocok, masih kejauhan, salah waktu. Natal seakan-akan harus dilokalisasi waktunya harus di waktu yang ini; lalu lagu Natal baru boleh dinyanyikan di Minggu Adven Pertama, sedangkan sebelum-sebelumnya jangan bicara Natal, jangan nyanyi lagu Natal! Bulan Januari pun ada batasnya, sampai tanggal sekian, lalu mulai dari situ jangan bicara Natal lagi, pohon Natal harus dibongkar, tidak bisa terus di situ sampai bulan Maret, dst. Jadi kasihan sekali, Natal cuma boleh direnungkan mulai bulan November dan Desember, lalu setelah itu harus diganti dengan rutinitas, diganti dengan perenungan-perenungan yang lain. Puji Tuhan kalau perenungannya masih tentang Kristus, tapi sepertinya di dalam kehidupan kita, yang mengganti mungkin narasi yang lain. Dan paling sedihnya, narasi Natal tidak jalan sama sekali di bulan Januari, Februari, Maret, dst. Tidak ada narasi Natal, tidak ada pembicaraan tentang heavenly wisdom yang dinyatakan di palungan itu, semuanya balik, reset, dan worldly wisdom yang berkuasa kembali. Waktu Natal, boleh saja kita mengaku dosa, kita melihat ke palungan, kita musti rendah hati, musti ada solidaritas, musti memperhatikan orang-orang kecil, “oke-oke, saya bisa lakukan itu waktu Desember, tapi jangan suruh di bulan Januari, Februari, Maret, dst., tidak bisa! Itu kesempatan saya cari uang, berjaya di keuangan. Kalau Natal saya bagi-bagi kado, itu oke, tapi Januari, Februari, Maret, jangan harap kado dari saya, itu saya lagi cari uang, saya tidak bersedekah kepada siapa pun; orang musti ngerti!” Kita hidup dalam Kekristenan yang skizofrenia seperti ini dan kita masih tidak sungkan menyebut diri Kristen, lalu wisdom kita ini wisdom yang mana?? Hikmat yang dari atas atau hikmat yang dari kita sendiri?
Yang kedua, pengertian –yang tidak bisa dipisahkan dari hikmat/wisdom.
Ada orang mengatakan, ‘pengertian’ menolong seseorang untuk bisa merelasikan dan mengintegrasikan kebenaran-kebenaran yang kita ketahui, menjadi satu keseluruhan yang bermakna; dan terutama kita tahu tujuan hidup yang diberikan oleh Pencipta kita.
Natal memberikan arah di dalam kehidupan manusia; ke arah mana sebetulnya hidup kita ini. Natal adalah gerakan ke bawah. Seorang rekan hamba Tuhan di dalam satu perenungan mengatakan, manusia di dalam dunia ini, dari yang tadinya orang marjinal lalu berlomba-lomba untuk jadi orang yang di pusat; sedangkan Yesus, waktu Dia turun, Dia dari pusatnya alam semesta, dan Dia gerakannya ke arah marjinal.
Kita ini gerakannya bersama dengan Kristus atau berlawanan arah dengan Kristus? Ke mana arah gerakan Saudara? Orang yang dari marjinal lalu gerakannya ke arah pusat, itu menyedihkan; orang seperti ini tidak usah menyebut diri Kristen, dia bukan Kristen sepertinya. Dia itu tidak mengerti Natal; biarpun setiap tahun merayakan Natal, tetap tidak mengerti Natal sebetulnya, buktinya dia berlomba-lomba jadi orang yang semakin berada di pusat , semakin ada power. Coba lihat kehidupan Kristus; kalau Dia mau di pusat, ya, Dia lahir di Roma saja. Bahkan Yerusalem pun terlalu marjinal, apalagi Betlehem, ‘gak cocok banget lahir di sana. Kalau Yesus gerakannya ke pusat, Dia tidak di sana lahirnya. Tapi Yesus memang tidak mau ke pusat; Dia sudah di pusat. Justru karena Dia di pusat maka Dia pergi ke tempat yang di pinggir. Saudara dan saya ini pergi ke arah mana sebetulnya? Kita berlawanan arah dengan Tuhan, atau kita berjalan bersama dengan Tuhan? Kalau kita berjalan berlawanan arah dari Tuhan, lalu kita masih bilang “Imanuel”, apanya yang imanuel?? Imanuel versi apa sebetulnya? Kalau Tuhan ke sana dan kita ke sini, itu bukan imanuel!
Kekristenan itu bukan retorik; Kekristenan bukan cuma bicara slogan-slogan yang kosong, yang tidak ada kehidupannya dalam hidup kita sehari-hari. Saya percaya, salah satu yang Tuhan uji dalam saat pandemi seperti ini, yang kita semua sedih tentunya, adalah: komunitas kita ini komunitas apa sebetulnya, komunitas GRII Kelapa Gading ini komunitas apa. Jangan salah, dalam saat seperti ini, ada orang yang justru lebih kaya, makin kaya, sementara orang lain makin miskin. Kita beryukur bersama dengan Saudara kalau Saudara tidak terkena dampak ekonomi, karena kita adalah tubuh Kristus, dan Alkitab mengatakan “bersukacitalah bersama yang bersukacita”; tetapi, apakah Saudara menderita bersama dengan mereka yang menderita, atau tidak? Apakah Saudara juga menangis bersama dengan mereka yang dalam kesusahan, ataukah komunitas ini komunitas yang tidak ada cerita Natalnya sama sekali, komunitas yang tertarik dengan ‘bagaimana saya melejit ke atas terus, tidak peduli semua tetap di bawah, pokoknya saya naik terus ke atas!’ ? Saudara, Yesus itu nyata atau tidak dalam kehidupan kita? Apakah kita berjalan bersama dengan Kristus? Roh pengertian memberikan kepada kita tujuan, tujuan, tujuan. Saudara bergerak ke mana, Saudara naik atau Saudara turun, Saudara ke tepi atau Saudara ke pusat, yang mana sebetulnya? Lihatlah di palungan itu, lihat di sana apa yang terjadi, gerakannya menuju ke mana; itu sangat jelas, bukan sesuatu yang debatable melainkan amat sangat jelas.
Yang ketiga dan keempat, roh nasihat dan keperkasaan.
Apa itu roh nasihat? Roh nasihat ini bukan dalam pengertian roh yang suka menasihati, melainkan bahwa orang yang dipenuhi roh nasihat, dia dibuat bisa menilai dengan benar. Tadi waktu bicara wisdom and understanding, kita bicara mengenai tujuan (purpose); di sini kita bicara mengenai sistem penilaian, menilai dengan benar. Mengapa bisa menilai dengan benar, yaitu karena ada roh nasihat yang dari Tuhan.
Natal adalah sesuatu yang menggoncangkan dunia, secara halus (subtly), tapi juga so powerful. Mengapa? Karena menelanjangi konsep penilaian dunia yang keliru. Sama seperti salib menelanjangi banyak hal, Natal juga menelanjangi banyak hal dalam kehidupan manusia. Manusia sering salah menilai, manusia menilai dari tampak luar. Bahkan di dalam Alkitab, nabi yang sangat dipakai Tuhan seperti Samuel pun bisa salah menilai orang. Waktu Samuel diminta mengurapi Daud, dan sebelumnya kakaknya –yang badannya kuat, gagah, perkasa– keluar lebih dulu, Samuel langsung bilang “inilah raja yang berikutnya, yang dipilih Tuhan”. Tetapi Tuhan mengingatkan Samuel, “Manusia melihat yang di luar, Tuhan melihat yang di dalam hati”. Kemudian keluarlah Daud yang agak imut-imut, mukanya kemerah-merahan, lebih mirip pemain drama Korea daripada raja Israel, tapi dialah justru yang dipilih Tuhan. Semuanya seperti tidak masuk akal, bahkan tidak masuk dalam pikiran Samuel; dia menilai dengan salah. Orang yang menilai dengan salah, tidak usah dikatakan lagi, dia pasti berjalan ke tempat yang salah, dia akan bergaul dengan salah, dia pergi ke tempat yang salah –semuanya salah. Mengapa? Ya, karena dia menilai dengan salah.
Roh Tuhan adalah roh nasihat dan keperkasaan. Di sinilah, kalau mau mengkonkretkan penilaian, maka kita bicara tentang keperkasaan —what is true might? Apa sesungguhnya yang disebut dengan ‘keperkasaan’ –atau memakai bahasa gender, ‘maskulinitas’– atau ‘courage’ (bahasa Inggris)/ ‘fortitudo’ (bahasa Latin)? Jawabannya: lihatlah bayi di palungan itu. Mungkin kita pikir, ‘itu keperkasaan?? kayaknya Herodes yang lebih perkasa, dia bisa menggerakkan pasukannya untuk membantai anak-anak di bawah umur 2 tahun; itu baru perkasa!’ .
Istilah ‘perkasa’ di dalam bahasa Ibrani, kalau kita bicara paralelnya dengan istilah yang sama di ayat-ayat lain, memang bicara tentang military power, strategi. Tuhan itu perkasa, Dia adalah pahlawan perang (warrior). Natal juga bicara perang. Yang datang ini adalah Raja; dan kalau kita bicara ‘raja’, kita pasti bicara ‘perang’. Tetapi, sebagaimana LAI menuliskannya dengan tepat, ini adalah Raja damai yang akan datang; menghadirkan damai, itu sendiri adalah suatu peperangan. Damai yang palsu membiarkan konflik yang terjadi, status quo, tidak usah ikut campur, tidak usah sok jadi pahlawan, biarlah tetap konflik; dan jadinya aman waktu ada konflik dan Saudara tidak ikut campur. Inilah manusia, yang akhirnya menghidupi cerita damai palsu seperti ini, waktu manusia tidak berdamai dengan sesamanya, tidak berdamai dengan Allah, lalu ‘ya sudah, biarkan saja, saya tidak usah ikut campur; dia dalam konflik dengan Tuhan, ya, sudah biarkan saja dia yang konflik, ngapain saya ikut masuk’. Tetapi begitu Saudara mengatakan kebenaran, waktu Saudara membawa damai, maka dari perspektif dunia justru jadi mulai ada konflik. Apa yang dilakukan Yesus sebetulnya? Apakah Dia kejar-kejar Herodes sambil bawa pisau? Tidak ada cerita itu. Lalu apa yang dilakukan Yesus terhadap ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala, dan orang-orang Farisi itu? Apa sebetulnya yang dilakukan Yesus; bukankah Yesus menimbulkan konflik?? Itulah, justru karena Dia mau menghadirkan damai yang sejati. Ini sangat berbalikan. Kalau mau damai yang palsu, ‘ya, sudah, biarkan dunia yang konflik, biarkan terus konflik saja, toh bukan saya yang konflik; kalau saya yang konflik dengan orang lain pun, ya, sudah, diamkan saja, meski bertahun-tahun, toh lama-lama juga lupa, tidak usah diselesaikan’ –itulah yang namanya “damai”/shalom yang dari dunia. Sedangkan shalom yang asli, waktu dihadirkan, betul-betul ada peperangan. Untuk membawa berita rekonsiliasi antara Allah dan manusia, ada peperangan di situ. Itu sebabnya Yesus pernah mengatakan “Aku datang bukan membawa damai”.
Yesus ini disebut Raja damai, tapi Dia mengatakan, Dia datang bukan membawa damai; maksudnya bagaimana? Sederhana, Yesus datang bukan bawa damai yang palsu itu. Yesus datang bukan bawa status quo konfliknya dunia; Yesus tidak bawa damai itu. Itu adalah damai yang dari bawah, damai dari manusia yang tidak menyelesaikan apa-apa, bukan true shalom; itu adalah damai murahan. Yesus datang membawa damai yang sejati; di dalam damai yang sejati itu, Dia mati di atas kayu salib, justru karena Dia berperang untuk menghadirkan damai, rekonsiliasi. Inilah true courage. Keberanian untuk menghadirkan damai meski tidak dimengerti, meski disalah tafsir, meski ditolak, bahkan dibunuh pada akhirnya, inilah true masculine.
Beberapa waktu lalu ada seorang binaragawan di Amerika Latin, badannya besar, tapi kemudian dia berjuang melawan Covid dan akhirnya meninggal. Seorang binaragawan yang badannya besar seperti itu, tidak bisa menang melawan virus Covid yang demikian kecilnya. Kalau kita melihat maskulinitas ala dunia, itu berbeda dengan maskulinitas Alkitab. Jadi apa itu maskulinitas Alkitab, yang disebut keperkasaan? Inilah, keberanian Sang Raja damai untuk hidup bersama dengan umat Tuhan yang menderita, keberanian untuk menderita bersama mereka. Inilah cerita Gereja mula-mula. Mereka menghidupi cerita Natal ini di dalam hidupnya. Mereka bukan cuma merayakan setahun sekali dengan pasang pohon Natal, dekorasi-dekorasi Natal, menyanyi lagu Natal, tapi membawa Natal di dalam kehidupannya. Mereka sungguh-sungguh mengerti apa artinya hidup bersama umat Tuhan yang menderita. Mereka komunitas yang sangat diberkati Tuhan. Mereka tidak terlalu banyak; jumlah orang Kristen sekarang sangat jauh lebih banyak daripada mereka, tidak terbandingkan. Setidaknya menurut statistik, sekarang ini sepertiga penduduk dunia mengaku Kristen, tapi bandingkan transformasi dunia yang terjadi pada saat itu dengan transformasi dunia sekarang, betapa berbeda. Ini ibaratnya kita perang dengan pasukan yang jauh lebih banyak tapi malah kalah, malah tidak ada dampak apa-apa dibandingkan mereka dulu; mereka cuma segelintir orang saja, tapi malah menggoncangkan seluruh dunia. Ada yang salah di sini. Apa yang salah? Salah satunya ini: Gereja tidak tertarik dengan berita Natal, Gereja tidak tertarik dengan peristiwa Natal. Gereja tidak rela kalau harus merenung bersama dengan Yesus di palungan. Mereka lebih suka istananya Herodes, mereka lebih suka establishment yang kelihatan, termasuk juga ecclesiastical establishment –mengulang lagi dan lagi dan lagi kesalahan Gereja masa lampau. Inilah yang dibilang Alkitab, tegar tengkuk. Tidak belajar dari sejarah, dan tidak belajar Natal, bahkan tidak ada Natal di situ sebetulnya. Menyedihkan.
Di Jerman, di kota Ulm, ada satu katedral dengan menara yang paling tinggi di seluruh dunia, sebuah gereja yang penting sekali. Waktu membangunnya pun lucu sekali; mereka menunggu pembangunan menara di Köln (Gereja Katolik) seberapa tingginya, kemudian setelah itu jadi, baru diputuskan berapa tingginya menara yang di Ulm (Gereja Protestan), supaya lebih tinggi daripada Köln. Membangun gereja pun cara pikirnya seperti ini, ‘orang lain bangun berapa meter, kita harus lebih tinggi daripada itu, karena kita Protestan harus lebih tinggi daripada Katolik!’ –ini bagaimana?? Reformasi 500 tahun kita peringati, tapi cara pikir pun masih sama. Mengulang persoalan yang terjadi di masa lampau, lagi, lagi, dan lagi. Tetapi yang mau saya ceritakan di sini, beberapa waktu lalu di Ulm ada perdebatan soal palungan [gereja-gereja di Eropa ketika Natal biasa menghadirkan palungan, itu termasuk karya seni; bahkan di sana ada museum palungan mulai dari abad sekian, dst.]. Perdebatannya karena ada palungan yang orang majusnya berkulit hitam, dan juga bibirnya tebal, ‘mengapa orang majusnya kulitnya hitam, bibirnya tebal, ini ngeledek, rasisme’, dst. Bayangkan, urusan palungan saja musti politically correct! Kalau soal kulit hitam lalu dikaitkan dengan spirit Natal, ya, bolehlah, lumayan masuk; tapi saya kuatir di sini tekanannya bukan pada urusan teologis melainkan lebih ke urusan politis, ‘ini sensitif, karena sudah pernah ada holocaust, sudah pernah ada peristiwa tahun-tahun sebelumnya, sehingga kita tidak boleh ada kesalahan seperti ini lagi’, dsb. Kalau begitu, jadi Natal itu apa? Politically correct event?
Yang politically correct, itulah para ahli Taurat dan imam-imam kepala. Waktu mereka ditanya “Di mana Juruselamat itu lahir?”, mereka jawab, “Di Betlehem”. Mereka menjawab itu di depan raja Herodes; coba kalau mereka bilang, “kita juga musti datang menyembah bersama”, bisa habis kepala mereka hari itu, karena Herodes sudah marah. Jadi mereka harus jawab benar secara teoretis (theoretically correct), tapi juga benar secara politis (politically correct). Politically correct-nya adalah:‘saya tidak ikut menyembah ya, saya cuma kasih tahu data-data yang tercantum di dalam Taurat; perkara menyembah, ya, terserah mereka, kita sih tidak; kita imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat tidak terbujuk seperti orang-orang majus itu’. Sungguh tidak menarik merayakan Natal secara politically correct, economically correct, bahkan aesthetically and decoratively correct. Natal bukan itu; keperkasaan Tuhan dinyatakan dengan berbeda.
Yang kelima, roh pengenalan.
Kita bersyukur dalam terjemahan bahasa Indonesia ada pembedaan antara pengetahuan dan pengenalan, mirip seperti bahasa Jerman; karena dalam bahasa Inggris cuma ada istilah ‘knowledge’. Pengenalan dan pengetahuan itu dua hal yang berbeda. Contoh yang sangat terkenal, istilah ‘mengetahui/mengenal’ di dalam bahasa Ibrani bisa dilihat di dalam Kejadian 4:1 ‘Adam bersetubuh dengan Hawa’, yang di dalam bahasa aslinya ‘Adam mengenal/mengetahui Hawa’; dan di sini bahasa Indonesia tepat sekali menerjemahkan, karena memang itu yang dimaksud, bahwa Adam mengenal Hawa melalui intimate love relationship itu.
Roh pengenalan membawa kita untuk melihat Kristus seperti kekasih jiwa kita, yang kita nanti-nantikan. Ini bukan ‘mengetahui tentang’. Mengetahui tentang Natal, itu tidak mengubah kehidupan manusia, tapi lebih mirip seperti imam-imam kepala dan para ahli Taurat itu. Setiap tahun merayakan Natal, tapi hidup ya, begitu terus. Mengapa? Karena tidak ada kisah Natal dalam hidup mulai Januari, Februari, Maret, dst.; yang ada adalah kisah ‘bagaimana saya musti berjuang dari orang yang marjinal menuju ke pusat’ itu tadi. Lalu di dalam Natal ada koreksi lagi, ‘hei, jangan ke pusat, jangan ke pusat, kita musti menepi’; lalu menepi, menepi, menepi. Tapi begitu masuk Januari, mulai ke pusat lagi, kemudian mendekati Desember, menepi lagi –dan begitu seterusnya. Gila Kekristenan yang seperti ini. Ini Kekristenan yang tidak waras, Kekristenan main-main, Kekristenan yang tidak sungguh-sungguh, Kekristenan yang sebetulnya mengkhianati makna Natal. Tetapi, Gereja yang dipenuhi Roh Kudus, ada roh pengenalan, yang membawa kita kepada intimate love relationship, bukan dalam pengertian seksualnya melainkan relasi cinta yang intim dengan Tuhan. Inilah yang mengubah kehidupan. Inilah alasannya Gereja mula-mula begitu transformatif/diubahkan, karena mereka sendiri juga ditransformasi. Ini bukan tentang slogan-slogan Kristen, bukan tentang slogan-slogan Natal. Ini adalah way of life. Kita rindu, Roh yang sama yang mengurapi Kristus, juga mengurapi kita, sehingga kita punya pengenalan seperti ini.
Yang keenam, takut akan Tuhan.
Takut akan Tuhan, baik memakai istilah pietas maupun timor Dei, selalu berkaitan dengan Ibadah. Apa yang terjadi di palungan? Yang terjadi di palungan adalah: orang beribadah kepada Yesus, bayi kecil itu, yang keperkasaan-Nya tersembunyi, tapi bisa dilihat dengan mata iman. Mereka datang membawa berbagai macam persembahan. Kalau Saudara membaca cerita Natal, ada Maria yang mempersembahkan tubuhnya (keperawanannya). Ada orang-orang majus (astronom) yang mempersembahkan sains-nya. Mereka bisa mengetahui ada bintang di sana, dan mereka mencari, datang, menyembah. Mereka bukan memakai ilmunya untuk hal-hal yang menguntungkan diri sendiri, tapi untuk datang dan menyembah Raja di atas segala raja. Ada juga Simeon dan Hana, orang yang sudah tua.
Kadang-kadang kita seringkali bilang ‘kita musti memenangkan kaum muda’; saya setuju, karena kalau kita tidak memenangkan kaum muda dan anak-anak Sekolah Minggu, tidak ada masa depan Gereja. Tapi jangan menghayati ini secara keliru, waktu bilang ‘kita musti memenangkan kaum muda’, lalu alasannya karena kaum tua sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ini tidak cocok dengan berita Natal. Tuhan bukan seperti itu, Tuhan bukan kapitalis, yang waktu memenangkan seseorang Dia pikir-pikir dulu orang ini potensinya berapa, bisa kerja berapa banyak. Tuhan kita tidak hitung-hitungan untung rugi seperti itu. Kalau Dia hitung-hitungan untung rugi, mungkin Saudara dan saya tidak terpilih, karena kita ini memangnya orang apa, sih sebetulnya?? Namun Saudara lihat di sini, ada Simeon, ada Hana –Tuhan tidak buang. Mereka ini lansia, yang seringkali dianggap kelompok yang hanya bisa jadi beban, tidak bisa jadi berkat lagi, sudah loyo, kekuatannya sudah habis. Banyak lansia bergumul dengan kehidupan yang sudah tua, seakan hidup tidak penting lagi seperti dulu, kurang dihargai, cenderung jadi beban. Natal menghibur kita, karena Simeon dan Hana yang lanjut usia itu juga ada tempatnya dalam cerita Natal, meski memang bukan di palungan –dan palungan bukan segalanya.
Dalam keseluruhan cerita Natal itu, ada Maria yang perawan, tapi ada juga Hana, perempuan yang sudah sangat tua. Ada Simeon yang terus menantikan kedatangan Sang Juruselamat. Ada para gembala yang kita bahkan tidak tahu namanya, tidak tahu orang-orang ini siapa sebetulnya, dari kampung mana; Alkitab tidak memberitahu itu. Meski demikian, masing-masing datang mempersembahkan apa yang ada pada mereka. Natal berarti penebusan ibadah (worship) yang benar di hadapan Tuhan.
Yang terakhir, kesenangannya ialah takut akan Tuhan.
Istilah ‘delight’ atau ‘kesukaan’, dalam bahasa aslinya adalah ‘mencium bau-bauan yang harum’. Kita, Protestan, memang agak kurang tradisi penciuman seperti ini, sementara kalau di Katolik dan Eastern Orthodox ada dupa. Dalam kehidupan sehari-hari pun mungkin kita juga takut memakai aromatherapy karena kita curiga apakah itu alami atau mengandung bahan kimia, bikin lebih sehat atau justru umur makin pendek. Lalu kalau kita mengatakan “saya mencium bau”, itu bisa dipastikan 90% artinya negatif, bau yang tidak enak. Tetapi di dalam Alkitab, waktu bicara ‘delight’, maksudnya Tuhan senang menerima bau-bauan korban bakaran yang naik ke atas; di sini dipakai istilah ‘take delight’ (kesenangan).
Kesenangan di sini tidak bisa dipisahkan dari ‘korban’. Delight bukanlah pleasure, apalagi worldly pleasure. Kita boleh saja bicara kesenangan dalam arti enjoyment, tapi true enjoyment sebagaimana dikatakan Katekismus Westminster, “glorifying God and enjoying Him forever”, tidak bisa dipisahkan dari sikap ibadah di hadapan Tuhan –kesenangannnya ialah takut akan Tuhan. Dari sisi Tuhan, Tuhan senang menerima korban yang dipersembahkan ke atas; dari sisi manusia, apakah kita juga senang mempersembahkan korban bagi Tuhan yang kemudian naik menjadi bau-bauan yang harum, yang diterima oleh Tuhan? Kalau itu adalah kesenangan kita, jadi klop; ini berarti “kesenangannya ialah takut akan Tuhan”.
Lihatlah kehidupan Kristus; Kristus mengorbankan diri-Nya. Dia tahu Bapa-Nya berkenan kepada-Nya —take delight—lalu Yesus mempersembahkan seluruh kehidupan-Nya menjadi bau-bauan yang harum di hadapan Bapa. Di dalam Kristus, Saudara dan saya dipanggil untuk menghidupi cerita Natal ini –kesenangannya ialah takut akan Tuhan. Kekristenan ini sesuatu yang delightful, bukan sesuatu yang membebani, bukan sesuatu yang kewajiban dan kewajiban; ini sesuatu yang menyenangkan. Kesenangan itu akan timbul waktu kita hidup takut akan Tuhan, beribadah kepada Tuhan.
Kiranya Natal tahun ini sekali lagi membawa kita ke palungan untuk merenungkan Yesus, yang adalah Allah sejati, Dia lahir bagi Saudara dan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading