Di dalam bagian ini kita akan merenungkan beberapa hal; kita pasti pernah mengalami penolakan, lalu bagaimana kita berurusan dengan penolakan itu. Waktu kita ditolak, itu sesuatu yang tidak menyenangkan, menyakitkan. Secara manusia kita lebih suka diterima –ini tidak harus dalam pengertian gila hormat. Bahkan dalam pelayanan yang kita kerjakan dengan tulus pun, kita lebih senang kalau pelayanan kita diterima. Tetapi kita membaca dalam prinsip Firman Tuhan, bahwa penolakan boleh dikatakan merupakan sesuatu yang perlu, justru untuk menguji ketulusan pelayanan kita. Dan itu bukan hanya dialami oleh hamba-hamba Tuhan sepanjang sejarah, nabi-nabi, dan para rasul, tapi juga dialami Tuhan kita, Yesus Kristus. Di sini kita akan merenungkan bagaimana menghayati hal ini sebagai bagian dari undangan Injil.
Perikop ini dalam terjemahan LAI, sebagaimana juga bagian sebelumnya, terlihat tidak ada paralelnya dengan Injil Sinoptik; bagian ini sangat khas Inji Yohanes. Salah satu dualisme Yohanes yang khas adalah urusan ‘percaya’ dan ‘tidak percaya’; dan hal ini diangkat lagi di bagian ini. Dalam Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia ada kalimat judul “Mengapa Orang Yahudi Tidak Dapat Percaya”, ini bukan termasuk Firman Tuhan, hanya tambahan judul. Di situ ada perkataan ‘tidak dapat percaya’, satu penyorotan yang betul, yang merupakan tekanan dari teologi Yohanes; sementara kata ‘mengapa’ bisa diperdebatkan apakah dalam hal ini membicarakan mengapa atau alasannya apa orang Yahudi tidak dapat percaya.
Kita seringkali mengatakan ‘percaya kepada Tuhan’ atau ‘ tidak percaya kepada Tuhan’ sedemikian seakan-akan itu urusan yang sederhana sekali; waktu orang percaya kepada Tuhan, kita senang, sementara kalau orang tidak percaya kepada Tuhan, kita anggap ya, sudah, itu pilihannya dia. Kita pikir, kalau orang tidak percaya kepada Tuhan, ya, sudah, memang dia tidak percaya, mau bagaimana lagi, saya juga tidak bisa paksa dia untuk percaya. Tetapi kalau kita menempatkan diri sebagai orang yang tidak dipercaya, itu susah rasanya. Kalau orang tidak percaya kepada Saudara, lalu Saudara berusaha menjelaskan, dan dia tetap tidak mau percaya juga, itu sesuatu yang tidak gampang –dalam hal ini kita sedikit mencicipi kesusahannya Tuhan.
Di dalam dunia ini kita perlu mengalami atau mencicipi –di dalam takaran yang sangat berbeda dibandingkan Yesus Kristus– bahwa ketika kita hidup memberitakan Firman, menjadi saksi Kristus, menghidupi kehendak Tuhan, kita kemudian mengalami penolakan. Waktu mengalami penolakan itu, Saudara ada 2 pilihan, menjadi discourage/kecil hati, menyerah, lalu cari tempat lain yang bisa menerima diri Saudara –kalau seperti in berarti kita belum jadi pelayan Tuhan yang baik– atau Saudara tetap melayani dengan setia.
Sedikit sharing mengenai pelayanan kita di luar Jawa, di luar pulau, dsb.. Waktu pergi ke sana, kita selalu takjub dan terharu dengan kehausan orang-orang di sana untuk mendengar Firman Tuhan, lebih daripada orang-orang di Jakarta, yang selalu sibuk, sulit menggerakkan kerinduan untuk belajar Firman Tuhan. Saya pernah ada pengalaman pelayanan di satu tempat di Sumatra Utara, di situ ada orang yang berjalan kaki berjam-jam untuk datang. Itu sangat menggugah. Saya sampai sungkan sekali kotbah kepada mereka, sepertinya lebih cocok mereka yang kotbah kepada saya dibandingkan saya yang kotbah kepada mereka, saya yang lebih perlu belajar kepada mereka daripada mereka yang perlu belajar kepada saya. Jadi waktu kita pergi ke tempat-tempat seperti itu, kita senang, terbangun, dsb., lalu ketika kembali ke Jakarta menghadapi orang-orang yang dingin, yang tidak tertarik datang PA, tidak tertarik belajar Firman Tuhan, atau kalau pun belajar Firman Tuhan cuma untuk pengetahuan saja, tidak ada embodiment of the word of God dalam kehidupannya, dan tidak tertarik juga untuk mengolah itu, dst., dst., itu bisa membuat kecil hati. Tetapi ketika kita membaca catatan Firman Tuhan, kita mendapati gambaran seperti ini. Di bagian ini ada kutipan dari kitab Yesaya –Yesaya sudah mengalami ini– dan Yohanes mencatat hal ini seakan nubuatan yang menunjuk kepada Yesus Kristus. Yang dialami Yesaya bukanlah klimaksnya; ini satu antisipasi yang menunjuk kepada penolakan pelayanan Yesus Kristus.
Di dalam Alkitab ada kalimat: “Ketika mereka menolak kamu, mereka bukan menolak kamu melainkan menolak Tuhan –menolak Dia yang kita percaya.” Kalimat ini sangat membebaskan, tapi juga membersihkan emosi kita. Kalau kita tidak hati-hati, waktu dalam pelayanan kita ditolak atau tidak dipercaya, kita take it too personally. Gambaran seperti ini –waktu kita menerimanya sebagai kita sendiri yang ditolak– menunjukkan ketidakdewasaan; kecuali memang kehidupan kita betul-betul yang bermasalah, tidak jadi teladan, tidak memberitakan Firman Tuhan, dsb. Kalau Saudara tidak menghidupi Firman Tuhan, ditolak ya, wajar, itu mirip Yudas. Tetapi kalau Saudara memberitakan Firman Tuhan, hidup bersaksi, lalu Saudara mengalami penolakan, maka ayat Firman Tuhan tadi sangat menghibur, bahwa mereka bukan menolak kamu –jangan ge-er– mereka sedang menolak Tuhan. Selanjutnya, bagaimana kita menghayati kesedihan Tuhan, itulah yang membuat kita dewasa dalam pelayanan, bukannya terus berputar dalam penjelasan tentang diri sendiri.
Dalam kehidupan pelayan Tuhan, ada orang yang sensitif sekali akan keadaan dirinya kalau disalah mengerti, tidak diterima, dsb., sehingga kehidupannya penuh dengan penjelasan bahwa dirinya tidak begini dan tidak begitu, akhirnya energi habis semua untuk menjelaskan tentang dirinya sendiri. Kalau seperti ini, seakan-akan pusatnya diri kita sendiri, dan bukan tentang Tuhan, bukan tentang Kristus. Akhirnya pelayanan menjadi pelayanan yang luar biasa defensif memperjuangkan reputasi sendiri. Saudara tidak mendapati itu di dalam kehidupan Yesus Kristus. Inilah yang kita mau belajar pada hari ini.
Perikop ini relatif pendek, tapi ada hal-hal yang kita bisa gali di dalamnya. Salah satu tafsiran mengatakan bahwa pelayanan Yesus secara publik ditutup di sini, setelah itu pasal 13 Yesus masuk ke pelayanan yang lebih intens kepada murid-murid-Nya, dimulai dengan pembasuhan kaki murid-murid-Nya. Jadi public ministry Yesus ditutup di pasal 12 ini, dan perikop yang kita baca adalah kedua dari terakhir. Dengan demikian, kita bisa mengerti bagian ini sebagai semacam rangkuman pelayanan publik Yesus, yaitu diakhiri dengan ketidakpercayaan orang-orang yang dilayani Yesus –penolakan. Dalam keadaan seperti ini, kita membaca penghiburannya –sebagaimana dihadirkan Yohanes di sini– bahwa itu sudah dinubuatkan oleh Yesaya.
Kita sudah pernah membahas, bahwa pengurapan yang terjadi pada Kristus, bukan hanya terjadi pada Kristus tapi juga diberikan kepada Gereja, kepada semua hamba-hamba-Nya, kepada Saudara dan saya. Yesus diurapi; dan Calvin mengatakan, itu bukan berhenti pada diri-Nya melainkan supaya diserahkan kepada Gereja. Kalau bicara ‘pengurapan’ tentu kita senang, kita juga mau diurapi bersama dengan Kristus; tapi kalau bicara penolakan, bicara ketidakpercayaan, kita maunya itu berhenti pada Yesus saja, jangan diserahkan kepada Gereja. Kita maunya jadi orang-orang yang diterima saja, sedangkan yang ditolak biarlah Yesus. Kalau Saudara mau bersekutu dengan Yesus dalam pengurapan-Nya, tapi tidak mau masuk dalam persekutuan dengan penderitaan-Nya, maunya hal itu berhenti pada Yesus saja, jadinya itu Yesus yang mana?? Yesus yang separuh, sepertiga, seperempat, itu bukan Yesus yang asli; itu Yesus yang palsu, tidak ada kaitannya dengan Yesus yang ada di Alkitab, bukan Yesus yang kita terima di bagian ini. Waktu kita belajar dari bagian ini, betul bahwa Yesaya menubuatkan hal itu tentang Kristus, yang terutama memang tentang Kristus, tapi jangan lupa, kita menyebut diri Christian, orang Kristen, berarti kita dipersekutukan dengan cerita ini juga. Dengan demikian, kalimat ini, "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami? Dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?" (ayat 38), adalah kalimat yang seharusnya boleh kita katakan juga kalau kita mengalami persekutuan di dalam penderitaan Kristus.
Inti/substansi dalam pelayanan itu apa? Bukan bahwa Saudara memenangkan jiwa sebanyak mungkin, makin banyak berarti Saudara makin dekat dengan Tuhan. Bukan itu. Kita misleading kalau bicara seperti itu, karena kita jadinya cenderung melihat Petrus, yang berkotbah kepada 3000 orang itu, lebih sukses dibanding pelayan-pelayan lain yang tidak 3000 orang. Saya bukan sedang men-discourage Saudara bahwa jumlah tidak penting –bukan itu poinnya– tetapi kita gagal menempatkan substansi pelayanan yang sesungguhnya kalau kita letakkan pada jumlah. Pelayanan yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa semakin bersekutu dengan Kristus –meskipun tidak ada hasil seperti di pasal 12 ini.
Pasal ini adalah setelah pasal 1, 2, 3 … 11, dan di situ Yesus bukannya tidak pelayanan. Yesus selalu mengerjakan kehendak Bapa-Nya, mengatakan yang dikatakan Bapa-Nya, lalu di sini ditutup dengan kesimpulan: PENOLAKAN, orang tidak percaya. Di sini saya antisipasi sedikit ayat 42, dikatakan oleh Yohanes bahwa bukan sama sekali tidak ada yang percaya, banyak juga yang percaya, tetapi orang-orang ini adalah orang-orang yang oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya jangan dikucilkan. Inilah akhir dari pelayanan publik Yesus.
Jadi, apakah berarti Yesus gagal? Yesus kurang berhasil, kurang powerful dalam pelayanan-Nya? Bukan. Itu sudah dinubuatkan dalam Kitab Yesaya; dan ini bukan excuse. Kalau Saudara dan saya tidak memberitakan Firman Tuhan, tidak menghidupi Firman Tuhan, barulah penolakan itu betul-betul menjadi excuse. Tapi saya percaya, kalau Gereja tidak memberitakan Firman Tuhan, itu sepertinya tidak kompatibel dengan penolakan, kalau Gereja berhenti Firman Tuhan, itu justru malah berpotensi untuk diterima oleh dunia. Hamba Tuhan kalau tidak memberitakan kebenaran apa adanya, maka bisa lebih populer, bisa lebih diterima, lebih tidak ada musuh, lebih tidak ada yang keberatan terhadap dia. Di dalam konseling, kalau kita coba mengerti kesulitannya jemaat, “iya, ya, kamu susah, saya mengerti kesusahanmu”, maka orang yang dikonseling akan senang, apalagi ditambah kalimat, “iya sih, memang dia itu ‘gak bener”, bisa lebih senang lagi. Sebaliknya kalau Saudara diagnosa dan bilang, “Lu ini ada borok, dan persoalannya di sini”, mungkin minggu depannya dia tidak datang konseling lagi. Konselingnya langsung selesai karena orang tidak senang konseling kayak begitu. Orang lebih senang deception, orang lebih mencintai dusta daripada kebenaran –ini sudah ditulis dalam Injil Yohanes. Kalau dikatakan yang benar, apa adanya, orang tidak senang. Manusia tidak mencintai terang. Manusia lebih mencintai kegelapan. Saudara dan saya, dalam natur berdosa kita, lebih mencintai kegelapan daripada mencintai terang. Kita lebih suka berada dalam deception-deception itu, yang menyelubungi kelemahan kita, yang membuat kita akhirnya tetap seperti itu tidak pernah bertumbuh, karena kita tidak tertarik mendengar kebenaran dan diagnosa yang sesungguhnya, lalu kita coba membela diri, dan seterusnya.
Kembali ke bagian ini. Yesus memberitakan kebenaran, Yesus datang sebagai terang, dan resikonya adalah penolakan. Tetapi penghiburannya bahwa demikian jugalah nabi-nabi di Perjanjian Lama sudah diperlakukan. Ini seolah-olah mengatakan “You are on the right track”. Ini penghiburan yang pernah kita bahas juga dalam Kotbah di Bukit. Kotbah di Bukit dalam Injil Matius bicara tentang penganiayaan, dan di bagian terakhir dikatakan: “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” Kalau Saudara diterima, disenangi luar biasa oleh kanan kiri, Saudara musti sangat hati-hati, apakah dalam keadaan tersebut kita sedang melayani dengan benar atau tidak.
Waktu Tuhan Yesus menutup pelayanan publik ini, yang diperoleh oleh Dia adalah ketidakpercayaan; tapi ini sudah dinubuatkan oleh Yesaya. Di Yesaya pasal 6, ada yang disebut “hardening motif” (motif pengerasan hati) dalam panggilan Yesaya. Panggilan seperti ini sulit. Panggilan Yesaya ini sangat unik; biasanya panggilan dalam tulisan nabi-nabi ada di pasal-pasal awal, misalnya pasal 1 atau 2, tetapi dalam Yesaya, panggilannya dimulai di pasal 6, dan juga disertai motif pengerasan hati. Ini muncul lagi bukan cuma dalam Injil Yohanes tapi juga injil-injil yang lain. Dalam Matius dikutip waktu mebicarakan perumpamaan; sementara Yohanes menempatkan kutipan dari Yesaya ini di akhir pelayanan publik Yesus, "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami? Dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?"
Selanjutnya, ayat 39-40, Karena itu mereka tidak dapat percaya , sebab Yesaya telah berkata juga: "Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka. " Menakutkan membaca ayat ini; dan kita musti hati-hati.
Saya percaya, orang-orang seperti Calvin, Beza, dsb., pasti juga membaca ayat-ayat seperti ini sehingga mereka percaya doktrin double predestinasi. Kita tidak membahas istilah tsb. karena ini bukan kelas PA atau seminar, kita lewatkan saja bagian itu; tapi bagaimana pun, di sini memang ada elect (yang dipilih) dan reprobate (yang ditolak/dibuang). Teologi Reformed sendiri bergumul dengan hal ini, dan ada perbedaan antara pandangan Supralapsarian dengan Infralapsarian (Pandangan Supralapsarian mengajarkan bahwa pemilihan/elect dan pembuangan/reprobate ditetapkan Allah sebelum kejatuhan; Pandangan Infralapsarian mengajarkan bahwa pemilihan dilakukan Allah dari fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa). Dalam pembahasan Canons of Dort, posisinya mengikuti Agustinus yaitu pandangan Infralapsarian –ini pengaruh dari orang-orang Reformed di Jerman; sementara Beza, penerus Calvin di Jenewa, termasuk salah seorang yang sangat mengukuhkan doktrin Supralapsarian. Beza menulis bahwa kejatuhan bukan hanya perlu tapi juga indah –tentu saja bukan tanpa big picture ‘kedaulatan Tuhan’. Dia pakai ilustrasi jam (clock). Pada ‘jam’ ada gear yang ke kanan dan yang ke kiri; dunia itu seperti jam, tidak semua orang jalan ke arah yang sama, ada yang ke arah sana ada yang ke arah sini, dan itu diatur oleh Tuhan, semuanya indah. Bagus juga gambaran seperti ini, jadi sedikit bisa menolong kita, namun tetap tidak meniadakan pertanyaan/misteri tentang problem of evil. Dan Alkitab memang tidak bermaksud menjawab sepenuhnya sampai kita tidak ada pertanyaan lagi; kalau Saudara baca tulisan orang-orang saleh, mereka bergumul dengan itu.
Kembali ke bagian ini. Judul bagian ini pakai kata “mengapa” (Mengapa orang Yahudi tidak dapat percaya); lalu di ayat 39 ada kata “karena”, seakan-akan berarti inilah jawabannya: Karena itu mereka tidak dapat percaya , sebab Yesaya telah berkata juga: "Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka … ." Di sini kita musti hati-hati supaya tidak masuk ke dalam pandangan hiper-supralapsarian atau ultra-supralapsarian, karena betul-betul bisa menakutkan. Kalau Saudara baca Yesaya secara konteks teologi biblika, kalimat tersebut munculnya di pasal 6: 9-10, Kemudian firman-Nya: "Pergilah, dan katakanlah kepada bangsa ini : Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! Lihatlah sungguh-sungguh, tetapi menanggap: jangan! Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup, supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik dan menjadi sembuh. " Ini ayat aslinya, dan letaknya di pasal 6. Sebelum pasal 6 ada apa? Halaman kosong?? Tentu tidak. Sebelum pasal 6 ada pasal 5, 4,3,2, dan 1. Apa yang Saudara lihat di pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5, lalu masuk pasal 6? Apa yang terjadi di situ? Bukan tidak ada pemberitaan Firman Tuhan, tetapi Israel mengeraskan hatinya. Jadi di sini tidak tepat kalau kita membicarakan strict order ‘siapa penyebab siapa’, dsb. Oleh sebab itu saya cenderung pada tafsiran dari WBC yang menulis seperti ini: The statement sounds like naked predestinarianism, even irresistible reprobation, but it was neither so intended nor would it have been so understood. The language used has a long history in biblical thought. In Exodus it is frequently said that God hardened Pharaoh’s heart, and as frequently that Pharaoh hardened his own heart; the relation between the two actions is never explained.
Kita musti hati-hati untuk tidak sembarangan mengatakan segala sesuatu musti terkait. Kalau bicara tentang communicatio idiomatum (komunikasi 2 natur Kristus), kita orang Reformed mengatakan bahwa tidak terjadi komunikasi dalam pengertian yang di sini mencampuri yang di sana dan sebaliknya. Maka, kalau kita konsisten dengan Kristologi Reformed tsb., waktu kita bicara tentang kedaulatan Tuhan, waktu kita bicara tentang kejatuhan manusia, jangan Saudara mengaitkan secara sembarangan “ini karena itu, itu karena ini” dsb., karena kalau seperti itu akhirnya Kristologi kita jadi kacau. Teologi sistematik musti koheren; kita tidak bisa percaya “Kristologi”-nya begini, lalu tentang “kedaulatan Allah dan kehendak bebas” bicaranya begitu, semua amburadul tidak ada kaitannya, “suka-suka gua dong mikir kayak gitu”. Itu bukan systematic theology tapi jadi unsystematic theology, tidak koheren.
Jadi, ini satu misteri, dari sisi Allah, Allah yang mengeraskan hati, tidak membuat mereka percaya; dari sisi manusia, manusia yang menolak Tuhan, manusia yang tidak percaya kepada Tuhan. Kita musti mencukupkan diri dengan kalimat ini. Dari sisi manusia, manusia yang menolak Tuhan, manusia yang tidak percaya dari kehendak bebasnya, manusia yang menolak Tuhan. Dari sisi Tuhan/kedaulatan Tuhan, Tuhan yang membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka tidak melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Tuhan menyembuhkan mereka, Tuhan tidak beri kesempatan kepada mereka untuk bertobat –menurut ayat ini. Di sini yang dari sisi manusia jangan dilempar ke sana, dan yang dari Tuhan jangan dilempar ke sini. Kalau main lempar-lemparan, Kristologi kita jadi kacau. Tapi kita bilang, ‘Kristologi, ya, Kristologi; ayat ini, ya, ayat ini’. Semuanya terkeping-keping, fragmented, sehingga kita susah mengerti hal ini dalam perspektif yang benar sebagaimana yang dinyatakan Alkitab.
Ada satu misteri di dalam hal ini, dan kita musti memikirkannya kedua perspektif ini secara bergantian. Ada saatnya Saudara memikirkan dari perspektif kedaulatan Tuhan, ada saatnya kita memikirkan dari perspektif manusia. Segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk. Ada waktunya untuk memikirkan kedaulatan Tuhan, ada waktunya untuk memikirkan dari perspektif manusia. Kalau kita bisa menghayati ini dengan benar, saya percaya kehidupan kita jadi lincah, termasuk juga dalam menghadapi penolakan. Di bagian lain, Yesus mengalami penolakan, tidak ada hasil, sementara murid-murid-Nya lebih ada hasil, setan-setan ditaklukkan dsb., dan mereka bersukacita. Tapi di situ Yesus mengatakan, “Aku bersyukur kepada-Mu, sebab itulah kehendak-Mu” –Yesus bicara tentang kedaulatan Bapa-Nya.
Kembali ke bagian ini, Gerhard Von Rad, teolog Perjanjian Lama, mengatakan supaya kita jangan berkonsentrasi pada urusan ‘mengeraskan hati’-nya, atau bahkan malah menikmati. Calvin mengatakan, waktu kita bicara double predestination, election, reprobation, itu adalah terrible decree, decretum horribilis maka kita jangan suka berurusan dengan itu. Maksudnya, ini adalah satu dekrit yang mengerikan. Tapi saya kuatir orang Reformed sekarang suka main-main dengan terrible decree ini, lalu klaim diri Calvinis. Padahal Calvin sendiri memperingatkan bahwa ini terrible decree, kita musti hati-hati; memang ini biblical decree, but a terrible one. Maksudnya begini, waktu kita bicara tentang reprobat dsb., hati kita harusnya gentar. Kita bukan membicarakan dengan pongah, dengan congkak, dengan penuh percaya diri, dengan kepastian ‘memang Tuhan maunya kayak gitu, lu mau apa?! kalau orang ‘gak diberi kesempatan ya sudah, dia sampai mati ‘gak akan bertobat, karena memang maunya Tuhan!’ –dingin sekali bicaranya. Bukan cuma dingin, tapi kejam. Bagaimana dengan ayat Firman Tuhan yang mengatakan bahwa Tuhan sendiri tidak bersukacita dengan kematian orang fasik?? Ayat ini tidak bentur dengan doktrin predestinasi. Tuhan itu tidak bersukacita atas kematian orang fasik., tapi sekarang banyak orang seperti bersukacita dengan kematian orang fasik. Itu tidak seperti Tuhan emosinya. Emosinya lain dengan emosi Tuhan, dingin sekali. Bahwa Tuhan bukan bersukacita atas kematian orang fasik, itu jelas sekali di dalam Alkitab, sejelas yang tertulis.
Dengan demikian, waktu kita membaca kalimat ini, "Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka", Saudara musti takut. Bukan membacanya dengan spirit ‘sukurin lu, lu menolak, memang lu dasar bau-bau belerang, reprobat, memang lu milik dunia lain’, dsb., lalu kita bicara kedaulatan Allah. Ini sama sekali bukan Reformed. Ayat Firman Tuhan ini adalah kalimat yang dikatakan dengan berat; kalau dalam Yesaya, dia meresponi dengan, “Sampai berapa lama?” –ini respon yang wajar. Yesaya bukannya pergi dan bilang, “O, jadi begitu, jadi dibutakan?! Oke, siapa takut”, lalu mulai khotbah sana-sini, ditolak juga oke saja, tidak masalah, karena memang Tuhan mau keraskan hatimu koq. Gambaran yang seperti begitu adalah gambaran kedagingan/carnal, kemarahan, kecongkakan, yang tidak cocok dengan gambaran Tuhan. Kalau Saudara percaya dengan “tuhan ala Reformed” yang seperti ini, saya yakin itu tuhan yang palsu. Itu bukan Tuhan yang benar. Itu bukan Tuhan yang ada dalam Teologi Reformed, karena Calvin sudah mengingatkan bahwa ini terrible decree, kita musti memegangnya secara hati-hati.
Von Rad mengatakan, kita musti membaca ayat ini di dalam konteks sejarah keselamatan. Termasuk juga waktu kita membacanya dalam konteks Israel, setelah Tuhan mengatakan kalimat itu, selanjutnya menuju kepada cerita bahwa ada suatu sisa (remnant). Ini bukan berhenti pada cerita reprobat, lalu sukurin lu, kapok lu, lu ke neraka, penghakiman, tidak bisa melarikan diri, irresistible reprobation. Klimaksnya bukan di sana. Klimaks dari hardening motif (motif pengerasan hati) ini, adalah ada keselamatan untuk yang lain. Itu sangat jelas dalam tulisan Paulus. Di dalam Roma 11, Tuhan mengeraskan hati Israel, kemudian Dia bergerak kepada gentiles, bangsa-bangsa lain –ini bicara keselamatan. Kita tidak bisa bicara reprobation without salvation. Inilah keindahan teologinya Von Rad.
Betul bahwa ada reprobasi; ini bukan kreasinya orang Reformed yang mengajarkan doktrin tersebut, tapi memang ajaran Alkitab. Alkitab memang membicarakan reprobasi, tapi Saudara jangan kehilangan konteks, bahwa ini masih tetap bicara tentang keselamatan. Mengapa kalimat ini ditulis oleh Yohanes? Karena masih ada pengharapan, ada kesempatan terakhir, jangan mengeraskan hati. Di dalam sejarah dicatat ada orang-orang yang mengeraskan hati dan Tuhan mengeraskan hati mereka, maka harap setelah baca kalimat itu lalu kamu bertobat. Ini panggilan terakhir sebetulnya. Tetapi, mereka yang tidak mendengar, ya, tidak mendengar –demikian setting bagian ini. Mereka bukan cuma tidak mendengar panggilan kalimat-kalimat keras ini, tapi kalimat undangan selembut apapun juga tidak mendengar –kita harus hati-hati bicara hal ini– poin saya, kalau betul-betul reprobat, dan memang reprobat, maka bicara dengan kalimat halus mereka tidak dengar, bicara dengan kalimat teguran sekeras apapun mereka tidak dengar juga. Tetapi kalau orang-orang itu orang pilihan, kabar baiknya adalah bicara dengan kalimat sekeras apapun, bahkan kalimat seperti ayat ini, “Tuhan membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, …”, itu justru membawa mereka kepada pertobatan. Inilah yang dimaksud Von Rad, waktu membicarakan kalimat seperti ini, jangan lupa ini dalam konteks salvation history. Di dalam kitab Roma, setelah Paulus bilang Tuhan mengeraskan hati orang Israel dan orang Israel mengeraskan hatinya, itu karena Dia mau membuka keselamatan bagi bangsa-bangsa lain –cerita yang lebih besar. Bukan berakhir dengan cerita pesimis, cerita reprobat. Demikian juga dalam Yesaya, sama, bicara tentang remnant of Israel (sisa Israel), bukan diakhiri dengan penolakan tersebut. Termasuk juga di bagian ini, bukan berhenti pada penolakan.
Kalau kita, hamba Tuhan dan pelayan-pelayan Tuhan, menghayati kalimat ini dengan berhenti pada penolakan, saya kuatir kita berakhir dengan sakit hati dalam pelayanan kita, karena kita gagal melihat the bigger picture, yang berarti gagal percaya pada kedaulatan Tuhan. Itu ironisnya. Kita bilang menekankan double predestination, menyebut diri Calvinis, dsb., tapi kita gagal melihat gambaran lebih besarnya.
Sekali lagi, ini insight yang penting, bahwa waktu bicara soal reprobat, Saudara jangan kehilangan fokus Injil. Di dalam Calvinisme, seperti seolah-olah ada 2 cabang –saya musti hati-hati dengan kalimat ini—kita mau melihat soal election dan reprobate sebagai kedaulatan Allah, atau melihatnya di dalam perspektif Injil, pusatnya Injil. Von Rad mengatakan, waktu bicara reprobat, penolakan, pengerasan hati, hardening motif, jangan lupa untuk tetap melihatnya dari konteks salvation history –bicara Injil. Ini tetap undangan percaya kepada Injil. Mungkin undangan terakhir kali untuk mereka yang mengeraskan hati, supaya berbalik dan tidak mengeraskan hati.
Saya tertarik mendengarkan Matthäus-Passion dari Johann Sebastian Bach, di situ ada satu bagian yang begitu indah. Waktu Yesus bicara “di antara kamu ada yang mengkhianati Aku”, semua murid-murid panik, “Is it I? Is it I? Is it I?… ” –akukah, Tuhan? akukah, Tuhan? akukah, Tuhan?—lalu hening. Dalam cerita sebenarnya, kita tahu itu Yudas; tapi kemudian di situ diresponi dengan satu himne yang amat sangat menyentuh, kalimatnya mengatakan, “akulah Tuhan, akulah dia, akulah yang menyangkali-Mu, aku perlu bertobat”. Betapa sangat reflektif mendengar kalimat itu. Ini bukan dijawab secara objektif melainkan refleksi subejktif. Kalau jawaban objektifnya, ya, sudah pasti Yudas. Tapi bagian ini bukan digarap seperti itu oleh Johann Sebastian Bach; dalam lagu berikutnya, jawabannya adalah “aku”, maksudnya, si Yudas itu saya. Sayalah, si Yudas yang mengkhianati Engkau, Tuhan, aku perlu bertobat. Jadi, bahkan cerita tentang Yudas pun, bagi orang-orang pilihan tidak menjadi satu cerita ancaman.
Ada orang yang waktu dengar kotbah pun sangat tidak bersih hati nuraninya, selalu merasa dirinya yang dihakimi; orang bicara apa pun, dia selalu merasa dirinya yang dipojokkan –paranoia duluan, tidak ada clear conscience. Orang seperti ini bukan mendengar bersama Roh Kudus, entah bersama roh yang lain sepertinya. Setiap kali Firman Tuhan diberitakan, yang seharusnya menjadi undangan keselamatan, bagi dia itu jadi undangan penghakiman. Memang waktu Injil diberitakan selalu ada pedang bermata dua, menyelamatkan dan menghakimi, tapi ada orang yang kesukaannya mendengar itu sebagai ‘saya dihakimi, saya dihakimi’. Kalaupun kita dihakimi, bukankah berarti masih ada kesempatan untuk kita bertobat, karena Tuhan masih menegur kita, Tuhan masih menyayangi kita, karena Dia menghajar orang yang disayanginya. Namun orang tersebut tidak bisa berpikir begini, dia terus merasa ‘saya dihakimi, pendeta ini prejudice terhadap saya, kotbahnya penuh dengan kebencian’, dst. Orang seperti ini, itu persoalan. Kita musti mendoakan supaya dia tidak terus begini, karena kalau menghayatinya begini terus, jadi lebih mirip ciri reprobat. Tidak bisa mendengar kalimat teguran sama sekali, itu kalau bukan reprobat, lalu apa?? Bukankah kalimat teguran itu artinya Tuhan masih mencintai kita, dan karena itu mau menyelamatkan kita.
Saya pernah pergi ke satu gereja yang besar (katedral) bersama seorang teman, yang memang bukan Kristen. Di situ saya kagum dengan pekerjaan Tuhan di masa lampau, seperti diperlihatkan the great cathedral itu. Tapi apa yang dipikirkan teman saya? Dia memikirkan the corruption of the church! Dia bilang jangan kagum lihat gereja yang besar, ini gereja yang kaya, tidak perhatikan orang miskin, dsb. –luar biasa negatif. Dia sepertinya terlalu melihat keburukan di dalam dunia ini. Ada orang yang berpikirnya selalu negatif. Pikir Firman Tuhan, juga negatif. Pikir reprobat, juga negatif. Tetapi, perkataan-perkataan yang keras diberikan seperti di bagian ini, termasuk nubuatan Yesaya sampai dikutip –dan ini sudah di akhir-akhir pelayanan publik Yesus– maksudnya adalah pembacanya Yohanes masih diundang untuk percaya, untuk bertobat, jangan terus mengeraskan hati di dalam ketidakpercayaan seperti itu.
Terakhir, ayat 42, Namun banyak juga di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan. Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Allah. Inilah tantangan sampai sekarang, yaitu the virtue of courage –courage to witness—untuk berani mengakui identitas kita di publik, bukan cuma di gereja. Saya bukan mengajarkan Saudara jadi religious freak yang setiap bicara 3 kalimat selalu keluar ucapan “Tuhan Yesus”. Tentu bukan itu maksudnya, melainkan dalam pengertian keberanian yang tulus. Waktu kita tampil di dunia, kita membawa identitas sebagai anak-anak Allah. Ini satu pergumulan, bukan sesuatu yang take it for granted. Perlu penyangkalan diri dalam hal ini.
Memang di ayat ini dikatakan bahwa banyak di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya, tapi mereka takut dikucilkan. Saudara perhatikan, ini prinsip: waktu orang berjalan di dalam kebenaran, maka bisa ada korban komunitas. Dalam hal ini Saudara jangan cuma pikir ‘ya, betul, kalau bidat itu biasa susah sekali keluar dari komunitasnya karena sudah terlalu terikat dengan komunitasnya’; Saudara dan saya di gereja ini pun tidak kebal dengan hal itu. Waktu Saudara berjalan di dalam kebenaran, menjaga kesucian hati dengan tulus, maka Saudara bisa ‘gak nyambung dengan komunitas. Saudara bisa memilih untuk lebih baik diterima di komunitas, maka ‘saya musti pintar-pintar berselancar mengikuti ke mana arah angin’. Inilah orang-orang penakut yang tidak berani menghidupi kebenaran, karena dia terus berusaha untuk bisa diterima di dalam komunitas, bisa berselancar dengan rapi. Bukan cuma di dunia di luar sana, di dalam gereja pun ada persoalan kayak begini, bahwa kita harus menyesuaikan diri dengan komunitas, jangan bicara yang menyinggung komunitas sebaliknya musti bicara yang sesuai dengan komunitas. Tapi untuk apa persekutuan yang kayak begini, kalau kita melayani dalam satu gereja yang semua orang kelihatannya baik-baik tapi pekerjaan Tuhan juga tidak maju, tidak bisa ada pergerakan apa-apa, yang penting jaga hubungan baik dengan semua orang? Bukan berarti semakin Saudara punya relasi yang buruk artinya semakin Saudara mengikut Tuhan, tidak tentu juga, dan jangan ditafsir ngawur. Tetapi yang kita baca dalam Alkitab –dan kita menemukan kalimat ini bukan sekali dua kali—bahwa perlu korban komunitas.
Apa maksudnya mereka takut dikucilkan? Ya, karena hal itu memang menakutkan. Dikucilkan berarti Saudara jadi tidak ada persekutuan, Saudara jadi kehilangan orang-orang yang bisa mendukung dalam kehidupan Saudara. Mungkin juga kehilangan pekerjaan, kehilangan security dalam dunia ini, networking-nya habis semua kalau percaya kepada Yesus Kristus. Saudara memilih yang mana? Di dalam ayat ini, Yohanes sangat tegas menuliskan: mereka suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Allah.
Kita sudah membahas perkataan Yesus “barangsiapa melayani Aku, ia dihormati Bapa”. Ini salah satu dari kebutuhan paling dasar manusia, yaitu honour, dignity, kehormatan –kehormatan yang dari Bapa. Tetapi di sini mereka lebih suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Allah, mereka menukar kehormatan yang dari Allah dengan kehormatan yang dari manusia. Memang, kalau manusia dalam kehidupannya tidak punya selera rohani, tidak punya mata rohani, telinga rohani, dan semua panca indra rohani itu, maka akan sangat gampang terbujuk dengan penghormatan-penghormatan yang kelihatan. Kalau kita lebih rentan akan penghormatan-penghormatan manusia yang kelihatan, itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak punya hubungan yang dalam dengan Tuhan. Kalau kita punya hubungan yang dalam dengan Tuhan, kita tidak pusing dengan penghormatan-penghormatan manusia, karena penghormatannya Allah itu cukup. Sedangkan orang yang tidak ada deep relationship dengan Tuhan, dia kuatir sekali akan penilaian orang, dia berusaha membuktikan supaya penilaian orang lain terhadap dirinya benar, sibuk mencari pembenaran diri, reputasi, dsb. Seseorang yang dihormati Allah, entah dia dihormati atau tidak dihormati manusia, baginya tidak jadi masalah.
Memang ini pergumulan seumur hidup. Kita masih bergumul dengan kelemahan-kelemahan seperti ini. Tapi inilah Injil. Injil adalah percaya kepada Yesus Kristus, termasuk juga hal ini. Injil bukan cuma urusan kalau percaya Yesus Kristus maka nanti mati masuk surga. Dalam PA Pemuda kita membahas Injil sebagai kabar baik, bahkan kabar terbaik yang pernah ada, tapi kita seringkali bikin Injil jadi urusannya cuma soal dunia yang akan datang; misalnya waktu penginjilan mengatakan, “Bapa yakin tidak, kalau mati ke mana?” –urusan dunia yang akan datang. Saya bukan mengatakan ini sama sekali salah; Alkitab juga bicara Injil untuk dunia yang akan datang. Tetapi, kalau setiap kali bicara Injil cuma “nanti kalau mati”, Saudara tidak bisa bikin Injil itu menarik di dunia di sini dan sekarang. Atau apa memang tidak ada artinya Injil bagi dunia di sini dan sekarang?? Artinya cuma nanti kalau mati tok?? Memang kita tahu, kehidupan setelah kematian itu panjang, dan hidup Saudara kalau dibandingkan dengan kekekalan itu nothing, tapi masalahnya, orang hidup di sini dan sekarang, bukan hidup di dunia yang akan datang. Tidak semua orang punya sense kehidupan yang akan datang. Bahkan mungkin kita sendiri juga tidak menghayati meditation of the future life seperti Calvin. Inilah persoalan di dalam Kekristenan. Gagal menghidupi Injil di dalam dunia di sini dan sekarang, lalu cuma bisa mengatakan Injil itu relevan untuk dunia yang akan datang.
Injil itu hidup. Di dalam Firman Tuhan dikatakan, ini adalah Injil yang berkuasa. Ini bukan gambaran ajaran idealis yang tidak bisa dihidupi, yang too good or too ideal to be true tapi di dalam dunia sebenarnya tidak jalan. Atau seperti Albert Schweitzer mengatakan, bahwa Kotbah di Bukit cuma cocok kira-kira 5 menit sebelum orang mati di ranjang kematiannya; ini etika eskatologis, tidak jalan dalam dunia sehari-hari. Celaka, gambaran seperti itu. Itu teologi liberal. Tapi jangan-jangan kita sendiri menghidupi liberalisme dalam arti sebenarnya, menganggap Injil bukan untuk di sini dan sekarang melainkan untuk nanti kalau mati. Tidak bisa membicarakan Injil untuk kehidupan di sini dan sekarang, tidak menarik, seakan-akan tanpa Injil pun kehidupan di sini dan sekarang sudah bisa berjalan dengan baik, cuma nanti waktu mati barulah tidak bisa berjalan dengan baik karena saya tidak punya kuasa apa-apa, maka perlu Yesus. Di dunia sekarang kayaknya tidak perlu Yesus-lah, saya sementara masih cukup uanglah, sakit bisa ke dokter, punya banyak teman, ada gereja, nanti kalau selang mulai dicabut dari tubuh, baru di situ saya perlu Yesus. Gambaran ini bukan true Christianity; dan Yohanes –Yesus– mengundang Saudara untuk menghidupi Injil.
Mari kita menghidupi Injil, kita minta berkat pertolongan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading