Khotbah hari ini masih melengkapi khotbah Minggu lalu, khotbah tahun baru, dalam arti khotbah yang mau semacam set-up nada sepanjang tahun; kita mau coba mengerti hidup kita sepanjang tahun ke depan melalui khotbah-khotbah ini. Minggu lalu kita coba mengerti bagaimana kuasa Kristus yang menyertai kita; hari ini penekanannya bukan apa yang Kristus lakukan bagi kita tapi sebaliknya apa yang Kristus panggil untuk kita lakukan –mengenai bagaimana kita menyerupai Kristus dalam tahun ini.
Kita melihatnya kembali dari Injil Markus, satu bagian yang pendek tapi cukup dalam, limpah, dan utuh dalam memberitahukan kita mengenai kehidupan Kristus. Kehidupan Kristus yang utuh yang seperti apa yang akan kita lihat dari perikop ini? Yang pertama, kita akan melihat kehidupan Yesus secara internal/interior; yang kedua, kita akan melihat kehidupan Yesus secara eksterior keluarnya seperti apa; yang terakhir, bagaimana kita bisa menyerupai Dia luar dalam.
Pertama, kita akan masuk ke hal yang lebih bersifat interior. Di ayat-ayat pertama, Saudara perhatikan bahwa pagi-pagi benar waktu masih gelap (dalam terjemahan lain: waktu hari masih tengah malam), Yesus pergi ke luar, mencari tempat sunyi, dan berdoa di sana. Murid-murid-Nya mencari Dia, lalu waktu ketemu mereka mengatakan, “Semua orang mencarri Kamu”. Ini bukan cuma semua orang dalam arti semua murid-murid-Nya mencari Dia karena cemas, tapi juga karena sebelumnya Yesus baru saja melakukan tanda-tanda ajaib, Dia baru mulai pelayanan publiknya di hadapan banyak orang, Dia mengusir setan dan menyembuhkan orang, oleh karena itu nama-Nya langsung terkenal, dan semua orang mencari Dia, semua orang ingin bikin appointment dengan Dia. Ini menarik, karena membuat kita jadi bisa lebih mengerti tindakan Yesus berdoa di bagian ini dalam kacamata yang tepat. Momen ini bukanlah momen di mana bisnis sedang lesu, saham turun, maka Dia ada waktu untuk keluar bedoa; ini justru momen di mana bisnis lagi booming, lagi banyak kesempatan, banyak dicari orang, popularitas sedang naik. Inilah waktunya doa-doa yang dulu itu dijawab, jadi sekarang waktunya bukan untuk berdoa tapi untuk bekerja. Tetapi, respons Yesus atas semua itu sangat beda dari yang Saudara dan saya akan lakukan. Dalam kehidupan kita, ketika hidup kita sedang dalam puncaknya –puncak popularitas, puncak poduktifitas– maka banyak kesempatan kita pakai untuk melakukan ini dan itu yang perlu dan ingin kita lakukan, dan biasanya yang paling pertama dikorbankan adalah doa dan waktu teduh kita. Namun Yesus terbalik; semakin Dia sibuk, semakin Dia berdoa, semakin panjang waktu doanya.
Kejadian ini waktunya cukup panjang. Kalau kita rekonstruksi sedikit, ini berarti Yesus keluar sekitar tengah malam, lalu dikatakan Dia mencari tempat sunyi, yang dalam bahasa Yunani-nya eremos artinya padang belantara (istilah yang sama yang Markus pakai waktu mengatakan tempat Yesus dicobai) –jadi sepertinya bukan waktu yang cepat untuk Yesus sampai di sana. Lalu sampai dengan para murid bangun dan mereka sadar Dia hilang –yang kita tidak tahu juga berapa lama lagi– kemudian murid-murid mencari Dia sampai ketemu, ini semua sepertinya memakan waktu berjam-jam, dan artinya Yesus berjam-jam berdoa. Apa implikasinya bagi kita, ketika kita melihat kehidupan interior Yesus Kristus seperti ini? Implikasinya sederhana, kalau Saudara dan saya adalah manusia berdosa yang sangat lemah sedangkan Yesus adalah Anak Allah, dan Dia begitu butuh berdoa bahkan lebih perlu berdoa semakin Dia sibuk, maka apalagi Saudara dan saya. Ini perspektif yang penting, karena ketika kita mengorbankan doa, itu sering kali waktu kita sedang banyak kesempatan untuk melakukan hal yang lain. Waktu kita sedang ada kesempatan untuk cari uang, kita mengatakan, “Yah, ‘gak salah ‘kan cari uang” –meski memang cari uang tidak salah, dan memang kesempatan itu penting. Atau misalnya kita dapat kesempatan kerja yang bukan cuma menguntungkan diri kita, yang memang bikin sibuk tapi bisa punya dampak bagi banyak orang, maka kita masuk ke sana –dan jam doa kita berkurang.
Kita mungkin membenarkan diri dengan alasan-alasan seperti itu, tapi coba lihatlah Yesus. Kesempatan yang ada di hadapan-Nya itu bukan sekadar menghasilkan uang atau punya dampak bagi orang tertentu; kesempatan yang hadir di hadapan Yesus waktu itu, sampai Dia dicari begitu banyak orang, adalah kesempatan untuk mengubah jalannya sejarah seluruh dunia. Sebesar itulah kesempatan yang ada di hadapan Tuhan Yesus. Kesempatan yang kita punya, tidak ada bandingannya dengan Tuhan Yesus, namun di hadapan kesempatan yang sebesar ini, Yesus tetap merasa doa terlalu penting untuk dikesampingkan. Jika Yesus merasa doa sebegitu pentingnya, sebegitu prioritasnya; jika semakin Dia sibuk maka semakin Dia berdoa, semakin pekerjaan-Nya penting maka semakin Dia banyak berdoa, bagaimana dengan kita? Saudara, menjadi murid Kistus, tidak bisa kabur dari hal ini, bahwa doa adalah satu hal yang begitu fundamental dalam iman Kristen. Ini berarti tidak ada hal lain yang boleh mengesampingkan doa; termasuk kesempatan untuk memberikan dampak sebesar apapun dalam mengubah dunia, tidak boleh mengesampingkan doa. Saudara bisa pikirkan sendiri apa aplikasinya untuk tahun yang baru ini bagi kehidupan doa Saudara.
Kita coba menjawab sedikit, kenapa doa begitu penting. Di bagian perikop ini Markus tidak mencatat isi doa Tuhan Yesus, tapi dari bagian Markus yang lain atau pun injil-injil yang lain, kita tahu setiap kali Tuhan Yesus berdoa, kata pertama yang keluar dari mulut-Nya adalah kata ‘Abba’, yaitu sebutan ‘ayah’ yang lebih intim. Sebutan ini bukan sebutan yang hanya eksklusif untuk Tuhan Yesus karena Dia Anak Allah, ketika Dia mengajar murid-murid-Nya berdoa, Dia pun menyuruh memulai dengan kalimat ini, ‘Bapa kami di surga’. Jadi, esensi doa bagi Tuhan Yesus sudah pasti bukan urusan ‘berikanlah kepada kami hari ini makanan kami secukupnya’, bukan juga urusan ‘ampunilah dosa kami’, tapi yang pertama dan paling fundamental dalam doa bagi Tuhan Yesus adalah sebuah re-orientasi, sebuah pengarahan ulang. Esensi doa bagi Tuhan Yesus adalah: kita memulai dengan merendam diri dalam fakta, bahwa di dalam Yesus, Allah Pencipta alam semesta telah menjadi Bapamu. Itulah esensi dan pondasi doa. Kita dipanggil untuk mengarahkan hidup kita pada fakta ini, sebelum yang lain; semua yang lain di dalam doa, berdiri di atas hal ini.
Supaya Saudara lebih mengerti seberapa “gila” hal ini, atau lebih tepatnya seberapa absurd hal ini –bahwa Allah pencipta alam semesta menjadi Bapamu– kita bisa pakai sebuah analogi. Kalau Saudara menjadi orangtua, semua isi hidupmu di-re-orientasi ulang (diarahkan ulang) kepada si anak. Yang paling sederhana, uang Saudara sekarang bukan lagi jadi milikmu sendiri tapi jadi milik si anak; demikian juga waktu Saudara, rasa jijik Saudara, penciuman Saudara, dsb., semua bagi si anak. Kalau sebelumnya indra penciuman kita diperlukan untuk kita bisa menghindari tempat-tempat yang kotor dan bahaya –indra penciuman dipakai untuk melayani diri kita– maka setelah punya anak jadi lain, penciuman bahkan bukan untuk Saudara menghindari bau tapi malah mendatangi bau. Contohnya, bagi saya sekarang penciuman penting untuk saya tahu apakah anak saya perlu diganti popoknya atau tidak; dalam hal ini, penciuman saya tidak lagi untuk saya menghindari bau, sebaliknya untuk saya justru bisa mengenali bau-bau tersebut. Semua berubah jadinya. Saudara lihat, menjadi seorang orangtua berarti seluruh diri kita terfokus pada si anak. Pertanyaannya, kalau ini sesuatu yang terjadi di tengah-tengah umat manusia yang tidak sempurna ini, betapa lagi di dalam Kristus ketika Allah dikatakan menjadi Bapa kita! Saudara bisa bayangkan seberapa absurdnya hal ini, bahwa Allah Bapa meng-orientasikan diri-Nya kepadamu, mengomitkan diri-Nya kepadamu, fokus kepadamu?? Inilah fakta yang Yesus pakai untuk memulai setiap doa-Nya.
Itu sebabnya doa adalah sebuah re-orientasi. Tapi lihat, re-orientasi ini bukan re-orientasi yang menindas, Saudara bukan ditarik ke arah yang Saudara tidak mau. Setiap kali Saudara di-re-orientasi kepada Tuhan, ujungnya Saudara melihat, bahwa ini untuk membuat Saudara menyadari seberapa Allahmu telah meng-orientasi diri-Nya ke arah kita. Tidak heran Tuhan Yesus terus-menerus cari waktu untuk berdoa, terus-menerus semakin Dia sibuk maka semakin Dia rasa perlu berdoa, karena inilah yang memberi Dia kekuatan untuk melayani, inilah yang jadi sumber sukacita-Nya dalam melayani, inilah yang memberikan Dia makna dalam melayani. Coba Saudara pikir, tujuan Yesus hidup dan melayani, pada akhirnya untuk apa sih? Yaitu untuk membuat lebih banyak lagi orang mengalami Allah, Sang Pencipta, menjadi Bapa bagi mereka. Mengalami menjadi anak-anak Allah itulah tujuan hidup dan pelayanan Yesus, untuk mengundang orang lebih banyak masuk ke dalam hal ini, sehingga tidak heran hal ini menjadi dasar pelayanan-Nya. Mengerikannya, kalau hal ini ditanyakan kepada kita. Kalau kita tidak menempatkan doa sebagai prioritas, maka sebenarnya tanda tanya apa tujuan akhir hidup dan pelayanan kita, jangan-jangan beda dengan Tuhan Yesus.
Sedikit berlogika, alasannya Yesus begitu memprioritaskan doa adalah karena bagi Yesus doa bukan terutama untuk mendapatkan hal-hal dari Tuhan, doa adalah untuk mendapatkan Tuhan itu sendiri. Hanya dengan mengenal kasih Bapa yang begitu terfokus padamu melalui doa, lewat Saudara di-re-orientasi ulang kepada realitas ini, barulah Saudara ada kekuatan untuk lepas dari segala hal yang membelenggu kita. Hanya melalui ini, Saudara bisa lepas dari kebutuhan untuk menyenangkan semua orang, kebutuhan untuk mengontrol segala sesuatu, ketakutan akan kehilangan. Saudara bisa menanggung diprovokasi orang, kalau Saudara mengenal seberapa besar kasih Bapa bagimu. Saudara tidak perlu mengais-ngais pengakuan atau cinta manusia, atau signifikansi, atau rasa aman dari sumber-sumber duniawi –Saudara bebas– melalui doa. Dan, itulah kehidupan interior Allah kita. Inilah hal yang pertama, kehidupan interior Tuhan Yesus, yang kita dipanggil untuk menyerupai-Nya.
Tidak berhenti di situ, kelanjutannya adalah hidup Yesus lalu melimpah keluar/eksternal/ eksterior kepada orang-orang di luar sana. Dalam Injil Markus ini, ketika Yesus mulai melakukan tanda-tanda, semua orang mencari Dia, ingin dekat-dekat dengan Dia. Menariknya, kalau kita melihat paralelnya di Lukas 4:42 di sana ada tambahan informasi, sbb.: ‘Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka’, dan selanjutnya kita mendapati respons yang mirip dengan yang dicatat Markus: ‘Tetapi Ia berkata kepada mereka: ”Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” Orang banyak ini bukan cuma mencari Dia, tapi juga meminta untuk jangan sampai Dia pergi. Ini berarti orang-orang telah melihat Dia melakukan mujizat dan tanda-tanda, lalu mereka merasa ‘inilah Yesus, The One, yang akan mengisi kebutuhan-kebutuhan kita; jangan pergi’. Namun Yesus bangkit setelah Dia berdoa, dan mengatakan, “Tidak, Saya harus pergi, let’s keep moving”; kenapa? Dia mengatakan, “Karena panggilan-Ku adalah untuk memberitakan/ mengkhotbahkan Injil Kerajaan Allah, karena untuk itulah Aku diutus, untuk itulah Aku datang.”
Apa maksudnya memberitakan/mengkhotbahkan Injil Kerajaan Allah? Kalau Saudara mundur sedikit ke ayat 14-15, kita mendapati deskripsi yang Markus maksudkan dengan ‘memberitakan/ mengkhotbahkan Injil Kerajaan Allah’. Dikatakan di situ, sesudah Yohanes ditangkap, datanglah Yesus ke Galilea, memberitakan Injil Allah Allah, katanya, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” –panggilan untuk bertobat; ini pelayanan Firman. Membaca ini, kita sering kali mengambil kesimpulan bahwa artinya Tuhan Yesus tidak mau dijebak jadi tukang bikin mujizat, Dia mau jadi seorang pengkhotbah keliling, memberitakan Firman Tuhan itu panggilan utama-Nya. Ini tentu tidak salah, karena kita tahu Tuhan Yesus mengerti bahwa yang dibutuhkan manusia bukan cuma penyembuhan dan setan-setan diusir, manusia perlu mendengar panggilan Injil Kerajaan Allah. Kita perlu sadar bahwa memang benar kita mengisi kebutuhan, tapi ada kebutuhan-kebutuhan orang yang memang sangat mudah disadari, seperti kesembuhan, kelepasan dari kuasa gelap, bantuan pada saat bencana, dst., dan ada kebutuhan-kebutuhan yang orang tidak sadari yaitu kebutuhan akan panggilan untuk bertobat, kebutuhan akan berita Injil Kerajaan Allah –kebutuhan untuk dikhotbahin. Jarang yang mencari ini, dan kita juga agak enggan memberikannya. Di bagian ini, Yesus tahu bahwa Dia harus mengisi semua kebutuhan ini, dan bukan cuma kebutuhan yang orang sadari. Yesus bahkan mengatakan bahwa panggilan-Nya yang lebih utama adalah mengabarkan/mengkhotbahkan Injil Kerajaan Allah –tidak cuma menyembuhkan orang sakit, memberi makan orang lapar. Dalam bagian ini, kita mungkin angguk-angguk kepala, tapi saya tidak yakin seserius apa anggukan kepala Saudara karena jumlah jemaat yang ikut Pemahaman Alkitab sangat sedikit. Apapun respons Saudara, yang menarik bagi saya justru bagian berikutnya; tadi kita melihat Yesus mengatakan, ‘Aku tidak dipanggil cuma untuk bikin mujizat, Aku dipanggil untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah, memanggil orang kepada pertobatan’, namun yang terjadi berikutnya Dia menyembuhkan seorang yang sakit kusta. Bukankah ini aneh?
Bukankah tadi Dia justru tidak mau dikunci dalam pelayanan semacam itu, tapi sekarang Dia menyembuhkan orang kusta, bagaimana sih ini?? Tidak konsisten, mirip seperti aktor-aktor yang tidak mau punya tipe khas, bilangnya, “Saya dari dulu koq mainnya di komedi, saya mau nyebrang dong, saya sebenarnya merasa panggilan saya jadi aktor drama”, tapi tahu-tahu di film berikutnya dia main komedi lagi. Aneh. Saudara, apa artinya ini? Apa implikasinya? Saya rasa, kesimpulan paling sederhana yang bisa ditarik adalah: bagi Yesus, pelayanan pemberitaan Injil Kerajaan Allah memang bukan cuma mujizat, namun pada saat yang sama bukan juga sekadar kata-kata, bukan juga sekadar Firman. Ini adalah suatu gambaran akan kehidupan pelayanan eksterior Kristus, yaitu ada kelimpahan, ada keutuhan, ada sifat multi-aspek dari keselamatan yang Yesus bawakan. Di satu sisi, Yesus ngotot bahwa Dia terpanggil untuk memberitakan Injil dalam arti panggilan untuk orang bertobat (ministry of The Word); di sisi lain, Dia juga senantiasa menuangkan diri-Nya dalam ministry of deeds dengan Dia berulang kali mengisi kebutuhan untuk memulihkan luka-luka dalam dunia ini, baik itu psikologis, spiritual, sosial, ekonomi. Inilah keutuhan yang Saudara tidak bisa pungkiri ketika melihat hidup eksterior pelayanan Yesus.
Kalau Saudara melanjutkan melihat cerita penyembuhan orang kusta ini, sesungguhnya ini adalah studi kasus yang sempurna untuk Saudara melihat pelayanan Yesus itu multi-aspek, tidak cuma satu aspek tok. Orang kusta ini datang kepada Yesus, dia memohon dengan berlutut, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Yesus lalu mengatakan, “Aku mau”, Dia menjamah orang itu, dan orang itu langsung sembuh. Ceritanya singkat dan padat, tapi sesungguhnya sangat multi-aspek dan multi-dimensi. Kusta bukanlah sekadar penyakit fisik; kusta adalah sebuah kondisi yang total, ada aspek fisiknya, ada aspek sosialnya, bahkan ada aspek spiritualnya –agak mirip dengan Covid di awal-awal pandemi. Yang namanya kena kusta, sudah pasti ada aspek badani yang rusak karena ini penyakit kulit, tapi juga ada aspek sosial. Orang-orang kusta ini jadi buangan masyarakat karena mereka menular, sehingga mereka tidak diperbolehkan berada di tempat-tempat ramai, mereka diusir ke tempat-tempat sepi, bahkan disuruh tinggal di padang gurun. Bayi tidak bisa hidup kalau tidak disentuh, tapi orang-orang kusta ini harus hidup tanpa sentuhan, harus isoman, karantina total dari umat manusia tanpa zoom dan sosmed. Dan tekanannya ada pada diri mereka untuk mereka menghindari orang; kalau ada orang dekat-dekat mereka, mereka sendiri yang harus teriak, “Najis, najis!” Lalu, tentu saja secara spiritual dalam anggapan orang pada waktu itu yang namanya kusta adalah kena kutuk dari Tuhan. Saudara bisa saja mengatakan, “Ah, soal kutukan itu ‘kan kita tidak benar-benar tahu, itu abstrak”, tetapi Saudara, ada bentuk konkretnya yaitu orang kusta tidak boleh beribadah, tidak diperbolehkan datang ke hadirat Tuhan, tidak ada ruangan khusus “kusta room” bagi mereka. Itu sebabnya kalau Saudara melihat lebih jauh dari Alkitab misalnya dalam tulisan para rabi, mereka membuat begitu banyak aturan dalam urusan kusta. Bahkan ada rabi yang sampai menulis, kalau ada orang kusta berteduh di sebuah pohon lalu orang tahir lewat dan terkena bayangan naungan dari pohon tersebut, maka orang tahir itu sudah kena najisnya, tanpa harus menyentuh –dan artinya ikut najis, harus karantina, harus isoman, tidak bisa datang ibadah, tidak boleh dekat-dekat orang lain. Aturan para rabi sampai sebegitunya, bukan cuma meminggirkan orang-orang kusta, tapi bahkan juga meminggirkan orang-orang normal yang dekat-dekat dengan orang kusta. Tidak heran orang kusta di perikop Markus ini menyadari, bahwa ketika dia mencari keselamatan, dia butuh keselamatan yang bersifat multi-aspek.
Perhatikan, waktu dia datang kepada Tuhan, dia bukan mengatakan “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau bisa menyembuhkan aku”; sebagai orang Yahudi, dia mengatakan “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau bisa membuat aku tahir.” Dalam bahasa Inggris cuma ada istilah clean dan unclean, sedangkan bahasa Indonesia pakai kata tahir dan najis; istilah ‘tahir’ ini penggunaan kata yang bagus, karena ini berarti bersih yang bukan cuma bersih ala Detol, bukan cuma bersih dalam arti higienis, tapi bersih yang multi-aspek –bersih di hadapan Tuhan, bersih secara sosial dan bersih secara badani juga. Orang kusta ini tahu, dirinya butuh keselamatan yang komprehensif; dan itulah yang Tuhan Yesus berikan, karena kemudian dikatakan, ‘Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu’. Bagi gaya penulisan Markus yang singkat padat, ketika ada dua kalimat yang mengatakan hal yang sama, ini adalah momen ritardando seperti dalam musik, bukan sekadar memberi suatu info, tapi dengan melambat seperti ini ada sesuatu yang lebih di sini. Yesus sebetulnya tidak perlu menjamah dia, Yesus bisa menahirkan orang hanya dengan berkata-kata atau bahkan cuma dengan berpikir dari jarak jauh. Jadi, sentuhan ini bukan dilakukan karena Yesus perlu menyentuh dia atau karena penyakit fisiknya perlu itu; Yesus melakukannya karena jiwa orang ini perlu sentuhan –multi-aspek. Bahkan setelah orang ini sembuh, Yesus tidak serta-merta menyuruh dia pulang tok, Yesus menyuruh dia pergi kepada para imam, menunjukkan diri kepada mereka, memberi persembahan pentahiran sesuai hukum Musa. Mengapa? Karena problem orang ini bukan fisik tok, tapi juga sosial, maka pemulihan juga harus dilakukan secara sosial; dan pada zaman itu yang bisa mendeklarasikan ‘tahir’ hanyalah para imam. Itu sebabnya orang ini disuruh pergi kepada mereka, dicek oleh mereka, supaya setelah itu dia bisa kembali di-integrasikan ke dalam masyarakat. Yesus mengerti bahwa penyembuhan yang dibutuhkan adalah multi-aspek.
Sebelum kita lanjut, mendengar semua ini Saudara jangan menempatkan diri pada si orang kusta, dalam arti Saudara bilang ‘yah itulah yang saya butuhkan, maka gereja GRII Kelapa Gading jangan jadi gereja yang cuma firman tok, tapi juga harus menyapa jemaat dong; saya datang ke GRII ini, kalau bukan karena firmannya maka saya sudah lama pergi, karena dari awal sampai akhir saya datang, tidak ada yang menyapa saya’, dsb. Dalam hal ini, pertama-tama kita merenungkan bahwa kita dipanggil untuk menyerupai Kristus, bukan untuk menyerupai orang kusta, jadi kalau Saudara berpikir seperti tadi, Saudara salah apikasi. Tapi yang kedua, kalau Saudara ngomong seperti tadi itu, Saudara juga perlu ditanya, Saudara sendiri sudah menyapa berapa banyak orang? Saudara adalah part of the solution, atau Saudara malah jadi part of the problem? Yang ketiga, Saudara juga harus tahu satu hal bahwa Gereja itu beragam, tidak semua orang suka disapa seperti kamu, ada beberapa orang juga di gereja yang introvert, jadi ada hak apa Saudara menentukan bahwa yang namanya spiritualitas yang sehat harus sesuai dengan temperamenmu. Temperamen orang berbeda-beda; dalam Gereja ada keberagaman (diversity), boleh saja ada orang-orang yang merasa lebih enak di tempat sepi. Mentalitas seperti tadi bahkan kadang-kadang membuat orang-orang introvert berpikir seperti tidak ada tempat bagi mereka di Gereja, karena seringkali kesannya di gereja orang Kristen harus selalu happy clappy all the time. Misalnya dalam retreat, semua acaranya dibikin untuk membuat sebisa mungkin semua orang musti ngomong, lompat, lari-lari, gandeng tangan. Pendeta Budi Setiawan waktu bikin retreat untuk jemaat di Melbourne, dia membuat dalam satu hari ada acara silent time, 20 menit tidak boleh ngomong, tidak boleh interaksi dengan orang, hanya diam merenung. Memang tempatnya mendukung, tapi bukan itu poinnya; poinnya adalah: setelah selesai silent time ini, banyak orang-orang ekstrovert yang kemudian sharing bahwa mereka baru sadar mereka sangat butuh silent time seperti itu. Gereja butuh keberagaman, tidak bisa cuma ikut temperamennya sendiri-sendiri. Sekali lagi, ini khotbah tahun baru, ini khotbah tentang bagaimana panggilan sebagai anggota Gereja yang menyerupai Kristus, bukan menyerupai orang kusta. Saudara jangan salah aplikasi dalam hal ini.
Kembali ke khotbah kita. Kenapa Tuhan Yesus memberikan keselamatan yang multi-aspek seperti ini? Kita diberitahu alasannya; dikatakan sebelum Dia mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang kusta ini, ‘Dia tergerak oleh belas kasihan’. Ini kuncinya. Kalau Saudara mengasihi seseorang, Saudara tidak mengisi kebutuhannya cuma satu-satu, Saudara mengisi kebutuhannya secara multi-aspek. Saudara tidak cuma mengisi kebutuhan mereka akan pengetahuan tok, atau mengisi kebutuhan mereka untuk disentuh tok; Saudara melakukannya bersamaan.
Dalam PA yang lalu kita membahas bahwa kita, orang Kristen, mengakui Allah itu tidak terbatas sedangkan manusia terbatas, tetapi kita seringkali sulit untuk menerima hal ini. Kalau kita mengakui manusia itu terbatas, berarti salah satu aspeknya adalah menerima bahwa kita tidak bisa tahu segala sesuatu secara utuh, lengkap, pasti benar, ada formulanya –dan kemudian baru bertindak. Manusia itu terbatas, maka pengetahuannya terbatas, dan itu berarti dalam hidup ini kita tidak perrnah bisa tahu semua dulu secara lengkap baru bertindak. Misalnya berurusan dengan bayi, itu pun 90% tebakan, kita tidak benar-benar tahu ini anak menangis karena apa, kita menebak-nebak, tapi bukan berarti kita tidak bisa merawat dia, bukan? Mendidik anak pun sama, Saudara tidak benar-benar tahu formulanya bagaimana, tapi tidak berarti Saudara tidak bisa mendidik dia, bukan? Inilah manusia. Memang pengetahuan kita terbatas, tapi itu tidak harus membuat kita jadi lumpuh. Waktu Saudara pikir tahu semua formulanya, “kalau begini maka begitu”, tunggu saja, cepat atau lambat Saudara akan menemukan situasi hidup yang membuat Saudara sadar bahwa formula terrsebut bagaimanapun juga kurang. Itulah hidup manusia, karena kita manusia yang terbatas; ini sesuatu yang by design, bukan muncul setelah ada dosa. Lalu setelah PA itu, ada yang tanya: ‘Kalau pengetahuan kita tidak utuh/lengkap, kita senantiasa harus direformasi, jadi bagaimana dong kalau kita ditanya orang?? Karena waktu orang tahu kita dari GRII, sering kali mereka minta kita jawab pertanyaan ini dan itu, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kali tidak ada ujungnya karena orang cuma mau nge-tes; dalam situasi seperti itu, kita musti berespons bagaimana?’ Salah satu contoh, saya akan berespons seperti ini: “Di gereja saya memang pengetahuan itu penting, tapi pengetahuan bukan yang paling penting, ada hal-hal lain yang lebih penting daripada itu”. Ini jawaban yang saya rasa lebih mengisi kebutuhan orang secara multi-aspek, bukan berpikir bahwa kebutuhan orang cuma untuk diberitahu data-data atau informasi atau pengetahuan. Kita sering kali pikir kerohanian Kristen seperti ini: orang ingin tahu, lalu kita perlu mengisi kebutuhan mereka itu sampai mereka bisa mengangguk-angguk setuju –baru itu artinya reformed tulen. Tetapi, menjawab seperti saya tadi, mungkin memberikan gambaran mengenai seperti apa karakter Kristiani yang sejati; dan ini lebih penting. Ini jawaban yang bukan urusan memberi informasi tok –tentu saja kita juga bisa saja memberi informasi lewat buku atau mengajak ke seminar dsb.– karena pengetahuan itu penting tapi bukan yang terpenting. Kalau kita menjawab seperti tadi, mungkin kita sedang mengisi kebutuhan yang orang tidak sadari. Orang bisa melihat gambaran kerendahan hati yang dunia ini sangat butuhkan, karena dunia ini sudah tidak tahu lagi apa yang namanya kerendahan hati. Dan maaf, ini kerendahan hati yang jujur, karena sebagaimana dalam PA kemarin maupun PA-PA yang lalu, yang kita pelajari adalah pengetahuan manusia itu memang terbatas! Kita tidak bisa tahu segala sesuatu secara utuh, kita tidak bisa tahu formulanya secara jelas, dan ini menghasilkan kerendahan hati. Ini bukan kerendahan hati yang dibuat-buat.
Omong-omong, dalam PA kita bukan cuma belajar bagaimana kita bisa tahu lebih; tujuan dalam PA bukan cuma belajar apa yang kita tidak tahu, tujuan dalam PA adalah untuk kita tahu bahwa kita tidak tahu, kita belajar batasan dari pengetahuan. Itu yang selalu kita pelajari dalam PA; mengapa? Karena tujuan saya memberikan PA memang bukan untuk mengisi kebutuhan akan pengetahuan tok, tapi untuk membentuk karakter Kristiani, salah satunya adalah kerendahan hati. Bagi Saudara yang tidak ikut PA, bagaimana Saudara bisa humble kalau Saudara tidak belajar banyak? Orang yang sombong, justru adalah orang yang kurang banyak belajar. Coba Saudara lihat cerita kungfu, siapa pendekar-pendekar yang sombong itu? Yaitu yang turun gunung kecepetan, yang ilmunya belum utuh tapi sudah tidak mau terima instruksi dari master-nya. Tapi lihat pendekar kungfu yang belajar sampai tua, yang jenggotnya sudah panjang baru turun gunung, mana ada lagi gambaran sombongnya, tangannya selalu di belakang dan baru keluar cuma kalau perlu. Saudara bukan harus datang ke PA kita sih, tapi saya mau Saudara pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, kalau Saudara tidak belajar Firman Tuhan dengan lebih, dari mana Saudara mau dibentuk menjadi karakter Kristiani yang rendah hati itu? Apakah Saudara mengejar pembentukan karakter yang datang lewat belajar, atau tidak?
Kembali ke contoh orang yang bertanya tadi, bayangkan kalau mereka bisa menangkap aspek kerendahan hati ini, gambaran multi-aspek ini, bahwa kita tidak cuma mengisi informasi tok tapi mengisi kebutuhan orang untuk mendapatkan gambaran Kerajaan Tuhan, gambaran seperti apa kerendahan hati dalam Kerajaan Tuhan, maka –oleh anugerah Tuhan– saya rasa ini akan menghindarkan mereka dari fenomena ‘datang demi nge-tes’ tadi. Kalau mereka melihat bahwa kita bukan cuma orang yang tahu tok, tapi juga ada kerendahan hati dalam pengetahuan –karena pengetahuan kita terbatas– sehingga waktu bicara dengan orang, kalimat yang kita katakan adalah: “setahu saya dan sejauh yang saya belajar, tapi saya juga bisa salah …”, maka mereka akan lebih datang untuk benar-benar mau belajar. Injil dan Firman Tuhan yang sejati tidak akan menghasilkan orang-orang yang duniawi –itu jelas– tapi Injil dan Firman Tuhan juga tidak akan menghasilkan yang sebaliknya yaitu orang-orang yang membenci dunia; Injil akan menghasilkan orang-orang Kristiani yang justru mengasihi dunia ini. Berbeda dari dunia tetapi mengasihi dunia, karena sama seperti Yesus, meskipun Dia beda, Dia mati bagi musuh-Nya, Dia mengatakan, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Inilah sebabnya dalam Gereja yang sejati tidak ada pemisahan antara ministry of the Word dan ministry of deeds. Gereja yang mengikut Kristus akan punya kemampuan untuk menyentuh masyarakat, lebih daripada gereja-gereja social gospel, karena Gereja seperti ini bukan cuma perbuatannya tok yang menarik tapi juga karakternya menarik. Kenapa karakternya menarik, terbangun, terbentuk? Karena belajar Firrman Tuhan, karena ada ministry of the Word. Keduanya tidak pernah terpisah.
Kembali ke Injil Markus; inilah bagian yang singkat padat tapi Saudara melihat kehidupan Kristus secara interior dan eksterior. Secara interior Saudara sudah melihat dalam kehidupan doa-Nya, makin sibuk Dia makin berdoa; ini logis karena esensi dari doa adalah untuk terus kembali mencicipi Allah alam semesta yang menjadi Bapamu. Secara eksterior, Saudara juga sudah melihat pelayanan Yesus yang multi-aspek, yang tidak cuma salah satu, karena pelayanan ini digerakkan oleh kuasa kasih, bukan kebutuhan untuk pamer, bukan kebutuhan untuk superior, bukan kebutuhan untuk jadi saviour, bukan kebutuhan untuk jadi orang yang kata-katanya adalah kata-kata yang terakhir dalam sebuah pembicaraan –tapi kasih. Pertanyaan terakhir: bagaimana kita bisa menjadi menyerupai Kristus yang seperti ini?
Kita bisa melihat 2 hal dalam bagian terakhir pembacaan kita ini. Pertama, kita melihat apa yang si kusta lakukan. Si kusta datang minta ditahirkan, kepada Tuhan. Ini sesungguhnya merupakan tindakan bunuh diri, resikonya luar biasa tinggi, karena orang kusta tidak boleh datang ke tempat orang normal. Yesus tentunya tidak sedang berdiri sendirian, Dia sedang dicari oleh orang banyak. Artinya, si kusta ini berlari –kalau pelan-pelan, dia bakal dicegat orang– dan dia berlutut di hadapan Tuhan di tengah-tengah banyak orang. Si kusta ini melanggar entah berapa banyak peraturan; dan nasibnya ada di tangan Yesus, karena kalau Yesus tidak mengatakan apa-apa, mungkin dia akan segera dilempari batu. Jadi tindakannya ini tidak main-main, ini ekstrim, ini benar-benar menyerahkan nyawa dan nasib. Tidak sampai di situ saja, yang lebih mencengangkan adalah apa yang kemudian si kusta katakan. Dia mengatakan: “Jika Engkau mau …”; dia tidak mengatakan, “Tuhan Yesus, ini saya sudah pertaruhkan hidup saya, kalau Kamu tidak lakukan sesuatu, saya bakal mati, Kamu harus menyembuhkanku; aku tidak mau menerima apapun yang kurang dari penyembuhan total”. Dia memercayakan dirinya kepada Yesus, dia tidak mendikte Yesus; ‘Engkau tidak harus melakukan ini, lakukan apa yang Engkau mau’. Tadi kita mengatakan bahwa kita tidak dipanggil untuk menyerupai orang kusta, tapi dalam hal yang ini, Saudara harus belajar dari dia. Banyak orang tertarik kepada Kekristenan lalu mulai tanya-tanya, ‘apakah jadi orang Kristen harus A, B, dan tidak boleh X, Y, Z’ –persyaratan maksudnya; tapi Saudara tahu, kita tidak bisa datang kepada Yesus seperti itu, kita hanya bisa datang kepada Dia dengan penyerahan diri, atau tidak sama sekali. Namun sebagai orang Kristen kita sering kali lupa dengan hal ini, bahwa dengan menyerahkan keputusan di tangan Yesus, si kusta ini sadar dia tidak tahu apa yang terbaik bagi dirinya.
Itu sebabnya dalam Gereja yang sejati, meskipun kita tetap boleh khotbah tematik seperti hari ini, secara mayoritas kita khotbah eksposisi, membahas Alkitab dari depan sampai belakang tanpa sensor dan tanpa pilih. Mengapa? Karena kalau hanya khotbah tematik sepanjang tahun, kalau Saudara lebih excited dengan seminar-seminar yang temanya relevan dengan pergumulanmu, itu berarti Saudara merasa tahu apa yang Saudara butuhkan. Pertanyaannya: di hadapan Yesus, bagaimana mungkin engkau tahu apa yang engkau butuhkan sebelum engkau belajar firman-Nya secara utuh? Itu sebabnya kita khotbah eksposisi, tidak pilih-pilih. Saya terima apa yang Tuhan berikan seutuhnya, saya tidak datang PA ketika temanya sesuai kebutuhan saya, ketika pembicaranya sesuai selera saya; saya datang ketika pembicaranya dan temanya membahas Alkitab –itu saja, tidak lebih daripada itu. Kalau Yesus adalah Allah dari segala realitas, saya harus menyerahkan hak saya dalam menentukan –inilah panggilannya. Kalau Saudara hidup seperti ini dalam masyarakat urban modern, Saudara akan jadi orang kusta, Saudara akan dijauhi masyarakat, Saudara dianggap kena kutuk. Ini caranya menjadi seperti Kristus, dengan mengakui ‘saya tidak bisa kenal diri saya sebelum saya kenal Dia’.
Hal kedua yang akan kita lihat di bagian terakhir, yang lebih penting, adalah melihat apa yang Yesus lakukan kepada orang kusta ini. Tadi kita sudah melihat bagaimana sentuhan/jamahan Yesus kepada orang kusta ini signifikan, tidak bisa dilewatkan begitu saja, tapi sesungguhnya ini lebih daripada yang kita bayangkan. Coba Saudara pikir begini: yang namanya jalan agama, dari dulu sampai sekarang adalah mengenai bagaimana kita jadi lebih murni. Menjadi lebih murni, berarti Saudara harus menjauhi yang kotor dan najis. Itu sebabnya sepanjang sejarah agama dunia, ketika yang murni bertemu dengan yang najis, maka yang murni ikut najis. Tetapi di dalam Injil Markus ini Saudara melihat yang berbeda. Di satu sisi, Yesus menjamah orang kusta lalu menyuruh dia pergi kepada para imam, mempersembahakan persembahan pentahiran sesuai dengan hukum Musa –karena urusan tahir bukan cuma urusan badan tapi juga sosial spiritual. Yesus peka dengan urusan sosial spiritual ini, Dia tidak mengatakan, “Ah, pokoknya sudah bersih, tidak usah pakai ini itu”; Dia percaya ini sesuatu yang tepat. Pertanyaannya: kenapa setelah Yesus menjamah orang kusta ini, Dia tidak ikut menemani si kusta pergi ke para imam untuk diperiksa juga, karena bukankah Dia menyentuh orang kusta?? Saudara mulai menangkap yang aneh di sini.
Yesus bukan tidak peduli dengan peraturan tersebut, tapi kenapa Dia tidak konsisten juga ikut ke para imam? Kesimpulannya: untuk pertama kalinya sepanjang sejarah agama dan sejarah dunia, inilah momen pertama ketika Yang Murni bertemu dengan yang najis maka yang terjadi malah yang najis ditahirkan. Kenapa bisa demikian? Jawaban standarnya: karena Yesus memang Juruselamat, Yesus bukan cuma guru moral, Yesus tidak datang sekadar menunjukkan jalan kepada Tuhan sementara Dia sendiri hanyalah manusia biasa yang juga butuh keselamatan. Kita sudah tahu itu; bahwa Dia adalah Jalan itu sendiri, Dia adalah pentahiran itu sendiri. Tetapi jawaban berikutnya akan hal ini, sesungguhnya di pasal pertama ini Markus sudah menyusupkan satu bibit mengenai rahasia pekerjaan Sang Mesias. Ayat 45: ‘Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.’ Saudara perhatikan, si orang kusta ini tidak menjalankan perintah Yesus, dia malah pergi, dia mengabarkan berita mengenai Yesus ke tempat-tempat ramai. Jadi, orang kusta pergi masuk ke tempat ramai; bagaimana dengan Yesus? Sebelumnya banyak orang mencari Yesus, sekarang lebih banyak lagi yang mencari-Nya, oleh karena itu Markus mencatat bahwa Yesus, gara-gara ini, harus tinggal di luar, di tempat-tempat yang sepi. Apa artinya? Inilah bibit awal dari pekerjaan Kristus yang kita lihat belakangan, ini pola substistusi.
Kenapa Yesus bertemu dengan orang najis, dan malah si najis yang ditahirkan? Karena Yesus mengambil tempat si najis, si kusta. Si kusta yang tinggal di tempat sepi, sekarang masuk ke tempat ramai; dan Yesus malah harus tinggal ke luar, ke tempat sepi, tempat orang kusta tinggal. Kita tahu ini bukan kebetulan, karena belakangan Markus mencatat, ketika Yesus disalib, Dia dibawa keluar gerbang kota, Dia dibawa ke tempat sampah, fisik-Nya dihancurkan, Ia dibuang secara sosial, dan Ia dianggap kena kutukan dari Allah. Paulus mengatakan di 2 Korintus 5:21, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” –substitusi.
Saudara mau punya kehidupan doa seperti Yesus, yang melihat Allah-Nya bukan sebagai polisi, bukan sebagai bos, tetapi sebagai Bapa yang begitu berkomitmen bagi anak-anakNya; bagaimana bisa tahu hal ini, apa buktinya? Yaitu karena Bapa ini telah menyerahkan Anak-Nya ganti dirimu. Saudara mau punya pelayanan keluar yang multi-aspek, yang digerakkan bukan cuma untuk mengisi kebutuhan informasi tok atau hanya menyentuh-nyentuh jiwa tok, pelayanan yang digerakkan oleh kasih; bagaimana bisa mendapatkan kasih seperti ini? Hanya dengan melihat kasih Yesus bagimu. Di atas bukit Golgota, Dia menukar diri-Nya denganmu.
Kiranya renungan hari ini menjadi satu firman yang mengarahkan kita tahun ini. Bukan cuma Minggu lalu kita tahu bahwa dalam badai terbesar dalam hidup kita, kita disertai Tuhan, tapi hari ini kita juga menyadari bahwa kita juga dipanggil untuk menyertai Tuhan, menyerupai Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading