Setelah di bulan Desember lalu kita melakukan perenungan siapa sesungguhnya Yesus Kristus yang kita nanti-nantikan dalam masa Adven dan Natal, maka hari ini dalam menghadapi hidup yang baru di tahun yang baru, kita mau merenungkan siapa diri Yesus Kristus yang telah datang ke dalam hidup kita. Kita sudah merenungkan mengenai Yesus Sang Pelayan, Yesus Sang Hadiah, dan Yesus Sang Raja; dan hari ini kita akan melihat mengenai Yesus dan kuasa-Nya. Kita perlu belajar akan hal ini, karena pengertian akan yang namanya ‘kuasa’, itu tidak pernah bersifat generik atau universal yang di mana-mana sama. Banyak orang menginginkan kuasa Yesus datang ke dalam hidup mereka, tapi setelah kuasa-Nya datang, mereka kecewa, karena ada perbedaan konsep dan ekspektasi antara kuasa yang diharapkan dan kuasa yang datang dari Tuhan Yesus –beda tipe/modelnya. Ini penting untuk kita renungkan dalam memasuki tahun yang baru, karena lagu-lagu yang dinyanyikan dalam tahun baru sering kali lagu-lagu yang bersifat doa minta kuasa, seperti “Tuntun aku Tuhan Allah lewat gurun dunia”, tapi pertanyaannya, sebenarnya bagaimana caranya Dia menuntun kita, kuasa model apa yang sedang menuntun kita, dan apakah kita siap untuk dituntun oleh kuasa seperti itu. Kita akan mempelajari hal ini dengan melihat satu perikop di mana ada orang-orang yang meminta kuasa Yesus, lalu medapatkan kuasa Yesus, tapi kemudian kecewa.
Poin pertama yang akan kita bahas adalah mengenai bagaimana cerita ini diceritakan/ disajikan. Aspek ini penting, karena tujuan khotbah di sini tidak pernah sekadar untuk Saudara mengerti apa isi Alkitab, tapi juga memperlengkapi dan melatih Saudara untuk bisa “melek Alkitab” sendiri (membaca Alkitab sendiri). Paulus dalam tulisannya pernah mengatakan, ada para gembala, para guru, para pengajar, para nabi dalam Gereja Tuhan, tapi tugas mereka bukanlah untuk menggantikan Gereja melainkan memperlengkapi Gereja, membangun Gereja, dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Ini satu hal yang harus dimulai dengan cara kita membaca Alkitab. Pendidikan seperti ini akan terjadi kalau kita bukan cuma membahas pesan dari suatu bagian, tapi juga dengan kita melihat bagaimana format suatu bagian Alkitab disajikan. Misalnya kalau Saudara mau belajar sulap, tentu tidak cukup dengan Saudara cuma melihat pertunjukan sulap, sebaliknya Saudara harus masuk ke back stage, Saudara harus mempelajari rahasia dan teknik-tekniknya, Saudara harus memperhatikan ketika tangan kanan pesulap mengeluarkan burung dari topi maka tangan kirinya sedang ngapain. Semacam itulah yang kita mau lihat dalam poin pertama pembahasan dari perikop ini.
Kalau Saudara perhatikan cara Markus menyajikan bagian ini, ada satu cara khas yang menarik. Kita tahu, Injil Markus adalah injil yang paling singkat dan padat dibandingkan dengan injil-injil yang lain. Namun, menjadi reduktif jika kita hanya mengerti Injil Markus sebagai injil yang paling pendek, karena ternyata di sisi lain Markus justru injil yang sering kali paling detail, bahkan kadang-kadang Injil Markus menulis banyak detail yang dilewatkan injil-injil lain yang lebih panjang. Misalnya cerita orang buta yang pernah disembuhkan Tuhan Yesus, yang bernama Bartimeus; catatan peristiwa ini kita dapatkan di hampir semua injil, tapi yang mencatat nama Bartimeus hanya ada di Markus.
Sekarang coba kita lihat ke dalam perikop yang kita baca, apa detail-detail khas Markus yang dia catat di bagian ini. Para pakar merasa bagian ini menarik, karena di satu sisi ceritanya singkat dan padat, tapi juga ada banyak detail, dan lucunya detail-detail ini seakan-akan detail yang tidak perlu, yang tidak krusial dan esensial bagi ceritanya. Ini paling gampang kalau kita bandingkan dengan narasi Perjanjian Lama, yang salah satu keunikannya adalah hampir setiap detail dalam cerita Perjanjian Lama selalu ada fungsinya, ada maknanya. Misalnya dalam pembahasan hakim Debora, dikatakan Debora memerintah sebagai hakim di pegunungan Efraim; ini detail yang bermakna, karena ternyata pegunungan Efraim adalah lokasi sentral Israel secara geografis. Juga dalam cerita mengenai Absalom, ketika dia diperkenalkan dalam 2 Samuel, cerita tersebut dimulai dengan memperkenalkan tokoh-tokohnya, dan urutannya bukan dimulai dengan Absalom, melainkan Amnon lalu Tamar, baru Absalom –jadi tokoh utamanya ditaruh di paling belakang. Tapi memang ceritanya bermula dari urusan Amnon dan Tamar, baru belakangan membahas apa yang Absalom lakukan. Urutan ini tidak dibuat sembarangan; inti konflik dalam cerita tersebut adalah bahwa Absalom (yang di urutan belakang), membenci Amnon (yang di urutan depan), adalah karena urusan Tamar (yang di urutan tengah). Betapa detail seperti itu pun dipikirkan dalam gaya narasi Perjanjian Lama, hampir setiap detail ada fungsi dan tujuannya.
Di dalam perikop Injil Markus ini, ada banyak detail tapi lucunya seperti tidak ada fungsi/maksudnya dalam cerita tersebut. Contohnya, kita diberitahu kapan kisahnya terjadi, yaitu ketika hari petang, tapi apakah urusan waktu ini belakangan muncul lagi sebagai sesuatu yang penting dalam kisah ini? Ternyata tidak pernah disebutkan lagi. Detail yang kedua, ada dikatakan satu hal –yang tidak muncul dalam Alkitab terjemahan LAI tapi ada di semua terjemahan-terjemahan bahasa Inggris– yaitu ketika Yesus dibawa masuk ke perahu tersebut, dikatakan Dia dibawa just as He was, mungkin maksudnya tidak pakai ba bi bu, tidak pakai ganti baju dulu atau segala macam, pokoknya naik perahu dan langsung jalan. Kira-kira seperti itu. Detail ini maksudnya apa, Saudara mungkin pikir ini tidak sembarangan ditulis, tapi ternyata sampai belakang pun tidak ada pay off-nya; bahkan mungkin saking LAI merasa ini detail yang tidak penting, bagian ini dilewatkan dalam terjemahan LAI. Anggaplah misalnya orang menulis tentang Hercules menghadapi naga, tentu tidak pernah diceritakan soal Hercules pakai baju yang itu-itu lagi, karena tidak perlu, tidak penting sama sekali, kecuali bajunya itu baju gaib, baju yang bisa menahan sepuluh ribu panah dan tahan api tapi bahannya fleksibel dan ringan, dsb. –ada fungsi/tujuannya dalam cerita tersebut. Itu sebabnya kita merasa aneh sekali ketika dalam Injil Markus ini ada catatan detail-detail yang tidak ada fungsinya. Perhatikan, Markus mencatat Yesus tidur di buritan; bahkan lebih detail lagi, Dia tidur di sebuah tilam/bantal (dalam zaman itu, ada kebiasaan orang taruh bantal di perahu yang disediakan untuk orang-orang bukan nelayan, supaya pantatnya tidak sakit karena belum terbiasa), lalu memangnya kenapa kalau Tuhan Yesus tidur di atas tilam tersebut, sampai akhir ceritanya pun tidak ada pay off-nya, tidak dikatakan misalnya waktu Tuhan Yesus meredakan badai, Dia mengatakan, “Dengan kekuatan bantal … “, dsb. Perhatikan juga, dikatakan bahwa selain perahu Tuhan Yesus ini, ada perahu-perahu lain menyertai; namun sampai akhir ceritanya, fokusnya hanya pada apa yang terjadi di atas satu perahu ini saja, dan tidak pernah ngomongin soal perahu-perahu lain itu. Lucu ya, Markus mengikutsertakan detal-detail seperti ini. Kita punya ekspektasi adalah kalau orang mau ceritanya singkat, dia cenderung akan membuang detail-detail yang tidak perlu, yang tidak ada poin untuk narasinya.
Kalau kita menulis cerita, kadang-kadang kita malah menambahkan detail-detail kayak begini, detail-detail yang tidak penting, demi membangun suasana. ‘Anto pergi di suatu hari yang panas, ketika matahari begitu terik sampai-sampai bayangan pohon di jalan lebih hitam daripada aspalnya, dan bagian yang kena matahari lebih terang daripada kilauan yang memantul dari permukaan emas’ –semacam itu, karena kita mau membangun atmosfir. Tapi ketika kita bercerita dengan menambahkan detail-detail seperti ini, adalah karena kita memang mau memanjang-manjangkan ceritanya supaya orang tenggelam dalam ceritanya. Sedangkan Markus, mencatat cerita yang sangat singkat, lebih singkat dari penulis-penulis injil lainnya, namun juga di sisi lain dia mencatat detail-detail yang seperti tidak penting ini. Pertanyaannya, kenapa? Satu kemungkinan, yaitu karena Markus seorang penulis yang bodoh –tapi kalau kita percaya ini, ya, kita tidak usah datang ke gereja. Lalu apa penjelasan yang lain? Yaitu sebagaimana para pakar mengatakan, bahwa mungkin karena catatan ini bukanlah sekadar cerita atau legenda, tapi ini merupakan ciri khas orang menuliskan sebuah memori. Detail-detail kayak begini muncul dalam catatan ingatan seseorang. Ini adalah satu petunjuk bahwa yang Markus tulis ini, perikop-perikop seperti ini, merupakan hasil dari ingatan seseorang, yang Markus selidiki dan kumpulkan menjadi satu tulisan. Tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan kenapa Markus mencatat detail-detail yang seperti tidak penting ini. Bahkan dibandingkan injil-injil yang lain, Markus sesungguhnya unggul, misalnya dia mencatat nama Bartimeus sementara injil-injil yang lain tidak, mungkin karena Markus sedang menyajikan injilnya sebagi catatan saksi mata. Markus mau mengatakan, bahwa ini semua sungguh terjadi, bukan legenda, bukan kisah buatan yang banyak bumbu-bumbu.
Hari ini orang sering kali menuduh Kekristenan itu mengada-ada, bahwa cerita-cerita Yesus cuma legenda yang dibesar-besarkan, cuma bumbu-bumbu buatan manusia, propaganda yang baru dipakai belakangan oleh Gereja untuk membela figur pemimpin sekte mereka, dsb.; tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya baru muncul di zaman modern. Di zaman awal mula Kekristenan (abad 1-2), orang-orang yang melawan Kekristenan tidak pakai argumentasi seperti itu. Baik orang Yahudi ataupun orang-orang pagan Romawi, ketika mereka menyanggah klaim Yesus sebagai Mesias, mereka hampir tidak pernah mengatakan cerita tentang Yesus itu palsu atau bikinan orang. Ketika menanggapi kisah Yesus membuat mujizat, mereka menyanggah ke-Mesias-an Yesus bukan dengan cara meragukan apakah kisah itu benar-benar terjadi, bukan dengan mempertanyakan kesejarahannya, tapi misalnya sebagaimana ditulis oleh Celsus (seorang penganut paganisme Romawi abad 2), dia mengatakan, “Tunggu dulu, Yesus waktu kecil pernah dilarikan ke Mesir, jadi Dia belajar ilmu guna-guna di Mesir, maka Dia bisa melakukan mujizat seperti itu” –argumennya bukan dengan menyangkal kuasa yang dimiliki Yesus, tapi membelokkannya dengan mengatakan Yesus melakukan itu dengan kuasa gelap. Kenapa demikian? Karena catatan injil adalah catatan saksi mata. Mujizat-mujizat yang Yesus lakukan, banyak saksi matanya. Tidak ada yang bisa menyanggah bahwa Yesus sungguh-sungguh pernah melakukan mujizat-mujizat tersebut, sehingga kalau para musuh-Nya mau menyangsikan Yesus, mereka harus cari cara-cara lain untuk membantah/ menyangkal ke-Mesias-an Yesus. Ini penting untuk kita ketahui, karena Saudara di sini dipanggil bukan untuk disuapi isi Alkitab tok, tapi diperlengkapi untuk bisa membaca dan mengerti Alkitab yang ada di hadapan Saudara. Selain itu, jika kita hari ini mau mempelajari mengenai kuasa Yesus dalam badai-badai hidup kita –dalam kita menghadapi tahun yang baru ini– maka kita perlu tahu dan percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh berkuasa atas bada-badai dunia ini, dan hal ini sudah terjadi, ada catatan saksi matanya, bukan sekedar legenda. Mungkin selama ini Saudara sudah percaya demikian, tapi sekarang Saudara jadi tahu bahwa iman Saudara bukan iman yang tidak berdasar. Inilah poin kita yang pertama.
Poin kedua, kita mulai masuk ke ceritanya sendiri, di sini kita mau melihat kuasa macam apa yang dibawa oleh Tuhan Yesus. Inilah perenungan kita hari ini. Kita semua tahu Yesus punya kuasa yang besar; tapi yang namanya perenungan, itu tidak pernah puas dengan sekadar yang ada di permukaan, kita perlu bertanya lebih lanjut, kalau kuasa Yesus ini besar, besarnya seperti apa, sebesar apa, modelnya kayak apa.
Ada beberapa hal yang kita bisa lihat dari cara Markus menggambarkan kebesaran atau model dari kuasa Yesus. Yang pertama, kita perhatikan bahwa Markus mencatat bahwa badai itu sendiri merupakan badai yang besar. Tahu dari mana? Karena dikatakan di sini para nelayan ketakutan. Danau Galilea memang sering terjadi badai karena letaknya di bawah permukaan laut dan dikelilingi gunung-gunung, sehingga angin di sekitar gunung-gunung itu dengan sangat cepat turun ke danau dan terjadilah angin yang kencang. Selain itu, di sekitar Danau Galilea ada lembah Sungai Yordan yang bersifat semacam celah sehingga angin yang datang dari gunung-gunung tadi dengan sangat cepat menuju ke celah ini, membuat di danau ini sering terjadi angin kencang dan badai. Jadi, kalau Saudara seorang nelayan di Danau Galilea, maka badai di Danau Galilea merupakan suatu kejadian yang sehari-hari, Saudara tidak bakal ketakutan menghadapinya. Di rumah saya, kalau buku-buku medis istri saya berserakan, saya kadang-kadang suka lihat ada gambar-gambar atau foto-foto pasien yang dijadikan studi kasus di buku-buku tersebut, dan saya ingin muntah melihatnya karena darah dan segala macam terlihat di mana-mana; tapi buat seorang dokter bedah seperti istri saya, itu biasa saja. Saudara bisa bayangkan kalau suatu hari saya ada luka di badan, dan istri saya melihatnya lalu dia ingin muntah, apa perasaan saya? Gila! badan gua sehancur apa ini, sampai dokter bedah pun ingin muntah?? Kita paling panik kalau dokter panik, bukan? Atau misalnya Saudara di pesawat dan sedang terkena turbulensi, Saudara takut, tetapi kalau pramugarinya masih tertawa-tertawa berarti aman; sedangkan kalau pramugari pucat pasi dan cepat-cepat cari seat belt, berarti bahaya sekali. Di bagian ini Markus menyajikan satu hal, bahwa nelayan pun menjadi takut, yang berarti badainya tidak main-main. Ini badai yang begitu besar dan luar biasa. Itu yang pertama.
Hal kedua yang bisa kita lihat di sini, Yesus dikatakan bangkit dari tidurnya, Dia menghardik, “Diam!” dan badai itu tenang. Di bagian ini, kata-kata yang keluar dari mulut Yesus bisa berbeda-beda antara satu terjemahan dengan lainnya; yang paling standar, NIV, menerjemahkan dengan, “Quiet! Be still!”, ESV mengatakan: “Peace! Be still!” –kesannya lebih anggun– sementara NASB seperti menidurkan bayi: “Hush, be still.” Dalam hal ini saya rasa terjemahan LAI yang terbaik, karena LAI memberikan kesan yang lebih kasar –dan memang demikian; dikatakan: “Diam! Tenanglah!” Inilah sesungguhnya cara Tuhan Yesus menghardik badai tersebut. Saudara perhatikan, di sini ada 2 kata; kata yang pertama menyuruh diam, lalu kata yang kedua sebenarnya bermakna ‘tetaplah diam’. Ini seperti bicara ke anak kecil yang ribut, “Diam kamu! Duduk!” –kira-kira seperti itu. Apa maksud Markus di balik catatan ini? Bahwa inilah kuasa Yesus yang mau dipelihatkan; waktu Yesus meredakan badai yang bikin para nelayan veteran ketakutan, Dia cuma mengatakan dua kata seperti kepada anak kecil. Dia tidak pakai ancang-ancang sedemikian rupa dulu lalu mengatakan, “Dengan ini saya akan … “; Yesus juga tidak pakai mengedipkan mata minta perhatian, “Lihat nih, habis ini badainya … “, dsb. Itu semua tidak ada. Cara penggambaran seperti ini, yang sekali lagi adalah catatan ingatan bukan bayangan seseorang, pada dasarnya berarti Yesus bukan sekadar punya kuasa, Saudara tidak bisa memisahkan kuasa tersebut dari diri Yesus. Ini bukan semacam kuasa yang Dia harus akses dulu, yang harus Dia charge dulu seperti Iron Man, dsb., yang bisa dipisahkan antara kuasanya dari orangnya; dalam diri Tuhan Yesus, yang kita lihat Dia mengatakan, “Diam! Duduk sana!”, selesai urusan. Ini berarti Markus melihat Yesus bukan cuma punya kuasa, Yesus adalah kuasa. Yesus hanya bangkit dan mengatakan dua kata seperti kepada anak kecil, lalu angin dan badai menjadi reda. Bukan cuma badainya reda, dikatakan juga danau itu menjadi teduh sekali. Kata ‘tenang/teduh’ ini dalam bahasa Yunaninya pakai istilah yang kita bisa langsung mengerti, yaitu galene, artinya tenang, sedangkan kata sebelumnya memakai istilah mega galene, artinya super tenang. Saudara perhatikan, kejadian ini juga bukan Yesus mengatakan, “Diam! Tenanglah!”, lalu 5 menit kemudian badainya berangsur-angsur mereda; kalau seperti itu, orang bisa pikir cuma kebetulan pas saja momennya. Dalam peristiwa ini bukan seperti itu kejadiannya; Yesus bicara, lalu serta-merta secara instan badainya reda, danaunya jadi super tenang. Ini berarti kita diperlihatkan kuasa Yesus yang beda level; kalau pakai istilah orang-orang gaming online, ini sudah OP (over powered), imba (imbalance), ‘gak level. Badai besar yang membuat panik para nelayan veteran, itu cuma jari kelingking bagi Yesus.
Ada hal ketiga yang kita bisa gali di sini –dalam hal tulisan Markus yang singkat tapi padat– bahwa bagi kacamata orang-orang zaman Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama (orang-orang di abad pertama, orang-orang Yahudi kuno) ada sesuatu dalam catatan ini yang kita orang modern tidak menyadarinya. Mereka tahu bahwa yang namanya badai dan lautan mengamuk, itu bukan cuma urusan tekanan udara atau dinamika fluida; bagi orang zaman itu tidak ada hal lain yang lebih mewakili ketidakberdayaan manusia dibandingkan badai lautan. Lautan dan badainya, bukanlah sekadar urusan cuaca; lautan dan badainya, adalah simbol dari kuasa chaos, kuasa chaos yang sudah dari awalnya itu (primordial) yang ditaklukkan Tuhan menjadi cosmos yang teratur waktu Tuhan menciptakan dunia ini. Itu sebabnya dalam Wahyu 21 pernah dikatakan dalam langit dan bumi yang baru tidak ada lagi lautan. Saudara jangan salah mengerti bahwa di langit dan bumi yang baru jadinya kering kerontang; kalau Saudara baca secara simbolik, alasannya dikatakan tidak ada lagi lautan adalah karena laut mewakili kuasa kekacauan, kuasa chaos yang primordial itu. Karena lautan mewakili kuasa chaos, maka dalam tradisi orang Yahudi satu-satunya figur yang bisa dan sanggup menenangkan lautan, yang sanggup berkuasa di atas lautan, hanyalah Allah. Itu sebabnya kita sekarang sadar, makna Israel dibawa menyeberangi Laut Merah adalah lebih dalam dari sekadar mendemonstrasikan kuasa Tuhan atas angin dsb.; ini mau menyatakan bahwa kuasa Tuhan bisa membawa Isarel masuk ke dalam hal yang bagi orang zaman dulu pasti berarti kematian. Melihat ini, Mazmur 29:3 mengatakan: “Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar.” Demikian juga ketika kita hari ini ke Perjanjian Baru melihat Yesus meredakan badai dan Laut Galilea, maka bagi orang-orang zaman itu, ini bukan sekadar demonstrasi kuasa yang besar yang lebih besar daripada badai besar yang bikin nelayan-nelayan veteran panik, melainkan ini tidak kurang dari sebuah klaim atas ke-Ilahi-an. Inilah hal yang ketiga.
Hal keempat yang bisa kita lihat dari cara Markus menyajikan seperti apa kuasa Yesus, adalah dengan melihat reaksi para murid. Perhatikan, sebelum kuasa ini dinyatakan, para murid datang membangunkan Yesus dan mereka mengatakan, “Guru, Kamu tidak peduli kalau kami mampus tenggelam?” Mereka merasa sebentar lagi akan tenggelam, dan mereka ketakutan. Mereka menghadapi badai dalam hidup mereka, dan mereka ketakutan. Yesus lalu muncul dan meredakan badai dengan kuasa-Nya. Lalu apa kira-kira yang terjadi berikutnya? Ayat 41: Mereka menjadi sangat takut. Lucu ya. Mereka takut sebelum diselamatkan, dan mereka menjadi sangat takut sesudah Yesus menyelamatkan mereka. Ini efek kuasa Yesus. Problem badai, memuat mereka cemas; solusi yang Tuhan berikan, membuat mereka kecemasannya bertambah-tambah. Kenapa mereka jadi tambah takut? Jawabannya simpel, sebelumnya mereka takut karena menyadari mereka berhadapan dengan sebuah kuasa yang besar, lalu setelahnya, mereka menjadi lebih sangat takut karena menyadari mereka berhadapan dengan kuasa yang lebih besar lagi, mereka sedang berada di hadirat Seseorang yang beda level, beda dunia. Mereka menyadari sedang berada di hadirat Sesuatu yang sungguh-sungguh kudus —sekali lagi, kudus di dalam Alkitab artinya ‘beda’, lain, tidak ada yang seperti ini. Jadi, sama seperti Musa, Yakub, Yesaya dan orang-orang lain sepenjang sejarah Israel, sekarang para murid gemetar menghadapi Allah, jauh lebih gemetar dibandingkan waktu menghadapi badai. Ini satu hal yang menarik untuk kita renungkan.
Sekali lagi, waktu Saudara meminta Tuhan memimpinmu dalam tahun yang baru, sadarkah Saudara kuasa macam apa yang Tuhan pakai untuk memimpin kita? Sadarkah Saudara bahwa terkadang solusi yang Tuhan berikan bisa lebih menakutkan dibandingkan problemnya? Sadarkah Saudara bahwa kuasa yang kita pakai untuk meredakan badai dalam hidup kita bisa jadi terasa lebih berat dan menakutkan dibandingkan badainya sendiri? Lucu ya. Itu sebabnya satu hal yang kita pelajari di sini adalah bahwa ketika kita masuk ke tahun yang baru sebagai seorang Kristen, itu bukanlah seperti begini: ‘O, saya masuk ke dalam tahun yang baru tanpa takut dan gentar karena saya punya Tuhan yang kuasa-Nya melampaui badai apapun’. Sepertinya bukan itu konklusinya, sebaliknya adalah: ‘Saya masuk ke dalam tahun yang baru dengan takut dan gentar’, tapi yang jadi pertanyaan, takut dan gentar terhadap siapa.
Kita lanjut dengan melihat bagian ini lebih dalam. Waktu Yesus tidur lalu para murid membangunkan Dia (ayat 37), perhatikan apa yang mereka katakan. Para murid tidak sekadar mengatakan, “Tolong, tolong”; mereka mengatakan, “Guru, Lu ‘gak peduli?!” –dan ini pertanyaan retoris, Kamu ‘gak peduli Tuhan?! Kamu ‘gak peduli kalau kami binasa, kalau kami mampus tenggelam?! Saudara lihat di sini, siapa sih yang tidak pernah merasakan seperti ini? Semua orang yang berusaha untuk hidup menjalani iman di dalam dunia ini, pasti pernah dan pasti akan terus merasakan seperti ini. Dalam hidup kita, sering kali kita merasa tenggelam, makin lama makin terpuruk, segala sesuatu rusak –dan Tuhan seperti tertidur, Tuhan seperti tidak sadar, Tuhan seperti tidak peduli. Murid-murid membangunkan Yesus, dan pada dasarnya mengatakan, ‘Kamu tidur di dalam jam ketika kami paling membutuhkan-Mu lho, itu berati Kamu tidak peduli, karena kalau Kamu mengasihi kami maka mana mungkin kami mengalami seperti ini, kalau Kamu mengasihi kami maka kami tidak akan tenggelam sebentar lagi seperti ini’. Dan, lihat repons Tuhan Yesus: Dia bangun, Dia menghardik dan menenangkan badai, Dia berbalik badan kepada para murid-Nya. Lalu apa yang Dia katakan? “Cup, cup, cup, sudah ya, popoknya sudah Papa ganti, sudah bersih sekarang, sudah dong nangisnya ya”; begitukah? Tidak. Tuhan Yesus berbalik badan dan mengatakan, “Kenapa kamu takut?” Apa?? Kenapa kami takut?? Pertanyaan macam apa itu?? Tapi memang demikian, Tuhan Yesus mengatakan, “Kenapa kamu takut?”, dan ini juga pertanyaan retoris, pertanyaan yang mengajak orang berpikir. Ada seorang rabi ditanya, “Pak Rabi, saya mau tanya, kenapa kalau orang tanya kepada para rabi, para rabi membalas dengan kembali bertanya?” Si Rabi lalu jawab, “Kenapa tidak boleh rabi menjawab pertanyaan orang dengan cara balas bertanya?” –begitulah jawaban para rabi. Saya pernah membagikan suatu kartun dengan 3 gambar; gambar yang pertama, orang berteriak kepada awan-awan, “GOD!!”, lalu gambar yang kedua, “Why me?!”, lalu gambar yang ketiga dari awan-awan balas menjawab, “Why not”. Inilah yang kita lihat di sini, ini pertanyaan retoris, pertanyaan yang mengajak berpikir, ‘Apa dasarmu mengatakan yang tadi itu, benar atau tidak sih dasarmu berpikir seperti itu, coba pikir! Kenapa kamu takut? Apakah kamu punya dasar untuk takut? Dasar argumentasimu salah, asumsimu salah, kenapa engkau takut, yaitu karena engkau pikir jika Aku mengasihimu, maka Aku tidak akan membiarkan badai masuk dalam hidupmu. Itu premis yang salah besar. Aku adalah Allah yang mengizinkan badai masuk ke dalam hidup orang-orang yang Aku kasihi. Aku adalah Allah yang bisa mengasihi seseorang, dan, tetap membiarkan mereka masuk ke dalam badai. Kalau kamu percaya itu, kamu tidak bakal takut.’
Saudara sekarang sadar kenapa mereka sangat takut? Kenapa mereka tambah takut setelah mendengar perkataan Tuhan Yesus? Yaitu karena mereka menyadari bahwa diri mereka tidak bisa mengontrol sesuatu pun dalam hidup mereka. Mereka sadar, mereka bukan cuma tidak bisa mengontrol badai-badai daalm hidupnya, mereka juga tidak bisa mengontrol Tuhan mereka –dan itu lebih menakutkan. Badai punya kuasa besar yang tak terhingga, tak terkontrol, itu benar; Yesus kuasanya lebih besar, mantap, tapi celakanya Yesus yang seperti ini juga tidak terkontrol. Kita tidak bisa setir Dia, kita tidak bisa suruh kapan Dia mau menghadirkan badai dan kapan Dia tidak menghadirkan badai. Inilah sebabnya menjadi orang Kristen, banyak dari antara kita –atau lebih tepatnya semua kita paling tidak di masa-masa awalnya– pasti kecewa berat. Itu memang musti kita hadapi, karena hampir semua dari antara kita –atau lebih tepatnya semua kita paling tidak pada masa-masa permulaannya– datang kepada Tuhan Yesus demi mengontrol badai-badai dalam hidup kita. Namun lewat kita berjalan bersama dengan Tuhan Yesus, beberapa kali kita kecewa dengan Tuhan karena ternyata bukan cuma badai yang tidak terkontrol, Tuhan kita juga tidak terkontrol. Tetapi Saudara harus tahu alasan di balik kekecewaan itu, yaitu bukan karena Tuhannya melainkan karena Saudara dan saya datang dengan ekspektasi yang salah terhadap Tuhan. Dalam hal ini, asumsi kita sering kali perlu dipertanyakan.
Sekarang kita masuk ke poin terakhir; jika demikian, kenapa kita harus mengikut Yesus yang seperti ini? Kalau ternyata minta pimpinan Tuhan berarti bisa masuk ke dalam badai-badai seperti ini, buat apa kita minta? Apa bedanya saya hidup sebagai orang dunia yang toh tetap akan kena badai –yang saya tidak bisa kontrol– dan saya berhadapan dengan Tuhan Yesus karena saya disuruh mengikut Dia, dan Tuhan Yesus lebih kuat daripada badai, dan Dia lebih tidak terkontrrol lagi daripada badai? Ngapain saya ikut Tuhan yang seperti ini?? Ngapain saya minta pimpinan Tuhan yang kayak begini?? Apa bedanya badai dengan Tuhan Yesus? Inilah poin yang ketiga; dan jawabannya adalah: beda. Yang pertama, sudah jelas beda skala kuasanya, sebagaimana kita sudah lihat sejak tadi. Yang kedua –ini lebih penting– yaitu: badai tidak mengasihi Saudara. Yesus punya kuasa yang tidak terkontrol, itu benar; tapi kuasa yang tidak terkontrol dan menakutkan ini adalah kuasa yang dipenuhi dengan kasih-Nya bagimu. Itulah bedanya.
Mungkin Saudara mengatakan, “Ah! ‘gak ngefek, Pak, beda kayak begitu! Saya maunya kalau kasih, ya berarti saya jadi enak hidupnya, sedangkan ini penuh dengan kasih tapi tetap badai; apa gunanya ngomong kayak begitu, wong tetap badai?? Tetap saja tidak terkontrol, menakutkan, besar sekali!” Saudara, sangat jelas bedanya. Perhatikan yang Yesus katakan kepada murid-murid-Nya: “Kenapa kamu takut?” lalu lanjutannya, Dia mengatakan, “Kenapa kamu tidak percaya?” Ini berarti, kalau kamu percaya, kamu tidak perlu takut. Kita mungkin berpikir, ‘Percaya apa, Tuhan? Bukankah kita sudah percaya sama Kamu?? Kita percaya Kamu adalah Tuhan yang besar, Tuhan yang kuat, itu sebabnya kita kecewa ketika Kamu mengirimkan badai ke dalam hidup kita!’ Saudara, satu hal yang menarik, alasan orang marah kepada Tuhan dalam hidupnya, bukanlah karena dia tidak percaya Tuhan, sebaliknya justru karena mereka percaya Tuhan. Mereka percaya Tuhan besar dan berkuasa untuk meredakan penderitaan-penderitaan ini, maka mereka marah kepada Tuhan ketika tetap ada penderitaan. Itulah asumsinya. Itu sebabnya orang-orang ateis ketika protes terhadap kejahatan, mereka mengatakan, “Mana bisa ada Tuhan yang baik, buktinya ada kejahatan” –meski lucu juga, karena kalau tidak percaya ada Tuhan maka tidak bisa bicara soal ada yang jahat dan ada yang baik. Ketika kita protes terhadap kejahatan, itu berarti kita tahu Tuhan harusnya mampu membereskan kejahatan –itu sebabnya kita protes. Logikanya mirip seperti orang berdoa kepada Tuhan yang berdaulat; banyak orang bingung untuk apa berdoa kepada Tuhan yang berdaulat karena kalau Tuhan berdaulat, maka Dia akan kerjakan apa yang Dia mau, sehingga kita berdoa pun tidak ada pengaruhnya. Tapi itu salah. Justru kalau Tuhan tidak berdaulat, ngapain Saudara berdoa kepada Dia –ini logika yang benar, karena kalau Tuhan tidak berdaulat, tidak ada gunanya minta pada Dia. Demikian juga orang yang marah kepada Tuhan atas penderitaan dalam hidupnya, itu bukan karena dia tidak percaya pada Tuhan, sebaliknya justru karena dia percaya kepada Tuhan. Dia percaya Tuhan cukup besar, cukup berkuasa –harusnya–untuk meredakan badai-badai ini, tapi Tuhan tidak melakukan, itulah masalahnya. Itu berarti saya percaya pada Tuhan ‘kan, tapi mengapa Tuhan Yesus mengatakan, “Kenapa kamu takut? Kenapa kamu tidak percaya?” Tidak percaya dari mana, Tuhan? Saya marah justru karena saya percaya! Jadi yang benar yang mana, Saudara? Tentu saja yang benar Tuhan Yesus. Masalahnya adalah karena kita cuma percaya satu sisi.
Kalau kita percaya Tuhan kita itu besar, sangat powerful untuk bisa berkuasa atas semua kejahatan, kerusakan, serta badai-badai dalm hidup kita, kenapa kita tidak percaya bahwa Tuhan ini adalah juga Tuhan yang cukup besar bijaksana-Nya sehingga Dia pasti punya alasan kenapa Dia tidak meredakan badai-badai tersebut? Kalau kita percaya satu sisi bahwa Tuhan itu besar kuasa-Nya, kenapa kita tidak percaya sisi sebaliknya bahwa Tuhan itu besar bijaksana-Nya, sehingga ketika Dia mengizinkan badai-badai dalam kehidupan kita, Dia punya alasan yang good enough —karena Dia Allah yang berbijaksana? Kenapa kita tidak percaya itu –inilah problemnya. Saudara tidak bisa pegang salah satu; kalau Saudara percaya Allah cukup besar, berkuasa besar, Saudara juga harus percaya Allah berbijaksana besar. Problem kita adalah karena kita cuma percaya salah satu. Murid-murid cuma percaya salah satu. Mereka pikir kalau Allah mengasihi seseorang, maka Dia tidak akan mengizinkan badai masuk ke dalam hidupnya. Ini salah. Allah bukanlah cuma Allah yang besar, tapi juga Allah yang berbijaksana, sehingga Allah ini bisa mengasihi seseorang, dan tetap mengizinkan bada masuk ke dalam hidupnya. Allah seperti ini bisa mengizinkan badai masuk ke dalam kehidupan seseorang, justru karena Allah ini mengasihi orang tersebut. Inilah yang kita perlu percaya.
Sekali lagi, ada beda yang besar antara cuma menghadapi badai yang tidak terkontrol, dengan menghadapi Allah yang tidak terkontrol. Badai dan Tuhan Yesus sama-sama berkuasa besar, itu benar; tapi hanya satu yang mengasihimu, hanya satu yang cukup berbijaksana untuk menentukan apa yang masuk ke dalam hidupmu. Itu sebabnya hanya satu tempat yang aman di bagian ini, yaitu di tangan Tuhan. Bukan karena tangan Tuhan kita itu sepoi-sepoi; tangan ini justru lebih berkuasa, lebih mengerikan, lebih tidak terkontrol daripada badai yang terbesar, tapi ini tangan yang mengasihimu. Dengan demikian ketika kita masuk ke tahun yang baru ini, kita justru masuk dengan takut dan gentar; tapi kita takut dan gentar kepada siapa, itu yang perlu kita tanya. Hanya Satu yang berhak menerima ketakutanmu dan kegentaranmu; dan alasan kita memilih untuk takut dan gentar kepada-Nya adalah karena Dia Allah yang berkuasa, dan Dia berbijaksana. Kalau Dia cuma berkuasa doang, Saudara tidak bakal mau takut dan gentar kepada Dia; tapi karena Dia berkuasa dan berbijaksana, maka Saudara takut dan gentar kepada Dia.
Saudara mungkin mengatakan, “Buktikan, Pak, bahwa kasih itu jelas ada, karena yang saya lihat cuma badai; dan kalau saya cuma lihat badai, tidak ada gunanya.” Di sini Saudara ingat kalimat para murid tadi: “Guru, Engkau tidak peduli jika kami binasa?! Engkau tertidur pada jam kami membutuhkan-Mu!” Pada poin ini, Yesus sebetulnya bisa menjawab, “Kamu cuma pikir Saya tidak peduli; tahu tidak siapa sebenarnya yang sungguh-sungguh tidak peduli, yang sungguh-sungguh tertidur?” Siapa? Belakangan Markus mencatat, di taman Getsemani para murid tertidur, tidak kuat menahan kantuk pada jam Yesus paling membutuhkan mereka. Saudara, ketika para murid membangunkan Yesus di dalam perahu, Ia meredakan badai; ketika Yesus membangunkan para murid di taman Getsemani, mereka kembali tidur. Ini bukan satu hal yang sekadar terjadi, melainkan simbol darri realitas yang kita lihat sepanjang masa, dan bagi semua orang, bukan cuma Petrus, Yohanes, dan Yakobus. Jika Tuhan mau, Dia bisa menudingkan jari-Nya kepada kita dan mengatakan, “Kamu sekalian tertidur terhadap-Ku sepanjang hidupmu!” Tapi Saudara lihat apa yang Yesus lakukan, Yesus di taman Getsemani tetap maju mengambil cawan yang disediakan Bapa. Demi siapa? Demi orang-orang yang tertidur dalam jam ketika Dia membutuhkan mereka. Dia tetap maju kepada salib, bagi orang-orang seperti Saudara dan saya. Saudara tadi minta buktinya? Inilah buktinya.
Saudara tidak bisa mengontrol kuasa Tuhan; dan tahukah Saudara kenapa ini adalah kabar baik? Karena ini berarti Saudara juga tidak bisa mengontrol kasih Tuhan. Ini berarti, kalau Saudara tidak bisa mengontrol kasih Tuhan, maka ketika Tuhan memilih untuk memberikan kasih-Nya kepadamu, Dia tidak mengasihimu demi sesuatu yang engkau lakukan bagi-Nya, yang meyakinkan Dia untuk menjalin relasi denganmu. Sama sekali tidak. Kita sering kali inginnya ada yang bisa kita kontrol, yang kita bisa tentukan kapan on, kapan off, serba jelas apa yang membuat Tuhan mengasihi dan apa yang membuat Tuhan tidak mengasihi, jadi gampang, dan kita yang kontrol. Tetapi itu mengerikan, Saudara. Jikalau kasih Tuhan tergantung kepadamu, siapa yang bisa bilang dirinya kuat untuk menjalin relasi dengan Tuhan seumur hidupnya? Tidak ada. Namun ketika Tuhan punya kasih dan kuasa yang tidak bisa dikontrol, maka berarti ketika Ia memilih untuk memberikannya kepada kita, itu sesuatu yang tidak tergantung pada diri kita, sesuatu yang kekal, everlasting, selama-lamanya. Inilah poinnya kita percaya kedaulatan Tuhan. Banyak orang mengira Calvinisme mengajarkan kedaulatan Tuhan untuk menghadirkan Tuhan yang mengerikan –memang ada sisi itu– tapi kedaulatan Tuhan diperlihatkan supaya Saudara tahu seberapa besar skala kasih-Nya kepada Saudara dan saya. Baiklah ini menjadi satu kekuatan dalam kita menghadapi tahun yang baru; Saudara ingat lagu itu, “With Christ in the vessel, we can smile at the storm”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading