Akhir tahun biasanya waktu untuk refleksi, untuk stock opname, apakah yang kita punya sesuai dengan apa yang kita pikir kita punya, apa yang sungguh-sungguh kita miliki dalam Tuhan, apa yang sungguh-sungguh adalah warisan dan panggilan bagi Gereja (Tubuh Kristus). Inilah yang akan kita bahas dalam khotbah hari ini.
Sebelum membahas ayat-ayat ini, kita perlu mengetahui lebih dahulu konteksnya. Surat 1 Korintus diperuntukkan bagi Jemaat Korintus, maka kita perlu mengetahui seperti apa Jemaat Korintus. Pada zaman kita, di mana teknologi komunikasi sudah berkembang begitu pesat, kita tentu ada pengalaman punya grup-grup reuni dengan teman-teman zaman kita di SD, SMP, atau SMA, mungkin itu di Facebook, Whatsapp group, dsb.; dan saya cukup yakin pengalaman kita dalam hal ini cukup universal. Pengalaman menariknya bukan ketika kita menemukan dulu teman yang ini pintar banget dan sekarang dia kaya raya, atau teman yang itu dulu malas-malasan lalu sekarang masuk penjara. Yang seperti itu tidak terlalu menarik, karena memang sesuai ekspektasi; yang menarik adalah ketika kita menemukan realitas hari ini yang menjungkirbalikkan ekspektasi kita, teman yang dulu malas-malasan lalu sekarang sukses besar dan mobilnya enam, yang dulu langganan juara kelas lalu sekarang hidupnya terlunta-lunta, atau mungkin yang dulu ngajarin ngomong kotor lalu sekarang jadi pendeta. Itulah yang menarik, ketika ekspektasi kita justru tidak terpenuhi, ketika realitasnya bertabrakan dengan yang kita pikir, entah lebih, entah kurang. Inilah juga pada dasarnya gambaran Gereja Korintus; Gereja Korintus adalah Gereja yang ada kontras besar antara bagaimana awalnya dan bagaimana belakangannya.
Mengenai bagaimana mulanya Gereja Korintus, catatan Lukas di Kisah Rasul 18 menunjukkan Jemaat Korintus amat sangat istimewa dibandingkan jemaat-jemaat lain yang Paulus dirikan. Korintus adalah tempat yang Paulus memiliki paling banyak rekan kerja yang beres. Di Korintuslah Paulus bertemu dengan Priskila dan Akwila; dan juga belakangan Timotius dan Silas. Bagaimana Priskila dan Akwila sampai bisa bertemu dengan Paulus di Korintus? Mereka orang Yahudi yang tinggal di Roma, lalu ketika itu Roma mengeluarkan dekrit mengusir semua orang Yahudi dari sana; dan dalam masa yang tepat seperti itu, dan juga dalam lokasi yang tepat, Priskila dan Akwila perginya ke Korintus lalu bertemu dengan Paulus di sana, sehingga kita tahu ini bukan kebetulan, ini tangan Tuhan. Korintus juga tempat Paulus mengeluarkan pernyataan bahwa dia mulai berhenti dan mengebaskan debu kaki terhadap orang-orang Yahudi karena ditolak terus-menerus, dan beralih kepada orang-orang Yunani, maka Korintus adalah tempat terjadinya ledakan Injil bagi bangsa-bangsa lain (namun ini tidak berarti Paulus tidak menemukan kesuksesan di tengah-tengah bangsa Yahudi, karena kita baca di Kisah Para Rasul, ketika Paulus ditolak oleh sinagoge setempat, Paulus menyewa tempat/rumah persis di sebelah sinagoge tersebut; dan selanjutnya banyak orang dari sinagoge tadi yang pindah ikut Paulus, termasuk Krispus, Kepala Sinagoge). Korintus juga tempat Tuhan sendiri mendeklarasikan firman kepada Paulus secara langsung, tidak seperti di tempat-tempat yang lain; Tuhan mengatakan kepada Paulus, “Jangan takut, Paulus; jangan tawar hati, tetaplah menginjli, karena banyak umat-Ku di tempat ini.”
Saudara bandingkan bagaimana Lukas mencatat sepak terjang Paulus di Korintus –di situ Paulus tinggal satu setengah tahun, di situ Paulus mengajar terus-menerus sampai ada ini dan itu, dsb.–sementara beberapa ayat selanjutnya di pasal yang sama (Kis. 18) Lukas mencatat Paulus pernah singgah di Efesus cuma dalam 2 ayat saja. Lalu ketika orang-orang Efesus minta Paulus untuk tinggal lebih lama, Paulus mengatakan, “Tidak, Tuhan tidak suruh sekarang; kalau lain waktu Tuhan suruh, mungkin aku akan tinggal, tetapi sekarang tidak bisa” –dan ceritanya langsung lewat begitu saja, beda sekali dengan Korintus. Bahkan Saudara menemukan dalam cerita di Korintus, Paulus begitu sukses sampai-sampai orang Yahudi melaporkannya ke pemerintah. Di bagian lain, waktu orang-orang yang tidak senang dengan Kekristenan melaporkan Paulus kepada pemerintah, biasanya pemerintah kota tersebut cepat bergerak, sampai bypass prosedur hukum, karena takut terhadap orang banyak; misalnya di Filipi, karena buru-buru mau menyenangkan massa, pemerintahnya bypass Hukum bagi Orang Romawi, padahal Paulus dan Silas warga Romawi. Tetapi di Korintus, waktu orang-orang Yahudi melaporkan Paulus kepada pemerintah, maka Galio, Konsul di Korintus, ternyata menolak dan membuang kasus ini mentah-mentah dari awal. Dengan demikian kita melihat pemerintah di Korintus juga pemerintah yang dipakai Tuhan.
Saudara lihat, Korintus mulanya adalah tempat di mana Tuhan benar-benar menyatakan tangan-Nya habis-habisan; lalu, setelah “renuni” beberapa tahun kemudian, Jemaat Korintus justru terkenal dengan apanya? Terkenal karena jemaatnya terpecah-belah, ada yang mengatakan “aku pengikut Petrus”, ada yang mengatakan “aku pengikut Paulus”, dan ada yang mengatakan –yang paling parah–“aku pengikut Kristus”. Jemaat Korintus terkenal sebagai jemaat yang mungkin theologinya tinggi tapi kerohaniannya paling bobrok. Mereka, saking insecure-nya satu dengan yang lain, maka kerjanya membanding-bandingkan siapa yang punya karunia roh paling hebat; dan saking sibuknya membicarakan ini, sampai-sampai ketika ada jemaat yang tidur dengan istri ayahnya sendiri, hal ini tidak digubris dan tidak dikenakan disiplin. Mereka lebih mementingkan hal-hal yang kelihatan spektakuler, seperti mukjizat, tanda-tanda, kecanggihan bicara, kedalaman berpikir, dst., dibandingkan apa yang terutama —demikian Paulus katakana— yaitu kasih. Inilah konteks Surat Korintus.
Paulus menulis Surat Korintus dengan tujuan menghadapi hal-hal tersebut. Ini adalah surat bagi sebuah Gereja yang besar, yang punya banyak talenta, yang sukses, yang sudah mapan, yang sudah tidak pusing urusan bagaimana beli gedung gereja baru atau bangun gereja baru, bagaimana mendapatkan IMB, dsb., karena semua sudah jelas. Ini Gereja yang akhirnya sudah begitu jauh dari potensinya; maka pesan Paulus bagi Gereja seperti ini adalah: kembalilah kepada Berita Salib, the message of the Cross. Inilah yang kita akan bahas.
Kita mulai dengan ayat 18, Paulus mengatakan: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Paulus memulai dengan menghadirkan, bahwa dalam situasi waktu itu –dan bisa dibilang sampai sekarang– ada perbedaan pendapat mengenai berita Salib, Injil Yesus Kristus. Ada orang-orang seperti kita di satu sisi, yang merasa berita ini sesuatu yang indah, baik, benar, berharga; dan di luar sana ada banyak orang yang berpikir sebaliknya, bahwa berita salib adalah sebuah kebodohan. Ini satu tema yang diulang berkali-kali oleh Paulus.
Apa contohnya dalam konteks hidup kita hari ini? Tidak usah jauh-jauh, Saudara pasti menemukannya di sekitar kita. Misalnya, dulu banget saya pernah satu waktu mengunjungi nenek saya, dan dia ini tinggal bersama paman saya. Nenek saya sangat respek terhadap orang Kristen, terhadap pekerjaan seorang hamba Tuhan, maka ketika dia tahu saya seorang hamba Tuhan, dia mengatakan, “Wah, kamu hamba Tuhan, baik-baik jadi berkat bagi orang lain, ya; pekerjaan hamba Tuhan itu sangat penting.” Begitulah nenek saya. Tetapi waktu paman saya angkat bicara, kelihatan sekali dia punya pendapat yang berbeda, kelihatan sekali dia merasa semua urusan Kekristenan cuma sebuah kebodohan. Dia mengatakan, “O, kamu hamba Tuhan, kamu akan jadi pendeta” –waktu itu saya belum pendeta. Dia lalu bertanya, “Jadi pendeta itu ada ujiannya ‘kan, ya? Ada ujiannya ‘kan?? –nadanya sudah tidak enak– “Nah, kalau ujian pendeta itu gampanglah ya, kamu tinggal jawab ‘kasih Allah, kasih Allah, kasih Allah’, pasti semua benar, ya ‘kan??” Saudara kalau dengar itu, rasanya ingin berekasi seperti apa? Saya ingat, waktu itu saya merasa, “Lu ngomong ‘kasih Allah, kasih Allah’, sebentar lagi gua akan ngomong ‘murka Allah’!”, karena jadi ingat ketika itu kita sedang mempersiapkan seminar di Harapan Indah yang judulnya mengenai murka Allah, sebab untuk mengerti kasih Allah, tidak bisa tanpa mengerti murka Allah, mengerti murka Allah dengan tepat maka baru bisa mengerti kasih Allah. Saya waktu itu ada perasaan ‘wah dihina nih; ‘gak bisa nih dihina kayak begini’. Saudara perhatikan, ketika ada perbedaan pendapat di dunia mengenai berita Salib Kristus, sering kali kita bereaksi seperti itu. Reaksi kita menghadapi dunia yang beda pendapatnya dengan kita mengenai Injil, sering kali sama dengan reaksi kita kalau kita dianggap bodoh oleh orang lain, yaitu: kita tidak terima. Salah satu motif terpenting dalam hidup orang Timur –dan orang Barat pun sama– yaitu kita tidak boleh dihina, kita tidak boleh dianggap bodoh! Hal ini caranya banyak macam.
Saya dulu di Melbourne belajar vokal; dan kalau belajar vokal, berarti Saudara belajar pelafalan berbagai bahasa, Saudara harus bisa menyanyi secara fasih dalam bahasa Perancis, Italia, Jerman, dst. Guru saya orang Jerman asli, maka dia sangat ketat terhadap pelafalan bahasa Jerman –yang saya tentunya belepotan. Orang Indonesia, kalau mengucapkan huruf U, cenderung ada ‘h’-nya; dan dalam bahasa Jerman ini fatal, karena istilah ‘und’ (‘dan’ dalam bahasa Jerman) kalau diucapkan ‘hund’ artinya berubah, artinya jadi ‘anjing’. Jadi kalau orang Jerman mendengarkan saya nyanyi, mereka bingung kenapa banyak ‘anjing’-nya –kira-kira seperti itu. Itu sebabnya saya dikritik dan dikoreksi terus-menerus oleh guru saya karena tanpa sadar habit saya itu terus-menerus muncul, dan lama kelamaan saya juga frustrasi. Akhirnya guru ini memberikan analisa begini: “Saya perhatikan kamu ada beberapa masalah; huruf U selalu kamu ucapkan dengan ada ‘h’, huruf B selalu kamu ucapkan dengan ada ‘m’, huruf D selalu kamu ucapkan dengan ada ‘n’”. Waktu dia memberikan analisa demikian, saya baru sadar ternyata itu sebabnya, karena memang kebiasaan orang Indonesia cara berbahasanya seperti itu. Jadi saya kemudian menjelaskan kepada dia, “Begini lho, orang Indonesia itu bahasanya kayak begini begitu, jadi mengertilah sedikit kenapa kita ngawur-ngawur kayak begini.” Menurut Saudara, apa respons guru saya? Mungkin kita pikir kalau orang Indonesia akan bilang, “O, begitu, ya okelah, saya ngerti, ‘gak apa-apalah, belajar pelan-pelan”; tapi guru saya orang Jerman, dan dia mengatakan, “Kamu mengatakan begini, maksudnya apa?” Saya bingung. Lebih parahnya lagi, dia mengatakan, “Kamu datang kemari mau ngapain? Kamu jauh-jauh datang dari Indonesia, kamu mau belajar yang benar ‘kan?? Sekarang saya beritahu kamu yang benar, kamu terima itu dan perbaiki, tidak usah banyak alasan. Apa tujuannya kamu make excuses seperti ini, kamu mengharapkan saya mengatakan ‘O, begitu, ya sudahlah, terus saja dalam kesalahan yang sama’?? Tidak bisa kayak begitu! Kamu datang ke sini belajar, kamu harus belajar yang benar dan berani berubah; kalau kamu tidak mau belajar seperti ini, silakan pulang ke Indonesia!”
Kembali ke pembahasan kita, intinya adalah: apa sih yang jadi tujuan kita, waktu kita membela diri seperti itu? Apa sih yang jadi tujuan kita ketika kita tanya jalan ke orang lain, lalu sebelum dia bicara, kita sudah mengemukakan disclaimer lebih dulu, bahwa kita ini rumahnya jauh, bahwa kita bukan orang daerah sini, bahwa kita orang baru di sini maka tidak tahu jalan, dst.? Apa yang jadi tujuan kita, ketika pagi-pagi kita sebagai liturgis atau song leader mau latihan bersama pianis lalu yang jadi pianisnya Pendeta Jethro, dan sebelum saya bicara apa-apa, kita sudah ngomong, “Pak Jeth, saya ini baru sembuh sakit leher; Pak Jeth, seminggu ini saya sibuk sekali, tidak sempat latihan”; apa tujuan di balik itu? Tujuan kita simpel saja, kita mau orang mengerti bahwa kita tidak sebodoh atau sejelek atau semalas yang orang pikir. Kita tidak mau orang lain bicara di depan atau di belakang kita, bahwa apa yang kita percaya itu kebodohan. Kita tidak mau itu; dan a sering kali hal tersebut juga masuk dalam Kekristenan kita.
Saudara mungkin mengatakan, “Ah, tidak begitulah, Pak, dalam Kekristenan bukannya banyak orang-orang yang bisa mengakui kebodohan mereka dengan lugas; di Gereja banyak yang seperti itu.” Memang benar, di Gereja banyak; mereka mengatakan, “Pak, jangan khotbah yang susah-susah, saya cuma lulusan SMA; Pak, tolong kasih bahan yang enak-enak dan gampang, saya cuma ibu rumah tangga”, namun Saudara jangan pikir ini kerendahan hati.
Dulu ada film tentang Eminem, judulnya “8 Mile”. Ceritanya mengenai seorang rapper yang baru masuk kancah dunia rap, diperankan oleh Eminem sendiri. Dia lumayan berbakat, tapi dia harus membangun nama dan reputasi melalui yang namanya “rap battle”, yaitu nge-rap dengan seorang rapper tandingan di atas panggung. Isi rap-nya adalah Saudara secara spontan hina-hina lawanmu, dan dia hina-hina Saudara, sementara penonton menikmati. Begitu hinaannya menusuk, penonton akan tepuk tangan. Banyaknya tepuk tangan menentukan kemenangannya, dan kalau si lawan sampai tidak bisa ngomong apa-apa, maka dia kalah. Demikianlah rap battle. Diceritakan dalam film ini, Eminem mulai maju, dan maju, dalam underground seperti itu, sampai akhirnya dia berhadapan dengan seorang rival yang setiap kali bikin dia kalah lagi, dan kalah lagi. Klimaks dari film tersebut adalah pertempuran terakhir Eminem dengan orang ini, dia merasa pasti bakal kalah lagi, lalu dia pikir bagaimana caranya supaya bisa menang, dan akhirnya dia dapat ide jenius. Saudara tahu dia ngapain? Rap itu saling hina, maka Eminem yang mendapat giliran lebih dulu, mengatakan, “Lu mau hina gua? Gua akan hina diri gua sendiri. Kamu pikir kamu tahu apa yang busuk dalam diriku? Aku akan bongkar, dan itu lebih busuk daripada yang kamu pikir! Semua gua beberin, gua suka begini begitu, begini begitu, begini begitu, semuanya hancur! Ayo, sekarang kamu mau ngomong apa lagi??” Rapper lawan tidak bisa ngomong apa-apa lagi, semua sudah dibeberkan; dan Eminem pun menang. Itulah jeniusnya film tersebut.
“Jadi ada juga ‘kan, Pak, orang-orang yang dengan lugas mau mengakui kebodohan mereka, koq.” Tidak, Saudara. Saudara lihat, ini ujungnya sami mawon. Kenapa dia rela dianggap bodoh, yaitu karena inilah caranya menang di atas orang lain, karena inilah caranya membungkam orang lain. “Saya jelek, memang saya jelek! Tapi saya ‘gak jelek-jelek amat, karena toh sadar diri saya jelek –maksudnya ‘gak kayak lu”; bukankah demikian, Saudara? Ujungnya sama saja. ujungnya kita tidak mau dianggap bodoh. Saudara lihat, betapa ini kengerian dari pola manusia berdosa. Jadi, kalau kita mau membereskan hal ini, mau tidak mau kita harus mulai dengan mengakui lebih dulu bahwa hal ini juga terjadi dalam hidup kita, dan sering kali kita bawa dalam Kekristenan kita, bahwa yang kita rasa paling penting dalam Kekristenan, adalah supaya Kekristenan tidak dianggap bodoh oleh dunia!
Di dalam Natal pastinya Saudara banyak bertemu dengan keluarga yang sudah lama tidak bertemu, yang Saudara tidak terlalu kenal, dsb., lalu bayangkan kalau dalam family dinner tiba-tiba ada yang minta Saudara menceritakan/bersaksi, sebenarnya apa sih yang kamu percaya dalam Kekristenan. Bagaimana kalau Saudara diminta seperti itu? Langsung ada tekanan, bukan? Tapi tekanannya muncul karena kita tahu, kalau kita bicara soal Kekristenan di depan orang-orang tersebut, pasti ada yang mendengarkan sambil memicing, pasti ada yang dengar sambil senyum-senyum sumringah. Itu sebabnya dalam situasi demikian, tekanannya bukan untuk bagaimana memenangkan hati orang, melainkan —sadar atau tidak sadar— tekanannya adalah soal bagaimana saya membela harkat martabat Kekristenan di hadapan orang lain! Kemudian sebagai orang Reformed kita mulai putar otak, apa yang saya pelajari selama ini, lalu tiba-tiba ingat hamba Tuhan di GRII pernah ngomong seperti ini: “Kalian harus tahu ya, negara-negara yang sistem ekonominya berasal dari Calvinisme, ekonominya lebih beres, etos kerjanya lebih baik!”, “Kalian harus tahu ya, Kekristenan itu bukan mistik-mistik yang selama ini kalian lihat di televisi dsb.; tidak seperti itu, yang main feeling tok. Kekristenan yang asli sangat sejalan dengan akal sehat, ada theologinya, ada filsafatnya; ada systematic theology-nya, yang kalau kamu sekarang belajar, tidak tentu kamu bisa langsung ngerti, perlu waktu!” “Kalian semua percaya dengan keyakinan agama lain; dan agama-agama lain ada moralitas masing-masing. Sekarang buktikan, moralitas mana yang lebih tinggi daripada moralitas Yesus Kristus!” Kita mungkin mengatakan seperti itu, atau kepingin ngomong seperti itu, karena kita tidak mau dihina.
Kita percaya Kekristenan bisa mendatangkan kehidupan yang lebih shalom, bisa mendatangkan ekonomi dan relasi keluarga yang lebih sehat; kita tahu Kekristenan bukan sesuatu yang bodoh, Kekristenan begitu dalam secara pemikiran. Itu semua benar, tapi yang jadi poin di sini, saya ingin Saudara berhadapan dengan hatimu, kenapa kita ada tekanan untuk mengatakan semua itu? Sering kali tujuannya bukan demi memenangkan hati mereka yang mendengar, melainkan ujungnya demi kita sendiri, demi keegoisan kita, yaitu kita tidak mau orang lain pikir yang namanya mengikut Kristus itu kebodohan. Kita maunya Kekristenan dianggap dunia sebagai sesuatu yang wise, smart; bahwa semua orang yang cukup pintar dan cukup waras, kalau mendengar Injil, dia akan tahu itulah the right thing, hal yang benar, sehingga dengan demikian kalau kamu tidak mau jadi orang Kristen, ya, problemnya di kamu. Kita inginnya kayak begitu. Tapi pertanyaannya, apakah itu sungguh Kekristenan yang sejati? Kalau waktu saya berhadapan dengan paman saya itu, saya langsung hajar dengan memperlihatkan sisi murka Allah, sisi Kekristenan yang tidak boleh dihina, saya tahu satu hal bahwa sesungguhnya tujuan semua itu bukan urusan dia jadi percaya atau tidak percaya, melainkan urusan saya dihina atau tidak dihina.
Kembali kepada Surat Korintus, mari kita lihat apa yang jadi reaksi Paulus. Ketika Paulus memulai dengan mengatakan ada perbedaan pendapat di dunia ini mengenai Salib dan Injil Kristus, apa kalimat dia selanjutnya? Paulus tidak mengatakan, “Hai kamu, orang-orang Kristen, jangan terima dibodoh-bodohin, ya; jangan terima dipermalukan oleh karena imanmu, ya; harus belajar Apologetika baik-baik, ya; perlihatkan betapa Kekristenan sudah menghasilkan seberapa cabang dan gedung-gedung gereja yang megah-megah berisi seberapa banyak kursi, ya. Itu yang harus kamu katakan!” Tidak demikian, Saudara. Paulus malah bereaksi sebagaimana yang tadi Saudara baca, yaitu dengan mengakui blak-blakan di ayat 23, “Memang koq, kami memberitakan kebodohan dan batu sandungan” –itu yang Paulus katakan. Saudara, mulailah melihat bobot sesungguhnya dari kalimat Paulus ini, yaitu dengan kata lain Paulus sedang menantang orang-orang di Korintus –dan menantang kita juga– untuk menyadari satu hal, bahwa detik Saudara menjadi orang Kristen di dunia ini, itu akan membuatmu terlihat bodoh dan goblok di mata dunia! Bisakah Saudara menerima hal itu? Paulus sedang mengakui dari awal dan menerima hal ini. Paulus bereaksi seperti ini karena dia tahu, bahwa yang namanya “dianggap bodoh masyarakat oleh karena iman kita” itu sama sekali tidak menarik, makaPaulus mengonfrontasi kita akan hal ini.
“Tunggu, tunggu, Pak, tapi Paulus tidak berhenti sampai di situ ‘kan??” Memang benar tidak berhenti sampai di situ, tapi lanjutannya bukan Paulus lalu mengajarkan Jemaat Korintus, “Begini ya, caranya untuk mengubah pendapat dunia, caranya untuk membuktikan bahwa Kekristenan tidak bodoh dsb. adalah dengan … “; lanjutannya justru Paulus pada dasarnya mengatakan, “Kalau kamu tidak mau menerima Salib dan Injil sebagai kebodohan dan sebagai batu sandungan, kamu akan kompromi dengan dunia.” “Hah?? Tunggu, tunggu, Pak, logikanya bagaimana? Kita dibilang ‘bodoh’ oleh dunia, lalu kita tidak terima penilaian itu, lalu ini namanya kompromi dengan dunia?? Terbalik rasanya. Bukankah kita dibilang ‘bodoh’ oleh dunia, lalu kita melawan dong; jadi kompromi dari mana? Justru kalau kita dibilang ‘bodoh, goblok’ lalu kita ‘iya, iya’ saja, itu namanya kompromi; sedangkan kalau kita tidak terima dibilang ‘bodoh’, masakan kita kompromi??” Benar, kompromi. Logika Alkitab selalu terbalik.
Saudara perhatikan, kalau Saudara tidak terima dianggap ‘bodoh’ oleh dunia, apa yang kemudian kita lakukan? Kita akan berusaha membuktikan ‘Kekristenan tidak bodoh’ –tidak bodoh menurut mata siapa? Kita berusaha membuktikannya atas dasar standar dari mana? Dunialah yang melihat kita bodoh, maka tindakan kita lalu mengajak dunia untuk melihat ‘ternyata Kekristenan tidak bodoh ‘kan’; pertanyaannya, standar siapa yang kita pakai di sini, bukankah cepat atau lambat kita beralih menggunakan standar dunia?? Jadinya, apa yang dunia kejar sebagai ‘pintar’, apa yang dunia nilai sebagai ‘bodoh’, itulah yang kita pakai untuk menghadirkan Kekristenan, “Nih! Kekristenan ternyata begini, tidak bodoh ‘kan?!” Inilah justru komprominya. Ketika Saudara tidak terima dianggap bodoh ini, itulah justru komprominya.
Paulus menunjukkan yang terjadi di dalam Gereja Korintus, ada dua jalan kompromi, yang masuk secara bersamaan. Jalan yang pertama, Kekristenan yang kompromi dengan Yudaisme; “Orang Yahudi mengejar tanda-tanda.” Jalan yang kedua, Kekristenan yang kompromi dengan Yunani; “Orang Yunani mengejar hikmat pengetahuan.”
Yang pertama, kompromi dengan Yudaisme. Orang Yudaisme mencari tanda-tanda, ini berarti mereka mencari Allah yang always online. Saudara perhatikan, Kekristenan ada kecenderungan kompromi ke arah sini, kita menghadirkan ke hadapan dunia:“Lihat nih, saya orang Kristen, hidupku selalu dipenuhi campur tangan Tuhan! Hari demi hari sejak aku percaya Kristus, aku bisa melihat bagaimana Tuhan hidup dalam hidupku. Hidupku selalu smooth, hidupku tidak pernah ada sakit-penyakit, karena Tuhan ikut campur dalam hidupku!” Ini Kekristenan kompromi; kompromi dengan Yudaisme yang mencari tanda-tanda. “Kalau aku mau curhat, aku tinggal telepon kepada Bapa di surga, urusan selesai”, itulah Kekristenan yang kita lihat hari ini.
Saudara, ini bukan cuma problem Gereja seberang, ini problem kita juga, karena kalau ini bukan problem kita, saya tidak ada gunanya membicarakan ini di tengah-tengah kita. Misalnya dalam pembacaan Alkitab bertanggapan di gereja kita, biasanya setelah pembacaan Mazmur, liturgis cari satu ayat yang bisa diulang; pertanyannya, kalau Saudara jadi liturgisnya, pernah tidak Saudara ambil yang ayat pergumulan untuk diulang? Seumur-umur saya di Gereja Reformed, saya tidak pernah mendengar liturgis mengulang ayat yang pergumulan, saya selalu mendengar ayat yang resolusi. Pak Billy, dalam seminar yang banyak dihadiri orang Kharismatik radikal, kadang-kadang salah satu kritik terhadap lagu-lagu kontemporer Kharismatik yang mereka katakan ‘kita biblikal, kita ambil dari Mazmur’, adalah dengan mengatakan: “Mazmur yang mana? Mazmurnya sepanjang sekian, pergumulannya sekian dan penyelasaiannya sekian, lalu kamu cuma ambil dari bagian penyelesaiannya saja, kamu tidak bicara pergumulannya; itu bukan mengutip Alkitab, itu cuma main comot dari Alkitab, dan itu tidak benar.” Namun sering kali dalam hidup kita juga sama, waktu kita baca Mazmur, baca Alkitab, bagian mana yang kita ingin pegang, yang kita ingin ulang-ulang, yang kita ingin baca berkali-kali? Selalu bagian yang resolutif dan bukan bagian yang pergumulan. Itu sebabnya kita pun sama saja; kita kepingin Allah yang always online, Allah yang on demand –kayak Netflix. Coba bayangkan, kenapa kita kepingin ini? Yaitu karena kalau kita bisa menghadirkan Allah yang seperti ini di hadapan dunia, maka kita tidak akan dianggap bodoh. “Lihat nih, Allahku, always online! Butuh apa, tinggal minta langsung dikasih” –bukankah tidak akan ada yang menertawakan agama yang seperti ini? Itu sebabnya kita ingin agama yang seperti ini. Tetapi ini adalah agama yang kompromi, ini bukan Kekristenan; dan kita harus akui, kita kepingin yang seperti itu.
Dulu, Pendeta Ivan Kristiono pergi KKR Regional ke Kupang; dan di situ dia diberikan satu sesi yang harus berhadapan dengan 20.000 anak SD. Saudara bisa bayangkan, KKR Regional itu sulit karena harus bicara kepada anak-anak; tambah sulit karena harus bicara ke anak-anak SD; dan tambah sulit lagi ketika harus bicara ke anak SD yang jumlahnya banyak. Seratus anak SD, mampuslah Saudara; tapi sekarang ini ada 20.000, bagaimana menenangkannya?? Pak Ivan bingung, namun dia naik juga untuk berkhotbah; dan anak-anak SD itu semuanya diam, tenang, mendengarkan sampai habis. Apa yang terjadi, koq, bisa kayak begini?? Setelah turun, Pak Ivan baru mengerti alasannya karena dia melihat yang guru-guru katakan kepada anak-anak tersebut. Begitu ada satu anak mulai gelisah atau ngobrol, gurunya langsung tepak, “Hai, Kamu! Anak setan! Kamu lihat, itu hamba Tuhan di sana, kalau kamu berani lawan dia, nanti pulang langsung kamu sakit perut!” Ternyata itulah yang dikatakan guru-guru, dan semua anak percaya, maka mereka diam, tenang, luar biasa terkontrol. Saudara, kita kepingin yang kayak begini. Bayangkan kalau waktu saya dihina paman saya itu lalu saya mengatakan, “Paman, setelah saya pulang, 20 menit kemudian Paman akan mencret-mencret, dan mencretmu tidak akan berhenti sampai engkau berdoa minta ampun kepada Tuhan”, dan hal tersebut benar-benar kejadian, maka apa yang terjadi? Tidak akan ada yang berani menertawakan Kekristenan, tidak ada yang berani mengatakan Kekristenan kebodohan. Tapi itu bukan Kekristenan! Saudara lihat, ini adalah jalan kompromi, kita kepingin Allah yang always online seperti ini. Dan ini bukan cuma problem gereja seberang, ini problem setiap Saudara dan saya.
Kompromi yang kedua berbeda, ini kompromi yang mungkin kita lebih bisa mengakui sebagai problem kita, yaitu kompromi dengan Yunani –karena orang Yunani mengejar hikmat dan pengetahuan. Bagi orang Yunani, Allah yang always online itu tidak menarik, menurut mereka itu justru allah yang rendahan, bukan allah, cuma pembantu –mirip retorikanya dengan … Lalu mereka mengatakan, Allah yang benar itu ada jarak, maka kita bisa objektif; Allah ini bisa jadi objek pelajaran kita, kita bisa mempelajari Dia, kita bisa melihat ada begitu banyak yang keren mengenai Allah ini, maka kita bisa belajar filsafat dari Allah ini, theologi dari Allah ini, dan segala macam dan segala macam dari Allah seperti ini. Inilah kompromi yang kedua; dan bukankah Saudara lihat ini juga adalah jalan yang sering kali diambil oleh Kekristenan?
Dulu saya pernah cerita mengenai dua orang theolog, yang satu liberal dan yang satu lagi lebih konservatif; mereka berdebat mengenai kebangkitan Yesus, apakah kebangkitan Yesus benar-benar historis atau tidak, benar-benar bangkit secara tubuh dan jiwa dari kubur atau tidak. Theolog yang konservatif mulai lebih dulu, dia membicarakan segala macam bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit dari kubur secara tubuh dan jiwa; bagaimana bisa melawan ini?? Demikianlah dia lalu mempersilakan Theolog Liberal angkat bicara. Kita biasanya menganggap Liberal itu jahat, kita suka ‘setan-setan’-in mereka, bahwa mereka tidak percaya kebangkitan, tidak percaya mukjizat, dsb. Theolog Liberal itu kemudian mengatakan, “Sudahlah, kita tidak usah bahas itu semua, kita bicara satu poin saja; saya tidak percaya kebangkitan Yesus secara tubuh itu historis, sedangkan kamu percaya, sekarang saya mau tanya satu hal: apa yang ada di dalam hidupmu, yang tidak ada di dalam hidupku? Itu saja.” Saudara, susah sekali menjawab pertanyaan seperti ini. Saudara lihat, orang-orang Liberal –sekali lagi, kita suka ‘setan-setan’-in mereka– adalah orang-orang yang sangat peduli dan memperjuangkan keadilan sosial, mereka membela hak para janda dan anak yatim; sedangkan orang-orang Konservatif pusing-pusingin soal kebangkitan secara historis, pusing-pusingin soal penciptaan itu berapa jam, berapa hari, dsb., tapi somehow tidak membaca bahwa Allah mereka mengatakan “Akulah pembela para janda dan anak yatim”, somehow bagian yang itu tidak diperjuangkan sebanyak orang-orang konservatif ini memperjuangkan urusan soal ‘enam hari penciptaan’. Memalukan.
Saudara lihat, inilah kompromi jenis kedua, di mana Allah dalam Kekristenan yang seperti ini bisa didiskusikan, bisa ditelaah, tapi ngaruh-nya apa dalam hidupku itu lain cerita. Impersonal. Ini Allah yang eksis bukan dalam hidupku, melainkan dalam buku-buku systematic theology dan kelas PA. Mengambil distingsi yang sangat terkenal dari J.I. Packer, ini bukan pengenalan akan Allah, ini hanyalah pengetahuan akan Allah; knowing God versus knowing about God. Jadi sebenarnya allah dari gereja-gereja seperti ini bukanlah Allah, melainkan kekaguman akan doktrin-doktrin. Inilah agama yang akan membuatmu merasa lebih cerdas; bahkan saya pernah mendengar sendiri dari mulut seorang hamba Tuhan GRII, yang mengatakan kepada seorang pemuda: “Ikut GRII, tinggal di sini satu dua tahun, lu bakal jadi lebih pintar, kalau lu dengar khotbah gua terus-menerus satu dua tahun” –demikian yang dijanjikan. Saya bukan menyangkal hal itu, dan sudah pasti saya tidak bilang kalau Saudara dengar khotbah maka Saudara jadi lebih goblok; tetapi, bukan itu yang terutama. Jadi kenapa kita memperjuangkan Kekristenan yang seperti ini?? Yaitu karena seperti Saudara lihat, tawarkan Kekristenan yang seperti ini, maka dunia tidak akan menganggapmu bodoh! Itulah dua jalan kompromi.
Kembali ke 1 Korintus, Gereja Korintus ada dua kecenderungan seperti ini. Di satu sisi, orang Korintus jatuh ke dalam obsesi akan karunia Roh. “O, kita punya banyak sekali karunia; di sini kebaktian spesial bukan cuma waktu Paskah atau Natal, kita punya kebaktian spesial setiap Minggu, pertunjukan mukjizat sana sini, bahasa roh setiap hari!” Di sisi lain, dalam Gereja Korintus juga ada kebalikannya, obsesi dengan kecakapan bicara. “Ah, Paulus itu siapa?? Tidak ada kecakapan bicaranya, tidak ada kemutakhiran berpikirnya, tidak ada doktrin-doktrin yang pintar dan susah dan jelimet yang makin tidak mudah makin keren, dsb.” Dan, di balik dua arus ini, ada apa? KOMPROMI. Kompromi kepada dunia. Saudara jangan pernah pikir mereka yang urusannya mukjizat tok yang kompromi kepada dunia; Saudara dan saya juga ada bahaya besar seperti ini. Lalu apa yang terjadi pada Gereja Korintus? Mereka adalah Gereja yang mungkin paling menjanjikan di awalnya, Gereja satu-satunya yang Paulus pernah katakan “Kalian tidak kekurangan satu pun karunia rohani”, namun karena kompromi maka akhirnya mereka kehilangan semua potensi yang mereka punya. Ini Gereja yang awalnya kita mungkin lihat sebagai Gereja yang paling sukses, tapi setelah reuni beberapa tahun kemudia,n kita melihatnya sebagai mereka yang hidupnya terlunta-lunta.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Kenapa bisa mati di lumbung padi seperti ini? Dari mana kuasa yang sejati, dan seperti apa kuasa yang sejati yang harusnya menjadi kehidupan bagi Gereja? Sekali lagi, kuncinya ada di ayat 18 dan 23-24. Ayat 18: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Ayat 23-24: “kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” Inilah yang Paulus katakan. Inilah kekuatan/kuasa Allah yang sesungguhnya, inilah hikmat Allah yang sesungguhnya, yaitu dari Salib, dari kematian.
Dalam klimat theologi zaman sekarang, kita melihat ada beberapa orang konservatif yang mengatakan theologi orang Protestan terlalu kebablasan dalam hal Salib, dan kurang membicarakan Kebangkitan. Dalam hal ini, kita bisa setuju di satu sisi; di sisi lain, sebenarnya tidak demikian juga. Misalnya, ada perbedaan antara salib orang Katolik dengan salib orang Kristen, salib orang Katolik ada Yesus-nya yang tergantung sedangkan salib orang Kristen tidak ada (ini salah satu yang seringkali dijadikan perbedaan, meski bukan berarti orang Katolik tidak percaya kebangkitan); penekanannya adalah bahwa memang orang Kristen secara historis sebenarnya sangat menekankan kebangkitan. Tetapi, sama seperti kalau kita menekankan kematian tanpa kebangkitan adalah salah, demikian juga menekankan kebangkitan tanpa kematian pun sama salahnya. Di berbagai bagian lain, ketika Paulus meng-intisari-kan berita Injil, itu mengikutseratkan kebangkitan, kebangkitan, kebangkitan; namun di 1 Korintus waktu dia merespons Jemaat Korintus dengan meng-intisari-kan berita Injil, dia tidak menyebut kebangkitan, dia hanya mengatakan “Kristus yang tersalib itu yang aku beritakan”. Ini satu hal yang menarik. Kenapa demikian? Sudah pasti karena seluruh harapan kita adalah pada apa yang Yesus lakukan di atas kayu salib, sedangkan di luar itu, semua jalan buntu. Namun demikian, saya rasa alasannya Paulus menekankan ini di hadapan Jemaat Korintus, bukanlah cuma urusan apa yang Yesus lakukan, melainkan karena bagi Paulus –dan juga bagi Calvin—Saudara tidak boleh membicarakan Kristus, Sang Kepala, tanpa membicarakan Tubuh-Nya. Dalam Kekristenan, dalam theologi Paulus, dalam theologi Calvin, yang tersalib bukan hanya Yesus Kristus, tapi Saudara dan saya yang disatukan di dalam Dia juga dipanggil untuk tersalib bersama dengan Dia, menderita bersama dengan Dia. Inilah hak khusus orang Kristen! Saudara lihat, karena Gereja Korintus itu Allah mereka always online mengutamakan apa yang spektakuler, atau juga Allah yang abstrak yang bisa diketahui tapi mungkin tidak dikenal namun membuat aku jadi mutakhir dan kelihatan pintar dan kelihatan baik di mata orang, maka Paulus mengingatkan kepada mereka, bukan cuma Kristus telah tersalib, tapi bahwa mereka –kita, orang Kristen– telah disatukan kepada Kristus, kita adalah tubuh Kritus, dan oleh karena itu kita juga disalib. Ini penting. Inilah identitas orang Kristen.
Ada satu ayat yang aneh, yang Saudara perlu dengarkan baik-baik dan baca pelan-pelan, yaitu Kolose 1:24; Paulus mengatakan, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Paulus mengatakan, karena aku menderita, maka penderitaanku menggenapkan apa yang kurang dalam penderitaan Kristus. Kita rasa aneh, hah, jadi penderitaan Kristus kurang?? Iya Saudara, penderitaan Kristus kurang; kurang bukan dalam arti tidak cukup untuk menyelamatkan Saudara dan saya, melainkan kurang dalam arti belum genap, belum utuh, masih ada tambahannya. Tambahannya apa? Yaitu bukan cuma Sang Kepala yang menderita, tapi Tubuh-Nya pun harus menderita bersama dengan Dia. Hak khusus Kekristenan bukanlah cuma kita disatukan dalam kebangkitan-Nya, tapi juga disatukan dalam penderitaan-Nya! Saudara lihat, bukankah ini satu hal yang kita sudah dengar berkali-kali, namun sampai hari ini pun engkau dan saya mendengar hal ini tetap bingung ‘kan, tetap merasa aneh!
Dalam Filipi 3 Paulus mengatakan, “Aku ingin menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” Saudara mau dapat kebangkitan, mau dapat kemuliaan dari Tuhan, mendapatkan kelepasan? Saudara tidak mungkin disatukan dalam kebangkitan Tuhan jikalau Saudara tidak disatukan dalam kematian, dalam penguburan-Nya, dalam penderitaan-Nya, karena orang bangkit, tentu harus mati ‘kan, kalau tidak mati, mau bangkit dari mana? Dalam 2 Korintus 1:5-6 Paulus mengatakan, penghiburan dari Kristus hanya bisa lahir melalui penderitaan dalam Kristus. Luther mengatakan, “Bukankah kemuliaan Allah yang tertinggi hadir justru dalam kerendahan yang paling rendah?”
Apa contohnya dalam kehidupan kita hari ini, menderita bersama-sama dengan Kristus? Contoh sederhana saja, bukan soal mati martir di ujung sana ditombak orang-orang yang sedang dijangkau para misionaris –itu sudah pasti, tapi bukan cuma itu —yaitu dari hal-hal kecil, mengenai bagaimana kita menghadapi penderitaan-penderitaan dalam hidup ini, itulah momen-momen di mana kita dipanggil bersekutu dalam penderitaan bersama dengan Kristus. Ambil contoh dari urusan parenting. Kalau Saudara punya istri/suami tapi belum punya anak, Saudara belum benar-benar tahu apa artinya berkorban; waktu Saudara punya anak, Saudara baru benar-benar tahu apa artinya pengorbanan (minta maaf, tapi saya harus mengatakan ini). Waktu Saudara punya istri/suami tapi tidak punya anak, itu pada dasarnya surga, setiap hari pacaran, semua uang bisa Saudara pakai bebas untuk apa yang Saudara ingin beli. Tapi waktu punya anak, tidak bisa; semua itu tersedot ke anak, bahkan sampai-sampai anak itu menyedot keluar hal-hal dari dirimu yang Saudara tidak tahu itu ada. Saya sempat ngobrol dengan Pendeta Agus Marjanto, dia tanya, “Bagaimana rasanya punya anak?” Saya pikir-pikir, lalu saya mengatakan, “Kayaknya punya anak itu membongkar keluar hal-hal yang saya tadinya tidak tahu bahwa itu ada, hal-hal yang baik maupun yang jelek.” Saya tidak tahu bahwa saya suka anak-anak, sampai saya punya anak. Saya pikir saya benci anak-anak, apa sih mereka itu, lari-lari, teriak-teriak, dan saya tidak suka. Begitu punya anak, jadi lain, ternyata ada sisi itu yang saya tidak tahu; namun ada juga sisi kejelekan, sisi keegoisan, di mana saya rasa ‘kenapa sih saya harus mengorbankan ini buat anak, kenapa makhluk ini menyedot begitu banyak dari hidupku yang harus kuserahkan buat dia’. Ada banyak hal yang keluar, yang baik, dan yang jelek juga. Anak menyedot semuanya, yang kita sudah ada pun disedot, yang kita pikir kita tidak ada pun disedot keluar. Itulah namanya punya anak.
Tapi saat ini saya baru merasakan punya bayi yang bagaimanapun masih lucu, sementara orang-orang juga cerita, “Nanti anak lu akan jadi remaja; dan suatu hari dia akan minta sesuatu yang kamu dan semua orang waras tahu hal itu membahayakan dia, maka kamu akan menolaknya. Lalu apa yang anak itu akan lakukan? Anak itu akan mengatakan, ‘Papa Mama, tidak sayang sama saya! Papa Mama tidak pernah melakukan apa-apa bagi saya! Papa Mama membenci saya dan cuma mau memenjara saya! Aku juga benci Papa Mama!’” Itulah yang anak-anak remaja katakan. Orang-orang yang sudah mengalami, tahu kayak apa sakitnya; yang belum mengalami pun tahu sakitnya kayak apa, karena ini kalimat yang paling tidak adil. Tidak pernah melakukan apa-apa buat kamu? Membenci kamu? Ya, ampun, Nak, siapa sih yang meresikokan nyawa untuk melahirkan kamu, siapa yang buang mimpinya demi kamu? Mungkin kami bukan orang tua yang sempurna, tapi mengatakan bahwa kami tidak pernah berbuat apa-apa bagi kamu, itu sangat menyakitkan. Ini momen ujian bagi orangtua; apa yang orangtua lakukan dalam momen seperti ini, menguji apakah mereka orangtua yang baik atau tidak.
Ada tiga pilihan. Pilihan pertama, ya sudahlah tutup diri, mundur, “Memang lu anak durhaka, terserah lu mau bagaimana; biar pun mati saya tidak peduli” –dan kita sudah pasti akan kehilangan anak ini, entah dia mati gara-gara perbuatannya atau dia pergi. Pilihan yang kedua, kita mendekat dan balas pukul, kita recycling kebencian yang masuk lalu kita balik hantam keluar. “Kamu mau memaki saya, saya akan maki kamu”, dan kita pasti menang karena kita jauh lebih berpengalaman –dan hasilnya juga sama, kita akan kehilangan dia karena kita menghanncurkan dan menyakiti hatinya. Jalan yang ketiga, kita bukan pergi, kita justru datang. Kita datang bukan untuk memukul balik, melainkan untuk menyerap kebencian dan kemarahan anak ini, dan kita mengatakan kebenaran dengan lembut. Kita datang dengan pisau bedah, membuang kebodohan tanpa membuang si bodoh, menyembuhkan penyakit tanpa membunuh si sakit –inilah ilmu bedah. Bagaimana kita bisa berkuasa menghadapi penderitaan seperti ini? Saudara harus mendengar berita bahwa Yesus Kristus telah melakukan lebih dulu semua itu bagimu. Itulah Tuhan kita.
Sejarah mengatakan, satu-satunya kali Tuhan membuka diri-Nya kepada kita, kita membunuh Dia, kita marah kepada Dia, kita mengatakan, “Kalau Engkau sayang kepadaku, kenapa Engkau tidak memberikan aku ini dan itu, kenapa Engkau mengambil hal-hal yang aku rasa aku butuhkan??” Ketika Allah datang, kita mencaci maki Dia, kita meludahi Dia, kita memukul Dia, dan kita akhirnya menyalibkan Dia. Lalu apa yang Tuhan kita lakukan dalam diri Yesus Kristus? Dia tidak pergi, dan Dia juga tidak menyerang balik; Dia menyerap dan menyerap, sampai Dia mati. Kristus bukan cuma menerima serangan dan makian kita yang tidak sepantasnya ini, Dia juga menerima cawan dari Allah Bapa, cawan murka Tuhan yang sepantasnya jadi bagian kita.
Waktu Saudara melihat apa yang Kristus lakukan bagimu ini, Saudara sedang melihat the message of The Cross, berita Salib. Lalu apa yang muncul di hatimu? Bukankah ada di antara Saudara yang hatinya bergetar, bukankah ada di antara Saudara yang mulai bisa melihat dan menangkap ‘bagaimana bisa, kemuliaan yang tertinggi justru datang dalamkehinaan dan penyaliban dan penderitaan’ ? Inilah kuasa berita Salib, kuasa dari berita Kristus yang tersalib. Bukankah kuasa ini yang sekarang bekerja juga meyakinkan kita? Dengan demikian, ketika kita sekarang dipanggil untuk menderita bersama dengan Kristus, itulah juga kemuliaanmu. Ketika kita hidup bukan untuk diri kita, ketika kita hidup bukan untuk memperjuangkan apakah kita kelihatan pintar atau tidak di mata orang lain, ketika kita hidup rela menderita dan dianggap bodoh demi orang lain diselamatkan, itulah namanya bersekutu dengan penderitaan Kristus, menderita seperti Krisus menderita.
Penginjil Ronald Oroh, pembina saya waktu remaja, pernah cerita dia satu kali bertemu dengan teman masa kecilnya, reuni. Temannya itu mengatakan, “Koq, lu bisa jadi hamba Tuhan sih? Dulu ‘kan kita busuk banget.” Lalu apa respons Penginjil Ronald Oroh? Dia tidak mengatakan, “Eh, lu jangan sembarangan ya, Tuhan kita tidak sembarangan. Gua jadi hamba Tuhan, itu harus belajar bertahun-tahun! Ada pelajaran dasar theologinya, sekian banyak SKS, makan waktu 4 tahun theologinya tok! Lalu ada masa prakteknya, ada yang setiap weekend, ada yang setahun. Kita juga harus masuk asrama, dan sengaja dimasukkan sekamar dengan orang-orang yang kepribadiannya beda sama kita, yang jorok bersama yang bersih, yang cerewet bersama yang diam, dst. Kita ini dituntut harus bisa dinamis, tidak tunggu nyaman baru gerak. Tiba-tiba bisa disuruh Humas KKR pergi keluar, dan harus jalan! Kita ‘gak kayak gereja-gereja lain, yang ngomongnya doang pendeta, tapi cuma belajar beberapa bulan langsung jadi pendeta. Kita ‘gak seperti itu; jangan sembarangan kamu ngomong!” Itu bukan respons Penginjil Ronald; responsnya adalah: “Oh, kamu rasa saya busuk? Saya jauh lebih busuk daripada yang kamu tahu. Jadi jangankan kamu yang bingung lihat saya jadi hamba Tuhan, saya pun bingung, koq saya bisa jadi hamba Tuhan. Tapi itulah yang Tuhan kerjakan dalam hidupku.” Saudara lihat bedanya respons Penginjil Ronald Oroh dengan Eminem? Eminem membongkar kebodohan diri demi menang di atas orang lain, demi membungkam orang lain; Penginjil Ronald Oroh menerima diri sebagai bodoh, demi memenangkan orang lain. Saudara, justru momen-momen kita merasa paling dekat dengan Tuhan –bukan dekat dalam gaya ‘always online’ tadi melainkan dekat dalam arti ‘ya, ampun, saya baru ngerti inilah isi hati Tuhan, seperti inilah karakter Tuhan’– bukankah itu momen-momen di mana kita sedang menderita karena kebenaran? Momen-momen ketika kita rela menderita, demi orang lain bisa mendapat kebaikan, bisa diselamatkan. Momen ketika kita rela menyerap caci maki si anak remaja, karena kita tahu ini satu-satunya jalan untuk menyembuhkan dia dari kebodohannya tanpa menghancurkan dia sendiri. Itulah kuasa penderitaan dari Salib Kristus.
Saudara, ini bukan urusan mukjizat dan penyertaan minggu demi minggu; dan juga bukan urusan kecanggihan berpikir minggu demi minggu. Bukan! Tapi bahwa kuasa Tuhan kita dalah kuasa Salib Kristus! Kuasa yang membuat Tuhan naik ke atas kayu salib. Dia bukan melakukannya untuk punya hubungan dengan Allah yang always online, Dia datang justru untuk diputuskan hubungannya dengan Tuhan. Dialah Allah yang ketika naik ke atas kayu salib, Dia tidak melakukannya supaya kelihatan pintar, kelihatan mutakhir; Dia melakukannya justru jadi kelihatan begitu lemah, begitu gagal, begitu kelihatan seperti anti klimaks, seorang kriminal yang disalib, dibunuh seperti seorang perampok! Kenapa? Karena bagi Allah kita, ini satu-satunya cara untuk membinasakan dosa dan maut, tanpa membinasakan si pendosa. Kalau Saudara melihat cinta Tuhan yang seperti ini, apa sih artinya pengakuan dunia –inilah kuasa dari Salib Kristus.
Aplikasinya, kita masing-masing perlu bertanya dan menggumulkan jawabannya di hadapan Tuhan: apa yang Tuhan mau engkau dan saya melayani dalam penderitaan? Apa yang Tuhan mau engkau dan saya kerjakan melalui pengorbanan dan pikul salib? Saudara perlu mengerti, bahwa narasi pelayanan di Gereja, yang alkitabiah, bukanlah Saudara semakin lama semakin menemukan pelayanan yang cocok denganmu, dengan jadwalmu, dengan keinginanmu, dengan orang-orang yang cocok denganmu. Tidak! Narasi pelayanan di Gereja, yang kita tahu sungguh ada penyertaan Tuhan, pelayanan yang sungguh berkuasa, yang diingat Gereja sepanjang zaman, yang diceritakan lagi dan lagi, yang menjadi kekuatan bagi banyak orang Kristen, itu cerita apa? Itu adalah cerita pelayan-pelayan yang rela tekun menjalani pelayanan-pelayanan yang mereka bergumul, yang tidak nyaman bagi mereka, yang mereka rasa tidak ada talenta, yang berhadapan dengan orang-orang yang tidak menyadari potensi mereka, berhadapan dengan orang-orang yang personality-nya bentrok dengan mereka. Itulah cerita yang menjadi kekuatan bagi banyak orang Kristen, itulah kuasa Salib Kristus. Saudara-saudara perlu refleksi, pelayanan-pelayanan yang engkau ambil selama ini di tahun 2023, itu pelayanan-pelayanan yang seperti ini atau tidak? Dan, untuk tahun 2024 nanti, apa janjimu di hadapan Tuhan, pelayanan-pelayanan seperti apa yang engkau mau ambil? Ini bukan cuma pergumulan Saudara, tapi juga saya. Apa bagian kita dalam hal ini, apa tanggung jawab dalam hidup kita yang kita ambil demi orang lain dan bukan demi diri kita, inilah berita Salib, kuasa Salib.
Saya tutup dengan mengingatkan kembali mengenai riset dari Andrew Walls yang studi mengenai lokasi geografis agama-agama di dunia. Agama-agama besar di dunia muncul di satu tempat lalu menyebar, namun lokasi geografis tempat munculnya, sampai hari ini tetap jadi strong hold mereka. Misalnya agama Islam mulai di Semenanjung Arab, dan Mekkah jadi strong hold-nya, lalu menyebar ke seluruh dunia; dan sampai hari ini lokasi tersebut tetap jadi strong hold-nya. Demikian pula agama Hindu di India, agama Budha di Tibet, dst. Ada satu agama yang lain sendiri, yaitu Kekristenan, yang bukan muncul di satu tempat lalu menyebar dan tempat munculnya tetap jadi strong hold-nya, melainkan seperti lompat-lompat. Mulai di daerah Palestina, lalu pindah ke Antiokhia –dan di Palestina mulai mati. Dari Atiokhia lalu pindah ke Konstantinopel –dan di Antiokhia mati. Dari Konstantinopel pindah ke Jerman –dan Konstantinopel-nya mati. Dari Jerman pindah ke Eropa dan Inggris, lalu Amerika –dan Eropa mulai mati. Berikutnya dari Amerika mulai pindah ke Asia dan Afrika, dan yang di Amerika mulai menurun. Saudara lihat, tidak ada strong hold-nya. Waktu Andrew Walls ditanya, kenapa kayak begini, dia mengatakan, karena inti Kekristenan adalah Salib; dan Salib selalu urusan kisah menyerahkan kekuasaan dan bukan mempertahankan, Salib adalah mengenai menyebar sumber daya dan bukan menimbun, Salib adalah mengenai melayani keluar. Walls melihat, justru ketika Kekristenan menolak untuk mati, menolak untuk melayani keluar sehingga yang lain bisa hidup lebih daripada dia, ketika Kekristenan bercokol di suatu tempat dan mulai meraih kuasa politik dan mendapatkan harta yang banyak, maka berita mengenai dosa dan anugerah dari Salib cenderung jadi pudar atau sirna sama sekali dari tempat itu, dan akhirnya kaki dian berpindah dari sana. Kalau kita menyadari sejarah seperti ini, maka naiknya Kekristenan di Asia dan Afrika jangan Saudara rayakan sebagai bukti berkat Tuhan bagi Asia dan Afrika. Ini harus Saudara baca dalam kacamata theologi Salib, bahwa ini adalah undangan dari Tuhan kepada Asia dan Afrika untuk bersekutu dalam penderitaan Salib Kristus. Bagi siapa? Kita tidak tahu habis ini pindah ke mana; tapi kita tahu satu hal dari sejarah Gereja, bahwa Gereja yang terus memegang kuat-kuat kaki dian, justru Gereja yang kehilangan kaki dian; Gereja yang ada kuasa kebangkitan, justru adalah Gereja yang rela bersekutu dalam kematian.
Akhir tahun, masa refleksi, masa stock opname, apa yang ada dalam gudangmu selama ini? Apa yang menjadi narasimu selama ini sebagai orang Kristen? Dan, apa yang akan menjadi narasi hidupmu di tahun yang segera akan datang ini?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading