Pertanyaan pertama:
Menurut pandangan Reformed, bagaimana seorang Kristen tahu dalam diri seseorang memiliki kuasa Allah? (kalau dari pandangan lain, ini dibuktikan dengan karunia Roh Kudus).
Response:
Kira-kira sama Saudara. To a certain extent dalam pandangan Reformed tentunya bahwa seseorang memiliki kuasa Allah, itu tidak dibuktikan –mungkin bukan ‘dibuktikan’ bahasa yang kita akan pakai– namun kuasa Allah yang bekerja dalam diri seseorang memang ditunjukkan dengan adanya karunia Roh, ada atau tidak adanya buah Roh dalam hidup seseorang. Tuhan Yesus sendiri mengatakan, dari buahnya kamu mengetahui pohonnya. So, ini bukan satu hal yang beda dalam Teologi Reformed.
Namun demikian, pertanyaan yang mungkin kita perlu bahas adalah: apa persisnya karunia Roh itu, apa persisnya buah Roh itu, karena beberapa pandangan yang lain memilih untuk menyempitkan perspektif mereka hanya dalam beberapa karunia saja, misalnya karunia bisa berbahasa roh atau karunia bisa menyembuhkan, dsb. yang jadi tanda terutama atau tanda satu-satunya bahwa seseorang mempunyai karunia Roh Kudus dalam hidup mereka. (Kalau Saudara mau kembali meneliti mengenai karunia Roh, ada ringkot mengenai karunia Roh Kudus, mengenai buah Roh, yang Saudara bisa buka dari website kita, khotbah tanggal 2 Oktober 2022; dalam khotbah hari ini saya tidak akan menyebutkan hal-hal yang sudah kita bahas dalam khotbah tsb.)
Di sini saya ambil dari salah satu khotbah yang biasanya ada dalam khotbah pernikahan, yaitu dari Efesus 5:18-21; dikatakan: “Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh.” Nah, penuh dengan roh itu kayak apa? Yaitu yang dikatakan selanjutnya: “Berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian, nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala suatu dalam nama Tuhan kita, Yesus Kristua kepada Allah dan Bapa kita, dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”
Saudara lihat, tanda orang itu dipenuhi dengan Roh, bagi Paulus bukanlah soal penuh mujizat, bukan terbang-terbang, bukan tidak pernah sakit, dsb. melainkan salah satunya adalah orang dipenuhi Roh itu mendapat kemampuan untuk saling menundukkan diri; dan kayaknya ini yang paling penting, kenapa? Karena setelah ayat ini, Paulus langsung membahas tiga relasi di mana kita itu harus saling menundukan diri, yaitu relasi pernikahan, relasi orangtua dan anak, relasi atasan dan bawahan (majikan dan budak). Ini satu hal yang menjadi penekanan banget, karena istilah “rendahkanlah dirimu” di sini sebenarnya terlalu lemah terjemahannya, ini adalah istilah Gerika, yaitu hupotasso, yang adalah istilah militer. Ini adalah seperti seorang serdadu tunduk kepada perwira. Gambaran militer ‘kan memang kayak begini, kalau Saudara ikut militer, itu berarti Saudara kehilangan kontrol atas segala suatu, termasuk hidup Saudara benar-benar diatur; Saudara bukan cuma hilang hak menentukan kapan liburan, atau hak kapan makan, makan apa, dsb. Bahkan saya pernah nonton satu film dokumenter, orang-orang serdadu ini sebelum maju berperang, harus BAB bareng-bareng; kalau tidak BAB dulu, nanti akan susah, karena tidak bisa kalau mau BAB di tengah-tengah pertempuran. Jadi dalam latihan mereka, salah satu latihannya adalah disuruh buang air besar, dan harus bisa. Itu satu hal yang menarik, luar biasa sampai harus seperti ini penundukan dirinya, karena agar segerombolan serdadu itu bisa berfungsi jadi satu unit, agar mereka bisa berperan sebagai anggota tubuh, mereka harus sanggup menundukkan keinginan diri, hasrat diri, bagi orang lain. Ini satu hal yang kita lihat Paulus katakan sebagai karakter orang yang dipenuhi oleh Roh.
Hal ini tidak cuma muncul di Efesus, Saudara membaca juga dalam Filipi 2:3 dikatakan: “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”. Dalam Roma 15:1-3 dikatakan: “Jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita, demi kebaikan untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri.” Lalu 2 Kor. 4:5, dikatakan supaya kita boleh menjadi pelayan bagi orang lain (doulos). Dalam bingkai seperti ini kita bisa melihat inilah yang disebut dengan orang yang dipenuhi oleh Roh. Ini satu hal yang sangat-sangat sulit kita terima sebagai orang-orang modern, makanya Paulus melanjutkannya dalam hal pernikahan. Saudara, dalam pernikahan, termasuk orang-orang Kristen modern, yang sangat menjunjung equality antara pria dan wanita, tentu susah banget untuk melihat ada hal seperti ini, bahwa dikatakan istri harus menundukkan dirinya di bawah pria, seperti jemaat tunduk kepada Kristus. Waduh, koq, kayak gini ya? Tadi katanya itu suruh saling menundukkan diri, kenapa sekarang jadi istri yang disuruh menundukkan diri, sedangkan suami kayaknya tidak disuruh seperti itu, suami disuruhnya menjadi kepala, seperti Kristus kepala terhadap jemaat??
Saudara, memang ada perbedaan antara peran pria dan wanita dalam sebuah pernikahan, namun tentunya kita tidak bisa bahas tema itu hari ini. Tapi notice di bagian ini benar-benar adalah aling menundukkan diri; kenapa? Kalau kita melihat tuntutan Paulus kepada sang suami, itu in some sense bisa dibilang lebih menuntut suami untuk menundukkan diri, karena tuntutannya adalah: suami siap mengasihi istrinya sebagaimana Kristus mengasihi Gereja; dengan cara apa, yaitu dengan cara memberikan diri-Nya, mati baginya. Demikian diperjelas oleh Paulus di sini. Dan, ini berarti bahwa dengan seorang suami mengasihi istrinya, dengan dia menjadi kepala bagi istrinya, dia itu justru sedang menundukkan kepentingan dirinya di bawah kepentingan pasangannya. Suami bisa tetap jadi kepala, dan pada saat yang sama tunduk kepada istrinya. Kenapa bisa kayak gini? Karena kepemimpinan Kristen itu beda dengan kepemimpinan duniawi. Waktu orang Kristen, wanita, membaca ‘suami jadi kepala saya’, langsung was-was, tapi harusnya tidak demikian, karena di dalam kepemimpinan Kristen seseorang suami diberikan kuasa, bukan berarti dia jadi bisa semena-mena untuk menjalankan agendanya sendiri, kemauannya sendiri, pikirannya sendiri. Dia diberikan kuasa, supaya dia bisa memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain. Ideal kepemimpinan adalah seperti ini, menjadi pelayan.
Kita tahu, waktu kita mengangkat orang-orang menjadi pejabat pemerintah, kita kepingin mereka diberikan kuasa, justru supaya mereka boleh jadi pelayan masyarakat, ‘kan? Kenapa kita memberikan mereka kuasa? Karena memang mereka perlu kuasa; kalau mereka tidak ada kuasa, maka tidak ada gunanya jadi pejabat pemerintah, segala macam tidak bisa ada yang jalan –maka mereka butuh kuasa. Tapi kenapa kita memberikan mereka kuasa? Supaya lewat kuasa itu, mereka bisa memperjuangkan bukan agenda mereka melainkan agenda kebaikan bagi seluruh masyarakat. Nah, inilah artinya menjadi kepala tapi juga menundukkan diri pada saat yang sama. Jadi di dalam pernikahan Kristiani, bukan cuma istri yang menundukkan diri sebenarnya tapi suami juga menundukkan dirinya kepada istrinya. Posisi suami sebagai kepala, dalam Kekristenan tidak akan berakibat istri jadi tertindas. Justru suami yang menindas istrinya, itu adalah karena dia menolak mengambil kuasa ini dalam pernikahan, kuasa untuk menghidupkan, kuasa untuk menumbuhkan. Inilah tanda karunia Roh Kudus, buah Roh dalam hidup kita.
Dipenuhi Roh adalah ketika seseorang mendapatkan kapasitas untuk menundukkan dirinya bagi kepentingan orang lain. Ini satu hal yang Saudara tidak dapatkan dalam pandangan yang lain tadi. Seringkali malah yang Saudara dapatkan adalah bahwa dipenuhi Roh berarti dipenuhi dengan segala sesuatu yang menurut/sesuai dengan keinginan kita. Tidak seperti itu, Saudara.
Bagaimana caranya untuk kita bisa mendapatkan karunia Roh seperti ini? Bagaimana kita bisa dipenuhi Roh seperti ini? Kita tahu hal itu tidak secara natural datang kepada kita. Waktu kita diberikan kuasa, kita secara natural akan menggunakannya untuk melayani kehendak diri kita. Waktu kita disuruh menundukkan diri kita kepada orang lain, kita akan secara natural menolak untuk melakukan hal itu, karena kita tidak ingin menaruh diri kita di bawah orang lain. Jadi bagaimana caranya? Caranya adalah Saudara harus dipenuhi dengan Roh. Saudara harus melihat diri Roh tersebut. Saudara harus dipenuhi dengan pengenalan akan Roh tersebut.
Dalam hal ini saya tidak bosan-bosan mengulang ilustrasi J.I. Packer. Waktu dia menulis buku Knowing God, dia sedang cari ilustrasi untuk membicarakan mengenai Roh Kudus. Lalu suatu malam gelap, dia lewat satu tempat yang dia biasanya lewati pada siang hari, yaitu sebuah taman. Waktu siang dia lewat taman itu, taman itu terlihat indah; namun dia tidak pernah sadar ternyata waktu malam taman itu begitu sangat indah. Kenapa? Karena ternyata ada lampu sorot yang menerangi taman tersebut, yang diatur dari angle tertentu, dengan cahaya tertentu, yang membuat tamannya jadi kelihatan luar biasa indah. Melihat taman itu begitu indah, J.I. Packer mulai cari-cari di mana lampu sorotnya; dan dia baru sadar satu hal, dia tidak tahu persisnya letak lampu sorot itu. Ini karena kalau Saudara melihat ke arah cahaya di malam hari, Saudara tidak bisa benar-benar tahu di mana persisnya, terlalu silau untuk melihatnya. Saudara juga tidak tahu persisnya lampu tersebut bentuknya seperti apa, barangnya kayak apa, mereknya apa, dsb. Saudara cuma lihat terang saja, Saudara tidak bisa lihat itu lampu apa. Di sini Packer sadar satu hal mengenai tugas lampu sorot, yaitu selalu untuk menarik perhatian orang bagi sesuatu yang lain, bukan bagi dirinya sendiri, tidak pernah bagi dirinya sendiri. Lampu sorot yang menarik perhatian bagi dirinya sendiri, itu lampu sorot yang ngawur. Itu biasanya terjadi ketika lampu sorotnya tidak menyala atau mungkin cahayanya terlalu kuat, sehingga orang mulai bertanya-tanya mana ini lampu sorotnya? Begitu perhatian kita itu tertuju kepada si lampu sorot, maka tugas si lampu sorot telah gagal. Justru lampu sorot itu sukses ketika orang cuek terhadap dirinya; dia bisa menarik perhatian, tapi bagi orang lain, bukan buat dirinya sendiri. Di bagian ini J.I. Packer baru sadar inilah Roh Kudus, inilah cara kerja Roh Kudus.
Dalam Yohanes 16, dikatakan apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu dalam seluruh kebenaran. Tapi caranya gimana? Karena Ia akan berkata-kata dari dirinya sendiri? Tidak. Dikatakan di situ: sebab Ia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya. Dan Ia akan memberitahu padamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memberitahu tentang Aku (Yesus maksudnya), sebab Ia akan memberitakan kebenaran. Saudara, inilah Roh Kudus, ini Allah. Roh Kudus tidak mengatakan, “Eh Lu ‘kan sama-sama Gua, sama-sama Allah ‘kan, jadi ’gak bisa dong kayak gini. Kita equal, men. Jadi, Lu ngomong yang itu, Gua ngomong yang lain”. Roh Kudus tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri, Dia mengambil apa yang Yesus sudah katakan, bekerja dalam hati kita, sehingga perkataan Krisus dalam hati kita itu menjadi riil. Itulah pekerjaan Roh Kudus, pekerjaan Roh Kebenaran.
Di dalam diri Allah, ada sifat seperti ini, ada diri Allah yang adalah Allah yang tidak mencari kesenangan bagi diri-Nya sendiri. Tidak menggapai bagi diri-Nya sendiri hak khusus, tapi malah hidup bagi yang lain, menundukkan diri-Nya bagi yang lain. Allah Anak juga sama, tidak mencari kesenangan-Nya sendiri melainkan memberikan diri-Nya sebagai tebusan ganti kita, manusia berdosa. Roh Kudus itu Allah, tapi Dia rela membatasinya dalam perkataan Kristus, apa yang Firman Tuhan, Sang Kristus itu, berikan. Allah saja kayak begini, apalagi kita. Inilah kekuatannya, Saudara. Waktu Saudara dipenuhi oleh Roh yang seperti ini, tidak heran Paulus mengatakan hasil akhirnya adalah Saudara dapat kekuatan untuk menundukan diri kepada orang lain. Inilah salah satu tandanya.
Jadi, pertanyaan Saudara, bagaimana kita tahu kuasa Allah bekerja dalam diri seseorang. Jawabannya: ada banyak (sekali lagi, Saudara bisa cek ringkot tersebut), tapi salah satu yang paling penting adalah Saudara ada kuasa untuk menundukkan diri bagi kepentingan orang lain.
————————————————————————————————————-
Pertanyaan kedua:
Kita sering bilang teologi itu penting –yang memang benar banget– tetapi bukankah kita juga sering lupa bahwa semua pengertian kita tentang doktrin, teori-teori, ilmu apapun yang kita pelajari, itu sama sekali tidak ada gunanya kalau kita tidak punya kasih. Tidak jarang juga, kita kesannya kayak punya pengajaran atau pengertian yang lebih benar dibandingkan gereja lain; bukankah itu tindakan yang sangat anti kasih? Kita suka self-denial, bilang kita justru mengajarkan yang benar karena kita mengasihi; tapi apakah emang bener? Karena kalau memang dasarnya adalah kasih, tindakan yang seringkali kita lakukan ‘gak begitu ‘kan harusnya?
Respons:
Setuju Saudara. Paulus memang bilang kalau pun dia bisa bicara segala bahasa manusia atau bahasa malaikat, kalau pun dia bisa punya segala jenis pengetahuan, tapi dia tidak punya kasih, dia cuma gong yang berkumandang dan canang yang bergermerincing. Pertanyaan saya, pertanyaanmu ini keluar dari hati yang mengasihi, atau tidak? Karena kalau ini tidak keluar dari hati yang mengasihi, maka pertanyaanmu sebetulnya juga tidak ada gunanya. Saudara mengatakan kita sering lupa semua pengertian kita tentang doktrin, teori, ilmu, apapun tidak ada gunanya kalau kita tidak punya kasih, tapi sebelum tanya ini, apakah sudah mempertimbangkan bahwa kalau Saudara mengatakan kita sering lupa, berarti ini termasuk Saudara juga? Atau Saudara bertanya ini simply ingin mengeluarkan, mengungkapkan kekesalanmu menghadapi orang-orang Kristen yang Saudara anggap munafik itu?
Kemarin saya bertemu Pak Tong waktu mengurus SPIK. Pak Tong bilang ke saya, “Jethro, kamu lumayan juga sudah hampir dua tahun jadi gembala di GRII Kelapa Gading, cukup stabil sejauh ini, tidak gampang loh bisa stabil melayani di Kelapa Gading menghadapi jemaat, pengurus, penatua ini dan itu, dsb. Kamu ini bisa stabil karena kamu orang yang kaku, ya?” Lalu saya bilang, “Ya, Pak Tong, memang saya kaku.” Lalu Pak Tong bilang, “Ini masih lumayanlah, karena kalau ditanya kaku jawabnya iya, berarti sebenarnya masih lembek; kalau ditanya kaku lalu bilangnya enggak, nah, itu memang beneran super kaku.” Jadi rupanya Pak Tong tanya itu menjebak.
Sama juga, Saudara keluar pertanyaan ini karena ada perasaan kasih, atau karena ada perasaan muak? Kalau Saudara langsung mengatakan, “Enggaklah, Pak, saya juga ada kasihlah pasti”, maka itu justru tanda tanya. Tapi kalau Saudara mengatakan, “Benar juga, Pak, jangan-jangan saya ujungnya sama saja dengan orang-orang yang saya anggap munafik itu, yang banyak pengetahuan tapi tidak ada kasih. Jangan-jangan saya bertanya seperti ini, juga ada problem yang sama”; dan kalau Saudara mengatakan seperti ini, maka ada pengharapan.
Kita pernah bahas mengenai kata belas kasihan. Belas kasihan itu compassion dalam bahasa Inggrisnya, dari con passio; con artinya bersama-sama, passio artinya hasrat/desire/ perasaan. Jadi con passio berarti Saudara bukan cuma merasakan perasaan orang lain, bukan sekadar empati; compassion itu berarti Saudara punya perasaan yang sama, memiliki hasrat yang sama, dengan apa yang orang lain hasrati, barulah Saudara itu bisa berbelaskasihan dengan dia. Saudara hanya bisa berbelaskasihan kepada seseorang, ketika Saudara menempatkan dirimu setara dengan dia; Saudara tidak bisa berbelaskasihan dengan seseorang, sampai Saudara ada solidaritas dengan dia. Ini sebabnya kalau Saudara berduka, lalu ada orang datang kepadamu memberikan solusi, “Sudahlah, lu jangan sedih-sedih terus, nih solusinya begini … “, kalau ngomong-nya kayak begitu, Saudara biasanya tidak mau terima; bahkan kalau solusinya benar pun Saudara tidak mau terima. Tapi kalau orang ini duduk bersamamu, mendengarkan ceritamu, cukup lama dia mendengarkan, lalu sesudah Saudara selesai, dia mulai cerita dan mengatakan, “Saya pernah mengalami hal yang mirip”, lalu dia tidak memberikan solusi tapi dia menceritakan pengalamannya, maka entah bagaimana kita mulai mendengarkan, mulai menyimak. Kenapa? Karena inilah compassion, ini belas kasihan, ada pengalaman yang sama. Mengalami hal yang sama itu, solidaritas itu, yang mendatangkan belas kasihan. Amazing-nya, dalam Kekristenan adalah ini: waktu dikatakan Allah punya belas kasihan kepada kita, ini bukan cuma ngomong, ini benar-benar, karena truly Dia pernah merasakan, pernah mengalami, tahu apa yang kita alami, sebagai manusia.
Saudara, salah satu paradoks dalam Kekristenan yang saya tidak habis pikir, adalah waktu Saudara dan saya mengalami doa yang tidak terjawab, maka justru dalam momen seperti itu kita tahu kita bukan ditinggalkan Tuhan, kita justru mengalami Tuhan. Lah gimana sih, Pak, bisa mengalami Tuhan ketika Tuhan tidak menjawab doa; dari mana?? Tuhan Yesus berdoa juga tidak dijawab, Saudara. Tiga kali Dia berdoa dan tidak dijawab. Kalau kita berdoa kepada Tuhan dan kita dicuekin, ya sedikit banyak ada benarnya, karena kita manusia berdoa; tapi Yesus ini adalah Manusia yang ketaatannya sempurna, namun doa-Nya tidak dijawab! Kalau Saudara sadar ini, maka amazing bahwa dalam pengalaman doa kita yang tidak terjawab pun, kita justru ditarik lebih dekat ke dalam diri Yesus Krisus, kita malah lebih menyadari solidaritas Yesus Krisus kepada kita, dan dengan demikian kita lebih merasakan belas kasihan Yesus Krisus bagi kita. Ini belas kasihan Tuhan yang riil, karena Dia tahu apa rasanya jadi manusia. Dia tahu rasanya mengalami doa yang tidak terjawab. Itu sebabnya dalam pengalaman kita tidak dijawab doanya, malah kita itu mendapatkan solidaritas persekutuan yang lebih erat dengan Yesus Krisus. Ini salah satu paradoks yang membuat saya tidak habis pikir, namun itulah belas kasihan yang riil.
Jadi, waktu Saudara menghadapi orang-orang yang Saudara anggap munafik, yang banyak teori pengetahuan dsb. tapi tidak ada kasih, bagaimana caranya dapat kekuatan untuk berbelas kasihan kepada mereka? Saudara sendiri mengatakan, kalau tidak ada kasih tidak ada gunanya, maka dalam pertanyaan ini Saudara harus memikirkan orang-orang tersebut dengan kasih. Jangan coba-coba berbelas kasihan sebagai orang yang di atas terhadap yang di bawah, “Mereka kayak gitu! Saya tidak”. Saudara tidak akan bisa berbelas kasihan kalau seperti itu. Itu belas kasihan palsu. Saudara dikasihani seperti itu pun tidak bakal mau, Saudara akan merasa dirimu terhina. Biasanya orang mengatakan, “I don’t need your pity!”, yang memang benar, karena pity bukan belas kasihan. Tapi compassion itu lain. Compassion, belas kasihan, datang ketika kita menyadari kita tidak beda dengan mereka; mereka lupa untuk mengasihi, saya juga jangan-jangan tanya pertanyaan bukan karena kasih.
————————————————————————————————————–
Pertanyaan ketiga:
– Kenapa Tuhan sudah mati di kayu salib harus naik ke surga dulu, lalu nanti datang kedua kali, kenapa tidak langsung disempurnakan saja dunianya kayak nanti dalam kedatangan kedua? Kenapa harus kayak digantungin dulu?
– Apakah Alkitab membahas dunia akan semakin hancur dan hancur setiap harinya (sampai kepada akhir zaman)? Jika ya, berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya, kenapa Tuhan harus membiarkan dunia semakin hancur setiap harinya baru disempurnakan nanti pas kedatangan kedua? Kenapa tidak langsung pas mati di kayu salib sekalian penyempurnaan dunia saja?
Respons:
Sebelum saya merespons pertanyaanmu, saya mau menegur sikapmu dalam bertanya; saya tidak jamin pembacaan saya terhadap dirimu ini tepat, karena saya merespons teksnya, saya tidak tahu Saudara siapa. Yang saya lihat dari teks pertanyaan ini, di satu sisi saya menghargai kelugasanmu dalam bertanya, kelihatan dari kalimat ini Saudara orang yang apa adanya, Saudara bukan orang yang takut-takut bertanya karena jaga image, itu positif sih, saya lebih tidak tahan pada orang yang tanya dengan pakai topeng; tapi, doesn’t mean karena Saudara menganggap jujur bertanya itu penting, maka Saudara boleh jujurnya itu jujur brutal. Ini kecenderungan orang yang demi kejujuran ‘pokoknya yang paling penting saya cerita dulu’, tembak sana, tembak sini, tidak peduli.
Saya dulu pernah cerita, suatu kali saya lagi mabok persiapan kelas Remaja, karena bahannya dari buku, kita mengikuti buku itu, dan saya itu kebagian membahas seluruh surat-surat Paulus secara singkat satu per satu, mengenai kalau Surat Korintus itu konteks Korintus seperti apa, kalau Efesus lain lagi, Tesalonika lain lagi, dsb. Saya bingung, bagaimana remaja bisa pada melek mendengarkan kayak ginian yang boring-nya setengah mampus. Saya waktu itu persiapan di ruang panitia NREC. Sementara lagi persiapan diempet-empetin kayak begini, Pendeta Heru datang, dan dia coba bantu. Dia mengatakan, “Gini-gini, lu bisa ngomonglah ke anak remaja begini: kalau kalian punya dedek beda lima tahun, beda jenis kelaminan, lalu pas ulang tahun kalian dikasih mainan yang sama dengan mainan buat dedekmu, kamu rasa gimana? ‘Gak mau ‘kan. Mama atau papa yang baik kalau ngasih mainan harus mikir baik-baik, mainan yang kuberikan ini cocok ‘gak bagi anakku. Anak bayi dan anak umur lima tahun harus dikasihnya beda, anak bayi ini menghadapi apa, bedanya apa dengan anak lain, keunikan sifatnya apa, sukanya apa, itu semua harus diperhitungkan, baru inilah mama papa yang baik. Nah, inilah yang sedang kita lihat waktu kita belajar surat-surat Paulus; ternyata surat-surat ini ‘gak simply mengulang hal-hal yang sama. Paulus itu ada kebenaran, tapi waktu dia ngomong, dia ‘gak tulis kayak gini, ‘Eh, gua ‘gak peduli ya, Tesalonika, Korintus, gua ‘gak peduli, pokoknya ini yang bener, lu harus denger, gua ‘gak peduli lu konteksnya kayak apa’. Jadi ternyata setiap surat itu beda, dan bahkan waktu kita mempelajari surat-surat Paulus kepada mereka, hari ini kita bisa kenal jemaat itu kayak apa.”
Bayangkan Saudara, dari surat kepada orang lain, Saudara bisa kenal orangnya itu kayak apa. Ini ‘kan seperti Saudara datang ke rumah orang, lalu Saudara lihat koleksi mainan anak di rumahnya, lalu karena orangtua ini sangat cermat memilih mainannya, maka dari mainannya Saudara bisa tahu anaknya kayak apa. Luar biasa yang kayak begini ‘kan. Jadi ini membuktikan –demikian kata Pak Heru– bahwa Paulus, dan Tuhan yang di belakang Paulus, memperlihatkan seperti apa kasih Tuhan melalui Paulus bagi Gereja-Nya, bagi kita. Tuhan itu tidak simply main brutal, ‘pokoknya ini yang bener, bodo amat lu mau ngerti apa enggak, pokoknya Gua kasih lu kebenaran; salah lu, kalau lu ‘gak ngerti!’ Tidak demikian. Tuhan itu turun ke level kita, pakai bahasa kita, membicarakan apa yang sesuai dengan keadaan kita, makanya setiap jemaat itu lain-lain. Demikian yang Pak Heru usulkan untuk saya bicara ke kelas Remaja.
Kembali lagi, kalau Saudara menghadapi orangtua yang mengasihimu, yang peka konteksmu, apa responsmu? Apakah Saudara sebagai anak berhak, ketika orangtuamu sudah memberikan mainan selama ini begitu cermat, memikirkannya baik-baik, lalu suatu hari dia beli mainan yang tidak sesuai hatimu, Saudara lalu marah-marah, mencak-mencak, “Kenapa papa salah beli mainan seperti ini?! Katanya papa peka konteks, katanya papa mengasihiku.” Itu anak kurang ajar Saudara, setuju tidak? Misalkan Saudara pacaran, Saudara perhatian sekali dengan pacarmu, Saudara selalu berusaha untuk kira-kira tahu kebutuhannya apa dan mengisinya dengan tepat. Awal-awal, pacarmu menghargai kasihmu, lama-lama jadi mulai kebiasaan, lalu begitu Saudara ada sedikit salah saja dia marah, upset. Dia mulai take for granted kasihmu bagi dia, Saudara rasa apa? Saudara rasa kurang ajar ‘kan. Sense of entitlement, itu kurang ajar; merasa bisa take for granted kasih orang kepada Saudara, itu kurang ajar. Kasih itu harus direspons dengan rasa berterima kasih, dengan sikap hormat, bukan dengan sikap take for granted.
Sama juga halnya di sini Saudara. Sekali lagi, saya cuma bisa baca dari teks pertanyaanmu, saya tidak tahu karaktermu sesungguhnya seperti apa, tapi dari tulisan ini saya rasa perlu menegur Saudara akan sikap dan nada bertanya yang seperti menuntut kayak begini. Kalau pun ini bukan problemmu, namun karena pertanyaan ini kita bicarakan di umum, makanya saya harus merespons bagian sikapnya juga, supaya jemat semua yang lain tahu sikap bertanya seperti ini tidak pantas di hadapan Tuhan. Kalau Saudara datang kepada Tuhan, kepada Alkitab, seperti anak manja yang kurang ajar begini, yang take for granted kasih ayah ibunya, anak ini mau dijawab seperti apapun akan salah. Komunikasi manusia itu dua arah, Saudara. Tentunya waktu Saudara menjawab, jawaban yang diberikan harus tepat, namun sikap menerima jawaban itu pun harus tepat. Tidak ada gunanya Saudara dapat kuliah dari dosen yang paling hebat, kalau Saudara mendengarkannya dengan leyeh-leyeh, males-malesan. Sikap ini penting.
Saudara jangan datang kepada Tuhan kayak begitu, dengan ‘kenapa harus begini, kenapa harus kayak gitu’. Saya mau tanya, kenapa Saudara tanya kayak begini? Kenapa Tuhan harus ikut caramu? Kamu itu tuhan di atas Tuhan-kah sehingga Dia harus menunduk di bawahmu?? Kamu pikir kamu lebih bijaksana daripada Tuhan maka kamu tahu harus caranya kayak apa?? ‘Gak gini, Tuhan, harusnya; harusnya kayak gini’ dsb. Ini sikap yang tidak beres, Saudara, di hadapan Tuhan. Ini sikap yang take for granted bijaksana dan kebaikan Tuhan selama ini bagimu.
Seorang teolog bernama N.T. Wright, berkali-kali mengatakan, “Saya paling takut ketika orang mengatakan ‘harusnya Tuhan … ‘“. Dia paling takut orang mengatakan itu, karena inilah asal-muasal dosa, mau melihat lewat mata kita sendiri dan bukan melihat lewat bagaimana Tuhan melihat. “Lu jadi Tuhan kok dungu banget, sih? Kalo gua yang jadi Tuhan …”. Kalau Saudara jadi Tuhan, jadinya kayak apa, Saudara? Misalnya pertanyaan tadi, Saudara tidak puas dengan Tuhan yang membersihkan dunia pelan-pelan, lewat penderitaan, lewat penganiayaan, dsb., lalu Saudara maunya apa? Dunia ini mau dibersihkan langsung dari segala dosa dan kerusakan, lalu Saudara jadi Tuhan, Saudara pencet tombol, langsung semua dosa hilang. Habis itu, Saudara turun ke dunia mau lihat hasil kerjamu seperti apa. Sepi, tidak ada manusia. Semua ikut hilang kena tombol pencetmu itu, karena siapa manusia yang sempurna tanpa dosa??
Saudara tahu, dalam kisah Passover, kisah Paskah yang pertama, kalau bukan karena darah anak domba yang dibubuhkan di pintu rumah orang-orang Israel, maka ketika malaikat penghancur Tuhan itu turun untuk mencabut nyawa anak-anak sulung Mesir, orang Israel juga bakal kena hal yang sama. Mereka tidak akan terluput. Kenapa? Karena orang Israel tidak lebih baik dari orang Mesir, kita tahu itu lewat cerita-cerita berikutnya ‘kan, begitu tegar tengkuk, kerjanya komplain melulu, meskipun sudah diselamatkan. Kita tahu, Saudara, tidak ada manusia yang bisa melihat wajah Tuhan dan tetap hidup. Kita tahu, semua dari kita sama berdosanya, maka kalau Tuhan pakai caramu, tidak ada yang sisa.
Waktu kecil saya pernah baca cerita Doraemon. Dalam ceritanya Saudara tahu ‘kan, Nobita itu anak yang sangat (childish); dan tujuannya cerita itu adalah untuk menyadarkan kepada anak tentang hal ini, lewat menertawakan Nobita dengan segala kekanak-kanakannya. Misalnya, dalam salah satu ceritanya, Nobita kesal pada mamanya, Suneo, kesal pada Giant, dll. Lalu Nobita diberikan sebuah tombol oleh Doraemon, “Ini namanya tombol diktator; kalau kamu sebal pada orang, kamu tinggal pencet ini, lalu orangnya hilang.” Nobita senang, wah dapat barang bagus. Lalu mulailah ketika mama Nobita teriak suruh dia membersihkan kamar, Nobita sebal, dia pencet tombolnya, dan mama hilang. Setelah itu dia pergi main dengan temannya, lalu waktu digangguin Suneo, langsung cetet, Suneo hilang. Begitu seterusnya, cetet, cetet, cetet, satu per satu orang-orang itu hilang. Lama-lama dia kesal pada semua orang, dia bilang, “Semua orang hilang!”dia pencet tombolnya, dan bersih, semuanya hilang. Lalu waktu dia bangun tidur, mulai rasa lapar. “Mama! Ada makanan ‘gak?” Tapi mamanya tidak ada; “O, iya, mamagua udah ilangin”. Lalu dia keluar, ingin main, tapi ‘gak ada orang. Mau beli-beli di toko, tidak bisa, tokonya tidak ada orang. Semua hilang, tidak ada orang sama sekali. Jadi mulai kacau, mulai nangis-nangis, mulai teriak-teriak. Akhirnya Doraemon muncul dan mengatakan, “Tombol ini sebenarnya tujuannya untuk memberi pelajaran bagi para diktator.”
Saudara lihat poin ceritanya, ya. Semua jalan instan seperti itu, ‘yang ini ilang aja, ilangin aja, ilangin aja, hapus aja, hapus aja’, adalah solusi-solusi kekanakan. Solusi-solusi childish yang tidak appreciate kompleksitas kehidupan. Saudara pikir segampang itu membuang dosa dari hidup ini? Saudara pikir, Saudara lebih bijaksana daripada Tuhan, maka bertanya seperti ini? Saudara, sikapmu harus dibereskan di hadapan Tuhan.
Allah menciptakan manusia bukan sebagai robot. Allah memberikan kepada kita kehendak bebas untuk mengasihi; dan itu sebabnya juga ada kehendak yang genuine, kita diberikan kebebasan untuk memberontak, bukan cuma untuk taat.Inilah kebebasan yang genuine, Saudara. Ini bukan paksaan; dan dari awal seperti itu. Itu sebabnya yang amazing adalah: ketika kita memberontak, Tuhan tidak simply pencet undo, reset; Tuhan mengikat diri-Nya dengan keputusan-Nya itu.Tuhan mengikat diri-Nya, berkomitmen, dengan aturan main yang Dia sudah ciptakan. Dia tidak main jalan instan gampangan, yang makan korban pun peduli setan, bodo amat, salah mereka sendiri. Dia tahu perubahan yang genuine bagi orang-orang yang genuine, itu butuh waktu, maka Dia pelan-pelan mengerjakan keselamatan dalam hidup kita, sedikit demi sedikit mengubah kita untuk semakin mirip Kristus. Petrus menuliskan di 2 Petrus 3:9, Tuhan tidak lalai menempati janji-Nya (God is not slow in keeping his promise) sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, meskipun ada orang-orang yang menganggapnya sebagai kelambatan; tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Apa yang kita lihat sebagai terlalu lambat, itu ternyata justru kesabaran Tuhan, yang di atasnya kehidupan kita bergantung. Kita mau mempercepat; Saudara pikir, Saudara sanggup dipercepat. Ini bodoh, dan inilah kita.
Saya tidak bosan-bosan mengulang ilustrasi dari Van Til ini: di subway, ada seorang bapak yang sedang ditaboki anaknya yang marah-marah; namun yang menarik, anak ini bisa menaboki papanya karena papanya sedang menggendong dia. Van Til mengatakan, itulah manusia dihadapan Tuhan. Manusia kerjanya menabok-naboki Tuhan, tapi untuk bisa menabok Tuhan, itu adalah karena Tuhan menopang kita. Inilah ironinya manusia. Itu sebanya Saudara jangan merespons kasih dan kesabaran Allah bagimu dengan sikap take for granted. Ini sikap yang sangat-sangat childish.
————————————————————————————————————-
Pertanyaan keempat:
Eutanasia apakah dianggap berdosa menurut doktrin Alkitab?
Respons:
Omong-omong saya mau perkenalkan satu website buat Saudara, yaitu gotquestions.org, salah satu resource di internet yang cukup baik dalam menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan Kristiani; dan jawabannya itu rata-rata sangat biblikal, tidak sembarangan. Jadi Saudara kalau ada pertanyaan lebih lanjut setelah ini, silakan Saudara buka website tersebut. Jawaban saya mengenai eutanasia ini, actually saya sadur dari mereka.
Saudara, yang pasti mengenai eutanasia itu ada banyak macamnya. Ada yang jelas problematik, dalam arti kita basically mengambil nyawa orang ke tangan kita untuk kita padamkan sebelum waktunya, karena kondisi medis, karena penderitaan, dan segala macam. Itu yang biasa disebut dengan eutanasia. Mirip dengan ini, misalnya yang namanya assisted suicide, di mana kita bukan yang mengambil nyawa orang tersebut, melainkan kita memfasilitasi orang tersebut untuk meng-eutanasia dirinya sendiri.Jadi yang pencet tombolnya dia sendiri, tapi yang siapkan peralatannya kita. Cara ini dipakai oleh beberapa orang supaya mereka tidak dituntut pembunuhan, dan sebagainya. Tapi dua-duanya itu sama saja, ya.
Kenapa ini problematik bagi Kekristenan? Jawabannya: karena basically keinginan manusia untuk meng-eutanasia diri atau untuk meng-eutanasia orang lain, adalah keinginan yang berfokus kepada kematian; dan itu basically jungkir balik terhadap model Alkitab. Kalau membaca di Alkitab, jelas sekali dikatakan bahwa maut itu musuh, bukan kawan; tapi hari ini sering kali maut itu dijungkirbalikan menjadi friend. Oh, saya sakit, maut saja. Oh, saya ‘gak mau punya anak ini, aborsi saja, urusan selesai. Ini salah satu model di mana banyak zaman ini sangat melawan, jungkir balik, terhadap prinsip Alkitab.
Maut itu musuh, demikian 1 Korintus 15. Kehidupan itu pemberian yang sakral dari Tuhan, demikian Kejadian 2. Ketika Israel dihadapkan dengan pilihan berkat atau kutuk di kitab Ulangan, berkat itu berarti kehidupan, kutuk itu berarti kematian. Allah melalui Musa mengatakan pilihlah kehidupan. Eutanasia itu basically menolak model ini. Eutanasia adalah jalan di mana kita memalingkan muka terhadap berkat kehidupan dari Tuhan, dan memilih kutuk; maka ini sangat bertabrakan dengan prinsip Alkitab. Kematian, sama seperti kehidupan, adalah hak Tuhan untuk menentukan. Di dalam kitab Pengkotbah 8:8 dikatakan: Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian.
Saudara mungkin bilang, “Itu eutanasia bisa, Pak, berkuasa atas hari kematian”. Saudara jangan pikir Saudara itu berkuasa untuk mematikan orang. Saudara lihat, berapa banyak artikel tentang eksekusi orang-orang kriminal, yang mengatakan eksekusinya itu tidak berjalan lancar. Tidak sebegitu gampangnya, Saudara, untuk mengambil nyawa seseorang. Kalau orang kriminal yang dihukum mati saja tidak sebegitu gampangnya untuk pasti mati, apalagi Eutanasia. Yang pasti, memfokuskan supaya jangan ada rasa sakit, jangan ada segala macam, adalah tidak segampang itu. Apa benar teknologi pasti menjamin Saudara bisa mati tanpa rasa sakit dan sebagainya? Tidak tentu juga, karena inilah kenyataannya, bahwa adalah hak Tuhan untuk menentukan kuasa atas hari kematian. Allah-lah yang punya kata terakhir atas kematian manusia; dan baik eutanasia atau suicide, itu adalah usaha manusia merebut otoritas tersebut dari tangan Tuhan –sekali lagi, berdasarkan apa yang manusia anggap baik di mata mereka sendiri.
Tapi gimana ya, Pak, meskipun kita bisa mengerti ini secara prinsip, ketika kita sendiri mengalami, ketika kita melihat penderitaan orang di ranjang kematian, apalagi itu orang yang kita kasihi, sakit sekali, bagaimana, ya Pak? Saudara, inilah salah satu ujiannya memang. Sometimes Allah memang mengizinkan penderitaan yang lama sebelum kematian, sometimes Allah sangat mempersingkat penderitaan dan langsung meninggal. Tidak ada dari kita yang menikmati penderitaan, Saudara, namun itu tetap bukan alasan cukup baik untuk mengambil alih hak akan kematian. Jikalau Saudara percaya Allah itu adalah Allah yang mahabijaksana, especially Saudara dalam Kekristenan, karena dalam Kekristenan kita tahu Allah kita itu adalah Allah yang seringkali menyingkapkan tujuannya malah melalui penderitaan. Kembali lagi ke kitab Pengkotbah pasal 7 ayat 14: “Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur”. Benar juga ‘kan Saudara, waktu Saudara mujur, Saudara bergembira karena Saudara mendapatkan ini dari Allah, maka waktu Saudara malang, Saudara harus sadar satu hal, bahwa ini juga dari Allah yang sama. Kalau Saudara mau tolak ini, ya, tolak semuanya sekalian.
Saudara bisa melihat dalam diri kita, siapa yang bisa cukup bijak untuk menentukan tahu dari depan bahwa penderitaan yang sedang dialami ini tidak bisa menghasilkan suatu kebaikan yang Tuhan mau berikan?? Paulus mengatakan, dia itu orang salah satu paling menderita dalam hidup ini. Namun dia juga mengatakan, kesengsaraan seorang Kristen itu menjadi kemegahannya, karena kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan seterusnya. Siapa yang bisa tahu rencana apa yang Tuhan mau kerjakan lewat hari-hari yang malang? Hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik, dan waktu Tuhan adalah waktu yang terbaik –termasuk waktu kapan kita meninggal.
Prinsip yang sama juga berlaku dalam hal yang sebaliknya. Tadi kita mengatakan bahwa kita itu jangan pernah mau mempercepat kematian seseorang; tapi ini juga berarti jangan sampai kita memakai cara-cara yang tidak natural untuk memperlama kematian, memperlama kehidupan yang harusnya sudah waktunya padam. Ini sisi lainnya, Saudara; dan sekali lagi, tentunya ini easier said than done. Karena itu, semua orang yang menghadapi hal ini tentunya tetap perlu meminta bijaksana dari Tuhan. Namun sekali lagi, salah satu hal yang jadi kunci adalah bijaksana Tuhan. Itu yang paling penting; Saudara percaya Allah itu mahabijaksana atau tidak.
Saudara, saya pernah mengalami datang ke rumah sakit, dan yang sakit adalah mama seorang mahasiswa STT.Mamanya itu sudah dalam kondisi yang sangat-sangat kritis. Dokter menghadirkan dua pilihan kepada keluarga, mau pakai obat yang agresif atau tidak. Kalau pakai obat yang agresif, ada kemungkinan mamanya bisa membaik keadaannya, tapi bisa juga karena agresif akan menambah penderitaannya; sedangkan kalau dibiarkan tidak diberi obat, ya, mungkin meninggalnya lebih tenang, tapi sudah pasti meninggal. Pilihan yang impossible ‘kan Saudara, untuk seorang anak memutuskan hal seperti ini. Lalu teman saya ini mengatakan, “Bagaimana Ko Jeth? Kalau kita sih mikirnya ya sudahlah, biarkan saja pergi dengan lebih tenang, ngapain mesti diperpanjang-perpanjang. Kita juga tahulah teorinya. Tapi, mama belum say goodbye.Mama ini collapse cepat sekali, sudden sekali, tidak sempat lihat kita. What if, mama masih mau say goodbye? What if, mama masih mau siuman sekali lagi dan lihat kita semua, baru dia meninggal? Saya tahu dari mana mama sudah rela pergi atau belum?Bagaimana ini??” Saya mengatakan kepada teman saya: “Decision itu tidak bisa diambil orang lain, decision itu harus kamu sebagai keluarga yang mengambil. Tapi yang saya mau katakan kepada kamu adalah ini: Tuhanmu tidak sebodoh itulah untuk meninggalkan nasib mamamu di tanganmu tok atau di tangan dokter tok. Mamamu ini anaknya Tuhan, mamamu ini bagian dari kerajaan Tuhan, mamamu ini kita tahu sangat mengasihi Tuhan, maka kita tahu Tuhan lebih mengasihi mamamu dibandingkan kamu sendiri.Dia tidak akan membiarkan tanganmu atau tangan dokter menjadi kata terakhir bagi nasib mamamu ini. Jadi kamu sekarang bikin decision, tapi ambil keputusanmu itu berdasarkan pengenalan ini, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang mengasihi dan bijaksana. Jangan ambil decision atas dasar kegalauan dan ketakutan.”
Saudara, kira-kira prinsipnya seperti itu. Ujungnya bukanlah urusan soal eutanasia-nya sendiri, melainkan seberapa kita mengenal Allah kita, bagi kita Allah kita itu siapa. Ini sebabnya mengenal Allah itu sangat matter, ini sangat menentukan arah yang seseorang ambil dalam kehidupannya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Indonesia Kelapa Gading