Pertanyaan pertama:
Apa bedanya hukum tabur tuai dan hukum karma?
Respons:
Ini pertanyaan sangat cepat saya akan jawab, yaitu bedanya: hukum tabur tuai adalah konsep yang lebih umum/general, sedangkan hukum karma adalah konsep yang lebih spesifik. Tabur tuai simply berarti dalam hal apapun, Saudara akan menuai apa yang Saudara tabur; sedangkan karma, spesifik hubungannya dengan konsep reinkarnasi dalam Hindu, Budhisme, dan agama-agama India seperti Sikh, Jainism, dsb. Maksud dari karma, misalnya kalau dalam kehidupan saya yang sebelumnya saya berbuat jahat, maka hari ini karmanya adalah jadi kodok. Itulah karma. Karma itu ada hubungan yang sangat erat dengan reinkarnasi, sedangkan hukum tabur tuai itu lebih general, dalam satu kehidupan yang sama.
Pertanyaan kedua:
Bagaimana cara berubah dan bertumbuh jadi laki-laki yang lebih dependable dan bisa memimpin keluarga?
Respons:
Saudara harus punya role model. Salah satu yang bisa jadi role model sebagai laki-laki, menjadi suami, menjadi kepala keluarga, adalah bapak kita sendiri, kepala keluarga kita sendiri waktu kita kecil, yang adalah our father on earth. Tapi, kalaupun Saudara tidak punya, itu pun tidak terlalu masalah, karena itu cuma salah satu kemungkinan, dan the best fathers yang kita punya dalam dunia ini pun bagaimanapun juga tetap adalah manusia yang berdosa dan manusia yang tidak sempurna, maka the best role model yang kita bisa miliki itu adalah Our Father in Heaven, dan juga tentunya Yesus Kristus, karena Yesus Kristus digambarkan sebagai suami bagi Gereja. Malah kalau Saudara mau jadi seorang suami, seorang laki-laki, seorang bapak, yang bisa menjadi role model bagi orang lain, menjadi figur bapak, Saudara harus mendekatkan dirimu dengan Kristus, Saudara harus berelasi dengan Allah Bapa.
Karena role model itu efektifitasnya kenapa? Ada apa dengan role model, yang membuat kita bisa belajar dari dia? Itu bukan cuma karena dia menghadirkan suatu contoh untuk kita tiru –bukan cuma itu– tapi karena lewat kita mengalami role model ini, kita terlebih dahulu merasakan seperti apa dibapaki oleh orang ini. Kita tidak cuma melihat ‘Oh, gambarnya kayak gini, saya mesti gambar hal yang sama, saya monyetin, saya tiruin, saya telusuri pakai kertas kalkir’. Tidak cuma seperti itu, Saudara; kekuatan role model adalah karena ada sesuatu dari dia, yang masuk kepada dirimu, yang jadi model untuk Saudara keluarin. Ini kuncinya. Saudara menjadi guru, itu tidak mungkin kalau Saudara tidak pernah jadi murid ‘kan. Kalau tidak pernah ada yang masuk, tidak bisa ada yang keluar; itu kuncinya.
Sekali lagi saya ulangi satu hal yang kita sudah pernah bicarakan juga, mengenai kenapa dalam pernikahan, sering kali dikatakan Saudara tidak boleh mencintai pasanganmu lebih daripada Saudara mencintai Allah? Kenapa dalam pernikahan yang Kristiani, justru cintamu kepada pasanganmu itu bukanlah yang paling ultimate/tertinggi untuk Saudara bisa mencintai dia dengan baik? Aneh, ya. Waktu kita menikah ‘kan tidak ada nyanyian lagunya “jadikan aku yang kedua”, tapi dalam pernikahan Kristiani realitanya seperti itu, Tuhan harus jadi relasi yang pertama; kenapa? Karena soal cinta adalah masalah di mana kita mencari yang terutama, bagaimana kita mengisi secara terutama, cinta yang kita berikan kepada orang lain.
Saudara, yang namanya relasi itu ada sisi melayani, ada sisi dilayani. Semua relasi seperti itu. Itu sebabnya kalau dalam keluarga Saudara dijahati sama anakmu, Saudara pasti sakit, tapi Saudara tidak bakal sampai hancur-hancuran banget, Saudara tidak bakal terlalu desperate banget, karena itu bukan relasi yang terutama dalam hidupmu. Tentu Saudara mengasihi anakmu, tapi Saudara tidak terutama mencari dari dirinya untuk mengisi kolam kasih dalam hidupmu; bukan dari situ terutama, maka sakit sih sakit tapi tidak terlalu masalah. Tapi kadang-kadang kalau Saudara dijahati istrimu atau dijahati suamimu, itu jadi problem besar. Kalau anak misalnya ngeyel, kita mungkin tidak bakal terlalu masalah, kita kesal, kita merasa tidak bisa kayak begini, tapi kita juga tidak bakal sampai nangis-nangis atau marah atau memendam dendam, karena kita tahu itu adalah anak. Terhadap anak, fungsi kita terutama adalah memberi kepada dia, bukan mengambil dari dia. Tapi kalau dengan suami atau istri, tentu lain ‘kan. Kalau kita dijahati oleh suami, atau dijahati oleh istri, wah, itu sakitnya lebih, karena ini adalah relasi yang lebih utama. Semakin tinggi relasinya, semakin Saudara mencari dari mereka untuk mengisi kolam kasihmu itu, supaya Saudara bisa memberikannya kepada orang lain. Saudara mendapatkan kasih untuk bisa mengasih anak, karena Saudara mendapatkan kasih dari suami, atau dari istri. Kasih tersebut mengisimu, sehingga Saudara bisa memberikan kasih kepada orang lain.
Masalahnya, ketika relasi dengan istrimu atau suamimu itu jadi yang paling, atas apa yang terjadi? Ya, mereka tidak akan sanggup. Mereka itu manusia yang terbatas, yang tidak bisa dibebani dengan status “yang paling utama” –karena mereka itu terbatas. Akhirnya tidak fair. Yang Saudara lakukan itu seperti menyuruh tank seberat 6 ton lewat di atas jembatan yang cuma sanggup menanggung 2 ton. Pasti runtuh. Jadi inilah sebabnya Saudara harus mencintai Allah paling tinggi, relasi terhadap Allah harus jadi relasi yang paling utama. Kenapa? Karena dengan demikianlah Saudara akan mencari kasih yang mengisimu itu dari Allah. Itu kasih yang sempurna. Dengan demikian sekarang Saudara bisa melayani istrimu atau suamimu, meskipun mereka tidak sempurna, meskipun pelayanan mereka terhadapmu tidak perfect; kenapa? Karena Saudara tidak mengasihi istrimu atau suamimu atau anakmu dengan kasih yang mereka berikan kepada kamu; Saudara mengasihi mereka dengan kasih yang Saudara dapatkan dari Kristus, yang kasih-Nya kepadamu itu perfect.
Saudara, inilah kalau Saudara mau mengasihi istrimu dan anakmu, Saudara mau menjadi role model bagi mereka, Saudara harus punya role model ini, Saudara harus punya relasi dengan Kristus, dengan Allah Bapa, dengan Roh Kudus, yang beres dulu. Ini yang aspek pertama, Saudara menyadari relasi dengan Tuhan harus beres. Itu sebabnya kita membicarakan urusan relasi dengan Allah itu tidak abstrak, itu benar-benar yang realistis. Semua orang butuh ini. Kalau Saudara tidak punya ini, Saudara mau mengasihi anak istrimu dengan apa. Aspek yang kedua, Saudara bukan cuma harus menyadari relasi dengan Tuhan yang harus beres, tapi Saudara perlu menyadari selama ini apa yang saya tempatkan di tempat terutama. Saudara perlu coba cari hal tersebut; ini langkah yang kedua, karena tidak ada gunanya Saudara berpikir, ‘Oh, saya mau Tuhan masuk, menjadi Tuhan atas keluargaku’, kalau dalam rumahmu masih ada patung berhala besar. Jadi Saudara perlu dua hal ini: perlu menarik masuk sumber relasi yang terutama itu, dan Saudara juga perlu membuang relasi yang salah, Saudara perlu membuang berhalamu selama ini.
Bagaimana kita mengidentifikasi berhala? Kembali saya mengulangi cerita dari Harry Potter. Harry Potter diceritakan dalam buku-buku awalnya, dia lari kabur, bersembunyi di gudang atas Hogwarts; dan dia menemukan satu benda cermin yang ditutupi kain. Lalu dia membukanya; dan di cermin itu ditulis Mirror of Erised. Kata Mirror of Erised kalau Saudara lihat di cermin, tinggal dibalik saja maka jadinya Mirror of Desire. Waktu Harry Potter melihat itu, dia melihat dirinya berada bersama-sama orangtuanya yang sudah meninggal sejak dia kecil, yang dia tidak pernah kenal. Ini bukan maksudnya horor melihat hantu, tapi dia melihat orangtuanya itu memeluk dia, memandang dia dengan begitu kasih. Lalu dia panggil temannya, Ron, “Ron! Coba lihat, Ron, gue bisa lihat orangtua gue!” Ron datang. Ron memandang ke cermin yang sama, tapi dia tidak melihat orangtuanya Harry Potter. Apa yang dia lihat? Ron melihat: “Wow! Saya juara olahraga, saya ganteng”, dsb. Koq, bisa melihatnya yang lain? Mereka bingung. Kemudian Dumbledore, wizard yang wise itu, datang; Dumbledore mengatakan: “Mirror of Erised ini adalah cermin yang memberitahukan kepadamu the deepest and most desperate desire of your heart.” Ini adalah cermin yang memberitahukan kepadamu apa itu hasrat hatimu yang terdalam, yang paling desperate. Harry Potter tidak kenal orangtuanya; orangtuanya mati sejak dia kecil. Dia merasa yatim piatu, dia tidak pernah merasakan kasih dari figur orangtua; maka itulah yang dia rasa paling butuhkan, itu yang dia rasa paling inginkan. Dia merasa, kalau saya punya ini, maka ini yang akan membuat hidup saya oke; hidup saya ini miserable karena saya tidak punya ini. Dengan demikian, itulah yang dia lihat dalam cermin. Ron lain. Ron merasa, kalau saya jago olahraga, kalau saya ganteng, kalau saya dikelingi cewek-cewek, itu yang akan membuat hidup saya oke.
Saudara, apakah hal itu bagi hidupmu? Sudah perlu cari. Karena itulah yang selama ini menempati tempat relasi terutama itu. Saudara harus merunut, apakah itu, hal dalam hidupmu, yang mengontrol pikiranmu, yang mengontrol hidupmu, yang membuat hidupmu secara natural semuanya di-ajust ke arah sana. Kita mesti berani untuk mencari ini, merunut ini dalam hidup kita. Kalau saya sendiri contohnya adalah: waktu kecil saya merasa yang membuat hidup saya miserable adalah karena saya pendek. Saya waktu sekolah di SD selalu paling depan kalau baris, karena saya paling kecil. Saya merasa, ya inilah puber telat dan segala macam, karena orang lain tiba-tiba tinggi-tinggi sementara saya masih terus pendek. Kesal banget. Ini yang bikin saya jadi sering di-bully, diledekin, dan sebagainya. Kalau saja saya tinggi, maka itu akan menyelesaikan banyak hal dalam hidup saya. Lalu momen yang paling menyebalkan adalah ketika mama saya ajak saya ke MAKRO (sudah ganti jadi Carrefour, lalu ganti lagi, dst.), department store yang di situ banyak forklift lalu lalang karena bentuknya kayak gudang. Waktu datang ke situ, ternyata karena forklift banyak lewat maka anak kecil tidak boleh masuk. Bagaimana cara menentukannya? Ada papan penunjuk dengan garis-garis batas ketinggian, jadi kalau lu tingginya sebatas ini, baru boleh masuk gitu; dan garis batasnya masih di atas kepala saya! Saya kesal banget. Saya merasa, nah, inilah beneran problem hidup saya, karena saya pendek. Akhirnya apa yang terjadi Saudara? Yang terjadi adalah saya mengubah hidup saya demi mengejar hal tersebut, mengejar mau jadi tinggi. Saya ditawari oleh grandma saya waktu itu, “Ayo minum ramuan Cina ini, nanti kamu jadi tinggi”. Tadinya saya tidak mau, saya paling benci yang kayak gitu-gituan, tapi gara-gara peristiwa di MAKRO tersebut, akhirnya waktu pulang saya mengatakan, “Berikan kepada saya, saya akan minum”; dan setiap hari saya minum ramuan itu, puuaaaitttt-nya setengah mati kayak daun direbus. Tapi saya tetap minum –dan ujungnya tidak terlalu berhasil juga karena saya juga tidak tinggi-tinggi banget sekarang. Anyway, Saudara bisa melihat bahwa waktu itu, bagi saya hal yang paling penting, hal yang menentukan hidup saya, hal yang menarik semua hidup saya bergerak mengikuti (adjust) kepada hal itu, adalah ini: ingin jadi tinggi; karena buat saya itulah yang paling penting, itu yang membuat kalau saya punya maka hidup saya akan jadi oke. Jadi Saudara, ini yang kita perlu cek dalam hidup kita.
Kita itu perlu belajar memfokuskan diri kita kepada Kristus, tapi Saudara jangan pikir Kristus menjadi tuan atas rumahmu kalau di rumahmu masih ada patung berhala. Itu sebabnya dua hal ini perlu ada: perlu belajar memfokuskan diri kita kepada Kristus, tapi juga perlu belajar menyapih diri kita dari berhala-berhala kita. Kalau Saudara serius tanya jadi seorang laki-laki yang dependable, yang bisa memimpin, Saudara harus lakukan ini. Saudara, inilah salah satu sebabnya, kenapa dalam banyak tradisi Kekristenan kita sangat mementingkan Saat Teduh pagi-pagi, kenapa Saat Teduh sering kali bukan cuma dianjurkan dilakukan tiap hari tapi juga dilakukan tiap pagi; Kenapa? Alasan yang sama dengan kenapa kita melarang anak kita ngemil sebelum dia makan, yaitu karena kalau Saudara ngemil sebelum makan, Saudara tidak bakal ingin makan lagi; sedangkan kapi Saudara makan dulu sebelum ngemil, maka ngemil juga tidak bakal banyak karena sudah full dengan makanan yang sehat. Sama juga kalau Saudara tahu bahwa dalam hidup ini Saudara punya hal-hal itu, yang Saudara mencari makna hidupmu dari mereka, maka salah satu disiplin untuk Saudara bisa mengalahkan itu adalah mengenyangkan dirimu terlebih dahulu dengan Kristus. Itu sebabnya Saat Teduh itu pagi-pagi, karena sebelum Saudara melakukan aktivitas apapun yang lain, Saudara makan dulu roti hidup dari Kristus, sehingga apapun yang lain itu memang tetap bisa kuasa menggoda, tapi mereka tidak akan sebegitu menggodanya, karena Saudara sudah dikenyangkan terlebih dahulu oleh Kristus. Saya harap Saudara tanya ini serius, Saudara kalau mau jadi seorang laki-laki yang dependable dan memimpin inilah caranya.
Pertanyaan ketiga:
Bagaimana bisa membuat habit keluarga yang baik saat keadaan keluarga kurang baik?
Respons:
Kalau maksud Saudara tanya langkah-langkahnya, saya akan mengatakan saya tidak tahu, karena saya tidak bisa jadi kepala bagi keluargamu. Saudara adalah kepala keluargamu, Saudara yang harus pikirkan baik-baik apa cara yang paling tepat. Saya mau encourage Saudara, karena Saudaralah orang yang paling tepat untuk itu. Saudara yang ditempatkan di situ oleh Tuhan menjadi kepala keluarga di situ, Saudara yang paling mengenal mereka, paling tidak Saudara di tempat yang paling tepat untuk belajar mengenal mereka dengan dalam karena Saudara hidup dengan mereka. Jadi Saudaralah yang ada di tempat yang terbaik untuk memutuskan apa langkah yang harus Saudara lakukan.
Ini sebabnya kita berkali-kali mengatakan wisdom itu kontekstual, wisdom itu bukan google maps, Saudara. Saudara setoplah expect itu dari Gereja. Saudara perlu setop expect “harus 300 meter belok ke kiri atau belok ke kanan”; itu tidak akan diberikan, karena wisdom itu kontekstual, dan Saudara yang di konteks tersebut, Saudaralah yang bisa, dan paling tepat, untuk memikirkan langkah yang mana yang harus Saudara ambil. Waktu kita mendidik anak, ‘kan selalu kayak begitu, mana ada manual-nya, mana ada satu cara, pokoknya lakukan ini maka anakmu kan beres. Kalaupun Saudara menemukan ada manual pendidikan anak kayak gitu, Saudara tidak bakal percaya ‘kan? Karena yang kayak begitu jelas-jelas tidak kontekstual. Kita punya dua anak saja sudah dua konteks yang berbeda; satu cara mendidik yang bisa bekerja buat satu anak, tidak tentu bekerja buat anak yang kedua. Bahkan satu anak yang sama pun, dalam hari yang berbeda caranya harus bisa beda. Waktu Saudara mau mendidik anakmu, Saudara harus tahu hari itu dia lagi bad day atau good day, karena itu lain cerita. Jadi wisdom itu selalu kontekstual, Saudara; jangan minta hal-hal atau cara-cara atau langkah-langkah dsb. kepada orang-orang yang tidak mengenal keluargamu, yang tidak bisa mengenal keluargamu sebaik dirimu.
Dalam hal ini tidak berarti saya tidak bisa memberikan kepada Saudara apa-apa yang mungkin secara umum lebih universal, tapi sekali lagi tidak ini bukan benar-benar secara persis saya memberikan Saudara langkah-langkahnya. Saudara sendiri perlu belajar, trial and error —something yang kita sering kali sebagai orang Asia susah melakukan. Kita itu harus berani bereksperimen dalam keluarga kita, tapi kita, orang Asia, culture-nya “takut salah”, maka waktu kita takut salah, kita takut dimarahi, akhirnya kita tidak berani melakukan apa-apa. Namun itu bukan cara yang baik, Saudara. Waktu mencoba sesuatu, Saudara harus berani humble dan bisa menerima feedback dari keluargamu –tapi Saudara harus mencoba. Itu namanya jadi kepala keluarga, Saudara; karena Saudaralah orang yang paling in the best position untuk melakukan itu. Saudara coba lakukan sekarang, habit-nya ini dicoba. Selain itu, Saudara harus berempati dengan anak istrimu, Saudara harus perhatikan cara ini tepat atau tidak bagi mereka. Tapi kalau Saudara tidak pernah mulai, Saudara juga tidak bisa memperbaiki, tidak bisa merevisi, dan juga tidak bisa update.
Jangan pernah terlalu takut dengan trial and error, Saudara, karena itulah memang tempatnya keluarga, di situlah kita belajar. Saya banyak belajar dari Pendeta Heru untuk urusan konseling-konseling kayak begini. Pendeta Heru pernah bercerita, dia dulu juga orangnya clumsy, dia itu juga dulu –dan mungkin sampai sekarang– orangnya tidak terlalu bisa mikirin kebutuhan orang lain, dsb. Jadi dia seringkali dimarah-marahin oleh Novi (istrinya Pak Heru). Kalau sudah dimarahi sekali, kita sebagai orang Asia biasangya bagaimana, Saudara? Kita takut salah ‘kan, takut dimarahin, jadi kita tidak melakukan apa-apa. Namun Pak Heru mengatakan, dalam situasi seperti itu justru harus maju, justru harus melakukan; dan dia mencoba. Jadi misalnya dia dimarahi, “Lo itu ya, jadi suami tidak pernah mikirin makanan anak, dsb., pulang-pulang pokoknya minta makanan, tapi tidak pernah menyediakan makanan”. Lalu apa yang Pak Heru lakukan? Trial and error. Dia coba; ‘Oke berarti next time gue perlu pikirin hari ini sudah ada makanan belum? Gue perlu bawa makanan pulang atau tidak?’, dst. Dia trial and error, Saudara. Lalu suatu hari dia coba, dia bilang, “Oke, gue hari ini mau bawa makanan buat anak-anak”, dan dia beli KFC karena dia tahu anak-anaknya suka KFC. Dia pulang, dia bawa KFC, dia taruh di meja, semua anak-anak kesenengan. Novi marah-marah lagi, karena: “Lo itu tidak perhatian, ya, gue ini sudah 3 hari sakit leher; sekarang gimana caranya gue bisa makan itu??” Salah lagi. Tapi lalu bagaimana, Saudara? Trial and error yang improve; ‘berarti next time bukan cuma pikirin perlu bawa makanan, tapi ingat-ingat di keluarga gue ada yang sakit atau tidak, ada pantangan atau tidak?’ Saudara, ini caranya belajar, cara belajar yang semua orang bisa lakukan; bahkan inilah cara basic manusia belajar, trial and error.
Menjadi seorang bapak perlu juga kadang-kadang seperti ini, apalagi kalau Saudara memang orang yang tidak punya role model dalam arti bapak fisik, bapak bumi yang tidak terlalu jelas. Saudara perlu lakukan ini. Waktu Saudara memutuskan melakukan sesuatu, Saudara perlu memutuskan. Saudara perlu menjalankan. Saudara perlu memimpin. Saudara perlu berinisiatif. Namun tidak berarti apa yang kamu putuskan pasti benar. Saudara perlu mengembangkan juga empati, Saudara perlu membaca kebutuhan anak dan istrimu seperti apa. Itu harus dilatih, Saudara. Tidak ada orang yang dari lahir sudah ahli dalam hal ini. Kalau merasa Saudara tidak berpengalaman dalam hal itu, semua orang juga sama. Jadi jangan takut dengan itu. Kalau Saudara tanya, bagaimana membuat habit bagi keluargamu, Saudara start dengan membuat habit yang baik bagi dirimu dulu. Habit apa Saudara? Habit berempati. Habit bertumbuh dan berkembang. Habit belajar dari kesalahan. Waktu Saudara melakukan itu, harapannya adalah keluargamu juga akan bisa ada habit yang baik itu.
Pertanyaan keempat:
Bagaimana bisa tetap berinteraksi dengan saudara seiman, saat energi sudah tidak ada karena masalah keluarga?
Respons:
Kadang-kadang, bisa jadi energinya habis dengan masalah keluarga justru karena Saudara itu tidak punya interaksi dengan saudara seiman. Jadi jangan mikirnya kayak begini; kalau Saudara mikirnya kayak begini berarti di keluarga harus beres, habis itu baru bisa punya kekuatan untuk berhasil dengan saudara seiman; karena di keluarga Saudara di-drained lalu di KTB Saudara juga di-drained, akhirnya itu kayak toxic relationship yang cuma draining tapi tidak mengisi. Saudara, saya rasa salah satu sebabnya kita punya banyak relasi dalam hidup kita, adlaah karena relasi-relasi ini bisa saling mengisi juga. So, ini salah satu hal yang perlu juga.
Ikut KTB, tentu saja ada bagian di mana kita spend energy buat mereka, namun tentu idealnya adalah KTB dan interaksi dengan Saudara seiman itu juga jadi tempat di mana kita juga mendapat energi. Paling tidak, kalau Saudara KTB berlima, ‘kan tidak setiap minggu Saudara jadi orang yang mengisi; paling tidak satu kali mengisi dan empat kali diisi –ada cycle seperti itu. Saya tidak tahu konteks Saudara, bisa juga Saudaralah yang menyebabkan relasi saudara seiman ini jadi toxic, misalnya dengan Saudara yang menuntut orang lain mengisi kamu, sedangkan pas giliranmu harusnya mengisi, kamu mundur. Biasanya ini di KTB terjadi, ketika Saudara jadi orang yang pasif; sudah KTB-nya by zoom, lalu masuk pun tidak buka kamera, selalu mute, cuma dengar tok. Itu terlalu pasif; tidak heran kalau someday Saudara juga tidak mendapat apa-apa dari mereka, karena Saudara sendiri juga tidak mengisi orang lain. Ini hukum tabur tuai.
Kembali lagi, justru sometimes ketika energi habis di keluarga, persekutuan dengan saudara seiman itu bisa mengisi, karena memang Tuhan memberikan kepada kita kasih-Nya kadang-kadang lewat saudara seiman ini. Sebaliknya tentunya juga bisa, kadang-kadang kita habis energi dengan saudara seiman, lalu kita mendapat kekuatan dari keluarga kita, Tuhan memberikan kasih-Nya lewat keluarga kita. Ini bisa juga, namun mungkin dalam kasus Saudara tidak demikian, kasusnya energi habis di keluarga, Saudara merasa tidak bisa melayani saudara seiman. Dalam hal ini, mungkin justru Saudara di dalam persekutuan saudara seiman selama ini, kurang masuk, kurang intens, sehingga akhirnya Saudara tidak mendapat energi dari situ.
Bagaimana dalam KTB atau dalam interaksi Saudara seiman kita dapat kekuatan, misalnya ketika dalam keluarga kita merasa energi habis, lalu kita masuk KTB? Saudara, kadang-kadang di KTB justru indahnya begini: di KTB, Saudara diisi tidak tentu hanya dengan cara orang memberi Saudara solusi, memberikan kata-kata indah ayat-ayat Alkitab, dsb.; tidak tentu Saudara. Kadang-kadang yang saya rasa di KTB justru paling krusial –yang seringkali malah tidak ada di KTB kita, tapi seharusnya ini yang paling krusial di KTB– adalah sense of vulnerability yang sama, keterbukaan. Waktu di KTB, Saudara ‘kan share kehidupan, berarti Saudara share kehidupanmu bukan cuma momen-momen triumphant, momen-momen sangkakala, tapi juga momen-momen ratapan. KTB yang sehat seperti itu, di mana Saudara dalam memberikan kesaksian bisa tidak tertuntut seperti kalau Saudara memberikan kesaksian di Kebaktian, yang Saudara tertuntut seakan-akan apapun yang Saudara ceritakan harus ada happy ending-nya, harus ada berkat Tuhannya, karena Saudara dilihat orang banyak, takut, dan sebagainya. Di KTB harusnya tidak kayak begini –harusnya di Kebaktian juga tidak– kesaksian di KTB itu tidak perlu maksa ada happy ending, kesaksian di KTB itu tidak perlu ada sugar coating-nya harusnya. Dan, justru seringkali inilah yang menjadi kekuatan bagi orang-orang dalam KTB tersebut, ketika Saudara mendengar kehidupan orang-orang lain yang ternyata juga meratap sebagaimana Saudara meratap, yang semuanya juga tidak isinya cuma sangkakalah tok melainkan juga banyak ratapan-ratapan. Itulah kadang-kadang justru jadi kekuatan buat kita.
Kenapa bisa jadi kekuatan? Logikanya dari mana? Bukannya saya tambah parah, ya, Pak, karena saya sedang ada masalah lalu mendengar masalah orang lain? Tidak, Saudara; tidak tentu. Saya mau tanya, menurut Saudara salah satu problem yang utama dalam pernikahan hari ini apa; khususnya bagi pasangan yang masih dalam usia pernikahan yang muda, apa problemnya seringkali? Salah ekspektasi. Hampir 80% problemnya selalu itu. Istri dan suami datang ke pernikahan dengan ekspektasi yang tidak realistis, istri dan suami datang ke pernikahan akhirnya jadi pesimis, ‘koq, pernikahan kayak gini sih ancur banget??’ Kenapa jadi pesimis, justru karena awalnya datang dengan terlalu idealis, justru karena awalnya datang mengharapkan suami jadi jembatan yang cukup kuat untuk menanggung tank 6 ton. Itu ekspektasi yang tidak realistis. Akhirnya waktu runtuh, lalu mengatakan jembatannya rusak, jembatannya yang jelek. Pesimis; “Tidak ada jembatan yang bagus, semua jembatan kayak begini. Ini cowok brengsek, semua cowok brengsek.” Kenapa kayak begini? Karena ekspektasi tidak realistis, terlalu idealis.
Pertanyaan saya, Saudara dapat ekspektasi yang salah itu dari mana? Apa yang selama ini membangunmu, yang mengisimu, sehingga Saudara membangun ekspektasi yang tidak realistis seperti itu? Dari mana, Saudara? Ya, salah satunya dari sosmed. Waktu Saudara lihat gambar-gambar pernikahan teman-temanmu yang diperlihatkan di sosmed, di Instagram, di Facebook, itu palsu, karena yang namanya facebook itu cuma face. Pak Billy ‘kan pernah mengatakan facebook itu bukan dengkul book, bukan pantat book, bukan mata kaki book; Saudara tidak memperlihatkan bagian-bagian seperti itu di facebook, yang Saudara perlihatkan adalah bagian-bagian yang enak dilihat orang. Yang instagramable itu bukan realita, Saudara; maka waktu Saudara dipenuhi dengan dunia seperti ini, Saudara akhirnya pikir semua orang punya pernikahan bagus, cuma gue yang hancur sendiri. Padahal mereka semua juga sama hancurnya, hanya saja itu tidak mereka perlihatkan, tidak mereka posting di sosmed –sama seperti Saudara juga tidak posting problemmu di sosmed ‘kan.
Menarik ya, kalau Saudara menangani pasangan-pasangan yang punya problem, kadang-kadang bisa ada kesaksian bahwa salah satu kekesalannya adalah: “Orang semua pikir suami gue itu baik, orang semua pikir suami gue itu bagus, padahal kenyataannya tidak kayak gitu, Pak.” Kenapa begitu? Ya, karena Saudara juga pikir pernikahan orang bagus, padahal kenyataannya juga tidak kayak gitu. Jadi, dari mana Saudara bisa memperbaiki ekspektasi yang salah ini? Tentu saja dari khotbah, dari Firman Tuhan –itu jelas– tapi ‘kan kita tidak setiap kali khotbah mengenai pernikahan; lalu dari mana Saudara bisa minggu demi minggu, bulan demi bulan, disadarkan akan seperti apa gambaran pernikahan yang realistis itu? Dari kesaksian ratapan di KTB-KTB. Di KTB-KTB, waktu Saudara sharing, ternyata dalam pernikahan saya ada kesulitan seperti ini, lalu orang lain bilang, “Gue juga pernah mengalami hal yang sama.” Lalu mungkin ada yang mengatakan, “Saya juga dulu mengalami seperti itu, dan saya coba cara ini, akhirnya bisa lebih baik.” Jadi mungkin ada yang bisa memberikan solusi, meski itu tidak harus. Namun waktu Saudara mendengar orang-orang lain ternyata punya kesulitan pernikahan yang sama dan bergumul di hadapan Tuhan, Saudara malah dapat kekuatan. Saudara jadi tahu, ‘Oh, ternyata memang kehidupan pernikahan tidak semudah yang saya bayangkan; yang salah itu saya, yang salah itu adalah konsep saya mengenai pernikahan’; dan itu justru memberikan kekuatan waktu Saudara sekarang masuk ke dalam pernikahanmu sendiri. Inilah salah satu fungsi KTB; inilah bagaimana berinteraksi dengan saudara seiman, itu bisa membangunmu, bisa mengisimu dengan energi menghadapi keluargamu –meskipun KTB isinya bukan –dan tidak selalu harus– solusi.
Saudara, ini sebabnya persekutuan itu perlu; dan persekutuan tidak cuma diisi dengan urusan-urusan yang positif, tidak cuma isinya selalu keluar makan-makan, tapi sharing life, ups and downs-nya, trompet-trompetnya namun juga ratapan-ratapannya. Masalahnya, seringkali kita tidak mau melakukan hal ini –dan kita makin terpuruk. Saudara lihat pola dalam Alkitab ‘kan jelas, bahwa Kristus menyelamatkan kita, kabar baik itu datang bukan tanpa kematian, kabar baik itu datang bukan tanpa pergumulan. Itu satu hal yang kita sudah lihat berkali-kali. Jadi berarti kalau kita sebagai orang Kristen menghidupi hidup Kristiani, sama juga. Ini satu hal yang Saudara perlu pikirkan. Lalu bagaimana berinteraksi dengan saudara seiman saat energi sudah tidak ada, kenyatannya justru kadang-kadang energi untuk menghadapi keluarga itu bisa jadi datang dari interaksi dengan saudara seiman. Mungkin Saudara selama ini terlalu pasif, mungkin Saudara selama ini tidak meng-encourage culture KTB yang vulnerable itu.
Pertanyaan kelima:
Dalam penginjilan, kita kerap/selalu memberitakan penebusan Kristus untuk dosa-dosa kita, tapi hampir tidak pernah memberitakan kedatangan Kristus yang kedua untuk menghakimi dunia. Apakah berita penghakiman mengenai kedatangan Kristus perlu dan harus juga diberitakan dalam PI, supaya diinjili itu benar-benar sungguh-sungguh hidup dalam pertobatan, bahkan hal ini memang juga ditulis dalam Pengakuan Iman Rasuli?
Respons:
Saudara perhatikan kalimat pertanyaan tadi, ‘apakah berita penghakiman mengenai kedatangan Kristus perlu dan harus juga diberitakan dalam PI, supaya yang diinjili benar-benar sungguh hidup dalam pertobatan’.
Saya ada dua respons. Pertama, respons yang lebih umum dulu, kalau saya baca Saudara mengatakan istilah ‘kita’, dalam penginjilan kita melakukan ini atau kita melakukan itu, saya terus terang bertanya-tanya yang Saudara maksudkan sebagai ‘kita’ itu siapa, karena kadang-kadang labeling kayak begini kurang bagus, ya. Misalnya kita mengatakan, “Orang Yahudi itu masih menunggu Mesias, loh, sampai sekarang”. Saudara hati-hati, tidak semua orang Yahudi seperti itu. Yahudi itu tidak monolitik, Yahudi itu tidak satu aliran, sama seperti Kekristenan banyak alirannya, sama seperti Islam dan Budha banyak alirannya. Diverse, Saudara; banyak macam pemikirannya, banyak keunikan masing-masing. Jadi, pertama-tama waktu Saudara bertanya seperti tadi, Saudara perlu critical thinking, Saudara coba tanya dulu deh, yang Saudara maksudkan orang yang menginjili cuma memberitakan penebusan Kristus untuk dosa dan hampir tidak pernah memberitakan kedatangan Kristus dalam penghakiman, itu siapa? Jangan-jangan ternyata cuma sebagian kecil orang Kristen. Hanya saja karena Saudara ada di dalam lingkaran orang-orang itu, dan mungkin Saudara juga hanya tahunya orang-orang di lingkaran itu, hanya familiar dengan Kekristenan seperti itu saja, maka Saudara pikir semua orang Kristen melakukan itu, dan Saudara mengatakan ‘kita’. Hati-hati, Saudara, dengan hal ini, karena labeling-labeling seperti ini tidak tentu mewakili realitanya. Apa benar ‘kita’? Siapa yang Saudara maksud dengan ‘kita’ di sini?
James Smith pernah ditanya, “Ada pikiran apa Pak James Smith terhadap orang-orang yang menamakan dirinya exvangelical? Saudara tahu istilah exvangelical maksudnya orang-orang yang tadinya evangelical, orang-orang injili yang sudah keluar karena kecewa dengan evangelicalism. Banyak dari mereka lalu menamakan diri exvangelical. Banyak dari mereka juga yang bukan cuma meninggalkan injili, tapi bahkan meninggalkan Kekristenan. Lalu James Smith mengatakan, “Saya akan mengatakan ini kepada mereka kalau saya punya kesempatan: ‘eh Kekristenan itu bukan cuma evangelical loh; lu tolak evangelicalism, ya okelah, tapi itu tidak tentu harus tolak Kekristenan, karena evangelical itu cuma sepojok kecil dari seluruh Kerajaan Allah yang luas. Kamu harus sadari ini. Mari sini, kuperkenalkan dengan Anglican, kuperkenalkan dengan Eastern Orthodox, di sini juga ada banyak keindahan yang Tuhan berikan dalam tradisi-tradisi yang lain, koq”.
Jadi, hati-hati dengan labeling, karena ujungnya mungkin ini bukan membongkar kesempitan kelompok yang kamu sudah kritisi, tapi malah membongkar kesempitanmu sendiri, karena sebenarnya mayoritas Kekristenan yang ada itu tidak sesempit itu. Hanya saja, mungkin jangan-jangan Saudara tidak familiar dengan mereka, karena duniamu selama ini tinggal di menara gading. Saudara perlu kritisi dirimu dalam hal ini; itu respons saya yang pertama.
Yang kedua, saya mau merespons spesifik usulanmu, untuk memberitakan pemberitaan penghakiman supaya yang diinjil itu hidup dalam pertobatan. Dalam hal ini, Saya tidak ada problem sama sekali dengan berita penghakiman masuk dalam penginjilan; pertanyaan saya adalah: apa yang Saudara maksud dengan berita penghakiman? Sekali lagi, labeling ini harus jelas. Berita penghakiman itu apa? Kalau saya nebak-nebak, kemungkinan pertama maksudnya adalah penghakiman bagi orang berdosa, makanya Saudara mengatakan pertobatan yang sungguh-sungguh itu datang ketika kita memberitakan berita penghakiman. Kalau misalnya kayak begini, saya menerka-nerka bahwa Saudara pikir pertobatan yang sungguh-sungguh datang karena takut dihakimi, karena takut dosa Saudara dihakimi dihadapan Tuhan. Itu yang membuat Saudara merasa inilah berita injil yang tepat, maka kita lalu menakut-nakuti, “Eh, lu masuk neraka lu, ya, kalau lu tidak bertobat”. Itulah berita injil yang Saudara rasa perlu, maka sesuadh itu kita menutup dengan: “Tapi Tuhan Yesus sudah menebus bagimu, sudah mati bagimu”, dsb. Jadi maksudnya orang bisa hidup bertobat sungguh-sungguh karena takut dihakimi. Tapi Saudara, sejak kapan sih motivasi takut itu menghasilkan perubahan yang sejati? Di mana ada motivasi takut yang menghasilkan perubahan yang sejati?
Saya pakai contoh yang sering terjadi: Suami diancam cerai, “Gue udah ‘gak tahan sama lu; lu koq kayak gini terus, ya. Gue mau cerai sama lu!” Lalu suaminya mengatakan, “Oh, iya, iya, iya, gue berubah, gue berubah, gue berubah.” Lalu apa beneran dia berubah, Saudara? “Beneran, Pak, sejak saat itu dia lebih serius menanggapi saya, dia lebih serius memperhatikan anak-anaknya. Dia berubah, Pak.” Tunggu saja, Saudara, tunggu sampai dia mulai merasakan ancamannya berkurang, karena dia bukan takut sama dosanya, dia takut dengan akibat dosanya. Itu dua hal yang berbeda. Nanti, waktu si suami merasa istrinya sudah lebih oke, sudah tidak memberi ancaman lagi, dia akan kembali ke pola awalnya, karena yang dia masalahkan bukan dosanya, yang dia takut adalah akibat dosa itu. Ini tidak lasting change, Saudara; rasa takut kayak begini tidak menghasilkan pertobatan sejati. Justru rasa takut seperti ini yang kita mau hindari waktu kita menginjili, karena kita tidak mau pertobatan yang ujungnya cuma di permukaan tok. Mungkin Saudara merasa orang-orang yang seperti itu lebih kelihatan bertobat; ya, bisa jadi, karena mereka hidup dalam ketakutan.Tapi itu bukan pertobatan yang sejati. Mungkin itu sebabnya Saudara, Kekristenan yang bertanggung jawab tidak akan terlalu menekankan urusan penghakiman seperti itu ketika menginjili. Kenapa? Karena kita memang tidak mau mengajak orang bertobat karena takut penghakiman. Injil itu good news, Saudara, bukan fearful news, bukan bad news.
Di sisi yang lain, apakah jadinya tidak usah bicara sama sekali mengenai penghakiman? Tidak tentu. Sekali lagi, tergantung yang saya tanya tadi, apa yang Saudara maksud dengan berita penghakiman. Kalau Saudara belajar Alkitab –kembali ke Alkitab– nuansa judgement dalam Alkitab tidak selalu yang nuansanya bad news tadi, nuansa judgement dalam Alkitab tidak selalu nuansanya itu kertakan gigi dan ketakutan. Contoh yang paling gampang, Mazmur 96, “Biarlah langit bersukacita, bumi bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya, biarlah beria-ria padang dan segala yang diatasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai di hadapan Tuhan. Sebab ia datang, ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kesetiaan-Nya, maka pohon-pohon bersorak-sorai, maka gunung-gunung melompat …”, dan seterusnya. Itu ayat yang terkenal, Saudara; mereka melompat-lompat karena penghakiman.
Jadi, di sisi yang lain, yang namanya penghakiman, itu tidak harus bad news, penghakiman itu bisa jadi good news, tergantung Saudara di sisi meja pengadilan sebelah mana. Kalau Saudara adalah pihak korban, pihak yang dianiaya oleh pihak yang punya kuasa, maka Saudara powerless, tidak bisa melawan dia, lalu disuruh membawa kasusmu ke hadapan hakim, lalu hakim tersebut mengadili dan menjatuhkan vonis penghakiman kepada pihak yang menganiayamu, maka responsmu akan seperti pohon-pohon di Mazmur tadi, bersorak-sorai. Itu kabar baik buatmu. Ini berita penghakiman, bukan? Iya. Ini nuansa penghakiman yang mungkin lebih sesuai dengan ayat di Mazmur tadi. Ini good news. Inilah salah satu aspek dalam Injil Alkitab, bahwa Allah mengatakan, Aku akan menghakimi bumi. Kejahatan tidak akan menjadi kata terakhir; penganiayaan tidak akan menjadi kata terakhir. Tidak akan selama-lamanya Aku membiarkan orang yang jahat seenak jidat. Itu kabar baik, Saudara. Tuhan suatu hari akan datang kembali, meluruskan apa yang bengkok, membuat adil yang timpang.
Kembali lagi, waktu Saudara tadi mengatakan berita penghakiman, berita penghakiman yang mana yang Saudara maksud? Yang tadi, atau yang ini? Makanya sekali lagi, hati-hati dengan labeling. Sebelum Saudara menghakimi aliran Kristen tertentu kurang ini dan kurang itu, ada baiknya Saudara memperdalam dulu istilah-istilah yang Saudara pakai; bisa jadi Saudara mengertinya juga hanya sebagian ternyata. Kalau Saudara tahunya tidak mendalam, lalu ngomong kritik kayak begini, itu jadi seperti pendekar kungfu yang turun gunung dengan ilmu setengah jadi. Dalam film-film pendekar kungfu yang turun gunung dengan ilmu setengah jadi, ujungnya jadi preman, tidak membantu siapa-siapa, jadi tukang cari ribut tok. Saudara hati-hati dengan ini.
Pertanyaan keenam:
Seberapa besar dampak pertumbuhan rohani jemaat bila ikut KTB (terlepas dari sudah ikut Kebaktian dan PA)?
Respons:
Saya rasa bedanya antara Saudara ikut Kebaktian dan PA, dengan urusan KTB. Kalau Saudara ikut Kebaktian dan PA saja, Saudara tentunya bisa menjadi seorang believer; namun di KTB, Saudara menjadi seorang disciple. Itu beda yang terutama Saudara. Dan, saya rasa inilah problem-problem banyak gereja, termasuk gereja kita. Tuhan Yesus mengatakan dalam Amanat Agung, ‘jadikanlah segala bangsa murid-Ku’ —disciples –tapi sering kali banyak orang Kristen ke GRII khususnya memang cuma mau jadi believer tok, tidak mau jadi disciple.
Disclaimer dulu ya, tentu tidak semua KTB pemuridannya bagus, dan juga tidak semua pemuridan/discipleship datangnya dari KTB. Tapi sekali lagi, menjawab pertanyaanmu secara umum, inilah bedanya antara orang yang hanya ikut Kebaktian dan PA, dan orang yang ikut KTB. Orang yang ikut Kebaktian dan PA itu lebih pasif, dia lebih cenderung konsumeristik, menerima tok, dia lebih cenderung individualistik. Orang yang ikut KTB, ya lebih komunal, lebih ada aktifnya, lebih tidak bisa datang cuma buat menerima tok. Itu sebabnya dalam Kebaktian dan PA –at least Kebaktian dan PA gaya kita di sini– more or less yang jadi fokus adalah Saudara dituntut untuk bisa setuju dengan posisi doktrin tertentu, setuju dengan kebenaran tertentu misalnya. Saudara juga perlu setuju dengan gaya khotbah tertentu, Saudara percaya bahwa gaya ibadah ini dengan teologi di belakangnya itu benar. Itulah menjadi believers. Memang di Kebaktian dan PA salah satu fungsinya seperti itu. Tapi dalam KTB dan dalam kehidupan komunitas Gereja, Saudara tidak bisa berhenti disitu. Saudara harus mempraktikan apa yang Saudara believe, Saudara harus mulai embody menghidupi belief-belief tersebut.
Satu contoh yang simple, baru saja dalam PA hari Rabu kita bicara mengenai satu pengertian Gereja sebagai gimnasium. Ini berarti Gereja itu bukan tempat cari jawaban; Gereja adalah tempat kita dilatih, dididik, dibangun, untuk melayani Tuhan –makanya gimnasium. Sekarang waktu Saudara dengar kalimat ini di PA dan Kebaktian, Saudara bisa mengangguk-angguk, “Ya, benar juga sih, Pak, Gereja adalah tempat kita dilatih, dididik, diperlengkapi, didorong, di-train, untuk menjadi pelayan Tuhan”. Jadi secara teori oke, tidak kontroversial; tapi, bagaimana kita melihat istilah melayani Tuhan, dengan bagaimana kita actually menjalankan meng-embody pelayanan tersebut, itu hal yang beda. Hari ini orang diajak ikut pelayanan tidak pakai konsep gimnasium; orang diajak pelayanan, lalu merasa ‘saya pelayanan yang ini saja, saya jangan pelayanan itu; saya support dari belakang saja, aya jangan jadi leader’. Kenapa kayak begini, Saudara? Karena kita menghidupi konsep yang lain. Kita mungkin memikirkan konsep yang benar, tapi kita sedang menghidupi dan menjalankan konsep yang lain. Kita pikir pelayanan yang proper adalah seperti kerja, saya kerja berarti saya mengerjakan apa yang saya mampu dan yang saya sudah bisa hari ini, apa yang saya sudah qualified hari ini; itulah kerjaan yang proper, maka pelayanan juga harus seperti itu. Yang seperti ini, bukan gimnasium, Saudara.
Kalau Gereja itu tempat pelatihan, gimnasium, maka Saudara lihat ya, waktu masuk ke gimnasium, Saudara melihat gambar-gambar posternya apa? Encek-encek kurus krempeng, angkat barbel. Apakah Saudara lihat gambar-gambar poster gym itu engkong-engkong gendut lagi angkat barbel? Tidak ‘kan. Yang Saudara lihat gambar-gambar poster di gimnasium adalah orang-orang berotot, kakek-kakek tapi masih begitu kuat, ibu-ibu tapi badannya fit banget, dsb. Siapa yang pernah masuk gym lalu mengatakan, “Oh, saya tidak kayak begini, tidak mampu saya, jauh banget saya, sudahlah saya bubar saja” ? Memang mungkin ada yang mengatakan seperti itu, namun secara umum orang ke gym tidak untuk seperti itu. Orang ke gym, dia melihat ‘saya mau jadi seperti ini; ini tempat saya dilatih jadi seperti itu; mungkin tidak bakal perfect jadi kayak dia, tidak mungkin juga, sudah tidak ada waktu, tapi saya mau jadi seperti itu’. Itulah gimnasium. Kalau Saudara masuk ke gimnasium, Saudara datang untuk menjadi seseorang yang bukan Saudara pada hari ini; Saudara masuk ke gimnasium, Saudara diajak untuk menjadi someone yang different dari dirimu hari ini, Saudara diajak untuk berubah, untuk dilatih menjadi orang yang lebih melakukan banyak hal yang sebelumnya Saudara tidak bisa lakukan. Itu namanya gimnasium. Tapi, Saudara lihat tidak betapa kita waktu menghidupi kita di Hereja, kita tidak pakai konsep seperti ini –meskipun Saudara bisa menangguk-angguk setuju, ‘Oh iya, benar Pak, Gereja itu gimnasium’; sedangkan waktu Saudara diajak melayani, jawabannya: “Oh, jangan saya, saya jadi supporter saja, saya jangan jadi leader. Saya tidak ada talenta seperti itu”, dsb.
Dalam Gereja, waktu Saudara masuk KTB atau dalam komunitas yang lain, ujungnya Saudara akan selalu disuruh, dipaksa, bahkan untuk melayani di bidang-bidang yang Saudara rasa tidak suka, di bidang-bidang yang Saudara rasa tidak mampu, dengan orang-orang yang Saudara rasa tidak tentu bisa nyambung. Itulah realitas di Gereja, Saudara –makanya Gereja itu gimnasium. Kalaupun Saudara seperti tadi, jadi orang yang mau masuk ke pelayanan karena Saudara rasa bisa, oh saya ada talenta nyanyi jadi saya masuk Paduan Suara, maka begitu Saudara masuk, Saudara akan tabrakan dengan realitas Gereja sebagai gimnasium; kenapa? Karena di Paduan Suara pun, Saudara tidak bisa bernyanyi sebagaimana Saudara biasanya bernyanyi, Saudara akan disuruh melatih mengeluarkan suara-suara yang Saudara tadinya tidak mampu untuk mengeluarkan, Saudara akan disuruh menyanyi lagu-lagu yang mungkin bukan seleramu selama ini. Itulah realitas di Gereja. Cepat atau lambat, waktu Saudara melayani di Gereja, Saudara pasti bertemu hal-hal seperti ini. Ironisnya, waktu kita bertemu dengan hal-hal seperti ini, apa respons kita? Kita kaget, kita bingung, kita kecewa, padahal kita percaya Gereja itu gimnasium, namun waktu disuruh menghidupi konsep seperti itu, Saudara baru sadar itu cuma teori. Itu sebabnya di manakah apa yang Saudara belief bisa menjadi sesuatu yang disciple dalam hidup Saudara, di manakah apa yang Saudara percaya itu bisa mulai dihidupi, di-embody dalam hidupmu, di manakah belief bisa turun menjadi discipleship, Saudara? Dari kehidupan komunitas gereja, salah satunya dalam KTB. Sekali lagi, mendengar ini, Saudara bisa menganguk-anguk, karena ini Saudara sedang di Kebaktian, tetapi hanya di KTB atau sejenisnya, barulah Saudara benar-benar memikul beratnya anggukanmu itu kayak apa. So, ini satu hal yang kita perlu pikirkan; ini sebabnya KTB penting.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading