Pertanyaan pertama (ada 2 pertanyaan, kategori practical living):
- Dalam ibadah tanggal 16 Juni mengenai doktrin dosa, membicarakan keterasingan dengan diri sendiri; saya adalah orang itu, yang merasa tidak bisa bergerak karena lubang dosa sudah terlalu besar. Rutin ibadah dan PA, tapi diri masih berasa kosong. Doa juga rasa kosong. Apakah saya belum bertobat? Meskipun sudah merasa sudah bertobat. Apa yang harus saya lakukan?
- Saya sudah dibaptis, percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya. Saya juga rajin baca Alkitab. Namun saya suka bohong dan suka berjanji tapi lupa sama janji saya dengan orang lain. Saya akan lupa dengan mulut manis saya sampai orang dirugikan tapi saya tidak rasa salah. Apakah saya Kristen sejati?
Jawaban/respons:
Ini problemnya kira-kira apa? Problemnya adalah Saudara merasa sudah Kristen tapi hidupmu seperti tidak berubah, hidupmu seperti masih di dalam dosa; atau Saudara merasa hidupmu ada kekosongan. Jadi Saudara bertanya-tanya apakah Saudara ini Kristen atau bukan. Bagaimana kita merespons hal ini?
Respons saya ada dua sisi –dua sisi yang kita tidak boleh pisahkan. Kita akan coba bicarakan satu-satu, tapi Saudara ingat dari awal bahwa keduanya harus dipegang bersamaan dan bukan dibenturkan satu dengan yang lain. Yaitu yang pertama, keselamatan itu bukan jasa manusia; namun yang kedua, keselamatan itu ada melalui peran manusia. Bukan jasa manusia, tapi ada peran manusia –ini kalimat dari pendeta Agus Marjanto. Injil meniadakan jasa manusia, tapi Injil tidak meniadakan peran atau kerja manusia. Inilah dua sisi yang kita perlu pegang bersamaan dalam menjawab pertanyaan seperti ini.
Sisi yang pertama, waktu Saudara meragukan keselamatanmu, Saudara harus menyadari keselamatan itu bukan jasamu. Ketika Saudara menemukan dirimu ada dosa, ada kekosongan, lalu Saudara mempertanyakan keselamatanmu, Saudara perlu merespons ini dengan kembali mengingat Injil. Saudara perlu kembali menginjili dirimu sendiri. Ini habit yang perlu dilakukan banyak orang Kristen. Inilah sebabnya kita harusnya rutin membaca dan mempelajari Alkitab. Kenapa? Karena dalam Alkitab itu Saudara menemukan Injil di mana-mana, tidak cuma dalam berita Yesus Kristus Saudara, tapi termasuk juga misalnya perjanjian lama. Misalnya Saudara membaca kisah Gideon; Saudara ingat apa yang terkenal dari kisah Gideon? Oh. kita pikir Gideon itu adalah cara orang untuk menentukan masa depan kalau dia bingung, yaitu dengan dia minta tanda kepada Tuhan. Kita sudah pernah bahas berkali-kali, bukan itu poinnya, karena kalau Saudara kembali ke Alkitab, Alkitab itu selalu adalah wahyu Tuhan, maka Alkitab bicara mengenai siapa diri Tuhan. Itulah yang Saudara harus cari, bukan mengenai siapa diri Gideon, bukan mengenai apa yang kita harus lakukan –bukan terutama itu Saudara– melainkan seperti apa diri Tuhan yang sedang digambarkan dalam kisah Gideon. Gideon bukan orang hebat. Gideon adalah orang yang diberi tanda satu kali tidak cukup, dia merasa harus minta lagi, padahal udah jelas. Setelah dia minta tanda dobel pun dia masih takut menjalankan perintah Tuhan, sehingga akhirnya Tuhan memberi dia tanda lagi, meskipun dia tidak minta. Itulah Gideon. Gideon itu pengecut, peragu; namun poin dari kisah ini adalah Tuhan tetap bekerja melalui Gideon, yang peragu dan penakut itu. Itulah poin dari cerita guntingan bulu domba dalam kisah Gideon, bukanlah untuk jadi buku manual kalau orang Kristen bingung silakan minta tanda. Bukan itu; poinnya adalah injil. Cerita Alkitab adalah Allah yang bekerja memakai orang-orang yang tidak sempurna, orang-orang yang pengecut, orang-orang yang peragu seperti Gideon, orang yang hidupnya masih banyak dosa. Kenapa? Karena Tuhan mau menunjukkan kepada orang Israel, sebagaimana dalam cerita itu ada kalimat yang jelas, yaitu: Jangan sampai orang Israel memegahkan diri terhadap Aku; jangan sampai mereka berkata tanganku sendirilah yang menyelamatkan aku. Tuhan tidak mau itu. Tuhan tidak mau ada yang mencuri kemuliaan-Nya, maka Tuhan kerja dengan cara seperti ini, bukan lewat orang-orang yang hebat, melainkan lewat orang-orang yang tidak sempurna. Inilah Injil.
Saudara menemukan hal yang sama saat membaca mengenai Abraham yang hidupnya jatuh bangun. Saudara membaca hal yang sama saat membaca mengenai Musa yang tidak sempurna. Saudara membaca hal yang sama saat membaca mengenai Daud; dan seterusnya. Mereka semua ada kekurangan, namun Tuhan mau memakai mereka. Kenapa? Karena Tuhan kita itu Tuhan yang beroperasi atas dasar anugerah. Jadi, ketika Saudara hari ini melihat dirimu ada sesuatu yang rusak, lalu Saudara jadi ragu akan keselamatanmu, Saudara harus sadar itu bukan Injil. Itu menyalahi dasar Injil, Saudara. Kalau Saudara pernah lihat ada orang lain yang misalnya karena hidupnya begitu baik, begitu hebat, maka dia begitu confident bahwa dia diperkenan Tuhan karena dia begitu sempurna, maka Saudara harus sadar satu hal, bahwa apa yang mendasari orang sombong seperti itu tidaklah beda dengan apa yang mendasari keminderan dalam hatimu juga. Baik engkau yang minder, maupun mereka yang sombong, sama-sama melihat kepada diri. Oh, saya hebat, saya baik maka saya diterima Tuhan; atau saya berdosa, saya rusak, saya hancur maka saya pasti dibuang Tuhan, saya bukan orang Kristen. Ujungnya sama saja. Meski fenomenanya seperti berbeda, seperti bertabrakan, namun dasarnya sama: Saudara melihat kepada diri, bukan kepada Allah.
Jadi dalam hal seperti ini poin respons saya yang pertama adalah: keselamatan itu bukan jasamu. Itu sisi yang pertama. Saudara harus mengingat ini. Waktu Saudara meragukan keselamatanmu karena Saudara ada dosa, Saudara harus ingat bahwa saya memang bukan dibenarkan karena saya sudah murni hilang dosa, karena saya sempurna; bukan itu. Inilah injil. Itulah sisi yang pertama. Namun ada sisi yang kedua yang harus dipegang bersamaan, yaitu meski keselamatan memang bukan jasamu, meski keselamatan memang bukan andilmu, keselamatan itu bukan serta merta tanpa peranmu sama sekali. Inilah uniknya Alkitab.
Koq bisa sih, berperan tapi tidak berjasa? Bisa, Saudara. Sama seperti hari ini Saudara disuruh mempersembahkan persembahan atau perpuluhan, itu Saudara berikan dari uang hasil gaji. Gaji itu hasil kerja siapa? Hasil kerja Saudara. Saudara tahu, memang Saudara ada peran dalam menghasilkan uang tersebut. Namun in the end semua berkat uang tersebut ‘kan bukan hasil dari jasamu, sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa itu anugerah Tuhan yang memberikan kehidupan kepada Saudara, sehingga Saudara bisa kerja. Tuhanlah yang memberikan kesempatan, memberikan pendidikan, memberikan tangan, kekuatan, privilege, keluarga, dan seterusnya. Saudara mau kerja keras segila apapun, kalau Saudara tidak ada napas, Saudara mau apa? Tidak bisa ‘kan?
Sama seperti itu, saya suka pakai analogi berikut ini. Seorang anak kecil memberikan gambarnya, hasil coret-coretannya kepada mamanya. Siapa yang menggambar ini? Si anak ‘kan; bukan mamanya yang menggambar. Tapi siapa yang beri dia krayon untuk menggambar? Siapa yang beri dia kertas? Siapa yang beri dia makanan? Siapa yang menyusui dia? Siapa yang mengandung dia sembilan bulan? Lewat siapa kehidupan datang bagi anak itu? Saudara bisa melihat ‘kan. Sekarang saya mau tanya, gambar itu, gambar hasil coret-coretannya itu, jasa si anak atau bukan? Bukan. Tapi itu gambar muncul melalui peran si anak. Jadi Saudara lihat, sebenarnya bukan cuma keselamatan yang seperti ini Saudara, tapi juga seluruh hidup kita beroperasi pada dasar yang sama. Seluruh hidup kita itu juga anugerah dari Tuhan, itu bukan jasa kita, namun dalam hidup kita ini Tuhan mau memberikan peran-peran bagi kita untuk menjadi jalan Tuhan memberikan berkat-Nya dan anugerah-Nya. Misalnya, Tuhan ingin memberkati Saudara dengan kecukupan bagimu dan bagi keluargamu dalam hidup ini, tapi Saudara tidak mau kerja baik-baik, jadi Saudara dipecat terus, maka akhirnya Saudara gagal mendapatkan berkat dari Tuhan. Kenapa? Karena peranmu gagal. Tapi, kalau Saudara mendapatkan, Saudara tahu itu bukan jasamu. Inilah sisi yang kedua, Saudara.
Jangan tabrakkan antara jasa Tuhan dengan peran manusia. Saudara lihat kembali Kitab Kejadian, manusia diciptakan untuk apa? Untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan, menjadi cara Tuhan berkehendak. Itu sebabnya kehendak Tuhan dan kehendak manusia harusnya tidak bertentangan –namun kita kadang suka melihatnya bertentangan. Tadi saya baru jawab pertanyaan di kebaktian pagi; orang bertanya: kalau Tuhan sudah menetapkan umat pilihan, kenapa kita harus menginjili. Jadi maksudnya ini seolah-olah bertentangan, kalau Tuhan menetapkan berarti harusnya kita itu ‘gak perlu menginjili, kalau kita menginjili berarti harusnya Tuhan ‘gak menetapkan. Itu seolah-olah tertabrakan; tapi bukan demikian melihatnya. Allah itu menciptakan manusia menjadi perpanjangan tangan-Nya, menjadi gambar dan rupa-Nya. Jadi, adalah kehendak Tuhan menetapkan umat pilihan –itu kehendak Tuhan, itu jasa dari Tuhan, itu Roh Kudus yang diberikan supaya manusia bisa bertobat dan selamat– namun itu datang melalui siapa? Iman datang melalui pendengaran. Pendengaran datang dari mana? Paulus bertanya, bagaimana bisa dengar kalau tida ada yang mengabarkan. Jadi siapa yang mengabarkan? Manusia. Peran manusia. Apakaj Jasa manusia? tidak. Namun bukan berarti tidak ada peran manusia. Jangan cuma pegang salah satu.
Itu sebabnya ketika Saudara diselamatkan, Saudara itu bukan disetop perannya; Saudara diselamatkan berarti Saudara dipulihkan perannya menjadi gambar rupa Tuhan. Dipulihkan lewat anugerah Tuhan. Jadi waktu Saudara meragukan keselamatanmu, Saudara perlu tanya kedua aspek ini. Pertama, selama ini Saudara mendasarkan keselamatanmu atas dasar jasa siapa, jasamu atau jasa Kristus bagimu. Di situ Saudara baru menyadari jasa Kristus, maka Saudara tidak perlu meragukan keselamatanmu. Ketika Saudara menyadari ada dosa dan kerusakan dalam hidupmu, kalaupun Saudara bisa sampai sadar hidupmu ada dosa dan kerusakan, maka itu adalah tanda anugerah Tuhan lewat bekerja dalam hidupmu, karena itu adalah peran Roh Kudus yang convincing umat Tuhan akan dosa-dosa mereka.
Di sisi lain, ketika hidupmu ada dosa dan kerusakan, Saudara stagnan, Saudara tidak bertumbuh, maka memang benar Saudara sedang gagal, tapi ini bukan gagal selamat. Apa yang gagal disini? Kegagalannya dalam hal apa? Saudara sedang gagal menjalankan peranmu sebagai orang yang telah diselamatkan. Itu kegagalannya. Saudara gagal untuk menerima berkat-berkat Tuhan bagi dirimu, dan Saudara gagal untuk menjadi saluran berkat Tuhan bagi orang lain. Itu kegagalannya, maka Saudara perlu minta ampun kepada Tuhan. Saudara perlu memperbaiki hal ini, kerja keras untuk membereskan hal ini. Tapi ini bukan problem keselamatan; ini problem pengudusan. Itu sebabnya Paulus mengatakan kerjakan keselamatanmu; maksudnya karena ada peranmu di situ. Saudara ada kekosongan dalam hati, isilah dengan belajar firman Tuhan. KalauSaudara habit berbohong, bikinlah habit yang baru untuk mengalahkan habit yang lama.
Dua hal ini harus dijaga berbarengan. Banyak orang yang salah mengerti selama ini, adalah karena mereka cuma pegang salah satu. Ada orang-orang yang cuma memegang aspek peran manusia. Oh, saya berperan, jadi kalau saya ‘gak ada kebaikan dalam hidup saya, saya ‘gak selamat. Celaka, Saudara. Akhirnya sampai kapan pun Saudara berjuang mati-matian, Saudara akan tetap dirundung keraguan. Atau, Saudara berubah menjadi orang yang menipu diri, merasa diri cukup hebat maka diselamatkan. Bahaya ‘kan. Namun sebaliknya, kalau Saudara cuma pegang sisi yang awal, Oh, keselamatan bukan jasa saya, itu semua peran Tuhan, jasa Tuhan juga, saya ‘gak ada perannya apa-apa; jadi bodo amatlah, gue mau ke pelacuran, gue mau segala macam, Tuhan tetap menyelamatkanku. Ini juga sama salahnya; kenapa? Karena cuma pegang salah satu. Alkitab itu ada dua-duanya, Saudara. Keselamatan adalah jasa dari Tuhan, namun datang melalui peran manusia.
Dalam hal ini Luther paling bagus waktu dia membahas Mazmur, ayat yang mengatakan Tuhanlah yang meneguhkan palang pintu gerbang kota. Di situLuther tanya, siapa yang bikin palang pintu gerbang kota? ‘kan tukang kayu, tukang pintu; lalu koq bisa bilang Tuhan yang meneguhkan? Mazmur ini ngawur?? Saudara, Mazmur mau mengajak kita melihat bahwa waktu Tuhan memberikan berkatnya kepada manusia, Tuhan memang seringkali memakai kita, peran manusia, untuk melakukan hal tersebut. Jadi, kalau Saudara tanya, harus melakukan apa dalam kekosongan hidupmu, dalam dosamu yang banyak; jawabannya: Saudara harus melakukan banyak hal, salah satunya misalnya mulailah Saudara baca buku-buku yang baik. “Ah, baca buku ‘gak ngaruh, Pak”. Cuma orang yang tidak membaca buku yang bilang kayak begitu. Kalau Saudara lihat orang berkotbah dengan baik, Saudara langsung bilang dia itu kelihatan banyak baca, Tapi kalau Saudara disuruh baca sendiri, Saudara tidak mau?? Ini peranmu Saudara. Dan di GRII –meskipun tidak cuma di GRII– ditekankan berkali-kali bahwa pengetahuan Alkitab, theologi, dsb., bukan hanya milik para hamba Tuhan. “Saya harus baca apa, Pak?” Kita ada perpustakaan, mulailah dari sana. Itu peranmu, tanggung jawabmu. Lalu kalau Saudara tidak melakukannya, apakah Saudara akan kehilangan keselamatan? Ya, enggaklah. Jika Saudara sudah memiliki Roh Kudus, ini bukan urusan keselamatan, melainkan Saudara hidupnya akan 99% isinya terus-menerus mendukakan Roh tersebut. Hidupmu itu jadi hidup yang stagnan seperti anak yang stunting, karena tidak mau makan dengan baik, karena tidak mau olahraga, karena tidak mau belajar, karena tidak mau naik kelas. Lalu apakah anak ituanak? Tidak sih, tapi juga tidak bertumbuh. Dan akhirnya anak seperti itu tidak mampu untuk hidup menjadi seorang orangtua bagi anak yang lain. Tetap hidup, tapi kehidupan yang tidak berbuah; dan itu menyedihkan.
Lalu kalau Saudara jadi merasa ditakut-takuti, Paulus memang bilang kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Iman Kristen memang bukan iman yang semua isinya cuma rasa sukacita dan bahagia; iman Kristen ada aspek takut akan Allah. Saudara perlu merenuungkan bagian itu juga, jangan sampai hidupmu itu jadi stunted dihadapan Tuhan. Itu adalah peran kita. Tapi apakah ini urusan keselamatan? Bukan. “Kenapa sih, Pak harus pakai peran saya; kenapa sih, Tuhan kayak gini, kenapa Tuhan ‘gak ambil saja semuanya, jasa Tuhan, peran Tuhan juga, lalu saya terima jadi saja”. Kalau begini, berarti Saudara orang malas; itu problemnya. Namun saya akan jawab juga, kenapa Tuhan kita kayak begitu, yaitu karena Tuhan mengasihi kita.
Dalam Kebaktian Pagi tadi saya mengatakan, manusia itu gambar dan rupa Allah. Manusia itu, kayak kalau Saudara bikin nomor whatsapp baru atau Saudara bikin account sosmed baru, maka Saudara akan bikin profile picture, itu adalah gambar dan rupamu, karena lewat itulah orang lain bisa melihat sesuatu mengenai dirimu. Itu tujuannya profile picture, itu gambar dan rupa yang menjadi perpanjangan tangan kita. Tuhan menciptakan kita untuk itu, Saudara. Problemnya, profile picture ini jatuh dalam dosa, menolak perannya sebagai profile picture; si profile picture mengatakan kepada user, “Eh, gue gak mau jadi profile picture, gue mau jadi user”, maka tertawalah kita. Itu namanya jatuh dalam dosa. Namun yang aneh adalah tindakan Tuhan berikutnya. Kalau kita, menghadapi profile picture kita yang memberontak, apa yang kita akan lakukan? Kita hapus ‘kan, itu cuma profile picture. Atau kita bahkan tidak mau lagi pakai profile picture, kita tidak pakai sosmed bahkan, kita langsung ketemu orang secara fisik muka dengan muka sajalah, lebih bagus juga begitu ‘kan. Tapi Tuhan kita tidak melakukan itu. Tuhan kita ingin menyelamatkan profile picture itu; dan lucunya, nubuat pertama mengenai keselamatan, Tuhan mengatakan ‘dari keturunan profile picture yang rusak ini, Aku akan mendatangkan keselamatan’. Jadi Tuhan bukan cuma mau mendatangkan keselamatan, Tuhan mau mendatangkan keselamatan lewat peran manusia yang sudah rusak itu. Aneh ya. Itu sebabnya Tuhan lalu memanggil Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, dst., sampai akhirnya rencana-Nya jelas, ternyata Tuhan sendiri berinkarnasi jadi Profile Picture —Profile Picture yang sejati– yang kalau Saudara lihat Profile Picture itu, Saudara lihat dengan jelas siapa User-nya.
Jadi Saudara melihat bahwa keselamatan yang datang melalui Yesus Kristus, itu datang melalui peran manusia, melalui peran profile picture, dan bukan tanpa itu, karena Yesus Kristus itu 100% Allah dan 100% profile picture. Tidak berhenti sampai disitu, Yesus Kristus kemudian melahirkan suatu generasi profile picture yang baru, komunitas profile picture yang tadinya rusak namun mulai dibereskan, yaitu yang namanya Gereja. Dan Gereja dipakai oleh Tuhan sebagai profile picture, dunia mengenal Tuhan lewat Gereja, meski profile picture ini tidak sepenuhnya sempurna. Sekarang saya mau tanya, waktu Tuhan memakai kita seperti ini, Dia memakai kita kenapa? Apakah Dia memakai kita karena Dia rasa, ‘eh Gue ‘gak mau kerja sendirian, enak saja lu ‘gak ada bagiannya’ ? Yang seperti itu mungkin kita; kita seringkali pikir, Tuhan mau kita kerja supaya Dia ‘gak usah kerja sendiri, supaya Dia bisa ongkang-ongkang kaki. Tapi bukan itu, Saudara. Kenapa? Karena kita ada kehendak bebas, karena kita tidak sempurna. Kalau saya seorang bos dan saya punya karyawan bawahan saya, yang saya pentingkan bukan merekanya, yang saya pentingkan hasil kerjanya, maka saya sebisa mungkin cari bawahan yang tidak ada kehendak bebas, yang ‘gak banyak maunya, yang nurut. Kenapa? Karena tujuannya end result, hasil produk akhirnya jelas, beres kerjanya; dan untuk itu perlu orang-orang yang bisa bekerja seperti robot. Itu keinginan kita. Tapi Tuhan tidak kayak begini. Itu sebabnya di Alkitab gambaran relasi Tuhan dengan kita bukan bos dengan karyawan, relasinya adalah bapak dan anak. Ketika bapak mengajak anaknya untuk melakukan sesuatu, fokusnya tidak pernah cuma pada hasil kerjanya, fokusnya adalah untuk anak tersebut.
Saya sekarang sedang membiasakan anak saya berdoa sebelum makan. Kenapa saya membiasakan dia untuk berdoa? Apakah yang saya pedulikan adalah pokoknya berdoa? Apakah karena kalau tidak berdoa nanti makanannya busuk? Tentu bukan itu. Tujuan saya mengajak dia berdoa, melibatkan dia berdoa, adalah supaya dia belajar mengucap syukur. Ini salah satu momen yang paling penting dalam hidup anak-anak. Kalau mereka kalau tidak dibiasakan mengucap syukur dari sejak awal, bisa Saudara bayangkan akan jadi orang-orang yang seperti apa yang hidupnya tidak mengucap syukur. Jadi tujuan saya melibatkan dia, adalah untuk dia. Waktu saya ajak dia ganti galon, sudah pastilah bukan demi ganti galonnya bisa cepat selesai –malah tambah lama– tapi saya ajak dia demi dia, supaya membangun dia, supaya menumbuhkan dia menjadi anak yang bertanggung jawab, yang ada kepedulian terhadap orang lain, bukan cuma pada diri sendiri. Sama halnya waktu Saudara diajak kerja sama oleh Tuhan. Kenapa kita harus ada peran, kenapa Tuhan tidak pakai jasa-Nya sendiri dan sekalian peran-Nya sendiri, urusan selesai? Karena Tuhan bukan pentingkan hasil kerjanya; kalau Dia mementingkan hasil kerjanya, Dia akan pakai ikan besar untuk menginjili Niniwe, bukan Yunus, karena ikan besar itu lebih cepat taatnya. Dengan demikian kita tahu, tujuan Tuhan bekerja sama dengan Yunus bukan demi Niniwe saja, tapi demi Yunus juga. Saudara harus ingat ini, waktu Saudara melihat Tuhan memberikan kita peran.
Saudara selamat bukan karena jasamu, itu kita amin-kan; tapi juga bukan peranmu tidak ada sama sekali. Karena sekali lagi, siapa kita? Kita itu tadinya profile picture-nya Tuhan, kita itu pensil yang Tuhan ciptakan untuk tujuan menulis misalnya, tapi kita patah terus kerjanya. Lalu kalau Tuhan mengatakan, “Ya sudahlah, Saya selamatkan kamu, kamu harusnya dibuang ke tong sampah, tapi Saya ‘gak buang kamu deh, Saya simpan saja kamu di laci, Saya ‘gak pakai”, apakah ini keselamatan? Tidak ‘kan, itu cuma belum dibuang saja, itu cuma belum dihapus saja. Namun Tuhan ini somehow kepingin menyelamatkan kita, berarti memulihkan kita kepada peran yang awal. Dia tetap pakai pensil yang suka patah ini, Dia tetap coba melakukan pekerjaan-Nya lewat itu, dan someday Dia berinkarnasi jadi pensil. Betapa luar biasa Allah seperti ini. Lalu Dia mau memakai kita jadi pensil-pensil yang diperbaiki, sehingga bisa berfungsi normal.Itu namanya keselamatan. Makanya Saudara lihat keselamatan dalam Kekristenan bukanlah langkah terakhir, tapi langkah pertama; karena keselamatan berarti Saudara dipulihkan tugasnya, dipulihkan perannya Saudara, bukan disetop.Saudara harus membaca peran kita dalam kacamata seperti ini, kacamata anugerah.
Jadi, inilah gambaran keselamatan yang Tuhan berikan dalam Alkitab. Ada dua sisi ini, pegang bersamaan, jangan dibuang.Ada sisi jasa yang hanya dari Tuhan saja, namun ada sisi yang Tuhan memberikan berkat-berkat-Nya lewat peran manusia; dan Saudara harus terima ini dengan rasa syukur karena ini anugerah. Tuhan melibatkan kita seperti seorang bapak melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaan, karena tujuan akhirnya bukan soal hasil akhir saja, tapi kepada anaknya ini. Itulah cara seorang bapak menyatakan kasihnya.Itulah cara Bapa kita menyatakan kasih-Nya kepada kita.
—————————————————————
Pertanyaan kedua (kategori doktrinal):
Karena keselamatan hanya datang dari Tuhan Yesus, bagaimana nasib orang yang lahir sebelum kedatangan Yesus?
Jawaban/respons:
Saudara, bagaimana orang selamat? Yaitu lewat anugerah, melalui Roh Kudus, dan melalui iman manusia; dan sasaran iman selalu kepada Tuhan. Apakah itu setelah Kristus datang atau sebelum Kristus datang, tetap sama saja, sasaran iman manusia tetap kepada Tuhan. Itu yang penting.
Ini sebabnya, misalnya Mazmur mengatakan, “berbahagialah semua orang yang berlindung pada Tuhan” (Mazmur 2). Mazmur tersebut ada sebelum Yesus; itu sesuatu yang sudah benar sebelum Yesus datang. Misalnya lagi tentang Abraham, dikatakan: ‘lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai righteousness, sebagai kebenaran’. Abraham benar karena dia percaya kepada Tuhan, karena dia mendasarkan imannya kepada Allah. Itu dikutip Paulus, belakangan di Perjanjian Baru secara positif, di Roma 4. Jadi, orang-orang dalam zaman sebelum Kristus itu diselamatkan bukan karena mereka menjalankan sistem kurban; sistem kurban itu cuma bayang-bayang, antisipasi terhadap apa yang Yesus akan lakukan di kemudian hari. Sistem kurban yang mereka jalankan, adalah ekspresi iman mereka, bahwa ‘Allah somehow, someday, yang menjamin kesamatan saya itu, akan mengerjakan kesamatan ini; saya tidak tahu caranya bagaimana, tapi itu iman saya’. Itulah iman dasar Saudara, iman yang tidak berubah, baik itu di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru.
Bahkan mengenai Adam, beberapa theolog berpendapat Adam diselamatkan. Kenapa demikian; dasarnya dari mana? Yaitu karena ketika manusia itu jatuh dalam dosa, Allah lalu memberikan nubuat keselamatan ini, mengatakan dari keturunan wanita akan lahir Juruselamat (Kej.3:15). Lalu setelah itu, baru di ayat 20 Adam menamakan istrinya Hawa –bukan sebelum nubuatnya, tapi setelah nubuat itu baru Adam menamakan istrinya Hawa. Dan, kenapa dinamakan Hawa? Karena kata ‘Hawa’ dalam bahasa Ibrani adalah life, hidup. Itu sebabnya dikatakan: Adam menamakan istrinya Hawa, karena ia akan menjadi ibu dari semua yang hidup. Hidup di sini bukan berarti hidup bernapas –karena Adam juga bernapas tapi Adam bukan dari Hawa– melainkan kehidupan dalam arti keselamatan yang Tuhan berikan itu akan datang dari istriku ini; makanya aku menamakan dia Hawa. Dengan demikian, berarti Adam percaya kepada nubuat Tuhan sebelumnya; dan tindakan Adam menamai Hawa, itulah tindakan iman yang meresponi firman Tuhan bahwa keselamatan akan lahir dari keturunan wanita. Adam beriman kepada Tuhan untuk keselamatan. Tapi dia tidak tahu caranya akan datang bagaimana, itu tidak masalah, karena itu iman. Iman itu yang penting sasarannya tepat, bukan imannya seberapa besar.
Misalnya Saudara beriman waktu Saudara mau jatuh dari tebing, Saudara pegangan pada dahan pohon. Di situ yang penting bukan seberapa ragu atau seberapa percaya Saudara bahwa dahan pohon itu kuat atau tidak, yang penting adalah dahan pohonnya, kuat atau tidak. Kepercayaanmu terhadap dahan pohonnya ‘gak ngaruh, Saudara. Jadi iman itu yang penting objeknya, sasarannya, targetnya. Iman orang-orang Perjanjian Lama juga sama, yang penting sasarannya tepat, bukan seberapa besar imannya, bukan seberapa hebat, bukan seberapa kualitasnya, dsb.
Apakah lalu tidak ada perubahan antara zaman Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru? Ada. Tapi yang berubah bukan imannya atau dasar dari iman tersebut; yang berubah itu adalah kejelasan dari imannya. Semakin kebelakang, semakin jelas bagaimana Tuhan membawa rencana keselamatan tersebut. Inilah yang dalam theologi reformed biasanya disebut dengan isitlah progresif revelation. Wahyu Tuhan dalam memberitakan mengenai keselamatan itu tidak langsung dari awal dikatakan nanti tahun sekian-sekian terjadi sekian-sekian, dsb., bukan kayak begitu. Karena progresif, maka berarti pelan-pelan, makin lama makin jelas, makin ke belakang makin jelas. Jadi iman Saudara dasarnya sama dengan orang-orang Perjanjian Lama. Saudara beriman bahwa keselamatanmu bergantung kepada Allah, namun kejelasan isinya yang lebih jelas, sekarang kita tahu bahwa keselamatan itu datang melalui Yesus Kristus mati dan bangkit. Itulah bedanya; tapi imannya sendiri tidak beda. Jadi orang-orang Perjanjian Lama tetap diselamatkan meskipun sebelum kedatangan Yesus Kristus.
—————————————————————
Pertanyaan ketiga (kategori practical living):
- Apakah Doa Pengakuan Dosa baiknya dilakukan dengan buka suara atau tidak? Isi doanya personal atau umum?
- Kenapa dalam Liturgi GRII Kelapa Gading tidak ada bagian assurance of pardon? (biasanya di dalam gereja lain setelah Doa Pengakuan Dosa maka ada kalimat assurance of pardon, deklarasi pengampunan yang pasti dari Tuhan; jadi bukan cuma pengakuan dosa, tapi juga ada deklarasi pengampunan).
Jawaban/respons:
Saya jawab yang pertama dulu, mengenai doa pengakuan dosa dilakukan buka suara atau tidak, isi doanya personal atau umum. Jawabannya sama dengan doa-doa yang lain, ada saatnya doa bisa buka suara, ada saatnya tidak; tidak harus cuma salah satu. Doa pengakuan dosa bisa diwakili oleh liturgis? Bisa. Liturgis yang berdoa mewakili jemaat. Ini ada dasarnya. Ezra misalnya, di Alkitab mengaku dosa di hadapan Tuhan seperti itu; Daniel juga, dst. Jadi itu boleh juga. Jemaat semua buka suara, boleh juga. Bisa juga di dalam hati? Boleh juga. Isi doanya personal? Boleh juga. Isi doanya umum? Boleh juga.
Bagaimana sih, Pak? Koq, fleksibel banget? Karena seperti yang kita sudah pernah bahas juga, poinnya doa pengakuan dosa itu bukan seberapa komplit menyelesaikan daftar dosa minggu ini. Poinnya liturgi itu apa? Kita bahas liturgi cukup lama ya; saya bahas, Pak Billy bahas, Pak Heru juga pernah beberapa kali datang bahas, bahwa liturgi itu efeknya bukan di liturgi hari ini-nya. Kekuatan dari liturgi, bagaimana liturgi membentuk sebuah jemaat, itu bukan Saudara lihat efeknya hari ini. Doa pengakuan dosa, efeknya juga bukan Saudara terima dalam doa pengakuan dosa hari ini. Liturgi itu, by definition efeknya long term. Kebiasaan datang beribadah dan datang sebagai pendosa di hadapan Tuhan, itu yang penting. Caranya lewat mengakui dosa. Mengakui dosa caranya bisa berbagai macam, itu tidak masalah, tapi yang penting ada pengakuan dosa. Mau personal ataupun umum, tidak masalah karena yang penting kebiasaannya itu. Habitnya itu.
Jordan Peterson, seorang psikolog yang cukup terkenal, sedang membahas Alkitab meskipun dia tidak bisa dibilang orang Kristenlah. Tapi di sini dia mengatakan, orang suka mengkritik Alkitab waktu bicara soal Kain dan Habel memberikan persembahan kurban, orang bilang sudah ketinggalan zamanlah bicara sacrifice segala macam, dsb. Namun Jordan Peterson mengatakan, kita perlu lihat, apa efeknya sebuah masyarakat yang tidak belajar mengorbankan sesuatu; justru kalau sebuah masyarakat memegang Alkitab, mereka akan belajar dari awal, dari halaman-halaman pertama Alkitab, pentingnya pengorbanan. Masyarakat seperti ini akan jadi masyarakat yang tahu bahwa keinginan dan kepuasan diri bukanlah segala-galanya, masyarakat yang tahu bahwa untuk mencapai sesuatu yang lebih kadang-kadang harus mengorbankan sesuatu dulu. Itu kata Peterson, seorang psikolog sekuler. Jadi Saudara lihat problemnya di mana? Problemnya di kebiasaan, bahwa ini bagian daripada budaya kita atau tidak, ini bukan urusan kapan pernah berkorban atau tidak? Sekali lagi Saudara, saya ajar anak saya berdoa, bukan supaya hari itu makanannya tidak beracun, tapi supaya dia dibiasakan punya kebiasaan mengucap syukur, gratitude, dalam hidup mereka. Kebiasaannya itu yang penting. Habit-nya itu yang penting.
Seperti yang kita sudah sering bahas, pembentukan iman seseorang itu besar dampaknya bukan cuma dari khotbah yang sekali-sekali, yang keren abis, yang bagus itu, tapi dari habit Gereja yang dia diami bertahun-tahun. Itu yang membentuk kita; dan sering kali tanpa kita sadari. Itu sebabnya Saudara yang dari gereja lain masuk ke gereja Reformed kaget, dan Saudara dari gereja Reformesd pindah ke gereja lain juga bingung. Kenapa? Karena beda, ya. Apa bedanya? Ya, bedanya kayak begini. Misalnya lagi kalau ternyata di gereja kebaktiannya semua siang, sedangkan Saudara biasanya kebaktian pagi. Lalu apakah kebaktian pagi mutlak menurut Alkitab? Tidak ‘kan. Jadi kenapa Saudara merasa harusnya kebaktian pagi? Dari mana itu? Bukan dari Alkitab, bukan karena orang pernah bilang kepada Saudara kebaktian harus jam 7, tapi karena kebiasaan. Kebiasaan membentuk hatimu. Saudara jadi kepingin kebaktian pagi, karena sudah biasa kebaktian pagi –meskipun itu tidak ada dasarnya di Alkitab. Kebiasaan itu sangat membentuk; sampai-sampai saking membentuknya, kita seringkali tidak sadar. Maka yang penting habitnya, kebiasaannya, bukan metode persisnya harus bagaimana. Itu liturgi.
Itu sebabnya liturgi dalam gereja Reformed, satu keindahannya adalah: tetap ada batasan, tetap ada semacam aturan mainnya, namun juga ada semacam ruang gerak, bukan berarti tidak ada fleksibilitas sama sekali. Ini satu hal yang beautiful, karena lewat kebiasaan itu, Saudara juga bisa mendapatkan liturgi yang berlainan dari tempat-tempat yang lain, namun reinforcing satu hal yang sama. Sama juga seperti doa makan; doa makan boleh dipimpin satu orang, boleh juga doa masing-masing, tidak masalah, karena yang jadi poin adalah habit berdoa sebelum makan, bukan hanya doanya sendiri. Jadi ada ruang gerak dalam batasan-batasan, yang kita juga tidak usah pertajam lagi. Kita bisa menikmati kelimpahan berbagai metode yang ada dalam hidup Gereja kita. Saudara jangan inginnya segala sesuatu inginnya di-prescribe, ‘Pak, saya mau melayani tapi kasih saya jobdesk. Kalau segala sesuatu dalam hidup kita di-prescribe ya, akhirnya kita cenderung bisa jadi orang-orang yang fatalis. Kalau segala liturgi mesti di-prescribe dengan jelas, akhirnya liturgi jadi mantra, akhirnya Saudara pikir karena engkau melakukan gerakan tertentu maka baru ada efeknya. Kita tahu, itu pemikiran yang salah. Di sisi lain, kalau Saudara mau bebas sama sekali, tidak ada batasan sama sekali, akhirnya jadi tidak ada arah, kacau. Tentu saja kita juga tidak mau yang kayak begitu, itu sebabnya kita coba ambil jalan tengah.
Kita tahu harus ada pengakuan dosa, itu jelas tapi cara persisnya seperti apa bisa ada fleksibilitas. Dan, I think ini beautiful karena jadinya menuntut setiap jemat ada pertumbuhan, Saudara mungkin bisa diskusikan di KTB, Saudara bisa cari buku dan belajar. Belajar itu tidak memutlakan cara-cara tertentu, tapi ada ruang untuk trial and error yang lebih aman, karena tetap ada batasnya; namun dalam batasnya itu, Saudara bisa eksplorasi.
Yang saya heran, kenapa orang-orang tidak apresiatif terhadap bentuk yang ada fleksibilitas seperti ini, maunya terima jadi. Dalam hal ini, saya tebak mungkin karena banyak jemat malas mikir, malas bergumul, takut salah langkah, maka minta detail 15 langkah yang cuma tinggal dijalanin tok. Kalau ini benar, maka saya ingatkan bahwa kita itu percaya priesthood of all believers, kita percaya Roh Kudus diberikan kepada semua orang percaya dan bukan cuma ke beberapa orang. Jadi, kalau Saudara kepingin bentuk liturgi yang sangat ketat, mungkin nanti uang Saudara juga jangan Saudara belanjakan sendiri, tanya dulu ke saya uang itu mau dipakai buat apa, lalu saya akan kasih tahu Saudara.
Berikutnya soal assurance of pardon, pertanyaan Saudara ‘kenapa dalam pengakuan dosa kita tidak ada assurance of pardon. Dalam hal ini justru in some sense saya merasa kita terlalu cepat masuk ke assurance of pardon itu; kenapa? Karena misalnya Saudara dengar doa Liturgis yang memimpin pengakuan dosa, dia itu mewakili semua jemaat –juga mewakili jemaat-jemaat yang tidak berdoa– dan dia mewakili jemaat meminta ampun kepada Tuhan, mengakui dosa di hadapan Tuhan, lalu baru kalimat ketiga sudah masuk assurance of pardon. Baru bilang, “Ya Tuhan kami mengaku dosa kami di hadapan Tuhan. Kami adalah orang-orang yang melakukan banyak kesalahan”, langsung dilanjutkan dengan: “Tapi kami bersyukur karena Engkau adalah Allah yang baik bagi kami.” Ya, ampun Saudara, baru kalimat ketiga sudah begitu, doa pengakuan dosanya seperti ‘gak niat banget, cepat banget sampai ke situ. Jadi, kalau Saudara bilang tidak ada assurance of pardon, saya justru kadang-kadang merasa assurance of pardon itu terlalu sering dibicarakan, terlalu cepat muncul, akhirnya kita tidak terlalu menghayati keberdosaan kita di hadapan Tuhan, ketergantungan kita akan kesamatan di hadapan Tuhan.
Kalau Saudara perhatikan, saya khotbah tidak pernah cuma tentang anugerah, saya pasti meyakinkan Saudara akan kesalahan dan dosa kita dulu, maka barulah anugerah itu bisa indah, karena kita menyadari kita itu adalah orang berdosa. Lalu misalnya mengenai Doa Persembahan, cobalah doa untuk merefleksikan kembali. Tapi biasanya yang direfleksikan cuma sisi anugerahnya, hampir tidak pernah diulang soal sisi kebejatan, kekurangan, dsb. Padahal, kalau Saudara tidak mengerti seberapa Saudara rusak di hadapan Tuhan, Saudara juga tidak akan menangkap seberapa baik Tuhan.
Jadi kembali lagi, dalam hal ini saya lihatnya terbalik, bahwa kita justru lebih sering terlalu cepat masuk ke dalam assurance of pardon. Dan, assurance of pardon sebenarnya juga tidak harus munculnya setelah pengakuan dosa, bisa muncul lewat lagu puji-pujian lagu setelahnya, bisa juga munculnya lewat khotbah, tidak harus langsung. Assurance of pardon adakalanya kita pakai juga, meskipun tidak selalu; misalnya dalam Liturgi Kamis Kudus yang kita pakai, setelah pengakuan dosa ada pembacaan dari 1 Yohanes, “Jikalau kita mengaku dosa kita, maka Tuhan setia dan adil, Dia akan memberikan pengampunan.” Jadi, itu kalimat assurance of pardon yang kadang ada juga.
Namun saya rasa satu argumen yang paling jelas, bahwa kenapa kalimat assurance of pardon itu tidak harus ada, adalah karena pengakuan dosa itu sendiri ada karena kita mengasumsikan adanya pardon dari Tuhan, karena kita yakin, dan sudah, mengalami pardon dari Tuhan –makanya kita mengaku dosa. In some sense, assurance of pardon bahkan bisa kita argue datangnya justru duluan, bukan setelah pengakuan dosa. Karena keyakinan bahwa Tuhan mengampuni kita, itulah yang menggerakkan orang untuk confess, untuk mengakui dosa. Aspek ini jelas sekali dalam Alkitab. Paling jelas itu dalam cerita “Anak yang Hilang”. Dalam hal ini Saudara mungkin bingung karena cerita anak yang hilang itu malah sering diambil poinnya secara bertabrakan; misalnya orang Armenian mengatakan, “Tuh, lihat tuh, anak yang hilang itu datang dulu ke bapaknya, minta ampun dulu, baru bapaknya kasih dia anugerah. Anak itu bilang, ‘bapak ampuni aku’, baru setelah itu ayahnya beri dia jubah, cincin, dsb. Jadi kita bertobat dulu, baru Tuhan berikan anugerah” –demikian orang Arminian sering kali pakai cerita tersebut untuk poin ini.
Tim Keller, salah seorang pengkhotbah yang sangat baik, dalam bukunya yang membahas cerita tersebut mengatakan itu salah baca, karena itu berarti kita lupa lupa apa yang terjadi sebelumnya. Kita coba baca Lukas 15:18-22, di situ ada satu adegan yang mirip, yang diulang dua kali dalam cerita ini. Waktu si anak yang hilang itu, si anak bungsu—berada di antara babi-babi, dia mengatakan seperti ini: “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapakku, dan berkata kepadanya, ‘Bapak, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap Bapak. Aku tidak layak lagi disebutkan anak Bapak. Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan Bapak’”. Itulah rencan dia; dia berstrategi bahwa dia mesti balik ke bapaknya, mau minta ampun dan mau bargaining; dia mau minta dijadikan orang upahan saja. Lalu Saudara notice beberapa ayat berikutnya, waktu dia pergi ke bapaknya dan dia benar-benar akhirnya dapat kesempatan untuk bicara, apa yang dia katakan? Ayat 21: Kata anak itu kepadanya, “Bapak, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapak. Aku tidak layak lagi disebutkan anak bapak”. Mirip ya; tapi setelah itu titik, tidak ada lagi kalimatnya, bagian yang seolah mau jadi orang upahan itu tidak muncul. Ini menarik, Saudara. Jadi di sini adegan yang seperti sama diulang dua kali, Pertama, rencananya sebelum ketemu bapaknya; yang kedua, setelah ketemu bapaknya dan dia benar-benar ngomong. Apa yang hilang di sini? Yang hilang adalah bargaining-nya ‘kan. Waktu dia datang kepada bapaknya, dia cuma confession, tidak ada bargaining-bargaining, tidak ada bicara ‘ayolah Bapak, beri gue pengampunanlah. Gue jadi orang upahan lu deh, meski gue anak’. Tidak ada yang kayak begituan, hanya ‘aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapak, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapak’. Murni confession. Sebelumnya, dia merencanakan bargaining; tapi sekarang tidak ada. Kenapa? Simple jawabannya, yaitu satu hal yang terjadi di tengah-tengahnya. Apa itu? Bahwa waktu bapaknya melihat dia dari jauh, tergeraklah hati bapaknya oleh belas kasihan, bapaknya berlari mendapatkan dia, merangkul, mencium dia –assurance of pardon.
Assurance of pardon itu sebenarnya mendahului pengakuan dosa manusia. Bahkan kalau tidak ada assurance of pardon, manusia tidak akan cuma mau mengakui dosa, manusia akan pakai bargaining, ‘ya udahlah, gue ngaku salah deh, tapi … ‘. Ini seperti misalnya kita telat masuk kerja, aduh mampus nih, mesti hadap Bos nih. Lalu kita berencana mengatakan, “Bos, saya salah. Tapi saya tidak pernah telat sebelumnya. Ini pertama kali. Please forgive me-lah”, kita akan bargaining begitu. Lalu kita masuk ke ruangan Bos; Bos melihat kita, lalu mengatakan, “Eh, selamat pagi, duduk, duduk, duduk. Ini kopi, tadi saya baru buat; ini kopi dari biji ini dan itu, kopi yang paling enak”, dst. Kita pasti akan bengong ‘kan, padahal ini sudah telat 2 jam, malah diajak duduk, ditanya: ‘Ada apa? Kenapa hari ini? Kamu telat karena sakit perut? Atau mungkin anakmu sakit? Tidak apa-apa, tidak masalah. It’s okay. Kita ngobrol-ngobrol, yuk.’ Menghadapi itu, Saudara pasti bengong, lalu buyar segala rencana bargaining tadi, akhirnya Saudara hanya mengaku salah, “Iya Pak, saya salah. Maafkan Pak, saya telat bangun”, langsung keluar pengakuan dosa, tidak ada bargaining. Kenapa? Karena ada assurance of pardon.
Jadi, in some sense alasannya dalam kebaktian kita tidak ada assurance of pardon secara kalimat yang eksklusif, adalah karena anugerah itu mendahului pengakuan dosa. Bahwa itu anugerah, sudah jelas. Bahwa bukan tanpa pengakuan dosa, sudah jelas. Namun anugerah mendahului pengakuan dosa; karena anugerah pengampunan inilah kita bisa mengakui dosa kita tanpa bargaining kepada Tuhan. And therefore dalam liturgi kita assurance of pardon tidak harus datang setelah pengakuan dosa. Bukan berarti tidak boleh, karena sekali lagi dalam Liturgi Kamis Kudus kita pakai itu. Namun hal ini saya rasa masih ada dalam ruang gerak yang fleksibel tadi. Yang indah adalah kita jadi justru bisa menghayati kekayaan dan kelimpahan dari pengakuan dosa kita di hadapan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading